SKRIPSI
Oleh
Renta R Hutasoit 111101115
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh
Renta R Hutasoit 111101115
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
skripsi dengan judul “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan” dengan baik. Skripsi
ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar sarjana keperawatan dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Didalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, keterangan dan data-data baik secara tulis maupun secara lisan, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. dr. Dedi Ardinata, M. Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU,
Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I, Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II, Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku pembantu Dekan III.
2. Dewi Elizadiani Suza Skp, MNS, Ph.D selaku dosen pembimbing yang selalu menyediakan waktu untuk membimbing peneliti, selalu memberikan arahan dan masukan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Nur Asiah, S.Kep, Ns., M.Biomed sebagai dosen pembimbing Akademik
(PA) yang telah memberikan nasehat dan semangat selama menjalani kuliah di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
4. Rika Endah Nurhidayah S.Kp, M.Pd dan Reni Ariga Asmara S.Kp, MARS sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Achmad Fathi S.Kep. Ns., MNS; Diah Arruum, S.Kep. NS., M.Kep; dan Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes sebagai validator yang memvalidasi instrumen kemandirianpersonal hygienedalam penelitian ini.
mendukung dan mendoakan serta memberikan dukungan moril dan materil sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.
9. Kelompok Tumbuh Bersama OASIS (Kak Junita, Tetty, Puspa, Ira, Basaria, dan Rinata) dan teman seperjuangan Mei, Bertua, Erna, Leli, Wanda, Safrida, dan Chindy yang telah memberikan semangat, dukungan serta dapat berdiskusi bersama-sama. Tetap semangat meraih mimpi, jadilah perawat yang profesional dan berintegritas dimanapun kita nanti.
10. Seluruh teman-teman stambuk 2011, kakak kelas dan adek kelas di Fakultas Keperawatan USU yang selalu memberikan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi yang disusun ini masih jauh dari kesempurnaan baik isi maupun penyusunannya, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan profesi keperawatan selanjutnya.
Medan, Juli 2015
Lembar Pengesahan ... iii
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.3.1 Tujuan Penelitian Umum... 8
1.3.2 Tujuan Penelitian Khusus... 8
1.4 Manfaat Penelitian... 9
1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 9
1.4.2 Bagi Pelayanan Keperawatan... 9
1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan...9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...10
2.1 Pola Asuh ... 10
2.1.1 Pengertian Pola Asuh ... 10
2.1.2 Jenis-jenis Pola Asuh Orangtua... 10
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua ... 15
2.1.4 Aspek-aspek Pola Asuh Orangtua... 17
2.2 Usia Prasekolah ... 18
2.2.1 Pengertian Usia Prasekolah ... 18
2.2.2 Perkembangan Anak Prasekolah ... 19
2.3 Konsep Urutan Kelahiran Anak ... 22
2.4 Kemandirian Anak ... 24
2.4.1 Konsep Kemandirian... 24
2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemandirian ... 25
2.4.3 Bentuk Kemandirian Berdasarkan Usia ... 27
2.5 Personal Hygiene ...28
2.5.1 PengertianPersonal Hygiene... 28
2.5.2 Macam-macam TindakanPersonal Hygiene... 28
2.5.3 Faktor-faktor yang MempengaruhiPersonal Hygiene... 35
2.5.4 Dampak yang Sering Timbul pada MasalahPersonal Hygiene...38
2.6 Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat KemandirianPersonal Hygienepada Anak Usia Prasekolah ... 39
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN... 41
4.2.1 Populasi Penelitian ... 44
4.2.2 Sampel Penelitian... 44
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian... 45
4.4 Etik Penelitian ... 46
4.5 Instrumen Penelitian... 46
4.5.1 Karakteristik Responden ... 46
4.5.2 Pola Asuh Orangtua ... 46
4.5.3 KemandirianPersonal Hygiene... 48
4.6 Uji Instrumen... 49
4.6.1 Validitas ... 49
4.6.2 Reliabilitas... 50
4.7 Pengumpulan Data ... 50
4.8 Analisa Data ... 51
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54
5.1 Hasil Penelitian ... 54
5.1.1 Gambaran Karakteristik Responden... 54
5.1.2 Gambaran Pola Asuh Orangtua ... 56
5.1.3 Gambaran Tingkat KemandirianPersonal HygieneAnak Usia Prasekolah... 57
5.3.1 Gambaran Pola Asuh Orangtua ... 60
5.3.2 Gambaran Tingkat KemandirianPersonal HyigeneAnak Usia Prasekolah... 67
5.3.3 Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene ...71
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 79
6.1 Kesimpulan... 79
6.2 Saran... 80
6.3 Keterbatasan Penelitian ... 80
Lampiran 4. Ethical clearence
Lampiran 4. Lembar bukti uji validitas instrumen kemandirianpersonal hygiene Lampiran 5. Hasil uji reliabilitas
Lampiran 6. Master data
Lampiran 7. Hasil uji normalitas data Lampiran 8. Hasil komputerisasi SPSS Lampiran 9. Surat izin uji reliabilitas Lampiran 10. Surat izin pengumpulan data
Lampiran 11. Surat telah menyelesaikan uji reliabilitas Lampiran 12. Surat telah menyelesaikan pengumpulan data
Lampiran 13. Surat pernyataan keaslian terjemahan kuesioner pola asuh orangtua Lampiran 14. Taksasi dana penelitian
Tingkat Kemandirian Personal Hygiene Anak Usia
Tabel 4.2 Interpretasi Nilair... 53
Tabel 5.1 Karakteristik Responden di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan (n= 33)... 54
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi pola asuh ... 56
Tabel 5.3 Distribusi deskriptif pola asuh orangtua ... 56
Tabel 5.4 Distribusi frekuensi tingkat kemandirianpersonal hygiene... 57
NIM : 111101115
Program Studi : Sarjana Keperawatan
Abstrak
