• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang Dan Masyarakat Tapanuli Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang Dan Masyarakat Tapanuli Selatan"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN TAHAPAN UPACARA PERKAWINAN

PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT

TAPANULI SELATAN

NIHON SHAKAI TO MINAMI TAPANULI SHAKAI TO NO

KEKKON SHIKI NO DANKAI NO HIKAKU

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Sastra Jepang

Oleh:

NILA ARTIKA SARI HARAHAP

090722009

PROGRAM STUDI EKSTENSI SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERBANDINGAN TAHAPAN UPACARA PERKAWINAN

PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT

TAPANULI SELATAN

NIHON SHAKAI TO MINAMI TAPANULI SHAKAI TO NO

KEKKON SHIKI NO DANKAI NO HIKAKU

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Sastra Jepang

Oleh:

NILA ARTIKA SARI HARAHAP

090722009

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Nandi S

NIP. 19600822 1988 03 1 002 NIP. 19580704 1984 12 1 001

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S,Ph.D

PROGRAM STUDI EKSTENSI SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

(3)

Disetujui Oleh: Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi Sastra Jepang Ekstensi Ketua Program Studi

NIP. 19580704 1984 12 1 001 Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D

(4)

PENGESAHAN

Diterima Oleh

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana sastra dalam bidang ilmu

Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Pada :

Tanggal :

Hari :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

NIP. 19511013 1976 03 1 001 Dr. Syahron Lubis, M.A

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D (………)

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini.

Penulisan skripsi ini yang berjudul “Perbandingan Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang Dan Masyarakat Tapanuli Selatan”, merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Fakultas

Sastra Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi

ini sangat sederhana dan masih jauh dari sempurna, baik dari isi maupun dari

uraiannya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan akan pengetahuan dan

pengalaman yang penulis miliki. Untuk itu penulis sangat mengharapkan

masukan-masukan berupa saran dan kritik yang membangun dari pembaca bagi

usaha-usaha perbaikan dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan inilah, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih,

penghargaan dan penghormatan kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Program Ekstensi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Nandi S, selaku Dosen Pembimbing I yang dengan ikhlas telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan bimbingan dan

pengarahan dengan sabar kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

(6)

4. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Dosen Pembimbing II yang dengan ikhlas memberikan bimbingan dan

pengarahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen D-III Bahasa Jepang dan Program Ekstensi Sastra

Jepang Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan

pendidikan kepada penulis.

6. Kepada kedua orang tua tercinta H. Syaiful Akbar Harahap dan Hj. Maha

Dewi Harahap yang telah banyak berkorban baik materi maupun moril

kepada penulis selama melaksanakan studi.

7. Kakak dan Abangku tercinta Magda Sari Harahap, B.Mngt dan M. Toha

Harahap, S.Sos yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

8. Seseorang yang aku sayang, Syaiful Amri, Amd yang telah banyak

membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman mahasiswa/i di Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Jepang dan

Ekstensi Bahasa Jepang Universitas Sumatera Utara yang telah banyak

membantu dan memberikan semangat kepada penulis selama

melaksanakan studi.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis

sendiri dan bagi pembaca yang lainnya.

Medan, Desember 2010

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 8

1.3Ruang Lingkup Pembahasan ... 9

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 10

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

1.6Metode Penelitian ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT TAPANULI SELATAN ... 16

2.1. Perkawinan Pada Masyarakat Jepang ... 16

2.1.1 Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Jepang ... 19

2.1.2 Makna Perkawinan Pada Masyarakat Jepang ... 22

2.1.3 Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang ... 24

2.2 Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan ... 25

2.2.1 Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Tapanuli Selatan ... 28

2.2.2 Makna Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan ... 31

(8)

BAB III PERBANDINGAN TAHAPAN UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT

TAPANULI SELATAN ... 33

3.1 Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang ... 33

3.1.1 Sebelum Upacara Perkawinan ... 33

3.1.2 Upacara Perkawinan ... 39

3.1.3 Setelah Upacara Perkawinan ... 44

3.2 Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan .. 45

3.2.1 Sebelum Upacara Perkawinan ... 45

3.2.2 Upacara Perkawinan ... 53

3.2.3 Setelah Upacara Perkawinan ... 58

3.3 Analisis Perbandingan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang dan Masyarakat Tapanuli Selatan ... 62

3.3.1 Sebelum Upacara Perkawinan ... 63

3.3.2 Upacara Perkawinan ... 65

3.3.3 Setelah Upacara Perkawinan ... 67

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

4.1 Kesimpulan ... 72

4.2 Saran ... 73

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari

balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai ia meninggal. Biasanya pada

usia dewasa dan sudah memiliki pekerjaan, manusia baru akan memikirkan

tentang perkawinan.

Perkawinan merupakan suatu saat yang sangat penting dimana hubungan

persaudaraan berubah dan diperluas. Perkawinan juga merupakan rencana untuk

meneruskan keturunan yaitu untuk menjaga kesinambungan satu keluarga. Secara

umum, perkawinan adalah penggabungan antara seorang pria dan seorang wanita

untuk membentuk sebuah rumah tangga.

Dalam pelaksanaan sebuah perkawinan, diperlukan tata cara tertentu yang

mengatur individu-individu yang bersangkutan. Sistem, nilai-nilai, norma-norma

dan aturan-aturan yang mengatur masyarakat sehubungan dengan perkawinan

disebut dengan pranata perkawinan (Rifai Abu, 1984:51).

Koentjaraningrat (1997:92), mengatakan bahwa hampir setiap masyarakat,

hidupnya dibagi-bagi ke dalam tingkat-tingkat. Tingkatan tersebut dinamakan

tingkat-tingkat sepanjang daur hidup yang meliputi: masa bayi, masa anak-anak,

masa remaja, masa dewasa, masa sesudah menikah, masa kehamilan dan masa

tua. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ke tingkat berikutnya,

(10)

Upacara perkawinan adalah tahapan acara yang dilakukan mulai dari awal

menentukan pasangan sampai kepada pesta pernikahan dan sesudahnya, yang

mana didalamnya mengandung unsur-unsur ritual dan nilai-nilai.

Upacara perkawinan adalah kegiatan-kegiatan yang telah dilazimkan dalam

usaha mematangkan, melaksanakan dan menetapkan suatu perkawinan

(Depdikbud;1978/1979:10).

Oleh perkembangan zaman, terutama karena kemajuan industrinya yang

telah menempatkan Jepang sebagai negara maju, umumnya keluarga Jepang

sekarang berubah menjadi keluarga-inti, yang terdiri dari suami, istri dan

anak-anak. Anakpun jumlahnya mulai dibatasi, karena kesulitan perumahan dan

keuangan (Ajip Rosidi, 1981:94).

Bentuk perkawinan sangat erat kaitannya dengan bentuk keluarga. Dalam

masyarakat Jepang dikenal ada dua buah konsep keluarga yaitu keluarga sebagai

Kazoku dan keluarga sebagai Ie.

Keluarga (Kazoku) menurut Situmorang (2006:22), adalah hubungan suami

istri, hubungan orang tua dan anak, dan diperluas pada hubungan persaudaraan

yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut. Kazoku merupakan unit

terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam

pembentukan sistem kekerabatan, dari Kazoku inilah akan lahir sistem keluarga

tradisional Jepang yang disebut dengan Ie.

Ie ( 家 ), yang banyak diungkapkan dengan katakana ( イエ ) adalah

sekelompok orang yang tinggal di sebuah lingkungan rumah, memiliki keterikatan

(11)

Ariga Kizaemon dalam Situmorang (2006:24), mengatakan bahwa pada

awalnya Ie terbentuk karena adanya pernikahan yaitu terbentuknya keluarga inti.

Tetapi setelah mereka mempunyai anak dan apabila suami atau ibu di dalam

keluarga tersebut meninggal maka kepala keluarga tersebut diganti oleh anak

laki-laki tertua. Jika keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki-laki-laki, maka suami

dari anak perempuan dapat diangkat menjadi kepala keluarga.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang paling utama antara keluarga

Kazoku dengan keluarga Ie adalah, bahwa Kazoku dapat berakhir karena kematian

suami atau istri atau karena perceraian, jadi keberadaan Kazoku adalah satu

generasi. Sedangkan unsur keluarga Ie terbentuk minimal dua generasi, oleh

karena itu Ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak

suami atau istri dalam keluarga tersebut (Situmorang, 2006:23).

