Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
MEDAN
SKRIPSI
STUDI KOMPERATIF
PENGUKURAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH
(STUDI KASUS PADA PEMERINTAH KOTA MEDAN)
OLEH:
NAMA : LIZA ANDRIANI SARAGIH N I M : 040503096
DEPARTEMEN : AKUNTANSI
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
PERNYATAAN
Dengan ini, Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
STUDI KOMPERATIF PENGUKURAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS PADA PEMERINTAH KOTA MEDAN).
Adalah benar hasil karya sendiri dan judul dimaksud belum pernah dimuat, dipublikasikan, atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi level Program S-1 Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Semua sumber data dan informasi yang diperoleh, telah dinyatakan dengan jelas, benar apa adanya. Dan apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, Saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas Sumatera Utara.
Medan, 8 April 2009 Yang membuat pernyataan,
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puja dan puji penulis panjatkan
kepada Sang Pencipta Alam beserta isinya, Allah SWT yang telah memberikan
hidayah dan petunjuk yang tiada terhingga, sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Shalawat berangkaikan Salam tak lupa pula penulis
hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman yang telah
membawa cahaya Islam ke dunia ini dan juga ilmu pengetahuan kepada
ummatnya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas
Sumatera Utara.
Adapun judul skripsi ini yaitu: Studi Komperatif Pengukuran Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan). Dalam menyelesaikan penyusunan
skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak yang telah bersedia meluangkan
waktu dan tenaga, pikiran serta dukungannya baik secara moril maupun materil.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tiada
terhingga kepada yang terhormat:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Arifin Akhmad, M.Si, Ak dan Bapak Fahmi Natigor Nasution,
SE, M.Acc, Ak, selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
3. Bapak Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak selaku Dosen Pembimbing yang
dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, memberi saran dan arahan kepada
penulis dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Drs.Zainul Bahri Torong, M.Si, Ak dan Bapak Syahrurrahman,
S.E., Ak selaku Dosen Penguji I dan Dosen Penguji II yang telah
membantu penulis melalui saran dan kritik yang diberikan demi
kesempurnaan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Syafruddin Ginting, MAFIS, Ak selaku dosen wali penulis
selama menjalani perkuliahan, terima kasih atas nasihat dan motivasi yang
selalu Bapak berikan.
6. Segenap dosen dan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan bekal dan ilmu pengetahuan kepada penulis
selama penulis menimba ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera
Utara
7. Para pegawai Departemen Akuntansi, Bang Hairil, Bang Oyong, dan Kak
Dame yang telah banyak membantu penulis mengenai administrasi di
Departemen Akuntansi selama penulis menuntut ilmu. Serta Bang Kartun
dan Kak Fida di PPAk yang juga selama ini telah banyak membantu
penulis.
8. Ibuku tercinta yang selalu mendoakan dan memberi semangat dalam
pengerjaan skripsi ini. Semoga Allah Swt. selalu melimpahkan berkah dan
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
9. Abi Ridha yang selalu sabar menanti umi, semoga Allah Swt. memberikan
hadiah untuk kesabaranmu selama ini.
10.My beloved daughter, Alisha, semua tangisanmu terjawab sudah.
11.Keluarga di Banda Aceh dan Sabang yang selalu memberikan semangat
dan doa untuk Ica. Thanks a lot ya keluargaku.
12.Teman-teman AK-S1: Wita, Anggita, Diah, Anggi, Isel, Kak Asma, Tiwi
dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Thanks a
lot ya friends.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran
yang membangun bagi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, Penulis berharap
semoga kiranya skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang akuntansi.
Medan, 8 April 2009 Penulis,
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 jo. UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo. UU Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, sejarah
ketatanegaraan Indonesia telah memasuki babak baru dalam pelaksanaan otonomi
daerah. Melalui undang-undang ini, pemerintah daerah diberi kewenangan yang
lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka
meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah.
Daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan dan
pembangunan tanpa mengurangi harapan adanya bantuan dari pemerintah pusat
untuk menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.
Otonomi daerah yang termasuk di dalamnya desentralisasi fiskal mengharuskan
daerah mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi.
Melalui otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan
seluruh kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur
daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan peranannya dalam
membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan identifikasi
sumber-sumber pendapatannya dan mampu menetapkan belanja daerah secara ekonomi
yang wajar, efisien, efektif termasuk kemampuan perangkat daerah dalam
meningkatkan kinerja, mempertanggungjawabkan kepada pemerintah atasannya
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
Pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber
keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan
pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun
tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kreativitas dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber keuangan akan
sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah itu sendiri.
Mobilisasi sumber daya keuangan untuk membiayai berbagai aktivitas daerah
dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya.
Dengan bergulirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya UU
Nomor 22 Tahun 1999 tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan
daerah. Dengan otonomi terdapat dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar
lebih baik dibanding sebelum otonomi daerah. Aspek pertama dalah bahwa daerah
diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dangan kekuatan utama pada
kemampuan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada
kemampuan Pendapatan Asli Daerah (Desentralisasi Fiskal). Aspek kedua yaitu di
sisi manajemen pengeluaran daerah, bahwa pengelolaan keuangan daerah harus
lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar lebih efisien dan
efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai
reformasi pembiayaan atau Financing Reform (Mardiasmo, 2002:50).
Reformasi pembiayaan merupakan bagian integral dari reformasi
pengelolaan keuangan daerah. Reformasi ini dilaksanakan melalui regulasi
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
daerah adalah UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang
diikuti dengan peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65
dan PP Nomor 66 Tahun 2001. Di bidang pengeluaran daerah, telah dikeluarkan
PP No. 105, PP No. 106, PP No. 107, PP No. 108 dan PP No. 109, Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, Permendagri No. 13 Tahun 2006
serta Permendagri No. 59 Tahun 2007.
