• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

28

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Kerjasama Perdagangan di ASEAN

Kerjasama di sektor perdagangan barang diawali dengan ditandatanganinya ASEAN PTA tahun 1977 di Manila yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1978. Pelaksanaan kerjasama di sektor perdagangan dinilai masih memerlukan berbagai upaya peningkatan, terutama untuk mata dagangan yang secara nyata diperdagangkan tetapi belum dapat diberikan tingkat preferensi yang memadai. Selain itu, masih diperlukan pula pendekatan yang lebih efisien, baik dalam prosedur administrasi maupun berbagai upaya untuk mengurangi berbagai hambatan nontarif (Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2007).

Tingkat tarif efektif bersama diberlakukan antara 5-10 persen atas dasar produk per produk, baik produk ekspor maupun impor guna menghilangkan kendala-kendala perdagangan antarnegara ASEAN. Konsep CEPT ini juga diterapkan pada pengaturan kerjasama ASEAN di bidang industri. Disamping itu, disepakati juga untuk mengurangi tarif menjadi 0-5 persen bagi 90 persen produk pada tahun 2000 serta untuk mempercepat pemberlakuan tarif 0 persen dan memindahkan produk-produk yang tidak termasuk dalam pengurangan tarif ke dalam Inclusion List (IL). Negara-negara anggota baru ASEAN (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam/CLMV) akan memaksimalkan jumlah produk dengan tarif 0-5 persen pada tahun 2003 bagi Vietnam, 2005 bagi Laos dan Myanmar, serta 2007 bagi Kamboja. Mereka juga akan memperluas jumlah cakupan produk dengan tarif 0-5 persen pada 2006 bagi Vietnam, 2008 bagi Laos dan Myanmar, serta 2010 bagi Kamboja (Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2007).

(2)

Pelaksanaan AFTA telah mengalami beberapa kali percepatan. Pada tahun 1995 disepakati Agenda of Greater Economic Integration yang antara lain berisi komitmen untuk mempercepat pemberlakuan AFTA dari 15 tahun menjadi 10 tahun, atau yang semula tahun 2008 menjadi 2003. Pada tahun 1999, para Pemimpin ASEAN memutuskan untuk melakukan percepatan dalam pencapaian tarif nol persen dalam kerangka AFTA bagi ASEAN-6 yang dijadwalkan pada tahun 2010. Sementara keempat negara anggota baru (CLMV) dijadwalkan pada tahun 2015 dengan fleksibilitas.

AFTA saat ini telah terbentuk dengan sendirinya, dimana negara-negara anggota ASEAN telah membuat langkah-langkah maju dalam menurunkan tarif intraregional melalui mekanisme CEPT for AFTA. Sampai saat ini tercatat lebih dari 99 persen produk yang masuk dalam daftar IL untuk negara-negara ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) telah diturunkan menjadi sekitar 0-5 persen. Negara-negara CLMV juga tidak ketinggalan jauh dalam pelaksanaan komitmen CEPT dimana hampir 80 persen produk mereka telah masuk dalam IL dan 66 persen dari produk-produk tersebut telah memiliki tarif antara 0-5 persen. Hingga tahun 2006, rata-rata CEPT ASEAN-6 adalah 1.74 persen, CLMV 4.65 persen dan ASEAN secara keseluruhan 2.82 persen (Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu RI, 2007). Tabel 4 memperlihatkan tarif beras dan gula dalam mekanisme CEPT di Thailand, Filipina dan Indonesia.

Tarif adalah sejenis pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor. Ada dua jenis tarif yaitu tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor dan tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan

(3)

30

persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Pada kasus ini tarif menimbulkan dampak berupa kenaikan harga atau biaya pengiriman barang produk impor ke suatu negara (Krugman dan Obstfeld, 2004).

Tabel 4. Tarif Beras dan Gula dalam Mekanisme Common Effective Preferential

Tariff Rates 2007 di Thailand, Filipina dan Indonesia

Kode AHTN

(2007) Deskripsi Thailand Filipina Indonesia

1006.00.00 - Beras 5 SL HSL

1701.11.00 - - Gula Tebu 5 38 HSL

1701.11.00.10 ---ICUMSA minimal 1200 5 38 HSL

1701.11.00.90 ---Lainnya 5 38 HSL

Sumber: ASEAN Secretariat, 2007

Masing-masing negara anggota ASEAN khususnya Thailand, Filipina dan Indonesia menetapkan kebijakan tarif yang berbeda-beda dalam perdagangan beras dan gula. Thailand sudah memasukkan komoditi beras dan gula ke dalam CEPT Rates 2007 dengan besaran tarif 5 persen. Berbeda dengan Filipina yang menetapkan beras sebagai produk dengan status Sensitive List (SL) sedangkan gula sudah ditetapkan tarifnya sebesar 38 persen. Indonesia bahkan memasukkan beras dan gula ke dalam status High Sensitive List (HSL).

Kebijakan nontarif merupakan instrumen kebijakan perdagangan yang sangat sering diterapkan selain kebijakan tarif. Salah satu kebijakan nontarif adalah kuota, yaitu pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor. Kuota bisa berupa pembatasan kuantitas pasokan atau bisa juga pembatasan nilai. Kuota impor merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diimpor, biasanya pembatasan diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan

(4)

domestik untuk mengimpor suatu produk tertentu. Kuota impor dapat digunakan untuk melindungi sektor pertanian atau sektor industri domestik tertentu (Salvatore, 1997).

Komoditi pangan khususnya beras dan gula merupakan komoditas yang masih memiliki nilai strategis dan politis. Karenanya kebijakan yang diterapkan selalu bersifat protektif. Masing-masing negara anggota ASEAN menetapkan kebijakan perdagangan yang berbeda-beda untuk setiap komoditi yang diperdagangkan. Berdasarkan informasi dari ASEAN Secretariat (2007), di bawah ini dituliskan beberapa kebijakan nontarif (Nontariff Measures/NTMs) untuk perdagangan beras dan gula di negara Thailand, Filipina dan Indonesia berdasarkan Harmonized System (HS).