Peranan Nakoodo sangat penting sebagai perantara Ie dengan Ie dalam

perkawinan di Jepang. Nakoodo adalah orang yang bertugas mencarikan pasangan

calon pengantin. Berdasarkan pendapat Martha (1995:6), perkawinan dalam

bahasa Jepang dikenal dengan istilah Kekkon atau Kon’in. Upacara perkawinan di

Jepang dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: Shinzen kekkon shiki

(perkawinan berdasarkan agama Shinto), Butsuzen kekkon shiki (perkawinan

berdasarkan agama Budha), Kiritsutokyoo kekkon shiki (perkawinan berdasarkan

agama Kristen).

Saat ini di Jepang, terdapat dua tata cara pernikahan yaitu, tata cara

pernikahan modern yang dilangsungkan di Gereja dengan sistem agama Kristen

dan tata cara pernikahan tradisional yang dilangsungkan di Kuil dengan sistem

(12)

pernikahan dengan cara yang modern, yaitu menikah dengan tata cara Kristen di

Gereja meski keduanya tidak beragama Kristen, tetapi yang menikahkan

keduanya tetap pendeta. Banyak diantara mereka tertarik dengan tata cara ini

karena ingin memakai gaun pengantin berwarna putih yang indah serta disaksikan

oleh keluarga, teman dan kerabat dekat.

Sebelum diadakan upacara perkawinan biasanya pasangan pengantin

terlebih dahulu mendaftarkan diri ke kantor catatan sipil untuk mendapatkan

pengakuan yang sah sesuai hukum yang berlaku.

Oleh karena itu dalam penelitian ini, suku Tapanuli Selatan diambil sebagai

bahan perbandingan kebudayaan untuk mewakili bangsa Indonesia secara

keseluruhan. Sedangkan untuk kajian Jepang yang diambil secara keseluruhan

karena kebudayaan Jepang dianggap bisa mewakili seluruh sub-sub di daerah

tersebut.

Jenis-jenis perkawinan di Tapanuli Selatan ada berbagai macam, tetapi di

dalam penelitian ini penulis hanya fokus kepada jenis pernikahan berdasarkan

agama, adat dan pemerintah/hukum.

Pada masa sekarang ini, mayoritas masyarakat Tapanuli Selatan adalah

penganut agama Islam. Setelah melakukan perkawinan berdasarkan agama islam,

dan sudah mendaftarkan diri ke kantor urusan agama, biasanya mereka

melanjutkan lagi dengan perkawinan berdasarkan adat.

Masyarakat Tapanuli Selatan adalah masyarakat yang memegang teguh adat

istiadatnya. Adat masyarakat Tapanuli Selatan lazim disebut adat Dalihan Natolu,

(13)

dari sistem sosial masyarakat Tapanuli Selatan yang dinamakan Dalihan Natolu

(tiga tumpuan).

Ketiga unsur fungsional dari sistem sosial Dalihan Natolu itu

masing-masing disebut Mora, Kahanggi dan Anak Boru. Mora merupakan anggota

kerabat yang berstatus sebagai pemberi anak dara dalam perkawinan (kelompok

calon pengantin perempuan). Kahanggi adalah anggota kerabat satu keturunan

atau satu klen. Anak Boru adalah anggota kerabat yang berstatus sebagai penerima

anak dara dalam perkawinan (kelompok calon pengantin laki-laki). Antara para

kerabat yang berstatus sebagai Mora dan berstatus sebagai Anak Boru terdapat

hubungan afinal (perkawinan). Diantara sesama kerabat yang berstatus sebagai

Kahanggi terdapat hubungan konsanguinial atau hubungan darah. Sehingga ada

ungkapan yang berbunyi: “Somba marmora elek maranak boru, manat-manat

markahanggi” yang artinya: “hormat terhadap mora, pandai-pandai mengambil

hati anak boru, bersikap cermat terhadap kahanggi” menunjukkan hak dan

kewajiban seseorang terhadap para kerabatnya yang punya status sebagai mora,

anak boru dan kahanggi (Ritonga, 1997:5-7).

Bagi masyarakat Tapanuli Selatan perkawinan bukan saja menyangkut

penggabungan dua insan saja, tetapi lebih kepada penyatuan dua keluarga besar.

Garis keturunan pada masyarakat Tapanuli Selatan adalah patrilineal (garis

keturunan dari pihak Ayah). Berdasarkan garis keturunan yang patrilineal itu,

masyarakat Tapanuli Selatan membentuk kelompok-kelompok kekerabatan besar

yang disebut marga (clan) sebagai gabungan dari orang-orang yang merupakan

(14)

Menurut kaidah adat masyarakat Tapanuli Selatan, orang-orang yang

semarga tidak boleh kawin. Dengan demikian pembatasan jodoh dan perkawinan

yang didasarkan pada prinsip eksogami marga. Sampai sekarang prinsip

perkawinan eksogami marga itu masih terus diikuti oleh sebagian besar dari

anggota masyarakat Tapanuli Selatan meskipun agama Islam atau agama Kristen

yang mereka anut tidak melarang perkawinan antara orang-orang yang semarga.

Terlarangnya orang-orang yang semarga melakukan perkawinan karena

menurut prinsip adat masyarakat Tapanuli Selatan orang-orang yang semarga

adalah keturunan dari seorang kakek bersama. Oleh karena itu mereka dipandang

sebagai orang-orang yang “sedarah” atau markahanggi (berabang-adik)

(Lubis,1998:166).

Namun pada masa belakangan ini generasi muda masyarakat Tapanuli

Selatan sudah tidak begitu terikat oleh prinsip perkawinan seperti yang

dikemukakan di atas. Generasi muda sudah cenderung untuk dibebaskan memilih

sendiri jodoh yang mereka sukai. Kemajuan pendidikan, keadaan pergaulan

muda-mudi yang sudah cukup bebas dan masuknya dengan mudah berbagai pengaruh

dari luar melalui bermacam sarana komunikasi modern dan mass media, mungkin

sekali merupakan faktor-faktor yang mendorong generasi muda untuk

membebaskan diri dari prinsip perkawinan yang tradisional itu. Tetapi meskipun

demikian, masih cukup banyak juga orang tua yang cenderung untuk

mengkawinkan anak mereka dengan yang semarga, agar hubungan kekerabatan

antara mereka tetap terpelihara keeratannya seperti yang dikehendaki oleh adat

(15)

Satu diantara kegiatan yang khas pada upacara perkawinan di Tapanuli

Selatan adalah Mangaririt Boru. Yang dimaksud dengan Mangaririt Boru adalah

tahapan meresek boru yang akan dipinang, dengan maksud mengetahui apakah

boru itu telah dipinang oleh orang lain atau belum. Yang pergi untuk melakukan

Mangaririt Boru ini adalah anak boru dari pihak laki-laki.

Pada tradisi perkawinan di Tapanuli Selatan zaman dahulu yang juga

dikenal dengan istilah Upacara Mengantar Tanda. Mengantar Tanda adalah

pihak laki-laki menyerahkan kepada pihak wanita tanda sebagai ikatan dan wanita

pun memberikan tanda sebagai balasannya. Biasanya tanda yang diberikan terdiri

dari: sejumlah uang, emas, barang tekstil. Pihak wanita juga akan memberikan

tanda balasan dan jumlahnya sama (Lubis, 1998:173).

Upacara mengantar tanda juga terdapat pada tradisi upacara perkawinan di

Jepang. Menurut Situmorang dalam Dani (2005:20), menjelaskan bahwa

bukti-bukti janji perkawinan yang berasal dari calon pengantin laki-laki dan calon

pengantin perempuan disebut Yuuino. Benda pengikat dari bukti tersebut disebut

Yuinomono yang biasanya terdiri dari sejumlah uang, barang tekstil, beras, sake

dan lain-lain. Hal ini dipertegas lagi oleh Wibowo (2005:19), bahwa tata cara

untuk meresmikan kedua calon pengantin dalam masyarakat Jepang dimulai dari

Yuinoo. Yuinoo dibagi dua yaitu Yuinoohin dan Yuinookin. Pertukaran

barang-barang sebagai tanda pertunangan disebut Yuinoohin, sedangkan pemberian uang

sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon pengantin pria disebut dengan Yuinookin.

Sebagai balasan Yuinookin, pihak wanita akan memberikan setengah dari uang

(16)

Pada dasarnya tahapan-tahapan upacara perkawinan dalam masyarakat

Tapanuli Selatan dan masyarakat Jepang sama-sama memiliki tiga fase yaitu:

masa pra upacara perkawinan, upacara perkawinan, dan paska perkawinan.

Disamping mempunyai perbedaan dalam substansi kegiatan pada fase tersebut,

terdapat juga persamaan-persamaannya.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini akan

berusaha mengungkapkan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam upacara

perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan

melalui skripsi yang berjudul “Perbandingan Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang dan Masyarakat Tapanuli Selatan”.

1.2 Perumusan Masalah

Dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan terdapat

beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal perkawinan. Persamaan dan

perbedaan tersebut merupakan hal yang wajar dalam sebuah konsep

perbandingan.