Mardiasmo (2002:54) mengatakan bahwa sebelum era otonomi harapan
yang besar dari pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan
kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan
semakin jauh dari kenyataan. Pada saat ini yang terjadi adalah ketergantungan
fiskal dan subsidi serta bantuan pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai belanja daerah.
Kota Medan sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi
Sumatera Utara memiliki kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup
penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera
Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan
pelaksanaan pemerintahan daerah.
Untuk mendukung penyelenggaraan kewenangan, peran, fungsi, dan
tanggung jawabnya, Pemerintah Kota Medan memiliki beberapa sumber
pendapatan pokok, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan,
pinjaman daerah, lain-lain penerimaan yang sah. Sebagai daerah yang
perkembangan ekonominya sangat didominasi sektor sekunder dan tertier, sumber
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
daerah. Bagi Pemerintah Kota Medan, pungutan pajak lebih didefinisikan sebagai
cara memberikan kesejahteraan umum (redistribusi pendapatan) dari pada sekedar
budgeter. Walaupun ada kecenderungan peningkatan volume dalam PAD, namun
diakui 70% sumber penerimaan Kota Medan di sektor publik masih berasal dari
alokasi pusat (dana perimbangan / dana alokasi umum). Pemanfaatan sebagian
besar dana perimbangan tersebut oleh Pemerintah Kota Medan digunakan untuk
pengembangan jaringan infrastruktur kota terpadu, termasuk pemeliharaannya.
Dengan keterpaduan tersebut infrastruktur yang dibangun benar-benar
memperlancar arus barang dan jasa antar daerah sehingga dapat menggerakkan
kegiatan sosial ekonomi warga Kota Medan. Kegiatan ekonomi yang berkembang
pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan Pemerintah Kota
Medan dalam pembiayaan pembangunan kota, sekaligus memperkecil
ketergantungan Pemerintah Kota Medan kepada Pemerintah Pusat
(www.pemkomedan.go.id).
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana
kinerja keuangan Pemerintah Kota Medan setelah otonomi daerah yang
dituangkan dalam sebuah skripsi berjudul : “STUDI KOMPERATIF
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
B. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan adanya uraian pada latar belakang masalah
sebelumnya, maka penulis mencoba merumuskan apa yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini yaitu :
“Bagaimanakah kinerja keuangan Pemerintah Kota Medan sebelum dan
setelah Otonomi Daerah?” C. Batasan Masalah
Kinerja pemerintah daerah bisa dinilai dari aspek finansial dan
nonfinansial. Dalam penelitian ini, penulis hanya menganalisis berdasarkan aspek
finansial saja dengan mengacu pada rasio keuangan berdasarkan instrumen yang
terdapat pada Laporan Realisasi APBD. Permasalahan dalam penelitian ini akan
dibatasi pada pengukuran kinerja keuangan dengan menggunakan berbagai rasio
keuangan pemerintah daerah seperti: derajat desentralisasi fiskal, tingkat
kemandirian pembiayaan, rasio efisiensi penggunaan anggaran dan rasio
kemandirian keuangan daerah. Data keuangan yang dipakai adalah data keuangan
tahun anggaran 1995-2006.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kinerja
keuangan Pemerintah Kota Medan sebelum dan setelah otonomi daerah apakah
lebih baik ataukah lebih buruk.
E. Manfaat Penelitian
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
a. Bagi penulis, untuk menambah wawasan penulis mengenai analisis
kinerja keuangan daerah.
b. Bagi instansi pemerintah Kota Medan, memberikan informasi mengenai
kinerja keuangan daerah sebelum dan setelah otonomi daerah.
c. Memberikan informasi kepada publik sebagai wujud akuntabilitas
pengelolaan dana publik oleh pemerintah Kota Medan sebelum dan
setelah otonomi daerah.
d. Bagi pihak lain, sebagai bahan masukan bagi penelitian yang sejenis dan
bacaan yang bermanfaat untuk menambah wawasan khususnya
mengenai kinerja keuangan pemerintah Kota Medan sebelum dan setelah
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis
1. Perkembangan dan Teori Otonomi Daerah
Ketika demokrasi diwujudkan pada masa pascakemerdekaan, daerah
dan masyarakat pada umumnya memiliki kekuasaan untuk mengartikulasikan
semua kepentingan mereka, termasuk dalam masalah otonomi dan keuangan.
Kemudian, pemerintah pusat merespon dengan memberikan otonomi yang
luas kepada daerah melalui UU No.22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Tetapi, situasinya kemudian berubah setelah Presiden Soekarno
mempraktekkan Demokrasi Terpimpin. Masyarakat tidak mempunyai
peluang untuk mewujudkan aspirasi mereka. Demokrasi terpimpin
sebenarnya hanyalah nama lain dari otoritarianisme. Dalam kaitannya dengan
mekanisme hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah, pemerintah pada
waktu itu menguburkan ide otonomi yang luas dan sentralisasi sedikit demi
sedikit mulai diwujudkan.
Kehadiran Jenderal Soeharto dengan Orde baru yang sangat sarat
dengan dominasi militer dalam kehidupan politik nasional juga membawa
dampak yang sangat luas bagi keberadaan otoritarianisme di Indonesia.
Sentralisasi mendapat tempat yang sangat kuat dalam pemerintahan Soeharto.
Hal ini diwujudkan dengan digulirkannya UU No.5 Tahun 1974 tentang
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
digulirkannya UU No.5 Tahun 1974, Indonesia merupakan contoh negara
yang menganut sistem otonomi terbatas. Meski didalamnya ditegaskan asas
desentralisasi tetapi substansinya sangat sentralistik karena pemerintah pusat
memiliki kewenangan yang sangat besar dalam banyak hal.
