• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA

SI

BUYUNG BESAR

MASYARAKAT MELAYU SERDANG

SKRIPSI Dikerjakan O

L E H

FUAD SYARIAL NIM : 040702007

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU MEDAN

(2)

Lembar Pengesahan

NILAI-NILAI SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA

SI BUYUNG BESAR

MASYARAKAT MELAYU

SERDANG

OLEH FUAD SYARIAL

DIKETAHUI / DISETUJUI OLEH : Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Yos Rizal, MSP Drs. Warisman Sinaga, M.Hum NIP : 132006290 NIP : 131789087

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

Ketua Pelaksana,

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas limpahan

rahmat serta hidah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi yang berjudul ”Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Rakyat Si Buyung

Besar Masyarakat Melayu Serdang” ini sebagai tugas akhir di Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara. Shalawat teriring salam selalu disampaikan kepada

Rasulullah SAW yang merupakan seorang revolusioner islam, yang menjadi

tauladan hidup penulis sampai saat ini sekarang ini dan sampai akhir zaman ini.

Amin.

Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih saya

yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Syaifuddin, M.A., Ph.D Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera

Utara selaku pimpinan tertinggi di Fakultas yang memberikan

nasehat-nasehatnya kepada penulis.

2. Bapak Drs. Baharuddin, M.Hum selaku Ketua Departemen Sastra Daerah

yang telah bersedia dan selalu membimbing sampai selesainya skripsi ini.

3. Bapak Drs. Yos Rizal, MSP selaku pembimbing I, yang di bawah bimbingan

dan arahan dari beliaulah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. selaku pembimbing II dan selaku

sekretaris Departemen Sastra Daerah yang telah membantu penulis demi

kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap dosen/ staf pengajar Departemen Sastra Daerah dan Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara yang telah memberi tuntunan, bimbingan, dan

(4)

6. Buat yang teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda yang selalu penulis

sayangi, yang telah membimbing, mengasuh, mengajari, penulis sedari kecil

sampai dengan sekarang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk

menyelesaikan gelar Sarjana dari Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara,

serta abang-abang dan adik-adik saya yang selalu penulis sayangi.

7. Kepada Rekan-rekan sepermainan di Sastra Daerah, yaitu : Siba, Dayat ( Pak

Tua ), Citra ( BCL), Mustafa ( Toke ), Zupri, Eka. Serta kawan-kawan penulis

di Sastra Daerah dan di Fakultas Sastra yang tidak dapat disebutkan satu

persatu.

8. Buat Noni yang telah banyak merubah hidup penulis, yang selalu memberikan

inspirasi dan motivasi kepada penulis.

Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak penulis hanya dapat

mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Semoga skripsi ini bermanfat bagi

kita semua, sekarang maupun yang akan datang.

Medan, Maret 2009

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2 Perumusan Masalah………... 4

1.3 Tujuan Penelitian………... 4

1.4 Manfaat Hasil Penelitian………... 5

1.5 Anggapan Dasar………... 5

1.6 Orisinilitas Penelitian……..………. 6

1.7 Objek Penelitian………... 6

1.8. Sosiologi Dan Sastra... 7

1.8.1 Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra... 11

1.8.2 Landasan Teori yang Digunakan... 12

1.9 Metode Penelitian... 14

1.9.1 Metode Dasar... 14

1.9.2 Metode Pengumpulan Data... 14

1.9.3 Metode Analisis Data... 15

BAB II STRUKTUR CERITA RAKYAT SI BUYUNG BESAR 2.1 Sinopsis………... 16

2.2 Tema... 31

2.3 Alur………... 34

2.4 Latar………... 42

2.5 Watak dan Perwatakan……….... 47

BAB III NILAI-NILAI SOSIOLOGIS DALAM CERITA RAKYAT SI BUYUNG BESAR 3.1 Adat Istiadat Manjunjung Duli……… 53

(6)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan………... 64

4.2 Saran………... 65

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak etnik, salah satunya

adalah etnik Melayu. Etnik Melayu mempunyai banyak kesusasteraan dan masih

berkisar pada sastra lisan. Sastra lisan itu sebagian besar tersimpan di dalam

ingatan orang tua atau tukang cerita yang jumlahnya semakin berkurang karena

perkembangan zaman dengan adanya kemajuan teknologi komunikasi.

Sastra lisan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sastra

tertulis. Sebelum munculnya sastra tulis, sastra lisan telah berperan membentuk

apresiasi masyarakat terhadap sastra, sedangkan dengan adanya sastra tulis, sastra

lisan terus hidup berdampingan dengan sastra tulis. Oleh sebab itu, studi tentang

sastra lisan merupakan hal yang penting bagi para ahli yang ingin memahami

peristiwa perkembangan sastra, asal mula timbulnya genre sastra, serta

penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh adanya

hubungan antara studi sastra lisan dengan sastra tulis sebagaimana adanya

kelangsungan tidak terputus antara sastra lisan dan sastra tertulis (Wellek dan

Warren, 1998 : 47).

Sastra lisan merupakan bagian suatu kebudayaan yang tumbuh dan

berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan turun temurun secara

lisan sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi

sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, serta penyalur perasaan, melainkan

juga sebagai alat cermin sikap pandangan dan lembaga kebudayaan serta alat

(8)

Sastra lisan, termasuk cerita lisan, merupakan warisan budaya nasional dan

masih mempunyai nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk

kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, antara lain dalam hubungan

pembinaan apresiasi sastra. Sastra lisan juga telah lama berperan sebagai wahana

pemahaman gagasan dan pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat.

Bahkan, sastra lisan telah berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara

pencipta dan masyarakat, dalam arti ciptaan yang berdasarkan lisan akan lebih

mudah digauli karena ada unsur yang dikenal masyarakat.

Dalam keadaaan masyarakat yang sedang membangun, seperti halnya

masyarakat Indonesia sekarang ini, berbagai bentuk kebudayaan lama ternasuk

sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah kesibukan

pembangunan dan pembaharuan yang sedang meningkat. Sehingga

dikhawatirkan lama kelamaan akan hilang tanpa bekas atau berbagai unsurnya

yang asli tidak dapat dikenal lagi.

Mengingat kedudukan dan peranan sastra lisan yang cukup penting, maka

penelitian sastra lisan perlu dilakukan sesegera mungkin. Lebih-lebih lagi bila di

ingat bahwa terjadinya perubahan dalam masyarakat, seperti adanya

kemajuan-kemajuan teknologi, adaya radio, televisi dapat menyebabkan berangsur hilangnya

sastra lisan di seluruh Nusantara. Dengan demikian, penelitian sastra lisan berarti

melakukan penyelamatan sastra lisan itu dari kepunahan, yang dengan sendirinya

merupakan usaha pewaris nilai budaya, karena dalam sastra lisan itu banyak

ditemui nilai-nilai serta cara hidup dan berfikir masyarakat (nilai-nilai sosiologis

(9)

mengenal adanya sastra lisan, demikian pula halnya dengan sastra lisan Melayu

Serdang.

Salah satu genre prosa rakyat dari kesusasteraan Melayu adalah cerita rakyat

yang lahir dari etnik Melayu Serdang. Sastra lisan Melayu Serdang merupakan

salah satu warisan budaya bangsa yang perlu diselamatkan. Salah satu usaha

penyelamatan adalah dengan mengadakan penelitian dan inventarisasi.

Di samping itu, penelitian ini bermanfaat pula sebagai salah satu upaya

pembinaan dan pengembangan sastra lisan yang bersangkutan, sekaligus

mempunyai manfaat dalam rangka pembinaan dan pengembangan budaya daerah

dan nasional.

Si Buyung Besar menceritakan tentang kehidupan suami istri yang hidup

rukun dan damai serta mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Si

Buyung Besar, di mana pertumbuhan badannya sedemikian pesat menyebabkan

perbedaan sifat dengan usianya. Kerumitan yang dihadapi oleh orang tuanya

sehubungan dengan keganjilan perangai Si Buyung Besar menyebabkan

kebingungan kedua orang tuanya. Sehingga mereka memberikannya kepada

Datuk Penghulu, walaupun dengan perasaaan berat. Akhir cerita si anak yang

berjiwa sosial dan tabah hati itu menemukan kebahagiaan. Cerita ini selain

memiliki nilai-nilai sosiologis juga memiliki nilai-nilai pengajaran.