Salah satu contoh persamaan adalah dalam hal bentuk perkawinan yang

berkaitan erat dengan bentuk keluarga. Kemudian dalam hal pertunangan,

masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan sama-sama melakukan

pertunangan dengan menyerahkan benda-benda berharga sebagai syarat untuk

melanjutkan ke jenjang perkawinan. Dalam masyarakat Jepang benda-benda

tersebut dapat berupa sejumlah uang, barang tekstil, beras, sake dan lain-lain.

(17)

Satu hal lagi, masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan

sama-sama melakukan tahapan upacara berdasarkan agama dan pemerintah/hukum.

Tetapi yang berbeda adalah masyarakat Tapanuli Selatan juga menggunakan adat

di dalam tahapan upacara perkawinan, sedangkan masyarakat Jepang tidak.

Untuk mengetahui bagaimana perbandingan upacara perkawinan tradisional

dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan akan dilihat dari

persamaan dan perbedaan upacara serta sistem perkawinannya. Dalam bentuk

pertanyaan permasalahannya adalah:

1. Apa saja tahapan upacara perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat

Tapanuli Selatan?

2. Apa saja persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan

tradisional dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Adanya persamaan dan perbedaan dalam upacara perkawinan dalam

masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan merupakan hal menarik,

karena Jepang dan Propinsi Tapanuli Selatan merupakan dua tempat yang

berjauhan. Namun tidak menutup kemungkinan adanya persamaan unsur

kebudayaan antara dua suku bangsa tersebut, terutama dalam tahapan upacara

perkawinannya. Dengan demikian ruang lingkup pembahasannya terbatas pada

persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan masyarakat Jepang dan

masyarakat Tapanuli Selatan serta unsur-unsur yang mempengaruhinya, yaitu

(18)

Dalam menguraikan tahapan upacara perkawinan, penulis akan

menggunakan beberapa konsep perkawinan dan kajian pranata perkawinan, juga

mengenai bentuk keluarga, makna perkawinan dan tahapan upacara perkawinan

pada kedua masyarakat tersebut.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan

dengan kehidupan biologisnya. Disamping itu perkawinan mempunyai beberapa

fungsi yaitu melanjutkan generasi keluarga, memenuhi hak dan kewajiban sebagai

suami istri, tentu juga memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok

kerabat tertentu (Koentjaraningrat, 1997:93).

Lebih lanjut Koentjaraningrat (1980:76), secara tegas menyatakan bahwa

perkawinan mempunyai dua arti biologis dan sosiologis. Dipandang dari sudut

biologis, perkawinan merupakan pengatur perilaku manusia yang berkaitan

dengan seksual. Sedangkan dari sudut sosiologis, perkawinan memiliki beberapa

fungsi yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan terhadap

anak. Selain itu perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup

dan memenuhi akan status dalam masyarakat.

Dengan menikah sepasang suami istri akan membentuk suatu kesatuan

sosial yang disebut rumah tangga, yaitu kesatuan yang mengurus ekonomi rumah

tangganya (Haviland, 1993:105). Selanjutnya William dalam Hendry

(19)

penyatuan seksual. Berdasarkan perjanjian perkawinan diuraikan hak dan

kewajiban pasangan dan masa depan anak-anak.

Di Jepang ada dua bentuk keluarga tradisional yaitu Kazoku dan Ie.Kazoku

adalah general konsep dalam keluarga Jepang yaitu hubungan antar suami-istri

dan hubungan antara orang tua dengan anak diperluas pada hubungan

persaudaraan. Keluarga tradisional Jepang cenderung merupakan keluarga besar.

Dalam melanjutkan kehidupan keluarga tradisional tidak lepas dari

pekerjaan-pekerjaan yang religius. Keluarga yang telah mempunyai usaha, tradisi,

simbol-simbol tertentu disebut dengan Ie. Jadi, yang dimaksud dengan Ie adalah keluarga

yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi dan telah mempunyai

tradisi tertentu (Situmorang, 2005:45).

Pada masyarakat tradisional Jepang, perkawinan yang sering terjadi adalah

Miai kekkon, yaitu perkawinan yang dijodohkan oleh pihak ketiga dengan tujuan

meneruskan keturunan sistem Ie. Pada masa sekarang Miai kekkon sudah jarang

terjadi yang digantikan oleh Ren’ai kekkon, yaitu perkawinan atas dasar cinta.

Sejak Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu sejak tahun

1970, menurut Sitomurang (2005:18-19), bentuk-bentuk perkawinan menjadi

beraneka ragam. Misalnya, perkawinan internasional, perkawinan tanpa melapor

ke catatan sipil, perkawinan pisah rumah dan sebagainya.

Tujuan perkawinan dalam masyarakat Jepang ada bermacam-macam. Pada

masyarakat tradisional, perkawinan bertujuan untuk meneruskan keturunan Ie

terutama bagi Shison (Putera pertama yang harus membawa istri ke dalam

keluarga suami untuk menghasilkan keturunan). Sedangkan pada masyarakat

(20)

rasa saling membutuhkan antara kedua pihak yang melaksanakan perkawinan

(Hendry, 1987:115).

Dari penjelasan di atas ada kesamaan dari tujuan perkawinan menurut

Koentjaraningrat, William dan Hendry yaitu perkawinan merupakan rencana

untuk melanjutkan generasi keluarga.

1.4.2 Kerangka Teori

Untuk membuktikan bahwa dalam sebuah perkawinan juga terdapat hal-hal

yang mengungkapkan konsep perbandingan yaitu persamaan dan perbedaan, maka

penulis akan menggunakan teori komparatif. Konsep perbandingan yang terdapat

dalam kebudayaan yaitu perkawinan akan dijadikan sebagai tanda untuk

diinterprestasikan dengan melihat perilaku dari masyarakat yang

melaksanakannya.

Teori komparatif yang mengelompokkan masyarakat-masyarakat yang sama

besarnya maupun sistem ekonominya, akan menganalisa bagaimana organisasi

masyarakat tersebut di susun. Teori ini juga memperhatikan urutan yang

sungguh-sungguh terjadi, bukan urutan-urutan imajiner yang di susun dari

masyarakat yang terpisah jauh. Ruang dan waktu adalah satu usaha untuk

membahas masalah-masalah penting dengan cara strategis yang bermanfaat

(Keesing, 1992:2).

Menurut Staruss (2000:12), ada beberapa teori yang dapat menjelaskan

penyebab adanya persamaan pada dua kebudayaan yang berbeda dalam ilmu

(21)

1. Teori Strukturalisme, menyatakan bahwa kebudayaan sebagai perwujudan

yang tampak dari struktur mental yang terpengaruh oleh lingkungan fisik

dan sosial kelompok maupun sejarahnya. Dengan demikian, dalam

kebudayaan banyak terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya

meskipun struktur proses berpikir manusia dianggap elementer. Oleh

karena itu, kebudayaan bersifat universal sehingga menyebabkan

kebudayaan itu dimana-mana sama.

2. Teori Difusianisme, menyatakan bahwa adanya persamaan unsur-unsur

kebudayaan pada berbagai tempat di muka bumi, sebagai akibat dari

hubungan antara bangsa pemilik kebudayaan yang bersangkutan dimasa

lampau.

Jadi, untuk memahami perkawinan secara perbandingan kita harus

melihatnya sebagai suatu hubungan yang legal, menentukan pihak-pihak yang

terlibat, hak-hak dan barang berharga apa saja yaitu tukarkan. Semua itu ditujukan

untuk siapa dibagi-bagikan, antara siapa dan kepentingan apa saja yang terdapat

pada individu maupun kelompok yang akan mendapatkan keuntungan dari

persetujuan kontrak yang seperti itu.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tahapan upacara perkawinan masyarakat Jepang dan

(22)

2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan

tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah:

1. Untuk menambah ilmu dan pengetahuan mengenai tata cara perkawinan

masyarakat Jepang dengan masyarakat Tapanuli Selatan bagi penulis

maupun bagi orang lain.

2. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi apabila ada penulis lain yang ingin

menulis masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi

masyarakat luas.

1.6 Metode Penelitian

Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Dalam

melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk menunjang

keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada para pembaca. Untuk

itu, dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif.

Menurut Koentjaraningrat (1976:30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu

memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu,

keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh

dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudian

(23)

Disamping itu, penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan. Studi

kepustakaan merupakan studi aktifitas yang sangat penting dalam penelitian yang

dilakukan. Beberapa aspek perlu dicari dan diteliti meliputi: masalah, teori,

konsep, dan penarikan kesimpulan (Nasution, 1946:14). Dengan kata lain studi

kepustakaan adalah pengumpulan dengan cara membaca buku-buku yang

berkaitan dengan penelitian ini. Data yang diperoleh dari referensi tersebut

kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan.

