NILAI-NILAI SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA
SI
BUYUNG BESAR
MASYARAKAT MELAYU SERDANG
SKRIPSI Dikerjakan O
L E H
FUAD SYARIAL NIM : 040702007
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU MEDAN
Lembar Pengesahan
NILAI-NILAI SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA
SI BUYUNG BESAR
MASYARAKAT MELAYU
SERDANG
OLEH FUAD SYARIAL
DIKETAHUI / DISETUJUI OLEH : Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Yos Rizal, MSP Drs. Warisman Sinaga, M.Hum NIP : 132006290 NIP : 131789087
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
Ketua Pelaksana,
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah hirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas limpahan
rahmat serta hidah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi yang berjudul ”Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Rakyat Si Buyung
Besar Masyarakat Melayu Serdang” ini sebagai tugas akhir di Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara. Shalawat teriring salam selalu disampaikan kepada
Rasulullah SAW yang merupakan seorang revolusioner islam, yang menjadi
tauladan hidup penulis sampai saat ini sekarang ini dan sampai akhir zaman ini.
Amin.
Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih saya
yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Syaifuddin, M.A., Ph.D Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara selaku pimpinan tertinggi di Fakultas yang memberikan
nasehat-nasehatnya kepada penulis.
2. Bapak Drs. Baharuddin, M.Hum selaku Ketua Departemen Sastra Daerah
yang telah bersedia dan selalu membimbing sampai selesainya skripsi ini.
3. Bapak Drs. Yos Rizal, MSP selaku pembimbing I, yang di bawah bimbingan
dan arahan dari beliaulah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. selaku pembimbing II dan selaku
sekretaris Departemen Sastra Daerah yang telah membantu penulis demi
kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap dosen/ staf pengajar Departemen Sastra Daerah dan Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara yang telah memberi tuntunan, bimbingan, dan
6. Buat yang teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda yang selalu penulis
sayangi, yang telah membimbing, mengasuh, mengajari, penulis sedari kecil
sampai dengan sekarang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk
menyelesaikan gelar Sarjana dari Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara,
serta abang-abang dan adik-adik saya yang selalu penulis sayangi.
7. Kepada Rekan-rekan sepermainan di Sastra Daerah, yaitu : Siba, Dayat ( Pak
Tua ), Citra ( BCL), Mustafa ( Toke ), Zupri, Eka. Serta kawan-kawan penulis
di Sastra Daerah dan di Fakultas Sastra yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
8. Buat Noni yang telah banyak merubah hidup penulis, yang selalu memberikan
inspirasi dan motivasi kepada penulis.
Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak penulis hanya dapat
mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Semoga skripsi ini bermanfat bagi
kita semua, sekarang maupun yang akan datang.
Medan, Maret 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……….. 1
1.2 Perumusan Masalah………... 4
1.3 Tujuan Penelitian………... 4
1.4 Manfaat Hasil Penelitian………... 5
1.5 Anggapan Dasar………... 5
1.6 Orisinilitas Penelitian……..………. 6
1.7 Objek Penelitian………... 6
1.8. Sosiologi Dan Sastra... 7
1.8.1 Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra... 11
1.8.2 Landasan Teori yang Digunakan... 12
1.9 Metode Penelitian... 14
1.9.1 Metode Dasar... 14
1.9.2 Metode Pengumpulan Data... 14
1.9.3 Metode Analisis Data... 15
BAB II STRUKTUR CERITA RAKYAT SI BUYUNG BESAR 2.1 Sinopsis………... 16
2.2 Tema... 31
2.3 Alur………... 34
2.4 Latar………... 42
2.5 Watak dan Perwatakan……….... 47
BAB III NILAI-NILAI SOSIOLOGIS DALAM CERITA RAKYAT SI BUYUNG BESAR 3.1 Adat Istiadat Manjunjung Duli……… 53
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan………... 64
4.2 Saran………... 65
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak etnik, salah satunya
adalah etnik Melayu. Etnik Melayu mempunyai banyak kesusasteraan dan masih
berkisar pada sastra lisan. Sastra lisan itu sebagian besar tersimpan di dalam
ingatan orang tua atau tukang cerita yang jumlahnya semakin berkurang karena
perkembangan zaman dengan adanya kemajuan teknologi komunikasi.
Sastra lisan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sastra
tertulis. Sebelum munculnya sastra tulis, sastra lisan telah berperan membentuk
apresiasi masyarakat terhadap sastra, sedangkan dengan adanya sastra tulis, sastra
lisan terus hidup berdampingan dengan sastra tulis. Oleh sebab itu, studi tentang
sastra lisan merupakan hal yang penting bagi para ahli yang ingin memahami
peristiwa perkembangan sastra, asal mula timbulnya genre sastra, serta
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh adanya
hubungan antara studi sastra lisan dengan sastra tulis sebagaimana adanya
kelangsungan tidak terputus antara sastra lisan dan sastra tertulis (Wellek dan
Warren, 1998 : 47).
Sastra lisan merupakan bagian suatu kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan turun temurun secara
lisan sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi
sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, serta penyalur perasaan, melainkan
juga sebagai alat cermin sikap pandangan dan lembaga kebudayaan serta alat
Sastra lisan, termasuk cerita lisan, merupakan warisan budaya nasional dan
masih mempunyai nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk
kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, antara lain dalam hubungan
pembinaan apresiasi sastra. Sastra lisan juga telah lama berperan sebagai wahana
pemahaman gagasan dan pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat.
Bahkan, sastra lisan telah berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara
pencipta dan masyarakat, dalam arti ciptaan yang berdasarkan lisan akan lebih
mudah digauli karena ada unsur yang dikenal masyarakat.
Dalam keadaaan masyarakat yang sedang membangun, seperti halnya
masyarakat Indonesia sekarang ini, berbagai bentuk kebudayaan lama ternasuk
sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah kesibukan
pembangunan dan pembaharuan yang sedang meningkat. Sehingga
dikhawatirkan lama kelamaan akan hilang tanpa bekas atau berbagai unsurnya
yang asli tidak dapat dikenal lagi.
Mengingat kedudukan dan peranan sastra lisan yang cukup penting, maka
penelitian sastra lisan perlu dilakukan sesegera mungkin. Lebih-lebih lagi bila di
ingat bahwa terjadinya perubahan dalam masyarakat, seperti adanya
kemajuan-kemajuan teknologi, adaya radio, televisi dapat menyebabkan berangsur hilangnya
sastra lisan di seluruh Nusantara. Dengan demikian, penelitian sastra lisan berarti
melakukan penyelamatan sastra lisan itu dari kepunahan, yang dengan sendirinya
merupakan usaha pewaris nilai budaya, karena dalam sastra lisan itu banyak
ditemui nilai-nilai serta cara hidup dan berfikir masyarakat (nilai-nilai sosiologis
mengenal adanya sastra lisan, demikian pula halnya dengan sastra lisan Melayu
Serdang.
Salah satu genre prosa rakyat dari kesusasteraan Melayu adalah cerita rakyat
yang lahir dari etnik Melayu Serdang. Sastra lisan Melayu Serdang merupakan
salah satu warisan budaya bangsa yang perlu diselamatkan. Salah satu usaha
penyelamatan adalah dengan mengadakan penelitian dan inventarisasi.
Di samping itu, penelitian ini bermanfaat pula sebagai salah satu upaya
pembinaan dan pengembangan sastra lisan yang bersangkutan, sekaligus
mempunyai manfaat dalam rangka pembinaan dan pengembangan budaya daerah
dan nasional.
Si Buyung Besar menceritakan tentang kehidupan suami istri yang hidup
rukun dan damai serta mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Si
Buyung Besar, di mana pertumbuhan badannya sedemikian pesat menyebabkan
perbedaan sifat dengan usianya. Kerumitan yang dihadapi oleh orang tuanya
sehubungan dengan keganjilan perangai Si Buyung Besar menyebabkan
kebingungan kedua orang tuanya. Sehingga mereka memberikannya kepada
Datuk Penghulu, walaupun dengan perasaaan berat. Akhir cerita si anak yang
berjiwa sosial dan tabah hati itu menemukan kebahagiaan. Cerita ini selain
memiliki nilai-nilai sosiologis juga memiliki nilai-nilai pengajaran.