Selama berlangsungnya pemerintahan Orde Baru, daerah tidak dapat
berkembang secara optimal karena segala kebijakan tentang daerah selalu
diputuskan oleh pemerintah pusat. Daerah tidak dapat mengembangakan
potensi daerahnya dengan leluasa bahkan akhirnya menjadi sangat tergantung
dengan Pusat. Pendapatan Asli Daerah yang kecil membuat daerah tetap
mengandalkan sumber-sumber keuangan Pemerintah Pusat, sehingga mereka
tetap berada di bawah kontrol birokrasi Pusat. Ketidakadilan distribusi
sumber daya ekonomi dan politik juga menjadi masalah pada masa itu.
Berdasarkan catatan kritis perjalanan otonomi daerah, khususnya
selama pemberlakuan UU No.5 Tahun 1974 tersebut, maka MPR melalui TAP
MPR No.XV/MPR/1998 mengamanatkan kepada Presiden untuk
menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Otonomi daerah yang luas maksudnya keleluasaan daerah untuk
menyelesaikan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di
bidang lainnya yang akan ditetapkan melaui Peraturan Pemerintah.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang nyata adalah
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
bidang tertentu yang secara nyata ada, diperlukan, tumbuh, berkembang di
daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jwab
adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi yang
harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antara
daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan pelimpahan kewenangan dari TAP MPR di atas,
sejarah ketatanegaraan Indonesia telah memasuki babak baru dalam
pelaksanaan otonomi daerah dengan digulirkannya UU No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti UU No.5 Tahun 1974) dan
UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Daerah.
Pada tahun 2004, UU No.22 Tahun 1999 diubah menjadi UU No.32
Tahun 2004 dan UU No.25 Tahun 1999 diubah menjadi UU No.33 Tahun
2004.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah, dalam ketentuan umumnya menyebutkan bahwa otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom dalam
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Di dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa:
1.Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2.Kewenangan bidang lain meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
Menurut Suparmoko (2002:18) “Otonomi daerah adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat”.
Dengan berlakunya otonomi, maka Pemerintah Daerah Tingkat
Kabupaten/kota diberi kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua
urusan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi. Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi
yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan secara demokratis, adil, merata, dan
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila
pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya yaitu sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan potensi sumber daya keuangan secara
optimal. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi,
efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi,
daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan
tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari
Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan
aspirasi masyarakat. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan
keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha
yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat,
karena pada dasarnya terkandung dua misi utama sehubungan dengan
pelaksanaan otonomi daerah tersebut yaitu menciptakan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, memberdayakan dan
menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam
proses pembangunan.
Bastian (2006:3) mengatakan bahwa otonomi daerah di Indonesia
setidaknya mempunyai empat ciri yaitu:
a.Pemekaran dearah administratif pemerintahan. b.Tuntutan kemandirian fiskal di pemerintah daerah.
c.Peningkatan pelayanan publik dan kesejahreraan masyarakat. d.Pengalihan kewenangan beberapa sektor dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Menurut Halim (2002:25) ciri utama suatu daerah mampu
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
a.Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
b.Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam
membiayai pelaksanaan pemerintah. Oleh karena itu, untuk melihat
kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat
diukur melalui kinerja keuangan.
2. Keuangan Daerah
2.1. Pengertian Keuangan Daerah
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 58 Tahun 2005,
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya
menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban
daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai
dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut.
Menurut Munir, dkk (2004:96) “Keuangan daerah adalah
keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan dan kebijakan penganggaran
yang meliputi Pendapatan dan Belanja Daerah”.
Menurut Mamesah (Halim, 2007:23) menyatakan bahwa “Keuangan
daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki oleh
negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.”
Pemerintah daerah selaku pengelola dana publik harus menyediakan
informasi keuangan yang diperlukan secara akurat, relevan, tepat waktu, dan
dapat dipercaya. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki
sistem informasi akuntansi yang handal.
Dari defenisi tersebut, selanjutnya Halim (2007:25) menyatakan
terdapat 2 hal yang perlu dijelaskan, yaitu:
1) Yang dimaksud dengan hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan menaikkan kekayaan daerah.
2) Yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut akan menurunkan kekayaan daerah.
Menurut Permendagri 13 tahun 2006, ruang lingkup keuangan daerah meliputi:
a.hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman;
b.kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;
c.penerimaan daerah; d.pengeluaran daerah;
e.kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
2.2. Gambaran Keuangan Daerah Pra Otonomi dan Pasca Otonomi
Manajemen atau pengelolaan keuangan daerah di era sebelum
otonomi dilaksanakan terutama dengan berdasarkan Undang-undang No. 5
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah. Pengertian daerah
menurut Undang-undang ini adalah ”Tingkat I, yaitu propinsi dan daerah
tingkat II, yaitu kabupaten atau kotamadya”.
Disamping itu ada beberapa peraturan yang lain yang menjadi dasar
pelaksanaan menajemen keuangan daerah pada era sebelum otonomi.
Peraturan-peraturan tersebut sebagaimana dikutip Halim (2007:2) antara
lain :
1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Daerah.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan
Penyusunan Perhitungan APBD.
3) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-009 Tahun 1989 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah.
4) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD.
5) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
6) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan APBD.
Berdasarkan peraturan-peraturan diatas, dapat disimpulkan beberapa
ciri pengelolaan keuangan daerah di era sebelum otonomi, antara lain
(Halim, 2007:2)
1) Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD (Pasal 13 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1975). Artinya, tidak terdapat pemisahan secara konkret antara eksekutif dan legislatif.
