• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Dan Aplikasi Akad Murabahah Pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep Dan Aplikasi Akad Murabahah Pada"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Dan Aplikasi Akad Murâbahah Pada Perbankan Syariah Di Indonesia Oleh : Yody Tistanto

Magister Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah

Abstrak

Penulisan ini bersifat deskriptif analisis yaitu penulisan yang bertujuan untuk menjelaskan secara umum tentang Konsep Dan Aplikasi Akad Murâbahah Pada Perbankan Syariah Di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif.

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa dalam hal konsep Murâbahah yang merupakan salah jenis jual beli yang bersifat amanah dalam hukum Islam merupakan skema akad yang paling dominan digunakan dalam praktik perbankan syariah di Indonesia. Namun dalam praktiknya, murabahah telah mengalami banyak modifikasi di bandingkan konsep dasarnya yang ada dalam fikih muamalat klasik. Modifikasi ini ada yang tidak menimbulkan persoalan dari sisi prinsip-prinsip dasar hukum Islam sehingga para ulama tidak merasa keberatan, tetapi tidak sedikit model modifikasi yang menimbulkan perdebatan karena dilakukan semata-mata untuk memenuhi ketentuan formal yuridis demi pertimbangan efektivitas dan efisiensi administrasi perbankan. Tulisan berikut akan mengulas pelbagai model dan latar belakang serta motif perubahan skema murâbahah dalam fikih klasik ketika dipraktikan di perbankan syariah, di samping menjelaskan penggunaan skema murâbahah untuk pelbagai model pembiayaan di perbankan syariah.

Kata kunci : murâbahah, murâbahah li al-âmir bi al-syirâ’

Pendahuluan

(2)

lain. Berdasarkan data dari Bank Indonesia akhir tahun 2010, jumlah pembiayaan perbankan syariah yang menggunakan skema murâbahah mencapai 61,7 persen dari total pembiyaan sebesar 61,7 persen dari total pembiyaan. Ini karena dalam produk murâbahah, prinsip kehati-hatian (prudential) bank relatif bisa diterapkan dengan ketat dan standar sehingga tingkat risiko kerugian sangat kecil. Bahkan bank-bank syariah yang baru umumnya portofolio pembiayaanya yang paling besar menggunakan murâbahah karena lebih aman. Sementara produk bagi hasil belum menjadi produk unggulan karena tingkat risiko dan kerugiannya sangat tinggi. Kecenderungan menjadikan skema murâbahah sebagai skema pembiayaan yang utama terjadi di beberapa negara Muslim seperti Bahrain Islamic Bank, Faysal Islamic Bank, Dubai Islamic Bank, Bank Islam Malaysia, Kuwait Finance House, dan lain-lain, di mana kalau dirata-ratakan, skema murâbahah-nya mencapai persentase 70 persen.1 Berbagai

kritik banyak dilontarkan dari para peneliti terkait dengan dominasi murâbahah dalam produk perbankan syariah, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang kemudian menjuluki bank syariah sebagai ”bank murâbahah”. Di samping itu, praktik murâbahah di perbankan syariah juga telah banyak dilakukan pelbagai modifikasi, bahkan untuk sebagian dinilai menyimpang dari konsep dasar murâbahah dalam fikih muamalat klasik. Tulisan ini akan mengulas pelbagai model dan latar belakang serta motif perubahan skema murâbahah dalam fikih klasik ketika dipraktikan di perbankan syariah, di samping menjelaskan penggunaan skema murâbahah untuk pelbagai model pembiayaan di perbankan syariah.

