• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keperluan Penetapan Lokus Susun Taut Fonem Dalam Telaah Fonologi Bahasa Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keperluan Penetapan Lokus Susun Taut Fonem Dalam Telaah Fonologi Bahasa Indonesia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005

KEPERLUAN PENETAPAN LOKUS SUSUN TAUT FONEM

DALAM TELAAH FONOLOGI BAHASA INDONESIA

Namsyah Hot Hasibuan

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Kesulitan akan jelas muncul manakala lingkup telaah susun taut (sintagmatic relations) fonem terlalu luas. Gambaran semacam di atas dapat dianalogikan tidak ubahnya seperti upaya mendapatkan sebuah guli di antara semak seluas satu hektar. Kemungkinan untuk mendapatkan hasil upaya pencariannya amat kecil dan mungkin dalam waktu yang singkat hanya berupa upaya yang berujung pada sia-sia. Sebaliknya, dengan mudah dapat dipahami bahwa sendainya semak tempat guli berada hanya dengan luas yang terbatas atau kecil, kemungkinan pemerolehan hasil pencarian akan lebih mudah didapat. Begitu jugalah sebenarnya dengan hasil telaah susun taut fonem yang diharapkan. Hasil maksimalnya lebih memungkinkan diperoleh manakala ranah operasional telaah susun taut fonem itu mendapat batasan. Hal demikian sesungguhnya dapat dilakukan dengan pembatas ranah operasionalnya pada unit suku kata.

1. Pendahuluan

Kata final tampak belum merupakan sebutan yang tepat dalam telaah susun taut fonem bahasa Indonesia. Tidaklah terlalu sulit untuk memahami alasan mengatakan demikian karena bahasa yang hidup, termasuk bahasa Indonesia, selalu akrab dengan perubahan. Oleh karena perubahan yang tetap ada pada setiap bahasa yang hidup maka teori kebahasaan pun dapat saja berubah atau berkembang sejalan dengan intensitas penelitian kebahasaan yang dilakukan terhadapnya. Hal menarik yang dapat diamati dari fenomena ini tidak saja terdapat dan terbatas pada problema yang dimunculkannya, tetapi juga pada aneka cara pendekatan serta hasil baru yang diperoleh dari penerapan cara pendekatan itu sendiri. Dua hal terakhir, yang baru disebutkan, terlihat amat jelas dalam rentang literatur telaah bahasa Indonesia; dalam hubungan ini, utamanya perihal yang menyangkut susun taut fonemnya. Problema susun taut fonem dalam bahasa Indonesia yang terlihat muncul sebagai akibat penerapan cara pendekatan yang dilakukan terhadapnya, antara lain, adalah terjadinya penurunan kualitas keabsahan teori tentang distribusi fonem yang sebelumnya telah ada, utamanya tentang distribusi fonem konsonan pada akhir suku ataupun kata. Dari hasil telaah yang pernah dilakukan oleh para ahli bahasa selama ini (lihat, misalnya: Kridalaksana 1966; Samsuri 1967; McCune 1985) tercatat bahwa sejumlah konsonan tunggal yang menurut mereka tidak dapat berdistribusi di akhir suku, untuk saat ini, dapat dipertanyakan keabsahannya. Konsonan / c j ñ / yang dalam hasil telaah mereka tidak dapat berdistribusi di akhir suku, misalnya, justru

dapat menunjukkan hal yang sebaliknya. Sebagai akibat dari cara pendekatan yang berbeda terhadap bahasa yang sama, seperti dimaksudkan di atas, ketiga konsonan tersebut, saat ini masing-masing dapat ditemukan sebagai akhir suku dalam bahasa Indonesia (lihat bagian uraian).

(2)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005 adalah fonem yang dapat berdistribusi pada batas

akhir kata. Pandangan seperti ini, misalnya, terlihat pada penafian nasal palatal / ñ / sebagai fonem konsonan penutup suku karena tidak terdapatnya fonem tersebut berdistribusi sebagai batas akhir kata. Hal ini perlu dicatat karena konsonan / ñ / yang selama ini belum dianggap dapat menempati posisi akhir suku (lihat Van Wijk 1889; Spat 1900; Van Ophuijsen 1910; Motik 1937; Zain 1943; Emeis 1946; Pane 1950; Alisjahbana 1950; Pemis 1951; Prijana 1954; Emeis 1955; Lie 1956; Kridalaksana 1966; Samsuri 1967; Halim 1969; Keraf 1970; Alieva et.al. 1972; Stokhof 1980; Lapoliwa 1981; Aminoedin et.al. 1984; McCune 1985; Moeliono et.al. 1988; dsb. ), - melalui telaah ini, tidak terlalu sulit untuk mencarikan data pendukung untuk menyatakan sebaliknya. Penyukuan ketiga kata gincu, janji, lancar menjadi / giñ.cu jañ.ji lañ.car / misalnya, akan memperjelas hal itu. Kehadirannya sebagai akhir suku kata dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan memiliki frekuensi tinggi. Dalam hubungan ini pendapat Pulgram (1970) yang menyatakan batas kata tidak dapat diidentikkan dengan awal atau akhir suku perlu diperhitungkan. Batas kata jelas dengan sendirinya dapat merupakan awal atau akhir suku, tetapi batas suku belum tentu sama dengan batas kata. Dari kasus terakhir di atas terlihat pentingnya solusi melalui pengubahan persepsi yang mengidentikkan batas kata dengan batas suku kata.