Ditinjau dari segi kemasyarakatan, penelitian ini juga mempunyai arti

penting. Ia dapat digunakan sebagai bahan pengajaran bahasa dan sastra

Indonesia dan daerah. Secara tidak langsung penelitian ini juga memberikan

sumbangan bahan pembinaan kepribadian bangsa, terutama sastra lisan yang

(10)

1.2 Perumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka diperlukan perumusan

masalah yang tepat agar pembahasan terhadap cerita rakyat Si Buyung Besar

tidak meluas dan mencapai sasaran yang dikehendaki.

Permasalahan yang akan dibicarakan dalam tulisan ini pada hakikatnya

mencakup aspek nilai-nilai sosiologis dalam cerita Si Buyung Besar. Untuk

mengetahui dan memahami aspek-aspek sosiologis dalam cerita rakyat tersebut

maka dianggap perlu untuk menelaah terlebih dahulu aspek-aspek pembangun

dari cerita rakyat tersebut atau unsur-usur pembentuk dalaman cerita (unsur

intrinsik) rakyat Si Buyung Besar.

Adapun masalah yang akan dibahas dalam skripsi adalah :

1. Stuktur intrinsik yang membangun cerita rakyat Si Buyung Besar yaitu

sinopsis, tema, alur, latar, dan perwatakan.

2. Nilai-nilai sosiologis apa saja yang terdapat dalam cerita rakyat Si Buyung

Besar.

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah maka kajian sosiologis dalam cerita

rakyat Si Buyung Besar secara khusus bertujuan untuk :

1. Mengetahui struktur intrinsik cerita rakyat Si Buyung Besar yang terdiri atas

sinopsis, tema, alur, latar, dan perwatakan.

2. Mengetahui nilai- nilai sosiologis dalam cerita rakyat Si Buyung Besar

(11)

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat yang diharapkan oleh penelitian adalah :

1. Membantu pembaca untuk memahami unsur-unsur yang membangun cerita

rakyat Si Buyung Besar.

2. Membantu pembaca untuk memahami adanya nilai-nilai sosiologis dalam

cerita rakyat Si Buyung Besar.

3. Membangkitkan minat membaca kalangan cifitas akademika, terutama

mahasiswa Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

dan masyarakat luas pada umumnya.

4. Memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan dapat

diwariskan pada generasi yang akan datang.

5. Menyelamatkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah

khususnya melalui cerita-cerita rakyat daerah Sumatera Utara.

1.5

Anggapan Dasar

Suatu penelitian memerlukan anggapan dasar yang dapat memberikan

gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti. Anggapan dasar adalah titik tolak pemikiran untuk penyelidikan tertentu,

titik tolak yang dapat diterima kebenarannya. Maka penulis memiliki anggapan dasar bahwa dalam cerita rakyat Si Buyung Besar terkandung nilai-nilai sosiologi

(12)

1.6 Orisinalitas Penelitian

Penelitian terhadap cerita rakyat Si Buyung Besar ini telah dilakukan oleh

Rosmawati R dan kawan-kawan, pada tahun 1990, dengan judul Struktur Sastra Lisan Melayu Serdang. Namun kajian yang dilakukan oleh Rosmawati R dkk., hanya menyangkut deskripsi fungsi dan kedudukan cerita rakyat tanpa

menganalisis cerita rakyat Si Buyung Besar, baik dengan pendekatan sastra

maupun dengan pendekatan sosiologis sastra

Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa kajian yang penulis kerjakan

terhadap cerita rakyat Si Buyung Besar merupakan karya ilmiah yang masih asli

(orisinal) dan belum pernah dikaji oleh peneliti manapun. Adapun kajian yang

penulis fokuskan adalah nilai-nilai sosiologis yang terkandung di dalam cerita Si

Buyung Besar.

1.7 Objek Penelitian

Naskah yang menjadi objek penelitian penulis adalah kumpulan cerita yang

diteliti oleh Rosmawati R dan kawan-kawan pada tahun 1990 dengan data sebagai

berikut :

a. Judul Buku : Struktur Sastra Lisan Melayu Serdang

b. Penulis : Rosmawati R, Anni Krisna Srg, Ahmad Samin Srg, dan

Zainal Abidin.

c. Cover Depan : Gambar Ornamen MelayuWarna Orange

d. Cover Belakang : Gambar Ornamen MelayuWarna Orange

e. Tebal Halaman : 122 halaman

f. Ukuran : 12 x 17,5 cm

(13)

h. Penerbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

1.8 Sosiologi dan Sastra

Membicarakan sosiologi dan sastra adalah membicarakan sampai di mana

hubungan antara sosiologi dan sastra. Dan membicarakan hasil sastra yang

relevan bagi seseorang.

Sastra begitu dekat dengan kehidupan manusia. Sastra tercipta untuk

dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan manusia dalam suatu masyarakat. Sebagai

sesuatu yang perlu dinikmati karya sastra harus mengandung keindahan yang

berasal dari keoriginalitasan sehingga dapat memenuhi dan memuaskan kehausan

estetis masyarakat penikmatnya. Sebagai sesuatu yang perlu dipahami, karya

sastra memendam kompleksitas yang hanya dapat dimengerti dengan usaha yang

sungguh-sungguh dan teliti oleh masyarakat pembacanya. Dengan demikian,

untuk mengungkapkan kandungan karya sastra dibutuhkan kepekaan luar biasa.

Sebagai sesuatu perlu dimanfaatkan, karya sastra mengandung nilai berharga yang

dapat dipergunakan untuk kesejahteraan manusia.

Banyak kenyataan sosial yang dihadapi manusia dalam kehidupan

bermasyarakat. Kenyataan sosial itu dapat berupa tantangan untuk

mempertahankan hidup, kebahagian dalam situasi keberhasilan, frustasi dalam

situasi kegagalan, kesedihan dalam suasana kemalangan, dan lain sebagainya.

Kenyataan sosial tersebut muncul sebagai akibat hubungan antar manusia,

hubungan antar masyarakat dan hubungan antar peristiwa dalam batin seseorang.

Hal di atas senada dengan apa yang disampaikan Damono (1984 : 4-5)

(14)

”Kenyataan sosial tersebut mendapatkan perhatian sang pengarang, baik karena dia menyaksikan maupun karena dia mengalaminya sendiri. Dengan demikian, sastra, melalui ramuan pengarang, mereflesikan gambaran kehidupan. Namun, tujuan utama sang pengarang bukanlah hanya menampilkan kenyataan sosial atau gambaran kehidupan, melainkan dia hendak menjadikan sastra sebagai resep kehidupan yang mampu menangkal penyakit dan manjur sebagai obat penyembuh. Sastra menjadi peralatan kehidupan manusia. Sastra dengan demikian berperan sebagai : 1. Pelipur lara, 2. Ungkapan kekesalan, 3. Kritik sosial, 4. Nasihat, 5.Teguran, 6. Pemasyarakatan manusia yang menderita”.

Secara sosiologi, sastra adalah strategi (sikap) untuk menghadapi situasi

yang dialami manusia demi mengembangkan kemasyarakatan. Situasi yang

dialami manusia itu sendiri sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Dengan demikian, pengarang merupakan ahli strategi.

Pengarang harus mampu menilai sesuatu dengan tepat dan teliti. Pengarang

tidak akan dapat mengetahui dan mengantisipasi masa dengan sesuatu yang tepat,

apa yang akan memberikan harapan dan apa yang akan menyuguhkan ancaman,

apabila ia tidak mengetahui keadaan sesuatu dengan jelas. Dengan demikian,

seorang ahli strategi yang bijaksana tidak akan puas dengan strategi yang hanya

memuaskan dirinya sendiri. Pengarang akan waspada terhadap ancaman atau

bahaya yang sewaktu-waktu dapat menghadang.

Dari uraian di atas dapat dilihat tiga aspek yang saling berhubungan yaitu

hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hubungan itu bersifat sosial

dan tertuang dalam suatu karya sastra sebagai sarana penghubung antar sastrawan

dan masyarakat pembaca. Dengan demikian, pembicaraan ini bersifat sosiologis

yang disebut sosiologi sastra.

Dalam pembicaraan ini terdapat dua istilah ilmu yang perlu dijelaskan untuk

memberikan pengertian yang lebih dalam yaitu istilah sosiologi dan sastra.

(15)

”Suatu telaah atau studi yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama ; keluarga dengan moral ; hukum dengan ekonomi ;gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya), mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala nonsosial (misalnya gejala geografis, geologis, dan sebagainya), dan mempelajari ciri-ciri umum semua jenis-jenis gejala sosial”.

