• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pre Inkubasi koji terhadap mutu moromi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pre Inkubasi koji terhadap mutu moromi"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PRE-INKUBASI KOJI

TERHADAP MUTU MOROMI

ARIEF WIBOWO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PENGARUH PRE-INKUBASI KOJI

TERHADAP MUTU MOROMI

ARIEF WIBOWO

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Teknologi Pangan pada Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Tugas Akhir : Pengaruh Pre-Inkubasi Koji Terhadap Mutu Moromi Nama : Arief Wibowo

NIM : F252040075

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc. Ketua

Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc.

Tanggal ujian : 26 April 2006 Lulus tanggal :

(4)

ABSTRAK

ARIEF WIBOWO. Pengaruh Pre -Inkubasi Koji Terhadap Mutu Moromi. Dibimbing oleh LILIS NURAIDA dan SUGIYONO .

Pada produksi kecap tipe Jepang, fermentasi moromi berlangsung beberapa bulan, dimana suhu moromi 30 hari pertama sekitar 15oC. Di daerah tropis , hal tersebut menimbulkan biaya produksi tinggi dan menurunkan produktivitas. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh kadar garam dan waktu pre-inkubasi koji terhadap perubahan kimia koji; mempelajari pengaruh pre-inkubasi koji dan lama fermentasi moromi terhadap perubahan kimia dan mikrobiologi moromi serta mutu kecap asin. Pre-inkubasi koji dilakukan tanpa dan dengan penambahan 10% garam, suhu 53-55oC dengan lama waktu 0, 6, 12 dan 24 jam. Pre-inkubasi koji meningkatkan formol nitrogen (FN) , total nitrogen terlarut (TN) dan rasio FN/TN. Kadar formol nitrogen, total nitrogen terlarut dan rasio FN/TN koji pre-inkubasi sebesar 0,113%-0,181%, 0,76%-0,88% dan 0,148-0,215, lebih tinggi daripada moromi kontrol (0,057%, 0,68% dan 0,084). Berdasarkan kadar FN, TN dan rasio FN/TN-nya, pre-inkubasi koji tanpa garam lebih baik daripada 10% garam. Bertambahnya waktu pre-inkubasi koji meningkatkan kadar formol nitrogen. Pre-inkubasi koji tanpa garam lebih dari 6 jam berpotensi terkontaminasi mikroba. Pre-inkubasi koji tanpa garam selama 12 jam dan 24 jam menyebabkan jumlah koloni mikroba mesofilik mencapai 6,4x107 koloni/ml dan 9,8x108 koloni/ml. Nilai pH dan kadar gula pereduksi koji pre-inkubasi tersebut turun drastis menjadi 3,93-4,17 dan 0,56% -0,72% . Komposisi kimia moromi 42 hari dari pre-inkubasi koji tanpa garam pada suhu 53-55oC selama 6 jam mendekati moromi standar 90 hari. Namun demikain, kualitas organoleptiknya masih berbeda; yang berarti dapat menghilangkan proses pendinginan pada fermentasi moromi.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir yang berjudul Pengaruh Pre-Inkubasi Koji Terhadap Mutu Moromi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi industri kecap dalam upaya mempersingkat masa fermentasi moromi, dan meningkatkan produktivitas kecap. Secara akademik, penelitia n ini diharapkan dapat merupakan salah satu sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam mengembangkan konsep teoretik mengenai teknologi fermentasi moromi pada produksi kecap

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc dan Bapak Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran, masukan dan bimbingan. Ungkapan terimakasih disampaikan pula kepada Ibunda Hj. Siti Suprapti serta seluruh keluarga (Ning, Annisa dan Nadya) atas doa, kasih sayang dan pengertiannya. Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Dr. Ir. Endang S Sunaryo, MSc sehingga penulis dapat mengikuti program studi ini.

Serpong, Mei 2006

Arief Wibowo

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Juli 1967 di Sleman, Jogjakarta sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, Ibu Hj. Siti Suprapti dan Bapak (alm) Ratidjo.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 6 (SMAN 6) Jogjakarta, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1992.

Tahun 1992-1994, penulis bekerja di konsultan AMDAL A Noor & Associates sebagai Environmental Biologist. Sejak tahun 1994 sampai 1995, penulis bekerja di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta sebagai Research

Assisstant. Mulai tahun 1995 hingga sekarang, penulis bekerja di PT. Indofood

Sukses Makmur Tbk, Jakarta di Corporate Research and Development (CR&D)

Division. Di Divisi tersebut, penulis bekerja di Departemen Quality Assurance

selama 3 tahun dan di Departemen New Product and Technology Development

selama 7 tahun. Di perusahaan tersebut, penulis antara lain berkecimpung di bidang Internal Quality Audit, Mikrobiologi dan pengembangan produk.

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ……… 1

Latar Belakang ……… 2

Permasalahan Penelitian ... 2

Tujuan Penelitian ...……… 2

Manfaat Penelitian ……… 2

TINJAUAN PUSTAKA ………. 3

Kecap ...……….. 3

Proses Pembuatan Kecap ………. 5

Upaya memperpendek lama waktu fermentasi moromi ... 16

METODE PENELITIAN ...………. 21

Bahan dan Alat ………. 21

Metode ...………. 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

Pre-inkubasi koji ... 31

Fermentasi moromi ... 38

Formulasi kecap asin ... 53

SIMPULAN DAN SARAN ... 55

DAFTAR PUSTAKA ...………. 57

LAMPIRAN ……… 61

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Spesifikasi (standar) kecap di negara Asia tenggara dan Jepang ... 4

2 Komposisi kimia berbagai jenis kecap ... 5

3 Pengaruh kondisi pemasakan kedelai terhadap daya cerna protein ... 7

4 Enzim yang diproduksi oleh kapang selama fermentasi koji ... 9

5 Proteinase dari kapang koji ... 10

6 Karboksipeptidase dari kapang koji ... 10

7 Leucine aminopeptidase dari kapang koji ... 11

8 Hidrolisis protein kedelai oleh proteinase murni ... 15

9 Hidrolisis protein kedelai oleh peptidase dan proteinase basa ... 16

10 Usaha percepatan fermentasi moromi ... 20

11 Perlakuan pre-inkubasi koji ... 23

12 Komposisi kimia moromi umur 28 hari ... 53

13 Mutu organoleptik kecap asin dari moromi terpilih ... 54

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Klasifikasi kecap ... 4

2 Pola pertumbuhan mikroorganisma selama fermentasi moromi ... 14

3 Peran masing-masing enzim koji dalam hidrolisis protein ... 17

4 Proses pembuatan koji dan moromi ... 24

5 Pengaruh kadar NaCl dan lama waktu pre-inkubasi koji terhadap kadar formol nitrogen koji ... 31

6 Pengaruh kadar NaCl dan lama waktu pre-inkubasi koji terhadap kadar total nitrogen terlarut koji ... 33

7 Pengaruh kadar NaCl dan lama waktu pre-inkubasi koji terhadap rasio FN/TN koji ... 33

8 Pengaruh kadar NaCl dan lama waktu pre-inkubasi koji terhadap kadar gula pereduksi koji ... 35

9 Pengaruh kadar NaCl dan lama waktu pre-inkubasi koji terhadap pH koji ... 36

10 Perubahan angka lempeng total, jumlah bakteri asam laktat dan jumlah khamir selama pre-inkubasi koji ... 37

11 Perubahan kadar formol nitrogen moromi ... 40

12 Perubahan kadar total nitrogen terlarut moromi ... 41

13 Perubahan rasio FN/TN moromi ... 42

14 Perubahan kadar gula pereduksi moromi ... 45

15 Perubahan pH moromi ... 47

16 Perubahan angka lempeng total moromi ... 48

17 Perubahan jumlah bakter i asam laktat moromi ... 50

18 Perubahan jumlah khamir moromi ... 51

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Data kadar formol nitrogen, total nitrogen terlarut dan rasio FN/TN

koji pre -inkubasi ... 62

2 Data kadar gula pereduksi koji pre-inkubasi ... 62

3 Data pH koji pre-inkubasi ... 63

4 Data komposisi mikroba koji pre-inkubasi ... 63

5 Data perubahan kadar formol nitrogen moromi ... 64

6 Data perubahan kadar total nitrogen terlarut moromi ... 64

7 Data perubahan rasio FN/TN moromi ... 65

8 Data perubahan kadar gula pereduksi moromi ... 65

9 Data perubahan pH moromi ... 66

10 Data perubahan angka lempeng total moromi ... 66

11 Data perubahan jumlah bakteri asam laktat moromi ... 67

12 Data perubahan khamir moromi ... 67

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, kecap merupakan salah satu produk pangan tradisional yang sangat terkenal. Kecap dikenal tidak hanya sebagai “table condiment”, tetapi juga sebagai penyedap dalam berbagai menu masakan.

Produk kecap dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu kecap China dimana kedelai sebagai bahan baku utamanya dan kecap Jepang dimana bahan bakunya adalah kedelai dan gandum. Proses produksi kecap terdiri dari dua jenis fermentasi yang kompleks, yaitu fermentasi padat atau fermentasi bungkil (koji

fermentation), dan dilanjutkan dengan fermentasi cair atau fermentasi baceman

(moromi fermentation) pada larutan garam. Proses fermentasi koji melibatkan

kapang Aspergillus oryzae atau Aspergillus sojae, umumnya berlangsung antara 2-3 hari atau bahkan hingga 2 minggu. Setelah fermentasi koji, koji ditambahkan dengan larutan garam, menjadi moromi. Pada produksi kecap tipe Jepang, suhu moromi 30 hari pertama diatur sekitar 15oC. Pada fermentasi moromi, mikroba yang berperan adalah bakteri asam laktat dan khamir halofilik. Fermentasi moromi tradisional umumnya berlangsung antara 1 bulan hingga 6 bulan. Terdapat berbagai macam variasi komposisi kimia dan mutu kecap yang disebabkan oleh berbagai macam faktor proses produksinya, diantaranya adala h lama waktu fermentasi moromi. Di Indonesia , kecap umumnya digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu kecap manis dan kecap asin. Flavor pada kecap asin sangat menentukan penerimaan kecap saat dikonsumsi. Pembentukan flavor selama fermentasi moromi sangat menentukan flavor kecap asin. Lama waktu fermentasi moromi mempengaruhi flavor yang terbentuk. Untuk kecap asin tipe Jepang, fermentasi moromi diperlukan waktu minimal 3 bulan.