Pola asuh merupakan suatu cara orangtua dalam mengasuh anak untuk melakukanpersonal hygienesecara mandiri dengan berbagai tipe pola asuh. Anak yang mandiri dalam melakukan personal hygiene dapat meningkatkan derajat kesehatan pada anak usia prasekolah. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran kecenderungan pola asuh yang digunakan, tingkat kemandirian personal hygiene dan hubungan pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Lintongnihuta. Metode yang digunakan adalah cross sectional. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 33 orang yang diambil menggunakan total sampling. Pola asuh orangtua diukur dengan menggunakan Parenting Styles And Dimensions Questionnaire yang terdiri dari 21 item dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,89 dan 0,77 pada skala kemandirian personal hygiene yang terdiri dari 19 item. Kedua data kuesioner berdistribusi normal dengan p=0,20. Uji korelasi yang digunakan adalah Pearson Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia prasekolah 75,00% (24 orang) mandiri dan pola asuh yang cenderung digunakan adalah demokratis sebanyak 78,10% (25 orang). Analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara model pola asuh tertentu dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah. Perhitungan korelasi product moment diperoleh nilai r=0,48 dan nilai p=0,00 pada pola asuh demokratis, nilai r=-0,10 dan nilai p=0,57 pada pola asuh otoriter, nilai r=-0,11 dan nilai p=0,55 pada pola asuh permisif. Dengan mengetahui adanya hubungan yang positif antara pola asuh demokratis dengan kemandirian personal hygiene anak usia prasekolah diharapkan orangtua (ibu) menggunakan pola asuh demokratis untuk mendidik dan membesarkan anaknya.
Std. ID Number : 111101115
Study Program : S1 (Undergraduate) Nursing
ABSTRACT
Care pattern is one of the parents’ ways of taking care of the children in personal hygiene independently by various types of care pattern. Independent children can do personal hygiene which can improve their health standard. The objective of the research was to find out the description of the inclination of care pattern, the level of independence in personal hygiene, and the correlation between parents’ care pattern and the level of independence of preschool-age children’s personal hygiene at Sigumpar village, Lintongnihuta Subdistict, Humbanghasundutan District. The research used cross sectional design. The samples were 33 respondents, using total sampling technique. Parents’ care pattern was measured using Parenting Style and Dimensions Questionnaires which consisted of 21 items with coefficient reliability of 0.89 and 0.77 at the independence scale of personal hygiene of 19 items. The two normal questionnaire data was p = 0.20. Correlation test was Pearson Product Moment. The result of the research showed that 24 respondents (75%) were independent and 25 respondents (78.1%) got democratic carte pattern. The result of bivatriate analysis showed that there was significant correlation certain care pattern model with the level oof independence of preschool children’s personal hygiene. The calculation of product moment correlation was r = 0.48 and p = 0.00 in democratic care pattern, r = 0.10 and p = 0.57 in authoritative care pattern, and p = 0.55 in permissive care pattern.It is recommended that parents, especially mothers, use democratic care pattern in educating their children.
NIM : 111101115
Program Studi : Sarjana Keperawatan
Abstrak
Pola asuh merupakan suatu cara orangtua dalam mengasuh anak untuk melakukanpersonal hygienesecara mandiri dengan berbagai tipe pola asuh. Anak yang mandiri dalam melakukan personal hygiene dapat meningkatkan derajat kesehatan pada anak usia prasekolah. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran kecenderungan pola asuh yang digunakan, tingkat kemandirian personal hygiene dan hubungan pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Lintongnihuta. Metode yang digunakan adalah cross sectional. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 33 orang yang diambil menggunakan total sampling. Pola asuh orangtua diukur dengan menggunakan Parenting Styles And Dimensions Questionnaire yang terdiri dari 21 item dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,89 dan 0,77 pada skala kemandirian personal hygiene yang terdiri dari 19 item. Kedua data kuesioner berdistribusi normal dengan p=0,20. Uji korelasi yang digunakan adalah Pearson Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia prasekolah 75,00% (24 orang) mandiri dan pola asuh yang cenderung digunakan adalah demokratis sebanyak 78,10% (25 orang). Analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara model pola asuh tertentu dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah. Perhitungan korelasi product moment diperoleh nilai r=0,48 dan nilai p=0,00 pada pola asuh demokratis, nilai r=-0,10 dan nilai p=0,57 pada pola asuh otoriter, nilai r=-0,11 dan nilai p=0,55 pada pola asuh permisif. Dengan mengetahui adanya hubungan yang positif antara pola asuh demokratis dengan kemandirian personal hygiene anak usia prasekolah diharapkan orangtua (ibu) menggunakan pola asuh demokratis untuk mendidik dan membesarkan anaknya.
Std. ID Number : 111101115
Study Program : S1 (Undergraduate) Nursing
ABSTRACT
Care pattern is one of the parents’ ways of taking care of the children in personal hygiene independently by various types of care pattern. Independent children can do personal hygiene which can improve their health standard. The objective of the research was to find out the description of the inclination of care pattern, the level of independence in personal hygiene, and the correlation between parents’ care pattern and the level of independence of preschool-age children’s personal hygiene at Sigumpar village, Lintongnihuta Subdistict, Humbanghasundutan District. The research used cross sectional design. The samples were 33 respondents, using total sampling technique. Parents’ care pattern was measured using Parenting Style and Dimensions Questionnaires which consisted of 21 items with coefficient reliability of 0.89 and 0.77 at the independence scale of personal hygiene of 19 items. The two normal questionnaire data was p = 0.20. Correlation test was Pearson Product Moment. The result of the research showed that 24 respondents (75%) were independent and 25 respondents (78.1%) got democratic carte pattern. The result of bivatriate analysis showed that there was significant correlation certain care pattern model with the level oof independence of preschool children’s personal hygiene. The calculation of product moment correlation was r = 0.48 and p = 0.00 in democratic care pattern, r = 0.10 and p = 0.57 in authoritative care pattern, and p = 0.55 in permissive care pattern.It is recommended that parents, especially mothers, use democratic care pattern in educating their children.
