• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA DAN IMPLIKASINYA PADA

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA

Oleh

PUTRI MARKINDA RAHMADANI

Masalah dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk alih kode dan campur kode dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara dan implikasinya pada pembelajaran bahasa Indonesia di SMA. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk alih kode dan campur kode, faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara, serta implikasinya pada pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, sedangkan teknik yang digunakan adalah studi dokumentasi. Sumber data dalam penelitian ini adalah dialog novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Data penelitian ini adalah satuan bahasa yang merupakan alih kode dan campur kode dalam dialog novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Objek penelitian ini diterbitkan bulan Mei 2012 dan berjumlah 392 halaman.

(2)

Putri Markinda Rahmadani

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Metro, pada tanggal 28 April 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, buah hati dari Bapak Danar Joko Watoro dan Ibu Sukiyem.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 1 Gunung Madu, Lampung Tengah. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Satya Dharma Sudjana, Lampung Tengah. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan di MAN 1 Metro dan lulus tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis menjadi mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah angkatan 2007, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademi dan Bakat (PKAB).

(8)

PERSEMBAHAN

Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis persembahkan karya kecil ini untuk orang-orang tercinta.

1. Ayahanda Danar Joko Watoro dan Ibunda Sukiyem yang senantiasa mencurahkan seluruh cinta dan hidupnya untuk kebahagiaanku. Terima kasih atas doa, kesabaran dan cinta kasih yang tak pernah ada habisnya. 2. Adik-adikku Dani Sulistiono dan Eri Wildan Isworo terima kasih atas

aliran cinta, kasih sayang, doa dan keceriaan yang kalian berikan. 3. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu selama ini. 4. Lelaki yang kelak akan bersamai perjalananku.

5. Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) yang telah mendewasakanku.

(9)

MOTTO

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila telah selesai dari suatu urusan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain dan hanya kepada

Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (QS. Al-Insyirah: 6-8)

“Tidak realistis kalau kita berharap bisa meraih kemenangan terus menerus. Harus ada kekecewaan dalam usahamu. Kesuksesan diciptakan dari kemampuan untuk „menyembuhkan

diri‟ dari kekalahan dan tetap melangkah maju.” (Ralph Marston)

“Tak ada gunung yang terlalu tinggi untuk kita daki bersama dan tak ada laut yang terlalu dalam untuk diselami.”

(10)

SANWACANA

Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang selalu memberikan nikmat sehat dan pertolongan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Alih Kode dan Campur Kode Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada.

1. Dr. Wini Tarmini, M.Hum., selaku pembimbing pertama atas kesediaannya memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. Karomani, M.Si., selaku pembimbing kedua atas kesediaan memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. Nurlaksana Eko R., M.Pd., selaku penguji utama pada ujian skripsi. 4. Dr. Mulyanto Widodo, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

(11)

5. Drs. Kahfie Nazaruddin, M. Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.

6. Dr. Bujang Rahman, M. Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung. 7. Bapak dan Ibu dosen FKIP Universitas Lampung, khususnya Program

Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan.

8. Keluarga besar penulis yang selalu memberikan dukungan moril dan materil.

9. Mbak Eka Yulianti dan Bang Dedi ‘ayah’ yang telah banyak membantu penulis.

10.Lelaki yang tulang rusuknya ada pada diriku, yang telah setia menemaniku berjalan.

11.Sahabat-sahabat terbaikku, Eva Sartika, S. Pd., Devi Mayasari, S. Pd., Weni Handayani, S. Pd., Ima Susanti, S. Pd., Nur Patmasari, S. Pd., Nice Radianse, Apriyani, A. Md., Tresna Ayuningtyas, S. Pd., terima kasih telah berbagi canda, tawa, dan air mata denganku, semoga persaudaraan ini tidak akan pernah berakhir.

12.Keluarga Besar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung, Ina, Ayya, Devin, Daniel, Eno, Ali, Mustika, Cece, Bela, Aden, teman-teman, abang-abang, mbak-mbak, adik-adik tercinta, terima kasih untuk perjalanan yang indah.

(12)

14.Teman-teman PPL Al-Azhar 3, Andri Kasrani, Hesti Bunda Mulia, Gily, Vera, Endang Fitrianti, Sandika, Ervan, terima kasih atas cerita dan pengalaman yang kita lewati bersama-sama.

15.Semua pihak, teman, saudara yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Bandarlampung, Desember 2014 Penulis,

(13)

i

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

SANWACANA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

I PENDAHULUAN ... ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1. Manfaat Teoretis ... 6

1.4.2. Manfaat Praktis ... 6

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II LANDASAN TEORI ... 7

2.1 Bahasa... ... 7

2.2 Variasi Bahasa ... 8

2.3 Kedwibahasaan ... 11

2.3.1. Bentuk Dwibahasawan ... 12

2.3.2. Akibat Kedwibahasaan ... 13

A. Interferensi ... 14

B. Integrasi ... 15

C. Alih Kode ... 17

1) Bentuk-bentuk Alih Kode ... 20

2) Sebab-sebab Terjadinya Alih Kode ... 21

a) Pembicara atau Penutur …. ... 22

b) Pendengar atau Lawan Tutur ... 22

(14)

e) Berubahnya Topik Pembicaraan ... 23

D. Campur Kode ... 24

1) Bentuk-bentuk Campur Kode ... 25

2) Sebab-sebab Terjadinya Campur Kode ... 29

a) Latar Belakang Sikap Penutur ... 29

b) Kebahasaan ... 29

2.4. Novel ... 30

2.5. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ... 34

III METODE PENELITIAN ... 36

3.1. Desain Penelitian ... 36

3.2. Sumber Data ... 37

3.3. Teknik Pengumpulan Data... 37

3.4. Teknik Analisis Data ... 38

IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 43

4.1. Hasil Penelitian ... 43

4.2. Pembahasan Penelitian ... 46

4.2.1. Bentuk-Bentuk Alih Kode ... 46

a. Alih Kode Intern ... 46

b. Alih Kode Ekstern ... 47

4.2.2. Faktor Penyebab Terjadinya Alih Kode ... 49

a. Pengaruh Penutur ... 49

b. Pengaruh Lawan Tutur ... 51

4.2.3. Bentuk-Bentuk Campur Kode ... 52

a. Campur Kode yang Berbentuk Kata ... 52

1) Campur Kode yang Berbentuk Kata dari Bahasa Jawa. . 53

2) Campur Kode yang Berbentuk Kata dari Bahasa Inggris 56 3) Campur Kode yang Berbentuk Kata dari Bahasa Arab .. 57

b. Campur Kode yang Berbentuk Frasa ... 59

1) Campur Kode yang Berbentuk Frasa dari Bahasa Jawa . 59 2) Campur Kode yang Berbentuk Frasa dari Bahasa Arab . 61 c. Campur Kode yang Berbentuk Klausa ... 62