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
pertanggungjawaban Kepala Daerah (Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975).
3) Bentuk laporan perhitungan APBD terdiri atas: a) Perhitungan APBD
b) Nota Perhitungan APBD
c) Perhitungan Kas dan Pencocokan antara Sisa Kas dan Sisa Perhitungan dilengkapi dengan lampiran Ringkasan Pendapatan dan Belanja (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 dan Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999).
4) Pinjaman, baik pinjaman PEMDA maupun pinjaman BUMD diperhitungkan sebagai pendapatan pemerintah daerah, yang dalam struktur APBD menurut Kepmendagri No. 903-057 Tahun 1988 tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan Daerah masuk dalam pos penerimaan pembangunan. 5) Unsur-unsur yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD saja, belum melibatkan masyarakat.
6) Indikator kinerja Pemerintah Daerah mencakup: a) Perbandingan antara anggaran dan realisasinya.
b) Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya. c) Target dan persentase fisik proyek yang tercantum dalam
penjabaran Perhitungan APBD (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, Penyusunan Perhitungan APBD).
7) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Perhitungan APBD baik yang dibahas DPRD maupun yang tidak dibahas DPRD tidak mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah.
Kewenangan daerah dalam menjalankan pemerintahannya pada
masa orde baru (sebelum otonomi daerah) didasarkan pada UU. No. 5
Tahun 1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah, undang-undang
tersebut juga menjelaskan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah. Untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang
dimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan
pembiayaan, dimana menurut undang-undang ini sumber pembiayaan
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
Sumber pembiayaan pemerintah daerah menurut UU. No. 5 Tahun
1974 pasal 55 terdiri dari 3 komponen besar yaitu (Munir, dkk, 2004:45)
1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi: a) Hasil pajak daerah
b) Hasil retribusi daerah
c) Hasil perusahaan daerah (BUMD) d) Lain-lain hasil usaha daerah yang sah.
2) Pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat, meliputi: a) Sumbangan dari pemerintah
b) Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
3) Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen
kedua yaitu pendapatan yang berasal dari pusat merupakan cerminan atau
indikator dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat. Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum
mencukupi, pemerintah pusat memberikan sejumlah sumbangan kepada
pemerintah daerah. Dengan demikian bagi pemerintah daerah Tingkat II
Kabupaten atau Kodya, disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat
juga mendapat limpahan dari Pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi
limpahan dana dari propinsi tersebut juga berasal dari pemerintah pusat
lewat APBN. Dengan semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah
mengeluarkan satu paket undang otonomi daerah, yaitu
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan Undang-Undang-undang
No.32 Tahun 2004) Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undnag N0. 25
Tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan Undang-undang No. 33 Tahun
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 perlu dibarengi dengan
pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang
diatur dalam UU No. 25 Tahun 1999.
Setelah keluarnya kedua undang-undang tersebut, pemerintah juga
mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan. Beberapa peraturan
pelaksanaan antara lain (Halim, 2007:3)
1) Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
5) Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Tanggal 17 November 2000 Nomor 903/2735/SJ tentang Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2001. 6) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, serta Penyusunan Perhitungan APBD.
7) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
8) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, manajemen keuangan
daerah di era otonomi daerah memiliki karakteristik yang berbeda dari
pengelolaan keuangan daerah sebelum otonomi daerah. Karakteristik
tersebut antara lain (Halim, 2007:4)
1) Pengertian daerah adalah propinsi dan kota atau
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
2) Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat lainnya. Pemerintah Daerah ini adalah badan eksekutif, sedang badan legislatif di daerah adalah DPRD (pasal 14 UU No.22 Tahun 1999). Oleh karena itu, terdapat pemisahan yang nyata antara legislatif dan eksekutif.
3) Perhitungan APBD menjadi satu laporan dengan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah (pasal 5 PP Nomor 108 Tahun 2000).
4) Bentuk Laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri dari atas:
a) Laporan Perhitungan APBD b) Nota Perhitungan APBD c) Laporan Aliran Kas
d) Neraca Daerah dilengkapi dengan penilaian berdasarkan tolak ukur Renstra (pasal 38 PP Nomor 105 Tahun 2000). 5) Pinjaman APBD tidak lagi masuk dalam pos Pendapatan (yang menunjukakn hak Pemerintah Daerah), tetapi masuk dalam pos Penerimaan (yang belum tentu menjadi hak Pemerintah Daerah).
6) Masyarakat termasuk dalam unsur-unsur penyusuan APBD disamping Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD.
7) Indikator kinerja Pemerintah Daerah tidak hanya mencakup: a) Perbandingan antara anggaran dan realisasinya
b) Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya c) Target dan persentase fisik proyek tetapi juga meliputi standar pelayanan yang diharapkan.
8) Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya Laporan Perhitungan APBD dibahas oleh DPRD dan mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah apabila dua kali ditolak oleh DPRD.
9) Digunakannya akuntansi dalam pengelolaan keuangan daerah.
Setelah keluarnya PP No.105 Tahun 2000 terdapat beberapa perubahan
yang terjadi pada keuangan daerah yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1.