Lara, Crego, dan Maroto (2012) menyatakan bahwa masalah perilaku anak
cenderung memiliki asal-usul multifaktor yang luas dan dibagi menjadi karakeristik pribadi dan faktor lingkungan atau faktor situasional. Karakteristik
kepribadian dianggap sebagai hal yang paling mempengaruhi perilaku anak, selain itu juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan keluarga. Pengaruh faktor kepribadian serta temperamen, ketakutan umum dan masalah perilaku telah
banyak dipelajari secara ekstensif, namun pengaruh faktor lingkungan dan situasional masih relatif kurang diteliti dan sebagian besar dilakukan di Eropa dan
Asia Tenggara. Di antara faktor lingkungan dan situasional, telah didokumentasikan dengan baik bahwa pola asuh orangtua di rumah sangat berkorelasi dengan perilaku dan kemampuan sosialisasi yang ditunjukkan anak
dengan lingkungan sekitarnya (Stansbury, Haley, Holly, & Herb, 2012).
Davies, Cummings, dan Winter (2004) menyatakan bahwa pola asuh
orangtua memiliki dampak yang signifikan pada perilaku anak. Hubungan yang positif antara pola asuh orangtua dengan anak akan berdampak pada keberhasilan akademik anak, perkembangan kognitif, pengaturan emosi dan penyesuaian diri
anak (Davidov & Grusec, 2006). Dan anak yang merasa ditolak oleh orangtua memiliki sikap agresif dan bermusuhan, harga diri rendah, ketergantungan,
(otoriter) dicirikan dengan orangtua yang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan
komunikasi terbuka antara orangtua dan anak juga tanpa kehangatan dari orangtua. Pola asuh permissive (permisif) dicirikan dengan orangtua yang terlalu
membebaskan anak dalam segala hal tanpa adanya tuntutan ataupun kontrol. Pola asuh authoritative (demokratif) dicirikan dengan adanya tuntutan dari orangtua disertai komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Orangtua sangat
memperhatikan kebutuhan anak dan mencukupinya dengan mempertimbangkan faktor kepentingan dan kebutuhan.
Baumrind (1966) menyebutkan bahwa metode pola asuh yang ideal adalah pola asuh authoritative. Hal ini sejalan dengan penelitian Dehyadegary dan Nor (2012) terhadap anak remaja di Iran yang menyatakan bahwa pola asuh
authoritative memiliki hubungan bermakna positive dengan pencapaian prestasi akademik. Sedangkan pola asuh permissive memiliki hubungan yang negatif dan
tidak ada hubungan antara pola asuh authoritarian dengan pencapaian prestasi akademik. Berdasarkan penelitian Watabe dan Hibbard (2014) dinyatakan bahwa motivasi pencapaian prestasi akademik anak-anak di Amerika tinggi dengan pola
asuh authoritative dan authoritarian, sedangkan di Jepang hanya sedikit dipengaruhi oleh pola asuh orangtua.
Pada penelitian lintas budaya yang dilakukan oleh Choi, Kim, Kim, dan Park (2013) ditunjukkan bahwa pola asuhauthoritatian paling rutin digunakan di banyak budaya, termasuk budaya Asia dan menghasilkan anak yang optimal.
Chen (2010) di Taiwan yang melaporkan bahwa pola asuh authoritarian berhubungan prestasi akademik anak yang buruk.
Schmidt (2005) menyatakan bahwa masing-masing pola asuh orangtua yang ada akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pembentukan
kepribadian dan perilaku anak. Orangtua merupakan lingkungan terdekat yang selalu mengitari anak sekaligus menjadi figur dan idola mereka. Model perilaku orangtua secara langsung maupun tidak langsung akan dipelajari dan ditiru oleh
anak. Anak meniru bagaimana orangtua bersikap, bertutur kata, mengekspresikan harapan, tuntutan dan kritikan satu sama lain, menanggapi dan memecahkan
masalah, serta mengungkapkan perasaan dan emosinya.
Rahmayanti dan Pujiastuti (2012) menyatakan dalam penelitiannya di TK Kartika-9 Cimahi kepada 37 responden mengenai hubungan pola asuh orangtua
dengan perkembangan anak usia prasekolah bahwa sebagian besar orangtua menggunakan pola asuh demokratis yaitu 26 orangtua (70,3%), sangat sedikit
yang menggunakan pola asuh otoriter yaitu 6 orangtua (16,2%) dan permisif hanya 5 orangtua (13,5%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai p value = 0,013 (< α = 0,05) artinya terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan
perkembangan anak usia pra sekolah di TK Kartika X-9 Cimahi. Demikian juga pada penelititan Kirana (2013) pada anak usia 3-6 tahun di Kabupaten Semarang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara model pola asuh dengan intensitas temper tantrum anak. Dimana anak yang dibesarkan dengan pola asuh demokratis memiliki intensitas temper tantrum yang lebih rendah
asuh permisif. Sejalan juga dengan penelitian Puspita (2012) di TK IV Saraswati Denpasar, pola asuh orangtua memiliki hubungan yang signifikan dengan
kepercayaan diri pada anak prasekolah. Dimana ditunjukan bahwa pola asuh demokratis menghasilkan anak dengan kepercayaan diri yang tinggi.