1) Campur Kode yang Berbentuk Klausa dari bahasa Jawa. 63 4.2.4. Faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode ... 65

a. Faktor Latar Belakang Sikap Penutur ... 65

b. Faktor kebahasaan ... 69

4.3. Implikasi Hasil Penelitian Alih Kode dan Campur Kode Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA .... 72

V SIMPULAN DAN SARAN ... 82

5.1. Simpulan ... 82

5.2. Saran ... 83

5.2.1. Untuk Guru ... 83

5.2.2. Untuk Peneliti ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... ... 85

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tabel Indikator Alih Kode dan Campur Kode …. ... 39 2. Tabel Hasil Alih Kode yang Terdapat dalam Dialog Novel

Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara ... 44 3. Hasil Campur Kode yang Terdapat dalam Dialog Novel Sepatu

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Tabel Data Alih Kode dan Campur Kode dalam Novel Sepatu

Dahlan karya Khrisna Pabichara …. ... 88 2. Tabel Analisis Alih Kode dan Campur Kode dalam Dialog Novel

Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara ... 127 3. Tabel Klasifikasi Alih Kode dalam Dialog Novel Sepatu Dahlan

Karya Khrisna Pabichara . ... 163 4. Tabel Klasifikasi Campur Kode dalam Dialog Novel Sepatu Dahlan

(17)

DAFTAR SINGKATAN

Dt : Data

AK : Alih Kode

AK I : Alih Kode Intern AK E : Alih Kode Ekstern

CK : Campur Kode

CK Kt : Campur Kode Kata CK Fr : Campur Kode Frasa CK Kl : Campur Kode Klausa

LT : Lawan Tutur

P : Penutur

SP : Latar Belakang Sikap Penutur

K : Kebahasaan

Jw : Bahasa Jawa

Ar : Bahasa Arab

(18)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semua makhluk hidup di muka bumi ini saling berinteraksi serta berkomunikasi satu sama lain tidak terkecuali manusia. Untuk keperluan ini, sarana komunikasi yang paling penting dalam masyarakat adalah bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia (Keraf, 1984:1). Bahasa memiliki kedudukannya yang sangat penting, sehingga membuat bahasa tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia dan selalu ada dalam setiap aktivitas dan kehidupannya. Semua orang menyadari bahwa interaksi dan segala macam kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa. Sebagai alat komunikasi yang utama, bahasa harus mampu mengungkapkan pikiran, gagasan, konsep, atau perasaan penuturnya. Bahasa juga berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya (Chaer dan Agustina 1995:21).

(19)

2

Dengan adanya bermacam-macam bahasa daerah di Indonesia, menjadikan bahasa daerah menjadi salah satu penunjuk identitas suatu etnis. Mereka menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi dan berinteraksi intrasuku, baik dalam situasi yang bersifat resmi maupun yang bersifat tidak resmi (kedaerahan).

Bahasa daerah mempunyai fungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah; (2) lambang identitas daerah; (3) sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah; (4) sarana pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah. Selain itu, di dalam hubungannya dengan tugas bahasa Indonesia, bahasa daerah juga berfungsi sebagai (1) penunjang bahasa nasional; (2) sumber bahan pengembangan bahasa nasional; dan (3) bahasa pengantar pembantu pada tingkat permulaan di sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain (Chaer dan Agustina, 1995:297).

Walaupun memiliki bermacam-macam bahasa daerah, salah satu ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia yaitu adanya bahasa persatuan, bahasa Indonesia, yang berperan sebagai bahasa nasional atau bahasa negara. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan; (2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan; (3) sarana perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan; dan (4) sarana pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern (Chaer dan Agustina 1995:296).

(20)

3

sarana perhubungan antar bangsa; (2) sarana pembantu pengembangan bahasa Indonesia; (3) alat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi kepentingan pembangunan nasional (Chaer dan Agustina, 1995:297).

Perpindahan penduduk dari satu provinsi ke provinsi lainnya, menyebabkan sebuah interaksi pada masyarakat pendatang dan masyarakat lokal. Keadaan semacam ini menimbulkan apa yang disebut dengan sentuh bahasa atau kontak bahasa (Suhardi dan Sembiring, 2005:58). Situasi kebahasaan pada masyarakat bahasa tersebut menjadi rumit karena lebih dari satu bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Kerumitan tersebut disebabkan mereka harus menentukan dengan bahasa apakah sebaiknya mereka saling berkomunikasi. Hal ini mengakibatkan adanya kedwibahasaan dalam berkomunikasi. Kedwibahasaan atau bilingualisme ialah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Dalam situasi kedwibahasaan, akibat yang ditimbulkan adalah terjadi alih kode dan campur kode. Alih kode adalah peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh penutur karena adanya sebab-sebab tertentu yang dilakukan dengan sadar (Chaer dan Agustina, 1995:158). Campur kode (Code Mixing) adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu kedalam bahasa yang lain secara konsisten (Pranowo, 1996:12). Selain menentukan dengan bahasa apakah sebaiknya penutur berkomunikasi, penutur juga harus dapat menentukan variasi kode manakah yang sesuai dengan situasinya.

(21)

4

maupun tulisan. Salah satu karya sastra tulisan yang banyak menggunakan kedwibahasaan atau bilingualism adalah novel. Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilinganya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (Depdikbud, 2002, 2003:788).

Salah satu novel yang beredar di masyarakat adalah novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Walaupun telah banyak peneliti yang melakukan penelitian tentang kedwibahasaan dalam novel, novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara masih cukup layak untuk diteliti. Dengan latar sebuah desa kecil di daerah Magetan, Jawa Timur, memungkinkan adanya banyak peristiwa alih kode dan campur kode yang terdapat dalam tuturan dialog tokoh novel ini yang bisa untuk diteliti.

(22)

5

semangat pantang menyerah sehingga novel ini dirasa tepat untuk dijadikan media pembelajaran bagi siswa di SMA.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini ialah sebagai berikut;

1. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara?

2. Apakah faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode yang terjadi dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara?

3. Bagaimana implikasi hasil penelitian tentang alih kode dan campur kode dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara ini pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memaparkan wujud alih kode dan campur kode yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara,

2. Memaparkan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara, 3. Mengimplikasikan hasil penelitian tentang alih kode dan campur kode yang

(23)

6

1.4 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis, yakni untuk memperkaya kajian di bidang sosiolinguistik, khususnya pada pada kajian alih kode dan campur kode.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut.

a. Memberikan informasi dan gambaran bagi pembaca tentang alih kode dan campur kode yang terjadi pada novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara

b. Menambah referensi guru dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA dengan menjadikan novel sebagai media pembelajaran.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Objek penelitian ini adalah teks dan dialog dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara sedangkan aspek yang diteliti adalah sebagai berikut.

1. Bentuk-bentuk alih kode dan campur kode dalam teks dan dialog novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara.

(24)

7

II. LANDASAN TEORI

2.1Bahasa

Bahasa adalah sistem lambang bunyi, yang arbitrer, dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:1). Bahasa juga merupakan alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1984:1). Komunikasi melalui bahasa memungkinkan tiap orang untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai alat komunikasi yang utama, bahasa harus mampu mengungkapkan pikiran, gagasan, konsep, atau perasaan penuturnya.