1. Kebijakan Perdagangan Beras dan Gula di Thailand

Pemerintah Thailand membuat peraturan yang ketat untuk impor beras. Dapat dilihat bahwa pemerintah Thailand sangat melindungi petani berasnya dengan membuat kebijakan perdagangan beras per jenis produk berdasarkan HS, mulai dari beras berkulit sampai dengan beras pecah. Kebijakan tarif dan kuota diberlakukan untuk impor beras. Hal ini dilakukan untuk melindungi pendapatan petani lokal. Selain itu juga diberlakukan lisensi impor. Impor beras yang dilakukan di Thailand harus memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya

Phytosanitary Certificate dan melalui karantina tumbuhan. Beras yang diimpor

harus memiliki kualitas dan standar tertentu. Tidak berbeda dengan impor beras, untuk impor gula pemerintah juga menerapkan kebijakan tarif dan kuota. Tabel 5 memperlihatkan kebijakan nontarif yang ditetapkan pemerintah Thailand untuk komoditi beras dan gula.

(5)

32

Tabel 5. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Thailand, Tahun 2007

No. Kode HS (digit) Deskripsi HS

Tipe

NTMs Deskripsi NTMs Sumber

2 4 6

1 10 1006 1006.10 Beras berkulit TRQ Impor beras tunduk pada TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT. Departemen Perdagangan Luar Negeri, Menteri Perdagangan. 2 10 1006 1006.10 Beras berkulit Aturan

Teknis.

Impor harus disertai sertifikat Phytosanitary dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.

Impor beras dari Jepang, Filipina, India, Srilanka dan Cina tidak diizinkan berdasarkan UU Karantina Tumbuhan (Larangan bahan mentah).

Departemen Pertanian, Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan Masyarakat. 3 10 1006 1006.20 Gabah dikuliti TRQ Impor beras tunduk pada

TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT. Departemen Perdagangan Luar Negeri, Menteri Perdagangan. 4 10 1006 1006.20 Gabah dikuliti Aturan

Teknis.

Harus memenuhi kualitas dan standar tertentu.

Menteri Kesehatan Masyarakat. 5 10 1006 1006.20 Gabah dikuliti Aturan

Teknis.

Impor harus disertai sertifikat Phytosanitari dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.

Impor beras dari Jepang, Filipina, India, Srilanka dan Cina tidak diizinkan berdasarkan UU Karantina Tumbuhan (Larangan bahan mentah).

Departemen Pertanian, Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan Masyarakat. 6 10 1006 1006.30 Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disogoh, maupun tidak

TRQ Impor beras tunduk pada TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT. Departemen Perdagangan Luar Negeri, Menteri Perdagangan. 7 10 1006 1006.30 Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disogoh, maupun tidak Aturan Teknis.

Impor harus disertai sertifikat Phytosanitari dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.

Harus memenuhi kualitas dan standar tertentu. Departemen Pertanian, Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan Masyarakat. 8 10 1006 1006.40 Beras pecah TRQ Impor beras tunduk pada

TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, dengan tujuan untuk mengamankan pendapatan petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT. Departemen Perdagangan Luar Negeri, Menteri Perdagangan. 9 10 1006 1006.40 Beras pecah Aturan

Teknis.

Impor harus disertai sertifikat Phytosanitari dan harus diinspeksi di bandara masuk berdasarkan UU Karantina Tumbuhan.

Harus memenuhi kualitas dan standar tertentu. Departemen Pertanian, Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan Masyarakat. 10 17 1701

Gula Lisensi tidak otomatis, TRQ.

Impor gula tunduk pada TRQ (tariff rate quotas) dimana Thailand berkomitmen di bawah WTO, untuk melindungi petani lokal. Lisensi impor diperlukan oleh DFT untuk alokasi quota. Departemen Perdagangan Luar Negeri, Menteri Perdagangan. Sumber: ASEAN Secretariat, 2007

(6)

2. Kebijakan Perdagangan Beras dan Gula di Filipina

Pemerintah melakukan aturan kontrol kuantitas atau jumlah kuota untuk impor gula. Kuota impor gula tebu atau gula bit dan sukrosa murni kimiawi

ditetapkan secara tahunan dan dialokasikan kepada importir yang terdaftar dimana yang pertama datang yang pertama dilayani. Impor gula mengacu kepada

Minimum Access Volume (MAV) dan Tariff Rate Quotas (TRQs). Di bawah

skema CEPT, Filipina tidak membuat perjanjian TRQ. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 6 tentang kebijakan nontarif yang ditetapkan pemerintah Filipina untuk komoditi gula.

Tabel 6. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Filipina, Tahun 2007

No.

Kode HS

(digit) Deskripsi

HS Tipe NTMs Deskripsi NTMs Keterangan

2 4 6

1 17 1701 - Gula tebu atau gula bit dan sukrosa murni kimiawi, dalam bentuk padat Aturan Kontrol Kuantitas/jumlah- Quota.

Quota impor gula tebu atau gula bit ditetapkan secara tahunan dan dialokasikan kepada yang pertama datang yang pertama dilayani langsung untuk importir yang terdaftar.

Di bawah skema CEPT, Filipina tidak membuat perjanjian TRQ.

2 17 1701 - Gula tebu atau gula bit dan sukrosa murni kimiawi, dalam bentuk padat Aturan Kontrol Kuantitas/jumlah- Quota.

Quota impor sukrosa murni kimiawi ditetapkan secara tahunan dan dialokasikan kepada yang pertama datang yang pertama dilayani langsung untuk importir yang terdaftar.

Di bawah skema CEPT, Filipina tidak membuat perjanjian TRQ.

3 17 - Gula Aturan Kontrol

Kuantitas/jumlah- Quota.