Konsep Murâbahah dalam Fikih

Murâbahah dalam istilah fikih klasik merupakan suatu bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang (al-tsaman al-awwal) dan tingkat keuntungan yang diinginkan.2 Biaya perolehan barang bisa meliputi harga barang dan biaya-biaya yang

dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut. Sedangkan tingkat keuntungan bisa berbentuk lumpsum atau persentase tertentu dari biaya perolehan. Pembayaran oleh pembeli bisa dilakukan secara tunai (naqdan) atau bisa dilakukan di kemudian hari dalam bentuk angsuran (taqshîth) atau dalam bentuk sekaligus (lumpsum/mu‘ajjal) sesuai kesepakatan para pihak yang melakukan akad (al-‘âqidayn). Murâbahah masuk kategori jual beli muthlaq dan jual beli amânah. Ia disebut jual beli muthlaq karena obyek akadnya adalah barang (‘ayn) dan

1 Irfan Syauqi Beik, “Syariah dan Pengembangan Sektor Riil Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil”, 2007, PesantrenVirtual.com.

(3)

uang (dayn).3 Sedangkan ia termasuk kategori jual beli amânah karena dalam proses

transaksinya penjual diharuskan dengan jujur menyampaikan harga perolehan (tsaman al-awwal) dan keuntungan yang diambil ketika akad.

Para ulama telah sepakat (ijmak) akan kebolehan akad murâbahah, tetapi Alquran tidak pernah secara langsung dan tersurat membicarakan tentang murâbahah, walaupun di dalamnya ada sejumlah acuan tentang jual beli dan perdagangan. Demikian juga tampaknya tidak ada satu Hadis pun yang secara spesifik membicarakan mengenai murâbahah. Oleh karena itu, meskipun Imam Mâlik dan Imam Syâfi’î membolehkan jual beli murâbahah, tetapi keduanya tidak mempekuat pendapatnya dengan satu Hadis pun.4 Sedangkan dasar

hukum yang dijadikan sandaran kebolehan jual beli murâbahah di buku-buku fikih muamalat kotemporer lebih bersifat umum karena menyangkut jual beli atau perdagangan pada umumnya.5 Namun demikian, menurut al-Kasanî, jual beli murâbahah telah diwariskan dari

generasi ke generasi sepanjang masa dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Di samping itu, keberadaan model jual beli murâbahah sangat dibutuhkan masyarakat karena ada sebagian mereka ketika akan membeli barang tidak mengetahui kualitasnya, maka ia membutuhkan pertolongan kepada yang mengetahuinya, kemudian pihak yang dimintai pertolongan tersebut membelikan barang yang dikehendaki dan menjualnya dengan keharusan menyebutkan harga perolehan (harga beli) barang dengan ditambah keuntungan (ribh).6 Sebagai bagian dari jual beli, murâbahah memiliki rukun dan syarat yang tidak

berbeda dengan jual beli (al-bay’) pada umumnya. Namun demikian, ada beberapa ketentuan khusus yang menjadi syarat keabsahan jual beli murâbahah yaitu: Pertama, adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal awal (harga perolehan/pembelian). Semuanya harus diketahui oleh pembeli saat akad dan ini merupakan salah satu syarat sah murâbahah. Kedua, adanya keharusan menjelaskan keuntungan (ribh) yang ambil penjual karena keuntungan merupakan bagian dari harga (tsaman). Sementara keharusan mengetahui harga barang merupakan syarat sah jual beli pada umumnya. Ketiga, jual beli murâbahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki/hak kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya

3 Menurut ahli fikih dari segi obyek pertukarannya (badalayn) apakah berupa barang (‘ayn) atau berupa uang (dayn), jual beli dibagi menjadi empat macam. Pertama, jual beli barter (al-muqâydhah), yaitu jual beli yang obyek pertukarannya barang (‘ayn) dengan barang (‘ayn), seperti jual beli pakaian dengan beras. Kedua, jual beli mutlak, yaitu jual beli yang umumnya dipraktikkan saat ini, di mana obyek pertukarannya antara barang (‘ayn) dengan harga/uang (dayn)

4 Abdullah Saeed, A Study of Riba And Its Contemporary Interpretation, (New York: Koln, 1966), h.110.

(4)

bahwa keuntungan dan risiko barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari kepemilikan yang timbul dari akad yang sah. Keempat, transaksi pertama (antara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah, maka tidak boleh jual beli secara murâbahah (antara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murâbahah), karena murâbahah adalah jual beli dengan harga pertama disertai tambahan keuntungan.