Perubahan setelah PP Nomor 105 Tahun 2000
PP 105 Tahun 2000
PERUBAHAN YANG MENDASAR
LAMA BARU
Sistem Anggaran Tradisional dengan ciri:
Sistem Anggaran Kinerja
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
Line-Item & Incrementalism
Sistem Anggaran Berimbang Sistem Anggaran Defisit
Struktur Anggaran:
• Pendapatan, dan
• Belanja
Struktur Anggaran:
• Pendapatan,
• Belanja, dan
• Pembiayaan Belanja dibagi:
• Belanja rutin
• Belanja Pembangunan
Belanja Dikategorikan:
• Belanja Administrasi Umum,
• Belanja Operasi dan Pemeliharaan,
• Belanja Modal,
• Belanja tidak Tersangka Belanja dipisahkan per sektor; tidak ada
pemisahan Belanja Publik dengan Belanja Aparatur
Belanja dipisahkan menjadi:
• Belanja Aparatur, dan
• Belanja Publik Pinjaman sebagai komponen
Pendapatan
Pinjaman sebagai komponen pembiayaan
Laporan Pertanggungjawaban: Nota Perhitungan APBD
Laporan Pertanggungjawaban :
• Neraca
• Laporan Arus Kas
• Laporan Perhitungan APBD
• Nota Perhitungan APBD
Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi , 2006:26
PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah memiliki keterkaitan dengan PP
Nomor 108 tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
Pengelolaan keuangan daerah secara khusus diatur dalam Pasal 14 PP Nomor
105 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa:
a. Ketentuan tentang pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
b. Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan
Keputusan Kepala Daerah; dan
c. Pedoman tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan
Keuangan Daerah, serta Tata Cara penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata
Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD ditetapkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan ketentuan PP Nomor 105 Tahun 2000 Pasal 14 tersebut,
kemudian Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Kepmendagri Nomor 29
Tahun 2002. Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut merupakan
petunjuk teknis pelaksanaan PP Nomor 105 Tahun 2000 di bidang
pengelolaan keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan transparansi dan
akuntabilitas keuangan daerah.
Perubahan yang signifikan yang diakibatkan oleh Kepmendagri
29/2002, yaitu terkait dengan penatausahaan keuangan daerah. Perubahan itu
sudah sampai pada teknik akuntansinya yang meliputi perubahan dalam
pendekatan sistem akuntansi dan prosedur pencatatan, dokumen dan formulir
yang digunakan.
Tabel 2.2.
Perubahan Setelah Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002
KEPMENDAGRI NOMOR 29 TAHUN 2002 PERUBAHAN YANG MENDASAR
LAMA BARU
Struktur APBD:
• Pendapatan
• Belanja
Struktur APBD:
• Pendapatan
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
• Pembiayaan
Arah dan Kebijakan Umum APBD
Pemegang Kas Daerah Bendaharawan Umum Daerah
Bendaharawan Rutin & Pembangunan Satuan Pemegang Kas & Pembantu Pemegang Kas
Pembukuan Tunggal (single entry) Pembukuan Berpasangan (double entry)
Akuntansi Berbasis Kas Akuntansi Berbasis Kas Modifikasian
Tidak ada Kebijakan Akuntansi Kebijakan Akuntansi Tidak Dikenal Depresiasi Aktiva Tetap Pembukuan Asset Daerah:
• Nilai Buku
• Depresiasi & Kapitalisasi
• Penghapusan Asset
• Manajemen Asset Daerah Belum diwajibkan membuat Laporan
Keuangan berupa Neraca dan Laporan Arus Kas
Sistem Akuntansi Keuangan Daerah:
• Sistem Pengendalian Internal
• Prosedur Akuntansi
• Dokumen/Formulir & Catatan Akuntansi
• Manajemen Asset Daerah Pengawasan oleh banyak pihak:
Itwilprop, Itwilkab/ko, Irjen, BPKP, dan BPK
Pengawasan Internal Pengelolaan Keuangan Daerah
Bawasda
Sumber: Diolah dari Forum Dosen Akuntansi, 2006:27
Sementara itu, pada tahun 2005, pemerintah mengeluarkan PP Nomor
24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Pada
dasarnya antara PP Nomor 24 Tahun 2005 mengatur tentang standar
akuntansi, sedangkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 lebih banyak
mengatur tentang sistem akuntansi pemerintah daerah (Mahmudi, 2006:29).
Tabel 2.3.
Perbandingan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dengan PP No. 24 Tahun 2005
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 PP No. 24 Tahun 2005
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
Basis Kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan (Laporan L/R) Basis akrual untuk pencatatan asset, kewajiban dan ekuitas dana (Neraca) Aktiva Tetap diakui pada akhir periode
dengan menyesuaikan Belanja Modal yang telah terjadi
Aktiva/asset tetap diakui pada saat hak kepemilikan berpindah dan atau saat diterima
Aktiva Tetap selain tanah didepresiasi dengan metode garis lurus berdasarkan umur ekonomisnya
Aktiva Tetap selain tanah dapat
didepresiasi dengan metode garis lurus, metode saldo menurun dan metode unit produksi
Terdapat dana depresiasi Tidak terdapat dana depresiasi
Kewajiban diakui menjadi belanja aparatur dan belanja publik
Diakui pada saat dana pinjaman diterima dan atau kewajiban timbul
Jenis Laporan Keuangan:
• Neraca
• Laporan Perhitungan APBD
• Laporan Aliran Kas
• Nota Perhitungan APBD
Jenis Laporan Keuangan:
• Neraca
• Laporan Realisasi Anggaran
• Laporan Arus Kas
• Catatan atas Laporan Keuangan Belanja dikelompokkan menjadi belanja
aparatur dan belanja publik
Tidak terdapat ketentuan mengelompokkan belanja aparatur dan belanja publik
Laporan Aliran Kas dikelompokkan dalam tiga aktivitas yaitu:
• Aktivitas Operasi • Aktivitas Investasi Pembiayaan
Laporan Arus Kas dikelompokkan dalam empat aktivitas, yaitu
• Aktivitas operasi • Aktivitas investasi
• Pembiayaan
Aktivitas non-anggaran
Belanja dikategorikan:
• Belanja administrasi umum • Belanja operasi dan pemeliharaan
• Belanja modal
• Belanja tidak tersangka
Masing-masing belanja dikelompokkan menjadi:
• Belanja Pegawai dan Personalia • Belanja Barang dan Jasa • Belanja Perjalanan Dinas • Belanja Pemeliharaan
Belanja dikelompokkan menurut klasifikasi ekonomisnya yaitu:
Belanja Operasi
• Belanja pegawai
• Belanja barang
• Bunga
• Subsidi
• Hibah
• Bantuan sosial Belanja Modal Belanja Tak Terduga
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
Dengan telah digantikannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU
Nomor 25 Tahun 1999 oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33
Tahun 2004, maka berbagai peraturan pemerintah dan peraturan lain
dibawahnya perlu disesuaikan lagi. Atas dasar itu maka pemerintah
mengeluarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti PP Nomor 105 Tahun
2000 dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.