Impor gula mengacu kepada

minimum access volume

(MAV) tariff-rate quotas (TRQs). Aministrative Order (A.O.) 9 tahun 1996, diubah oleh A.O. 8 tahun 1997 dan A.O. 1 tahun 1998, ditetapkannya peraturan ini untuk penerapan TRQ dan pengalokasian lisensi impor.

Di bawah skema CEPT, Filipina tidak membuat perjanjian TRQ.

Sumber: ASEAN Secretariat, 2007

3. Kebijakan Perdagangan Beras dan Gula di Indonesia

Impor beras di Indonesia dilaksanakan melalui dua cara, yaitu impor berdasarkan satu saluran yang dimonopoli oleh Badan Urusan Logistik (Bulog)

(7)

34

sebagai lembaga yang mengurus kebutuhan logistik nasional, dan impor yang dilakukan berdasarkan lisensi impor (Nomor Pengenal Importir Khusus/NPIK). Untuk komoditi gula, intervensi pemerintah dilakukan dengan cara kontrol impor melalui registrasi produk oleh Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM). Sejalan dengan impor beras, impor gula juga dilakukan berdasarkan lisensi impor. Tabel 7 memperlihatkan kebijakan nontarif yang ditetapkan pemerintah Indonesia untuk komoditi beras dan gula.

Tabel 7. Kebijakan Perdagangan Nontarif di Indonesia, Tahun 2007

No. Kode HS (digit) Deskripsi HS Tipe NTMs Deskripsi NTMs

2 4 6

1 10 1006 Beras Aturan Monopoli -satu

saluran impor- administrasi perdagangan Negara.

Impor beras dan bahan mentah lainnya hanya bisa dilakukan oleh Bulog, lembaga logistik nasional.

2 10 1006 Beras Lisensi impor otomatis. Aturan

MIT:141/MPP/Kep/3/2002: Lisensi impor (Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK)). 3 17 1701 1701.11 Gula Kontrol impor. Impor gula membutuhkan

registrasi produk yang dikeluarkan oleh BPOM dengan proses lebih dari 3 bulan. 4 17 1701 Gula tebu dan

gula bit

Lisensi impor otomatis. Aturan

MIT:141/MPP/Kep/3/2002: Lisensi impor (Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK)). Sumber: ASEAN Secretariat, 2007

Menurut Krugman dan Obstfeld (2004), praktik pembatasan impor selalu meningkatkan harga barang yang diimpor di pasar dalam negeri. Akibat langsung jika impor dibatasi adalah bahwa pada tingkat harga semula (sebelum ada pembatasan) permintaan untuk barang yang bersangkutan lebih besar daripada penawaran domestik ditambah impor. Keadaan ini menyebabkan harga lebih tinggi sampai terciptanya keseimbangan baru. Perbedaan dampak yang ditimbulkan oleh kuota dari yang ditimbulkan oleh tarif adalah bahwa dengan menerapkan kuota pemerintah tidak memperoleh pendapatan secara langsung.

(8)

Jika pemerintah memberlakukan kuota untuk membatasi impor, maka besarnya pendapatan yang akan diperoleh dilakukan dengan cara memungutnya dari siapa saja yang menerima lisensi impor. Pemegang lisensi dapat mengimpor suatu produk yang dikenai kuota dan menjualnya di dalam negeri dengan harga yang lebih tinggi. Keuntungan yang diperoleh pemegang lisensi itu dikenal sebagai rente kuota.

2.2. Dampak Intervensi Pemerintah terhadap Perdagangan

Salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam perdagangan adalah pengenaan pajak yang berupa tarif impor. Intervensi pemerintah seperti ini merupakan hambatan dalam perdagangan. Menurut Krugman dan Obstfeld (2004), dari sisi tinjauan pengirim barang, tarif persis seperti biaya pengangkutan. Jika Domestik mengenakan pajak sebesar US$ 1 untuk setiap unit barang yang diimpornya, maka pengirim tidak akan bersedia mengangkut atau mengirimkan barang tersebut, kecuali kalau perbedaan atau selisih harga di kedua pasar yang jumlahnya paling sedikit US$ 1.

Sebagai ilustrasi, Gambar 3 memperlihatkan dampak-dampak pengenaan tarif spesifik sebesar US$ t per unit beras, dengan asumsi tidak ada biaya transportasi atau biaya-biaya perdagangan lainnya selain pajak atau tarif dan Domestik merupakan negara besar jadi bisa mempengaruhi perdagangan dunia. Tanpa tarif, harga beras di kedua negara akan sama yaitu Pw

. Setelah ada tarif, pengirim tidak akan bersedia mengangkut beras dari Asing ke Domestik kecuali jika selisih harga di Domestik serta Asing paling tidak sebesar US$ t. Akibatnya

(9)

36

harga beras Domestik akan naik, sedangkan harga beras Asing segera turun sampai perbedaan harga ini mencapai sebesar US$ t.

Sumber: Krugman dan Obstfeld, 2004

Gambar 3. Dampak Pengenaan Tarif pada Perdagangan Domestik dan Asing

Pengenaan tarif mengakibatkan harga di kedua pasar mengalami perubahan. Tarif meningkatkan harga di Domestik ke PT dan menurunkan harga di Asing ke P1T=PT t. Adanya harga yang lebih tinggi maka konsumen Domestik menurunkan permintaannya, sehingga permintaan untuk impor menjadi berkurang. Di Asing, harga yang lebih rendah menyebabkan penawaran turun, dengan demikian perdagangan beras merosot dari sebanyak Qw (dalam keadaan perdagangan bebas), menjadi hanya QT (volume perdagangan dengan tarif).