Murabahah dalam Perbankan Syari’ah

Salah satu skim fiqh yang paling populer diterapkan oleh perbankan syari’ah adalah skim jual beli murabahah. Murabahah dalam perbankan syari’ah didefinisikan sebagai jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli barang antara bank dan nasabah dengan cara pembayaran angsuran. Dalam perjanjian murabahah, bank membiayai pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok barang dan kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambahkan suatu mark-up atau margin keuntungan. Dengan kata lain, penjualan barang oleh bank kepada nasabah dilakukan atas dasar cost-plus profit.7

Murabahah sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syari’ah, pada prinsipnya didasarkan pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli serta biaya yang terkait dan kesepakatan atas mark-up. Ciri dasar kontrak pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:8

Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga plus biaya-biayanya; Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang;

Apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh penjual dan penjual harus mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli, hendaknya akad yang dilakukan terhindar dari praktik riba, baik akad yang pertama (antara penjual dalam murâbahah sebagai pembeli dengan penjual barang) maupun pada akad yang kedua antara penjual dan pembeli dalam akad murâbahah. Bank-bank syari’ah umumnya mengadopsi murabahah untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang meskipun mungkin nasabah tidak memiliki uang untuk membayar. Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi investasi perbankan syari’ah, antara lain:9

7 Sutan Remy Sjahdeini. Perbankan Islam, hlm. 64.

8 Abdullah Saeed. Islamic Bankin, hlm. 77

(5)

Murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem Profit and Loss Sharing (PLS), cukup memudahkan;

1. Mark-up dalam murabahah dapat diterapkan sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank-bank-bank Islam;

2. Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS;

3. Murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, kerana bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.

4. Mark-up dalam murabahah dapat diterapkan sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank-bank-bank Islam;

5. Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS;

6. Murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, kerana bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.

Kritik terhadap Praktek Murabahah di Perbankan Syari’ah

Maraknya perbankan syari’ah tak lepas dari kritik dan kecaman, yang justru datang dari para ilmuwan Islam sendiri. Mereka berpendapat bahwa bank-bank syari’ah dalam menyelenggarakan transaksi-transaksi perbankan syari’ah justru telah melaksanakannya bertentangan dengan konsepnya. Dengan kata lain, bertentangan dengan semangat dari prinsip-prinsip syari’ah. Penerapan usaha-usaha bisnis bank syari’ah, terutama produk murabahah telah menimbulkan masalah moralitas. Dari pengamatan dan penelitian beberapa ilmuwan Islam itu, bank-bank syari’ah, dalam penerapan produk-produknya ternyata bukannya meniadakan bunga dan membagi resiko, tetapi tetap mempertahankan praktek pembebanan bunga dengan menggunakan istilah ”label Islam”.

Beberapa kritik terhadap praktek murabahah di perbankan syari’ah juga dikemukakan oleh beberapa ulama, diantaranya adalah:10

1. Murabahah ini bukan jual beli melainkan hilah dengan tujuan mengambil riba. 2. Murabahah merupakan jual beli ‘inah yang diharamkan Islam.

(6)

3. Murabahah merupakan ba’iatani fi bai’ah. 4. Murabahah merupakan bai’ al-ma’dum.

Meskipun banyak kritik yang diarahkan kepada praktek murabahah di perbankan syari’ah, namun hal ini justru mengindikasikan bahwa sebenarnya produk murabahah ini direspon secara luas. Oleh karena itu, dalam perjalanannya para teoritisi dan praktisi perbankan syari’ah masih terus melakukan kajian dan mengkritisi secara serius mekanisme kontrak murabahah yang sesuai dengan semangat dari prinsip-prinsip syari’ah dalam rangka mencapai tujuan pembumian ekonomi syari’ah di Indonesia.