Bahasa berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya (Chaer dan Agustina, 1995:21). Fungsi lain dari bahasa adalah sebagai alat ekspresi diri, alat komunikasi, alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, serta sebagai kontrol sosial (Keraf, 1984:3). Menyadari fungsi bahasa sangat penting dapat dikatakan bahwa interaksi dan segala macam kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa.

(25)

8

Hakikat bahasa menurut Chaer (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:2) adalah sebagai berikut.

1. Bahasa adalah sebuah sistem. 2. Bahasa berwujud lambang. 3. Bahasa berwujud bunyi. 4. Bahasa bersifat arbitrer. 5. Bahasa bermakna.

6. Bahasa bersifat konvensional. 7. Bahasa bersifat unik.

8. Bahasa bersifat universal. 9. Bahasa bersifat produktif. 10.Bahasa bersifat dinamis. 11.Bahasa bervariasi.

12.Bahasa adalah manusiawi.

Dari dua belas butir hakikat bahasa tersebut, dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan hal paling penting dalam kehidupan manusia.

2.2Variasi Bahasa

(26)

9

bervariasi. Keragaman dan kevariasian bahasa ini tidak hanya terjadi karena para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga kegiatan dan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam (Chaer dan Agustina, 1995:85).

Dalam variasi bahasa ini, terdapat dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa itu. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Variasi bahasa dibedakan menjadi empat, yaitu variasi bahasa dari segi penutur, pemakaian, keformalan, dan sarana (Chaer dan Agustina 1995:82).

Variasi bahasa dapat dilihat dari segi penuturnya terdiri dari (1) idiolek ialah variasi bahasa yang berkenaan dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat dan sebagainya, (2) dialeki alah variasi bahasa dari kelompok penutur yang jumlahnya relative sedikit, yang berada dalam satu tempat, wilayah, atau areal tertentu, (3) kronolek ialah variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu, dan (4) sosiolek ialah variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial penuturnya (Chaer dan Agustina, 1995:82).

(27)

10

khusus atau tertentu yang tidak digunakan dalam bidang lain. Namun, variasi berdasarkan bidang kegiatan ini tampak juga dalam tataran morfologi dan sintaksis (Chaer dan Agustina, 1995:89).

Berdasarkan tingkat keformalannya variasi atau ragam bahasa ini atas lima macam yaitu ragam baku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (konsultatif), ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate) (Martin Joos dalam Chaer dan Agustina, 1995:92). Ragam baku adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat atau upacara-upacara kenegaraan, khotbah di masjid, dan tata cara pengambilan sumpah. Ragam resmi adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Ragam usaha adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil produksi. Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan oleh penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti anggota keluarga, atau teman karib (Chaer dan Agustina, 1995:92).

Variasi (ragam) bahasa dapat juga dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam berbahasa, dengan menggunakan alat tertentu, misalnya dalam bertelepon dan bertelegram (Chaer dan Agustina, 1995:95).

(28)

11

dalam dunia nyata. Oleh karena itu, keberagaman tokoh, latar, dan situasi, sangat memengaruhi banyaknya variasi bahasa yang digunakan oleh pengarang.

2.3Kedwibahasaan

Pada umumnya, masyarakat Indonesia dapat menggunakan lebih dari satu bahasa. Mereka menguasai bahasa daerah, yang bagi sebagian besar penduduk Indonesia merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama yang dikuasai sejak mereka mengenal bahasa atau mulai dapat berbicara, dan bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa nasional atau bahasa negara. Kedua bahasa tersebut berpotensi untuk digunakan secara bergantian oleh masyarakat. Artinya, masyarakat yang menggunakan kedua bahasa tersebut terlibat dalam situasi kedwibahasaan. Kedwibahasaan berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Chaer dan Agustina, 1995:112).

(29)

12

sebagai orang yang berdwibahasa atau dwibahasawan (Chaer dan Agustina, 1995:112).

Kedwibahasaan merupakan pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau masyarakat (Pranowo, 1996:9). Kedwibahasaan itu mampu menghasilkan ujaran yang bermakna di dalam bahasa kedua (E. Haugen dalam Tarigan dan Djago Tarigan, 1990:9). Pendapat lain mengenai kedwibahasaan dikemukakan oleh Van Overbeke (dalam Tarigan dan Djago Tarigan, 1990:9), kedwibahasaan adalah suatu alat bebas atau wajib untuk mendefinisikan kemunikasi dua arah antara dua kelompok atau lebih yang memunyai sistem linguistik yang berbeda.

Dari beberapa definisi kedwibahasaan di atas, peneliti mengacu pada pendapat Pranowo karena definisi yang diberikan memiliki batasan yang jelas, yaitu (a) pemakaian dua bahasa, (b) dapat sama baiknya atau salah satunya saja yang lebih baik, (c) pemakaian dapat produktif maupun reseptif, dan dapat oleh individu atau oleh masyarakat.

2.3.1 Bentuk Dwibahasawan

(30)

13

Seseorang yang terlibat dalam praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian itulah yang disebut bilingual atau dwibahasawan (Weinrich dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:26). Mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya. Seorang yang mempelajari bahasa asing, kemampuan bahasa asing atau B2-nya, akan selalu berada pada posisi di bawah penutur asli bahasa tersebut.

Dari beberapa pendapat mengenai dwibahasawan di atas, peneliti mengacu pada pendapat Chaer dan Agustina yang mengatakan “untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu (pertama bahasa ibunya [B1], dan yang kedua bahasa lain yang menjadi bahasa kedua [B2]), orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dwibahasawan)”.

2.3.2 Akibat Kedwibahasaan

(31)

14

A. Interferensi

Interferensi adalah digunakannya bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan (Chaer dan Agustina, 1995:158). Interferensi dapat diartikan sebagai penggunaan sistem B1 dalam menggunakan B2, sedangkan sistem tersebut tidak sama dalam kedua bahasa tersebut (Tarigan dan Djago Tarigan, 1990:16). Intereferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialek ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua (Hartmann dan Stork dalam Alwasilah, 1993:114).

Intereferensi berarti adanya saling berpengaruh antarbahasa (Alwasilah dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:66). Pengaruh itu dalam bentuk yang paling sederhana berupa pengambilan suatu unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam hubungannya dengan bahasa lain. Interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata dan makna budaya baik dalam ucapan maupun tulisan terutama jika seseorang sedang mempelajari bahasa kedua (Alwasilah, 1993:114). Interferensi dianggap sebagai gejala tutur, terjadi hanya pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan, jika sekiranya dwibahasawan itu dapat memisahkan kedua bahasa yang dikuasai dalam arti dwibahasawan adalah dua pembicara yang terpisah dalam diri satu orang, berarti tidak akan terjadi penyimpangan/interferensi (Aslinda dan Syafyahya 2010:65).

(32)

15

mengacaukan ini menimbulkan bentuk-bentuk dan menjadi saingan terhadap bentuk yang sudah lama dan mapan dalam bahasa Indonesia.

Contoh interferensi.