Jika suatu negara kecil mengenakan tarif, peranan ekonominya yang tidak begitu berarti di pasar dunia untuk semua jenis barang biasanya hanya menciptakan dampak yang kecil sekali dalam perdagangan dunia, sehingga

P QW SX DM P P1T PW Q D* S* c. Pasar Asing b. Pasar Dunia P PT Q D S a. Pasar Domestik Q1T Q 1 2 3 4 P*T P2T Q2T

0

0

0

(10)

pengurangan impor akibat tarif dari negara kecil itu hanya berpengaruh kecil pada harga dunia sehingga bisa diabaikan. Artinya pengenaan tarif olehnya tidak akan menurunkan harga barang-barang luar negeri yang diimpornya. Disini tarif hanya akan meningkatkan harga barang yang diimpor sebesar tingkat tarif yang berlaku.

Liberalisasi perdagangan yang menghapuskan atau mengurangi hambatan perdagangan baik tarif maupun nontarif akan menambah volume barang yang diimpor. Artinya aliran barang dari satu negara ke negara lain yang melakukan perdagangan semakin banyak, maka pasar satu negara akan semakin terintegrasi dengan pasar negara yang lainnya. Pengurangan tarif mengakibatkan harga di Domestik turun dari PT menjadi P*T dan meningkatkan harga di Asing ke P2T. Harga yang lebih rendah menyebabkan para konsumen Domestik meningkatkan permintaannya, sehingga permintaan untuk impor menjadi bertambah. Di Asing, harga yang lebih tinggi menyebabkan penawaran meningkat, dengan demikian perdagangan beras bertambah dari sebanyak Q1T (dalam keadaan perdagangan dengan adanya tarif), menjadi Q2T (volume perdagangan dengan tarif yang dikurangi). Dapat disimpulkan bahwa semakin kecil tarif yang dikenakan maka semakin banyak volume barang yang diperdagangkan.

Menghilangkan kebijakan-kebijakan proteksi artinya mengizinkan terjadinya liberalisasi perdagangan atau perdagangan bebas. Menurut Krugman dan Obstfeld (2004), salah satu keuntungan tambahan dari perdagangan bebas yang sangat penting adalah terpupuknya skala ekonomi (economies of scale). Perdagangan bebas akan menghindarkan terjadinya kerugian efisiensi yang seringkali diakibatkan oleh adanya proteksi. Perdagangan bebas mampu menciptakan

(11)

38

keuntungan tambahan yang tidak dapat diperoleh jika terjadi distorsi produksi dan konsumsi.

Bagi negara-negara kecil yang tidak dapat mempengaruhi harga ekspor dunia, tarif menyebabkan kerugian netto bagi perekonomian. Hal ini terjadi karena adanya distorsi terhadap rangsangan ekonomi bagi produsen maupun konsumen. Pergerakan menuju ke arah perdagangan bebas bisa menghilangkan distorsi-distorsi ini dan meningkatkan kesejahteraan perekonomian yang bersangkutan. Pasar yang diproteksi akan mengurangi daya saing dan potensi meningkatkan laba, serta juga cenderung merangsang berbagai perusahaan untuk memasuki industri yang diproteksi tersebut sehingga semuanya akan terjebak ke dalam pola produksi yang tidak efisien (Krugman dan Obstfeld, 2004).

2.3. Integrasi Ekonomi

Integrasi ekonomi mengacu kepada suatu kebijakan komersial atau kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif menurunkan atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya diantara negara-negara yang saling sepakat untuk membentuk suatu integrasi ekonomi terbatas. Maksudnya, di lingkungan negara-negara yang menjadi anggota, berbagai bentuk hambatan perdagangan, tarif maupun nontarif sengaja diturunkan atau bahkan dihapuskan sama sekali, sedangkan terhadap negara-negara luar yang bukan merupakan anggota, masing-masing negara anggota masih berhak untuk menerapkan kebijakan tersendiri, apakah mereka hendak memberlakukan hambatan perdagangan (tarif atau nontarif) atau tidak (Salvatore, 1997).

(12)

Selanjutnya Salvatore (1997), mengemukakan bahwa tingkatan integrasi ekonomi itu sendiri bervariasi mulai dari pengaturan perdagangan preferensial, yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi pembentukan kawasan atau area perdagangan bebas, kemudian menjadi persekutuan pabean, pasaran bersama dan pada akhirnya akan menjurus pada penyatuan ekonomi secara menyeluruh. Kawasan atau area perdagangan bebas adalah suatu kawasan dimana tarif dan kuota antara negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota.

Proses integrasi ekonomi dilandasi oleh konsep dasar bahwa manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari proses tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya atau resiko yang mungkin dihadapi apabila tidak terlibat dalam proses tersebut. Kebijakan liberalisasi maupun kesepakatan integrasi digunakan sebagai alat untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan dalam rangka meningkatkan kemakmuran. Proses integrasi ekonomi selalu ditandai oleh adanya proses integrasi pasar di antara negara yang berpartisipasi dalam integrasi. Salah satu upaya penting untuk mencapai integrasi pasar adalah melakukan integrasi kebijakan di antara negara-negara tersebut (Winantyo et al. 2008).

2.4. Integrasi Pasar

Integrasi pasar merupakan suatu konsep dimana pelaku pasar dalam kawasan yang berbeda atau negara-negara anggota dalam union digerakkan oleh kondisi penawaran dan permintaan. Kondisi ini ditunjukkan dengan pergerakan lintas batas barang, jasa dan faktor produksi yang meningkat pesat dalam suatu

(13)

40

union. Pasar barang dan jasa yang homogen secara sempurna menyebabkan

intensitas integrasi pasar dalam suatu kawasan diukur melalui tingkat konvergensi harga dalam suatu union (Pelkman, 2001 dalamWinantyo et al. 2008).

Secara konseptual integrasi pasar dapat dibedakan atas dua jenis yaitu integrasi pasar spasial dan integrasi pasar vertikal. Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya, sedangkan integrasi vertikal adalah keterkaitan hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran (Simbolon, 2005). Penelitian ini akan membahas tentang analisis integrasi spasial karena pasar beras dan gula antar tiga negara anggota ASEAN terpisah secara geografis.