(12)

2

Dalam hal ini, kandungan total nitrogen dan rasio antara formol nitrogen dan total nitrogen umumnya dijadikan parameter untuk menentukan mutu ekstrak moromi.

Masalah Penelitian

Bagi industri kecap tipe Jepang di negara tropis, jangka waktu fermentasi moromi yang relatif lama , yaitu lebih dari 3 bulan, dan adanya pengaturan suhu moromi dibawah suhu kamar mengakibatkan biaya produksi yang relatif tinggi dan produktivitas yang rendah. Hal ini menimbulkan menimbulkan gagasan untuk memperpendek waktu fermentasi moromi dan melakukan fermentasi moromi pada suhu kamar pada 30 hari pertama fermentasi moromi.

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1) Mempelajari pengaruh kadar garam dan waktu pre-inkubasi terhadap perubaha n kimia dan mikrobiologi koji.

2) Mempelajari pengaruh lama fermentasi moromi terhadap perubahan kimia dan mikrobiologi moromi.

3) Membandingkan sifat kimia moromi dan organoleptik kecap asin dari moromi yang dibuat dengan tahapan pre-inkubasi (modifikasi) denga n moromi standar.

Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

1) Secara praktis, memberikan masukan bagi industri kecap dalam upaya mempersingkat masa fermentasi moromi, dan meningkatkan produktivitas kecap.

(13)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Kecap

Kecap merupakan produk penyedap cair (liquid seasoning) yang diproduksi melalui proses fermentasi bahan yang mengandung protein dan karbohidrat. Selama proses fermentasi tersebut dihasilkan asam amino, gula, alkohol dan senyawa asam organik. Berdasarkan Draft-03 SNI Kecap Kedelai Asin (Anonim, 2005), kecap kedelai asin didefinisikan sebagai kondimen berbentuk cair yang dibuat dari sari kedelai fermentasi atau campurannya dengan hidrolisat kedelai (maksimal sumbangan nitrogennya 30%), dimasak dan dibumbui dengan kadar garam minimal 10%. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sari kedelai adalah cairan atau ekstrak hasil penyaringan kedelai dengan atau tanpa tambahan biji-bijian yang telah difermentasi oleh kultur kecap

(Aspergillus sp., Rhizopus sp. dengan atau tanpa kultur lainnya), di dalam larutan

garam, dengan atau tanpa penambahan enzim. Sedangkan hidrolisat kedelai didefinisikan sebagai cairan atau ekstrak hasil penyaringan kedelai atau kacang-kacangan lainnya yang telah mengalami hidrolisis oleh asam kuat, kemudian dimurnikan dan dinetralkan.

Kecap telah dikenal sejak 2500 tahun yang lalu di China (Fukushima 1982, Yokotsuka 1985). Menurut Hanya dan Nakadai (2006), kecap dibagi menjadi kecap fermentasi dan kecap hasil hidrolisis kimiawi (chemical soy

sauce). Kecap fermentasi dibagi menjadi kecap tipe China dan kecap tipe Jepang

(Roling & Verseveld 1996, Hanya & Nakadai 2006). Kecap tipe China hanya terbuat dari biji kedelai, sedangkan kecap tipe Jepang terbuat dari campuran kedelai dan gandum (Gambar-1). Namun demikian, berdasarkan metode produksi, bahan baku, komposisi kimia dan penggunaannya, kecap dapat digolongkan menjadi berbagai macam jenis. Di Jepang, Japan Agricultural

Standard (JAS) membagi kecap berdasarkan komposisi bahan bakunya menjadi 5

jenis kecap, yaitu koikuchishoyu, usukuchishoyu, tamarishoyu, saishikomi

-shoyu dan shiro-shoyu. Sedangkan berdasarkan metode produksinya, kecap

dibagi menjadi 3 jenis, yaitu kecap fermentasi (honjozo), kecap semi-kimiawi

(14)

4

China, berdasarkan metode produksinya kecap digolongkan menjadi kecap fermentasi (brewed soy sauce) dan kecap campuran (blended soy sauce), sedangkan berdasarkan pemakaiannya, kecap dibagi menjadi kecap untuk masak

(cooking soy sauce) dan kecap untuk dikonsumsi langsung (table soy sauce)

(USDA 2003). Di Indonesia, dikenal dua jenis kecap, yaitu kecap asin dan kecap manis dengan mengacu kepada kadar gula dan garamnya (Judoamidjojo et al.

1985, Judoamidjojo 1987). Spesifikasi kecap berbeda-beda di negara satu dengan lainnya. Tabel-1 memperlihatkan beberapa spesifikasi kecap di negara Asia Tenggara dan Jepang.

Gambar -1. Klas ifikasi kecap (Hanya & Nakadai 2006)

Tabel- 1. Spesifikasi (standar) kecap di negara Asia Tenggara dan Jepang 1)

Singapura Malaysia Thailand Filipina

Jepang,

Tamari Indonesia 2) Parameter (light type) Grade 1 (light type) Special Upper

(15)

5

Aroma dan rasa kecap merupakan sifat utama yang dipengaruhi komposisi bahan baku, cara produksi, lama waktu proses fermentasi koji atau mutu koji, mutu moromi dan formulasi kecap sebagai produk akhir. Komposisi kimia kecap yang diproduksi dari berbagai negara dapat dilihat pada Tabel-2.

Tabel-2. Komposisi kimia berbagai jenis kecap 1 )

No Kecap Be NaCl TN RS Alc. Intensitas

2) Kecap asin Jawa – Judoamidjojo (1986) 3) + : lebih terang; +++: lebih gelap

Be: specific gravity, Degrees baume, TN: total nitrogen, RS: reducing sugar (gula invert), Alc: alkohol. NaCl, TN dan RS: g/100 ml, Alc: ml/100 ml.

Proses pembuatan kecap

Proses pembuatan kecap terdiri dari tahapan fermentasi koji atau bungkil, fermentasi moromi atau baceman dalam larutan garam, filtrasi, formulasi dengan gula dan rempah-rempah, dan pengemasan (Judoamidjojo 1987).

Fermentasi koji

(16)

6

pembuatan kecap sebelum Perang Dunia II. Namun sekarang, kedelai tanpa lemak yang diperoleh dengan mengekstraksi kedelai utuh dengan pelarut yang rendah titik didihnya, lebih umum dipakai sebagai bahan baku pembuatan kecap. Kedelai tanpa lemak dipilih selain karena harganya yang relatif murah, daya cerna protein lebih tinggi, lama fermentasi koji yang lebih singkat dan penanganan koji yang lebih mudah, juga karena mutu kecap yang lebih baik (kandungan gliserol, alkohol dan asam laktat lebih tinggi; evaluasi organoleptik lebih baik; produk lebih stabil).

Denaturasi protein kedelai penting dilakukan sebelum fermentasi koji guna memudahkan protein dicerna oleh enzim yang dihasilkan selama fermentasi koji (Fukushima 1982). Pada tahun 1955, peneliti Jepang menciptakan metoda pemasakan kedelai yang disebut sebagai metoda NK, dimana kedelai direndam dan dimasak dalam rotary cooker pada tekanan 0,8 kg/cm2 selama sekitar 1 jam dan kedelai masak segera didinginkan ke suhu 40oC dengan cara mengurangi tekanan NK cooker dengan bantuan jet condenser (Yokotsuka 1982). Uap air pada proses pemasakan ini digunakan untuk: (a) mendenaturasi protein kedelai tanpa lemak sehingga dekompos isi protein menjadi asam amino lebih mudah, (b) membunuh mikroba yang ada pada kedelai, dan (c) memecah dinding sel kedelai tanpa lemak sehingga memungkinkan bekerjanya enzim pektinase dan hemiselulase kapang koji. Penurunan suhu kedelai masak bertujuan untuk membuat dan mengkondisikan suhu kadar air kedelai masak optimal untuk pertumbuhan kapang koji. Yokotsuka (1985) menemukan bahwa daya cerna protein kedelai masak akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan singkatnya waktu pemasakan kedelai daripada metoda NK (Tabel-3). Cara ini memperlihatkan kemungkinan penguraian protein sebesar 92-93% selama proses produksi ekstrak moromi dengan mutu organoleptik produk akhir (kecap) yang lebih baik.

(17)

7

gandum agar mudah digiling, dan (d) untuk memberi flavor gandum pada produk akhirnya. Menurut Yokotsuka (1982), suhu sangrai yang lebih tinggi menghasilkan pati dengan formasi alfa yang lebih banyak tetapi menga kibatkan daya cerna protein lebih rendah. Kandungan pati berstruktur alfa tinggi pada gandum dapat dimaksimalkan dengan cara mengatur kadar air gandum menjadi sekitar 15-25% sebelum penyangraian. Gandum digiling agar setelah dicampur dengan kedelai masak, air dari kedelai masak dapat terdistribusi merata.

Tabel- 3. Pengaruh kondisi pemasakan kedelai terhadap daya cerna protein 1)

No

Daya cerna protein di dalam larutan enzim (%)

Menurut Yokotsuka (1985), protein gandum merupakan sumber asam glutamat yang baik, dimana asam glutamat merupakan ingredien yang penting dalam membentuk rasa produk akhir (kecap). Gandum yang berkadar protein tinggi baik sebagai bahan baku pembuatan kecap. Dedak gandum sering juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap tetapi akan menurunkan kandungan alkohol ekstrak moromi, menjadikan warna ekstrak moromi menjadi lebih gelap dan mengurangi stabilitas warna ekstrak moromi. Hal ini disebabkan karena tingginya kandungan pentosa di dalam ekstrak moromi.