1. Interferensi morfologi: ketabrak, kejebak, kebesaran, dan kemurahan. 2. Interferensi sintaksis:

a) di sini toko Laris yang mahal sendiri (Toko Laris adalah toko yang paling mahal di sini);

b) makanan itu telah dimakan oleh saya (Makanan itu telah saya makan). 3. Interferensi Fonologis:

Contohnya: Jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/ misalnya pada kata Bandung, Deli, Gombon, dan Jambi. Seringkali orang Jawa mengucapkannya dengan /mBandung/, /nDeli/, /nJambi/, dan /nGombong/.

Interferensi dibagi atas empat jenis yaitu

1. pemindahan unsur dari satu bahasa ke bahasa lain;

2. perubahan fungsi dan kategori unsur karena proses pemindahan;

3. penerapan unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa kedua ke dalam bahasa pertama;

4. pengabaian struktur bahasa kedua karena tidak terdapat padanannya dalam bahasa pertama (Weinrich dalam Aslinda dan Syafyahya 2010:66).

B. Integrasi

(33)

16

1993:83). Dikatakan integrasi ketika unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bahasa tersebut. Unsur-unsur tersebut tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan (Mackey dalam Chaer dan Agustina, 1995:168). Integrasi kehadirannya sangat diharapkan karena unsu-unsur ucapan itu belum atau tidak ada padanannya dalam bahasa penyerap sehingga hal ini akan membawa perkembangan pada bahasa yang bersangkutan (Aslinda dan Syafyahya, 2010:65).

Proses integrasi ini memerlukan waktu yang cukup lama, karena unsur yang berintegrasi tersebut harus disesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, maupun tata bentuknya. Proses penerimaan unsur bahasa lain, khususnya unsur kosa kata dalam bahasa Indonesia pada awalnya dilakukan secara audial, artinya mula-mula penutur Indonesia mendengarkan butir-butir leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya (Chaer dan Agustina, 1995:169). Apa yang terdengar, itulah yang diujarkan, lalu dituliskan. Oleh karena itu, kosa kata yang diterima secara audio seringkali menampakkan ciri ketidakteraturan bila dibandingkan dengan kosa kata aslinya (Aslinda dan Syafyahya, 2010:83). Berikut ini adalah contoh integrasi.

sopir - chauffeur

pelopor - voorloper

fonem - phonem

(34)

17

C. Alih Kode

Dalam keadaan kedwibahasaan (bilingualisme), akan sering terdapat orang yang sering mengganti bahasa atau ragam bahasa, hal ini bergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu. Alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubah situasi (Apple dalam Chaer dan Agustina, 1995:141). Berbeda dengan Apple yang mengatakan alih kode itu terjadi antarbahasa, maka Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 1995:142) mengatakan alih kode bukan terjadi antarbahasa, melainkan juga terjadi antar ragam-ragam bahasa dan gaya bahasa yang terdapat dalam satu bahasa. Dengan demikian, alih kode itu merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa yang terjadi karena situasi dan terjadi antarbahasa serta antarragam dalam satu bahasa (Alinda dan Syafyahya, 2010:85).

Contoh peristiwa alih kode dapat dilihat pada wacana berikut ini.

Nanang dan Ujang berasal dari Priangan, lima belas menit sebelum kuliah dimulai sudah hadir di ruangan kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang topiknya tak menentu dengan menggunakan bahasa Sunda, bahasa ibu keduanya. Sekali-kali bercampur dengan bahasa Indonesia kalau topik pmbicaraan menyangkut masalah pelajaran. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap masuklah Togar, teman kuliahnya yang berasal dari Tapanuli, yang tentu saja tidak dapat berbahasa Sunda. Togar menyapa mereka dalam bahasa Indonesia. Lalu, segera mereka terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tak lama kemudian masuk pula teman-teman lainnya, sehngga suasana menjadi riuh, dengan pecakapan yang tidak tentu arah topiknya dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam santai. Keika ibu dosen masuk ruang, mereka diam, tenang, dan siap mengikuti perkuliahan. Selanjutnya kuliah pun berlangsung dengan tertib dalam bahasa Indonesia ragam resmi (Chaer dan Agustina, 1995:141).

(35)

18

Syafyahya, (2010:85) yaitu fakor yang menyebabkan terjadinya alih kode antara lain

a) siapa yang berbicara; b) dengan bahasa apa; c) kepada siapa; d) kapan, dan

e) dengan tujuan apa.

Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur; (2) pendengar atau lawan tutur; (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga; (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; (5) perubahan topik pembicaraan (Chaer dan Agustina, 1995:143).

Seorang pembicara atau penutur acapkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu. Umpamanya,

(36)

19

Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Biasanya, seorang penutur berusaha mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tuturnya. Contohnya, seorang penjual cinderamata yang melakukan alih kode dalam bahasa asing untuk mengimbangi kemampuan berbahasa pembeli (turis). Dengan demikian, terjalin komunikasi yang lancar dan barang dagangannya dibeli turis tersebut

Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Contoh dikutip dari Aslinda dan Syahyahya, (2010:86).

Latar belakang : Kompleks perumahan Balimbiang Padang.

Para pembicara : Ibu-ibu rumah tangga. Ibu Las dan Ibu Leni Orang

Minangkabau, dan Ibu Iin orang Sulawesi yang tidak bisa berbahasa Minang

Topik : Listrik mati

Sebab alih kode : Kehadiran Ibu Iin dalam peristiwa tutur Peristiwa tutur :

Ibu Las : “Ibu Leni jam bara cako malam lampu iduik, awaklah lalok sajak jamsembilan (Ibu Leni pukul berapa lampu tadi malam hidup, saya sudah tidur sejak pukul

sembilan).”

Ibu Leni : “Samo awak tu, awaklah lalok pulo sajak sanjo, malah sajak pukuasalapan, awak sakik kapalo (sama kita itu, saya sudah tidur sejak sore, malah sejak pukul delapan karena saya sakit kepala). Bagaimana dengan Ibu Iin tahu

pukul berapa lampu hidup tadi malam?.”(pertanyaan diajukan kepada Ibu Iin)

Ibu Iin : “Tahu bu, kira-kira pukul sepuluh lebih.”

(37)

20

Indonesia. Ibu Leni beralih kode ke dalam bahasa Indonesia karena mitra tuturnya Ibu Iin (orang Sulawesi tidak mengerti bahasa Minangkabau).

Suwito membedakan alih kode atas dua macam, yakni alih kode internal dan alih kode eksternal. Alih kode internal terjadi antarbahasa sendiri, sedangkan alih kode ekternal terjadi antar bahasa sendiri dengan bahasa asing (Aslinda dan Syafyahya, 201:86).

Perubahan topik pembicaraan dapat juga menjadi penyebab terjadinya alih kode. Contohnya adalah percakapan antara seorang direktur dengan sekertaris di sebuah kantor seperti di bawah ini.

Direktur : “Apakah surat sudah disampaikan ke PT. Selasar Media?” Sekretaris : “Sudah, Pak. Saya sudah lengkapi dengan berkas-berkas

lampirannya.”

Direktur : “Ya sudah, kamu boleh pulang. Eh, gimana anakmu? Udah sehat?”

Sekretaris :“Alhamdulillah, Pak. Mendingan. Makasih buah-buahannya yang kemarin ya, Pak.”

Direktur : “Ah, alakadarnya aja. Dari istri aku, kok.”