Bowlby (1956) menyatakan bahwa hampir seluruh orangtua mengharapkan anaknya tumbuh menjadi anak yang mandiri, percaya diri dan mampu berhubungan dengan yang lain. Kemandirian anak akan terlihat dalam
berbagai hal seperti bersosialisasi, belajar dan berperilaku hidup bersih dan sehat (Soetjiningsih, 1995). Dan waktu yang paling tepat untuk melatih kemandirian
anak adalah di usia prasekolah. Memasuki masa prasekolah ini sebenarnya anak sudah bisa menangkap keinginan orangtua dan kemandirian lama-kelamaan akan terbentuk.
Dalam The Center on the Social and Emotional Foundations for Early Learning,seorang guru prasekolah menyatakan bahwa seorang anak yang berusia
5 tahun sangat suka menolong dan mandiri. Lebih lanjut lagi dijelaskan kemampuan anak pada usia 5 tahun, antara lain: mengikuti peraturan dan rutinitas yang sudah ditentukan (mencuci tangan sebelum makan, meletakkan baju kotor ke
keranjang, menggosok gigi sebelum tidur), mandiri memulai rutinitas yang sederhana (memakai dan melepaskan baju, mencuci tangan, menggosok gigi,
makan malam dengan duduk di meja makan, mandi ditonton oleh orang dewasa), dan mandiri dengan kemampuan perawatan diri lain. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Cottingham (2004) bahwa anak-anak harus belajar menjaga kebersihan
Curtis et al. (2001) juga mengatakan bahwa usia dini adalah sebuah periode formatif perkembangan kebiasaan kesehatan, termasuk cara mencuci
tangan yang baik. Kebiasaan hidup sehat akan berdampak pada kesehatan anak-anak yang lebih baik. Oleh karena itu, mengajarkan anak-anak-anak-anak bertanggungjawab
pada kesehatan mereka sendiri adalah penting. Paliwal (2014) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan biasanya dimulai dengan keluarga dan akhirnya anak akan belajar bagaimana melakukannya dan mereka akan menjaga kebersihan diri
sendiri. Dan anak-anak yang belajar personal hygiene di usia dini akan terbiasa mempraktikkannya sampai usia dewasa. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Mhaske et al. (2014) terhadap anak usia sekolah di kota Pune ditemukan bahwa personal hygienelebih baik kondisinya pada anak perempuan dibandingkan laki-laki. Anak laki-laki lebih ceroboh terhadap kebersihan diri apalagi semakin tinggi
usianya.
Mehta dan Kaur (2012) menyatakan praktik personal hygiene termasuk
mandi secara teratur, mencuci tangan secara teratur, mencuci sisir, memotong rambut secara teratur, memakai pakaian yang bersih, menggosok gigi, mengganti sikat gigi secara teratur, memotong kuku, mencuci pakaian dalam setiap harinya
dan lain sebagainya. Tetapi, beberapa hal dasar yang sangat penting untuk anak-anak adalah membersihkan badan, seperti kotoran dan bau badan, mandi setiap
hari, membersihkan tangan teratur, menggosok gigi dua kali sehari.
Oyibo (2012) menyatakan bahwa pengetahuan dan pelaksanaan yang rendah dari personal hygiene seperti mencuci tangan sangat berperan sebagai
perkembangan anak dalam jangka panjang. Dan hasil pada penelitian Rosen, Manor, dan Engelhard (2009) di Yerusalem pada 40 kelas prasekolah
menunjukkan bahwa mencuci tangan yang sederhana dengan sabun membantu melindungi anak-anak dari penyakit yang paling membunuh yaitu, diare dan
infeksi saluran pernafasan bagian bawah.
Nefer (2014) mengatakan lingkungan dan personal hygiene yang buruk berbahaya pada kesehatan anak-anak. Anak-anak yang tidak bersih sering
diserang demam, diare, flu dan sebagainya yang disebabkan oleh terpapar udara yang berlebihan yang membawa kuman. Penyakit rongga mulut dan gusi
disebabkan oleh ketidakpedulian oral hygiene dan menjadi penyebab gigi prematur. Sejalan dengan Albertsson dan Dijken (2010) yang mengatakan bahwa kesehatan mulut adalah bagian integral dari kesehatan secara umum. Kesehatan
mulut yang buruk dapat berdampak merugikan pada kesehatan secara keseluruhan. Karena itu kesehatan mulut sangatlah penting dan hal itu dapat
dicapai denganoral hygieneyang baik.
Penelitian Kamath, Bijle, Walimbe, dan Patil (2014) di Mangalore yang bertujuan untuk mengkaji kesadaran anak-anak tentang praktik oral hygiene di
populasi pedesaan menunjukkan bahwa pengetahuan dan praktik oral hygiene anak-anak baik, tetapi masih perlu untuk dikembangkan lagi. Dimana data praktik oral hygienedikumpulkan dengan mengisi kuisioner yang dikelola sendiri. Survey
bantu dalam melakukan oral hygiene. Padahal tidak satupun anak yang sudah pernah mengikuti interaktif tentang pendidikanoral hygiene.