Apabila kita berbicara tentang gejala sosial maka perhatian kita tertuju pada

hubungan manusia dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat dengan

lingkungannya, baik yang bersifat sosial budaya maupun tidak. Dengan

mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian,

keagamaan, politik, dan yang lain-lain, kita mendapat gambaran tentang cara-cara

manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme

kemasyarakatannya, serta proses pembudayaannya.

Sastra (Damono, 1984 : 7), mengatakan : ”Sebagaimana halnya sosiologi seperti yang disebutkan di atas, berurusan dengan manusia dengan masyarakat : usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi hasil atau masalah yang sama”.

Sosiologi sastra juga mempunyai cakupan yang cukup luas sebagaimana

halnya dengan cakupan sastra seperti yang diuraikan di atas. Secara singkat dapat

dikatakan bahwa sosiologi sastra adalah studi sosiologis terhadap karya sastra

yang membicarakan hubungan dan pengaruh timbal balik antara sastrawan, sasta,

dan masyarakat (masyarakat pembaca dan kenyataan nilai-nilai sosiologis dalam

masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut), dengan menitik beratkan pada

realitas dan gejala nilai-nilai sosiologis yang ada di antara ketiganya. Dengan

batasan seperti itu tampaklah kecenderungan ke arah penyelidikan atau relasi

antara kenyataan yang hidup dalam masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut

(16)

Danandjaya (1999 : 414) dalam bukunya yang berjudul Memilih Hasil

Sastra Yang Relevan Bagi Seorang Sosiologi, mengatakan :

“Berbagai alasan dapat mendorong seseorang untuk menganalisis keadaan sosial suatu masyarakat melalui karya sosial suatu masyarakat melalui karya sosial suatu masyarakat melalui karya sastra. Misalnya dengan membaca karangan Ranggawarsito maka ia dapat menemukan suatu khazanah nasehat-nasehat bijaksana mengenai sikap dan perilaku seseorang dalam masyarakat. Bahkan untuk karya sastra yang semacam itu, sangat relevan untuk mengerti kode etika dan harapan-harapan yang berlaku di dalam masyarakat”.

Untuk mengetahui sikap dan perilaku seseorang di dalam suatu masyarakat

tertentu, apabila di daerah yang belum dikenal seseorang, maka seseorang itu

dapat membaca atau menganalisis karya sastra. Sebab, karya sastra akan

membicarakan suatu gambaran tentang sikap perilaku masyarakat yang berlaku di

daerah tersebut. Dengan demikian, karya sastra melukiskan sikap dan perilaku

suatu masyarakat pada zamannya. Atau dengan kata lain, karya sastra merupakan

pencerminan masyarakat pada zamannya.

Pencerminan suatu masyarakat yang dimaksud seperti yang diungkapkan

Semi (1984 : 55),

“Kesusasteraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena itu, karya sastra hanyalah merupakan cerminan dari pengarang semata kalaupun pengarang menggambarkan suatu keadaan umum masyarakat dalam karya sastranya, maka gambaran itu hanyalah karena telah menjadi persoalan pribadinya sendiri”.

Sastra sebagai ungkapan pribadi pengarang, juga dikemukakan

Sumardjo(1986 : 3) yakni, ”Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang barupa

pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan yang dapat

(17)

Bedasarkan kedua pendapat yang berbeda tersebut, penulis berada di

antaranya. Artinya, dari satu sisi, benar bahwa karya sastra merupakan karya

individual pengarang dan karena itu tidak harus mencerminkan keadaan suatu

masyarakat pada zamannya. Kalau pun karya sastra melukiskan keadaan suatu

masyarakat, hal itu hanyalah karena telah terjadi persoalan pribadi pengarang.

Akan tetapi, dari sisi lain, benar bahwa karya sastra merupakan pencerminan

suatu masyarakat pada zamannya.

1.8.1 Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra

Berbagai cara dapat dilakukan untuk mendekati sebuah karya sastra,

misalnya melalui apresiasi. Apresiasi adalah penghargaan dan pemahaman atas

hasil seni atau budaya. Natawijaya (1980 : 3) membuat tingkat apresiasi dalam

sosiologi sebagai pendekatan sastra. Tingkat apresiasi sastra itu di bagi ada lima

yaitu :

”Tingkat penikmatan, tingkat penghargaan, tingkat pemahaman, tingkat penghayatan, dan tingkat implikasi. Tingkat penikmatan dan tingkat penghargaan berdasarkan tingkat operasionalnya masih bersifat monoton atau merasa senang serta bersifat pemilikan atau merasa kagum. Sedangkan tingkat pemahaman, tingkat penghayatan dan tingkat implikasi berdasarkan tindakan operasionalnya telah bersifat studi dan meyakini akan karya sastra yang diapresiasi. Selain itu, pendekatan sastra dapat juga dilakukan melalui kritik. Kritik adalah upaya menentukan nilai hakiki pada sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberikan pertimbangan melalui pemahaman dan penafsiran yang tepat”.

Di samping tingkat apresiasi, ada pula cara lain yang dilakukan dalam

upaya mendekati sebuah karya sastra. Sebagaimana yang telah penulis katakan

bahwa karya sastra terbagi dua yakni berdasarkan bentuk dan berdasarkan isi.

Maka cara yang lain penulis maksud adalah berdasar isi karya sastra, yang

(18)

Meskipun bentuk pendekatan melalui salah satu tingakat apresiasi atau

melalui satu jenis kritik, akan tetapi terkandung pendekatan tetap mengutamakan

isi karya sastra tersebut. Artinya, mendekati karya sastra itu melalui isi yang

dalam hal ini adalah sosiologi. Hanya yang menjadi masalah sekarang, apakah

sosiologi dapat mendekati sastra atau sebaliknya sastra bagaimana hubungan

keduanya. Salleh (1980 : 64), juga mengatakan bahwa :

”Seorang sosiolog dan sastrawan bahwa sosiologi menerima sumbangan dari sastra dan begitu pula sastra menerima sumbangan dari sosiologi. Hemat penulis, sumbangan yang dimaksud itu adalah : sumbangan sosiologi pada sastra yakni masalah-masalah sosiologi dapat dijadikan sebagai saran pengembangan sosiologi kepada karya sastra, yakni masalah-masalah sosiologi dapat dijadikan sebagai sarana sosiologi”.

Dengan demikian, jelaslah sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu

pendekatan sastra, sebab antar sosiologi dan sastra saling menguntungkan. Hanya

perlu disadari bahwa karya sastra bukanlah merupakan cermin yang mendahului

pikiran masyarakat zamannya, melainkan karya sastra hanyalah cerminan

masyarakat zamannya.

1.8.2Landasan Teori yang digunakan

Penulis membahas penelitian ini berdasarkan teori struktur dari segi

intrinsik dan teori sosiologi sastra yang sesuai sehingga tidak menyimpang dari

apa yang diharapkan.

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk dan

berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam

memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori yang diperlukan untuk

membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi

(19)

intrinsik yakni menjelaskan sinopsis, tema, alur, latar, dan watak dalam cerita

rakyat Si Buyung Besar dan teori sosiologi sastra dalam buku karangan Sapardi

Djoko Damono.

Hal di atas didukung oleh pernyataan Abrams (Damono, 1981 : 178)

mengatakan :

”Sosiologi sastra diaplikasikan pada tulisan-tulisan para kritikus sejarawan sastra yang menaruh perhatian utama pada cara atau keadaan seseorang pengarang dipengaruhi kelas sosialnya, ideologi sosialnya, kondisi ekonominya, profesinya, dan pembaca”.

Waren dalam (Damono, 1999 : 84) mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi : Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra-sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Ian Watt (dalam Damono, 1999 : 3-4) melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh sebab itu, telaah sosiologi suatu karya sastra akan mencakup tiga hal, yaitu : Pertama, konteks sosial pengarang yaitu menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk di dalamnya faktor sosial yang mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yaitu sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, serta sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan

unsur intrinsik sebagai landasan teori dalam menganalisis cerita rakyat Si Buyung

Besar. Menurut0pandangan teori ini, karya sastra di lihat hubungannya dan

kenyataan, di mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan-kenyataan yang di

sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar

(20)

hubungannya, keduanya saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

Juga berhubungan sosiologi sastra dengan unsur intrinsik dalam cerita rakyat Si

Buyung Besardari segi sinopsis, alur, tema, latar, dan perwatakan.