Semula, mereka membicarakan urusan pekerjaan menggunaan bahasa Indonesia ragam resmi. Kemudian, saat pembicaraan beralih ke masalah rumah tangga, terjadilah alih kode yang melumerkan kekakuan suasana formal dan menggambarkan kedekatan hubungan sekretaris dan direktur di luar hubungan pekerjaan. Dngan demikian, dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa yang terjadi pada pemakaian bahasa, situasi, dan ragam bahasa.

1) Bentuk-Bentuk Alih Kode

(38)

21

kode yang berlangsung antarbahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.

Contoh alih kode intern dapat dilihat pada wacana berikut ini Guru : “Sugeng, sudah selesai?”

Sugeng : “belum bu, tidak bisa.”

Guru : “Sugeng-Sugeng, wis kelas telu kok perkalian puluhan ora iso.Makane perkalian ki diapalne. (Sugeng-Sugeng, sudah kelas tiga kokperkalian puluhan tidak bisa. Makanya perkalian itu dihafalkan).”

Dari contoh di atas, terlihat peralihan bahasa terjadi antara bahasa itu sendiri, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa.

Contoh alih kode ekstern dapat dilihat pada wacana berikut.

Achan adalah seorang guru bahasa Jepang di suatu SMA. Sebelum memulai pelajaran, ia berbincang-bincang dengan guru bahasa Indonesia tentang perkembangan seorang murid baru. Ketika lonceng tanda pelajaran dimulai, ia masuk ke kelas, kemudian memulai pelajaran dengan menggunakan bahasa Jepang.

Dari contoh di atas terlihat peralihan bahasa terjadi antara bahasa Indonesia ke bahasa Jepang. Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa asing.

2) Sebab-Sebab Terjadinya Alih Kode

(39)

22

mendahului; dan (8) pengaruh situasi bicara (Poedjosoedarmo dalam Lumintaintang, 2006:1).

Apple mengungkapkan faktor-faktor yang dapat memengaruhi terjadinya alih kode antara lain, (1) siapa yang berbicara dan mendengar; (2) pokok pembicaraan; (3) konteks verbal; (4) bagaimana bahasa dihasilkan; (5) lokasi. Alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain, pembicara atau penutur, pendengar atau mitra tutur, perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan perubahan topik pembicaraan (Chaer dan Agustina, 1995:143).

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, penulis lebih mengacu pada teori dari Chaer dan Agustina karena dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum pun memaparkan penyebab alih kode antara lain sebagai berikut.

a) Pembicara atau Penutur

Seorang pembicara atau penutur seringkali sengaja melakukan alih kode untuk memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindakannya tersebut. Alih kode yang dilakukan biasanya dilakukan penutur dalam keadaan sadar dengan tujuan tertentu. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.

b) Pendengar atau Lawan Tutur

(40)

23

memang mungkin bukan bahasa pertamanya. Jika lawan tutur itu berlatar belakang bahasa yang sama dengan penutur, maka alih kode yang terjadi berupa peralihan varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Alih kode ini juga dapat dipengaruhi oleh sikap atau tingkah laku lawan tutur.

c) Perubahan Situasi Karena Hadirnya Orang Ketiga

Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang memiliki latar belakang bahasa berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Satus orang ketiga dalam alih kode juga menentukan bahasa atau varian yang harus digunakan dalam suatu pembicaraan.

d) Perubahan dari Situasi Formal ke Informal atau Sebaliknya

Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Alih kode yang terjadi bisa dari ragam formal ke informal, misalnya dari ragam bahasa Indonesia formal menjadi ragam bahasa santai, atau dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah atau sebaliknya.

e) Berubahnya Topik Pembicaraan

(41)

24

pokok persoalan sosiolinguistik, yaitu siapa pembicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa.

D. Campur Kode

Campur kode (Code Mixing) adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa lain secara konsisten (Pranowo, 1996:12). Suatu keadaan berbahasa ketika seorang penutur mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak berbahasa (speech act) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu sendiri itulah yang disebut campur kode (Nababan dalam Safitri, 2011:21-22).

Campur kode terjadi ketika sorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Apabila seseorang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomiannya sebagai sebuah kode (Aslinda dan Syafyahya, 2010:86).

(42)

25

struktur bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Pendapat ini didukung oleh pendapat Fasold (dalam Chaer dan agustina, 1995:152) bahwa campur kode terjadi apabila seseorang mengunakan satu kata atau frase dari satu bahasa.

Contoh campur kode yang diambil dari buku Chaer dan Agustina (1995:163) dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Mereka akan merried bulan depan.

„Mereka akanmenikah bulan depan‟.

2. Nah, karena saya sudah kadhung apik sama dia, ya saya tanda tangan saja. „Nah, karena saya sudah benar-benar baik dengan dia, maka saya tanda tangan saja‟.

Contoh di atas adalah kalimat-kalimat bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa Inggris dan Jawa, yang berupa kata dan frase. Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi berbahasa formal jarang terjadi campur kode, kalaupun terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing, (Nababan dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:87). Seorang penutur misalnya, dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan bahasa daerahnya, maka penutur itu dapat dikatakan telah melakukan campur kode (Aslinda dan Syafyahya, 2010:87).

1) Bentuk-Bentuk Campur Kode

(43)

26

a) Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Kata

Kata yaitu satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem (KBBI, 2003:513). Seorang penutur bilingual sering melakukan campur kode dengan menyisipkan unsur-unsur dari bahasa lain yang berupa penyisipan kata. Berikut adalah contoh campur kode dengan penyisipan unsur berupa kata.

Mangka sering kali sok ada kata-kata seolah-olah bahasa daerah itu kurang penting.

„Karena sering kali ada anggapan bahwa bahasa daerah itu kurang penting‟.

b) Penyisipan Unsur yang Berupa Frasa

Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif, gabungan itu dapat rapat dapat renggang (Kridalaksana, 1984:53). Berikut adalah contoh campur kode dengan penyisipan yang berupa frase.

Nah karena saya sudah kadhung apik sama dia ya saya teken.

Nah karena saya sudah terlanjur baik dengan dia ya saya tanda tangan. „Nah, karena saya sudah terlanjur baik dengan dia, maka saya tanda tangan‟.

Kalimat di atas terdapat sisipan frasa verbal dalam bahasa Jawa yakni kadhung apik yang berarti terlanjur baik dan saya teken yang berarti saya tanda tangan. Jadi jelas tergambar bahwa kalimat di atas merupakan campur kode frasa.

c) Penyisipan Unsur-Unsur yang Berupa Baster

Baster merupakan gabungan pembentukan asli dan asing. Berikut adalah contoh campur kode dengan penyisipan berupa baster.

Banyak klub malam yang harus ditutup.