2. Ancangan Teoretis

2.1 Susun Taut Fonem

Pada dasarnya, dalam telaah fonologi bahasa, terdapat dua liputan deskripsi. Pertama adalah deskripsi tentang fonem bahasa, dan yang kedua mengenai distribusi fonemnya. Pandangan seperti ini terlihat, misalnya, pada Sigurd (1974: 450) – yang selanjutnya memberikan penjelasan bahwa perihal terakhir di atas secara khusus termasuk urusan susun taut fonem. Tafsiran lanjut konsep susun taut fonem Sigurd di atas dapat diperoleh, antara lain, pada Lyons (1981), Hawkins (1984), Lass (1984), Fudge (1990), serta Clark dan Yallop (1990).

Lyons menjelaskan bahwa sistem fonem dapat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Perbedaan itu tidak hanya terbatas pada jumlah fonem, melainkan juga pada segi sistem susun tautnya (syntagmatic relations) yang menentukan bangun kombinasi fonologis yang berterima dalam suatu bahasa. Dengan sepintas terlihat bahwa susun taut fonem identik dengan deret fonem (sequences of phonemes). Kesan semacam ini dinafikan oleh Lyons (198: 96)

dengan alasan bahwa tidak semua fonem yang ada pada suatu bahasa dapat mendahului ataupun mengikuti semua fonem yang lain. Setiap bahasa memiliki kendala penderetan (sequential constraints) sendiri yang tidak membolehkan anggota perangkat fonem yang satu berdekatan dengan anggota perangkat fonem yang lain. Menurut Wales (1990: 339) kendala penderetan seperti itu terdapat pada tatanan la langue, yang termasuk bagian kompetensi penutur bahasa. Kendala itu menolak segala bentuk yang tidak sesuai dengan kaidah susun taut fonem bahasa yang bersangkutan (Kubozono 1990: 5). Kaidah bahasa yang menentukan keberterimaan bangun fonologisnya menurut Lyons harus dapat menunjukkan fonem-fonem mana yang dapat dikombinasikan dengan benar.

Tafsiran singkat yang senada dengan Lyons dikemukakan oleh Hawkins (1984: 61), yang menyatakan bahwa susun taut fonem pada umumnya dikenal sebagai the study of sequences of sounds in combination. Jika konsep distribusi dapat diartikan kesemua posisi yang diduduki oleh unsur bahasa (Kridalaksana 1993: 45), maka terlihat adanya kesamaan konsep susun taut fonem antara Sigurd, Lyons, dan Hawkins, sebab pada dasarya sequences of sounds in combination itu adalah identik dengan distribusi fonem (bandingkan dengan Fromkin et.al. 1983: 129; Ball 1989: 21; Clark dan Yallop 1990: 105). Lass (1984: 23), yang melihat aspek susun taut fonem lain, mempunyai kesamaan pandangan dengan Lyons dari segi distribusi fonem. Menurutnya, dalam dua bahasa yang berbeda atau lebih, walaupun memiliki fonem yang sama, masing-masing bahasa dapat berbeda dalam hal kaidah pendistribusian fonemnya.

(3)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005 k /, dan posisi ketiga oleh konsonan sonoran

nonnasal / l r w y /. Dari contoh awal suku berupa GK-3K di atas, fonem tertentu yang dapat menempati posisi pertama pada urutan komponen fonemisnya hanya satu buah. Jumlah ini merupakan bagian yang sangat terbatas dari seluruh fonem pada khazanah fonem bahasa Inggris. Begitu juga dengan jumlah konsonan yang dapat menjadi komponen kedua dan ketiganya, masing-masing hanya terdiri dari tiga dan empat buah fonem konsonan. Upaya menempatkan fonem yang benar di antara / s / dan / l / pada awal suku berupa GK-3K di atas, misalnya, memerlukan pengetahuan sendiri. Pengetahuan tentang kombinasi fonem, menurut Fudge, sangat membantu. Mengerti tentang kombinasi fonem akan membatasi pilihan pada salah satu dari konsonan / p / atau / k /. Studi tentang kemungkinan kombinasi fonem dalam suatu bahasa oleh Fudge disebut studi susun taut fonem (fonotaktik). Oleh Clark dan Yallop (1990: 105) susun taut fonem tidak merupakan hal yang dipertentangkan dengan distribusi fonem. Bagi mereka keidentikan konsep terdapat antara susun taut fonem dengan penjelasan distribusi (distributional statement), yaitu penjelasan betapa fonem berdistribusi dalam suku, dan begitu juga suku di dalam kata. Suku dan kata, keduanya merupakan satuan linguistik yang pada dasarnya merupakan kombinasi integral sejumlah fonem dan suku. Unit suku terwujud melalui kombinasi integral segmen fonemnya dan satuan kata melalui segmen sukunya. Di antara kedua satuan itu, yang mendapat pengutamaan dari Fudge (1990: 51-52) sebagai ranah telaah susun taut fonem adalah suku kata. Pengutamaan semacam ini sebelumnya telah terlihat juga pada O’Connor (1973: 229), yang menegaskan bahwa kaidah susun taut fonem suatu bahasa dapat disarikan melalui penjelasan tentang struktur sukunya. Kenyataan itu diperkuat oleh Fudge yang menyatakan bahwa suku merupakan ranah utama terwujudnya susun taut fonem.