1.9 Metode Penelitian 1.9.1 Metode Dasar

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif, yang oleh Nawawi (1987 : 63)

diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subjek penelitian

(seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan

fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

Dengan demikian dalam penelitian ini penulis hanya mendeskripsikan

data-data fakta yang terdapat di dalam cerita sehingga dapat diketahui unsur-unsur

pembentuk ceritanya dan nilai-nilai sosiologisnya.

1.9.2 Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka digunakan

metode pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan mempelajari

buku-buku, jurnal penelitian, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang

berhubungan dengan topik penelitian.

b. Studi teks, yaitu pengumpulan data melalui naskah yang diteliti setelah

terlebih dahulu membaca kemudian menafsirkan nilai-nilai sosiologi yang

(21)

1.9.3 Metode Analisis Data

Tahap untuk menyelesaikan sebuah data yang terkumpul adalah

menganalisisnya. Penulis menggunakan metode kualitatif dan bersifat deskriptif

yaitu penelitian yang menentukan, menganalisis dan mengklasifikasinya melalui

studi pustaka, seperti berikut :

a. Mengumpulkan data berupa buku-buku yang berkaitan dengan nilai-nilai

sosiologis sebagai bahan refrensi.

b. Menetapkan langkah-langkah pendekatan analisis struktur dari segi intrinsik

(22)

BAB II

STRUKTUR CERITA RAKYAT SI BUYUNG BESAR

2.1 Ringkasan Cerita (Sinopsis)

Berikut ini adalah ringkasan (sinopsis) cerita rakyat Si Buyung Besar,

Pada zaman dahulu penduduk pantai pun masih jarang, kepercayaannya

kepada takhyul pun masih kuat. Tinggallah sepasang suami istri yang hidup

rukun dan damai. Mereka bercocok tanam dan mempunyai seorang anak yang

diberi nama Si Buyung Besar. Pertumbuhan anak ini jauh berbeda dari anak-anak

lain karena badannya lekas besar itulah sebabnya dia diberi nama demikian.

Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak

kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak

bermain-main di atas pohon itu. Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena

kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi

dan lucu kedengarannya. “Tidak ada paksa dicari-cari; ada paksa

dibuang-buang”. Begitulah dia bernyanyi setiap hari dan baru turun dari atas pohon

setelah dipanggil ibunya untuk makan. Sehabis makan, segera naik ke atas pohon

lainnya, sambil menetak-netak. Lama-kelamaan ayahnya menjadi heran dan

bertanya “Apa arti nyanyianmu itu, Buyung Besar? Ayah dengar setiap hari

engkau menyanyikan itu-itu juga”. Sang anak tidak mendengarkan kata-kata

ayahnya dan terus menetakkan kapaknya sambil bernyanyi. Segera ibunya

memanggil untuk makan karena sudah tengah hari. Si anak pun turun lalu pergi

makan bersama dengan orang tuanya. Seperti biasa, sehabis makan, ia pergi ke

(23)

Pada suatu hari sang ayah berpikir tentang maksud nyanyian anaknya itu.

Hal itu ditanyakan kepada istrinya dan dijawab istrinya “Manalah aku tahu”.

Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk

Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu

membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga

hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah

menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan

perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan

mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang

sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu.

Setelah beberapa tahun berselang Si Buyung Besar pun telah dewasa,

perangainya telah jauh berubah. Sekarang ia jadi pendiam dan hanya berbicara

kalau orang menyapanya. Hanya sekali-sekali kedengaran nyanyian yang dulu

itu.

Suatu hari Datuk Penghulu menanyakan maksud nyanyian itu kepada si

Buyung Besar. “Apa maksud tak ada paksa dicari-cari, ada paksa

dibuang-buang”. Buyung Besar menjelaskan bahwa ia tidak tahu artinya dan menyatakan

bahwa itulah nyanyiannya setiap hari. Kemudian Datuk Penghulu menanyakan

apakah Si Buyung Besar mau berniaga ke luar negeri. Si Buyung Besar menurut

saja segala keinginan Datuk Penghulu. Dan Si Buyung Besar meminta dibuatkan

sebuah kapal untuk dibawa berlayar. Datuk Penghulu bersedia membuatkan

sebuah kapal. Dikerahkan semua tukang ditempat itu untuk mengerjakannya.

Dalam waktu enam bulan kapal itu selesailah. Seminggu kemudian kapal itu

(24)

Kapal itu dilengkapi pula dengan sebuah meriam. Sebelum berangkat, malamnya,

Si Buyung Besar lebih dahulu pamit kepada ayah bundanya untuk menyatakan

maksud keberangkatannya serta minta doa restu keselamatan selama berlayar.

Malamnya, setelah minta izin dari Datuk Penghulu, kapal yang berisi buah kelapa

itu pun berangkatlah bersama para pembantunya.

Satu malam, dua malam, minggu berganti bulan, mereka berada diatas

lautan. Suatu hari berkatalah awak kapal kepada Si Buyung Besar seraya

menunjukkan sebuah pulau. Buyung Besar memerintahkan agar kapal ditujukan

kesana. Kini mereka sampai pada sebuah negeri. Buyung Besar berkata kepada

penduduk negeri itu. “Hai penduduk kampung, siapa yang hendak membeli

barang daganganku ini. Aku membawa buah kelapa”. Segera penduduk

kampung itu dating beramai-ramai dan berkata bahwa mereka tidak mempunyai

uang untuk membayarnya. “Barang siapa yang ingin mengerjakan buah kelapa ini

saya berikan. Minyak kelapanya ambillah untuk kalian. Sabut-sabut dan

tempurungnya isikan kembali kedalam kapal hamba”. Katanya. Mendengar

ucapan demikian penduduk kampung sangat gembira dan senang hati.

Beberapa minggu berselang, selesai pekerjaan mereka itu. Seluruh

sabut-sabut dan tempurung kelapa telah diisikan kembali kedalam kapal Si Buyung

Besar. Penduduk kampung itu mengucapkan terima kasih kepada Si Buyung

Besar atas kebaikan hatinya seraya memohon agar dibawakan kembali buah

kelapa yang lain kalau masih ada.

Kembali mereka berlayar mengarungi lautan menuju kampung halamannya.

Berbulan-bulan lamanya mereka di laut barulah sampai ditempat asalnya.

(25)

Mendengar dentuman itu Datuk Penghulu segera menjumpainya ditambatan kapal

seraya menanyakan kabar Buyung Besar. Buyung Besar menyampaikan kabar

baik serta memberitahu bahwa hasil dagangannya itu “Pulang Pokok saja”. Datuk

Penghulu tidak ambil pusing walaupun Si Buyung Besar yang dimodalinnya itu

kembali tanpa untung.

Dengan seizin Datuk Penghulu, Si Buyung Besar pergi menemui ayah

bundanya untuk melepaskan rindu hati yang sudah berbulan-bulan berpisah tetapi

hanya satu hari saja. Disana Si Buyung Besar menceritakan pengalamannya

selama enam bulan itu dilaut serta menjelaskan bahwa dagangannya pulang pokok

saja adanya. Mereka melihat perobahan anaknya setelah berlayar itu. Tabiatnya

yang menetak-netakkan kapal ke atas pohon tidak diingatnya lagi. Demikian juga

nyayian yang ganjil itu tidak pernah lagi tersembul dari mulutnya. Esok paginya

ia berangkat menuju rumah Datuk Penghulu setelah pamit dari kedua orang

tuanya.

Di tempat Datuk Penghulu, Si Buyung Besar menyerahkan kebijaksanaan

selanjutnya kepada Datuk Penghulu. Segera isi kapal itu dibersihkan, dikeluarkan

dari dalam kapal serta menanyakan apakah Buyung Besar ingin berlayar lagi.

Buyung Besar mengiakan dengan syarat kalau ada modal lagi ia akan

menyanggupinya. Kali ini yang dibawa adalah padi. Para kuli memuat kapal itu

penuh dengan padi, tetapi orangnya telah berganti bukan lagi mereka yang ikut

berlayar pertama kali. Mereka itu tidak mau ikut lagi karena tidak mendapat gaji

dari Datuk Penghulu atau dari Si Buyung Besar. Esok paginya Si Buyung Besar

akan berangkat jika telah permisi dari Datuk Penghulu. Tetapi, hal itu lebih

(26)

tidur malam itu dan baru pagi harinya minta izin dari Datuk Penghulu.