(44)

27

Contoh kalimat pertama di atas terdapat baster yakni klub malam kata klub merupakan serapan dari asing (bahasa Inggris) sedangkan kata malam merupakan bahasa asli Indonesia. Kedua kata tersebut sudah bergabung dan menjadi sebuah bentukan yang mengandung makna sendiri. Dengan demikian campur kode yang terdapat di atas adalah campur kode baster. Sama halnya dengan kalimat kedua kata hutan merupakan kata asli Indonesia sedangkan sisipan isasi merupakan serapan dari bahasa asing. Ketika kedua kata tersebut digabungkan menjadi hutanisasi maka akan memunculkan makna baru. Oleh karena itu campur kode yang terjadi pada kalimat kedua di atas merupakan campur kode baster.

d) Penyisipan Unsur-unsur yang Berwujud Perulangan

Perulangan adalah proses pembentukan kata dengan mengulang keseluruhan atau sebagian bentuk dasar. Berikut adalah contoh penyisipan unsur yang berupa pengulangan kata.

Sudah waktunya kita hindari backing-backing dan klik-klikan. Saya sih boleh-boleh saja, asal dia tidak tonya-tanya lagi.

(45)

28

e) Penyisipan Unsur-unsur yang Berwujud Ungkapan atau Idiom

Ungkapan atau idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna unsurnya (KBBI, 2003:417). Berikut adalah contoh campur kode dengan penyisipan yang berupa ungkapan atau idiom.

Pada waktu ini hendaknya kita hindari cara bekerja alon-alon asal kelakon (perlahan-lahan asal apat berjalan).

Ungkapan alon-alon asal kelakon yang berarti perlahan-lahan asal dapat berjalan merupakan ungkapan dalam bahasa Jawa yang bahkan menjadi pegangan hidup orang-orang bersuku jawa yang terkenal dengan kelemah-lembutannya. Pada kalimat di atas ungkapan alon-alon asal kelakon disisipkan di dalam kalimat bahasa Indonesia jadi kalimat tersebut merupakan campur kode berupa penyisipan ungkapan.

f) Penyisipan Unsur-unsur yang Berwujud Klausa

Klausa adalah satuan gramatikal berupa gabungan kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat. Berikut adalah contoh campur kode dengan penyisipan yang berupa klausa.

Pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.

„di depan memberi teladan, di tengah mendorong semangat, di belakang mengawasi‟.

(46)

29

2) Sebab-Sebab Terjadinya Campur Kode

Ciri menonjol terjadinya campur kode biasanya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasatersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua seperti dipaparkan berikut ini (Suwito dalam Anaksastra dalam Safitri, 2011:24).

a) Latar Belakang Sikap Penutur

Latar belakang penutur ini berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar sosial, tingkat pendidikan, atau rasa keagamaan. Misalnya, penutur yang memiliki latar belakang sosial yang sama dengan mitra tuturnya dapat melakukan campur kode ketika berkomunikasi. Hal ini dapat dilakukan agar suasana pembicaraan menjadi akrab. Keinginan untuk menunjukkan atau memamerkan kemampuan berbahasa dan ketidaktahuan penutur terhadap bahasa yang digunakan juga merupakan faktor latar belakang sikap penutur melakukan campur kode.

b) Kebahasaan

Latar belakang kebahasaan atau kemampuan berbahasa juga menjadi penyebab seseorang melakukan campur kode, baik penutur maupun orang yang menjadi pendengar atau mitra tuturnya. Selain itu, keinginan untuk menjelaskan maksud atau menafsirkan sesuatu juga dapat menjadi salah satu faktor yang ikut melatarbelakangi penutur melakukan campur kode.

(47)

30

a. Membicarakan mengenai topik tertentu. b. Mengutip pembicaraan orang lain. c. Mempertegas sesuatu.

d. Mengisi dan menyambung kalimat. e. Pengulangan untuk mengklarifikasi.

f. Bermaksud mengklarifikasi pembicaraan kepada lawan bicara. g. Menunjukkan identitas suatu kelompok.

h. Memperluas atau mempertegas permintaan atau perintah. i. Membutuhkan leksikal.

j. Keefisienan suatu pembicaraan.

Dari beberapa pendapat diatas, penulis mengacu pada pendapat Soewito karena lebih luas cakupannya.

2.4Novel

Kata “roman” dipakai lebih awal dari pada istilah novel. Istilah novel digunakan

setelah bahasa Inggris menjadi bahasa asing pertama di Indonesia (Soedjarwo, 2004:87). Sejalan dengan pendapat Soedjarwo, Tarigan (1991:64) mengemukakan bahwa secara etimologi kata novel berasal dari bahasa Latin novellus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena jika dibandingkan dengan jenis-jenis karya sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis ini muncul setelahnya.

(48)

31

dipakai selama ini adalah istilah roman dan novel adalah sama-sama genre yang sebenarnya tidak perlu dipertentangkan atau dibedakan.

Novel dipandang sebagai sinonim dari roman (Soedjarwo, 2004:88). Hal ini berbeda dengan pendapat yang dinyatakan Zainuddin (1991:106) yang mengartikan novel sebagai bentuk karangan prosa yang pengungkapannya tidak panjang lebar seperti roman, biasanya melukiskan atau mengungkapkan suatu peristiwa atau kejadian yang luar biasa pada diri seseorang. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Esten yang dengan tegas membedakan antara novel dengan roman. Berikut ini kutipannya.

“Novel berbeda dengan roman. Novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, pemusatan kehidupan yang tegas, sedangkan roman rancangannya lebih luas dan mengandung sejarah perkembangan (dimulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa hingga meninggal dunia)” (Esten, 2000:12).

Secara etimologi, roman berasal dari kata “roman” yaitu cerita-cerita yang pada

mulanya ditulis dalam bahasa romawi (Badudu, 1977:41). Istilah roman mulai dipakai sejak zaman penjajahan Belanda sebagai terjemahan bahasa Indonesia untuk istilah asing novel. Roman adalah bentuk prosa yang dikenal kesusastraan Indonesia. Pada sebuah roman lebih banyak didapati pelaku ceritanya dibandingkan dengan pelaku dalam sebuah novel (Ahyar, 1980:26).

(49)

32

Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra dari jenis fiksi. Sumardjo (1991:29) menyatakan bahwa novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas dan panjang. Arti panjang dan luas terletak pada kajian kehidupan dari permasalahan kehidupan yang diungkapkan. Novel juga merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan secara halus (Semi, 1988:32).

Tarigan (1991:164) mendefinisikan novel sebagai suatu cerita dengan suatu alur yang cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria atau wanita yang bersifat imajinatif. Sementara itu Rampan (1984:17) menyatakan novel adalah penggambaran lingkungan kemasyarakatan serta jiwa tokoh yang hidup disuatu masa pada suatu tempat.

Novel juga merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka panjang) di mana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya (Esten, 2000:7). Selanjutnya Rampan mendefinisikan pengertian lain dari novel sebagai suatu jenis sastra yang kompleks sifatnya dalam unsur-unsur utamanya seperti plot, sudut pandang dan perwatakan.

(50)

33

keadaan yang agak kacau, karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dalam penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang tentu saja bersifat imajinatif.

Novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas (Semi 1984:24). Adapun Jassin (dalam Kurnia dkk, 1996:67) mendefinisikan novel sebagai suatu bentuk cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang, dari kejadian itu lahirlah konflik, suatu pertikaian, sehingga mengalihkan perjalanan nasib mereka.

Novel merupakan karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita dengan orang-orang di sekitarnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (Purwadarminta, 1998:18). Dikatakan Sugihastuti (2002:44) bahwa novel merupakan sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memahaminya, novel tersebut harus dianalisis.