Ditinjau dari segi kemasyarakatan, penelitian ini juga mempunyai arti
penting. Ia dapat digunakan sebagai bahan pengajaran bahasa dan sastra
Indonesia dan daerah. Secara tidak langsung penelitian ini juga memberikan
sumbangan bahan pembinaan kepribadian bangsa, terutama sastra lisan yang
1.2 Perumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka diperlukan perumusan
masalah yang tepat agar pembahasan terhadap cerita rakyat Si Buyung Besar
tidak meluas dan mencapai sasaran yang dikehendaki.
Permasalahan yang akan dibicarakan dalam tulisan ini pada hakikatnya
mencakup aspek nilai-nilai sosiologis dalam cerita Si Buyung Besar. Untuk
mengetahui dan memahami aspek-aspek sosiologis dalam cerita rakyat tersebut
maka dianggap perlu untuk menelaah terlebih dahulu aspek-aspek pembangun
dari cerita rakyat tersebut atau unsur-usur pembentuk dalaman cerita (unsur
intrinsik) rakyat Si Buyung Besar.
Adapun masalah yang akan dibahas dalam skripsi adalah :
1. Stuktur intrinsik yang membangun cerita rakyat Si Buyung Besar yaitu
sinopsis, tema, alur, latar, dan perwatakan.
2. Nilai-nilai sosiologis apa saja yang terdapat dalam cerita rakyat Si Buyung
Besar.
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah maka kajian sosiologis dalam cerita
rakyat Si Buyung Besar secara khusus bertujuan untuk :
1. Mengetahui struktur intrinsik cerita rakyat Si Buyung Besar yang terdiri atas
sinopsis, tema, alur, latar, dan perwatakan.
2. Mengetahui nilai- nilai sosiologis dalam cerita rakyat Si Buyung Besar
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat yang diharapkan oleh penelitian adalah :
1. Membantu pembaca untuk memahami unsur-unsur yang membangun cerita
rakyat Si Buyung Besar.
2. Membantu pembaca untuk memahami adanya nilai-nilai sosiologis dalam
cerita rakyat Si Buyung Besar.
3. Membangkitkan minat membaca kalangan cifitas akademika, terutama
mahasiswa Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
dan masyarakat luas pada umumnya.
4. Memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan dapat
diwariskan pada generasi yang akan datang.
5. Menyelamatkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah
khususnya melalui cerita-cerita rakyat daerah Sumatera Utara.
1.5
Anggapan Dasar
Suatu penelitian memerlukan anggapan dasar yang dapat memberikan
gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti. Anggapan dasar adalah titik tolak pemikiran untuk penyelidikan tertentu,
titik tolak yang dapat diterima kebenarannya. Maka penulis memiliki anggapan dasar bahwa dalam cerita rakyat Si Buyung Besar terkandung nilai-nilai sosiologi
1.6 Orisinalitas Penelitian
Penelitian terhadap cerita rakyat Si Buyung Besar ini telah dilakukan oleh
Rosmawati R dan kawan-kawan, pada tahun 1990, dengan judul Struktur Sastra Lisan Melayu Serdang. Namun kajian yang dilakukan oleh Rosmawati R dkk., hanya menyangkut deskripsi fungsi dan kedudukan cerita rakyat tanpa
menganalisis cerita rakyat Si Buyung Besar, baik dengan pendekatan sastra
maupun dengan pendekatan sosiologis sastra
Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa kajian yang penulis kerjakan
terhadap cerita rakyat Si Buyung Besar merupakan karya ilmiah yang masih asli
(orisinal) dan belum pernah dikaji oleh peneliti manapun. Adapun kajian yang
penulis fokuskan adalah nilai-nilai sosiologis yang terkandung di dalam cerita Si
Buyung Besar.
1.7 Objek Penelitian
Naskah yang menjadi objek penelitian penulis adalah kumpulan cerita yang
diteliti oleh Rosmawati R dan kawan-kawan pada tahun 1990 dengan data sebagai
berikut :
a. Judul Buku : Struktur Sastra Lisan Melayu Serdang
b. Penulis : Rosmawati R, Anni Krisna Srg, Ahmad Samin Srg, dan
Zainal Abidin.
c. Cover Depan : Gambar Ornamen MelayuWarna Orange
d. Cover Belakang : Gambar Ornamen MelayuWarna Orange
e. Tebal Halaman : 122 halaman
f. Ukuran : 12 x 17,5 cm
h. Penerbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
1.8 Sosiologi dan Sastra
Membicarakan sosiologi dan sastra adalah membicarakan sampai di mana
hubungan antara sosiologi dan sastra. Dan membicarakan hasil sastra yang
relevan bagi seseorang.
Sastra begitu dekat dengan kehidupan manusia. Sastra tercipta untuk
dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan manusia dalam suatu masyarakat. Sebagai
sesuatu yang perlu dinikmati karya sastra harus mengandung keindahan yang
berasal dari keoriginalitasan sehingga dapat memenuhi dan memuaskan kehausan
estetis masyarakat penikmatnya. Sebagai sesuatu yang perlu dipahami, karya
sastra memendam kompleksitas yang hanya dapat dimengerti dengan usaha yang
sungguh-sungguh dan teliti oleh masyarakat pembacanya. Dengan demikian,
untuk mengungkapkan kandungan karya sastra dibutuhkan kepekaan luar biasa.
Sebagai sesuatu perlu dimanfaatkan, karya sastra mengandung nilai berharga yang
dapat dipergunakan untuk kesejahteraan manusia.
Banyak kenyataan sosial yang dihadapi manusia dalam kehidupan
bermasyarakat. Kenyataan sosial itu dapat berupa tantangan untuk
mempertahankan hidup, kebahagian dalam situasi keberhasilan, frustasi dalam
situasi kegagalan, kesedihan dalam suasana kemalangan, dan lain sebagainya.
Kenyataan sosial tersebut muncul sebagai akibat hubungan antar manusia,
hubungan antar masyarakat dan hubungan antar peristiwa dalam batin seseorang.
Hal di atas senada dengan apa yang disampaikan Damono (1984 : 4-5)
”Kenyataan sosial tersebut mendapatkan perhatian sang pengarang, baik karena dia menyaksikan maupun karena dia mengalaminya sendiri. Dengan demikian, sastra, melalui ramuan pengarang, mereflesikan gambaran kehidupan. Namun, tujuan utama sang pengarang bukanlah hanya menampilkan kenyataan sosial atau gambaran kehidupan, melainkan dia hendak menjadikan sastra sebagai resep kehidupan yang mampu menangkal penyakit dan manjur sebagai obat penyembuh. Sastra menjadi peralatan kehidupan manusia. Sastra dengan demikian berperan sebagai : 1. Pelipur lara, 2. Ungkapan kekesalan, 3. Kritik sosial, 4. Nasihat, 5.Teguran, 6. Pemasyarakatan manusia yang menderita”.
Secara sosiologi, sastra adalah strategi (sikap) untuk menghadapi situasi
yang dialami manusia demi mengembangkan kemasyarakatan. Situasi yang
dialami manusia itu sendiri sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan demikian, pengarang merupakan ahli strategi.
Pengarang harus mampu menilai sesuatu dengan tepat dan teliti. Pengarang
tidak akan dapat mengetahui dan mengantisipasi masa dengan sesuatu yang tepat,
apa yang akan memberikan harapan dan apa yang akan menyuguhkan ancaman,
apabila ia tidak mengetahui keadaan sesuatu dengan jelas. Dengan demikian,
seorang ahli strategi yang bijaksana tidak akan puas dengan strategi yang hanya
memuaskan dirinya sendiri. Pengarang akan waspada terhadap ancaman atau
bahaya yang sewaktu-waktu dapat menghadang.
Dari uraian di atas dapat dilihat tiga aspek yang saling berhubungan yaitu
hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hubungan itu bersifat sosial
dan tertuang dalam suatu karya sastra sebagai sarana penghubung antar sastrawan
dan masyarakat pembaca. Dengan demikian, pembicaraan ini bersifat sosiologis
yang disebut sosiologi sastra.
Dalam pembicaraan ini terdapat dua istilah ilmu yang perlu dijelaskan untuk
memberikan pengertian yang lebih dalam yaitu istilah sosiologi dan sastra.
”Suatu telaah atau studi yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama ; keluarga dengan moral ; hukum dengan ekonomi ;gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya), mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala nonsosial (misalnya gejala geografis, geologis, dan sebagainya), dan mempelajari ciri-ciri umum semua jenis-jenis gejala sosial”.