Starter koji

(18)

8

banyak, hal ini penting untuk seed starter, (b) pertumbuhan kapang cepat dan banyak, (c) kapang menghasilkan enzim yang aktivitasnya tinggi, terutama enzim proteolitik dan enzim maserasi, (d) selama pertumbuhannya, kapang mengkonsumsi karbohidrat dalam ju mlah sedikit, (e) kapang mempunyai stabilitas genetik yang baik, dan (f) tidak menghasilkan racun. Di Jepang, pada umumnya spora kapang untuk starter koji yang dijual secara komersial tidak berupa spora murni dari satu jenis kapang, namun berupa campuran dari berbagai jenis kapang. Sebagai contoh, Yokotsuka (1985) menyebutkan komposisi spora kapang dari salah satu starter koji, sebagai berikut: 80% spora Aspergillus oryzae

dan 20% spora A sojae, sementara starter koji yang lain terdiri dari 89% spora A

oryzae dan 11% spora A sojae. Jumlah spora kapang sebagai starter yang baik

adalah minimal 109 koloni/gram.

Enzim Koji . Tujuan utama fermentasi koji adalah memproduksi berbagai macam enzim oleh kapang Aspergillus sojae atau A oryzae. Enzim ini berperan dalam proses penguraian makromolekul bahan baku menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Selain itu, fermentasi koji yang baik diperlukan untuk: (1) memperoleh pertumbuhan miselia kapang yang optimum, (2) menstabilkan aktivitas enzim yang telah disintesis oleh kapang, (3) meminimalkan konsumsi karbohidrat yang diakibatkan oleh pertumbuhan kapang, dan (4) mengurangi kontaminasi bakteri dan kapang lain.

(19)

9

selulase, hemiselulase, pektinase, beta galaktosidase juga berperan menguraikan jaringan biji-bijian dalam fermentasi moromi dan berpengaruh terhadap rendemen kecap, tingkat kemudahan proses penyaringan dan mutu produk akhir.

Tabel- 4. Enzim yang diproduksi oleh kapang selama fermentasi koji 1)

No Enzim Berat molekul

7 Semi-alkaline proteinase 32 6,5

8 Alpha amylase 23 3,6

9 Glucoamylase 80 5,8

10 Carboxy methyl cellulase 17,5

22

Enzim proteinase. Enzim-enzim proteinase dari A oryzae atau A sojae

meliputi 7 macam dengan 4 pH optimum yang berbeda (Tabel-5). Alkaline

proteinase adalah enzim serin, aktif pada kisaran pH yang lebar, antara 6 hingga

11. Neutral proteinase I dan II adalah enzim proteinase seng (zinc proteinase)

yang aktivitasnya dihambat oleh adanya agen pengkhelat (Nakadai et al. 1973 dalam Fukushima 1982). Neutral proteinase I mempunyai spesifisitas dengan proteinase logam (metal proteinase) mikroorganisme. Sedangkan neutral

proteinase II mempunyai spesifisitas tinggi terhadap protein yang berinti basa

(basic nuclear protein), seperti protamin, histon, salmin, klupein dan sejenisnya

(20)

10

menguraikan protein menjadi peptide. Asam amino bebas tidak banyak dihasilkan oleh enzim-enzim tersebut (Fukushima 1982).

Tabel- 5. Proteinase dari koji 1 ) Enzim

Nakadai et al. (1973) dalam Fukushima (1982)

Enzim peptidase. Kapang koji juga menghasilkan berbagai jenis enzim

eksopeptidase yang menghasilkan asam amino bebas dengan memotong gugus karboksi atau amino pada rantai peptida suatu protein atau peptida. Sejauh ini telah dapat diisolasi 4 jenis enzim karboksipeptidase dan 7 macam enzim aminopeptidase dari koji (Table-6 dan Tabel-7).

Tabel-6. Karboksipeptidase asam dari koji 1)

Karboksipeptidase Asam (Acid carboxypeptidase)

Karakteristik I II III IV

) Substrat A: Cbz-Glu-Try; (B): Cbz-Ala-Glu. Aktivitas: unit kasein per gram koji

3

(21)

11

Oleh karena kisaran pH optimum semua enzim karboksipeptidase ada pada pH asam, maka enzim-enzim tersebut disebut juga sebagai karboksipeptidase asam. Semua enzim aminopeptidase mempunyai spesifisitas tinggi terhadap gugus terminal amino leusin, oleh karena itu disebut juga sebagai

leucine aminopeptidase.

Tabel-7. Leucine aminopeptidase dari koji 1)

Enzim

Berat Molekul (x 1000)

pH optimum Aktivitas 2)

Berat

) Substrat A: Leu-Gly- Gly. Aktivitas: unit kasein per gram koji

3

) Mikrogram per gram koji

Di dalam fermentasi koji, pertumbuhan kapang, produksi enzim dan pertumbuhan mikroorganisme kontaminan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti:

Kadar air. Kadar air bahan baku yang akan diinokulasi dengan spora

kapang sangat penting untuk mendapatkan pembentukan enzim protease yang tinggi. Kadar air koji yang baik untuk menghasilkan protease yang banyak adalah 40-45%. Kadar air yang tinggi menyebabkan tingginya konsumsi gula oleh kapang, dan meningkatkan proliferasi bakteri kontaminan, sehingga akhirnya menyebabkan mutu koji rendah.

(22)

12

tunas konidiospora kapang, pertumbuhan miselia, metabolisme respirasi, aktivitas enzim dan proliferasi bakteri kontaminan.

Waktu. Pembuatan koji dimaksudkan adalah untuk memperoleh enzim

dengan akivitas setinggi-tingginya. Umur koji yang menghasilkan enzim dengan aktivitas tertinggi adalah 40-48 jam (Fukushima 1982).

Bahan baku. Perbandingan kedelai dan gandum sebagai bahan baku pada

proses pembuatan ekstrak moromi umumnya adalah antara 6:4 sampai 4:6 (Yokotsuka 1982; Steinkrauss 1988). Jika bagian gandum lebih banyak, maka pertumbuhan kapang akan lebih banyak. Jika kedelai lebih banyak, maka pH koji akan naik.

Fermentasi moromi

Perubahan mikroorganisme selama fermentasi moromi. Koji dibuat dalam kondisi udara terbuka. Hal ini menyebabkan tumbuhnya berbagai jenis bakteri – seperti Streptococcus, Micrococcus, Lactobacillus, Bacillus; dan khamir. Namun hanya beberapa jenis bakteri saja yang dapat tumbuh pada moromi, karena kadar garam yang tinggi (16-18%). Mikroorganisme yang tidak tahan garam yang tumbuh selama fermentasi koji, seperti Micrococcus dan

Bacillus, akan terhambat pertumbuhannya dan bahkan mati pada awal tahapan

proses fermentasi moromi (1-2 bulan). Spora Bacillus dapat bertahan dalam moromi. Hanya bakteri asam laktat dan khamir tahan garam tinggi yang mampu tumbuh pada moromi – seperti Pediococcus halophilus (bakteri asam laktat halofilik), Zygosaccharomyces rouxii (khamir tahan garam tinggi), dan beberapa spesies Candida (khamir halofilik) .

Terdapat tiga tahapan perubahan mikroflora dan biokimiawi selama fermentasi moromi. Berbagai jenis senyawa ester terbentuk sebagai hasil dari reaksi antara senyawa organik yang dihasilkan oleh fermentasi bakteri asam laktat (tahap pertama) dengan alkohol yang dihasilkan oleh khamir Z rouxii

(23)

13

4,7 hingga 4,8. Pada tahapan pertama dari fermentasi moromi, Pediococcus

halophilus (Tetragenococcus halophila) tumbuh dan menghasilkan asam laktat

yang mengakibatkan turunnya pH moromi. Seiring dengan turunnya pH moromi, pada jenis kecap tertentu, seperti koikuchi dan usukuchi di Jepang, khamir tahan garam tinggi seperti Zygosaccharomyces rouxii akan tumbuh dan melakukan fermentasi alkohol. Sebaliknya, pada kecap jenis tamari, fermentasi alkohol tidak terjadi. Hal ini disebabkan karena kekurangan kandungan gula dan adanya efek penghambatan yang disebabkan oleh tingginya kadar nitrogen. Oleh karena itu, aroma yang berasal dari senyawa ester pada kecap jenis tamari kurang kuat. Strain khamir tahan ga ram tinggi lainnya, seperti Candida, tumbuh pada tahapan tengah dan akhir fermentasi moromi. Spesies Candida – seperti Candida

versatilis dan Candida etchellsii menghasilkan senyawa fenolik dan

meningkatkan aroma kecap. Sebetulnya, pertumbuhan Candida dimu lai sejak awal tahapan fermentasi moromi, namun jika dibandingkan dengan pertumbuhan

Z. rouxii, pertumbuhan Candida sangat lambat (Gambar -2). Hal ini disebabkan

karena Z rouxii lebih bersifat anaerobik daripada Candida (Mizunuma & Iguchi 1981 dalam Fukushima 1982). Namun pada akhir tahapan fermentasi moromi, pertumbuhan spesies Candida meningkat tajam, sebaliknya pertumbuhan Z rouxii

menurun. Hal ini disebabkan karena Candida lebih tahan terhadap kondisi moromi yang mengandung nitrogen tinggi (pada tahapan akhir fermentasi moromi, kandungan nitrogen total pada cairan moromi meningkat) dan mengandung senyawa alkilfenol dan senyawa alkohol aromatik (yang dihasilkan oleh Candida) (Fukushima 1982).

Perubahan kimia selama fermentasi moromi. Pertumbuhan kapang selama fermentasi koji menghasilkan enzim amilolitik dan proteolitik. Selanjutnya, selama fermentasi moromi, enzim dari koji menghidrolisis 90-92% protein yang berasal dari bahan baku menjadi asam amino dan peptida dengan berat molekul rendah. Sedangkan sebagian besar karbohidrat akan diuraikan menjadi gula sederhana. Selanjutnya, gula sederhana akan difermentasi terutama menjadi asam laktat, alkohol dan karbon dioksida (Fukushima 1982).