PP No. 58 Tahun 2005 merupakan pengganti dari PP No 105 Tahun
2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang
selama ini dijadikan sebagai landasan hukum dalam penyusunan APBD,
pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.
Substansi materi kedua PP dimaksud, memiliki persamaan yang sangat
mendasar khususnya landasan filosofis yang mengedepankan prinsip
efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas. Sedangkan perbedaan,
dalam pengaturan yang baru dilandasi pemikiran yang lebih mempertegas dan
menjelaskan pengelolaan keuangan daerah, sistem dan prosedur serta
kebijakan lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dibidang penatausahaan,
akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.
Tujuan dikeluarkannya PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri
No.13 Tahun 2006 adalah agar pemerintah daerah dapat menyusun Laporan
Keuangan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yaitu PP No.24
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
menyajikan keuangan yang standar, bagaimana perlakuan akuntansi, serta
kebijakan akuntansi.
Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menurut
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah terdiri atas Pendapatan Daerah dan
Pembiayaan.
1) Pendapatan Daerah bersumber dari:
a) Pendapatan Asli Daerah
b) Dana Perimbangan; dan
c) Lain-lain Pendapatan.
2) Pembiayaan bersumber dari:
a) Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
b) Penerimaan Pinjaman daerah;
c) Dana cadangan daerah; dan
d) Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
PAD bersumber dari pajak daerah; retribusi daerah; hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah.
Sedangkan lain-lain PAD yang sah meliput i:
1) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
2) Jasa giro;
3) Pendapatan bunga;
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
5) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
3.Kinerja Keuangan Daerah
3.1. Pengertian Kinerja Keuangan Daerah
Menurut Permendagri No.13 Tahun 2006 kinerja adalah
keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai
sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas
yang terukur.
Menurut Mahsun (2006 : 25) “Kinerja adalah gambaran mengenai
tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang teruang dalam
stategic planning suatu organisasi”.
Menurut Mardiasmo (2002:121) “Sistem pengukuran kinerja sektor
publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik
menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan
nonfinansial”.
Disamping itu, menurut Sedarmayanti (2003:64) “Kinerja
(performance) diartikan sebagai hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses
manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja
tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan standar yang telah
ditentukan”.
Faktor kemampuan sumber daya aparatur pemerintah terdiri dari
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
sedangkan faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude) sumber daya
aparatur pemerintah dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan
kondisi yang menggerakan sumber daya aparatur pemerintah dengan terarah
untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu good governance.
Pengukuran kinerja yang digunakan secara umum oleh perusahaan
yang berorientasi pada pencapaian laba antara lain melalui penetapan rasio
keuangan. Rasio yang dimaksud dalam laporan keuangan adalah suatu
angka yang menunjukkan hubungan antara suatu unsur dengan unsur
lainnya. Suatu rasio tersebut diperbandingkan dengan perusahaan lainnya
yang sejenis, sehingga adanya perbandingan ini maka perusahaan tersebut
dapat mengevaluasi situasi perusahaan dan kinerjanya.
Dalam penelitian ini yang dimaksud kinerja keuangan pemerintah
daerah adalah tingkat capaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan
daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan
indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan
perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk kinerja tersebut
berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur laporan
pertanggungjawaban kepala daerah berupa perhitungan APBD.
3.2. Parameter Rasio Kinerja Keuangan Daerah
Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap
APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada
kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya.
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio
terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian
dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan
swasta.
Analisis rasio keuangan pada APBD keuangan pada APBD
dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode
dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui
bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan
dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu
pemerintah daerah tertentu dengan daerah lain yang terdekat maupun yang
potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana rasio keuangan
pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Menurut
Munir, et al (2004) beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan
data keuangan yang bersumber dari APBD adalah sebagai berikut:
1) Desentralisasi fiskal
(TPD) Daerah Penerimaan Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan (TPD) Daerah Penerimaan Total (BHPBP) Daerah k Pajak Untu Bukan dan Pajak Hasil Bagi
2)Tingkat Kemandirian Pembiayaan
(BRNP) Pegawai Belanja Non Rutin Belanja Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan Total (TPjD) Daerah Pajak Total
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
(TBD) Daerah Belanja Total (TSA) Anggaran Sisa Total (TBD) Daerah Belanja Total (TPL) lain -Lain n Pengeluara Total
Halim (2007:232) menyatakan beberapa rasio keuangan yang juga
dapat dipakai untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah antara
lain:
1) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Pinjaman dan insi Pusat/Prop Pemerintah Bantuan (PAD) Daerah Asli Pendapatan Total
2) Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian)
APBD Total Rutin Belanja Total APBD Total n Pembanguna Belanja Total
3) Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan yang dimaksud disini adalah pertumbuhan
pendapatan asli daerah, total pendapatan daerah, total belanja rutin,
dan total belanja pembangunan dari satu periode ke periode
berikutnya.