Husnan dkk (1984:119) menyatakan bahwa novel adalah suatu karangan yang isinya mengungkapkan hanya suatu kejadian yang penting/menarik dari kehidupan seseorang secara singkat dan pokok-pokok saja. Juga perwatakan pelaku-pelakunya yang digambarkan secara garis besar.

(51)

34

menampilkan tokoh-tokoh; memiliki unsur-unsur yang kompleks, seperti tokoh dan penokohan/perwatakan, tema, amanat, latar/setting, alur atau plot, sudut pandang (point of view), dan gaya bahasa atau majas; bersifat realistis atau diadaptasi dari kenyataan; serta mengandung nilai-nilai kehidupan.

2.5Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Istilah pembelajaran lebih menggambarkan usaha guru/pendidik untuk membuat para peserta didik melakukan proses belajar. Pembelajaran tidak akan berarti jika tidak menghasilkan kegiatan belajar pada siswanya. Kegiatan belajar hanya akan berhasil jika si pelajar secara aktif mengalami sendiri proses belajar.

Seorang guru tidak dapat mewakili belajar siswanya. Begitu juga seorang siswa belum dapat dikatakan telah belajar hanya karena ia sedang berada dalam suatu ruangan dengan guru yang sedang mengajar. Peran guru adalah mengusahakan agar setiap siswanya dapat berinteraksi secara aktif dengan berbagai media pembelajaran yang ada.

Sadiman (2008:6) mengemukakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.

(52)

35

Penggunaan media pembelajaran, khususnya novel, di sekolah sangat penting. Dalam sebuah novel banyak pelajaran dan nilai-nilai positif yang dapat kita ambil dan kita jadikan bahan renungan (refleksi diri) dalam kehidupan masyarakat. Bila pembaca mempelajari dan menghayati isi novel, pembaca akan merasa ikut dalam cerita tersebut.

(53)

36

III. METODE PENELITIAN

3.1Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan objek sesuai dengan apa adanya (Best dalam Sukardi, 2003:157). Penelitian deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Zuriah, 2006:14). Penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.

(54)

37

dalam deskriptif memunyai manfaat, terutama dalam rangka mengadakan berbagai perbaikan (Ali, 1992:124-133).

3.2Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah dialog dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Data penelitian ini adalah satuan bahasa yang merupakan alih kode dan atau campur kode dalam dialog novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara yang diterbitkan pada bulan Mei 2012. Novel ini ditulis oleh Khrisna Pabichara, diterbitkan oleh Noura Books. Novel ini merupakan biografi seorang Dahlan Iskan dengan jumlah 371 halaman. Dialog-dialog yang dianalisis diambil dari dialog-dialog tokoh-tokoh dalam novel Sepatu Dahlan yang menceritakan tentang kehidupan masa kecil seorang Dahlan Iskan yang dilanda kemiskinan dan hampir setiap hari merasa kelaparan.

3.3Teknik Pengumpulan Data

(55)

38

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik studi dokumentasi, yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan kategorisasi dan klarifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian baik dari sumber dokumen, buku-buku, koran, majalah, dan lain-lain (Nawawi dalam Safitri, 2011:35). Penelitian analisis dokumen atau analisis isi adalah penelitian yang dilakukan secara sistematis terhadap catatan-catatan atau dokumen sebagai sumber data. Karakteristik penelitian dokumen antara lain:

1. Penelitian dilakukan terhadap informasi yang didokumentasikan dalam bentuk gambar, rekaman, dan sebagainya;

2. Subjek penelitiannya adalah sesuatu barang, buku, majalah dan lain-lain; 3. Dokumen sebagai sumber data pokok dalam penelitian yang dilakukan

(Zuriah, 2006:15-16).

Adapun langkah-langkah analisis dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Membaca dan mencatat semua dialog yang ada dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara secara keseluruhan termasuk mencatat konteks tuturan.

2. Menandai wacana dialog yang mengandung alih kode dan campur kode dan mendaftar data.

a. Menandai alih kode dengan tanda AK dan campur kode dengan tanda CK.

(56)

39

1) Menandai alih kode ekstern dengan tanda AK E dan alih kode intern dengan tanda AK I.

2) Menandai bentuk campur kode kata dengan tanda CK Kt, campur kode frase dengan tanda CK Fr, campur kode klausa dengan tanda CK Kl, campur kode baster dengn tanda CK Bs, campur kode perulangan kata dengan CK PK, dan campur kode ungkapan/idiom dengan tanda CK Ungk.

[image:56.595.107.516.401.756.2]

Sebagai gambaran kajian alih kode dan campur kode tersebut, berikut disajikan indikatornya sebagai acuan peneliti dalam pembahasan.

Tabel 1 Tabel Indikator Alih Kode dan Campur Kode

No. Indikator Sub Indikator Deskriptor

1. Alih kode Alih kode intern Berlangsung antarbahasa sendiri (bahasa nusantara), seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya.

Alih kode ekstern Terjadi antara bahasa sendiri (bahasa nusantara) dengan bahasa asing atau sebaliknya.

2. Campur kode Campur kode kata Campur kode dengan menyisipkan unsur-unsur dari bahasa lain yang berupa penyisipan kata (satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem).

(57)

40

rapat dapat renggang).

Campur kode baster Campur kode dengan menyisipkan unsur-unsur dari bahasa lain yang berupa penyisipan baster (gabungan pembentukan asli dan asing). Campur kode klausa Campur kode dengan

menyisipkan unsur-unsur dari bahasa lain yang berupa penyisipan klausa (satuan gramatikal berupa gabungan kata, sekurang-kurangnya gabungan antara subjek dan predikat). Campur kode

perulangan kata

Campur kode dengan

menyisipkan unsur-unsur dari bahasa lain yang berupa penyisipan perulangan kata (proses pembentukan kata dengan mengulang keseluruhan atau sebagian bentuk dasar).

Campur kode ungkapan/idiom

Campur kode dengan

menyisipkan unsur-unsur dari bahasa lain yang berupa penyisipan ungkapan/idiom (kontruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna unsurnya).

3. Faktor penyebab alih kode

Pembicara atau penutur

Faktor peralihan bahasa datang dari penutur. Kemampuan dan latar belakang penutur dalam berbahasa. Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindakannya tersebut.

Pendengar atau lawan tutur

(58)

41

bahasa pertamanya. Jika lawan tutur itu berlatar belakang bahasa yang sama dengan penutur, maka alih kode yang terjadi berupa peralihan varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Alih kode ini juga dapat dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku lawan tutur.

Perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga

Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang memiliki latar belakang bahasa yang berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur Perubahan situasi

dari formal ke informal atau sebaliknya

Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Alih kode yang terjadi bisa dari ragam formal ke informal misalnya dari ragam bahasa Indonesia formal menjadi ragam bahasa santai, atau sebaliknya. Berubahnya topik

pembicaraan

Berubahnya topik pembicaraan antara penutur dan mitra tutur namun masih dalam satu peristiwa tindak tutur.