Teknik penelitian yang digunakan adalah meneliti data berupa buku-buku

yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Jadi teknik pengumpulan

data yang digunakan adalah library research. Selain itu penulis juga

memanfaatkan koleksi pribadi, dan berbagai informasi dari situs-situs internet

yang membahas tentang masalah yang akan dibahas untuk melengkapi data-data

(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT TAPANULI SELATAN

2.1 Perkawinan pada Masyarakat Jepang

Perkawinan di Jepang ada dua, yaitu berdasarkan agama dan

pemerintah/hukum. Sekarang ini di Jepang paling banyak pasangan pengantin

yang menikah di Gereja yaitu sekitar 60%, sedangkan di Kuil 40% dan di

tempat-tempat lain 10%.

Perkawinan dalam Bahasa Jepang disebut dengan istilah kekkon (結婚) atau

kon’in. Istilah kekkon terdiri dari dua karakter kanji yaitu ketsu (結) yang berarti

ikatan, dan kon (婚) yang berarti perkawinan. Sedangkan kon’in terdiri dari kon

yang berarti perkawinan dan in yang juga berarti perkawinan.

Masyarakat Jepang memiliki adat istiadat tentang perkawinan yang berbeda

dari negara lain. Perkawinan dan penyelenggaraan kehidupan berkeluarga di

Jepang di atur oleh sebuah sistem keluarga (Martha, 1995:2).

Pada umumnya perkawinan orang Jepang bersifat monogami, walaupun

pergundikan juga dilakukan dan keturunannya diakui dalam masyarakat, namun

dari segi pewarisan kekayaan maupun kedudukan dalam lingkungan sosial, status

mereka lebih rendah dari isteri sah dan anak-anaknya.

Usia perkawinan orang Jepang sejak Zaman Meiji berkisar pada usia 26-27

tahun bagi pria dan 23-24 tahun bagi wanita. Sampai tahun 20 showa (1945)

(25)

1945 itu, perbedaan umur suami isteri semakin dekat yaitu menjadi 3 tahun

bahkan hanya 2 tahun pada tahun 1975.

Penyebab tingginya usia perkawinan bagi wanita di Jepang menurut Martha

(1995:4) adalah meningkatnya pendidikan, kemajuan dalam pekerjaan, sifat bebas

dan mandiri serta kemajuan ilmu kedokteran.

Cara bagaimana calon suami atau calon isteri di pilih ada dua macam, yaitu

berdasarkan Miai ( (見合い) dipertemukan dalam konteks perkawinan memiliki

pengertian dijodohkan) dan Ren’ai ( (恋愛) cinta). Perkawinan yang terjadi

karena Miai disebut Miai kekkon (見合い結婚), sedangkan karena Ren’ai disebut

Ren’ai kekkon (恋愛結婚).

Miai kekkon terlaksana dengan cara orang tua dari seorang anak yang telah

dewasa, meminta bantuan perantara yang disebut Nakoodo (仲人) untuk

mempertemukan kedua belah pihak. Fungsi Nakoodo menurut Martha (1995:5)

adalah mengatur perkawinan, termasuk memperkenalkan pihak-pihak yang

berminat untuk mencari calon suami atau calon isteri. Namun lain halnya menurut

Wibowo (2005:18), Nakoodo adalah orang yang bertindak sebagai perantara pada

awal perundingan sebelum perkawinan, memimpin upacara perkawinan dan

mengurus hubungan yang berlangsung terus-menerus setelah perkawinan,

termasuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara pasangan itu.

Ren’ai kekkon yaitu perkawinan yang didasari oleh cinta, semakin banyak

terjadi terutama sejak zaman Meiji, dimana pemikiran-pemikiran barat banyak di

serap dalam segala aspek kehidupan orang Jepang, bahkan dewasa ini banyak

perkawinan yang berdasarkan cinta kasih dan didahului dengan pacaran. Dalam

(26)

63% di desa dan 90% di kota. Angka-angka itu termasuk pasangan yang

diperkenalkan oleh pihak ketiga, yaitu perantara, meskipun keputusan terakhir ada

pada mereka sendiri (Rahmadayani, 2005:25).

Hukum perkawinan Jepang didasari pada monogami dan secara legal

melindungi suatu perkawinan yang hanya merupakan penyatuan di antara seorang

pria dan seorang wanita yang terbentuk sesuai syarat-syarat hukum yang berlaku.

Di bawah undang-undang 1898, perkawinan di Jepang di atur secara

besar-besaran dalam satu Ie, yang dikontrol oleh seorang koshu (戸主). Jadi,

perkawinan menyangkut satu kelompok yang meninggalkan Ie-nya. Sebagai

seorang Yome (menantu perempuan) atau Muko (menantu laki-laki) untuk menjadi

bagian dari Ie yang lain. Supaya tercapai hal ini, maka persetujuan di antara kedua

kepala keluarga sangat diperlukan.

Sesuai ketentuan yang dituliskan dalam Undang-undang tahun 1947, yang

melindungi martabat individu dan kesamaan di antara pria dan wanita, maka Ie

dihapuskan dan juga ketidaksamaan antara suami-isteri dihapuskan.

Menurut Undang-undang perdata Jepang, perkawinan baru dianggap sah

jika dapat memenuhi syarat-syarat secara hukum, sebagai berikut:

1. Sesuai dengan Koseki Hoo (Registrasi Keluarga) diperlukan sebagai

pemberitahuan secara tertulis, seorang wakil dan dua orang dewasa

sebagai saksi dari masing-masing keluarga.

2. Kedua pihak harus menyetujui perkawinan ini. Perkawinan yang dilakukan

atas dasar paksaan dapat dibatalkan.

(27)

4. Kalau wanita yang telah bercerai melangsungkan perkawinan lagi,

sekurang-kurangya 6 bulan sejak keputusan perceraiannya dari perkawinan

yang terdahulu.

5. Perkawinan tidak boleh dengan dua orang isteri (bigami).

6. Perkawinan tidak boleh dilangsungkan dengan orang yang memiliki

hubungan darah dengan pasangannya.

7. Seseorang yang belum dewasa atau dibawah umur yang telah ditentukan,

harus memperoleh izin dari kedua orang tua mereka (Martha, 1995:19-20).

Setelah perkawinan terbentuk, kedua pasangan dipanggil dengan satu nama

keluarga. Berdasarkan pasal 75 Undang-undang perdata, Myooji (nama keluarga)

dapat dipakai dari nama suami atau nama isteri. Namun demikian, 98,9% isteri di

Jepang mengubah nama keluarganya dengan nama keluarga suaminya atau

dengan kata lain pihak wanita ikut pihak keluarga pria.

2.1.1 Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Jepang

A. Bentuk Keluarga

Menurut Situmorang (2006:22) Kazoku adalah general konsep tentang

keluarga dalam masyarakat Jepang. Dalam konsep umum yang dimaksud dengan

Kazoku adalah hubungan suami isteri, hubungan orang tua dan anak, dan akhirnya

diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat

tersebut dan struktur keluarga berbeda pada masing-masing masyarakat budaya.

Dasar dari Kazoku adalah pernikahan. Dengan adanya pernikahan

melahirkan hubungan darah dan hubungan bukan darah. Hubungan darah dapat

(28)

hubungan antara kakek, ayah, diri sendiri, anak dan cucu. Sedangkan hubungan

horizontal maksudnya hubungan antara diri sendiri dengan saudara laki-laki atau

saudara perempuan atau juga dengan sepupu. Dengan adanya pernikahan ini pula

melahirkan hubungan keluarga Inzoku, yaitu pihak keluarga isteri. Memang tidak

ada hubungan darah dengan diri sendiri tetapi ada hubungan keluarga melalui

pernikahan.

Hubungan keluarga yang dibentuk atas hubungan darah secara langsung

seperti hubungan vertikal dan hubungan horizontal tersebut di atas disebut Shinru,

sedangkan hubungan dengan sepupu atau kemenakan disebut Enru dan hubungan

keluarga melalui pernikahan disebut Enja.

Lebih lanjut Situmorang (2006:22) mengatakan jenis-jenis Kazoku adalah

keluarga inti (nuclear family), keluarga poligami (polygami family), dan keluarga

luas (extende family).

Jadi yang dimaksud dengan Kazoku adalah kelompok yang terkecil yang

terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah. Adapun dasar

pembentukannya adalah hubungan suami isteri.

Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan

komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan, dari Kazoku inilah

akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie.

B. Ie

Menurut kamus besar Bahasa Jepang, Ie adalah bangunan tempat tinggal

(29)

sebagai alat memasak yang biasanya diletakkan ditengah-tengah rumah dan

tungku ini merupakan simbol tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk

makan bersama-sama.