2.2 Ranah Operasional Susun Taut Fonem Pada bagian pendahuluan telah diisyaratkan tentang ranah operasional susun taut fonem, yakni pada suku dan kata. Penegasan atas kedua jenis satuan ini menjadi sorotan juga pada Fudge (1990: 51). Menurut Fudge, tidaklah sepenuhnya dapat dibenarkan anggapan dari sebagian orang yang mengemukakan bahwa representasi fonologis (phonological representation) tuturan terdiri dari perangkat fonem-fonem terpisah. Dalam mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap anggapan seperti itu, Fudge mengemukakan lima jenis satuan linguistik selain fonem dengan ukuran bangun yang berbeda, tetapi masing-masing terdiri

dari gabungan segmen. Satuan yang dimaksudkannya adalah sebagai berikut;

A. Suku kata (Syllable); B. Kata (Word);

C. Kelompok kata setekanan (Stress-group); D. Kelompok suku setekanan (Foot); E. Kelompok satuan senada ( Tone-group)

Diisyaratkan selanjutnya oleh Fudge bahwa pada kelima satuan linguistik di atas terdapat berbagai kepentingan, dengan pengertian bahwa pengutamaan pilihan dapat dilakukan di antara kelima satuan itu. Hal yang menjadi soal adalah apa maksud atau tujuan yang hendak diwujudkan masing-masing pemilih. Menurut Fudge, jika yang dimaksudkan adalah pewujudan yang menyangkut segi fonotaktisnya maka ketepatan pilihan terdapat pada (A) dan (B), yaitu suku dan kata. Suku dan kata, keduanya dapat merupakan satuan linguistik dengan kombinasi sejumlah fonem dan suku. Satuan suku merupakan wujud kombinasi integral segmen fonemnya, dan satuan kata dari kombinasi segmen sukunya. Pada uraian Fudge terdapat sebenarnya kecenderungan mengutamakan salah satu di antara suku dan kata sebagai ranah operasional susun taut fonem. Di antara keduanya terlihat bahwa suku mendapat pengutamaan karena di samping mengemban fungsi lain, menurut Fudge (1990: 52), suku kata merupakan the chief domain of patterns of arrangament of phonemes, or phonotactics.

Hal yang serupa sebelumnya telah terlihat juga sebenarya oleh O'Conor (1973: 229). Dalam uraiannya dengan lugas dikatakan bahwa kaidah susun taut fonem suatu bahasa dapat disarikan melalui penjelasan tentang struktur sukunya. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa wujud struktur yang lebih panjang, tidak lain, adalah untaian sejumlah suku yang menjadi segmennya. Dengan demikian, pada prinsipnya, tidak terdapat wujud bangun tuturan yang betapa pun panjangnya yang tidak dapat dijelaskan melalui ancangan ini.

2.3 Suku Kata

(4)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005 hal yang terkait dengan ciri suku. Pulgram bertolak

dari pernyataan bahwa suku adalah satuan linguistik bertipe figura (1970: 65). Sebagai satuan linguistik, suku merupakan klas yang dapat ditempatkan di antara klas lainnya, seperti fonem, morfem, ataupun leksem. Masing-masing adalah satuan emik yang terdapat pada tuturan. Pensegmenan tuturan atas masing-masing satuan merupakan kerja atas dasar emik (emic operation). Dengan kata lain, setiap pensegmenan tuturan atas satu jenis satuan tertentu dapat diartikan sebagai pemisahan bagian-bagian emiknya yang diidentifikasi berdasarkan klas yang menjadi tempat masing-masing bagian dapat dikelompokkan. Klas itu sendiri, termasuk suku, tidak memiliki batas sebab batasnya hanya ditentukan oleh definisinya. Lewat definisi kelas baru dapat ditentukan mana saja yang dapat dipandang sebagai anggota dari kelas yang dimaksudkan. Hanya yang dapat menjadi anggota dari klas itulah yang secara jelas memiliki batas.

Selanjutnya dikatakan bahwa batas bangun satuan yang lebih besar dari sebuah fonem dibatasi oleh fonem atau gugus fonem yang terdapat pada awal dan akhir setiap satuan dalam setiap bahasa. Pembatasan setiap satuan terjadi sedemikian rupa sesuai dengan kaidah distribusi fonem yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan. Adapun variasi fonetis yang terdapat pada batas masing-masing satuan emik, menurut Pulgram, dapat dibicarakan kemudian manakala uraian satuan emiknya telah lebih dahulu dilakukan. Atas dasar suku sebagai satuan linguistik, menurut Pulgram, batas-batasnya harus diterangkan lebih dahulu berdasarkan segi emiknya. Artinya harus dicarikan mana fonem yang menjadi pendukung perwujudan suku serta fonem mana pula yang dapat membatasinya. Telaah terhadap hal yang menyangkut segi etik, yang terdapat pada batas-batas suku, baru dapat dilakukan kemudian setelah urusan yang menyangkut emiknya selesai.