Apabila kita berbicara tentang gejala sosial maka perhatian kita tertuju pada
hubungan manusia dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat dengan
lingkungannya, baik yang bersifat sosial budaya maupun tidak. Dengan
mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian,
keagamaan, politik, dan yang lain-lain, kita mendapat gambaran tentang cara-cara
manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme
kemasyarakatannya, serta proses pembudayaannya.
Sastra (Damono, 1984 : 7), mengatakan : ”Sebagaimana halnya sosiologi seperti yang disebutkan di atas, berurusan dengan manusia dengan masyarakat : usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi hasil atau masalah yang sama”.
Sosiologi sastra juga mempunyai cakupan yang cukup luas sebagaimana
halnya dengan cakupan sastra seperti yang diuraikan di atas. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa sosiologi sastra adalah studi sosiologis terhadap karya sastra
yang membicarakan hubungan dan pengaruh timbal balik antara sastrawan, sasta,
dan masyarakat (masyarakat pembaca dan kenyataan nilai-nilai sosiologis dalam
masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut), dengan menitik beratkan pada
realitas dan gejala nilai-nilai sosiologis yang ada di antara ketiganya. Dengan
batasan seperti itu tampaklah kecenderungan ke arah penyelidikan atau relasi
antara kenyataan yang hidup dalam masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut
Danandjaya (1999 : 414) dalam bukunya yang berjudul Memilih Hasil
Sastra Yang Relevan Bagi Seorang Sosiologi, mengatakan :
“Berbagai alasan dapat mendorong seseorang untuk menganalisis keadaan sosial suatu masyarakat melalui karya sosial suatu masyarakat melalui karya sosial suatu masyarakat melalui karya sastra. Misalnya dengan membaca karangan Ranggawarsito maka ia dapat menemukan suatu khazanah nasehat-nasehat bijaksana mengenai sikap dan perilaku seseorang dalam masyarakat. Bahkan untuk karya sastra yang semacam itu, sangat relevan untuk mengerti kode etika dan harapan-harapan yang berlaku di dalam masyarakat”.
Untuk mengetahui sikap dan perilaku seseorang di dalam suatu masyarakat
tertentu, apabila di daerah yang belum dikenal seseorang, maka seseorang itu
dapat membaca atau menganalisis karya sastra. Sebab, karya sastra akan
membicarakan suatu gambaran tentang sikap perilaku masyarakat yang berlaku di
daerah tersebut. Dengan demikian, karya sastra melukiskan sikap dan perilaku
suatu masyarakat pada zamannya. Atau dengan kata lain, karya sastra merupakan
pencerminan masyarakat pada zamannya.
Pencerminan suatu masyarakat yang dimaksud seperti yang diungkapkan
Semi (1984 : 55),
“Kesusasteraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena itu, karya sastra hanyalah merupakan cerminan dari pengarang semata kalaupun pengarang menggambarkan suatu keadaan umum masyarakat dalam karya sastranya, maka gambaran itu hanyalah karena telah menjadi persoalan pribadinya sendiri”.
Sastra sebagai ungkapan pribadi pengarang, juga dikemukakan
Sumardjo(1986 : 3) yakni, ”Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang barupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan yang dapat
Bedasarkan kedua pendapat yang berbeda tersebut, penulis berada di
antaranya. Artinya, dari satu sisi, benar bahwa karya sastra merupakan karya
individual pengarang dan karena itu tidak harus mencerminkan keadaan suatu
masyarakat pada zamannya. Kalau pun karya sastra melukiskan keadaan suatu
masyarakat, hal itu hanyalah karena telah terjadi persoalan pribadi pengarang.
Akan tetapi, dari sisi lain, benar bahwa karya sastra merupakan pencerminan
suatu masyarakat pada zamannya.
1.8.1 Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mendekati sebuah karya sastra,
misalnya melalui apresiasi. Apresiasi adalah penghargaan dan pemahaman atas
hasil seni atau budaya. Natawijaya (1980 : 3) membuat tingkat apresiasi dalam
sosiologi sebagai pendekatan sastra. Tingkat apresiasi sastra itu di bagi ada lima
yaitu :
”Tingkat penikmatan, tingkat penghargaan, tingkat pemahaman, tingkat penghayatan, dan tingkat implikasi. Tingkat penikmatan dan tingkat penghargaan berdasarkan tingkat operasionalnya masih bersifat monoton atau merasa senang serta bersifat pemilikan atau merasa kagum. Sedangkan tingkat pemahaman, tingkat penghayatan dan tingkat implikasi berdasarkan tindakan operasionalnya telah bersifat studi dan meyakini akan karya sastra yang diapresiasi. Selain itu, pendekatan sastra dapat juga dilakukan melalui kritik. Kritik adalah upaya menentukan nilai hakiki pada sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberikan pertimbangan melalui pemahaman dan penafsiran yang tepat”.
Di samping tingkat apresiasi, ada pula cara lain yang dilakukan dalam
upaya mendekati sebuah karya sastra. Sebagaimana yang telah penulis katakan
bahwa karya sastra terbagi dua yakni berdasarkan bentuk dan berdasarkan isi.
Maka cara yang lain penulis maksud adalah berdasar isi karya sastra, yang
Meskipun bentuk pendekatan melalui salah satu tingakat apresiasi atau
melalui satu jenis kritik, akan tetapi terkandung pendekatan tetap mengutamakan
isi karya sastra tersebut. Artinya, mendekati karya sastra itu melalui isi yang
dalam hal ini adalah sosiologi. Hanya yang menjadi masalah sekarang, apakah
sosiologi dapat mendekati sastra atau sebaliknya sastra bagaimana hubungan
keduanya. Salleh (1980 : 64), juga mengatakan bahwa :
”Seorang sosiolog dan sastrawan bahwa sosiologi menerima sumbangan dari sastra dan begitu pula sastra menerima sumbangan dari sosiologi. Hemat penulis, sumbangan yang dimaksud itu adalah : sumbangan sosiologi pada sastra yakni masalah-masalah sosiologi dapat dijadikan sebagai saran pengembangan sosiologi kepada karya sastra, yakni masalah-masalah sosiologi dapat dijadikan sebagai sarana sosiologi”.
Dengan demikian, jelaslah sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu
pendekatan sastra, sebab antar sosiologi dan sastra saling menguntungkan. Hanya
perlu disadari bahwa karya sastra bukanlah merupakan cermin yang mendahului
pikiran masyarakat zamannya, melainkan karya sastra hanyalah cerminan
masyarakat zamannya.
1.8.2Landasan Teori yang digunakan
Penulis membahas penelitian ini berdasarkan teori struktur dari segi
intrinsik dan teori sosiologi sastra yang sesuai sehingga tidak menyimpang dari
apa yang diharapkan.
Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk dan
berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam
memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori yang diperlukan untuk
membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi
intrinsik yakni menjelaskan sinopsis, tema, alur, latar, dan watak dalam cerita
rakyat Si Buyung Besar dan teori sosiologi sastra dalam buku karangan Sapardi
Djoko Damono.
Hal di atas didukung oleh pernyataan Abrams (Damono, 1981 : 178)
mengatakan :
”Sosiologi sastra diaplikasikan pada tulisan-tulisan para kritikus sejarawan sastra yang menaruh perhatian utama pada cara atau keadaan seseorang pengarang dipengaruhi kelas sosialnya, ideologi sosialnya, kondisi ekonominya, profesinya, dan pembaca”.
Waren dalam (Damono, 1999 : 84) mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi : Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra-sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
Ian Watt (dalam Damono, 1999 : 3-4) melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh sebab itu, telaah sosiologi suatu karya sastra akan mencakup tiga hal, yaitu : Pertama, konteks sosial pengarang yaitu menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk di dalamnya faktor sosial yang mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yaitu sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, serta sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan
unsur intrinsik sebagai landasan teori dalam menganalisis cerita rakyat Si Buyung
Besar. Menurut0pandangan teori ini, karya sastra di lihat hubungannya dan
kenyataan, di mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan-kenyataan yang di
sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar
hubungannya, keduanya saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
Juga berhubungan sosiologi sastra dengan unsur intrinsik dalam cerita rakyat Si
Buyung Besardari segi sinopsis, alur, tema, latar, dan perwatakan.