Peran proteinase dan peptidase dari koji dalam fermentasi moromi

(24)

14

proteinase dan beberapa gabungan enzim proteinase menguraikan protein kedelai pada pH 5,0. Rasio formol nitrogen dan total nitrogen terlarut (FN/TN) berkaitan dengan panjang peptida di dalam hidrolisat kedelai. Formol nitrogen adalah kadar nitrogen alfa-amino, sedangkan kadar total nitrogen terlarut mencerminkan kadar nitrogen peptida. Dari Tabel tersebut tampak bahwa masing-masing enzim proteinase berperan dalam menghasilkan nitrogen peptida dalam jumlah yang besar, namun senyawa nitrogen peptida tersebut sedikit yang terurai menjadi senyawa nitrogen yang lebih sederhana – yaitu asam amino. Sebaliknya, pada Tabel-8 tersebut tampak bahwa ekstrak kasar enzim proteinase mampu menghidrolisis prote in menjadi peptida-peptida yang lebih sederhana, ditunjukkan dengan nilai rasio FN/TN yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat enzim lain selain proteinase di dalam koji yang berperan menguraikan senyawa polipeptida (Fukushima 1982).

Pada percobaan hidrolisis protein kedelai dengan enzim peptidase basa memperlihatkan bahwa kandungan formol nitrogen dan asam glutamat meningkat

1 2 3 4 5 6

Bulan

102

7 106

108

104

Gambar-2. Pola pertumbuhan mikroorganisma selama fermentasi moromi 1. Khamir liar, 2. Micrococcus, 3. Bacillus, 4. Lactobacillus, 5. Saccharomyces rouxii, 6. Torulopsis (Yokotsuka 1985)

1 2

3 4

5

6

(25)

15

dengan adanya penambahan enzim proteinase. Ini menunjukkan bahwa peptida yang diuraikan oleh enzim proteinase dihidrolisis lebih lanjut menjadi asam amino oleh enzim peptidase yang ditambahkan (Tabel-9) (Nakadai et al. 1972 dalam Fukushima 1982). Penambahan enzim peptidase kepada enzim karboksipeptidase-IV juga mengakibatkan penguraian peptida menjadi asam amino. Nakadai menyimpulkan bahwa semua peptidase yang diisolasi dari koji berperan dalam pembentukan formol nitrogen dan asam glutamat.

Tabel- 8. Hidrolisis protein kedelai oleh proteinase murni 1)

Enzim 2)

) Alp : alkaline proteinase; NP : neutral proteinase

Peran enzim glutaminase dalam pembentukan asam glutamat selama

fermentasi moromi. Umumnya protein nabati seperti kedelai dan gandum

(26)

16

bulan pertama, fermentasi garam pada proses pembuatan kecap dilakukan pada suhu rendah (15-20oC) guna mencegah hilangnya aktivitas enzim glutaminase (Fukushima 1982, Judoamidjojo 1986).

Tabel-9. Hidrolisis protein kedelai oleh proteinase murni 1

)

)Nakadai at al. (1972) dalam Fukushima (1982)

2

) AcCP : Acid Carboxypeptidase; LAP : leucine aminopeptidase

Upaya memperpendek lama waktu fermentasi moromi

(27)

17

Motai et al. (1987) dalam patennya US Patent No. 4.684.527 menyatakan bahwa ekstrak moromi yang bermutu baik (mengandung asam amino tinggi) dapat diperoleh dengan cara menghidrolisis ekstrak moromi (minimal berumur 1 bulan) dengan enzim peptidase terimobilisasi dan/atau enzim glu taminase terimobilisasi di dalam larutan garam (8-17% (b/v)) pada suhu 25-50oC dan pH antara 4.0 hingga 6.5 selama 30 menit hingga 10 jam. Jika digunakan kedua enzim, untuk mendapatkan efisiensi reaksi yang lebih tinggi, Motai et al. (1987) menyarankan untuk menghidrolisis ekstrak moromi dengan menggunakan enzim peptidase terimobilisasi terlebih dahulu, baru dilanjutkan dengan glutaminase terimobilisasi. Motai et al. (1987) mengklaim dapat memperoleh ekstrak moromi dengan kadar total nitrogen 1,75% (b/v) kurang dari 7 hari.

Protein serealia

Macerating enzyme

Alkaline proteinase Semi-alkaline proteinase Neutral proteinase I dan II Acid proteinase I-III

Peptida

Alkaline proteinase Semi-alkaline proteinase Neutral proteinase I dan II Acid proteinase

Asam amino

Asam glutamat Glutamin

Asam piroglutamat

Glutaminase

(28)

18

Akao et al. (1987) dalam patennya US Patent No. 4,587,127 mengklaim dapat memperoleh ekstrak moromi yang bermutu baik dalam waktu yang singkat (sekitar 5 hari) dengan cara menghidrolisis ekstrak moromi de ngan menggunakan sel bakteri asam laktat terimobilisasi dan sel khamir moromi terimobilisasi. Ekstrak moromi dihidrolisis secara anaerob dengan sel bakteri asam laktat selama 30 menit hingga 30 jam pada pH 4,0-9,0 dan suhu 20-35oC. Selanjutnya, ekstrak moromi dihidrolisis dengan sel khamir terimobilisasi selama 2-30 jam pada suhu 15-37oC. Akao et al. (1987) mengklaim dapat membuat ekstrak moromi dengan kadar total nitrogen sebesar 1,95%(b/v) kurang dari 3 hari.

Fukushima et al. (1999) dalam patennya US Patent No. 5,869,115 menyatakan tentang proses produksi kecap yang mempunyai kandungan nitrogen tinggi dengan cara menghidrolisis bahan baku berprotein dengan enzim di dalam larutan garam. Gluten gandum, garam, air dan koji dicampur untuk memperoleh moromi dengan kandungan garam 0-15%, selanjutnya moromi dihidrolisis pada suhu 37-55oC selama 1-7 hari. Atau, moromi dengan kandungan garam 15-23% dihidrolisis pada suhu di bawah 30oC selama minimal 2 hari. Selanjutnya, moromi disaring dan diperoleh ekstrak moromi dengan kandungan nitrogen 2,3-3,3% dan kadar garam 10-20%.

(29)

19

Lim dan Thang (2002) dalam patennya US Patent No. 6,383,532 menyebutkan proses produksi hidrolisat (ekstrak moromi) dalam jangka waktu 1-20 hari. Mula -mula, pada fermentasi koji (suhu 30-37oC selama 2-5 hari) diinokulasi kultur bakteri asam laktat (103-107 koloni/g), selanjutnya koji yang diperoleh ditambahkan air dan dihidrolisis pada suhu 2-50oC, pH 5,6-7,0 selama 1-20 hari. Garam ditambahkan diawal atau diakhir hidrolisis koji.

Beberapa usaha percepatan fermentasi moromi yang telah dipatenkan seperti diuraikan di atas dan penelitian mengenai hal yang sama disarikan dalam Tabel-10. Dalam aplikasinya pada skala industri, upaya percepatan fermentasi dengan cara penambahan kultur bakteri asam laktat (Kazuo et al. 1979; Lim & Thang 2002) dan imobilisasi enzim (Motai et al. 1987) maupun sel bakteri asam laktat dan khamir (Akao et al. 1987) memerlukan pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi. Sedangkan percepatan fermentasi dengan penambahan gluten (Tobe

et al. 2000) dan hidrolisis enzimatik bahan baku (Kazuo et al. 1979) untuk

(30)

20

Tabel- 10. Usaha percepatan fermentasi moromi

No Upaya percepatan Tujuan Peneliti

1 Penambahan starter

bakteri asam laktat pada moromi.

Mempersingkat waktu fermentasi oleh bakteri asam laktat .

Kazuo et al. (1979) 3 Imobilisasi enzim. Mempersingkat hidrolisis senyawa

makromolekul bahan baku pada tahapan fermentasi moromi.

Motai et al. (1987)

4 Imobilisasi sel bakt eri asam laktat dan/atau khamir.

Mempersingkat waktu fermentasi oleh bakteri asam laktat dan khamir.

Akao et al. (1987)

5 Hidrolisis koji dalam larutan 0-15% garam dan

6 Penambahan gluten. Meningkatkan kadar total nitrogen Tobe dan Sugitomo (2000)

7 Hidrolisis koji tanpa garam dan penambahan

8 Ekstrusi bahan baku koji Menaikkan derajat digestibility

bahan baku 10 Fermentasi moromi yang

cepat pada suhu tinggi selama 2-3 hari . kadar garam dan alkohol .

Mengurangi kontaminasi mikroba dan mempertahankan stabilitas enzim yang dihasilkan kapang koji.

Baba et al. 1983 dalam Su et al. (2003) 11 Hidrolisis koji pada

larutan garam.

Mempersingkat waktu fermentasi moromi.

(31)

21

METODE PENELITIAN

Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2005 hingga Februari 2006.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedelai, gandum dan garam. Kultur khamir Zygosaccharomyces rouxii Kikkoman IFO 0505 dan kapang Aspergillus sojae Saka guchi & Yamada FNCC 6155 diperoleh dari Food

and Nutrition Culture Collection, Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan

Gizi, Universitas Gadjah Mada. Bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan kimia atau reagen untuk analisis kimia dan mikrobiologi, antara lain H2SO4 pekat, NaOH 30%, H3BrO3 2%, dan HCl 0,01N untuk analisis total nitrogen; larutan Fehling A, B dan C, HCl 25% dan KMnO4 0,1N untuk analisis gula pereduksi; larutan formaldehida 37% dan NaOH 0,1 N untuk analisis formol nitrogen; medium Plate Count Agar (PCA) (E-Merck, Darmstadt) untuk analisis angka lempeng total; medium DG18 Agar (dichloran 18% glycerol agar, Oxoid) dan larutan Tryptone Soy Broth (Merck, Darmstadt) untuk analisis penghitungan khamir; dan medium Rogosa-Agar (E-Merck, Darmstadt) untuk analisis total bakteri asam laktat. Untuk pembuatan kecap asin digunakan bumbu-bumbu sebagai berikut: daun salam, sereh, daun jeruk, lengkuas, pokak dan gula merah.

Alat

(32)

22

Metode

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu (1) Tahap pre-inkubasi koji, (2) Tahap fermentasi moromi dan (3) tahap formulasi esktrak moromi.