Integrasi pasar spasial digambarkan sebagai hubungan harga antarpasar yang terpisah secara geografis, konsep ini diterangkan dengan menggunakan model keseimbangan spasial. Model ini dikembangkan dengan menggunakan kurva kelebihan penawaran (excess supply) dan kelebihan permintaan (excess demand) pada dua wilayah yang melakukan perdagangan. Harga yang terbentuk pada masing-masing pasar dan jumlah komoditi yang diperdagangkan dapat diduga melalui model keseimbangan spasial ini (Tomek dan Robinson, 1990).

Analisis dilakukan dengan cara, pasar dibagi dalam dua kategori antara lain pasar yang memiliki potensi surplus dan pasar yang berpotensi defisit. Prinsip yang digunakan untuk mengembangkan model perdagangan antardaerah digambarkan dengan bantuan diagram yang menunjukkan fungsi penawaran (supply) dan permintaan (demand) dari masing-masing pasar dengan asumsi tidak ada biaya transportasi atau biaya-biaya perdagangan lainnya (Gambar 4).

(14)

41

Sumber: Tomek dan Robinson, 1990

Gambar 4. Kurva Supply dan Demand pada Pasar Potensial Surplus dan Pasar Potensial Defisit

Berdasarkan Gambar 4 tersebut dapat dilihat bahwa pasar A merupakan pasar yang berpotensi surplus dan pasar B yang berpotensi defisit. Jika tidak ada perdagangan maka harga yang terbentuk adalah P1 di pasar A dan P2 di pasar B

dimana P1<P2. Kelebihan cadangan konsumsi di pasar A akan mendorong pelaku

pasar di pasar tersebut untuk menjual kelebihan cadangannya ke pasar lain, sedangkan pelaku pasar di pasar B akan mendatangkan komoditi dari pasar lain untuk memenuhi permintaan di pasar B.

Model keseimbangan spasial dapat ditunjukkan dari Gambar 4 dengan mengembangkan kurva excess supply dan excess demand untuk menjelaskan hubungan harga akibat perdagangan yang terjadi antara dua pasar. Kelebihan penawaran adalah selisih antara jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga pada waktu tertentu, yang akan meningkat

P1 P1 D S a. Pasar A b. Pasar B D1 ED P2 ES S Q Q P P 0 0

(15)

42

dengan semakin tingginya harga dan akan bernilai nol pada saat terjadi keseimbangan pasar A (P1). Kelebihan permintaan adalah selisih antara jumlah

yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, akan meningkat dengan semakin rendahnya harga dan akan bernilai nol pada saat terjadi keseimbangan pasar B (P2).

Sumber: Tomek dan Robinson, 1990

Gambar 5. Kurva Excess Supply dan Excess Demand dalam Model Perdagangan

Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah searah dengan perubahan kekuatan penawaran dan permintaan pada masing-masing pasar. Berdasarkan Gambar 5, jika tidak ada biaya transfer antarpasar (A dan B) maka total unit komoditi yang akan ditransfer dari pasar A ke pasar B sebesar 0QE1

dengan tingkat harga yang sama antara keduanya yaitu sebesar 0PE. Volume perdagangan antar kedua pasar akan semakin menurun dengan adanya biaya transfer. Jika biaya transfer lebih besar dari PB1-PA1 maka tidak akan ada

perdagangan antar keduanya. Pada kasus ini, demand dan supply akan sama antar

PE PA1 E Excess Supply

di pasar A (ESA) Excess Demand

di pasar B (EDB) TC 0 x y PB1-PA1 Komoditi (Q) Harga (P) Transfer Cost(TC) PEA2 PEB2 PB1 QE2 QE1

(16)

kedua daerah sedangkan perbedaan harga akan semakin kecil dibandingkan biaya transfer.

Efek perubahan biaya transfer yang terjadi antara dua pasar (A dan B) dapat diilustrasikan dengan membangun garis volume perdagangan (xy). Pada garis ini dapat dilihat tidak akan ada perdagangan apabila biaya transfer yang terjadi sebesar PB1-PA1, namun perdagangan akan maksimum (0QE1) jika biaya transfer

sebesar nol. Apabila biaya transfer yang terjadi antardaerah sebesar 0TC maka jumlah komoditi yang diperdagangkan sebesar 0QE2. Harga komoditi yang terjadi

di pasar A akan naik menjadi 0PEB2 dan di pasar B akan turun menjadi 0PEA2.

Keterangan tersebut menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu pasar akibat perubahan kekuatan pasar, akan menyebabkan perubahan harga di pasar lain yang melakukan perdagangan dengan pasar tersebut. Hal ini menunjukkan adanya integrasi pasar antar kedua daerah yang melakukan perdagangan.

Hambatan perdagangan baik hambatan tarif maupun nontarif akan meningkatkan biaya transfer sehingga perdagangan akan terus berlangsung sampai biaya transfer sama dengan selisih harga atau bahkan melebihi. Jika hal ini terjadi maka pelaku pasar tidak akan memperoleh keuntungan melakukan perdagangan antarpasar. Akibatnya transfer kelebihan permintaan maupun kelebihan penawaran tidak terjadi dan harga akan bergerak secara individu pada masing-masing pasar.

2.5. Metode Analisis Integrasi Pasar

Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis integrasi pasar yaitu pendekatan dengan metode korelasi antara harga yang bergerak secara

(17)

44

bersamaan pada pasar yang diuji, metode regresi sederhana, metode kointegrasi dan metode Vector Autoregression (VAR). Keempat metode tersebut digunakan untuk menganalisis keterpaduan pasar dengan menggunakan harga komoditi dalam bentuk time series sebagai input yang dinalisis.