1.9 Metode Penelitian 1.9.1 Metode Dasar
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif, yang oleh Nawawi (1987 : 63)
diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subjek penelitian
(seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan
fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Dengan demikian dalam penelitian ini penulis hanya mendeskripsikan
data-data fakta yang terdapat di dalam cerita sehingga dapat diketahui unsur-unsur
pembentuk ceritanya dan nilai-nilai sosiologisnya.
1.9.2 Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka digunakan
metode pengumpulan data sebagai berikut :
a. Studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan mempelajari
buku-buku, jurnal penelitian, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang
berhubungan dengan topik penelitian.
b. Studi teks, yaitu pengumpulan data melalui naskah yang diteliti setelah
terlebih dahulu membaca kemudian menafsirkan nilai-nilai sosiologi yang
1.9.3 Metode Analisis Data
Tahap untuk menyelesaikan sebuah data yang terkumpul adalah
menganalisisnya. Penulis menggunakan metode kualitatif dan bersifat deskriptif
yaitu penelitian yang menentukan, menganalisis dan mengklasifikasinya melalui
studi pustaka, seperti berikut :
a. Mengumpulkan data berupa buku-buku yang berkaitan dengan nilai-nilai
sosiologis sebagai bahan refrensi.
b. Menetapkan langkah-langkah pendekatan analisis struktur dari segi intrinsik
BAB II
STRUKTUR CERITA RAKYAT SI BUYUNG BESAR
2.1 Ringkasan Cerita (Sinopsis)
Berikut ini adalah ringkasan (sinopsis) cerita rakyat Si Buyung Besar,
Pada zaman dahulu penduduk pantai pun masih jarang, kepercayaannya
kepada takhyul pun masih kuat. Tinggallah sepasang suami istri yang hidup
rukun dan damai. Mereka bercocok tanam dan mempunyai seorang anak yang
diberi nama Si Buyung Besar. Pertumbuhan anak ini jauh berbeda dari anak-anak
lain karena badannya lekas besar itulah sebabnya dia diberi nama demikian.
Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak
kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak
bermain-main di atas pohon itu. Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena
kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi
dan lucu kedengarannya. “Tidak ada paksa dicari-cari; ada paksa
dibuang-buang”. Begitulah dia bernyanyi setiap hari dan baru turun dari atas pohon
setelah dipanggil ibunya untuk makan. Sehabis makan, segera naik ke atas pohon
lainnya, sambil menetak-netak. Lama-kelamaan ayahnya menjadi heran dan
bertanya “Apa arti nyanyianmu itu, Buyung Besar? Ayah dengar setiap hari
engkau menyanyikan itu-itu juga”. Sang anak tidak mendengarkan kata-kata
ayahnya dan terus menetakkan kapaknya sambil bernyanyi. Segera ibunya
memanggil untuk makan karena sudah tengah hari. Si anak pun turun lalu pergi
makan bersama dengan orang tuanya. Seperti biasa, sehabis makan, ia pergi ke
Pada suatu hari sang ayah berpikir tentang maksud nyanyian anaknya itu.
Hal itu ditanyakan kepada istrinya dan dijawab istrinya “Manalah aku tahu”.
Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk
Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu
membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga
hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah
menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan
perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan
mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang
sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu.
Setelah beberapa tahun berselang Si Buyung Besar pun telah dewasa,
perangainya telah jauh berubah. Sekarang ia jadi pendiam dan hanya berbicara
kalau orang menyapanya. Hanya sekali-sekali kedengaran nyanyian yang dulu
itu.
Suatu hari Datuk Penghulu menanyakan maksud nyanyian itu kepada si
Buyung Besar. “Apa maksud tak ada paksa dicari-cari, ada paksa
dibuang-buang”. Buyung Besar menjelaskan bahwa ia tidak tahu artinya dan menyatakan
bahwa itulah nyanyiannya setiap hari. Kemudian Datuk Penghulu menanyakan
apakah Si Buyung Besar mau berniaga ke luar negeri. Si Buyung Besar menurut
saja segala keinginan Datuk Penghulu. Dan Si Buyung Besar meminta dibuatkan
sebuah kapal untuk dibawa berlayar. Datuk Penghulu bersedia membuatkan
sebuah kapal. Dikerahkan semua tukang ditempat itu untuk mengerjakannya.
Dalam waktu enam bulan kapal itu selesailah. Seminggu kemudian kapal itu
Kapal itu dilengkapi pula dengan sebuah meriam. Sebelum berangkat, malamnya,
Si Buyung Besar lebih dahulu pamit kepada ayah bundanya untuk menyatakan
maksud keberangkatannya serta minta doa restu keselamatan selama berlayar.
Malamnya, setelah minta izin dari Datuk Penghulu, kapal yang berisi buah kelapa
itu pun berangkatlah bersama para pembantunya.
Satu malam, dua malam, minggu berganti bulan, mereka berada diatas
lautan. Suatu hari berkatalah awak kapal kepada Si Buyung Besar seraya
menunjukkan sebuah pulau. Buyung Besar memerintahkan agar kapal ditujukan
kesana. Kini mereka sampai pada sebuah negeri. Buyung Besar berkata kepada
penduduk negeri itu. “Hai penduduk kampung, siapa yang hendak membeli
barang daganganku ini. Aku membawa buah kelapa”. Segera penduduk
kampung itu dating beramai-ramai dan berkata bahwa mereka tidak mempunyai
uang untuk membayarnya. “Barang siapa yang ingin mengerjakan buah kelapa ini
saya berikan. Minyak kelapanya ambillah untuk kalian. Sabut-sabut dan
tempurungnya isikan kembali kedalam kapal hamba”. Katanya. Mendengar
ucapan demikian penduduk kampung sangat gembira dan senang hati.
Beberapa minggu berselang, selesai pekerjaan mereka itu. Seluruh
sabut-sabut dan tempurung kelapa telah diisikan kembali kedalam kapal Si Buyung
Besar. Penduduk kampung itu mengucapkan terima kasih kepada Si Buyung
Besar atas kebaikan hatinya seraya memohon agar dibawakan kembali buah
kelapa yang lain kalau masih ada.
Kembali mereka berlayar mengarungi lautan menuju kampung halamannya.
Berbulan-bulan lamanya mereka di laut barulah sampai ditempat asalnya.
Mendengar dentuman itu Datuk Penghulu segera menjumpainya ditambatan kapal
seraya menanyakan kabar Buyung Besar. Buyung Besar menyampaikan kabar
baik serta memberitahu bahwa hasil dagangannya itu “Pulang Pokok saja”. Datuk
Penghulu tidak ambil pusing walaupun Si Buyung Besar yang dimodalinnya itu
kembali tanpa untung.
Dengan seizin Datuk Penghulu, Si Buyung Besar pergi menemui ayah
bundanya untuk melepaskan rindu hati yang sudah berbulan-bulan berpisah tetapi
hanya satu hari saja. Disana Si Buyung Besar menceritakan pengalamannya
selama enam bulan itu dilaut serta menjelaskan bahwa dagangannya pulang pokok
saja adanya. Mereka melihat perobahan anaknya setelah berlayar itu. Tabiatnya
yang menetak-netakkan kapal ke atas pohon tidak diingatnya lagi. Demikian juga
nyayian yang ganjil itu tidak pernah lagi tersembul dari mulutnya. Esok paginya
ia berangkat menuju rumah Datuk Penghulu setelah pamit dari kedua orang
tuanya.
Di tempat Datuk Penghulu, Si Buyung Besar menyerahkan kebijaksanaan
selanjutnya kepada Datuk Penghulu. Segera isi kapal itu dibersihkan, dikeluarkan
dari dalam kapal serta menanyakan apakah Buyung Besar ingin berlayar lagi.
Buyung Besar mengiakan dengan syarat kalau ada modal lagi ia akan
menyanggupinya. Kali ini yang dibawa adalah padi. Para kuli memuat kapal itu
penuh dengan padi, tetapi orangnya telah berganti bukan lagi mereka yang ikut
berlayar pertama kali. Mereka itu tidak mau ikut lagi karena tidak mendapat gaji
dari Datuk Penghulu atau dari Si Buyung Besar. Esok paginya Si Buyung Besar
akan berangkat jika telah permisi dari Datuk Penghulu. Tetapi, hal itu lebih
tidur malam itu dan baru pagi harinya minta izin dari Datuk Penghulu.