Ciri lain yang terdapat pada suku, menurut Pulgram, adalah tipenya yang tergolong figura. Pengertian figura dalam hubungan ini oleh Pulgram diberikan sambil lalu dengan mempertentangkan satuan fonem dan suku dengan satuan morfem dan leksem. Dua satuan pertama (fonem dan suku) menurut Pulgram termasuk tipe figura, sedangkan dua satuan terakhir (morfem dan leksem) tidak termasuk figura. Ditambahkannya bahwa figura itu sendiri tidak bermakna dan tidak pula menyatakan makna (the figura does not by and of itself convey meaning). Namun, figura berguna dalam upaya melengkapi makna tanda (sign). Walau tergolong ke dalam tipe figura,

antara fonem dan suku tetap terdapat perbedaan yang jelas. Pulgram melihat perbedaan itu dari ciri yang dimiliki oleh masing-masing satuan. Pada fonem sendiri terdapat ciri tersendiri yang memungkinkan terdapatnya pengertian ataupun batasan tentang fonem. Ciri itu, yang sekaligus dapat dijadikan batasannya, adalah bahwa di samping sebagai figura fonem merupakan satuan fungsional terkecil bahasa. Dengan kedua ciri yang dimilikinya itu dapat dikatakan bahwa fonem dengan sendirinya telah beroleh batasan. Ciri fonem seperti yang dimaksudkan di atas, yang sekaligus dapat dijadikan sebagai batasannya, tidak terlihat pada suku. Walau tergolong figura, suku tidak dapat diberi batasan atas dasar jumlah komponen satuannya. Hal ini disebabkan oleh jumlah komponen fungsional suku tidak dapat diprakirakan. Suku tidak dapat dikatakan merupakan satuan minimal atau maksimal, dan tidak pula sebagai satuan dengan jumlah komponen yang pasti. Jelasnya, suku hanya dapat diterangkan berdasarkan bentuk dan batas-batasnya sendiri. Sifat suku yang tidak dapat disebut sebagai satuan minimum dengan sendirinya memperjelas bahwa suku menduduki posisi di atas fonem dalam hierarki satuan linguistik, dengan pengertian bahwa suku pada dasarnya terwujud berkat adanya kombinasi fonem tertentu menurut kaidah susun taut fonem yang beriaku. Atas dasar itu suku adakalanya disebut sebagai satuan fonem (lihat juga O'Connor 1973: 259; Hawkins 1984: 62). Di sisi lain, suku tidak pula dapat disebut sebagai satuan maksimal sebab dalam hierarki kepemilikan komponen suku masih merupakan bawahan satuan lain yang oleh Pulgram disebut seksi (section). Dari kenyataan ini suku beroleh ciri lain, yaitu sebagai subsatuan dari seksi.

Pada batasan Pulgram ditambahkan bahwa setiap suku memiliki sebuah vokal sebagai inti. Terdapatnya sebuah fonem vokal pada setiap suku telah menjadi konsep bersama, dan menurut Pulgram hal ini bebas kontroversi. Dalam upaya menguraikan tuturan, pengertian satu vokal dalam setiap suku dapat menjadi petunjuk atas jumlah suku yang terdapat pada tuturan. Jumlah suku dalam tuturan dapat diketahui dengan jalan menghitung vokal (inti) yang terdapat dalam tuturan tersebut. Namun pada bagian lain, Pulgram juga mengatakan bahwa cara seperti itu bukan satu-satunya cara menetapkan jumlah suku.

3. Batasan dan Uraian

(5)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005 konsonan yang mengawali suku menandakan

bahwa pada suku itu tidak terdapat konsonan awal. Sebaliknya, tidak terdapatnya sebuah konsonan yang mengakhiri suku dapat dikatakan bahwa suku tersebut tidak memiliki konsonan akhir. Konsonan awal di sini dapat diartikan sebagai konsonan tunggal yang dapat mengawali suku, dan konsonan akhir untuk konsonan tunggal yang dapat menjadi akhir suku (Roach 1983). Jenis bangun suku yang memiliki konsonan awal dan konsonan akhir di atas pada kenyataannya meliputi bangun berciri tanpa gugus konsonan dan yang bergugus konsonan. Dalam hubungan ini yang diperhitungkan, sebagai batasan uraian, adalah fonem konsonan tunggal yang mengawali dan mengakhiri suku kata.