Dijelaskan, kalau tidak ada halangan ia akan berangkat. Dan Datuk

memerintahkan kepada pembantunya agar patuh kepada perintah Si Buyung

Besar.

Malam itu Buyung Besar bersama pembantu-pembantunya berangkat

menuju lautan dengan barang dagangan padi. Pelayaran ini lebih lama dari yang

pertama.

Akhirnya mereka sampai di sebuah negeri lain (bukan negeri persinggahan

semula). Buyung Besar berkata, “Hai penduduk kampung, saya ingin berjumpa

dengan kalian”. Penduduk negeri itu menanyakan diri Si Buyung Besar

dantentang tujuan mereka datang di tempat itu. Setelah menjelaskan diri dan

kedatangannya, ia pun berkata, “Kalau kalian hendak menumbuk padi yang kami

bawa, silahkan. Berasnya kami hadiahkan kepada kalian tetapi segala

kulit-kulitnya keluarkan lalu masukkan kembali kedalam kapal ini”. Dengan senang

hati penduduk negeri itu bekerja keras menumbuk padi.

Setelah dua bulan berselang selesailah pekerjaan menumbuk padi itu dan

kulitnya pun telah masuk kedalam kapal Buyung Besar yang baik hati. Mereka

mengharapkan Buyung Besar kembali membawa dagangan serupa itu dan

mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatinya. Setelah pamit dari penduduk

kampung itu mereka pun kembali berlayar menuju kampung halaman. Antara

sesama kuli-kuli terdengar ocehan, “Alangkah bodohnya dan bencinya aku

melihat tingkah Si Buyung Besar ini. Seenaknya saja memberikan padi-padi itu

kepada orang lain. Kita telah bekerja keras menolongnya, mematuhi segala

(27)

kulitnya dibawa pulang. Mati aku melihat kebodohan Si Buyung ini”. Mereka

tidak berani membantah atau mencela terus terang karena takut kepada Datuk.

Setelah hampir dua bulan mereka berlayar pulang, tibalah kapal itu dengan

selamat. Dentuman meriam pun dibunyikan tanda mereka telah tiba kembali.

Datuk Penghulu menyuruh menterinya melihat siapa yang membunyikan meriam

itu. Ia melihat akan Si Buyung Besar telah pulang dari pelayarannya. Datuk

mendapat berita baik-baik dan jawaban yang serupa dengan pelayaran pertama

yakni, “Pulang pokok saja”.

Datuk hanya menyatakan syukur atas keselamatan mereka dan menekan

agar sedikit demi sedikit Buyung Besar dapat menolong orang tuanya. Selesai

berbincang-bincang dengan Datuk Penghulu, Buyung Besar pergi menjumpai

orang tuanya. Diceritakanlah pengalamannya selama di rantau orang, tentang

dagangannya dan sambutan penduduk negeri itu terhadapnya. Kedua orang

tuanya sangat asyik mendengarkan cerita pengalaman anak tunggalnya itu. Larut

malam barulah mereka tidur. Esok paginya, Buyung Besar memberitahukan

keberangkatannya seraya memohon doa restu orang tuanya. Dengan seizin orang

tuanya, Buyung Besar pergi ke tempat Datuk Penghulu. Datuk berkata,

“Bagaimana Buyung Besar dibawa kemari, jadikah kamu berangkat malam nanti?

Pandai besi serta pandai emas dan perak sudah siap menanti dan segala keperluan

telah tersedia. Kuli-kuli yang kau bawa berlayar dulu tidak mau lagi pergi.

Keberangkatanmu yang ketiga ini ditemani oleh tukang-tukang yang mahir

membuat segala macam barang, baik ukiran maupun perabot”.

Sebelum kapal berlayar Datuk Penghulu mengumpulkan semua orang yang

(28)

menuruti perintah Buyung Besar dan tidak boleh membantah. Siapa yang berani

membantah akan dihukum. Jadi sebelum ada perintah Buyung Besar, tidak boleh

ada yang mengerjakan sesuatu. Selesai mendengarkan perintah Datuk, kapal itu

pun berangkat.

Setelah beberapa minggu berlayar, sebuah bayangan hitam berada didepan

mereka. Juru mudi memberitahukannya pada Buyung Besar, kapal mereka

ditujukan kesana. Tiada berapa lama, sampailah mereka. Rupanya bayangan itu

tidak lain sebuah pulau yang penuh dengan besi. Namun karena belum ada

perintah, mereka tidak berani. Perintah Buyung Besar yang ditunggu-tunggu itu

tidak juga ada, sehingga salah seorang diantara mereka menggerutu”. Kalau

perintah itu kita tunggu-tunggu, maka satu minggu ini pun kita belum juga akan

bekerja. Karena itu, mari kita saja. “Dijawab oleh orang lain,”Yah, tetapi belum

ada perintah, nanti kita dimarahi”. “Nah, kita dibawa kemari ‘kan untuk bekerja,

kurasa dia tidak akan marah,” kata kawannya. Begitulah, mereka pun bekerja

tanpa perintah Buyung Besar dan membuat barang dari besi menurut keahliannya

masing-masing. Banyak lemari, kursi, tempat tidur, dan barang lainnya yang

sudah mereka kerjakan.

Pada suatu hari berkatalah Buyung Besar kepada juru mudi, “Angkat sauh,

pasang layer, kita segera berangkat ketengah lagi. Tidak seorang pun dapat

membawa barang-barang itu”. Mendengar perintah itu mereka merasa kesal dan

gelisah, tetapi tidak seorang pun berani membantahnya karena membantah berarti

masuk penjara. Juru mudi naik kapal. Kapal pun bergerak meninggalkan pulau

besi itu ketengah lautan luas. Kira-kira lima hari pelayaran juru mudi

(29)

yakni, “ Ke tengah”. Juru mudi tidak berani melanjutkan pertanyaan selain

menujukan kapal itu ketengah lautan. Kira-kira sebulan kemudian tampaklah di

depan mereka cahaya putih bersinar.

Hal itu diberitahukan kepada Buyung Besar dan mendapat perintah agar

kapal ditujukan kesana. Kiranya tabiat Buyung Besar selama dalam pelayaran itu

tetap tidak banyak bicara. Sehari-harian ia berjalan dari butiran ke haluan sambil

menetak-netakkan kapal kecilnya ke tepi dinding kapalnya.

Tiada berapa lama kemudian mereka sampai ke tempat asal cahaya putih itu

yang tidak lain sebuah pulau yang penuh dengan perak. Melihat perak itu, para

tukang tidak dapat lagi menahan diri untuk segera mengerjakannya. Mereka

berebut turun ke darat dan bekerja menurut keahliannya masing-masing. Si

Buyung Besar tidak mengacuhkan mereka itu. Ia hanya mondar-mandir dari

haluan ke buritan kapal sambil menetak-netakkan kapak kecilnya.

Lebih kurang sebulan lamanya mereka berada di pulau perak itu. Buyung

besar memerintahkan agar semua mereka yanag berada di darat naik kapal dan

tidak boleh membawa barang-barang yang sudah dibuatnya karena hal itu tidak

pernah diperintahkan. Siapa yang membantah akan dihukum sesuai dengan

hukum Datuk Penghulu ketika berangkat. Para pandai perak itu takut membawa

barang buatannya masing-masing dan naik kapal hampa tangan. Kapal pun

bergerak meninggalkan pulau perak munuju ke tengah lautan. Mereka semua

diam merenungkan apa yang akan terjadi berikutnya.

Sepekan lamanya mereka berlayar, juru mudi menanyakan keadaan mereka

kepada Buyung Besar dan ke mana tujuan berikutnya. Jawab Buyung Besar tetap

(30)

pulang. Kapal pun ditujukan ke tengah lautan selama berminggu-minggu. Pada

pagi hari yang cerah, ketika para pekerja masih tidur nyenyak, juru mudi melihat

cahaya merah di depan seolah-olah lautan ini terbakar. Dengan suara keras Ia

berteriak “Oh Buyung Besar di muka kita ada ada cahaya merah seakan-akan

lautan ini terbakar. Apakah kita putar haluan?” Buyung Besar memerintahkan

agar cahaya itu dituju terus. Dengan hati yang berdebar-debam juru mudi

mengarahkan kapal kea rah cahaya merah itu. Seisi kapal menjadi cemas dan

hanya dapat berdoa kepada Tuhan agar dilindungi dari marabahaya. Sehari

semalam berlayar sampailah mereka ke tempat itu yang tidak lain adalah sebuah

pulau yang penuh denagn emas. Kali ini Si Buyung Besar memberi perintah

kepada semua tukang untuk bekerja membuat apa saja dalam jumlah yang banyak

untuk diri masing-masing. Dia diminta membuat sebuah kapal besar sebesar

kapalnya dan sebuah peti berukuran satu depa kali dua depa yang kuncinya dari

dalam. Mendengar perintah ini mereka membuat kapal seperti yang diinginkan

oleh si Buyung Besar. Mereka bekerja dengan tekunnya dalam suasana gembira.