Pre-inkubasi koji

Penelitian tahap pre-inkubasi koji dilakukan untuk mempelajari pengaruh kadar garam dan waktu pre-inkubasi terhadap perubahan kimia koji. Pemilihan suhu sebesar 53-55oC didasarkan kepada hasil penelitian Su et al. (2005) , Kundu dan Manna (1975), dan Kundu dan Das (1975) yang menyebutkan bahwa suhu optimum bagi enzim protease dan amilase dari kapang Aspergillus oryzae adalah 50-55oC. Pre-inkubasi dilakukan dengan dua perlakuan kadar garam (0% dan 10%) dan empat perlakuan lama waktu pre-inkubasi (0, 6, 12 dan 24 jam), seperti disajikan dalam Tabel-11. Sedangkan alur proses pembuatan koji dan moromi dapat dilihat pada Gambar-4.

Pembuatan seed mold atau starter koji. Pembuatan seed mold mengikuti

Su et al. (2005). Sebanyak 100 g kedelai dicampur dengan 120 ml akuades dan

disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Selanjutnya, sebanyak 100 g gandum giling ditambahkan dan dicampur. Campuran bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam loyang stainless steel dan diinokulasi dengan 5 ml suspensi spora A sojae yang berasal dari 1 tabung medium agar miring dari

Potato-Dextrose Agar (Difco Laboratories, Detroit) yang berumur 5 hari yang telah

diinkubasi pada suhu 30+1oC. Medium campuran kedelai dan gandum tersebut selanjutnya diinkubasi pada suhu 25-30oC selama 3 hari, kemudian dikeringkan pada suhu 45+2oC selama 6 hari. Setelah kering, medium digiling hingga halus. Inokulum spora kapang ini selanjutnya dikemas dalam botol plastik dan disimpan pada suhu 4oC hingga saat akan digunakan.

(33)

23

minimum 1,0 x 101 1 koloni/g. Koji kemudian difermentasi selama 3 hari pada suhu 25-30oC.

Pre-inkubasi koji dengan kadar garam 10%. Ke dalam beaker glass

ukuran 5 liter, sebanyak 1. 700 g koji umur 3 hari ditambahkan 2.040 g larutan garam (18,9% kadar garam). Setelah diaduk merata, suhu koji dinaikkan hingga 53-55oC dengan cara beaker glass diletakkan di atas hot plate stirrer. Setelah suhu tercapai, hidrolisis koji dimulai hingga jangka waktu tertentu sesuai dengan perlakuannya (Tabel-11). Selama hidrolisis, koji diaduk dengan kecepatan 100 rpm. Setelah hidrolisis selesai, suhu diturunkan ke suhu ruang. Selanjutnya ditambahkan sisa garam sebanyak 190 g ke dalam koji pre-inkubasi guna memperoleh moromi dengan kadar garam akhir 15%. Produk ini disebut sebagai moromi.

Tabel- 11. Perlakuan pre-inkubasi koji

No

) (A) pre-inkubasi tanpa garam, (B) pre-inkubasi dengan garam 10%

Pre-inkubasi koji tanpa garam (0% NaCl). Sebanyak 1.700 g koji

(34)

24

garam sebanyak 575 g dilakukan setelah pre-inkubasi koji selesai, sehingga kadar garam akhir pada moromi menjadi 15%. Produk ini disebut sebagai moromi.

Gambar -4. Proses pembuatan koji dan moromi. Garis putus -putus memperlihatkan modifikasi proses yang dilakukan pada penelitian ini.

Analisis. Analisis yang dilakukan terhadap koji hasil pre-inkubasi meliputi analisis kimia: total nitrogen terlarut, formol nitrogen, gula pereduksi

Kedelai Seed mold

Ampas moromi Ekstrak moromi

Bumbu Pemasakan & Penyaringan

(35)

25

dan pH; sedangkan analisis mikrobiologi meliputi jumlah bakteri asam laktat, jumlah khamir dan angka lempeng total.

Fermentasi moromi

Penelitian pada tahap ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pre-inkubasi koji dan lama fermentasi moromi terhadap perubahan kimia dan mikrobiologi moromi. Pada moromi yang berasal dari pre-inkubasi koji, fermentasi moromi dilakukan pada suhu ruang. Sedangkan moromi kontrol, fermentasi moromi dilakukan pada suhu 14-16oC selama 30 hari pertama, dilanjutkan dengan fermentasi pada suhu kamar.

Fermentasi moromi dari koji pre-inkubasi. Dengan menggunakan wadah beaker glass yang sama dari tahap pre-inkubasi koji, sebanyak 3.700 g moromi yang berasal dari koji pre-inkubasi difermentasi pada suhu ruang. Sebanyak 0,1%(b/b) starter khamir dengan jumlah minimal 1,0 x 108 koloni/ml ditambahkan ke da lam moromi umur seminggu. Selama 10 hari pertama moromi diaduk setiap hari, selanjutnya moromi diaduk 3 kali seminggu. Masing-masing pengadukan (100 rpm) selama 15 menit.

Fermentasi moromi kontrol. Fermentasi moromi kontrol dilakukan pada suhu 14-16oC selama 30 hari pertama. Selanjutnya, moromi difermentasi pada suhu ruang. Ke dalam beaker glass ukuran 5 liter, dimasukkan moromi sebanyak 3.700 g. Moromi berasal dari campuran 1.700 g koji umur 3 hari dan 2.040 g larutan garam (28,2% kadar garam). Produk ini disebut sebagai moromi. Moromi selanjutnya diinkubasi pada suhu 14-16oC selama 30 hari pertama dan dilanjutkan fermentasi pada suhu ruang. Sejumlah 0,1%(b/b) starter khamir dengan jumlah minimal 1,0 x 108 koloni/ml ditambahkan pada moromi umur 30 hari. Satu minggu pertama, moromi diaduk setiap hari. Tiga hari pertama setelah penambahan kultur khamir, moromi diaduk setiap hari; selanjutnya moromi diaduk 3 kali seminggu. Masing-masing pengadukan (100 rpm) selama 15 menit.

(36)

26

nitrogen formol, gula reduksi dan pH. Sedangkan pengujian mik robiologi meliputi jumlah bakteri asam laktat, jumlah khamir dan angka lempeng total.

Formulasi kecap asin

Penyaringan moromi. Sebanyak 100 g moromi disaring secara alami

(natural dripping) dengan menggunakan kain saring selama 24 jam pada suhu

ruang. Ekstrak moromi yang diperoleh kemudian dipasteurisasi pada suhu 80+2oC selama 30 menit , selanjutnya disimpan pada suhu -10oC hingga digunakan untuk pembuatan kecap asin. Berdasarkan komposisi kimia – yaitu kadar total nitrogen terlarut (TN), formol nitrogen (FN) dan rasio FN/TN – yang paling mendekati moromi standar, dipilih moromi terbaik untuk diformulasi menjadi kecap asin.

Pembuatan kecap asin. Bumbu-bumbu dipersiapkan bumbu-bumbu dengan cara sebagai berikut: 2,5 g daun salam, 5 g sereh dan 2,5 g daun jeruh, masing-masing disangrai, kemudian digiling halus dan dicampur merata. Larutan gula dipersiapkan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 75 ml air dididihkan, kemudian ditambahkan gula merah sebanyak 17,5 g dan diaduk hingga gula merah larut. Selanjutnya, ke dalam larutan gula merah ditambahkan ekstrak moromi sebanyak 50 g, bumbu-bumbu tersebut di atas, 1 g lengkuas dan 0,5 g pokak. Campuran dididihkan selama 30 menit, kemudian disaring dengan menggunakan kain saring yang telah disterilkan (direbus selama 30 menit). Larutan hasil penyaringan merupakan kecap asin.

Metode Analisis

Persiapan sampel moromi mengikuti Roling et al. (1994b), sedangkan metode analisis kimia mengikuti Draft ke -3 SNI Kecap Asin (Anonim, 2005).

Persiapan sampel moromi. Secara aseptik, sampel moromi diambil dari

glass beaker fermentasi moromi dan dimasukkan ke dalam botol steril dengan

(37)

27

Analisis total nitrogen terlarut. Ditimbang sebanyak 0,51 g sampel dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml. Ditambahkan 2 g campuran selen dan 25 ml H2SO4 pekat. Selanjutnya sampel dipanaskan di atas pemanas listrik sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam). Setelah dingin, sampel diencerkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian ditepatkan sampai tanda garis. Dipipet sebanyak 5 ml larutan dan dimasukkan ke dalam alat penyuling, kemudian ditambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP. Selanjutnya dilakukan penyulingan selama lebih kurang 10 menit. Sebaga i penampung digunakan 10 ml larutan asam borat 25% yang telah dicampur indikator. Sampel dititrasi dengan larutan HCl 0,01N. Dilakukan pula penetapan blanko. Kadar total nitrogen terlarut dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Total Nitrogen Terlarut (%) = (V1 – V2) x N x 0,014 x fp W

dimana, W adalah bobot cuplikan, V1 adalah volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran sampel, V2 adalah volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran blanko, N ada lah normalitas HCl dan fp adalah faktor pengenceran.

Analisis N-Formol. Ditimbang sebanyak 25 g sampel (ekstrak moromi) dan dimasukkan ke dalam beaker glass 50 ml. Sampel diatur pH-nya menjadi 8,0 dengan menggunakan larutan NaOH 1 N dengan alat pH meter dan magnetic

stirrer. Selanjutnya sampel dip indahkan ke dalam labu ukur 250 ml dan ditera

(38)

28

N - Formol (mg/kg) = (ml NaOH) x (N NaOH 0,1N) x (250 ml/100 ml) x 1.000 x 14 mg N/mmol g sampel

Untuk memperoleh nilai kadar formol nitrogen dalam persen (%), nilai di atas dikalikan dengan 10.000.