Menurut Kizaemon dalam Situmorang (2000:46-47), Ie adalah suatu jenis

keluarga khas Jepang yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi,

meliputi anggota yang masih hidup dan mati. Di dalam keluarga tersebut

diusahakan melanjutkan simbol-simbol keluarga dan menjalankan usaha keluarga.

Di samping itu ada pendapat yang dikemukakan oleh Nakane dalam Oktarina

(2002:7), bahwa Ie dapat dikatakan sebagai kelompok yang tinggal bersama di

bawah satu atap dan makan dari makanan yang di masak dari dandang yang sama.

Keluarga Ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti satu garis

keturunan ayah. Perbedaan yang paling utama antara Kazoku dengan keluarga Ie

adalah bahwa Kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau isteri atau

karena perceraian, jadi keberadaan Kazoku adalah satu generasi. Sedangkan Ie

terbentuk minimal dua generasi, karenanya Ie tidak hancur karena perceraian atau

meninggalnya salah satu pihak suami atau isteri dalam keluarga tersebut

(Situmorang, 2006:22).

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa Ie bukan hanya adanya ikatan tali

darah saja tetapi lebih ditekankan kepada kelompok yang menyelenggarakan

kehidupan bersama, baik dalam sosial maupun ekonomi. Ie juga tidak mengacu

kepada anggota keluarga yang masih hidup, tetapi leluhur atau nenek moyang

mereka juga merupakan suatu kesatuan yang mengikat antara masa lalu mereka

(30)

berkesinambungan antara orang-orang yang masih hidup dengan para leluhur

mereka.

Dalam sebuah Ie, adanya perkawinan tidak dengan sendirinya akan

membentuk Ie baru tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru yaitu

pengantin perempuan ke dalam sebuah keluarga lain yaitu keluarga suami

(Dilla,2004:16).

Selanjutnya Dilla (2004:16) juga menjelaskan keluarga tradisional Jepang

biasanya terdiri dari tiga generasi, yaitu anak yang akan mewarisi Ie, orang tua,

serta kakek dan nenek yang semuanya hidup di bawah naungan atap yang sama

dan menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi bersama-sama.

Apabila keluarga Ie tidak mempunyai anak yang dapat meneruskan

kesinambungan Ie, maka Ie dapat dilanjutkan oleh orang-orang yang bekerja

(hokonin) di dalam Ie yang telah dipercaya walaupun tidak mempunyai hubungan

darah dengan kepala keluarga.

Dilla (2004:18) juga menerangkan bahwa dalam struktur sosial Ie, yang

memegang kekuasaan terbesar adalah ayah sebagai kepala keluarga (kacho).

Kepala keluarga memegang peranan penting dalam penyelenggaraan kehidupan.

Oleh karena itu, ayah haruslah dihormati dan ditaati oleh anggota keluarganya.

Anggota-anggota keluarga yang lain harus menjalankan tugas masing-masing di

bawah pengawasan kepala keluarga.

2.1.2 Makna Perkawinan Pada Masyarakat Jepang

(31)

masyarakat Jepang adalah hubungan darah dan hubungan bukan darah. Hubungan

darah dapat dibagi atas hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal

misalnya hubungan antara kakek, ayah, diri sendiri, anak dan cucu, sedangkan

hubungan horizontal maksudnya hubungan antara diri sendiri dengan saudara

laki-laki atau saudara perempuan atau juga dengan sepupu. Dengan adanya pernikahan

ini pula melahirkan hubungan keluarga Inzoku, yaitu pihak keluarga isteri.

Memang tidak ada hubungan darah dengan diri sendiri tetapi ada hubungan

keluarga melalui pernikahan. Hubungan keluarga yang dibentuk atas hubungan

darah secara langsung seperti hubungan vertikal dan horizontal tersebut di atas

disebut Shinru. Sedangkan hubungan dengan sepupu atau kemenakan disebut

Enru dan hubungan keluarga melalui pernikahan disebut Enja.

Dalam sebuah Ie, pernikahan tidak dengan sendirinya membentuk Ie baru

tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru yaitu pengantin perempuan ke

dalam sebuah keluarga lain, yaitu keluarga suami. Bentuk ini jelas dalam Fokogu

kazoku atau keluarga besar yang kompleks. Pada keluarga ini baik Ji-sannan atau

anak laki-laki kedua, ketiga dan seterusnya maupun Kokonin (pembantu) akan

tetap berada di bawah naungan atap yang sama. Mereka tetap merupakan bagian

dari Ie, hidup dan bekerja bersama-sama dengan Kacho termasuk di dalam

perhitungan anggaran belanja Ie yang bersangkutan (Martha,1995:25).

Dari ulasan di atas dapat dikemukakan bahwa perkawinan bagi masyarakat

Jepang disamping sebagai pengukuhan hak dan kewajiban sebagai suami isteri,

perkawinan juga bermakna sebagai sarana dalam pelestarian keluarga tradisional

(32)

2.1.3 Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang

Setelah pasangan calon pengantin memutuskan untuk meneruskan hubungan

mereka ke jenjang perkawinan, maka rangkaian acara mulai dari pertukaran

barang pertunangan, upacara perkawinan dan resepsi perkawinan diselenggarakan.

Puncaknya adalah upacara perkawinan.

Tahapan pertama adalah peresmian atau pemberitahuan pertunangan yang

disebut dengan Yuinoo. Yuinoo dibagi dua yaitu Yuinoohin dan Yuinookin.

Pertukaran barang-barang pemberian sebagai tanda pertunangan disebut dengan

Yuinoohin. Sedangkan pemberian uang sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon

pengantin pria disebut dengan Yuinookin. Sebagai balasan Yuinookin, pihak

wanita akan memberikan setengah dari uang yang diterimanya.

Setelah tercapai kesepakatan di antara kedua calon pengantin, maka pihak

pria akan mengirimkan pemberian-pemberian sebagai hadiah tanda persetujuan

dari pihak wanita. Untuk mendengar kabar ini, maka diundanglah sanak

saudaranya. Istilah ini disebut dengan Kimecha (決め茶) yaitu pemberian berupa

teh kepada sanak saudaranya.

Dalam merayakan pertunangan ini juga diberikan Kugicha (釘茶), yaitu

sejenis arak Jepang dan ikan tai (sejenis ikan kakap) kepada undangan yang

datang.

Setelah Kimecha, maka akan dilakukan penentuan hari perkawinan. Seorang

Nakoodo akan merundingkan dengan pihak wanita tentang penentuan waktu yang

baik untuk pelaksanaan resepsi upacara perkawinan. Waktu yang baik artinya hari

(33)

berkonsultasi dengan seorang Ogamiyasan yang dapat memberikan nasihat

tentang hal tersebut. Buku petunjuk tentang perkawinan juga digunakan untuk

memberikan keterangan praktis seperti menghindari dari hari-hari menstruasi

pengantin wanita dan pada musim panas, karena akan menyusahkan untuk

berdandan. Biasanya hari Minggu banyak dipilih sebagai hari yang baik bagi

upacara dan resepsi perkawinan karena banyak para tamu yang bekerja pada

hari-hari biasa. Sekitar bulan September-November pada musim gugur (aki) banyak

yang melangsungkan resepsi perkawinan.

Jika hari perkawinan sudah ditetapkan, maka akan dilakukan Honcha (本茶)

yaitu pemberian hadiah pertunangan utama dari rumah calon pengantin pria ke

rumah calon pengantin wanita. Pemberian tersebut bisa berupa Kimono (着物)

dan aksesorisnya atau sejumlah uang. Pemberian lain adalah satu cincin

pertunangan.

2.2Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan

Perkawinan di Tapanuli Selatan sampai sekarang yang dipandang ideal ialah

perkawinan menurut adat (perkawinan yang dilaksanakan menurut adat) dan

norma-norma agama. Tentang tingkat kedewasaan untuk dapat melangsungkan

perkawinan yang bersangkutan harus sudah dewasa. Namun demikian pada masa

lalu telah ada pertunangan masa kecil sesuai dengan adat. Pertunangan semasa

kecil ini pada umumnya terjadi di antara orang yang berfamili (antara pihak Mora

dengan pihak Anak Boru). Dan satu hal bahwa, perkawinan secara paksa pada

(34)

Biasanya setelah pasangan calon pengantin sudah dinikahkan berdasarkan

agama Islam dan sudah mendaftarkan diri ke kantor urusan agama, maka

dilanjutkan lagi perkawinan menurut adat.