Ringkas cerita, kapal dan peti Si Buyung Besar selesai mereka kerjakan. Begitu

pula dengan barang-barang lain menurut selera masing-masing telah selesai.

Kemudian mereka diperintahkan untuk memasukkan barang-barang itu ke dalam

kapal dan tidak boleh mencampur baur barang yang satu dengan yang lainnya.

Demikianlah kapal emas itu penuh dengan barang-barang yang diikatkan pada

buritan kapal dan tidak seorangpun boleh menungguinya.

Dalam perjalanan pulang, kapal kecil kepunyaan Buyung Besar terjatuh

dalam lautan. Karena itu Buyung Besar memerintahkan juru mudi menghentikan

(31)

berpesan, “Tuan-tuan sekalian, kapak saya sudah jatuh ke laut, sedangkan saya

tidak dapat berpisah dengannya, sebab itu saya akan turun ke laut mengambilnya.

Kapal kita tidak boleh berangkat sebelum saya kembali ke kapal walaupun

setahun lamanya. Makanan dan minuman masih cukup untuk dimakan. Jika sauh

itu bergoyang, tandanya saya akan kembali. Jika tanda itu telah ada, maka

tariklah sauh ini.” Katanya sambil menunjuk ke tali itu. Selesai berpesan

demikian, ia pun terjun ke dalam laut. Tinggallah mereka di atas kapal menunggu

nasib apa yang akan terjadi atas diri Buyung Besar.

Di dasar lautan Buyung Besar tercengang melihat sebuah taman dan istana

yang megah. Kiranya istana itu adalah istana Raja Lautan. Di sana tinggal, selain

para pengawal dan hulubalang, Raja Lautan suami istri bersama putrinya. Di

taman itulah putrid raja itu bermain-main. Waktu kapak kesayangan Buyung

Besar jatuh, kebetulan putri Raja Lautan sedang berada di sana. Benda yang jatuh

itu diambilnya lalu disimpannya dalam biliknya. Tidak seorangpun mengetahui

bahwa Tuan Putri mendapatkan kapak itu.

Buyung Besar terus pergi mendapatkan seorang yang sedang menjaga di

depan istana. Ia memberi salam lalu bertanya “Wahai Tuan yang sedang

berjaga-jaga, saya ini Buyung Besar, dari dunia. Saya datang kemari untuk mencari kapak

saya yang jatuh ke dasar laut ini. Tahukah Tuan, siapa yang mendapatkannya?

Saya bersedia menebusnya dengan apa saja,” katanya. “Wahai Tuan yang datang

dari dunia. Apa yang Tuan katakan sungguh saya tidak tahu. Tetapi, ada baiknya

kalau hal Tuan saya sampaikan ke[pada Raja kami. Bersabarlah Tuan menunggu

di sini sementara hamba menyampaikan kepada Raja.” Pengawal itupun pergi

(32)

memerintahkan agar Si Buyung Besar datang menghadap. Kemudian Buyung

Besar pergi meghadap raja dan raja menanyakan, “Hai orang dunia, apa hajat

Tuan datang kemari. Katakanlah dengan yang sebenarnya, semoga kami dapat

membantu.” Maka diceritakanlah hal kapak yang jatuh itu. Raja berkata, “Kalau

begitu istirahatlah dulu agar kukumpulkan rakyatku untuk ditanya siapa yang

telah mendapat kapakmu itu.” Hulubalang diperintahkan memanggil semua

rakyatnya kecuali Tuan Putri. Kepada hadirin Raja Lautan bertanya, “Hai

rakyatku sekalian, siapakah diantara kalian yang mendapatkan sebuah kapak kecil

kepunyaan orang dunia ini?” Tidak seorangpun yang mengaku dan menyatakan

pendapatnya. Karena itu, raja pun memerintahkan agar mereka pulang ke

rumahnya. Kemudian Raja berkata kepada istrinya, “Sungguh aneh, tidak

seoarang pun rakyat kita yang mendapatkan kapak orang dunia itu. Kasihan.”

Lalu sambungnya, “Tadi tidak kulihat putri kita, di mana dia? Coba panggil, siapa

tahu dia yang mendapatkannya”. Sang istri pun pergi memanggil putrinya ke

hadapan Raja. Setelah ditanya, putri raja mengaku bahwa dialah yang

mendapatkan kapak itu waktu bermain-main di dalam taman. Diterangkannya

bahwa dia tidak hadir tadi karena tidak dipanggil dan juga tidak ditanya, lalu

minta ampun atas kealpaannya itu. Ditegaskannya, kapak itu baru diberikannya

setelah mendapatkan tebusan dari orang dunia. Raja menanyakan kehendak

putrinya sebagai tebusan itu, dan sang Putri menginginkan diri Buyung Besar.

Karena itu Raja termenung. Tiada lama berselang hal itu langsung dikatakan

kepada orang dunia. Buyung Besar kembali menyerah dan mengembalikan

persoalan itu kepada Raja Lautan. Baginya tiada pilihan lain selain memenuhi

(33)

segala apa yang ada padanya. Singkat cerita, raja pun meresmikan perkawinan

antara Buyung Besar dan Putri Raja Lautan. Pesta meriah diadakan selama 40

hari 40 malam. Setelah 6 bulan tinggal di dasar lautan bersama istrinya, barulah

Buyung Besar teringat kembali kepada teman-temannya yang berada di atas

kapal.

Suatu hari Buyung Besar berkata kepada istrinya bahwa ia ingin segera

pulang ke dunia tempat kawan-kawannya sedang menunggu-nunggu di atas kapal.

Sang istri tidak merasa keberatan. Bersama Buyung Besar ia lalu pergi

menghadap raja untuk minta izin pulang ke dunia. Raja tidak keberatan melepas

keduanya malah memberi kepada menantunya sebanyak cincin dan sambungan

kemenyan sambil berpesan, ”Aku tahu bahwa didunia berbeda dengan disini.

Disana penuh dengan dengki dan iri hati. Karena itu, anakku cincin ini dapat

memberimu makan bila kau kehendaki, dan kemenyan ini bakarlah agar kau

terhindar dari bahaya”.

Esoknya, berangkatlah Buyung Besar bersama istrinya kedunia. Sesuai

dengan pesannya kepada teman-temannya dikapal, sauh digoyangkannya.

Gegerlah penghuni kapal melihat tali sauh bergoyang. Semua mata tertuju

kesana, lalu ditarik oleh juru mudi. Dan terlihatlah oleh mereka bayangan

Buyung Besar dalam air. Sesampainya diatas kapal, riuhlah teman-temannya dan

menanyakan siapa yang melekat dibelakangnya itu. Buyung Besar dengan

bangga menjelaskan bahwa itu adalah istrinya. Pekerja diperintahkan agar segera

membukakan membukakan peti emas untuk memasukkan istrinya kedalamnya.

(34)

tetapi tidak berani bertanya lagi karena takut akan ditindak Si Buyung Besar. Peti

itu disuruh kunci dari dalam oleh istrinya.

Kini mereka berangkat pulang. Tiada lama kemudian kapal pun sampai di

muara. Meriam dibunyikan tiga kali sebagai tanda bahwa mereka telah datang

kesana, tidak ketinggalan Datuk Penghulu. Dari jauh orang ramai telah melihat

dua kapal disana. Satu diantaranya telah dikenal dan satu lagi sangat

mengagumkan karena terbuat dari emas. Karena cahayanya, maka warna air

disekitarnya berubah menjadi kuning kemerah-merahan. Kemudian turunlah Si

Buyung Besar lalu disambut oleh Datuk Penghulu diiringi sorak sorai. Keduanya

segera bersalaman. Buyung Besar ditanyai tentang keuntungan dan hal kapal

emas itu. Buyung Besar menjawab bahwa keuntungannya tidak begitu banyak,

lalu mempersilahkan Datuk Penghulu naik keatas kapal emas itu. Datuk sangat

mengaguminya dan bangga akan hasil pekerjaan Buyung Besar. Dia hilir mudik

diatas kapal emas seraya memperhatikan barang-barang dan benda-benda yang

terbuat dari emas murni ini, ia tertarik akan peti emas dan menanyakan kepada

Buyung Besar. Buyung Besar menjelaskan dan mengutarakan pendapatnya untuk

membagi hasil pelayaran mereka itu.