Mengkaji Ulang Aplikasi Produk Murabahah di Perbankan Syari’ah

Barangkali ada yang beranggapan bahwa ada kemiripan antara praktek pembiayaan murabahah di bank syari’ah dengan profit margin-nya dengan pembiayaan kredit di bank konvensional dengan bunga-nya. Untuk itu, kita perlu mengkritisi serta menganalisis pembiayaan berbasis murabahah sebagai berikut:

A. Harga jual (pricing) yang lebih tinggi dalam murabahah.

Bank konvensional dalam meminjamkan uang, misalnya untuk pembelian barang-barang tertentu, bunga yang dikenakan pada pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan jatuh tempo pinjaman. Sedangkan berapa harga barang nasabah itu bukanlah menjadi urusan bank konvensional. Hal utama yang menjadi perhatian bank konvensional adalah memperoleh suku bunga yang sedang berlaku bagi pengeluran-pengeluaran, semisal dalam hal resiko dan jatuh temponya.

Berbeda dengan bank konvensional, dalam mekanisme pembiayaan murabahah di bank syari’ah, nasabah dapat mengetahui total harga barang sebelumnya, dimana hal ini tidak akan diketahui dalam pembiayaan berbasis bunga. Dalam murabahah, faktor-faktor yang tampaknya mempengaruhi besarnya mark-up adalah kebutuhan bank syari’ah untuk memperoleh keuntungan riil, inflasi, suku bunga berjalan, kebijakan moneter, dan marketabilitas barang murabahah serta tingkat laba yang diharapkan dari barang-barang itu. Dengan demikian, mark-up dalam murabahah bisa saja lebih tinggi atau lebih rendah dari suku bunga.11 Namun, nampaknya, menurut penulis, perbedaan antara mark up

murabahah di bank syari’ah dengan suku bunga dalam pinjaman kredit di bank konvensional ini tidak terlalu jauh. Hal inilah yang memicu munculnya persepsi masyarakat yang

(7)

menyamakan praktek murabahah di bank syari’ah dengan pinjaman kredit di bank konvensional. Untuk itu, perlu adanya konsep yang jelas dalam penentuan harga jual (pricing) murabahah. Para Fuqaha berbeda pendapat tentang harga kredit yang lebih tinggi (sebagai lawan dari harga tunai) dalam murabahah. Para Fuqaha generasi awal, seperti Malik dan Syafi’i tidak menyetujui jual beli suatu barang berdasarkan murabahah dengan harga kredit yang lebih tinggi daripada harga kontannya. Namun, para pengikut Madzhab Hanafi, Syafi’i dan beberapa Fuqaha dari madzhab-madzhab lain menganut pandangan bahwa kenaikan harga pada jual beli dengan pembayaran tunda adalah boleh. Baghawi sebagaimana dikemukakan oleh Saeed12, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai

murabahah dengan syarat bahwa si pembeli dan penjual setuju terhadap salah satu harga (dari dua harga, yaitu harga tunai dan harga kredit). Bamyak fuqaha, termasuk Sarakhsi, Marghinani, Ibn Qudamah dan Nawawi secara tegas menyatakan bahwa pengenaan harga yang lebih tinggi pada jual beli kredit adalah praktik yang biasa dalam perdagangan dan berdasarkan hal ini, para fuqaha membolehkan harga yang lebih tinggi.

Ada perbedaan antara uang yang tersedia sekarang dengan uang tersedia di masa datang;

1. Kenaikan harga ini bukan sebagai imbalan waktu tunda pembayaran dan karenanya tidak sama dengan riba;

2. Kenaikan harga dikenakan pada saat penjualan, tidak setelah penjualan terjadi

3. Kenaikan harga disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pasar, seperti permintaan dan penawaran, dan naik turunnya daya beli uang sebagai akibat inflasi dan deflasi;

4. Penjual sedang melakukan suatu aktivitas dagang yang ”produktif” dan diakui; 5. Penjual boleh menetapkan harga berapapun yang dikehendakinya.