Dijelaskan, kalau tidak ada halangan ia akan berangkat. Dan Datuk
memerintahkan kepada pembantunya agar patuh kepada perintah Si Buyung
Besar.
Malam itu Buyung Besar bersama pembantu-pembantunya berangkat
menuju lautan dengan barang dagangan padi. Pelayaran ini lebih lama dari yang
pertama.
Akhirnya mereka sampai di sebuah negeri lain (bukan negeri persinggahan
semula). Buyung Besar berkata, “Hai penduduk kampung, saya ingin berjumpa
dengan kalian”. Penduduk negeri itu menanyakan diri Si Buyung Besar
dantentang tujuan mereka datang di tempat itu. Setelah menjelaskan diri dan
kedatangannya, ia pun berkata, “Kalau kalian hendak menumbuk padi yang kami
bawa, silahkan. Berasnya kami hadiahkan kepada kalian tetapi segala
kulit-kulitnya keluarkan lalu masukkan kembali kedalam kapal ini”. Dengan senang
hati penduduk negeri itu bekerja keras menumbuk padi.
Setelah dua bulan berselang selesailah pekerjaan menumbuk padi itu dan
kulitnya pun telah masuk kedalam kapal Buyung Besar yang baik hati. Mereka
mengharapkan Buyung Besar kembali membawa dagangan serupa itu dan
mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatinya. Setelah pamit dari penduduk
kampung itu mereka pun kembali berlayar menuju kampung halaman. Antara
sesama kuli-kuli terdengar ocehan, “Alangkah bodohnya dan bencinya aku
melihat tingkah Si Buyung Besar ini. Seenaknya saja memberikan padi-padi itu
kepada orang lain. Kita telah bekerja keras menolongnya, mematuhi segala
kulitnya dibawa pulang. Mati aku melihat kebodohan Si Buyung ini”. Mereka
tidak berani membantah atau mencela terus terang karena takut kepada Datuk.
Setelah hampir dua bulan mereka berlayar pulang, tibalah kapal itu dengan
selamat. Dentuman meriam pun dibunyikan tanda mereka telah tiba kembali.
Datuk Penghulu menyuruh menterinya melihat siapa yang membunyikan meriam
itu. Ia melihat akan Si Buyung Besar telah pulang dari pelayarannya. Datuk
mendapat berita baik-baik dan jawaban yang serupa dengan pelayaran pertama
yakni, “Pulang pokok saja”.
Datuk hanya menyatakan syukur atas keselamatan mereka dan menekan
agar sedikit demi sedikit Buyung Besar dapat menolong orang tuanya. Selesai
berbincang-bincang dengan Datuk Penghulu, Buyung Besar pergi menjumpai
orang tuanya. Diceritakanlah pengalamannya selama di rantau orang, tentang
dagangannya dan sambutan penduduk negeri itu terhadapnya. Kedua orang
tuanya sangat asyik mendengarkan cerita pengalaman anak tunggalnya itu. Larut
malam barulah mereka tidur. Esok paginya, Buyung Besar memberitahukan
keberangkatannya seraya memohon doa restu orang tuanya. Dengan seizin orang
tuanya, Buyung Besar pergi ke tempat Datuk Penghulu. Datuk berkata,
“Bagaimana Buyung Besar dibawa kemari, jadikah kamu berangkat malam nanti?
Pandai besi serta pandai emas dan perak sudah siap menanti dan segala keperluan
telah tersedia. Kuli-kuli yang kau bawa berlayar dulu tidak mau lagi pergi.
Keberangkatanmu yang ketiga ini ditemani oleh tukang-tukang yang mahir
membuat segala macam barang, baik ukiran maupun perabot”.
Sebelum kapal berlayar Datuk Penghulu mengumpulkan semua orang yang
menuruti perintah Buyung Besar dan tidak boleh membantah. Siapa yang berani
membantah akan dihukum. Jadi sebelum ada perintah Buyung Besar, tidak boleh
ada yang mengerjakan sesuatu. Selesai mendengarkan perintah Datuk, kapal itu
pun berangkat.
Setelah beberapa minggu berlayar, sebuah bayangan hitam berada didepan
mereka. Juru mudi memberitahukannya pada Buyung Besar, kapal mereka
ditujukan kesana. Tiada berapa lama, sampailah mereka. Rupanya bayangan itu
tidak lain sebuah pulau yang penuh dengan besi. Namun karena belum ada
perintah, mereka tidak berani. Perintah Buyung Besar yang ditunggu-tunggu itu
tidak juga ada, sehingga salah seorang diantara mereka menggerutu”. Kalau
perintah itu kita tunggu-tunggu, maka satu minggu ini pun kita belum juga akan
bekerja. Karena itu, mari kita saja. “Dijawab oleh orang lain,”Yah, tetapi belum
ada perintah, nanti kita dimarahi”. “Nah, kita dibawa kemari ‘kan untuk bekerja,
kurasa dia tidak akan marah,” kata kawannya. Begitulah, mereka pun bekerja
tanpa perintah Buyung Besar dan membuat barang dari besi menurut keahliannya
masing-masing. Banyak lemari, kursi, tempat tidur, dan barang lainnya yang
sudah mereka kerjakan.
Pada suatu hari berkatalah Buyung Besar kepada juru mudi, “Angkat sauh,
pasang layer, kita segera berangkat ketengah lagi. Tidak seorang pun dapat
membawa barang-barang itu”. Mendengar perintah itu mereka merasa kesal dan
gelisah, tetapi tidak seorang pun berani membantahnya karena membantah berarti
masuk penjara. Juru mudi naik kapal. Kapal pun bergerak meninggalkan pulau
besi itu ketengah lautan luas. Kira-kira lima hari pelayaran juru mudi
yakni, “ Ke tengah”. Juru mudi tidak berani melanjutkan pertanyaan selain
menujukan kapal itu ketengah lautan. Kira-kira sebulan kemudian tampaklah di
depan mereka cahaya putih bersinar.
Hal itu diberitahukan kepada Buyung Besar dan mendapat perintah agar
kapal ditujukan kesana. Kiranya tabiat Buyung Besar selama dalam pelayaran itu
tetap tidak banyak bicara. Sehari-harian ia berjalan dari butiran ke haluan sambil
menetak-netakkan kapal kecilnya ke tepi dinding kapalnya.
Tiada berapa lama kemudian mereka sampai ke tempat asal cahaya putih itu
yang tidak lain sebuah pulau yang penuh dengan perak. Melihat perak itu, para
tukang tidak dapat lagi menahan diri untuk segera mengerjakannya. Mereka
berebut turun ke darat dan bekerja menurut keahliannya masing-masing. Si
Buyung Besar tidak mengacuhkan mereka itu. Ia hanya mondar-mandir dari
haluan ke buritan kapal sambil menetak-netakkan kapak kecilnya.
Lebih kurang sebulan lamanya mereka berada di pulau perak itu. Buyung
besar memerintahkan agar semua mereka yanag berada di darat naik kapal dan
tidak boleh membawa barang-barang yang sudah dibuatnya karena hal itu tidak
pernah diperintahkan. Siapa yang membantah akan dihukum sesuai dengan
hukum Datuk Penghulu ketika berangkat. Para pandai perak itu takut membawa
barang buatannya masing-masing dan naik kapal hampa tangan. Kapal pun
bergerak meninggalkan pulau perak munuju ke tengah lautan. Mereka semua
diam merenungkan apa yang akan terjadi berikutnya.
Sepekan lamanya mereka berlayar, juru mudi menanyakan keadaan mereka
kepada Buyung Besar dan ke mana tujuan berikutnya. Jawab Buyung Besar tetap
pulang. Kapal pun ditujukan ke tengah lautan selama berminggu-minggu. Pada
pagi hari yang cerah, ketika para pekerja masih tidur nyenyak, juru mudi melihat
cahaya merah di depan seolah-olah lautan ini terbakar. Dengan suara keras Ia
berteriak “Oh Buyung Besar di muka kita ada ada cahaya merah seakan-akan
lautan ini terbakar. Apakah kita putar haluan?” Buyung Besar memerintahkan
agar cahaya itu dituju terus. Dengan hati yang berdebar-debam juru mudi
mengarahkan kapal kea rah cahaya merah itu. Seisi kapal menjadi cemas dan
hanya dapat berdoa kepada Tuhan agar dilindungi dari marabahaya. Sehari
semalam berlayar sampailah mereka ke tempat itu yang tidak lain adalah sebuah
pulau yang penuh denagn emas. Kali ini Si Buyung Besar memberi perintah
kepada semua tukang untuk bekerja membuat apa saja dalam jumlah yang banyak
untuk diri masing-masing. Dia diminta membuat sebuah kapal besar sebesar
kapalnya dan sebuah peti berukuran satu depa kali dua depa yang kuncinya dari
dalam. Mendengar perintah ini mereka membuat kapal seperti yang diinginkan
oleh si Buyung Besar. Mereka bekerja dengan tekunnya dalam suasana gembira.