Koentjaraningrat (1980:90) mengemukakan bahwa “dipandang dari sudut

kebudayaan manusia, maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia

yang bersangkut paut dengan kehidupan seks-nya. Karena menurut pengertian

masyarakat, perkawinan menyebabkan seorang laki-laki tidak boleh melakukan

hubungan seks dengan sembarang wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau

beberapa wanita tertentu dalam masyarakat, yaitu wanita yang sudah disahkan

sebagai isterinya.” Ia kemukakan pula bahwa perkawinan mempunyai beberapa

fungsi lain. Diantaranya ialah untuk memenuhi kebutuhan manusia akan teman

hidup, harta, gengsi dalam masyarakat dan untuk memberi ketentuan hak dan

kewajiban serta perlindungan kepada hasil dari perkawinan (anak).

Pemeliharaan hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat yang

tertentu sering pula menjadi alasan bagi perkawinan. Alasan yang demikian ini

cukup penting bagi masyarakat Tapanuli Selatan, sehingga sampai kini

perkawinan antara anggota kelompok kerabat Anak Boru dengan anggota

kelompok kerabat Mora masih agak sering terjadi dan masih dipandang sebagai

perkawinan preferensi (Lubis, 1998:166).

Preferensi perkawinan (marriage preference) dalam masyarakat Tapanuli

Selatan ialah perkawinan antara seorang pemuda dengan Boru Tulang-nya atau

anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya. Atau perkawinan antara seorang

(35)

Selatan berlaku perkawinan cross-cousin atau perkawinan antara saudara sepupu.

Tetapi karena kaidah adat tidak memperbolehkan seorang pemuda kawin dengan

Boru Namboru-nya atau anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya

(meskipun keduanya berlainan marga), maka yang berlaku dalam masyarakat

Tapanuli Selatan ialah perkawinan cross-cousin yang a-simetris atau perkawinan

antara saudara sepupu yang sepihak saja.

Pada masa belakangan ini generasi muda masyarakat Tapanuli Selatan

sudah tidak begitu terikat lagi oleh preferensi perkawinan seperti yang

dikemukakan di atas. Generasi muda sudah cenderung untuk dibebaskan memilih

sendiri jodoh yang mereka sukai. Kemajuan pendidikan, keadaan pergaulan

muda-mudi yang sudah cukup bebas dan masuknya dengan mudah berbagai pengaruh

dari luar melalui bermacam sarana komunikasi modern dan mass media, mungkin

sekali merupakan faktor-faktor yang mendorong generasi muda untuk

membebaskan diri dari preferensi perkawinan yang tradisional itu.

Tetapi meskipun demikian, di pihak lain masih cukup banyak orang tua

yang cenderung untuk mengawinkan anak mereka yang laki-laki dengan Boru

Tulang-nya atau mengawinkan anak perempuan mereka dengan Anak Namboru

-nya, agar hubungan kekerabatan antara pihak-pihak mereka yang bersangkutan

(pihak Anak Boru dan pihak Mora) tetap terpelihara ke-eratannya seperti yang

dikehendaki oleh adat (Lubis, 1998:167-168).

Kaidah adat masyarakat Tapanuli Selatan melarang pula seseorang kawin

dengan:

1) Saudaranya yang seibu-sebapak, saudaranya yang se-ibu lain bapak dan

(36)

2) Saudara dari ibu kandungnya kalau ibu kandungnya masih hidup,

3) Saudara kandung dari isterinya kalau isterinya masih hidup,

4) Anak dari saudaranya yang perempuan,

5) Anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya.

Kaidah adat masyarakat Tapanuli Selatan tidak melarang poligami, tetapi

sama sekali tidak memperbolehkan poliandri.

2.2.1 Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Tapanuli Selatan

Bentuk keluarga di Tapanuli Selatan erat kaitannya dengan sistem

kemasyarakatan. Sistem kemasyarakatan suatu masyarakat akan mencakup hal-hal

yang berkaitan dengan sistem kekerabatan, prinsip-prinsip keturunan,

istilah-istilah kekerabatan, stratifikasi sosial, aktifitas-aktifitas sosial dan sebagainya.

Dalam masyarakat Tapanuli Selatan Marga merupakan suatu bentuk

kelompok kekerabatan (kin group) yang para anggotanya adalah keturunan dari

seorang kakek bersama; oleh karena itu pada hakekatnya para anggota suatu

marga satu sama lain terikat oleh pertalian atau hubungan darah (blood-ties).

Masing-masing marga dalam masyarakat Tapanuli Selatan mempunyai namanya

sendiri. Nama-nama marga antara lain ialah Siregar, Pane, Harahap, dan

Hutasuhut. Karena nama dari suatu marga merupakan bahagian yang inheren dari

marga yang bersangkutan, maka sudah lazim nama marga diidentikkan orang

dengan marga. Misalnya Siregar dipandang sebagai suatu marga, bukan sebagai

nama dari suatu marga.

(37)

ialah Baringin dan nama marganya ialah Siregar. Karena nama marganya itu

dipakainya sebagai nama pelengkap dirinya, maka ia dikenal sebagai orang yang

bernama Baringin Siregar.

Dengan mengetahui kebiasaan yang demikian itu, dapat pula diketahui

bahwa orang-orang Tapanuli Selatan yang memakai nama marga yang sama

sebagai pelengkap nama diri masing-masing merupakan anggota dari satu marga.

Dengan kata lain mereka semua adalah orang-orang yang semarga atau keturunan

dari seorang kakek bersama (Lubis, 1998:133).

Marga merupakan klen besar dan Kahanggi merupakan klen kecil atau sub

kelompok marga. Dalam hubungan ini Koentjaraningrat (1980:119)

mengemukakan bahwa “klen kecil merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri

dari segabungan keluarga luas yang merasakan diri berasal dari seorang nenek

moyang, dan satu dengan lain terikat melalui garis-garis keturunan laki-laki saja

ialah patrilineal, atau melalui garis keturunan wanita saja disebut matrilineal”.

Dalam masyarakat Tapanuli Selatan suatu keluarga luas yang merasakan diri

berasal dari seorang nenek moyang (kakek bersama) dan merupakan bahagian dari

suatu klen kecil atau Kahanggi disebut Saparompuan (se-kakek).

Selain membentuk kelompok kekerabatan berdasarkan pertalian darah

dengan garis keturunan patrilineal, yakni kelompok kekerabatan berupa klen besar

yang dinamakan marga, masyarakat Tapanuli Selatan juga membentuk berbagai

kelompok kekerabatan affiniti (kelompok kekerabatan berdasarkan hubungan

perkawinan). Berdasarkan statusnya dalam hubungan perkawinan, dalam

(38)

affiniti. Masing-masing ialah yang disebut Mora, Anak Boru, Mora ni mora dan

Pisang Raut.

Kelompok kekerabatan affiniti yang disebut Mora merupakan kelompok

kekerabatan yang berstatus sebagai pemberi anak gadis (bride giver) dalam

hubungan perkawinan. Yang disebut Anak Boru merupakan kelompok

kekerabatan yang berstatus sebagai penerima anak gadis (bride receiver) dari

Mora. Yang disebut Mora ni mora ialah kelompok kekerabatan affiniti yang

berstatus sebagai pemberi anak gadis bagi suatu kelompok kekerabatan yang

berstatus sebagai Mora. Dan yang disebut Pisang Raut ialah kelompok

kekerabatan affiniti yang berstatus sebagai penerima anak gadis dari kelompok

kekerabatan yang berstatus sebagai Anak Boru. Pada hakekatnya Mora dan Mora

ni mora mempunyai status yang serupa sebagai pemberi anak gadis. Demikian

pula Anak Boru dan Pisang Raut sama-sama punya status sebagai penerima anak

gadis (Lubis, 1998:134).

Bentuk keluarga inti masyarakat Tapanuli Selatan pada umumnya

mempunyai kesamaan dari berbagai sub etnis. Adapun bentuk dari keluarga inti

terdiri dari seorang suami, isteri dan anak-anak.

Disamping keluarga lengkap, terdapat pula keluarga tidak lengkap. Seorang

isteri berpisah dengan suaminya karena bercerai atau kematian. Pada keluarga

seperti ini, isteri mempunyai kedudukan ganda yaitu sebagai kepala keluarga dan

ibu rumah tangga.

Dalam keluarga inti lengkap, suami berkedudukan sebagai kepala keluarga

(39)

anggota keluarga. Isteri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Tugas dan

tanggung jawabnya adalah mengurus pekerjaan dapur dan menyiapkan makan

sehari-hari. Disamping itu seorang ibu juga dituntut mampu mendidik anak-anak

dan memberikan kasih sayang.

2.2.2 Makna Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan

Dalam masyarakat Tapanuli Selatan, perkawinan tidak hanya sebagai sarana

untuk kebutuhan biologis, tetapi juga tidak terlepas dari keyakinan bahwa

perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan religius dimana perkawinan

merupakan perintah Tuhan.