Soetjiningsih (1995) juga menyatakan bahwa kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang
anak. Kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare,cacingan, scabies, karies gigi dan sebagainya. Riset Kesehatan Dasar (2013) menyebutkan bahwa di Indonesia
period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan penduduk adalah 25,0 persen, insiden dan
prevalensi pneumonia tahun 2013 adalah 1,8 persen dan 4,5 persen , insiden diare pada kelompok usia balita adalah 10,2 persen dan prevalensi nasional masalah gigi dan mulut adalah 25,9 persen. Untuk perilaku benar dalam menyikat gigi
berkaitan dengan faktor gender, ekonomi, dan daerah tempat tinggal. Ditemukan sebagian besar penduduk Indonesia menyikat gigi pada saat mandi pagi maupun
mandi sore, (76,6%). Menyikat gigi dengan benar adalah setelah makan pagi dan sebelum tidur malam, untuk Indonesia ditemukan hanya 2,3 persen.
Berdasarkan fenomena di atas peneliti ingin melakukan penelitian tentang
hubungan pola asuh orangtua dengan kemandirian personal hygiene anak usia prasekolah. Pola asuh orangtua yang tepat akan memberikan implikasi pada
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan diteliti
adalah apakah ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene anak prasekolah yang berusia 5 tahun di Desa
Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan. 1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak
prasekolah yang berusia 5 tahun di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi karakteristik responden di Desa Sigumpar Kecamatan
Lintongnihuta Kabupaten Lintongnihuta
2. Mengidentifikasi pola asuh orangtua pada anak prasekolah yang berusia 5 tahun di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Lintongnihuta
3. Mengidentifikasi tingkat kemandirianpersonal hygienepada anak prasekolah berusia 5 tahun di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten
Lintongnihuta
4. Menganalisis hubungan pola asuh orangtua terhadap tingkat kemandirian personal hygiene pada anak prasekolah berusia 5 tahun di Desa Sigumpar
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengembangan pengetahuan serta menjadi evidencekhususnya dalam pengajaran
di perkuliahan pada keperawatan komunitas dan anak. 1.4.2 Bagi Pelayanan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap
program-program di pelayanan keperawatan khususnya keperawatan anak, keperawatan keluarga, dan komunitas. Program yang dapat dilakukan oleh
perawat komunitas dengan perawat anak adalah mensosialisasikan pentingnya kemandirianpersonal hygienedi usia dini.
1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan
Memberikan informasi tentang hubungan pola asuh orangtua dengan kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah sehingga berguna bagi
2.1.1 Pengertian
Menurut Thoha (1996) pola asuh orangtua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orangtua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa
tanggungjawab kepada anak. Sedangkan menurut Hurlock (1998) pola asuh orangtua adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orangtua terhadap anaknya. Metode disiplin ini meliputi dua konsep yaitu konsep negatif dan konsep
positf. Menurut konsep negatif, disiplin berarti pengendalian dengan kekuasaan. Ini merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan
menyakitkan. Sedangkan menurut konsep positif, disiplin berati pendidikan dan bimbingan yang lebih menekankan pada disiplin dan pengendalian diri.
Lebih jauh Hurlock (1998) juga menyebutkan bahwa fungsi pokok dari
pola asuh orangtua adalah untuk mengajarkan anak menerima pengekangan-pengekangan yang diperlukan dan membantu mengarahkan emosi anak ke dalam
jalur yang berguna dan diterima secara sosial. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh orangtua adalah cara mengasuh dan metode disiplin orangtua dalam menjalankan perannya yang berhubungan dengan anaknya dengan
tujuan membentuk karakter, kepribadian dan perilaku anak hingga anak dewasa. 2.1.2 Jenis-jenis Pola Asuh
diturunkan dari dua dimensi kerangka konsep Baumrind yaitu respon dan tuntutan (Watabe & Hibbard, 2014).
Afriani et al. (2012) menyatakan respon mengacu pada sejauh mana orangtua mendorong anak, mendukung dan sepakat dengan permintaan anak-anak
dengan kehangatan dan komunikasi. Sedangkan tuntutan mengacu pada klaim orangtua pada anak-anak untuk terintegrasi ke dalam masyarakat oleh perilaku regulasi, konfrontasi langsung, serta batas waktu (kontrol perilaku) dan
pengawasan atau pemantauan kegiatan anak-anak.
Dari dua dimensi tersebut, Baumrind (1966) mengekstrak tiga kategori
pola asuh, yaitu:
a. Pola AsuhAuthoritarian
Baumrind (1966) menjelaskan pola asuh authoritarian (otoriter)
adalah pola asuh yang membatasi, menghukum dan menuntuk anak untuk mengikuti perintah-perintah-perintah orangtua dan menghormati pekerjaan serta
usaha. Orangtua menuntut anak mengikuti perintah-perintahnya, sering memukul anak, memaksakan aturan tanpa penjelasan, dan menunjukkan amarah. Orangtua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidakmemberi peluang yang
besar kepada anak-anak untuk berbicara atau bermusyawarah.
Menurut Hurlock (2010), peraturan yang keras untuk memaksa
perilaku yang diinginkan menandai semua jenis pola asuh yang otoriter. Tekniknya mencakup hukuman yang berat bila terjadi kegagalan memenuh standar dan sedikit, atau sama sekali tidak adanya persetujuan, pujian atau
Orangtua tidak mendorong anak untuk mandiri dengan mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan tindakan mereka. Sebaliknya, mereka hanya
mengatakan apa yang harus dilakukan. Jadi anak-anak kehilangan kesempatan belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri.
Dengan cara otoriter, ditambah sikap keras, menghukum dan mengancam akan menjadikan anak patuh di hadapan orangtua, tetapi di belakangnya ia akan menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa.