Natawijaya (2001) dalamSimbolon (2005), menjelaskan bahwa penggunaan metode korelasi dapat digunakan apabila arus perdagangan komoditi antarpasar tidak terlalu jelas arah atau arah transmisi harga bukan fokus utama penelitian. Kelemahan metode ini diatasi dengan menggunakan data harga riil berdasarkan indeks harga konsumen pada setiap pasar sehingga pengaruh perubahan harga akibat inflasi dapat dikoreksi. Metode ini hanya dapat menjelaskan keterkaitan harga antarpasar namun tidak dapat menentukan besarnya pengaruh dan saling mempengaruhi antar pasar-pasar yang diuji. Kelemahan yang lain dari model ini adalah memberikan kesimpulan yang keliru, karena pergerakan harga dapat terjadi sebagai akibat pasar memiliki kesamaan faktor yang mempengaruhi harga. Sehingga harga di kedua pasar menunjukkan korelasi yang tinggi walaupun tidak terintegrasi.

Metode regresi sederhana bisa menjelaskan bahwa harga di suatu pasar merupakan fungsi dari harga pada pasar lainnya. Kelebihan metode ini adalah dapat menunjukkan nilai keeratan hubungan antara pasar yang terintegrasi. Tetapi terdapat kelemahan pada metode ini yaitu tidak dapat memisahkan harga sebagai variabel dependen maupun variabel independen karena model regresi sederhana memiliki sifat inverse.

Analisis integrasi pasar dapat juga menggunakan uji kointegrasi yang bisa membuktikan adanya keterkaitan harga pada jangka pendek dan jangka panjang

(18)

antarpasar dalam suatu kawasan. Kelemahan metode ini yaitu tidak adanya prosedur yang sistematis untuk mengestimasi vektor kointegrasi berganda secara terpisah, selain itu tahapan estimasi dalam metode ini melalui dua tahap dimana apabila terjadi pendugaan yang salah pada tahap pertama akan berlanjut ke tahap kedua.

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode VAR. Menurut Thomas (1997), kelebihan dari metode ini dapat digunakan untuk data dari berbagai periode, hasil yang diperoleh tidak spurious (palsu), dapat menentukan besar integrasi, arah transformasi harga, pasar yang menjadi pemimpin atau pengikut harga maupun pasar yang terisolasi. VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Asumsi yang harus dipenuhi dalam metode VAR yaitu semua peubah tak bebas harus bersifat stasioner (mean, variance dan covariance bersifat konstan) dan semua sisaan bersifat white noise yakni memiliki rataan nol, ragam konstan dan saling bebas. VAR dengan ordo p dan n buah peubah tak bebas pada periode waktu ke-t dapat dimodelkan sebagai berikut:

Yt = ao + a1 Yt-1 + a2 Yt-2 + + ap Yt-p + t ... (2.1)

dimana:

Yt = vektor peubah tak bebas (Y1.t, Y2.t,..., Yn.t) yang berukuran

n x 1

ao = vektor intersep berukuran n x 1

ai = matrik parameter berukuran n x m untuk setiap i = 1, 2,..., p t = vektor sisaan ( 1.t, 2.t,..., n.t) berukuran n x 1

n = jumlah baris pada matrik n x m m = jumlah kolom pada matrik n x m

(19)

46

Hadi (2003), menjelaskan bahwa pada dasarnya analisis VAR meliputi: 1. Uji Akar Unit (Unit Root Test)

Uji akar unit ini digunakan untuk melihat apakah data yang diamati stasioner atau tidak. Tes ini sebenarnya hanya merupakan pelengkap dari analisis VAR, mengingat tujuan dari analisis VAR adalah untuk menilai hubungan timbal balik diantara variabel-variabel yang diamati, dan bukan tes untuk data. Akan tetapi apabila data yang diamati adalah stasioner hal ini akan meningkatkan akurasi dari analisis VAR.

2. Uji Hipotesis (Hypothesis Testing), yang terdiri dari: a. Likelihood Ratio Test

Likelihood Ratio Test digunakan untuk menguji hipotesis mengenai

berapakah jumlah lag yang sesuai untuk model yang diamati. b. Granger Causality Test

Tes ini menguji apakah suatu variabel bebas meningkatkan kinerja

forecasting dari variabel tidak bebas.

3. Innovation Accounting

Pada dasarnya tes ini digunakan untuk menguji struktur dinamis dari sistem variabel dalam model yang diamati, yang dicerminkan oleh variabel inovasi (innovation variable). Artinya tes ini merupakan tes terhadap variabel inovasi. Tes ini terdiri dari:

a. The Impulse Responses

Untuk melihat efek gejolak (shock) suatu standar deviasi dari variabel inovasi terhadap nilai sekarang (current time values) dan nilai yang akan

(20)

datang (future values) dari variabel-variabel endogen yang terdapat dalam model yang diamati.

b. The Cholesky Decomposition

The Cholesky Decomposition atau biasa disebut juga dengan The Variance Decomposition memberikan informasi mengenai variabel inovasi yang

relatif lebih penting dalam VAR. Pada dasarnya tes ini merupakan metode lain untuk menggambarkan sistem dinamis yang terdapat dalam VAR. Tes ini digunakan untuk menyusun perkiraan error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah

shock, baik yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain.

2.6. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Bagian ini akan membahas hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai integrasi pasar, baik komoditi pangan maupun komoditi lainnya. Pembahasan juga menyangkut tentang penelitian-penelitian yang menggunakan metode VAR dan

Index of Market Connection (IMC). Sampai saat ini penelitian-penelitian tentang

integrasi pasar telah banyak dilakukan, tetapi yang membahas khusus tentang komoditi pangan (beras dan gula) di kawasan ASEAN masih terbatas.

Menurut Irawan dan Rosmayanti (2007), salah satu cara untuk memahami struktur, tingkah laku dan efektivitas pasar adalah dengan memahami kekuatan relatif suatu pasar serta mekanisme perambatan harga dari satu pasar ke pasar lainnya melalui kajian integrasi pasar, hal ini akan membantu pemerintah untuk menentukan kebijakan harga yang tepat. Sejalan dengan hal tersebut, Adiyoga et

(21)

48

pusat konsumsi mengemukakan bahwa pengukuran integrasi pasar kentang dapat memberikan informasi penting menyangkut cara kerja pasar yang dapat berguna untuk memperbaiki kebijakan liberalisasi pasar, memantau pergerakan harga, melakukan peramalan harga dan memperbaiki kebijakan investasi infrastruktur pemasaran kentang.