(01) a. bawa / ba.wa / b. cegah / c∂..gah /

c. dayus / da.yus / d. fatal / fa.tal / e. halaman / ha.la.man / f. gajah / ga.jah / g. kampus / kam.pus / h. minim / mi.nim / i. syarat /∫a.rat /

j. khazanah / xa.za.nah / k. zakar / za.kar / l. menyuruh / m∂.ñu.ruh / m. ngeri / η∂..ri /

n. konteks / kon.teks / o. korps / korps / p. sawah / sa.wah /

Data pada (01) menunjukkan sejumlah konsonan yang dapat menjadi konsonan awal suku. Dari suku pertama kata yang terdapat pada (01a-p) saja diperoleh konsonan awal / b c d f h g k m ∫ x z η s / sebanyak tiga belas buah. Dari suku keduanya diperoleh konsonan awal / w n y t l j p ñ r l / sebanyak sembilan buah. Konsonan yang dapat menjadi awal suku pada (01) berjumlah 22 buah (13 + 9 = 22). Jumlah ini sesuai juga dengan jumlah fonem konsonan tunggal yang dapat mengawali kata bahasa Indonesia (lihat Lapoliwa, 1981: 7). Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 22 buah konsonan bahasa Indonesia (/ b c d f g h j k x l m n ñ η p r s ∫ t w y z /) dapat menjadi konsonan awal suku yang jumlahnya sama dengan jumlah konsonan yang dapat mengawali kata.

Pada (01) terdapat sejumlah suku yang berakhir dengan konsonan tunggal. Untuk memperoleh konsonan akhir, data pada (01) masih dapat dijadikan sebagai sumber. Dari (01), tujuh buah konsonan (/ m n h s l t r /) dapat menjadi

konsonan akhir suku. Pada (02) terlihat lagi adanya 10 buah konsonan yang dapat menjadi akhir suku selain dari yang terdapat pada (01). Terdapatnya konsonan lain pada akhir suku, seperti pada (02), menunjukkan bahwa konsonan akhir suku tidak hanya sebatas jumlah yang didapat dari (01) saja.

(02) aktif / ak.tif / ratap / ra.tap / pulau / pu.law / tinju / tin.ju / tajdid / taj.dit /

magma / max.ma / tanggal / taη|.gal / pantai /pan.tay / tasydid / ta∫.dit /

Kesepuluh konsonan akhir tersebut adalah / k f p w ñ j x η y ∫ /. Jika ditambahkan dengan yang terdapat pada contoh (01), jumlah seluruhnya menjadi 17 (7 + 10 = 17). Terlihat bahwa di antara konsonan yang dapat menjadi akhir suku tersebut tidak terdapat / b c d g z /. Hal ini disebabkan oleh tidak ditemukannya data pendukung yang menunjukkan bahwa kelima konsonan tersebut dapat berdistribusi pada akhir suku kata.

Di antara 22 buah konsonan yang terdapat dalam bahasa Indonesia, empat buah di antaranya, yaitu / f x ∫ z /, oleh sebagian linguis dianggap sebagai unsur yang masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui kata pungut. Anggapan demikian didasarkan pada kenyataan bahwa kata bahasa Indonesia yang ada dengan setiap fonem dari keempat konsonan tersebut tidak ditemukan dalam bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia (bandingkan dengan Johns 1977: 12; Lapoliwa 1981: 3; dan juga McCune 1985: 17). Setiap kata dengan salah satu dari keempat konsonan tersebut adalah kata pungut yang tidak ditemukan dalam bahasa Melayu ataupun bahasa daerah lain yang terdapat di wilayah Republik Indonesia. Kenyataan ini sekaligus dapat juga menunjukkan bahwa kata pungut yang dimaksudkan di atas adalah kata pungut yang berasal dari bahasa asing.

(6)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005 pungut asing dalam bahasa Indonesia tidak

selamanya dapat dilakukan hanya dengan melihat kehadiran konsonan dari keempat konsonan tersebut. Di antara kata pungut yang ada dalam bahasa Indonesia terdapat juga kata yang komponen fonemisnya, seperti pada contoh kata yang disebutkan terakhir di atas, seluruhnya terdiri dari fonem yang dapat ditemukan dalam sistem fonem bahasa Melayu. Dalam hal kata bahasa Indonesia tidak menunjukkan komponen fonemis /f x ∫ z/ terlihat bahwa penentuan kata pungut asing hanya dapat dilakukan melalui kamus etimologi kata.

4. Awal dan Akhir Suku

Konsonan tunggal dan gugus konsonan yang dapat dikatakan sebagai awal suku atau akhir suku tidak seluruhnya dapat mendahului atau mengikuti setiap vokal bahasa Indonesia. Setiap vokal pada kenyataannya dapat didahului atau diikuti oleh awal suku atau akhir suku tertentu, dan dengan jumlah yang berbeda pula. Hal demikian menyebabkan kemungkinan pengkaidahan pemunculan awal suku ataupun akhir suku menjadi terkendala. Uraian lanjut tentang awal suku atau akhir suku, dalam hubungannya dengan vokal yang menjadi inti, hanya tertuju kepada awal suku atau akhir suku tertentu saja − yang dipandang perlu mendapat penjelasan (lihat subbagian 4.1). Selain itu suku dalam bahasa Indonesia pada kenyataannya ada juga yang tanpa awal dan akhir. Suku semacam ini dapat disebut suku satu fonem. Suku satu fonem, komponen fonemisnya hanya terdiri dari vokal saja. Tercatat bahwa semua fonem vokal bahasa Indonesia yang jumlahnya enam buah dapat menjadi suku satu fonem (lihat contoh (03) berikut ini);