Reaksi menentang bisa ditampilkan dalam tingkah laku yang melanggar norma-norma lingkungan rumah, sekolah dan pergaulan (Gunarsa, 2008). Efek
pengasuhan ini akan membuat anak mengalami inkompetensi sosial, sering merasa tidak bahagia, kemampuan komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif melakukan sesuatu, dan kemungkinan berperilaku agresif (Soetjiningsih, 2012).
Anak dari orangtua yang otoriter seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas,
dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah, serta sering berperilaku agresif (Santrock, 2002).
b. Pola AsuhPermissive
Baumrind (1966) menjelaskan bahwa pola asuh permissive (permisif) adalah pola asuh dimana orang orangtua sangat tidak terlibat dalam
kehidupan anak. Anak mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orangtua lebih penting daripada diri mereka. Biasanya pola asuh permisif tidak membimbing anak ke pola perilaku yang disetujui secara sosial dan
dalam situasi yang terlalu sulit untuk ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa bimbingan atau pengendalian. Anak sering tidak diberi batas-batas atau kendala
yang mengatur apa saja yang boleh dilakukan. Mereka diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat sekehendak mereka sendiri (Hurlock, 2010).
Menurut Gunarsa (2008), karena harus menentukan sendiri, maka perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah. Pada anak tumbuh egosentrisme yang terlalu kuat dan kaku, dan mudah menimbulkan
kesulitan-kesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada dalam masyarakat. Efek pengasuhan ini anak akan memiliki kendali diri yang buruk, inkompentensi
sosial, tidak mandiri, harga diri rendah, tidak dewasa, rasa terasing dari keluarga, serta pada saat remaja akan suka membolos dan nakal (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang permisif akan memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa,
kesulitan belajar menghormati orang lain, kesulitan mengendalikan perilakunya, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam berhubungan dengan teman
sebaya (Santrock, 2002).
c. Pola AsuhAuthoritative
Baumrind (1966) menjelaskan bahwa pola asuh authoritative
(demokratis) adalah pola asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka.
Menurut Hurlock (2010), metode demokratis menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa
perilaku tertentu diharapkan. Metode ini lebih menekankan aspek edukatif dari disiplin daripada aspek hukumannya. Pola asuh ini menggunakan hukuman dan
penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Hukuman tidak pernah keras dan biasanya tidak terbentuk hukuman badan. Hukuman hanya digunakan bila terdapat bukti bahwa anak-anak sadar menolak melakukan apa
yang diharapkan dari mereka. Bila perilaku anak memenuhi standar yang diharapkan, orangtua yang demokratis akan menghargainya dengan pujian atau
persetujuan oranglain.
Dengan cara demokratis ini pada anak akan tumbuh rasa tanggungjawab untuk memperlihatkan sesuatu tingkah laku dan selanjutnya
memupuk rasa percaya dirinya. Anak akan mampu bertindak sesuai norma dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Gunarsa, 2008). Efek pengasuhan
demokratis, yaitu anak mempunyai kompetensi sosial percaya diri dan bertanggungjawab secara sosial. Juga tampak ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada prestasi, mempertahankan hubungan ramah dengan
teman sebaya, mampu bekerja sama dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stres dengan baik (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang demokratis
ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Dalam memberlakukan pola asuh di lingkungan keluarga, orangtua
dipengaruhi oleh beberapa hal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anak menurut Hurlock (2010) adalah:
a. Kesamaan dengan disiplin yang digunakan orangtua
Jika orangtua mereka memberikan pola asuh yang baik maka akan mereka tetapkan juga pada anak mereka, namun sebaliknya jika kurang sesuai
maka akan digunakan cara yang berlawanan.
b. Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok
Semua orangtua lebih dipengaruhi oleh apa yang oleh anggota kelompok mereka dianggap sebagai cara terbaik, daripada oleh pendirian mereka sendiri mengenai apa yang terbaik.
c. Usia orangtua
Orangtua yang lebih muda cenderung demokratis dan permisif
dibandingkan dengan mereka yang tua. Mereka cenderung mengurangi kendali ketika anak beranjak remaja.
d. Pendidikan untuk menjadi orangtua
Orangtua yang belajar cara mengasuh anak dan mengerti kebutuhan anak akan lebih menggunakan pola asuh yang demokratis daripada orangtua yang
e. Jenis kelamin
Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya
dibanding pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk orangtua maupun pengasuh lainnya.
f. Status sosial ekonomi
Orangtua dari kalangan menengah ke bawah akan lebih otoriter dan memaksa daripada mereka yang dari menengah ke atas. Semakin tinggi
pendidikan pola asuh yang digunakan semakin cenderung demokratis. g. Konsep mengenai peran orang dewasa
Orangtua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orangtua, cenderung lebih otoriter dibandingkan orangtua yang telah menganut konsep modern.
h. Jenis kelamin anak
Orangtua pada umunya akan lebih keras terhadap anak perempuan
daripada terhadap anak laki-lakinya. i. Usia anak
Pola asuh otoriter digunakan untuk anak kecil, karena anak-anak
tidak mengerti penjelasan sehingga mereka memusatkan perhatian pada pengendalian otoriter.