Ringkas cerita, kapal dan peti Si Buyung Besar selesai mereka kerjakan. Begitu
pula dengan barang-barang lain menurut selera masing-masing telah selesai.
Kemudian mereka diperintahkan untuk memasukkan barang-barang itu ke dalam
kapal dan tidak boleh mencampur baur barang yang satu dengan yang lainnya.
Demikianlah kapal emas itu penuh dengan barang-barang yang diikatkan pada
buritan kapal dan tidak seorangpun boleh menungguinya.
Dalam perjalanan pulang, kapal kecil kepunyaan Buyung Besar terjatuh
dalam lautan. Karena itu Buyung Besar memerintahkan juru mudi menghentikan
berpesan, “Tuan-tuan sekalian, kapak saya sudah jatuh ke laut, sedangkan saya
tidak dapat berpisah dengannya, sebab itu saya akan turun ke laut mengambilnya.
Kapal kita tidak boleh berangkat sebelum saya kembali ke kapal walaupun
setahun lamanya. Makanan dan minuman masih cukup untuk dimakan. Jika sauh
itu bergoyang, tandanya saya akan kembali. Jika tanda itu telah ada, maka
tariklah sauh ini.” Katanya sambil menunjuk ke tali itu. Selesai berpesan
demikian, ia pun terjun ke dalam laut. Tinggallah mereka di atas kapal menunggu
nasib apa yang akan terjadi atas diri Buyung Besar.
Di dasar lautan Buyung Besar tercengang melihat sebuah taman dan istana
yang megah. Kiranya istana itu adalah istana Raja Lautan. Di sana tinggal, selain
para pengawal dan hulubalang, Raja Lautan suami istri bersama putrinya. Di
taman itulah putrid raja itu bermain-main. Waktu kapak kesayangan Buyung
Besar jatuh, kebetulan putri Raja Lautan sedang berada di sana. Benda yang jatuh
itu diambilnya lalu disimpannya dalam biliknya. Tidak seorangpun mengetahui
bahwa Tuan Putri mendapatkan kapak itu.
Buyung Besar terus pergi mendapatkan seorang yang sedang menjaga di
depan istana. Ia memberi salam lalu bertanya “Wahai Tuan yang sedang
berjaga-jaga, saya ini Buyung Besar, dari dunia. Saya datang kemari untuk mencari kapak
saya yang jatuh ke dasar laut ini. Tahukah Tuan, siapa yang mendapatkannya?
Saya bersedia menebusnya dengan apa saja,” katanya. “Wahai Tuan yang datang
dari dunia. Apa yang Tuan katakan sungguh saya tidak tahu. Tetapi, ada baiknya
kalau hal Tuan saya sampaikan ke[pada Raja kami. Bersabarlah Tuan menunggu
di sini sementara hamba menyampaikan kepada Raja.” Pengawal itupun pergi
memerintahkan agar Si Buyung Besar datang menghadap. Kemudian Buyung
Besar pergi meghadap raja dan raja menanyakan, “Hai orang dunia, apa hajat
Tuan datang kemari. Katakanlah dengan yang sebenarnya, semoga kami dapat
membantu.” Maka diceritakanlah hal kapak yang jatuh itu. Raja berkata, “Kalau
begitu istirahatlah dulu agar kukumpulkan rakyatku untuk ditanya siapa yang
telah mendapat kapakmu itu.” Hulubalang diperintahkan memanggil semua
rakyatnya kecuali Tuan Putri. Kepada hadirin Raja Lautan bertanya, “Hai
rakyatku sekalian, siapakah diantara kalian yang mendapatkan sebuah kapak kecil
kepunyaan orang dunia ini?” Tidak seorangpun yang mengaku dan menyatakan
pendapatnya. Karena itu, raja pun memerintahkan agar mereka pulang ke
rumahnya. Kemudian Raja berkata kepada istrinya, “Sungguh aneh, tidak
seoarang pun rakyat kita yang mendapatkan kapak orang dunia itu. Kasihan.”
Lalu sambungnya, “Tadi tidak kulihat putri kita, di mana dia? Coba panggil, siapa
tahu dia yang mendapatkannya”. Sang istri pun pergi memanggil putrinya ke
hadapan Raja. Setelah ditanya, putri raja mengaku bahwa dialah yang
mendapatkan kapak itu waktu bermain-main di dalam taman. Diterangkannya
bahwa dia tidak hadir tadi karena tidak dipanggil dan juga tidak ditanya, lalu
minta ampun atas kealpaannya itu. Ditegaskannya, kapak itu baru diberikannya
setelah mendapatkan tebusan dari orang dunia. Raja menanyakan kehendak
putrinya sebagai tebusan itu, dan sang Putri menginginkan diri Buyung Besar.
Karena itu Raja termenung. Tiada lama berselang hal itu langsung dikatakan
kepada orang dunia. Buyung Besar kembali menyerah dan mengembalikan
persoalan itu kepada Raja Lautan. Baginya tiada pilihan lain selain memenuhi
segala apa yang ada padanya. Singkat cerita, raja pun meresmikan perkawinan
antara Buyung Besar dan Putri Raja Lautan. Pesta meriah diadakan selama 40
hari 40 malam. Setelah 6 bulan tinggal di dasar lautan bersama istrinya, barulah
Buyung Besar teringat kembali kepada teman-temannya yang berada di atas
kapal.
Suatu hari Buyung Besar berkata kepada istrinya bahwa ia ingin segera
pulang ke dunia tempat kawan-kawannya sedang menunggu-nunggu di atas kapal.
Sang istri tidak merasa keberatan. Bersama Buyung Besar ia lalu pergi
menghadap raja untuk minta izin pulang ke dunia. Raja tidak keberatan melepas
keduanya malah memberi kepada menantunya sebanyak cincin dan sambungan
kemenyan sambil berpesan, ”Aku tahu bahwa didunia berbeda dengan disini.
Disana penuh dengan dengki dan iri hati. Karena itu, anakku cincin ini dapat
memberimu makan bila kau kehendaki, dan kemenyan ini bakarlah agar kau
terhindar dari bahaya”.
Esoknya, berangkatlah Buyung Besar bersama istrinya kedunia. Sesuai
dengan pesannya kepada teman-temannya dikapal, sauh digoyangkannya.
Gegerlah penghuni kapal melihat tali sauh bergoyang. Semua mata tertuju
kesana, lalu ditarik oleh juru mudi. Dan terlihatlah oleh mereka bayangan
Buyung Besar dalam air. Sesampainya diatas kapal, riuhlah teman-temannya dan
menanyakan siapa yang melekat dibelakangnya itu. Buyung Besar dengan
bangga menjelaskan bahwa itu adalah istrinya. Pekerja diperintahkan agar segera
membukakan membukakan peti emas untuk memasukkan istrinya kedalamnya.
tetapi tidak berani bertanya lagi karena takut akan ditindak Si Buyung Besar. Peti
itu disuruh kunci dari dalam oleh istrinya.
Kini mereka berangkat pulang. Tiada lama kemudian kapal pun sampai di
muara. Meriam dibunyikan tiga kali sebagai tanda bahwa mereka telah datang
kesana, tidak ketinggalan Datuk Penghulu. Dari jauh orang ramai telah melihat
dua kapal disana. Satu diantaranya telah dikenal dan satu lagi sangat
mengagumkan karena terbuat dari emas. Karena cahayanya, maka warna air
disekitarnya berubah menjadi kuning kemerah-merahan. Kemudian turunlah Si
Buyung Besar lalu disambut oleh Datuk Penghulu diiringi sorak sorai. Keduanya
segera bersalaman. Buyung Besar ditanyai tentang keuntungan dan hal kapal
emas itu. Buyung Besar menjawab bahwa keuntungannya tidak begitu banyak,
lalu mempersilahkan Datuk Penghulu naik keatas kapal emas itu. Datuk sangat
mengaguminya dan bangga akan hasil pekerjaan Buyung Besar. Dia hilir mudik
diatas kapal emas seraya memperhatikan barang-barang dan benda-benda yang
terbuat dari emas murni ini, ia tertarik akan peti emas dan menanyakan kepada
Buyung Besar. Buyung Besar menjelaskan dan mengutarakan pendapatnya untuk
membagi hasil pelayaran mereka itu.