Bagi masyarakat Tapanuli Selatan yang beragama Islam, perkawinan adalah

suatu ibadah. Dimana dalam agama Islam, perkawinan akan menghalalkan

hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Hasil hubungan tersebut akan

melahirkan keturunan yang sah.

Sudah jelas bahwa makna perkawinan bagi masyarakat Tapanuli Selatan

adalah melaksanakan perintah agama untuk meneruskan keturunan yang sah.

Dalam perkawinan akan terbentuklah sebuah keluarga dimana akan terlihat

bagaimana tanggung jawab seorang suami terhadap isteri dan anak-anaknya dan

sebaliknya. Perkawinan juga dapat membina sifat kasih sayang dan saling

menghormati satu sama lain.

2.2.3 Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan

Dalam adat istiadat orang Tapanuli Selatan, menentukan pasangan adalah

(40)

yang dilakukan untuk mendapatkan hasil di dalam menentukan pasangan hidup.

Yang jelas, apabila lamaran diterima oleh pihak perempuan, maka akan dilakukan

acara pertunangan sekaligus antar tanda. Pada acara pertunangan ini juga akan

dibicarakan tentang hari yang baik untuk melangsungkan hari resepsi perkawinan.

Sehari sebelum upacara perkawinan, kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan

adalah pengucapan Ijab Qabul atau aqad nikah. Acara ini biasanya dilakukan pada

pagi hari. Tetapi ada juga yang melakukan acara aqad nikah di gabung dengan

acara resepsi. Pagi melakukan aqad nikah dan siang acara resepsi perkawinan.

Semua itu tergantung dengan keputusan dari kedua belah pihak yang ingin

(41)

BAB III

PERBANDINGAN TAHAPAN UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT TAPANULI SELATAN

3.1Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang 3.1.1Sebelum Upacara Perkawinan

Perkawinan selalu berdasarkan pada Gishiki (儀式), sebagai cara untuk

mengumumkan kepada masyarakat. Ada bermacam-macam upacara perkawinan

di Jepang. Kemudian juga diselenggarakan resepsi. Resepsi biasanya dalam

bentuk jamuan makan. Dalam hal ini tamu-tamu yang di undang dianggap sebagai

saksi, yaitu orang-orang yang mengakui perkawinan itu.

Di Jepang perkawinan selain didasarkan atas hukum perkawinan yang

berlaku, juga diselenggarakan dengan upacara tradisional yang masih berlaku

dalam masyarakat. Hal ini juga ditegaskan oleh Aoyama Michio:

“Prinsip Hooritsukon sejak awal zaman Meiji tidak akrab dengan kebiasaan

rakyat. Sejak zaman feodal diubahnya Gishikikon dengan Hooritsukon sebagai

kebiasaan rutin merupakan hal yang sangat sulit”.

Tahapan upacara dari beberapa jenis perkawinan di Jepang hampir sama.

Perbedaannya hanya pada latar belakang dan altar yang digunakan, dan

mempunyai tahapan-tahapan yang kompleks di dalam pelaksanaannya.

Ada dua cara dalam menentukan pasangan yang akan dinikahi dalam

masyarakat Jepang, yaitu dengan Ren’ai atau saling cinta dan Miai atau

dijodohkan. Sedangkan perkawinan yang terjadi karena didasari oleh saling cinta

(42)

Ada dua istilah yang umum digunakan dalam bahasa Jepang untuk

mengartikan “cinta” adalah Ren’ai (恋愛) dan Aijou (愛情), dimana keduanya

memiliki unsur yang sama yaitu Ai (愛). Konsep “cinta” dalam pengertian yang

luas, meliputi cinta di antara orang tua dan anak, antara teman, manusia dengan

hewan, dan lain-lain.

Perkawinan yang didasari oleh cinta (Ren’ai kekkon) bagi masyarakat

Jepang adalah sangat menarik karena cinta merupakan landasan yang kuat dalam

suatu perkawinan. Terutama ini sangat menarik hati para gadis; seperti yang

diungkapkan oleh Kamishima Jiroo dalam bukunya “Nihonjin Ni Kekkon”.

“Wanita terpesona dalam impian dan lamunan tentang seorang pria yang

menjadi kekasihnya; yang rela mati untuk wanita, bekerja demi wanita, berperang

demi wanita, bekerja demi wanita karena cinta yang abadi; seperti yang

dinyatakan dalam drama, puisi dan novel. Para wanita ini kemudian akan

menikah. Tanpa adanya cinta, perkawinan tidak ada……….”

Selain Ren’ai, ada yang dinamakan dengan Miai. Miai dalam pengertian

yang luas adalah mempertemukan orang-orang yang bersangkutan untuk tujuan

tertentu; sedangkan dalam pengertian yang sempit menurut Situmorang (2005:18),

adalah perkawinan yang dijodohkan atau terjadi karena bantuan seorang

perantara mempertemukan kedua calon pengantin.

Pendapat di atas dipertegas oleh Martha (1995:25) bahwa Miai (見合い) itu

sendiri secara harfiah berarti “saling melihat”, dimana pertemuan resmi, melaui

perkenalan yang diatur oleh Nakoodo (perantara) antara seorang pria dan seorang

(43)

Miai selain diadakan di restaurant, bioskop, tempat pertunjukkan biasanya

juga dilakukan di rumah calon pengantin wanita. Melalui Miai, yang di lihat

bukan hanya kecantikan fisik saja, melainkan juga pembawaan diri dan tingkah

laku.

Salah satu cara dari Miai adalah Kagemi (影見), artinya adalah “melihat dan

bersembunyi” dimana seorang Nakoodo sering membawa seorang laki-laki untuk

memandang sekilas seorang gadis, kemudian laki-laki tersebut akan memikirkan

sejenak sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pendekatan langsung

kepada wanita tersebut.

Berbicara mengenai Nakoodo, banyak pengertian yang diberikan oleh para

ahli kejepangan tentang itu. Namun definisi umum yang sering dipakai adalah

perantara yang berperan dalam proses perkawinan, biasanya terdiri dari sepasang

suami-isteri. Tugasnya adalah memperkenalkan pihak-pihak yang berminat untuk

mencari pasangan hidup, bertindak sebagai perantara pada awal perundingan,

memimpin upacara perkawinan dan mengurus hubungan baik yang berkelanjutan

dengan pasangan yang telah menikah bahkan turut serta dalam pemecahan

permasalahan yang dapat terjadi antara suami-isteri.

Apabila pasangan sepakat untuk meneruskan hubungan mereka sampai ke

jenjang perkawinan, maka akan dimulailah tahapan-tahapan acara untuk

melangkah ke arah tersebut, dimana upacara perkawinan adalah puncaknya.

Tahapan pertama adalah peresmian atau pemberitahuan pertunangan pasangan

tersebut yang disebut dengan Yuinoo. Dalam acara itu akan dilakukan pertukaran

(44)

dan sebaliknya pihak wanita juga memberikan tanda kepada pihak pria yang

disebut Yuinoohi.

Biasanya barang-barang Yuinookin adalah pemberian uang sebanyak dua

atau tiga bulan gaji calon pengantin pria, sebagai balasannya pihak wanita akan

memberikan lagi setengah uang yang diterimanya. Kemudian barang-barang

Yuinoohi terdiri dari Mokuroku (目録), Naga-noshi (長野市), Kimpozutsumi

(着ん歩ずつ見) yang terdiri dari On obiryoo (恩帯慮尾) atau Oh hakamaryoo

(はかま慮お), Suehiro (末広), Tomoshiraga (友も白髪), Konbu (昆布), Surume

(するめ), Yanagidaru (柳ダル), Katsuobushi (鰹節).

Setelah tercapai kesepakatan di antara kedua calon pengantin, maka pihak

pria segera mengirimkan pemberian-pemberian sebagai hadiah, tanda persetujuan

dari pihak wanita. Kemudian mereka mengundang sanak saudaranya untuk

mendengar kabar baik ini. Istilah ini disebut dengan Kimecha (決め茶) yaitu

pemberian berupa teh kepada sanak saudaranya. Dalam merayakan pertunangan

ini juga diberikan Kugicha (釘茶), yaitu sejenis arak Jepang dan ikan tai (sejenis

ikan kakap) kepada undangan yang datang. Arti dari hadiah-hadiah ini ditemukan

dalam nama-namanya: satu botol sake bertuliskan Ishoo (一歩), yang berarti ‘satu

kehidupan’ ; seekor ikan tai (タイ) memberikan pengertian yang mengacu pada

Ichidai (一台) yang berarti ‘satu generasi’. Jadi keduanya Ishoo dan Ichidai

melambangkan kehidupan bersama yang dimulai dalam peristiwa ini.