Argumen-argumen di atas sering diajukan bank-bank Islam untuk membenarkan kenaikan harga jual beli murabahah dengan pembayaran tunda dan hal ini sudah menjadi praktek baku dalam murabahah. Namun demikian, menurut penulis, penentuan harga jual produk-produk bank syari’ah harus tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dibenarkan menurut syari’ah. Oleh karena itu, bank syari’ah perlu menetapkan metode yang tepat dan efisien agar kemasan produk murabahah dapat memberikan keuntungan secara adil antara pihak bank syari’ah dengan nasabah pembiayaan murabahah.

Resiko dalam pembiayaan murabahah

(8)

Pembiayaan berdasarkan pembagian resiko yang diidentikkan dengan model teoritis perbankan Islam tidak tampak menjadi karakter utama praktek murabahah bank-bank Islam. Namun demikian, para pendukung bank syari’ah mengatakan bahwa dalam murabahah, faktor pembagian resiko tetap ada, yang itu menjadi alasan diambilnya laba, sampai nasabah memenuhi janji awal untuk membeli barang. Berikut ini adalah resiko-resiko yang terkait dalam murabahah sebagai berikut:13

1. Resiko yang terkait dengan barang

Bank syari’ah membeli barang-barang yang diminta oleh nasabah murabahah-nya dan secara teoritis menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang-barang tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah. Dalam kontrak murabahah, bank syari’ah diwajibkan untuk menyerahkan barang kepada nasabah dalam kondisi yang baik. Bahkan, nasabah berhak menolak barang-barang yang rusak, yang kurang jumlahnya atau tidak sesuai dengan spesifikasinya. Bank syari’ah, bagaimanapun juga, dalam prakteknya menghindari resiko-resiko tersebut dengan asuransi dan klausul kontrak, yang telah disusun sedemikian rupa sehingga membantu bank syari’ah untuk menghindari segala resiko yang terkait dengan barang. Dengan demikian, segala resiko yang terkait dengan barang, yang secara teoritis harus ditanggung bank, secara efektif telah terhindarkan.

2. Resiko yang terkait dengan nasabah

Janji nasabah murabahah untuk membeli barang yang dipesan dalam suatu transaksi murabahah, tidaklah mengikat. Oleh sebab itu, nasabah berhak menolak untuk membeli barang ketika bank syari’ah menawari mereka dalam penjualan. Dalam prakteknya, resiko terhadap kemungkinan penolakan nasabah untuk membeli barang dapat dihindari dengan pembayaran di muka (sepertiga dari total harga, misalnya), dengan jaminan, jaminan pihak ketiga, dan dengan klausul kontrak. Dengan demikian, semua resiko yang secara teoritis mungkin ada dalam kaitannya dengan penolakan nasabah untuk membeli barang, sebenarnya telah hilang dalam praktek perbankan syari’ah.

3. Resiko yang terkait dengan pembayaran

Resiko tidak terbayar penuh atau sebagian dari uang muka, seperti yang dijadwalkan dalam kontrak, memang ada dalam pembiayaan murabahah. Bank syari’ah menghindari resiko ini dengan adanya janji tertulis, jaminan, jaminan pihak ketiga dan klausul kontrak yang

(9)

menyatakan bahwa semua hasil dari barang-barang murabahah yang dijual kepada pihak ketiga dengan tunai maupun

kredit harus ditaruh di bank sampai apa yang menjadi hak bank dibayar kembali sepenuhnya. Jika tidak adanya pembayaran itu disebabkan oleh faktor di luar kemampuan nasabah, bank syari’ah secara moral berkewajiban menjadwal ulang utang. Di pihak lain, jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu, tetapi ia tidak melakukannya, maka bank syari’ah telah mengadopsi konsep “denda” untuk dijatuhkan kepada nasabah. Dengan demikian, dalam praktek, bank syari’ah secara efektif telah menghilangkan semua resiko dalam pelaksanaan murabahah.