“Menurut hamba, Datuk tidak sukar membaginya. Barang-barang
tumpukan kecil itu dibagikan kepada para pekerja. Yang lainnya, yakni kapal
emas dan sebuah peti adalah untuk kita. Bagi hamba cukuplah peti yang kecil itu
saja, “Kata Buyung Besar, tetapi Datuk sangat tertarik akan peti itu sejak
dilihatnya tadi dan ingin mengetahui istrinya. Mendengar itu Datuk Penghulu
bertanya lagi, “Sebelum pembagian yang kau usulkan itu, bolehkah aku
dibukanya dan menyatakan bahwa isinya itu adalah istrinya sendiri. Setelah tiga
kali ketukan, terbukalah peti itu dari dalam lalu keluarlah istrinya, Putri Raja
Lautan. Melihat kecantikan Putri Raja Lautan itu, Datuk Penghulu kagum dan
tidak dapat berkata-kata. Setelah sadar dari lamunannya, ia pun berkata kepada
Buyung Besar, usulan pembagian keuntungan itu tidak dapat kuterima. Akulah
yang memutuskannya. Kapal emas dan peti emas kuserahkan padamu, sedangkan
istrimu itu hendaknya kau serahkan kepadaku, “ katanya. Buyung Besar tidak
menduga demikian dan beberapa saat lamanya tidak dapat berkata-kata selain
menundukkan kepala sambil berpikir-pikir. Akhirnya, walaupun dengan berat
hati, dia menyetujui keputusan Datuk Penghulu. Karena hari sudah mulai malam,
orang-orang pun telah pergi meninggalkan muara. Buyung Besar memerintahkan
agar awak kapal membagi-bagi barang kecil yang terbuat dari emas itu, jangan
ada yang lebih, jangan ada yang kurang. Kemudian Buyung Besar bersama Datuk
Penghulu pulang kerumah. Selama dalam perjalanan pulang itu, Buyung Besar
terus diam, demikian juga istrinya. Sesampainya di istana Datuk memerintahkan
agar mempersiapkan kamar untuk Putri Raja Lautan. Esok harinya para pembantu
mempersiapkan pesta selama sepekan untuk menyongsong hari perkawinannya
dengan Tuan Putri itu. Ia juga memesan agar Buyung Besar tetap berada di
rumahnya dan turut mempersiapkan pesta itu. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu
itu. Para undangan datang. Tuan kadi pun telah siap pula untuk menikahkan
Datuk Penghulu dengan Putri Raja Lautan. Keduanya duduk diatas pelaminan
untuk melakukan akad nikah. Semua pengunjung kagum menyaksikan
kecantikan Tuan Putri. Mereka memperkatakan betapa malangnya nasib Buyung
menjawab pula. “Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih dan itu adalah
takdir baginya”. Ketika akad nikah akan berlangsung Buyung Besar
meninggalkan ruangan itu lalu duduk seorang diri dihalaman sembari membakar
kemenyan pemberian mertuanya Raja Lautan disertai doa (mantra).
Waktu berlangsung akad nikah itu, tiba-tiba Datuk Penghulu berubah
pikiran. Ia tidak dapat melakukan akad nikah dengan sempurna walaupun
ditunjuki Tuan Kadhi berulang kali. Bahkan Datuk Penghulu tidak dapat
menguasai dirinya lalu berdiri sambil mencak-mencak. Adakalanya kalanya
tiarap seperti orang berenang. Demikianlah ia untuk beberapa saat lamanya
disaksikan oleh orang yang hadir disitu. Dalam keadaan demikian Tuan Kadhi
turun kehalaman menjumpai Buyung Besar. Ia berkata,’’kiranya cukuplah sudah
hukuman yang ditimpakan Tuhan kepada Datuk Penghulu. Kuharap ampunilah
dia.“ Buyung Besar pun tersentak dari lamunannya lalu memandang Tuan Kadhi
seraya berdiri. Buyung Besar berkata, “barangkali benar kata Bapak, marilah kita
menemuinya ke ruangan.” Terlihatlah oleh mereka Datuk Penghulu sedang
kepayahan. Didekatinya Datuk itu seraya meletakkan tangannya di atas
kepalanya. Begitupun mulai sadar.
Beberapa saat kemudian Datuk Penghulu benar-benar telah sadar, lalu
berucap kepada hadirin bahwa ia tidak jadi melangsungkan pernikahannya dengan
Tuan Putri. Saat itu juga diumumkan bahwa Buyung Besar dinikahkan kepada
Tuan Putri Raja Lautan dan saat itu pula ia mengundurkan diri dari jabatan Datuk
Demikianlah pesta untuk perkawinan Datuk Penghulu itu beralih menjadi
pesta perkawinan Buyung Besar dengan Putri Raja Lautan. Kemudian Buyung
Besar menjadi Datuk dan memerintahkan negeri dengan adil dan bijaksana.
Mereka hidup bahagia, demikian juga masyarakatnya bertambah makmur
adanya.
2.2 Tema
Tema dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu dari sejumlah unsur
pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah
keseluruhan. Bahkan sebenarnya, eksistensi tema itu sendiri sangat bergantung
dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang hanya berupa
makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tidak mungkin hadir tanpa unsur
bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi
makna cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita yang lain,
khususnya yang oleh Nurgiyantoro dikelompokkan sebagai fakta cerita (alur,
latar, dan tokoh) yang mendukung dan menyampaikan tema tersebut.
Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa tingkatan yang berbeda,
tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Shipley dalam Nurgiyantoro (2001:
80-82) membedakan tema dalam lima tingkatan. Pembagian Shipley ini
berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang tersusun dari tingkatan paling
sederhana sampai tingkatan yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh
manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul (man as molecul). Tema karya
banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutran
serta unsur latar dalam tema tingkat ini mendapatkan penekanan.
b. Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma (man as protoplasm).
Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut atau mempersoalkan
masalah seksualitas. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia
mendapat penekanan, khususnya kehidupan seksual yang menyimpang.
c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial (man as socius). Tema
karya sastra ini menyangkut kehidupan bermasyarakat yang merupakan
tempat berinteraksinya manusia dengan manusia dan lingkungan,
mengandung banyak permasalahan, konflik dan lain-lain yang menjadi objek
pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain masalah ekonomi,
politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propoganda,
hubungan atasan dan bawahan, dan berbagai masalah yang muncul dalam
karya yang berisi kritik sosial.
d. Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu (man as individualism).
Disamping sebagai makhluk sosial manusia sekaligus juga sebagai makhluk
individu yang senantiasa menuntut pengakuan hak atas individualitasnya..
dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun memiliki
banyak permasalahan dan konflik.
e. Tema tingkat devine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi. Masalah yang
menonjol dalam tema ini adalah masalah hubungan manusia dan sang
pencipta, masalah religius, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis
Adapun kegiatan untuk menafsirkan tema sebuah karya sastra memang
bukan pekerjaan yang mudah. Berhubung tema tersembunyi di balik cerita,
penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang
sacara keseluruhan membangun cerita itu. Lubis ( 1998:25 ) untuk mengetahui
tema sebuah karyasastra maka dapat dilihat dari tiga hal yang saling berkaitan,
yaitu: (a) melihat persoalan yang paling menonjol; (b) menghitung waktu
penceritaan; (c) melihat konflik yang paling banyak hadir.
Setelah membaca dan memahami cerita rakyat Si Buyung Besar maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa Si Buyung Besar termasuk cerita yang
tegolong ke dalam jenis tema tingkat sosial. Dalam cerita rakyat ini menceritakan
tentang kehidupan sosial seorang anak. Masalah dalam cerita ini adalah masalah
hubungan manusia dengan manusia. Atau hubungan kasih sayang antara seorang
datuk dan seorang anak yang selalu mematuhi perintah sang datuk sehingga
muncul keegoisan dari sang datuk.