(03) i /i/ a /a/

e /e/ o /o/

e /∂/ u /u/

Di antara suku satu fonem ada yang dapat berkoekstensif dengan mortem, baik dengan kata maupun afiks. Dalam hal suku satu fonem merupakan kata, suku satu fonem itu bebas distribusi. Artinya, suku tidak merupakan satuan gramemis yang memungkinkannya beroleh posisi untuk berdistribusi. Sebagai kata, suku satu fonem dapat merupakan, antara lain: (1) nama huruf atau fonem bahasa Indonesia; (2) kata eksklamatif, seperti / e /, yang digunakan untuk menarik perhatian, menegur seseorang. Sebagai afiks, dia adalah bagian dari gramem yang memberinya posisi untuk berdistribusi. Misalnya terdapat pada menggurui, gulai, bukai ( / m∂ŋ.gu.ru.i gu.la.i bu.ka.i / ).

4.1 Awal Suku Kata

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, komponen fonemis awal suku kata dapat terdiri dari satu hingga tiga buah konsonan. Konsonan bahasa Indonesia, kecuali / x ∫ /, tercatat dapat menjadi awal suku pada suku dengan inti setiap vokal. Konsonan / x ∫ / patut dicatat karena keduanya tidak ditemukan dapat mendahului vokal / ∂ / (lihat data (04)).

(04) benar / b∂.nar / detik / d∂..tik / duane / du.a.n∂ / employe / em.plo.y∂ / fekundasi / f∂..kun.da.si / gerak / g∂..rak / hetai / h∂..lay / jenis / j∂.nis / kampanye / kam.pa.ñ∂ / keras / k∂.ras / kode / ko.d∂ / lemas /l∂.mas/ malaise / ma.lay.s∂ / memar / m∂.mar / neraka / n∂.ra.ka / ngeri / η∂..ri / nyeri / ñ∂.ri / opname / op.na.m∂ / pelan / p∂.lan / rekan / r∂.kan / rente / ren.t∂ / segar / s∂.gar / tegas / t∂.gas / tercebur / t∂r.c∂.bur / wereng / w∂.r∂η / zeni / z∂.ni /

Pada bagian 3 telah disebutkan bahwa / x ∫ / adalah fonem pungut karena fonem tersebut masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui kata pungut yang sumbernya bahasa asing. Fonem pungut lainnya adalah / f z /. Dua fonem yang terakhir ini terlihat dapat mendahului / ∂ / ( / f∂.kun.da.si z∂.ni /), dan hal itu hanya terbatas pada (suku) kata asal Barat saja. Bahasa Arab, yang dalam sistem fonemnya / f z / juga dapat ditemukan, tidak menunjukkan adanya suku berinti / ∂ / dengan awal suku / f z /. Dua fonem pertama (/ x

(7)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005 diyakini karena vokal / ∂ / sendiri tidak ditemukan

dalam sistem fonem bahasa Arab.

Bahasa Barat, yang juga dapat dipandang sebagai asal fonem pungut selain Arab, tidak juga terlihat memiliki suku yang berinti / ∂ / dengan awal suku / x ∫ f z / yang terpungut ke dalam bahasa Indonesia. Tidak adanya suku berinti / ∂ / dengan awal suku dari keempat konsonan di atas pada kata asing yang terpungut menyebabkan suku semacam itu dengan sendirinya tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Pada awal suku berupa GK-2K, kemungkinan dapat mendahului semua vokal oleh setiap awal suku semakin kurang. Dari 25 buah awal suku berupa GK-2K bahasa Indonesia (Hasibuan, 1996) tidak terlihat di antaranya yang dapat mendahului setiap vokal bahasa Indonesia. Pepet / ∂ / tercatat sebagai vokal yang tidak dapat didahului oleh GK-2K, kecuali / bl / dalam kata blekok (/ bl∂.kok /). Karena bukan dari kata pungut, pemunculan GK-2K / bl / sebagai awal kata blekok, blekok pantas dipertanyakan. Awal suku berupa GK-3K yang semuanya masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui kata pungut juga tidak terlihat dapat mendahului pepet / ∂ /. Kesimpulan yang dapat diambil dari 4.1 adalah bahwa semua konsonan tunggal bahasa Indonesia yang berjumlah 22 buah, kecuali / x ∫ /, dapat mendahului setiap vokal bahasa Indonesia. Kemudian, pepet / ∂ / tidak dapat menjadi inti pada suku dengan awal suku berupa GK yang asalnya dari bahasa asing.