C. Jaminan

Dalam konteks pemberian pinjaman bank konvensional, jaminan memainkan peran penting untuk memastikan pengembalian pinjaman ketika jatuh tempo. Namun, dalam perbankan syari’ah, pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam murabahah. Jaminan diterapkan sebagai suatu cara untuk memastikan bahwa hak-hak kreditur tidak dihilangkan dan untuk menghindarkan diri dari “memakan harta orang dengan cara batil”. Dalam kontrak murabahah jaminan itu dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak, atau barang-barang murabahah itu sendiri. Meskipun demikian, kontrak-kontrak murabahah bank-bank Islam dan cabang-cabang syari’ah bank konvensional berisi klausul-klausul yang menekankan pentingnya jaminan.14 Jika demikian adanya

perhatian bank Islam terhadap jaminan, maka praktek bank Islam ini tidak jauh berbeda dengan bank konvensional.

D. Penyelesaian hutang murabahah

Pembiayaan berbasis murabahah harus dilunasi pada jangka waktu tertentu tidak jauh berbeda dengan pembiayaan berbasis bunga. Namun ada perbedaan yang paling mendasar dari kedua pembiayaan tersebut dalam hal debitur gagal melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan. Pinjaman dengan bunga, pada umumnya menimbulkan sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak dilunasi pada saat jatuh tempo. Sedangkan, dalam perbankan syari’ah, nasabah harus diberi waktu toleransi untuk melunasi jika ia tidak mampu. Penundaan semacam ini harus diberikan, tanpa menambahkan beban tambahan kepada nasabah atas waktu yang diberikan untuk pembayaran. Namun bagi nasabah yang mampu

(10)

melunasinya tetapi mereka lalai untuk melunasi hutang tepat waktu, maka bank syari’ah menerapkan konsep “denda”.

Semua hal di atas menunjukkan bahwa sampai dalam penyelesaian hutang pun, bank syari’ah telah menggunakan cara-cara untuk menjamin agar hutang dilunasi tepat waktu, dan jika tidak ‘kerugian’ yang diderita bank ditanggung oleh nasabah. Berdasarkan uraian di atas, maka peran bank syari’ah dalam murabahah sebagaimana dikemukakan oleh Saeed sebagai “pembiaya” (a financier) bukan “penjual” barang (a seller). Bank tidak memegang barang, dan tidak pula mengambil resiko atasnya. Kerja bank hampir semuanya terkait dengan penanganan dokumen-dokumen terkait dan kontrak penjualan adalah sekedar formalitas. Di samping itu, penentuan mark-up dalam kontrak murabahah yang secara bebas ditentukan oleh bank syari’ah, akan dapat memicu munculnya persepsi bahwa mark-up itu identik dengan bunga. Untuk itu, perlu kajian secara mendalam tentang konsep pricing dalam murabahah. Dasar Hukum Murabahah

Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati (lihat Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah).

Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal (pemilik modal) dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur (lihat Pasal 20 angka 6 Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun

2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah).

Mengenai utang dalam Murabahah, ketentuan Bagian Keempat Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah mengatur sebagai berikut:15

1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.

(11)

2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.

3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

Jadi, berdasarkan uraian tersebut, dapat kita ketahui bahwa dalam murabahah barang yang dijual harus secara prinsip sudah beralih kepemilikannya ke tangan penjual. Karena itu, nasabah dapat secara bebas menjual barang (objek) perjanjian murabahah, walaupun belum dilunasi pembayarannya.

Mengenai penyelesaian sengketa antara bank syariah, ketentuan Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur bahwa:16

1. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketaselain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 menguraikan sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:

a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan;

c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”

(12)

Jadi, berdasarkan Pasal 55 UU 21/2008, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan di Pengadilan Agama. Pada prinsipnya, penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah (lihat Pasal 55 ayat [3] UU 21/2008).