Menurut Adiyoga et al. (2006), beberapa alternatif pengujian tersedia untuk mengkaji kointegrasi, namun telah terbukti bahwa pendekatan VAR yang dikembangkan oleh Johansen (1988) menunjukkan keragaan yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan persamaan tunggal serta metode multivariat lainnya. Pendekatan VAR semakin sering digunakan dalam studi deliniasi pasar. Hal ini sejalan dengan pendapat Hadi (2003), yang menjelaskan bahwa VAR merupakan alat analisis atau metode statistik yang bisa digunakan baik untuk memproyeksikan sistem variabel-variabel runtut waktu maupun untuk menganalisis dampak dinamis dari faktor gangguan yang terdapat dalam sistem variabel tersebut. Selain itu, VAR juga merupakan alat analisis yang sangat berguna, baik dalam memahami adanya hubungan timbal balik (interrelationship) antara variabel-variabel ekonomi, maupun di dalam pembentukan model ekonomi berstruktur.

Selanjutnya Hadi (2003), mengemukakan bahwa pada dasarnya analisis VAR bisa dipadankan dengan suatu model persamaan simultan, oleh karena dalam analisis VAR kita mempertimbangkan beberapa variabel endogen secara bersama-sama dalam suatu model. Perbedaannya dengan model persamaan simultan biasa adalah bahwa dalam analisis VAR masing-masing variabel selain diterangkan oleh nilainya di masa lampau, juga dipengaruhi oleh nilai masa lalu

(22)

dari semua variabel endogen lainnya dalam model yang diamati. Di samping itu, dalam analisis VAR biasanya tidak ada variabel eksogen dalam model tersebut.

Adiyoga et al. (2006), mengatakan bahwa semakin banyak studi integrasi pasar yang menggunakan pendekatan dua tahap Engle-Granger (EG). Beberapa penelitian yang menggunakan pendekatan ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Irawan dan Rosmayanti (2007), Anwar (2005), dan Hadi (2003). Tahap pertama ditempuh dengan melakukan pengujian apakah data harga yang dikaji bersifat nonstationary I(1) berdasarkan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF), atau berdasarkan uji unit root lainnya. Tahap kedua dilakukan dengan mengestimasi suatu model statis sederhana dari serial harga I(1) terhadap serial harga I(1) lainnya, serta menguji apakah residualnya bersifat stationary I(0). Selanjutnya ditarik kesimpulan bahwa harga-harga menyebar menuju suatu ekuilibrium jangka panjang dan bahwa pasar terintegrasi jika hipotesis nol dari simpangan nonstasioner ditolak.

Hadi (2003), yang menggunakan analisis VAR untuk mencari ada tidaknya korelasi timbal balik antara pertumbuhan ekonomi dan investasi pemerintah di Indonesia menyatakan bahwa keunggulan dari analisis VAR antara lain adalah: (1) metode ini sederhana, kita tidak perlu khawatir untuk membedakan mana variabel endogen, mana variabel eksogen, (2) estimasinya sederhana, dimana metode OLS biasa dapat diaplikasikan pada tiap-tiap persamaan secara terpisah, dan (3) hasil perkiraan yang diperoleh dengan menggunakan metode ini dalam banyak kasus lebih bagus dibandingkan dengan hasil yang didapat dengan menggunakan model persamaan simultan yang kompleks sekalipun.

(23)

50

Hasil penelitian Adiyoga et al. (2006), menemukan bahwa penggunaan analisis kointegrasi terhadap data serial harga harian, mingguan dan bulanan secara konsisten mengindikasikan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara dan Singapura terintegrasi. Kointegrasi dalam hal ini merupakan implikasi statistik dari adanya hubungan jangka panjang antara peubah-peubah ekonomi (harga). Hubungan jangka panjang tersebut mengandung arti bahwa peubah harga bergerak bersamaan sejalan dengan waktu. Pasar kentang yang terintegrasi seperti ini akan banyak membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, konsumen di pasar tertentu tidak perlu membayar lebih mahal dan produsen dapat melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatifnya. Hal ini pada gilirannya akan mengarah pada penggunaan sumber daya yang lebih efisien.

Irawan dan Rosmayanti (2007), mengemukakan hasil penelitiannya bahwa dari hasil uji kointegrasi dapat disimpulkan pasar beras di wilayah Provinsi Bengkulu belum terintegrasi secara penuh. Jadi pasar beras di Provinsi Bengkulu ada yang independen dan ada yang saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Kondisi ini menunjukkan masih terdapat pengaruh-pengaruh eksogenus yang dapat mempengaruhi harga beras. Jika pasar beras tidak terintegrasi secara penuh berarti pasar dalam struktur bersaing tidak sempurna. Hasil penelitian Bustaman (2003), menyatakan secara umum dapat dikatakan bahwa pasar beras tingkat provinsi di Indonesia saling terintegrasi dengan provinsi-provinsi lainnya, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa semua provinsi di Indonesia terhubung ke dalam satu sistem perdagangan yang

(24)

terpadu, sehingga kondisi keseimbangan di suatu pasar akan saling mempengaruhi keseimbangan di pasar lainnya. Integrasi yang baik dapat dijadikan indikator bahwa kinerja pemasaran komoditi beras domestik secara keseluruhan bekerja secara efisien.

Provinsi yang memiliki hubungan self sufficient-defisit dan surplus-defisit memiliki derajat integrasi paling tinggi, sedangkan provinsi yang memiliki hubungan self sufficient-self sufficient memiliki derajat integrasi paling rendah. Kondisi ini mencerminkan bahwa integrasi pasar yang terjadi merupakan integrasi pasar alamiah. Hal ini dikarenakan pasar yang defisit akan mendatangkan beras dari pasar sekitarnya, terutama dari daerah surplus untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Provinsi yang relatif self sufficient akan mendatangkan beras dari daerah surplus, sehingga peluang perdagangan dengan provinsi sesama self

sufficient menjadi rendah.