“Menurut hamba, Datuk tidak sukar membaginya. Barang-barang

tumpukan kecil itu dibagikan kepada para pekerja. Yang lainnya, yakni kapal

emas dan sebuah peti adalah untuk kita. Bagi hamba cukuplah peti yang kecil itu

saja, “Kata Buyung Besar, tetapi Datuk sangat tertarik akan peti itu sejak

dilihatnya tadi dan ingin mengetahui istrinya. Mendengar itu Datuk Penghulu

bertanya lagi, “Sebelum pembagian yang kau usulkan itu, bolehkah aku

(35)

dibukanya dan menyatakan bahwa isinya itu adalah istrinya sendiri. Setelah tiga

kali ketukan, terbukalah peti itu dari dalam lalu keluarlah istrinya, Putri Raja

Lautan. Melihat kecantikan Putri Raja Lautan itu, Datuk Penghulu kagum dan

tidak dapat berkata-kata. Setelah sadar dari lamunannya, ia pun berkata kepada

Buyung Besar, usulan pembagian keuntungan itu tidak dapat kuterima. Akulah

yang memutuskannya. Kapal emas dan peti emas kuserahkan padamu, sedangkan

istrimu itu hendaknya kau serahkan kepadaku, “ katanya. Buyung Besar tidak

menduga demikian dan beberapa saat lamanya tidak dapat berkata-kata selain

menundukkan kepala sambil berpikir-pikir. Akhirnya, walaupun dengan berat

hati, dia menyetujui keputusan Datuk Penghulu. Karena hari sudah mulai malam,

orang-orang pun telah pergi meninggalkan muara. Buyung Besar memerintahkan

agar awak kapal membagi-bagi barang kecil yang terbuat dari emas itu, jangan

ada yang lebih, jangan ada yang kurang. Kemudian Buyung Besar bersama Datuk

Penghulu pulang kerumah. Selama dalam perjalanan pulang itu, Buyung Besar

terus diam, demikian juga istrinya. Sesampainya di istana Datuk memerintahkan

agar mempersiapkan kamar untuk Putri Raja Lautan. Esok harinya para pembantu

mempersiapkan pesta selama sepekan untuk menyongsong hari perkawinannya

dengan Tuan Putri itu. Ia juga memesan agar Buyung Besar tetap berada di

rumahnya dan turut mempersiapkan pesta itu. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu

itu. Para undangan datang. Tuan kadi pun telah siap pula untuk menikahkan

Datuk Penghulu dengan Putri Raja Lautan. Keduanya duduk diatas pelaminan

untuk melakukan akad nikah. Semua pengunjung kagum menyaksikan

kecantikan Tuan Putri. Mereka memperkatakan betapa malangnya nasib Buyung

(36)

menjawab pula. “Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih dan itu adalah

takdir baginya”. Ketika akad nikah akan berlangsung Buyung Besar

meninggalkan ruangan itu lalu duduk seorang diri dihalaman sembari membakar

kemenyan pemberian mertuanya Raja Lautan disertai doa (mantra).

Waktu berlangsung akad nikah itu, tiba-tiba Datuk Penghulu berubah

pikiran. Ia tidak dapat melakukan akad nikah dengan sempurna walaupun

ditunjuki Tuan Kadhi berulang kali. Bahkan Datuk Penghulu tidak dapat

menguasai dirinya lalu berdiri sambil mencak-mencak. Adakalanya kalanya

tiarap seperti orang berenang. Demikianlah ia untuk beberapa saat lamanya

disaksikan oleh orang yang hadir disitu. Dalam keadaan demikian Tuan Kadhi

turun kehalaman menjumpai Buyung Besar. Ia berkata,’’kiranya cukuplah sudah

hukuman yang ditimpakan Tuhan kepada Datuk Penghulu. Kuharap ampunilah

dia.“ Buyung Besar pun tersentak dari lamunannya lalu memandang Tuan Kadhi

seraya berdiri. Buyung Besar berkata, “barangkali benar kata Bapak, marilah kita

menemuinya ke ruangan.” Terlihatlah oleh mereka Datuk Penghulu sedang

kepayahan. Didekatinya Datuk itu seraya meletakkan tangannya di atas

kepalanya. Begitupun mulai sadar.

Beberapa saat kemudian Datuk Penghulu benar-benar telah sadar, lalu

berucap kepada hadirin bahwa ia tidak jadi melangsungkan pernikahannya dengan

Tuan Putri. Saat itu juga diumumkan bahwa Buyung Besar dinikahkan kepada

Tuan Putri Raja Lautan dan saat itu pula ia mengundurkan diri dari jabatan Datuk

(37)

Demikianlah pesta untuk perkawinan Datuk Penghulu itu beralih menjadi

pesta perkawinan Buyung Besar dengan Putri Raja Lautan. Kemudian Buyung

Besar menjadi Datuk dan memerintahkan negeri dengan adil dan bijaksana.

Mereka hidup bahagia, demikian juga masyarakatnya bertambah makmur

adanya.

2.2 Tema

Tema dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu dari sejumlah unsur

pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah

keseluruhan. Bahkan sebenarnya, eksistensi tema itu sendiri sangat bergantung

dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang hanya berupa

makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tidak mungkin hadir tanpa unsur

bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi

makna cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita yang lain,

khususnya yang oleh Nurgiyantoro dikelompokkan sebagai fakta cerita (alur,

latar, dan tokoh) yang mendukung dan menyampaikan tema tersebut.

Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa tingkatan yang berbeda,

tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Shipley dalam Nurgiyantoro (2001:

80-82) membedakan tema dalam lima tingkatan. Pembagian Shipley ini

berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang tersusun dari tingkatan paling

sederhana sampai tingkatan yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh

manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul (man as molecul). Tema karya

(38)

banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutran

serta unsur latar dalam tema tingkat ini mendapatkan penekanan.

b. Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma (man as protoplasm).

Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut atau mempersoalkan

masalah seksualitas. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia

mendapat penekanan, khususnya kehidupan seksual yang menyimpang.

c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial (man as socius). Tema

karya sastra ini menyangkut kehidupan bermasyarakat yang merupakan

tempat berinteraksinya manusia dengan manusia dan lingkungan,

mengandung banyak permasalahan, konflik dan lain-lain yang menjadi objek

pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain masalah ekonomi,

politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propoganda,

hubungan atasan dan bawahan, dan berbagai masalah yang muncul dalam

karya yang berisi kritik sosial.

d. Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu (man as individualism).

Disamping sebagai makhluk sosial manusia sekaligus juga sebagai makhluk

individu yang senantiasa menuntut pengakuan hak atas individualitasnya..

dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun memiliki

banyak permasalahan dan konflik.

e. Tema tingkat devine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi. Masalah yang

menonjol dalam tema ini adalah masalah hubungan manusia dan sang

pencipta, masalah religius, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis

(39)

Adapun kegiatan untuk menafsirkan tema sebuah karya sastra memang

bukan pekerjaan yang mudah. Berhubung tema tersembunyi di balik cerita,

penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang

sacara keseluruhan membangun cerita itu. Lubis ( 1998:25 ) untuk mengetahui

tema sebuah karyasastra maka dapat dilihat dari tiga hal yang saling berkaitan,

yaitu: (a) melihat persoalan yang paling menonjol; (b) menghitung waktu

penceritaan; (c) melihat konflik yang paling banyak hadir.

Setelah membaca dan memahami cerita rakyat Si Buyung Besar maka

penulis dapat menyimpulkan bahwa Si Buyung Besar termasuk cerita yang

tegolong ke dalam jenis tema tingkat sosial. Dalam cerita rakyat ini menceritakan

tentang kehidupan sosial seorang anak. Masalah dalam cerita ini adalah masalah

hubungan manusia dengan manusia. Atau hubungan kasih sayang antara seorang

datuk dan seorang anak yang selalu mematuhi perintah sang datuk sehingga

muncul keegoisan dari sang datuk.