Total Gula (gula pereduksi). Ditimbang sebanyak 0,1 – 5,0 gram sampel ke dalam tabung hidrolisis, kemudian ditambahkan 2,5 ml HCl 25%. Sampel dihidrolisis diatas air mendidih selama 15 menit. Selanjutnya, sampel didinginkan. Sampel dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditera dengan akuades, kemudian dikocok dan disaring. Sebanyak 10 ml sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam gelas piala 150 ml yang telah berisi 10 ml larutan Fehling A dan 10 ml larutan Fehling B. Sampel dip anaskan dan dididihkan di atas hot

plate sampai terbentuk endapan Cu2O yang berwarna merah bata selama 3 menit.

Setelah sampel didinginkan, sampel disentrifus selama 3-5 menit dengan kecepatan 3.500 rpm untuk mempermudah mengambil endapan Cu2O. Selanjutnya, dibuang larutan yang ada di bagian atas. Endapan dicuci dengan akuades, kemudian disentrifus lagi selama 3 menit dengan kecepatan yang sama . Secara kuantitaif endapan yang diperoleh dipindahkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan Fehling C. Endapan dititrasi dengan larutan standar KMnO4 0,1 N sampai terbentuk warna merah muda yang bertahan selama 10 detik. Kadar gula pereduksi dihitung dengan rumus sebagai berikut:

ml KMnO4 tabel = ml contoh x N KMnO4 0,1

% Total gula = mg glukosa pada tabel x fp x 100 %_ gram contoh

Pengukuran pH. pH meter dikalibrasi dengan menggunakan larutan penyangga setiap kali sebelum pengukuran dilakukan. Elektroda yang telah dibersihkan dengan air suling dicelupkan ke dalam sampel. Selanjutnya nilai pH pada pH-meter dibaca dan dicatat.

(39)

29

15%. Selanjutnya sampel diinokulasikan ke dalam medium PCA (Plate Count Agar). Sampel diinkubasi pada suhu 30+1oC selama 72+2 jam.

Analisis penghitungan khamir. Dipipet sampel sebanyak 1 ml, kemudian dilakukan pengenceran desimal sampel dengan menggunakan larutan

Tryptone Soy Broth. Selanjutnya sampel diinokulasikan ke dalam medium DG18

dan diinkubasi pada suhu 25+2oC selama 72 - 120 jam (ISO 7954:1987).

Analisis penghitungan bakteri asam laktat (BAL) (Fardiaz 1989).

Dipipet sampel sebanyak 1 ml dan diencerkan desimal dengan menggunakan larutan pepton 0.1% berkadar garam 15%. Selanjutnya, dip ipet 1 ml suspensi sampel dan dimasukkan ke dalam petri. Sebanyak 10 ml Rogosa-Agar

ditambahkan ke dalam petri. Sampel diinkubasikan pada suhu 37+1oC selama 24-48 jam.

Jumlah kolo ni, baik untuk analisis ALT, khamir maupun BAL dihitung dengan rumus sebagai berikut (ISO 4833:1991) :

c

Jumlah koloni (koloni/ml) = --- (n1 + 0,1n2)d

dimana c adalah jumlah koloni pada semua cawan yang menunjukkan pertumbuhan, n1 adalah jumlah cawan pada pengenceran pertama yang menunjukkan pertumbuhan, n2 adalah jumlah cawan pada pengenceran kedua yang menunjukkan pertumbuhan, dan d adalah faktor pengenceran yang dipakai pada pengenceran pertama.

Pengujian organoleptik. Pengujian organoleptik kecap asin dilakukan dengan Uji Hedonik dengan menggunakan 20 panelis terlatih (Rahayu 2001) dengan parameter aroma dan rasa. Uji organoleptik dilakukan di laboratorium

Sensory Evaluation dimana ruangan terisolasi, bebas dari kebisingan, bebas bau,

pencahayaan ruangan baik dan memiliki kelembaban udara antara 65-70%. Uji organoleptik dilakukan pada jam 09.00-10.00 dan jam 14.00-15.00 WIB. Sampel kecap asin disajikan pada suhu yang seragam (sekitar 45º -50ºC).

Uji organoleptik metod a hedonik untuk parameter aroma. Dituang

(40)

30

tersebut untuk mengetahui aromanya (jarak hidung dengan contoh uji kira-kira ½ cm). Panelis diminta melakukan penilaian aroma sampel kecap asin pada skala 1 (sangat tidak suka) hingga 9 (sangat suka).

Uji organoleptik metoda hedonik untuk parameter rasa. Dituang

(41)

31

HASIL DAN PEMBAHASAN

PRE-INKUBASI KOJI

Pengaruh pre-inkubasi terhadap kadar formol nitrogen dan total nitrogen terlarut

Pengaruh kadar garam dan lama waktu pre-inkubasi koji pada suhu 53-55oC terhadap kadar formol nitrogen (FN), total nitrogen terlarut (TN) dan rasio FN/TN koji disajikan pada Gambar -5, 6 dan 7, sedangkan data lengkapnya diberikan pada Lampiran-1. Dari Gambar -5 tampak bahwa formol nitrogen yang terbentuk pada koji pre-inkubasi tanpa garam lebih tinggi daripada dengan 10% garam. Pembentukan formol nitrogen pada koji pre -inkubasi tanpa garam meningkat tajam hingga sampai dengan 12 jam (0,176%). Selanjutnya hingga 24 jam pre-inkubasi koji, pembentukan formol nitrogen melambat walaupun kadarnya (0,181%) berbeda nyata dengan kadar formol nitrogen pada jam ke-12 (á = 0,05).

Gambar -5. Pengaruh kadar NaCl dan lama waktu pr e- inkubasi koji terhadap kadar formol nitrogen. Angka pada bagian panel menunjukkan kadar NaCl (%).

(42)

pre-32

inkubasi koji yang menyebabkan turunnya aktivitas enzim protease Aspergillus

oryzae. Seperti dilaporkan oleh beberapa peneliti, pada suhu 55oC enzim protease

tidak stabil (Su et al. 2005) – walaupun suhu tersebut merupakan suhu optimumnya (Kundu & Manna 1975). Su et al. (2005) melaporkan bahwa pada suhu 55oC, inkubasi selama 240 menit mengakibatkan aktivitas protease menurun hingga tinggal 17%. Sedangkan rendahnya kadar formol nitrogen pada pre-inkubasi koji dengan 10% garam kemungkinan disebabkan karena enzim peptidase terhambat aktivitasnya oleh garam. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Su et al. (2005) yang menyebutkan bahwa pada konsentrasi garam (NaCl) 5%, aktivitas enzim protease Aspergillus oryzae tinggal sebesar 38%, sedangkan pada kadar garam 10% dan 14%, aktivitas enzim protease berturut-turut tinggal sebesar 17% dan 10%. Dalam penelitian ini dilakukan pre-inkubasi pada kadar garam 10% oleh karena kadar garam 10% dapat mengurangi kontaminasi mikroba (Hamada et al. 1989). Hal ini dapat dilihat pada profil jumlah mikroba mesofilik (angka lempeng total) seperti ditampilkan dalam Gambar-10. Peningkatan kadar formol nitrogen berarti peningkatan gugus amino terminal dari asam-asam amino, peptida rantai pendek ataupun amonia yang disebabkan karena penguraian protein dari bahan baku kedelai dan gandum oleh enzim protease yang dihasilkan kapang A sojae selama fermentasi koji (Fukushima 1982, Yokotsuka 1985, Roling et al. 1994b, Kobayashi & Hayashi 1998).

(43)

33

Hal ini kemungkinan disebabkan karena enzim proteinase yang memecah molekul protein menjadi peptida relatif stabil pada kadar garam 10%.

Wakt u (jam )

Gambar -6. Pengaruh kadar NaCl dan lama waktu pre- inkubasi koji terhadap kadar total nitrogen terlarut . Angka pada bagian panel menunjukkan kadar NaCl (%).

Dari hasil penelitian ini (Gambar-5 dan 6) diduga enzim peptidase yang menguraikan peptida menjadi asam amino kurang stabil pada garam 10% dibandingkan enzim proteinase yang menguraikan protein menjadi peptida. Oleh karena itu, rasio formol nitrogen dan total nitrogen terlarut (rasio FN/TN) pada koji pre -inkubasi tanpa garam lebih tinggi daripada dengan 10% garam, seperti ditampilkan dalam Gambar-7. Rasio antara formol nitrogen dengan total nitrogen terlarut menunjukkan seberapa besar protein diurai oleh enzim protease (Fukushima 1982).

(44)

34

Bertambahnya waktu pre-inkubasi secara umum akan menaikkan kadar formol nitrogen, total nitrogen terlarut dan rasio FN/TN baik pada pre-inkubasi tanpa garam maupun dengan 10% garam. Dari Gambar-5 dapat diamati bahwa pada koji pre-inkubasi tanpa garam kadar formol nitrogen meningkat dari 0,057% (0 jam) menjadi 0,181% setelah 24 jam inkubasi. Sedangkan pada koji pre-inkubasi dengan 10% garam, kadar formol nitrogen meningkat menjadi 0,167% setelah 24 jam pre-inkubasi. Kadar formol nitrogen dan total nitrogen terlarut paling tinggi dicapai pada pre-inkubasi koji tanpa garam (0% NaCl) selama 24 jam, yaitu sebesar 0,181% dan 0,88%. Sedangkan rasio FN/TN paling tinggi dicapai pada pre-inkubasi koji tanpa garam selama 12 jam, yaitu sebesar 0,215 (Gambar-7). Berbeda dengan koji pre-inkubasi dengan 10% garam, perpanjangan waktu pre-inkubasi hingga 24 jam pada koji pre-inkubasi 0% garam garam tidak menaikkan kadar formol nitrogen secara drastis, yang artinya tidak terjadi kenaikan rasio FN/TN. Hal ini kemungkinan karena adanya penurunan akitivitas enzim peptidase akibat penurunan pH yang drastis yang terjadi pada koji tersebut (Gambar-9). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nakadai (1977) dalam Fukushima (1982) yang menyatakan bahwa proteinase basa (alkaline proteinase) dan

semi-alkaline proteinase akan menurun aktivitasnya pada pH rendah. Kemungkinan

lain adalah adanya penurunan aktivitas enzim peptidase karena tidak stabil pada suhu 53-55oC (Kundu & Manna 1975, Su et al. 2005).