Integrasi pasar juga bisa dianalisis dengan model IMC melalui pendekatan

Autoregressive Distributed Lag. Beberapa penelitian yang menggunakan model

ini adalah seperti yang dilakukan oleh Laping (1999) untuk produk pertanian utama di China (gandum, jagung dan daging babi); Djulin dan Malian (2002) untuk komoditi lada hitam dan lada putih; Purwoto et al. (2002) untuk komoditi pangan (beras, jagung dan kedelai); Sitorus (2004) untuk komoditi tuna; dan Zain (2007) untuk komoditi beras. Analisis integrasi pasar dilakukan dengan menggunakan persamaan yang diturunkan dan dimodifikasi dari model Ravallion (1986). Nilai Parameter hasil estimasi model dapat digunakan untuk menghitung IMC, dimana kedua tingkat pasar terpadu secara sempurna jika nilai IMC=0 dan masih cukup kuat jika IMC<1. Jika IMC>1, hal ini berarti integrasi lemah dan jika

(25)

52

IMC= berarti dua tingkatan pasar tersebut sama sekali tidak berhubungan satu sama lain.

Penelitian mengenai integrasi pasar di ASEAN pernah dilakukan oleh Maknun (2008) yang menganalisis tentang integrasi pasar uang negara ASEAN dan Hongkong. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa meskipun dalam jangka pendek integrasi pasar uang tidak terjadi akan tetapi dalam jangka panjang menunjukkan adanya integrasi pasar uang (uji stasioneritas data dan uji kointegrasi Johansen). Selain itu dari penelitian ini dijelaskan hubungan jangka panjang (kointegrasi) yang terjadi ditunjukkan oleh persamaan ketiga negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura. Penulis menyatakan bahwa dengan adanya integrasi pasar uang berarti negara negara yang terintegrasi sudah tidak independen lagi dalam menetapkan kebijakan ekonominya. Selain itu hasil penelitian Oktariza (2000), tentang analisis ekonomi perkembangan pasar ekspor-impor udang antar empat negara ASEAN mengemukakan bahwa pasar udang ASEAN merupakan pasar yang saling terkait karena negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, Malaysia, Thailand dan Singapura, merupakan penghasil dan pemasar udang yang saling tergantung satu sama lain. Indonesia dan Thailand merupakan pemasok utama udang untuk pasar ASEAN, sedangkan Singapura merupakan pasar entreport udang ASEAN.

Penelitian tentang kointegrasi prilaku perdagangan di beberapa negara ASEAN dilakukan oleh Bakar (2004) yang menggunakan pendekatan Dinamic

Ordinary Least Squares (OLS) dan Johansen Maximum Likelihood. Hasilnya

(26)

signifikan pada permintaan ekspor, hal ini berarti gangguan pada kegiatan ekonomi luar negeri suatu negara akan ditransmisikan kepada negara-negara lain.

Sama dengan beberapa penelitian terdahulu yang menganalisis tentang integrasi pasar, penelitian ini juga menggunakan pendekatan metode VAR. Tetapi kebanyakan penelitian-penelitian tersebut tidak melakukan analisis lebih lanjut setelah pembentukan sistem VECM. Padahal secara individual koefisien di dalam model VAR sulit dinterpretasikan (Widarjono, 2007). Pada penelitian ini untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih baik mengenai integrasi pasar beras dan gula di tiga negara ASEAN, maka dilakukan analisis lebih lanjut setelah pembentukan sistem VECM yaitu analisis Impulse Response dan Variance

Gambar

Tabel 4.  Tarif Beras dan Gula dalam Mekanisme Common Effective Preferential  Tariff Rates 2007 di Thailand, Filipina dan Indonesia
Tabel 5.  Kebijakan Perdagangan Nontarif di Thailand, Tahun 2007  No.  Kode HS (digit)  Deskripsi
Tabel 6.  Kebijakan Perdagangan Nontarif di Filipina, Tahun 2007
Tabel 7.  Kebijakan Perdagangan Nontarif di Indonesia, Tahun 2007   No.  Kode HS (digit)
+3

Referensi

Dokumen terkait

1) membangun hubungan konseling dengan melibatkan klien yang mengalami masalah. Pada tahap ini konselor berusaha untuk membangun hubungan dengan cara melibatkan klien

Kegiatan pelatihan pembuatan dan penggunaan pestisida nabati pada Kelompok Tani Suka Makmur pekon Hanakau kecamatan Sukau Kabupaten Lampung Barat bertujuan untuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi guru pendidikan jasmani terhadap Elemen Perubahan Kurikulum 2013 dalam pembelajaran pendidikan jasmani di SMA Negeri se-Kabupaten

Setiap anggota jemaat yang setia mengikuti Retreat Encounter ini, pasti akan semakin diberkati dan diberi kekuatan yang luar biasa dari Tuhan untuk dapat semakin maju dalam

(2) Calon petugas dan calon teknisi perawatan kendaraan PKP-PK dan calon petugas salvage atau petugas dan teknisi perawatan kendaraan PKP-PK dan petugas salvage yang telah mengikuti

Oleh karena itu hasil dari evaluasi menunjukkan bahwa pemodelan kebutuhan dengan menggunakaan KAOS dapat digunakan dalam memodelkan kebutuhan untuk aplikasi E-commerce yang sesuai

batu gunung di desa Merangin. Pengguna jalan raya di Desa Merangin Kecamatan Kuok, terutama di Km 78 hingga Km 83, termasuk ramai karena jalan lintas antar provinsi,

ilm u filantropi, diperlukan suatu kajian yang m endalam i lebih jauh ten tang faktor peran budaya dalam arti kata yang am at luas.. serta sebagai derivatif/turunan dari faktor