Untuk menentukan tema dalam cerita rakyat Si Buyung Besar ini maka
penulis menggunakan pendapat Mochtar Lubis yang menentukan tema sebuah
karya sastra berdasarkan tiga hal yaitu :
a. Persoalan yang paling menonjol dalam cerita Si Buyung Besar adalah
masalah tingkah laku.
b. Dari awal cerita sampai akhir cerita dalam cerita Si Buyung Besar
menceritakan tentang sosial dan kepahlawanan.
c. Konflik yang paling banyak hadir dalam cerita Si Buyung Besar adalah
Berdasarkan ketiga hal diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tema
dalam cerita rakyat Si Buyung Besar adalah tentang sosial dan kepahlawanan.
2.3 Alur
Alur merupakan unsur karya sastra yang penting, bahkan tidak sedikit orang
yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur karya
sastra yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun sering lebih
ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin mempergunakan istilah lain.
Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik
ia dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karana itu dalam sebuah
cerita, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali
ada pula akhirnya (Nurgiyantoro, 2001:141). Namun, plot sebuah cerita sering
tidak menyajikan urutan peristiwa secara kronologis, melainkan penyajian yang
dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian yang mana pun juga tanpa adanya
keharusan untuk memulai dan mengakhiri dengan kejadian awal dan kejadian
akhir. Dengan demikian, tahap awal cerita tidak harus berada di awal cerita atau
dibagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian manapun.
Pada dasarnya, alur sebuah cerita haruslah bersifat padu. Antara peristiwa
yang satu dengan peristiwa yang lain, antara peristiwa yang diceritakan lebih
dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan. Alur
yang memiliki sifat keutuhan dan kepaduan, tentu saja akan menyuguhkan cerita
yang bersifat utuh dan padu pula.
Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Tasrif dalam Lubis (1998:
tahapan tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah
alur pada sastra yang bersangkutan. Kelima tahapan tersebut adalah :
a. Tahap penyituasian (tahap situation), tahap yang terutama berisi pelukisan
dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap
pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain. Berfungsi untuk
melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
b. Tahap pemunculan konflik (tahap generating circumstances),
masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai
mencuat. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan
konflik itu sendiri akan berkembang dan akan dikembangkan menjadi
konflik-konflik pada tahap berikutnya.
c. Tahap peningkatan konflik (tahap rising action), konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang
menjadi inti cerita yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan
menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi mengarah ke klimaks semakin
tidak dapat dihindari.
d. Tahap klimaks (tahap climax), konflik atau pertentangan-pertentangan yang
terjadi, yang dilakui atau ditimpakan kepada para tokoh cerita pencapai titik
intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh
utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.
e. Tahap penyelesaian (tahap denouement), konflik yang telah mencapai
lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi
jalan keluar, cerita diakhiri.
Setelah penulis membaca, menghayati, dan memahami cerita rakyat Si
Buyung Besar maka dapat digambarkan alur yang terdapat dalam cerita tersebut
adalah plot lurus atau plot progresif. Artinya, bahwa dalam ceria rakyat Si
Buyung Besar pelukisan alur cerita diawali dengan awal situasi sampai dengan
akhir situasi dan tidak terdapat alur sorot balik (flashback) pada setiap bagian dari
alur cerita tersebut.
Adapun pentahapan alur dalam cerita Si Buyung Besar adalah sebagai
berikut :
a. Tahap penyituasian (tahap situation), ini pengarang mulai menceritakan
maupun melukiskan situasi latar, tokoh cerita, dan pembukaan cerita. Hal ini
dapat kita lihat dari petikan cerita pada awal cerita ini, yaitu :
Pada zaman dahulu penduduk pantai pun masih jarang, kepercayaannya kepada takhyul pun masih kuat. Tinggallah sepasang suami istri yang hidup rukun dan damai. Mereka bercocok tanam dan mempunyai seorang anak yang diberi nama Si Buyung Besar. Pertumbuhan anak ini jauh berbeda dari anak-anak lain karena badannya lekas besar itulah sebabnya dia diberi nama demikian. Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak bermain-main di atas pohon itu. Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi dan lucu kedengarannya. “Tidak ada paksa dicari-cari; ada paksa dibuang-buang”. Begitulah dia bernyanyi setiap hari dan baru turun dari atas pohon setelah dipanggil ibunya untuk makan. Sehabis makan, segera naik ke atas pohon lainnya, sambil menetak-netak. Lama-kelamaan ayahnya menjadi heran dan bertanya “Apa arti nyanyianmu itu, Buyung Besar? Ayah dengar setiap hari engkau menyanyikan itu-itu juga”. Sang anak tidak mendengarkan kata-kata ayahnya dan terus menetakkan kapaknya sambil bernyanyi. Segera ibunya memanggil untuk makan karena sudah tengah hari. Si anak pun turun lalu pergi makan bersama dengan orang tuanya. Seperti biasa, sehabis makan, ia pergi ke atas pohon lalu menyanyikan lagunya.
Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Hal : 16-17
Pada awal cerita ini pengarang sudah memainkan atau memulai cerita dari
lingkungannya dahulu. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan di atas “Pada zaman
dahulu penduduk pantai pun masih jarang, kepercayaannya kepada takhyul pun
masih kuat tinggallah seorang...” pada penggalan ini pengarang mencoba memulai
awal ceritanya. Lalu pengarang mengaitkannya dengan tokoh yang akan
dimasukkan di dalam cerita yang dapat kita lihat pada penggalan berikut ini,
Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Hal : 17
Lalu terjadinya satu kesatuan yang utuh pada awal cerita ini. Sedikit demi
sedikit pengarang mulai memasukkan tokoh ke dalam isi cerita sehingga
tampaklah cerita akan segera dimulai oleh pengarang. Dari penggalan cerita di
atas pengarang sudah memasukkan unsur-unsur yang selalu ada dalam sebuah
karya sastra yaitu, waktu, tempat dan lingkungan kejadian cerita. Adanya
faktor-faktor di atas yang membentuk sebuah cerita yang saling berkaitan merupakan
kesatuan yang bulat dalam cerita rakyat Si Buyung Besar.
b. Tahap pemunculan konflik (tahap generating circumstances), tahap ini
dimulai dengan masalah dan peristiwa-peristiwa yanga akan mencuatkan
konflik seperti, keanehan yang dilakukan oleh Si Buyung Besar yang setiap
kesayangannya dengan memukul-mukul dan bernyanyi yang aneh dan lucu
kedengarannya. Maka kedua orang tuanya ingin menyerahkannya kepada
datuk Penghulu. Hal ini dapat kita lihat pada penggalan cerita berikut,
Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak bermain-main di atas pohon itu. Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi dan lucu kedengarannya. “Tidak ada paksa dicari-cari; ada paksa dibuang-buang”. Begitulah dia bernyanyi setiap hari dan baru turun dari atas pohon setelah dipanggil ibunya untuk makan. Sehabis makan, segera naik ke atas pohon lainnya, sambil menetak-netak. Lama-kelamaan ayahnya menjadi heran dan bertanya “Apa arti nyanyianmu itu, Buyung Besar? Ayah dengar setiap hari engkau menyanyikan itu-itu juga”. Sang anak tidak mendengarkan kata-kata ayahnya dan terus menetakkan kapaknya sambil bernyanyi. Segera ibunya memanggil untuk makan karena sudah tengah hari. Si anak pun turun lalu pergi makan bersama dengan orang tuanya. Seperti biasa, sehabis makan, ia pergi ke atas pohon lalu menyanyikan lagunya. Pada suatu hari sang ayah berpikir tentang maksud nyanyian anaknya itu. Hal itu ditanyakan kepada istrinya dan dijawab istrinya “Manalah aku tahu”. Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Hal : 16-17
Dari penggalan cerita di atas sudah terlihatlah permasalahan dan peristiwa
yang menyebabkan konflik mencuat dari sifat Si Buyung Besar sehingga Si
Buyung Besar pun diserahkan kepada Datuk Penghulu untuk dididik dan
dibesarkan. Dari gambaran dan penggalan cerita ini jelas bahwa penulis mulai
menggerakkan jalan cerita sehingga pembaca atau penikmat karya sastra ingin
lebih mengetahui jalannya ataupun isi cerita selanjutnya.
c. Tahap peningkatan konflik (tahap rising action), pada tahap ini penulis sudah