Untuk menentukan tema dalam cerita rakyat Si Buyung Besar ini maka

penulis menggunakan pendapat Mochtar Lubis yang menentukan tema sebuah

karya sastra berdasarkan tiga hal yaitu :

a. Persoalan yang paling menonjol dalam cerita Si Buyung Besar adalah

masalah tingkah laku.

b. Dari awal cerita sampai akhir cerita dalam cerita Si Buyung Besar

menceritakan tentang sosial dan kepahlawanan.

c. Konflik yang paling banyak hadir dalam cerita Si Buyung Besar adalah

(40)

Berdasarkan ketiga hal diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tema

dalam cerita rakyat Si Buyung Besar adalah tentang sosial dan kepahlawanan.

2.3 Alur

Alur merupakan unsur karya sastra yang penting, bahkan tidak sedikit orang

yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur karya

sastra yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun sering lebih

ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin mempergunakan istilah lain.

Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik

ia dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karana itu dalam sebuah

cerita, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali

ada pula akhirnya (Nurgiyantoro, 2001:141). Namun, plot sebuah cerita sering

tidak menyajikan urutan peristiwa secara kronologis, melainkan penyajian yang

dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian yang mana pun juga tanpa adanya

keharusan untuk memulai dan mengakhiri dengan kejadian awal dan kejadian

akhir. Dengan demikian, tahap awal cerita tidak harus berada di awal cerita atau

dibagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian manapun.

Pada dasarnya, alur sebuah cerita haruslah bersifat padu. Antara peristiwa

yang satu dengan peristiwa yang lain, antara peristiwa yang diceritakan lebih

dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan. Alur

yang memiliki sifat keutuhan dan kepaduan, tentu saja akan menyuguhkan cerita

yang bersifat utuh dan padu pula.

Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Tasrif dalam Lubis (1998:

(41)

tahapan tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah

alur pada sastra yang bersangkutan. Kelima tahapan tersebut adalah :

a. Tahap penyituasian (tahap situation), tahap yang terutama berisi pelukisan

dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap

pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain. Berfungsi untuk

melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

b. Tahap pemunculan konflik (tahap generating circumstances),

masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai

mencuat. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan

konflik itu sendiri akan berkembang dan akan dikembangkan menjadi

konflik-konflik pada tahap berikutnya.

c. Tahap peningkatan konflik (tahap rising action), konflik yang telah

dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan

dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang

menjadi inti cerita yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan

menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi mengarah ke klimaks semakin

tidak dapat dihindari.

d. Tahap klimaks (tahap climax), konflik atau pertentangan-pertentangan yang

terjadi, yang dilakui atau ditimpakan kepada para tokoh cerita pencapai titik

intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh

utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.

e. Tahap penyelesaian (tahap denouement), konflik yang telah mencapai

(42)

lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi

jalan keluar, cerita diakhiri.

Setelah penulis membaca, menghayati, dan memahami cerita rakyat Si

Buyung Besar maka dapat digambarkan alur yang terdapat dalam cerita tersebut

adalah plot lurus atau plot progresif. Artinya, bahwa dalam ceria rakyat Si

Buyung Besar pelukisan alur cerita diawali dengan awal situasi sampai dengan

akhir situasi dan tidak terdapat alur sorot balik (flashback) pada setiap bagian dari

alur cerita tersebut.

Adapun pentahapan alur dalam cerita Si Buyung Besar adalah sebagai

berikut :

a. Tahap penyituasian (tahap situation), ini pengarang mulai menceritakan

maupun melukiskan situasi latar, tokoh cerita, dan pembukaan cerita. Hal ini

dapat kita lihat dari petikan cerita pada awal cerita ini, yaitu :

Pada zaman dahulu penduduk pantai pun masih jarang, kepercayaannya kepada takhyul pun masih kuat. Tinggallah sepasang suami istri yang hidup rukun dan damai. Mereka bercocok tanam dan mempunyai seorang anak yang diberi nama Si Buyung Besar. Pertumbuhan anak ini jauh berbeda dari anak-anak lain karena badannya lekas besar itulah sebabnya dia diberi nama demikian. Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak bermain-main di atas pohon itu. Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi dan lucu kedengarannya. “Tidak ada paksa dicari-cari; ada paksa dibuang-buang”. Begitulah dia bernyanyi setiap hari dan baru turun dari atas pohon setelah dipanggil ibunya untuk makan. Sehabis makan, segera naik ke atas pohon lainnya, sambil menetak-netak. Lama-kelamaan ayahnya menjadi heran dan bertanya “Apa arti nyanyianmu itu, Buyung Besar? Ayah dengar setiap hari engkau menyanyikan itu-itu juga”. Sang anak tidak mendengarkan kata-kata ayahnya dan terus menetakkan kapaknya sambil bernyanyi. Segera ibunya memanggil untuk makan karena sudah tengah hari. Si anak pun turun lalu pergi makan bersama dengan orang tuanya. Seperti biasa, sehabis makan, ia pergi ke atas pohon lalu menyanyikan lagunya.

(43)

Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Hal : 16-17

Pada awal cerita ini pengarang sudah memainkan atau memulai cerita dari

lingkungannya dahulu. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan di atas “Pada zaman

dahulu penduduk pantai pun masih jarang, kepercayaannya kepada takhyul pun

masih kuat tinggallah seorang...” pada penggalan ini pengarang mencoba memulai

awal ceritanya. Lalu pengarang mengaitkannya dengan tokoh yang akan

dimasukkan di dalam cerita yang dapat kita lihat pada penggalan berikut ini,

Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Hal : 17

Lalu terjadinya satu kesatuan yang utuh pada awal cerita ini. Sedikit demi

sedikit pengarang mulai memasukkan tokoh ke dalam isi cerita sehingga

tampaklah cerita akan segera dimulai oleh pengarang. Dari penggalan cerita di

atas pengarang sudah memasukkan unsur-unsur yang selalu ada dalam sebuah

karya sastra yaitu, waktu, tempat dan lingkungan kejadian cerita. Adanya

faktor-faktor di atas yang membentuk sebuah cerita yang saling berkaitan merupakan

kesatuan yang bulat dalam cerita rakyat Si Buyung Besar.

b. Tahap pemunculan konflik (tahap generating circumstances), tahap ini

dimulai dengan masalah dan peristiwa-peristiwa yanga akan mencuatkan

konflik seperti, keanehan yang dilakukan oleh Si Buyung Besar yang setiap

(44)

kesayangannya dengan memukul-mukul dan bernyanyi yang aneh dan lucu

kedengarannya. Maka kedua orang tuanya ingin menyerahkannya kepada

datuk Penghulu. Hal ini dapat kita lihat pada penggalan cerita berikut,

Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak bermain-main di atas pohon itu. Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi dan lucu kedengarannya. “Tidak ada paksa dicari-cari; ada paksa dibuang-buang”. Begitulah dia bernyanyi setiap hari dan baru turun dari atas pohon setelah dipanggil ibunya untuk makan. Sehabis makan, segera naik ke atas pohon lainnya, sambil menetak-netak. Lama-kelamaan ayahnya menjadi heran dan bertanya “Apa arti nyanyianmu itu, Buyung Besar? Ayah dengar setiap hari engkau menyanyikan itu-itu juga”. Sang anak tidak mendengarkan kata-kata ayahnya dan terus menetakkan kapaknya sambil bernyanyi. Segera ibunya memanggil untuk makan karena sudah tengah hari. Si anak pun turun lalu pergi makan bersama dengan orang tuanya. Seperti biasa, sehabis makan, ia pergi ke atas pohon lalu menyanyikan lagunya. Pada suatu hari sang ayah berpikir tentang maksud nyanyian anaknya itu. Hal itu ditanyakan kepada istrinya dan dijawab istrinya “Manalah aku tahu”. Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Hal : 16-17

Dari penggalan cerita di atas sudah terlihatlah permasalahan dan peristiwa

yang menyebabkan konflik mencuat dari sifat Si Buyung Besar sehingga Si

Buyung Besar pun diserahkan kepada Datuk Penghulu untuk dididik dan

dibesarkan. Dari gambaran dan penggalan cerita ini jelas bahwa penulis mulai

menggerakkan jalan cerita sehingga pembaca atau penikmat karya sastra ingin

lebih mengetahui jalannya ataupun isi cerita selanjutnya.

c. Tahap peningkatan konflik (tahap rising action), pada tahap ini penulis sudah

Referensi

Dokumen terkait