Penjelasan dari parameter rasio diatas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Desentralisasi Fiskal
Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
mengelola pendapatan. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat
kontribusi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan yang
dikelola sendiri oleh daerah terhadap total penerimaan daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan penerimaan yang berasal
dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah dan
pengelolaan kekayaan milik daerah serta lain-lain pendapatan yang sah.
Total Pendapatan Daerah merupakan jumlah dari seluruh penerimaan dari
seluruh penerimaan dalam satu tahun anggaran.
Bagi Hasil Pajak merupakan pajak yang dialokasikan oleh
Pemerintah Pusat untuk kemudian didistribusikan antara pusat dan daerah
otonom. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat keadilan
pembagian sumber daya daerah dalam bentuk bagi hasil pendapatan sesuai
potensi daerah terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi hasilnya
maka suatu daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya
sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat.
Derajat desentralisasi fiskal, khususnya komponen PAD
dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penemuan Tim Fisipol UGM
[image:34.595.134.491.647.739.2]menggunakan skala interval sebagaimana yang terlihat dalam Tabel berikut:
Tabel 2.4.
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah
<10.00 Sangat kurang
10.01 – 20.00 Kurang
20.01 – 30.00 Cukup
30.01 – 40.00 Sedang
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
>50.00 Sangat Baik
Sumber: Munir, 2004:106
2) Tingkat Kemandirian Pembiayaan
Ukuran ini menguji tingkat kekuatan kemandirian pemerintah
kabupaten dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) setiap periode anggaran. Belanja Rutin Non Belanja Pegawai
merupakan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan tugas pokok
pelayanan masyarakat yang terdiri dari belanja barang, pemeliharaan,
perjalanan dinas, pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan tidak
tersangka serta belanja lain-lain. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur
tingkat kemampuan PAD dalam membiayai balanja daerah diluar belanja
pegawai. Dalam ketentuan yang digariskan bahwa belanja rutin daerah
dibiayai dari kemampuan PAD setiap PEMDA dan karenanya tolok ukur ini
sesuai pengukuran dimaksud.
Pajak Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan orang pribadi,
atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang
dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan
digunakan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan
pemerintah. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi
pajak daerah sebagai sumber pendapatan uang dikelola sendiri oleh daerah
terhadap total PAD. Semakin besar rasio akan menunjukkan peran pajak
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
3) Efisiensi Penggunaan Anggaran
Ukuran ini menunjukkan tingkat efisiensi dari setiap penggunaan
uang daerah. Sisa Anggaran (Sisa Perhitungan Anggaran) merupakan selisih
lebih antara penerimaan daerah atas belanja yang dikeluarkan dalam satu
tahun anggaran ditambah selisih lebih transaksi pembiayaan penerimaan dan
pengeluaran. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemampuan
perencanaan sesuai prinsip-prinsip disiplin anggaran sehingga
memungkinkan setiap pengeluaran belanja menghasilkan sisa anggaran.
Semakin kecil rasio akan menunjukkan peran perencanaan dan pelaksanaan
anggaran semakin baik.
Pengeluaran lainnya merupakan pengeluaran yang berasal dari
pengeluaran tidak termasuk bagian lain ditambah dengan pengeluaran tidak
tersangka yang direalisasikan dalam satu tahun anggaran. Total Belanja
Daerah merupakan jumlah keseluruhan pengeluaran daerah dalam satu
tahun anggaran yang membebani anggaran daerah. Rasio ini mengukur
pengendalian dan perencanaan anggaran belanja. Semakin kecil rasio akan
menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah berupaya sejauh mungkin
mengurangi biaya lain-lain atau biaya taktis yang tidak jelas tujuan
pemanfaatannya.
4) Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan
daearah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya
pendapatan asli daerah dibandingakan dengan pendapatan daerah yang
berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat/propinsi
ataupun dari pinjaman.
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap
sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti
bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern
(terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan demikian
pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian,
semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi
daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin
tinggi masayarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi.
5) Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian)
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja
pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang
dialokasikan untuk belanja rutin berari persentase belanja investasi (belanja
pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
Belum ada patokan yang pasti berapa besarnya rasio belanja rutin
maupun pembangunan trehadap APBD yang ideal, karena sangat
dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan
investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan.
Namun demikian, sebagai daerah dinegara berkembang peranan pemerintah
daerah untuk memacu pelaksanaan pembangunan masih relatif besar. Oleh
karena itu, rasio belanja pembangunan yang relatif masih kecil perlu
ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan didaerah.
6) Rasio Pertumbuhan
Dalam rasio pertumbuhan ini, akan dilihat empat pertumbuhan
komponen dari APBD yaitu: Pendapatan Asli Daerah, Total Pendapatan
Daerah, Total Belanja Rutin, dan Total Belanja Pembangunan. Rasio
pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur seberapa besar kemampuan
pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan
keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya.
Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber
pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi
mana yang perlu mendapatkan perhatian.
3.3. Tujuan Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong
pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara
berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio
keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya.
Menurut Widodo (Halim, 2002:126) hasil analisis rasio keuangan ini
bertujuan untuk:
1) Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.
2) Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.
3) Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya.
4) Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.
5) Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
B. Tinjauan Penelitian Terdahulu Tabel 2.5.
Tinjauan Penelitian Tedahulu
Nama Judul
Pengukuran Penelitian
Hasil Penelitian
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
6.Rasio pertumbuhan. 2.Ahzir Erfa (2008) Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Setelah Otonomi Khusus (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Aceh Utara) Rasio yang digunakan: 1.Rasio Kemandirian 2.Rasio Efektifitas Dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah 3.Rasio Keserasian 4.Rasio Upaya Fiskal 5.Rasio Pertumbuhan 6.Rasio Desentralisasi Fiskal Analisis data menggambarkan bahwa dengan diberlakukannya otonomi khusus dapat merubah atau menaikkan rata-rata kinerja keuangan Pemkab Aceh Utara. Dimana PAD mengalami peningkatan dengan sedikit bantuan dari pusat dan propinsi, pemerintah dapat meminimumkan biaya untuk memungut PAD, pemerintah mulai bisa menyeimbangkan antara belanja rutin dan pembangunan. 3.Martha Yurdilla Janur (2009) Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Analisis Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo Sesudah Otonomi Daerah Rasio yang digunakan: 1.Rasio Kemandirian Keuangan Daerah 2.Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah 3.Rasio Aktivitas 4.Rasio Pertumbuhan Untuk rasio kemandirian keuangan daerah dan rasio efektifitas dan efisiensi PAD, kinerja keuangan Pemkab Bungo mengalami
persentase naik turun. Untuk rasio aktivitas
menunjukkan hasil yang kurang efektif.
Untuk rasio pertumbuhan dan DSCR
menunjukkan kinerja
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
karena mengarah kepada tren positif.
C. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan sintesis atau ekstrapolasi dari kejadian
teori yang mencerminkan keterkaitan antara variabel yang diteliti dan merupakan
tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis dan
merupakan tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan variabel ataupun masalah yang ada dalam penelitian.
Adapun kerangka konseptual dalam penelititan ini dapat digambarkan melalui
bagan alur berikut yang disertai penjelasan kualitatif
Pemerintah Kota Medan
Laporan Pertanggungjawaban APBD
Kinerja Keuangan Daerah
Laporan Pertanggungjawaban APBD
Kinerja Keuangan Daerah Laporan Realisasi
Anggaran
Laporan Realisasi Anggaran
DIBANDINGKAN
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Penelitian
Sumber: Diolah Penulis, 2009
Keterangan Bagan :
Pada Pemerintah Kota Medan, data yang dipakai atau digunakan adalah
Laporan Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
kepala daerah. Dalam hal ini data yang dipakai dikhususkan pada laporan realisasi
anggaran atau pada saat ini lebih dikenal dengan nama Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban (LKPJ) kepala daerah. Kemudian dari LKPJ ini diambil
data-data yang diperlukan atau yang dipakai dalam penelitian ini, yang kemudian
akan dianalisis dengan memakai rasio kinerja keuangan daerah yaitu : rasio
derajat desentralisasi fiskal, rasio tingkat kemandirian pembiayaan, rasio efisiensi
penggunaan anggaran dan rasio kemandirian keuangan daerah. Setelah itu
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian berbentuk deskriptif,
yaitu penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah
berlangsung pada saat penelitian dilakukan atau selama kurun waktu tertentu dan
memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Umar Husein (1997:56)
mengatakan bahwa salah satu tanda suatu penelitian itu berjenis deskriptif adalah
adanya studi kasus pada penelitian tersebut, seperti yang dilakukan dalam
penelitian ini.
B. Jenis Data
Data yang dikumpulkan dan digunakan adalah data sekunder, yang
diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan dan analisis dokumen meliputi
Undang-undang Rapublik Indonesia, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri,
Peraturan Daerah mengenai pengelolaan keuangan daerah dan Laporan Realisasi
APBD Pemerintah kota Medan dari tahun anggaran 1995-2006.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Teknik Dokumentasi, yakni dengan melalui pencatatan dan fotokopi data-data
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
2. Teknik Kepustakaan, yakni dengan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan
melalui buku-buku, literatur-literatur, dan lain-lain yang berkaitan dengan
penelitian.
D. Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode :
1. Metode Deskriptif
Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif yaitu dengan terlebih
dahulu mengumpulkan data yang ada kemudian diklasifikasikan, dianalisis,
selanjutnya diinterpretasikan sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas
mengenai keadaan yang diteliti. Dalam analisis data pada skripsi ini tidak semua
rasio pada tinjauan pustaka digunakan. Dalam hal ini analisis data akan dilakuka n
dengan menggunakan rasio-rasio yang terdiri dari:
a. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
b. Rasio Tingkat Kemandirian Pembiayaan
c. Rasio Efisiensi Penggunaan Anggaran
d. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio-rasio tersebut di atas juga tidak semua digunakan dalam analisis
data pada skripsi ini karena pada rasio-rasio tersebut terdapat rumus-rumus yang
item-nya tidak terdapat pada realisasi APBD sebelum dan setelah otonomi daerah.
Contohnya pada rasio tingkat kemandirian pembiayaan dimana salah satu
rumusnya memiliki item belanja rutin non pegawai. Belanja rutin hanya terdapat
pada realisasi APBD yang disusun sebelum keluarnya PP No.105 Tahun 2000.
Liza Andriani Saragih : Studi Komperatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Medan), 2009.
USU Repository © 2009
terdapat pada realisasi APBD sebelum dan setelah otonomi daerah sehingga dapat
dibandingkan.
2. Metode Komperatif
Metode analisis dengan menggunakan data yang diperoleh dari objek
penelitian lalu membandingkannya dengan keadaan yang diinginkan (pada
penelitian ini yaitu sebelum dan setelah otonomi daerah), sehingga diketahui
gambaran dan membuat kesimpulan yang sebenarnya dari masalah yang sedang
diteliti.
E. Jadwal dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dimulai pada bulan Desember 2009 sampai dengan selesai