4. Faktor penyebab campur kode

Latar belakang sikap penutur

Latar belakang penutur ini berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar sosial, tingkat pendidikan, atau rasa kegamaan. Misalnya, penutur yang memiliki latar belakang sosial yang sama dengan mitra tuturnya dapat melakukan campur kode ketika berkomunikasi. Hal ini dapat dilakukan agar suasanan pembicaraan menjadi akrab. kebahasaan Latar belakang kebahasaan atau

(59)

42

tuturnya. Selain itu keinginan untuk menjelaskan maksud atau menafsirkan sesuatu, dan menunjukkan identitas suatu kelompok juga dapat menjadi salah satu faktor yang ikut melatarbelakangi penutur melakukan campur kode.

3. Mengklasifikasikan alih kode dan campur kode.

4. Menentukan penyebab-penyebab alih kode dan campur kode sesuai dengan konteksnya.

a) Menandai sebab-sebab alih kode (a) penutur/pembicara dengan P, (b) pendengar atau lawan tutur dengan LT, (c) perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga dengan PT, (d) perubahan dari situasi formal ke informal atau sebaliknya dengan PS, (e) berubahnya topik pembicaraan dengan TP.

b) Menandai latar belakang campur kode (a) pengaruh sikap penutur dengan SP dan (b) pengaruh kebahasaan dengan K.

5. Peneliti mengartikan penanda alih kode dan campur kode ke dalam bahasa Indonesia.

6. Menambahkan kode bahasa pada kode-kode yang telah digunakan. Tanda In (bahasa Indonesia), Ar (bahasa Arab), Ing (bahasa Inggris) dan Jw (bahasa Jawa)

(60)

82

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan alih kode dan campur kode yang dilakukan para tokoh dalam dialog novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Peristiwa alih kode yang terdapat dalam dialog novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara terjadi dalam bentuk alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah (Bahasa Jawa) atau sebaliknya, dan alih kode ekstern yaitu alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Asing (bahasa Arab) atau sebaliknya. Dari lima faktor penyebab terjadinya peristiwa alih kode, hanya ditemukan dua faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode yaitu faktor penutur dan lawan tutur. Faktor yang paling banyak menyebabkan terjadinya alih kode yakni pengaruh dari penutur dan bahasa yang paling banyak digunakan untuk alih kode adalah bahasa Jawa.

(61)

83

novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara ini adalah faktor latar belakang sikap penutur dan faktor kebahasaan. Campur kode yang paling banyak dilakukan adalah bentuk campur kode dengan penyisipan unsur berupa kata dari bahasa Jawa. Bahasa yang paling sering digunakan untuk campur kode adalah bahasa Jawa, sedangkan bahasa yang paling jarang digunakan adalah bahasa Inggris. Kemudian faktor yang paling banyak memengaruhi terjadinya campur kode adalah faktor latar belakang sikap penutur.

Pada pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, hasil penelitian tentang alih kode dan campur kode ini berkaitan dengan materi pembelajaran dan sumber belajar. Kaitannya dengan materi pembelajaran, alih kode dan campur kode yang terdapat dalam dialog novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara ini dapat dijadikan sebagai contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar juga penggunaan bahasa Indonesia yang kontekstual. Kaitannya dengan sumber belajar dialog novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara ini dapat dijadikan media pembelajaran dalam pelajaran drama baik dalam memahami pementasan drama maupun dalam memerankan tokoh dalam pementasan drama.

5.2 Saran

Adapun saran-saran untuk guru mata pelajaran bahasa Indonesia dan untuk peneliti lain berdasarkan simpulan di atas, sebagai berikut.

5.2.1 Untuk guru

(62)

84

bahasa Indonesia yang baik dan benar ataupun dalam pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia secara kontekstual. Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara ini juga dapat digunakan sebagai alat atau bahan pembelajaran agar pembelajaran menjadi lebih bervariasi dan tidak monoton sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan. Keanekaragaman bahasa yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara ini juga dapat dijadikan pembelajaran terhadap pengenalan keanekaragaman budaya Indonesia kepada siswa. Selain itu, pesan moral yang terdapat dalam novel ini mengajarkan untuk bermimpi yang tinggi, selalu berusaha dan tidak menyerah pada keadaan juga dapat guru sisipkan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

5.2.2 Untuk Peneliti

(63)

85

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad. 1992. Strategi Penelitian Pendidikan. Bandung: Angkasa. Alwasialah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Aslinda dan Leni Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika

Aditama

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdikbud. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. _________ 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Depdikbud. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMA/MA. Jakarta:

Depdikbud.

Esten, Mursal. 1989. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.

Keraf, Gorys. 1984. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Laelasari dan Nurlailah. 2008. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia. Lumintaintang, Yahya B. Mugnisjah. 2006. Tuntuan Lahirnya Produk Alih Kode

(Code Switching) sebagai strategi Verbal Antarpenutur Bilingual di Indonesia dalam Bahan Ajar BIPA. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta.

https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/hakikat-hakiki-kemerdekaan/interferensi-dan-integrasi/. Diunduh 19 Desember 2014, 22.24 WIB.

(64)

86

http://www.tamannya-hati.blogspot.com. Diunduh 19 Desember 2014, 22.10 WIB.

http://www.ulidblog.com. Diunduh 19 Desember 2014, 22.16 WIB. Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Rampan, Korrie Layun. 1984. Suara Pancaran Sastra. Jakarta: Yayasan Arus. Rusminto, N. E. dan Sumarti. 2006. Analisis Wacana Bahasa Indonesia (Buku

Ajar). Universitas Lampung.

Safitri, Nurdewi. 2011. Alih Kode dan Campur Kode dalam Novel Kembang Jepun karya Remi Sylado dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Bandar Lampung.

Soedjarwo. 2004. Sastra Indonesia dalam Keberagaman. Semarang: Aneka Ilmu. Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 1990. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tim penyusun pusat bahasa. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Zulfahnur, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Gambar

Tabel 1 Tabel Indikator Alih Kode dan Campur Kode

Referensi

Dokumen terkait

Pyramid disimpan sebagai suatu file baru berekstensi .rrd (Reduced Resolution Dataset).. Karena sistem koordinat peta yang akan kita registrasi koordinatnya adalah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil penggunaan amlodipine yang diterima pasien stroke iskemik terkait dosis, rute interval pemberian,

Abu ahmadi (2005 h, 52) menjelaskan bahwa metode mengajar adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh seorang guru atau

Penelitian ini menggunakan beberapa metode yaitu, untuk pemeriksaan kebiasaan makanan menggunakan metode gravimetrik, pemeriksaan osmoregulasi dilakukan dengan cara

Suatu perusahaan berada dalam keadaan situasi yang tidak normal bila perusahaan tersebut menghadapi salah satu dari situasi-situasi ini, yaitu: laba bersih selama dua tahun

Prinsip teori konstruktivis berasal dari tori belajar yang dikembangkan oleh Jean Piaget (1983), Jerome Breuner (1961), dan John Dewey (1933), yaitu memusatkan

Departemen pendidikan Lithuania yang telah mengimplementasikan pendidikan antikorupsi di negaranya sejak 2005 mengatakan bahwa tugas utama dari pendidikan anti