Pengaruh pre-inkubasi terhadap kadar gula pereduksi

(45)

35

yang memperlihatkan pertambahan angka lempeng total dan pertumbuhan bakteri asam laktat selama pre-inkubasi. Kemungkinan lainnya adalah adanya penurunan aktivitas amilase selama pre-inkubasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Su

et al. (2005) yang menyatakan bahwa pada suhu 55oC, inkubasi selama 240 menit

akan menurunkan aktivitas enzim amilase hingga tinggal 47%. Akibat dari kedua hal tersebut adala h kadar gula pereduksi yang dibentuk selama pre-inkubasi koji lebih rendah daripada yang dikonsumsi oleh mikroba.

Wakt u (j am )

Gambar -8. Pengaruh kadar NaCl dan lama waktu pre-inkubasi koji terhadap kadar gula pereduksi. Angka pada bagian panel menunjukkan kadar NaCl (%).

(46)

36

Pengaruh pre-inkubasi terhadap pH

Hubungan antara kondisi pre-inkubasi koji dan pH koji hasil pre-inkubasi yang dihasilkan disajikan pada Gambar-9 dan data lengkapnya diberikan pada Lampiran-3. Bertambahnya waktu pre-inkubasi menurunkan pH baik pada koji pre-inkubasi tanpa garam maupun dengan 10% garam. Dari Gambar tersebut tampak bahwa pada koji pre-inkubasi tanpa garam selama 12 jam hingga 24 jam, pH koji turun sangat tajam hingga dibawah 5,0. Sementara itu, pada koji pre-inkubasi 10% garam, tidak terjadi penurunan pH hingga dibawah 5,0. Penurunan pH ini kemungkinan karena meningkatnya populasi bakteri asam laktat (Gambar-10) yang menghasilkan asam organik. Seperti dilaporkan oleh Noda et al. (1982), asam organik akan menurunkan pH moromi.

Wakt u (j am)

Gambar -9. Pengaruh kadar NaCl dan lama waktu pre- inkubasi koji terhadap pH. Angka pada bagian panel menunjukkan kadar NaCl (%)

(47)

37

bakteri asam laktat pada pre-inkubasi dengan 10% garam lebih rendah daripada pre-inkubasi tanpa garam.

Pengaruh pre-inkubasi terhadap komposisi mikroba

Komposisi mikroba – yang meliputi angka lempeng total (ALT) , jumlah koloni bakteri asam laktat dan jumlah koloni khamir – pada koji pre-inkubasi disajikan pada Gambar-10, sedangkan data lengkap diberikan pada Lampiran-4. Dari Gambar -10 tampak bahwa angka lempeng total pada koji pre-inkubasi tanpa garam meningkat drastis seiring dengan bertambahnya waktu pre-inkubasi. Pada jam ke-0, angka lempeng total sebesar 4,3x106 koloni/ml, sementara setelah 24 jam pre -inkubasi angka lempeng total berjumlah 9,8x108 koloni/ml. Pada koji pre-inkubasi dengan 10% garam tidak terjadi peningkatan jumlah mikroba mesofilik yang berarti. Dari Gambar tersebut tampak bahwa jumlah mikroba mesofilik pada koji pre-inkubasi dengan 10% garam lebih rendah daripada tanpa garam. Hal ini kemungkinan disebabkan karena garam 10% menghambat pertumbuhan mikroba kontaminan (Kobayashi & Hayashi 1998).

A B

Gambar -10. Perubahan angka lempeng total ( ), jumlah bakteri asam laktat ( ) dan jumlah khamir ( ) selama pre-inkubasi koji tanpa garam (A) dan dengan 10% garam (B).

Gambar-10 memperlihatkan jumlah bakteri asam laktat pada pre-inkubasi koji tanpa garam meningkat dari 3,4x102 koloni/ml pada jam ke-0 menjadi 8,7x104 koloni/ml pada jam ke-24. Baik pada koji pre-inkubasi tanpa garam

(48)

38

maupun dengan 10% garam, jumlah bakteri asam laktat bertambah seiring dengan bertambahnya waktu pre-inkubasi koji. Jika dibandingkan pada lama waktu pre-inkubasi yang sama, jumlah bakteri asam laktat pada koji pre-inkubasi dengan 10% garam lebih rendah daripada jumlah bakteri asam laktat pada koji pre-inkubasi tanpa garam. Hasil penelitian ini sama seperti yang diindikasikan oleh Hamada et al. (1989) yang menyatakan bahwa kadar garam 10% menghambat pertumbuhan mikroba kontaminan. Namun, seperti dikatakan oleh Kobayashi dan Hayashi (1998), pada moromi dengan kadar garam 10%, bakteri asam laktat masih dapat tumbuh.

Gambar-10 tersebut diatas juga memperlihatkan jumlah khamir pada pre-inkubasi koji tanpa garam turun dari 1,2x102 koloni/ml menjadi 7,0x101 koloni/ml setelah 24 jam inkubasi. Penurunan jumlah khamir setelah pre-inkubasi tanpa garam berjalan lebih dari 12 jam kemungkinan karena turunnya pH koji pre-inkubasi, dimana pH rendah akan menghambat pertumbuhan khamir (Kobayashi & Hayashi 1998). Penurunan populasi khamir kemungkinan juga disebabkan karena khamir kalah bersaing dengan bakteri asam laktat dan bakteri lain yang masih mendominasi substrat tersebut – seperti diperlihatkan pada grafik meningkatnya angka lempeng total pada Gambar tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Mizunuma dan Iguchi (1981) dalam Fukushima (1982) dan Yokotsuka (1985) yang menyebutkan bahwa di awal tahapan fermentasi moromi, komposisi mikroba didominasi oleh bakteri kontaminan yang berasal dari koji, seperti

Micrococcus dan Bacillus (Gambar-2).

FERMENTASI MOROMI

Pengaruh lama fermentasi moromi terhadap kadar formol nitrogen dan total nitrogen terlarut

(49)

39

bahwa pada hari pertama fermentasi moromi, kadar formol nitrogen pada moromi hasil pre-inkubasi koji tanpa garam dengan lama waktu pre-inkubasi 6 jam (sebesar 0,141%) dan moromi kontrol (0,057%) lebih rendah daripada moromi pre-inkubasi 12 jam (0,141%) dan 24 jam (0,181%). Namun, setelah fermentasi moromi berlangsung hingga 28 hari, kadar formol nitrogen pada moromi hasil inkubasi tanpa garam koji 6 jam (0,232%) lebih tinggi daripada moromi pre-inkubasi 12 jam (0,220%) dan 24 jam (0,213%), namun masih rendah daripada moromi kontrol (0,245%). Kadar formol nitrogen pada moromi pre -inkubasi 0 jam, 6 jam da n moromi kontrol meningkat sangat signifikan hingga umur moromi 42 hari, masing-masing kadar formol nitrogennya adalah sebesar 0,250%, 0,279% dan 0,294%. Namun selanjutnya tidak terjadi peningkatan kadar formol nitrogen yang berarti hingga akhir fermentasi. Sedangkan pada moromi pre-inkubasi tanpa garam dengan lama waktu pre -inkubasi 12 jam dan 24 jam, peningkatan kadar formol nitrogen tidak setinggi pada moromi pre-inkubasi 0 jam, 6 jam dan moromi kontrol. Pada umur moromi 42 hari, kadar formol moromi hasil fermentasi koji tanpa garam selama 12 jam dan 24 jam masing-masing sebesar 0,235% dan 0,224%. Profil tersebut tidak berubah hingga fermentasi moromi berlangsung selama 3 bulan.

Setelah fermentasi moromi berumur 28 hari, rendahnya kadar formol nitrogen pada moromi hasil pre-inkubasi tanpa garam 12 jam dan 24 jam dibandingkan dengan moromi hasil pre-inkubasi 0 jam, 6 jam dan moromi kontrol kemungkinan disebabkan karena waktu pre-inkubasi koji yang lama. Lamanya waktu pre -inkubasi pada suhu tinggi (53-55oC) menyebabkan enzim protease menurun aktivitasnya (Su et al. 2005). Dikatakan oleh Su et al. (2005), enzim protease tidak stabil pada suhu 55oC. Pada suhu tersebut inkubasi selama 240 menit akan menurunkan aktivitas enzim protease hingga tinggal 17%. Kemungkinan lainnya adalah karena pH pada kedua moromi tersebut rendah, dimana pH rendah akan menurunkan aktivitas enzim protease tertentu, seperti

enzim alkaline protease dan semi-alkaline proteinase (Nakadai 1972 dalam

(50)

40

Gambar -11. Perubahan kadar formol nitrogen moromi hasil pre- inkubasi koji tanpa garam (A) dan moromi hasil pre- inkubasi koji dengan 10% garam (B) dengan lama pre-inkubasi bervariasi: ( ) 0 jam, ( ) 6 jam, ( ) 12 jam, (*) 24 jam; dan ( ) moromi kontrol.

Dari Gambar-11 (Bagian B) tampak bahwa pada hari pertama fermentasi moromi hasil pre-inkubasi koji dengan 10% garam, kadar formol nitrogen pada moromi kontrol (sebesar 0,057%) lebih rendah daripada moromi pre-inkubasi 6 jam (0,113%), 12 jam (0,144%) dan 24 jam (0,167%). Namun, pada moromi yang berumur 28 hari, kadar formol nitrogen pada moromi kontrol (0,245%) lebih tinggi daripada moromi pre -inkubasi (berkisar antara 0,138% hingga 0,197%). Kadar formol nitrogen moromi hasil pre-inkubasi koji dengan 10% garam tidak mengalami peningkatan yang berarti hingga akhir fermentasi (3 bulan).