Namun, di sisi lain, Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 memungkinkan dilakukannya penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah. Karena penyelesaian sengketa melalui peradilan umum dilakukan berdasarkan Hukum Acara Perdata, bukan prinsip-prinsip syariah. Begitu juga penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan yang berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 5/ PBI/ 2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/ 1/ PBI/ 2008.

Kesimpulan

Bahwa dalam perbankan, barangkali memiliki label ’syari’ah’ saja, tidaklah cukup untuk menjadi suatu bank syari’ah. Pertama-tama dan terutama, sebuah institusi perbankan, entah itu dinamai ’syari’ah’ atau tidak, perlu menjadi institusi yang lebih manusiawi, mampu membuat orang memiliki akses kepada dana berdasarkan syarat-syarat yang manusiawi, dan dengan biaya yang pantas. Tawaran konsep pricing dalam kontrak murabahah diharapkan dapat mencerminkan nilai syari’ah dalam perbankan syari’ah. Oleh karena hadirnya bank syari’ah di tengah-tengah kita diharapkan mampu memecahkan segala problem ekonomi umat dengan payung syari’ah, perlu ada perbaikan dalam pelaksanaan murabahah, sehingga dapat mengangkat institusi bank syariah menjadi lebih menarik masyarakat termasuk yang masih ragu-ragu.

Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah akan tergantung pada lembaga yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Hal ini menimbulkan perdebatan, karena di satu sisi disebutkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, namun di sisi lainya dimungkinkan dilaksanakan penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah melalui peradilan umum, lembaga arbitrase, dan mediasi perbankan.

Daftar Pustaka

(13)

Ibn Rusyd, (t.t), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr.

Irfan Syauqi Beik, (2007) “Syariah dan Pengembangan Sektor Riil Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil”

Jusmaliani, dkk., (2005), Kebijakan Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Karim, Adiwarman, (2003), Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: IIIT Indonesia. Liquat Ali Khan Niazi, (1990), Islamic Law of Contrac, Lahore: Research Cell Dyal Singh Trust Library.

Muhamad, (2005), Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMPYKPN.

Robbyanto, (2007), ”Ekonomi Syari’ah Rahmat Bagi Sektor Usaha”, Makalah dalam Seminar Nasional dan Launching Jurnal LEBI 2007, Yogyakarta, 17 Desember 2007.

Saeed, Abdullah, (1996), Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, Leiden: E.J. Brill.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;

2. Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah

3. Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan; 4. Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank

Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan;

5. Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah;

Referensi

Dokumen terkait

Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui informasi kebutuhan produk dan karakteristik media yang akan dikembangkan. Wawamcara dilakukan pada tiga guru di SD Negeri

Dengan penggunaan Sistem Informasi Manajemen Data pada PO.Agsa Berbasis Web, diharapkan bisa mengurai sedikit masalah yang ada di perusahaan, ,pendataan keselurahan alur

Dari hasil penelitian dengan menggunakan metode pengujian Kruskal-Wallis untuk mengetahui hasil-hasil kesamaan pengaruh pemanfaatan bakteri penghasil fitase (Pantoea

Penggunaan model pembelajaran Modified Free Inquiry (MFI) disertai Peer Tutoring lebih efektif dibanding metode Modified Free Inquiry (MFI) terhadap prestasi belajar

Berdasarkan rekomendasi AAPD, target dari perawatan saluran akar gigi sulung adalah gejala klinis harus hilang dalam beberapa minggu dan secara radiografis proses infeksi harus

Dongkrak ulir merupakan suatu alat angkat yang digunakan oleh pengemudi mobil saat terjadi kerusakan, terutama pada saat roda kendaraan bocor atau kempes. dongkrak

Hadi (2003), yang menggunakan analisis VAR untuk mencari ada tidaknya korelasi timbal balik antara pertumbuhan ekonomi dan investasi pemerintah di Indonesia menyatakan

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa penerapan hukum pidana dalam tindak pidana ujaran kebencian di media sosial menggunakan peraturan perundang-undangan yang