j. Situasi
Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan sikap menantang, negativitisme, dan agresi kemungkinan lebih
2.1.4 Aspek-aspek Pola Asuh Orangtua
Dalam menerapkan pola asuh terdapat unsur-unsur penting yang dapat
mempengaruhi pembentukan pola asuh pada anak. Hurlock (2010) mengemukakan bahwa pola asuh orangtua memiliki aspek-aspek berikut ini:
a. Peraturan, tujuannya adalah untuk membekali anak dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Hal ini berfungsi untuk mendidik anak bersikap lebih bermoral. Karena peraturan memiliki nilai
pendidikan mana yang baik serta mana yang tidak, peraturan juga akan membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Peraturan haruslah mudah dimengerti,
diingat dan dapat diterima oleh anak sesuai dengan fungsi peraturan itu sendiri. b. Hukuman, yang merupakan sangsi pelanggaran. Hukuman memiliki tiga peran penting dalam perkembangan moral anak. Pertama, hukuman
menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Kedua, hukuman sebagai pendidikan, karena sebelum anak tahu tentang peraturan
mereka dapat belajar bahwa tindakan mereka benar atau salah, dan tindakan yang salah akan memperoleh hukuman. Ketiga, hukuman sebagai motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
c. Penghargaan, bentuk penghargaan yang diberikan tidaklah harus yang berupa benda atau materi, namun dapat berupa kata-kata, pujian, senyuman,
perilaku yang disetujui secara sosial, dan tidak ada penghargaan yang melemahkan keinginan untuk mengulang perilaku itu.
d. Konsistensi, berarti kestabilan atau keseragaman. Sehingga anak tidak bingung tentang apa yang diharapkan dari mereka. Fungsi konsistensi adalah
mempunyai nilai didik yang besar sehingga dapat memacu proses belajar, memiliki motivasi yang kuat dan mempertinggi penghargaan terhadap peraturan dan orang yang berkuasa. Oleh karena itu kita harus konsiten dalam menetapkan
semua aspek disiplin agar nilai yang kita miliki tidak hilang. 2.2 Usia Prasekolah
2.2.1 Pengertian Anak Prasekolah
Anak usia prasekolah merupkan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita,
dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya) (Yusuf, 2011). Batasan anak
usia prasekolah adalah dari setelah kelahiran 0 tahun hingga usia sekitar 6 tahun (Prastisti, 2008).
Anak prasekolah adalah anak yang berusia antara tiga setengah hingga
enam tahun, sebelum anak memulai pendidikan formal di sekolah. Anak prasekolah tidak lagi nampak seperti bayi, dia belajar bersikap lebih dewasa dan
Maka dapat disimpulkan bahwa anak prasekolah adalah anak yang berusia tiga hingga enam tahun, sebelum anak memulai pendidikan formal.
2.2.2 Perkembangan Anak Prasekolah
Wong (2008), kombinasi pencapaian biologis, psikososial, kognitif,
spiritual, dan sosial selama periode prasekolah (usia 3 sampai 5 tahun) mempersiapkan anak prasekolah untuk perubahan gaya hidupnya yang paling bermakna yaitu masuk sekolah. Kontrol mereka terhadap fungsi tubuh,
pengalaman periode perpisahan yang pendek dan panjang, kemampuan berinteraksi secara kerjasama dengan anak lain dan orang dewasa, penggunaan
bahasa untuk simbolisasi mental, dan meningkatnya rentang perhatian dan memori mempersiapkan mereka untuk periode mayor berikutnya, masa sekolah. Keberhasilan pencapaian tingkat pertumbuhan dan perkembangan sebelumnya
sangat penting bagi anak prasekolah untuk memperhalus tugas-tugas yang telah mereka kuasai selama masa toodler.
Dalam Wong (2008) disebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia 5 tahun selama masa prasekolah, antara lain:
a. Fisik: 1) denyut nadi dan respirasi sedikit menurun, 2) rata-rata
berat badan 18,7 kg, 3) rata-rata tinggi badan 110 cm, 4) erupsi gigi permanen mungkin sudah mulai, dan 5) dominansi tangan sudah tercapai (sekitar 90% tidak
kidal).
b. Motorik kasar: 1) lompat tali dengan melompat kanan-kiri secara bergantian, 2) melempar dan menangkap bola dengan baik, 3) lompat tali, 4)
dengan tumit ke jari, 6) Melompat dari ketinggian 30 cm dan mendarat pada jari kaki, dan 7) keseimbangan berjalan dengan kaki kanan-kiri secara bergantian
dengan mata tertutup.
c. Motorik halus: 1) mengikat tali sepatu, 2) menggunakan gunting,
peralatan sederhana, atau pensil dengan sangat baik, 3) dalam menggambar, menyiplak wajk dan segitiga, tambahkan tujuh sampai sembilan bagian untuk membentuk suatu gambar, cetak beberapa surat, atau kata-kata seperti nama
pertama.
d. Bahasa: 1) memiliki perbendaharaan sekitar 2100 kata, 2)
menggunakan kalimat yang terdiri atas enam sampai delapan kata,dengan semua bagian percakapan, 3) menamakan koin (misalnya, nikle, dime), 4) menamakan empat warna atau lebih, 5) menerangkan gambar atau lukisan dengan banyak
komentar dan menyebutkan satu per satu, 6) mengetahui nama-nama hari dalam satu minggu, bulan dan kata-kata yang berhubungan dengan waktu lainnya, 7) mengetahui komposisi benda seperti “sepatu terbuat dari....”, dan 8) dapat
mengikuti tiga perintah secara berturut-turut.
e. Sosialisasi: 1) sifat pemberontak dan menyukai percekcokan lebih
jarang dari usia 4 tahun, 2) lebih mapan dan memiliki hasrat besar dalam menjalankan kesibukan, 3) pikiran dan perilaku tidak sama terbuka dan
terjangkaunya dengan pada tahun-tahun sebelumnya, 4) mandiri tetapi dapat dipercaya, tidak keras kepala, lebih bertanggung jawab, 5) ketakutannya lebih sedikit, percaya pada otoritas di luar untuk mengontrol dunia, 6) sangat
lain, berusaha hidup dalam aturan, 7) perilakunya lebih baik, 8) mengasuh diri sendiri secara total, terkadang perlu supervisi dalam berpakaian atau hygiene, 9)
tidak siap untuk berkonsentrasi pada pekerjaan dekat atau cetakan kecil karena agak rabun dekat dan koordinasi mata-tangannya masih belum halus, dan 10)
bermain bersifat aosiatif, mencoba mengikuti aturan tetapi mungkin bermain curang untuk menghindari kekalahan.