Pada moromi pre-inkubasi dengan 10% garam, peningkatan kadar formol nitrogen tidak setinggi pada moromi pre-inkubasi tanpa garam. Hal ini tampak bahwa aktivitas enzim protease terhambat oleh adanya garam sebesar 10% garam

(Su et al. 2005) . Pembentukan formol nitrogen yang tinggi pada moromi kontrol

umur 42 hari disebabkan karena moromi kontrol tidak mengalami pre-inkubasi pada suhu 53-55oC, sehingga stabilitas enzim protease tidak menurun oleh tingginya suhu. Hal lain adalah karena pada moromi kontrol, suhunya diturunkan hingga sekitar 15oC selama 30 hari pertama fermentasi moromi. Rendahnya suhu moromi ini menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat (Gambar-17), sehingga

(51)

41

asam organik yang memacu penurunan pH tidak banyak terbentuk (Gambar-15). Akibatnya, enzim protease tidak terhambat aktivitasnya (Nakadai 1972 dalam Fukushima 1982, Judoamidjojo 1987).

Gambar-12 (Bagian A) memperlihatkan perubahan kadar total nitrogen terlarut moromi selama 3 bulan fermentasi dari moromi hasil pre-inkubasi tanpa garam, sedangkan Gambar-12 (Bagian B) dari moromi pre-inkubasi 10% garam. Dari Gambar-12 (Bagian A) tampak bahwa pada hari pertama fermentasi moromi, kadar total nitrogen terlarut moromi hasil pre-inkubasi koji tanpa garam 6 jam (sebesar 0,79%), 12 jam (0,82%) dan 24 jam (0,88%) lebih tinggi daripada moromi kontrol (0,68%) dan moromi pre-inkubasi koji 0 jam (0,70%). Namun seperti halnya pada kadar formol nitrogen, setelah fermentasi moromi berjalan selama 28 hari, kadar total nitrogen terlarut moromi kontrol (1,20%) lebih tinggi daripada moromi pre-inkubasi (berkisar antara 0,97% hingga 1,19%).

Gambar -12. Perubahan kadar total nitrogen terlarut moromi hasil pre- inkubasi koji tanpa garam (A) dan moromi hasil pre- inkubasi koji dengan 10% garam (B) dengan lama pre-inkubasi bervariasi: ( ) 0 jam, ( ) 6 jam, ( ) 12 jam, (*) 24 jam; dan ( ) moromi kontrol

Secara umum dapat dikatakan bahwa pada semua moromi, baik moromi hasil pre-inkubasi tanpa garam maupun moromi kontrol, kadar total nitrogen terlarut meningkat drastis pada 28 hari pertama, namun melambat hingga moromi umur 56 hari. Setelah itu, kadar nitrogen terlarut tidak meningkat secara nyata, kecuali pada moromi kontrol yang masih mengalami peningkatan hingga menjadi

(52)

42

1,29% pada akhir fermentasi (umur 3 bulan), seperti diperlihatkan pada Gambar-12 (Bagian A). Pola yang sama terja di pada moromi hasil pre-inkubasi dengan 10% garam (Gambar-12, Bagian B). Setelah fermentasi moromi berjalan selama 28 hari, kadar total nitrogen terlarut moromi kontrol (1,20%) lebih tinggi daripada moromi pre-inkubasi dengan 10% garam (berkisar antara 0,89% hingga 1,14%).

Jika dibandingkan dengan moromi pre-inkubasi tanpa garam, maka peningkatan kadar total nitrogen terlarut pada moromi pre -inkubasi koji dengan 10% garam lebih lambat. Untuk mencapai kadar total nitrogen terlarut yang sama, moromi pre-inkubasi koji dengan 10% garam membutuhkan waktu hingga 56 hari (Gambar-12, Bagian B). Dari Gambar-12 (Bagian A dan B) tampak bahwa kadar total nitrogen terlarut moromi kontrol mengalami peningkatan yang sangat tinggi pada 28 hari pertama . Jika dibandingkan dengan moromi pre-inkubasi, baik pre-inkubasi dengan 10% garam maupun tanpa garam, maka pada akhir fementasi (3 bulan) kadar total nitrogen terlarut moromi kontrol paling tinggi (sebesar 1,29%).

(53)

43

Gambar-13 memperlihatkan perubahan rasio FN/TN pada moromi pre-inkubasi dan moromi kontrol. Pada Gambar-13 (Bagian A), selama fermentasi moromi berlangsung hingga 3 bulan, moromi pre-inkubasi koji 0% garam tidak mengalami peningkatan rasio FN/TN yang nyata, kecuali pada moromi inkubasi tanpa garam selama 0 jam dan 6 jam. Rasio FN/TN pada moromi pre-inkubasi tanpa garam 0 jam meningkat dari 0,08 menjadi 0,21 selama 14 hari pertama, selanjutnya hingga akhir fermentasi, rasionya tidak berubah banyak (menjadi 0,22). Sedangkan pada moromi pre-inkubasi koji tanpa garam selama 6 jam, rasio FN/TN meningkat terus hingga pada umur fermentasi 42 hari (dari 0,18 pada hari ke-0 menjadi 0,23 pada hari ke-42). Setelah itu, rasio FN/TN relatif stabil. Nilai rasio TN/TN ini kemungkinan berkaitan dengan aktivitas dan stabilitas enzim proteinase dan peptidase yang dipengaruhi oleh suhu, lama waktu pre-inkubasi dan pH. Memperhatikan moromi hasil pre-inkubasi tanpa garam selama 0 jam dan 6 jam, peningkatan rasio FN/TN yang tinggi yang terjadi pada 28 hari pertama pada moromi hasil pre-inkubasi 0 jam dan 6 jam tersebut kemungkinan disebabkan karena aktivitas enzim peptidase masih tinggi. Sementara, pada moromi hasil pre-inkubasi selama 12 jam dan 24 jam aktivitas enzim peptidase yang memecah peptida menjadi asam amino diduga sudah lebih rendah daripada yang terdapat di dalam moromi hasil pre-inkubasi 0 jam dan 6 jam. Turunnya aktivitas enzim peptidase kemungkinan karena rendahnya pH moromi hasil pre-inkubasi 12 jam dan 24 jam (Gambar-15). Nakadai (1977) seperti dikutip oleh Fukushima (1982) melaporkan bahwa enzim-enzim leucine

aminopeptidase umumnya mempunyai pH optimum antara 7,0 hingga 8,5. Pada

moromi pre-inkubasi koji 10% garam (Gambar-13, Bagian B) , rasio FN/TN cenderung menurun selama 3 bulan fermentasi moromi, kecuali pada moromi pre-inkubasi 0 jam yang mengalami peningkatan pada 28 hari pertama fermentasi moromi (dari 0,08 menjadi 0,16).

(54)

44

umur 42 hari, rasio FN/TN tertinggi dicapai oleh moromi kontrol (0,239), diikuti oleh moromi hasil pre-inkubasi koji tanpa garam selama 6 jam (0,230) dan moromi pre-inkubasi tanpa garam selama 12 jam (0,222). Dari Gambar tersebut secara umum dapat dilihat bahwa rasio FN/TN moromi hasil pre-inkubasi koji tanpa garam lebih tinggi daripada rasio FN/TN pada moromi hasil pre-inkubasi dengan 10% garam. Selain dipengaruhi oleh suhu dan pH, aktivitas dan stabilitas enzim juga dipengaruhi oleh adanya garam. Seperti dilaporkan oleh Su et al.

(2005), 10% garam akan menurunkan aktivitas protease hingga tinggal 17%. Jika dibandingkan dengan moromi kontrol umur 90 hari (akhir fermentasi moromi), maka dari Gambar-13 tampak bahwa rasio FN/TN moromi hasil fermentasi koji tanpa garam selama 6 jam telah lebih tinggi daripada rasio FN/TN moromi kontrol umur 90 hari (0,233). Jika dibandingkan dengan moromi kontrol umur 90 hari (kadar formol nitrogen sebesar 0,300%), maka kadar formol nitrogen moromi hasil pre-inkubasi tanpa garam dengan lama inkubasi 6 jam telah menyamai pada umur moromi 56 hari (0,300%), sedangkan moromi pre-inkubasi tersebut pada umur 42 hari belum menyamai moromi kontrol. Namun demikian, oleh karena pada penelitian ini salah satu tujuannya adalah mempelajari kemungkinan dihilangkannya proses pendinginan (sekitar 15oC) pada 30 hari pertama fermentasi moromi, maka moromi pre-inkubasi tanpa garam 6 jam yang berumur 42 hari dipilih untuk diformulasi menjadi kecap asin, karena kadar formol nitrogennya telah sama dengan moromi kontrol.

Pengaruh lama fermentasi moromi terhadap gula pereduksi

Gambar

Gambar-1. Klasifikasi kecap (Hanya & Nakadai 2006)
Tabel-2. Komposisi kimia berbagai jenis kecap 1)
Tabel-3. Pengaruh kondisi pemasakan kedelai terhadap daya cerna protein
Tabel-4.  Enzim yang diproduksi oleh kapang selama fermentasi koji 1)
+7

Referensi

Dokumen terkait

11 Puji Maulana, 2012 Penerapan Strategi Drta Directed Reading Thinking Activity Dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman Karya Sastra Dan Berpikir Kritis Siswa Sekolah Dasar : Studi

Soehartati (2005) menyatakan bahwa beban kerja yang tinggi dapat menyebabkan perawat mengalami kelelahan atau kejenuhan yang akan menimbulkan stres kerja pada perawat

Alhamdulillah segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan berkah, rahmat, dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Perlakuan yang diberikan adalah perbedaan dosis susu bubuk afkir sebagai bahan pengkayaan nutrisi media kultur cacing sutera, sedangkan pupuk dasar substrat pada semua

Masyarakat yang diuntungkan dengan adanya jasa bantuan hukum ini mendasarkan kepada beberapa alasan, seperti: keterbatasan pengetahuan dibidang hukum, tidak paham

Belajar di luar negeri, tidak hanya di Amerika tetapi juga di negara lain, tentu menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi kita.. Pertama, harus diakui bahwa

Pemberangkatan “sebab-akibat” (cause and effect) adalah cara pemberangkatan anak-anak yang tidak mengharuskan guru memberikan aba-aba „Ya‟ atau „Mulai‟. Yang paling

Proses Pilkada bagi setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih langsung pemimpinnya sesuai keyakinan dan penilaiannya terhadap calon yang diusulkan oleh masing-masing partai