4.2 Akhir Suku Kata

Perihal bahasa Indonesia sekarang tidak dapat lagi diidentikkan dengan perihalnya di masa lalu, ketika bahasa Indonesia oleh sebagian orang diidentikkan dengan bahasa Melayu. Masuknya unsur pungut dan menjadi bagian dari bahasa Indonesia pada kenyataannya memunculkan perihal lain yang berbeda dari sebelumnya. Dalam hal yang menyangkut akhir suku, perbedaan itu dapat dilihat, misalnya, pada perluasan distribusi dan penambahan jumlah akhir suku. Perluasan distribusi, di sini, diberi arti terdapatnya suatu akhir suku berdistribusi di luar distribusinya semula. Hal semacam ini terlihat, misalnya, pada fonem / w y /. Pada mulanya fonem tersebut diketahui hanya dapat mengikut kepada vokal / a o / sebagai akhir suku. Fonem / w / terbatas pada suku dengan inti / a / (05 a-c), sedangkan / y / pada suku berinti / a o / (06 a-d) saja. Masuknya unsur pungut berupa kata menyebabkan kedua fonem tersebut terlihat tidak hanya mengikut kepada / a / atau / a o / saja, melainkan juga kepada vokal lain (/ i e o /). Fonem / w / dapat mengikut kepada / i e o / di samping / a /, dan fonem / y / dapat

mengikuti / e / di samping vokal / a o / (lihat contoh (05-06)).

(05) a. pulau / pu.law / b. atau / a.taw / c. rantau / ran.taw / d. interviu / in.ter.fiw / e. pseudonim / psew.do.nim / f. mesiu / me.siw / g. lanbou / lam.bow / h. autentik / aw.ten.tik /

i. aula / aw.la / (06) a. aduhai / a.du.hay /

b. lunglai / luη.lay / c. sekoi / s∂.koy / d. amboi / am.boy / e. survei / sur.fey / f. murbei / mur.bey / g. Mei / mey / h. heiho / hey.ho / i. beikot / bey.kot /

Perluasan distribusi pada kenyataannya tidak hanya menyangkut bertambahnya jumlah vokal yang dapat diikuti oleh sebuah akhir suku, tetapi termasuk juga terdapatnya suku tempat akhir suku tersebut selain di akhir kata. Konsonan / w y / sebagai akhir suku pada mulanya hanya terdapat pada suku terakhir. Setelah masuknya kata pungut, konsonan / w y / dapat juga ditemukan sebagai akhir suku pada suku yang berdistribusi pada awal kata (lihat 05h-i dan 06h-i). Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah bahwa / w / sebagai akhir suku dapat ditemukan pada suku dengan inti selain vokal belakang tinggi dan sedang tengah, sedangkan / y / pada suku dengan inti vokal selain tinggi dan tengah sedang. Secara umum, kedua konsonan / w y / tidak ditemukan sebagai akhir suku dengan inti pepet / ∂ / (bandingkan dengan 4.1).

(8)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005 Kesimpulan umum yang dapat diambil dari sini

adalah bahwa konsonan / x f ∫ / tidak ditemukan sebagai akhir suku pada suku dengan inti pepet /∂/.

(07) a. tarikh / ta.rix / ikhtiar / ix.ti.ar / magma / max. ma /

mukhlis / mux.lis /

dogma / dox.ma / tekhnolog / tex.no.lox / b. tasawuf / ta.sa.wuf /

mufti / muf.ti / iftitah / if.ti.tah / aktif / ak.tif / afdol / af.dol / aftur / af.tur / filosof / fi.lo.sof /

refleksi / ref.lek.si / c. tasydid / ta∫.dit /

rasywah / ra∫.wah / arasy / a.ra∫/ musyrik / mu∫.rik / musytari / mu∫.ta.ri / isytiak / i∫.ti.ak / d. buruj / bu.ruj /

hijrah / hij.rah / ijmak / ij.mak / ajnabi / aj.na.bi / faraj / fa. raj / haj / haj / mikraj / mik.raj / tajdid / taj.dit /

Etimologi kata terdapatnya / x f / sebagai akhir suku berbeda dengan kata terdapatnya konsonan / ∫ / sebagai akhir suku. Konsonan / x f / dapat ditemukan sebagai akhir suku pada suku yang asal katanya berbeda. Seperti terlihat pada (07a-b), asal kata yang terdapat di dalamnya terdiri dari Arab dan Barat (khususnya Belanda). Pada (07c), yang terdapat di dalamnya terdiri dari kata asal bahasa Arab saja.

Fonem / j / termasuk bagian dari sistem fonem bahasa Indonesia. Sebelum adanya kata pungut dalam bahasa Indonesia, / j / tidak ditemukan sebagai akhir suku. Kata pungut yang mengandung / j / sebagai akhir suku, sebagaimana terlihat pada (07d), terbatas pada kata yang asalnya bahasa Arab. Sebagai akhir suku, / j / tidak terlihat sesudah vokal sedang. Kesimpulan umum yang dapat diambil dari sini, sebagaimana yang berlaku pada / x f ∫/ sebagai akhir suku, adalah - / j / tidak dapat menjadi akhir suku pada suku dengan inti pepet / ∂ / (bandingkan dengan 4.1). Hal semacam ini (tidak terdapatnya / ∂ / sebagai inti suku)

berlaku juga pada akhir suku berupa GK. Namun, etimologi kata terdapatnya akhir suku berupa GK terlihat menunjukkan kesamaan asal, yakni dari bahasa Barat (khususnya Inggris).