Setelah jarak waktu seminggu acara Kimecha atau Kugicha, maka Nakoodo

(45)

mempunyai keberuntungan yaitu keuntungan terbesar dalam siklus enam hari

untuk satu perkawinan. Untuk tujuan ini, penduduk di daerah tertentu selalu

berkonsultasi dengan seorang Ogamiyasan yang dapat memberikan nasehat

tentang hal tersebut. Buku petunjuk tentang perkawinan digunakan untuk

memberikan keterangan praktis seperti menghindari dari hal-hal menstruasi

pengantin wanita dan pada musim panas, karena akan menyusahkan berdandan.

Kemudian banyak tamu yang bekerja pada hari-hari biasa, maka hari Minggu

banyak dipilih. Jadi, pada hari Minggu dai’an pada musim gugur (aki), yaitu

sekitar bulan September-November banyak dilangsungkan resepsi perkawinan.

Keputusan-keputusan selanjutnya yang harus di buat, yaitu mengenai

pemberian-pemberian lain yang akan di tukar dan tentang jenis perkawinan,

apakah secara tradisional atau secara modern dan lain-lain. Nakoodo berkewajiban

mengkoordinasikan kepada kedua keluarga.

Jika hari perkawinan telah ditetapkan maka akan dipilih hari baik untuk

melangsungkan acara pemberian hadiah pertunangan utama dari rumah pengantin

pria ke rumah pengantin wanita. Perundingan bersama harus dilakukan setiap

akan menetapkan suatu keputusan terutama tentang pemberian selanjutnya yang

akan diberikan. Pemberian itu berupa kimono dan aksesorisnya atau sejumlah

uang, namun ada juga yang memberikan sebentuk cincin pertunangan yang mahal.

Hocha di kirim beberapa hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan,

ditempatkan di atas nampan atau baki kayu berkaki pendek, yang diletakkan di

dua sudut dari ruangan yang besar. Ada baki tempat teh, dimana teh hijau yang

telah di bungkus dengan indah dalam kotak silinder di tumpuk ke atas menjadi

(46)

upacara perkawinan paket-paket silinder ini akan dibagikan kepada sanak saudara

dan tetangga.

Pada hari-hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan, sejumlah hadiah

berupa uang akan diberikan oleh sanak saudara dan para tetangga kepada kedua

pihak yang bersangkutan yang disebut Hanamuke. Jumlahnya sama banyak untuk

pihak pria dan wanita dimana besar jumlahnya bergantung pada erat tidaknya

hubungan sosial di antara mereka.

Wakare (別れ) adalah acara perpisahan yang diselenggarakan oleh calon

pengantin wanita untuk teman-temannya, sanak saudaranya atau tetangganya.

Biasanya dilakukan setelah pemberian Yuinoo dan sebelum barang-barang

keperluan rumah tangga di kirim. Pada saat itu para tamu bisa menikmati sake

sambil mendengar lagu-lagu yang dinyanyikan.

Wakare ada yang dilangsungkan hanya satu kali. Pihak wanita akan

menyewa satu ruangan pada salah satu rumah makan tertentu sebagai tempat

menerima para undangan. Calon pengantin wanita akan mengajak para undangan

untuk melihat Yuinoohin dan perabotan rumahnya sebelum mereka pergi ke

rumah makan. Acara ini disebut Ochami (お茶見), dimana teh merupakan

Yuinoohin. Selain itu ada juga yang melakukan Wakare sehari sebelum resepsi

perkawinan yang merupakan perpisahan terakhir dengan sanak saudara.

Perabotan rumah tangga yang di bawa oleh pengantin wanita ke rumah

barunya, disebut Choodohin (著小戸品). Barang-barang ini dianggap sebagai

bagian dari harta rumah tangga, dapat disamakan dengan mas kawin. Di beberapa

(47)

menyimpannya. Barang-barang lain biasanya adalah satu meja hias dengan cermin

panjang dihiasi dengan sutera berwarna merah yang bergambar burung merak dan

cemara, tempat tidur, peralatan dapur dan barang-barang elektronik seperti mesin

cuci dan lemari es atau televisi.

Pasangan baru biasanya diberikan satu ruangan tersendiri dalam rumah

pihak suaminya. Barang-barang perabotan rumah tangga akan di kirim sehari atau

dua hari sebelum hari perkawinan, jika pasangan itu akan tinggal bersama orang

tua mereka. Tetapi jika mereka membangun rumah sendiri, mereka akan

menerima kiriman perabotan rumah tangga setelah mereka kembali dari bulan

madu.

Sebelum upacara perkawinan diselenggarakan, maka pasangan pengantin

tersebut akan mendaftarkan diri mereka ke kantor catatan sipil setempat untuk

mendapatkan pengakuan yang sah berdasarkan hukum yang berlaku. Pendaftaran

kira-kira sampai dua puluh hari sebelum upacara berlangsung.

3.1.2Upacara Perkawinan

Pada pagi hari saat upacara perkawinan akan berlangsung, pihak wanita

sudah menyiapkan diri sedemikian rupa. Seorang juru rias sudah di pesan untuk

hari itu dan akan menolong pengantin wanita untuk berdandan dan menata

rambutnya. Beberapa gadis memutuskan untuk tidak menggunakan pakaian

tradisional dan memilih untuk memakai pakaian pengantin barat yang berwarna

putih. Kimono tradisional digunakan saat upacara berlangsung. Tetapi dalam

resepsi yang diadakan setelah upacara, mereka akan mengganti kimono tersebut

(48)

(色直し). Di beberapa daerah tertentu, pengantin wanita akan memakai kimono

putih pada hari pertama dan kedua perkawinannya, kemudian menggantinya

dengan kimono berwarna cerah pada hari ketiga.

Pakaian pengantin utama disebut Uchikake (内掛け). Di bagian dalam dari

Uchikake ini, pengantin wanita akan memakai kimono putih yang menandakan

kesucian. Pengertian dari kimono putih ini yaitu pengantin wanita akan

melupakan kehidupan lamanya dan bersiap untuk mewarnai dirinya dengan cara

apapun sesuai dengan keinginan disebut Tsunokakushi (角隠し).

Selain gaun pengantin barat yang digunakan sebagai Ironaoshi, kimono

yang berwarna-warni juga sering dipilih para wanita Jepang. Biasanya bercorak

indah berwarna terang, seperti merah atau jingga sesuai suasana bahagia. Penutup

kepala biasanya terbuat dari kulit kura-kura tiruan. Biasanya pengantin wanita

menyelipkan sebuah kipas pada kimononya. Pengantin pria memakai pakaian

tradisional untuk upacara perkawinannya kemudian akan menggantinya dengan

jas barat ketika pengantin wanita juga mengganti kimononya. Pakaian resmi

pengantin pria untuk upacara yang ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 1877

adalah jas hitam khususnya upacara perkawinan.

Setelah pengantin wanita berhias dan berpakaian, ia akan duduk untuk

sarapan pagi sebagai sarapan terakhir dikeluarganya, saling memberikan sake dan

menyanyikan beberapa lagu. Tirai yang dihias sering digantung di depan pintu

rumah pengantin wanita dan para tamu dapat memberikan salam padanya.

Jika tiba waktunya untuk pergi ke tempat upacara, maka pengantin akan

Referensi

Dokumen terkait

Inti dari upacara mangupa adalah memberikan kata-kata nasihat oleh orang tua, Dalihan Na Tolu, dan paradaton Desa Sibangkua kepada kedua pengantin agar membina rumah tangga

Tor-tor yang digelar pada horja godang (pesta besar) biasanya dilaksanakan selama satu hari satu malam atau tiga hari tiga malam. Ketentuan waktu ini telah

Unsur agama dan kebudayaan upacara setelah kelahiran pada masyarakat Jepang berkaitan dengan agama Shinto yang merupakan kebudayaan non material (bersifat rohaniah)

Calon mempelai adalah benar-benar seorang wanita dan laki- laki dimana umur kedua belah pihak memang sudah cukup untuk kawin, dan lain sebagainya..

melibatkan keluarga dan kerabat laki-laki berarak-arakan diiringi tari dan nyanyi mengantar mas kawin kerumah keluarga perempuan yang hendak dikawini. Dalam upacara

Dalam konsep umum, yang dimaksud dengan Kazoku adalah hubungan suami – isteri , hubungan orang tua dan anak dan akhirnya diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan

Alasan Pengajuan Dispensasi Kawin dan Alternatif Putusan Hakim No Alasan Dispensasi Alternatif Putusan Hakim Rekomendasi 1 Kedua calon pengantin telah lama menjalin hubungan asmara

Dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber juga dapat di simpulkan bahwa mabbukka‟ tange‟ merupakan proses awal mempertemukan pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan yang