5. Penutup

Telaah susun taut fonem dalam suku bahasa Indonesia ternyata dapat mengungkapkan lebih banyak fonem yang dapat berdistribusi pada akhir suku daripada di akhir kata. Terdapatnya konsonan nasal palatal / ñ / sebagai akhir suku pada berbagai suku memperjelas bahwa konsonan tunggal yang dapat berdistribusi di akhir kata tidak dapat diidentikkan dengan yang dapat berdistribusi di akhir suku. Konsonan / ñ / pada kenyataannya dapat ditemukan sebagai akhir suku dalam banyak contoh, seperti lagi-lagi pada (08) berikut ini;

(08) gincu / giñ.cu / renceng / reñ.ceη / gencar / g∂ñ.car / ancam / añ.cam / bonjol / boñ.jol /

kuncup / kuñ.cup / incar / iñ.car /

benjol / beñ.jol / senjata / s∂ñ.ja.ta / ganjaran / gañ.ja.ran / k onco / koñ.co / tunjuk / tuñ.juk /

Konsonan / ñ /, sebagaimana terlihat pada (08), terdapat sebagai akhir suku apabila fonem kedua konsonan antara sesudahnya terdiri dari hambat palatal. Dari segi distribusi terlihat juga bahwa / ñ / dapat mengikut kepada setiap vokal bahasa Indonesia sebagai akhir suku. Kenyataan ini menguatkan sekaligus bahwa fonem atau gugus konsonan yang menjadi batas kata dapat dipastikan sebagai awal suku atau akhir suku untuk suku, tetapi fonem atau gugus konsonan yang menjadi awal suku atau akhir suku belum dapat dipastikan sebagai batas kata.

Daftar Pustaka

Aminoedin, A., dkk. 1984. Fonologi Bahasa Indonesia: Sebuah Studi Deskriptif. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Fromkin, V., et. al. 1991. Universele Taalkunde: Een Inleiding in de Algemene Taalwetenschap. Dordrecht: ICG Publications.

(9)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 1 April Tahun 2005 Hasibuan, Namsyah Hot. 1996. “Fonotaktik dalam

Suku Kata Bahasa Indonesia.” (Tesis Magister). Jakarta: Fakultas Pascasarjana UI.

Hawkins, Peter. 1984. Introducing Phonology. Great Britain: Anchor Brendon Limited. Kridalaksana, Harimurti. 1974. Fungsi Bahasa &

Sikap Bahasa. (Cetakan kedua). Ende: Penerbit Nusa Indah.

Kentjono, Djoko. 1976. "Introduction to The Development of Bahasa Indonesia.” (Cetakan ulang dari East Asian Cultural Studies) Vol. XV, Nos: 1-4.

Lapoliwa, Hans. 1981. A Generative Approach to The Phonology of Bahasa Indonesia. Canberra: Pacific Linguistics.

Lapoliwa, Hans. 1982. "Phonological Problems of Loanwords in Bahasa Indonesia.” Dalam Pacific Linguistics. Series C-No. 75.

Lass, Roger. 1984. Phonology (Cambridge Textbooks in Linguistics). Great Britain: Pitman Press, Bath.

Lyons, John. 1981. "The Sounds of Language." Dalam Language and Linguistics. Great Britain: Cambridge University Press.

McCune, Keith Michael. 1985. “The Internal Structure of Indonesian Root.” Dalam NUSA Vol. 21-22. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Moeliono, Anton., dkk. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. O’Connor, J.D. 1973. Phonetics. England: Hazel

Watson Watson and Viney Limited.

O’Connor, J.D. & J.L. Trim. 1973. “Vowel, Consonant, and Syllable: A Phonological Definition.” Dalam W.E. Jones & J. Laver (Ed.): Phonetics in Linguistics. London: Longman Group Ltd.

Pulgram, Ernst. 1970. Syllable, Word, Nexus, Cursus. The Netherlands: Mouton and Co. Roach, Peter. 1983. English Phonetics and

Phonology. Great Britain: Cambridge University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Bukan tidak mungkin nasabah pindah ke lain bank karena pelayanan yang kurang, sehingga diperlukan hubungan yang baik antara bank dengan nasabah agar nasabah

Bidang: Seni dan Olahraga (Total JKEM bidang ini 150 menit) No. Subbidang, Program, dan Kegiatan Frek

Musikk som terapi har ikke noen slik gitt forståelsesramme å basere seg på i utgangspunktet, men er henvist til å utvikle egen teori som grunnlag for praksis, hvor det unike

Manfaat yang diperoleh dari tugas akhir ini berupa hasil penelitian dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan alternatif penanggulangan erosi yang terjadi dan dapat

56 Berdasarkan hasil uji F, variabel gaya kepemimpinan transformasional, disiplin kerja dan kompensasi secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Salah satu kebijakan yang mungkin bisa membantu meningkatka citra, kesadaran, dan ekuitas merek yaitu dengan menyampaikan informasi tentang merek Mastin lebih kepada

Demikian juga pada umur 16 bulan perlakuan pupuk kandang 2 kg dan bokashi 2 kg tidak berbeda nyata terhadap persentase tumbuh tanaman, tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda

Sektor perikanan merupakan suatu komoditas yang bernilai bagi suatu negara, mengingat konsumsi ikan di merupakan suatu komoditas yang bernilai bagi suatu negara,