f. Kognisi: 1) mulai mempertanyakan tentang apa yang dipikirkan
orangtu dengan membandingkan mereka terhadap teman sebaya dan orang dewasa lain, 2) dapat memperhatikan adanya prasangka dan bias di dunia luar, 3) lebih
mampu melihat perspektif orang lain tetapi lebih menoleransi perbedaan daripada memahaminya, 4) mulai memperlihatkan pemahaman terhadap perccakapan tentang jumlah melalui penghitungan benda-benda tanpa memerhatikan
susunannya, 5) menggunakan kata-kata berorientasi waktu dengan pemahaman yang lebih baik, dan 6) Sangat ingin tahu mengenai informasi nyata berkenaan
dengan dunia.
g. Hubungan keluarga: 1) bekerja sama dengan orangtua secara baik, 2) mungkin lebih sering mencri orangtua dibandingkan usia 4 tahun untuk
mencari rasa aman dan ketenangan, terutama ketika masuk sekolah, 3) mulai menanyakan pemikiran dan prinsip orangtua, 4) sangat mengidentifikasi orangtua
2.3 Konsep Urutan Kelahiran Anak
Penelitian-penelitian longitudinal yang telah dilakukan mengenai efek
berbagai posisi urutan realatif hanya sedikit. Namun beberapa penelitian terhadap anak-anak yang lebih besar, remaja-remaja dan orang-orang dewasa dari berbagai
posisi urutan menunjukkan betapa posisi urutan dapat menjadi faktor yang kuat dalam menentukan jenis penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang harus dilakukan individu sepanjang rentang kehidupannya.
Beberapa ciri umum sehubungan dengan urutan kelahiran anak menurut Hurlock (1980):
1. Anak pertama: 1) berperilaku secara matang karena berhubungan dengan orang-orang dewasa dan karena diharapkan memikul tanggung jawab, 2) benci terhadap fungsinya sebagai teladan bagi adik-adiknya sebagai pengasuh mereka,
3) cenderung mengikuti kehendak dan tekanan kelompok dan mudah dipengaruhi untuk mengikuti kehendak orangtua, 4) mempunyai perasaan kurang aman dan
perasaan benci sebagai akibat dari lahirnya adik yang sekarang menjadi pusat perhatian, 5) kurang agresif dan kurang berani karena perlindungan orangtua yang berlebihan, 6) mengembangkan kemampuan memimpin sebagai akibat dari harus
memikul tanggungjawab di rumah. Tetapi ini sering disanggah dengan kecenderungan untuk menjadi bos, 7) biasanya berprestasi tinggi atau sangat
tinggi karena tekanan dan harapan orangtua dan keinginan untuk memperoleh kembali perhatian orangtua bila ia merasa bahwa adik-adiknya merebut perhatian orangtua dari dirinya, dan 8) sering tidak bahagia karena adanya perasaan kurang
adik-adiknya dan benci karena mempunyai tugas dan tanggungjawab yang lebih banyak daripada adik-adiknya.
2. Anak tengah: 1) belajar mandiri dan bertualang adalah akibat dari kebebasan yang lebih banyak, 2) menjadi benci atau berusaha melebihi perilaku
kakaknya yang lebih diunggulkan, 3) tidak menyukai keistimewaan yang diperoleh kakaknya, 4) bertingkah dan melanggar peraturan untuk menarik perhatian orangtua bagi dirinya sendiri dan merebut perhatian orangtua dari kakak
atau adik-adiknya, 5) mengembangkan kecenderungan untuk menjadi bos, mengejek, mengganggu, atau bahkan menyerang adik-adiknya yang memperoleh
lebih banyak perhatian orangtua, 6) mengembangkan kebiasaan untuk tidak berprestasi tinggi karena kurangnya harapan-harapan orangtua dan kurangnya tekanan untuk berprestasi, 7) mempunyai tanggung jawab yang lebih sedikit
dibandingkan tanggung jawab anak pertama. Sering ditafsirkan bahwa anak tengah lebih rendah daripada anak pertama. Hal ini melemahkan pengembangan
sifat-sifat kepemimpinan, 8) terganggu oleh perasaan-perasaan diabaikan orangtua yang selanjutnya mendorong timbulnya perkembangan gangguan perilaku. Hal ini seringkali mengakibatkan penyesuaian sosial yang lebih baik daripada
penyesuaian anak pertama, dan 9) mencari persahabatan dengan teman-teman sebaya di luar rumah, hal ini seringkali mengakibatkan penyesuaian sosial yang
lebih baik daripada penyesuaian anak pertama.
3. Anak bungsu: 1) cenderung keras dan banyak menuntut sebagai akibat dari kurang ketatnya disiplin dan dimanjakan oleh anggota-anggota keluarga, 2)
pernah disaingi oleh saudara-saudaranya yang lebih muda, 3) biasanya dilindungi orangtua dari serangan fisik atau verbal kakak-kakaknya dan hal ini mendorong
ketergntungan dan kurangnya rasa tanggung jawab, 4) cenderung tidak berprestasi tinggi karena kurangnya harapan dan tuntutan orangtua, 5) mengalami hubungan
sosial yang baik di luar rumah dan biasanya populer tetapi jarang menjadi pemimpin karena kurangnya kemauan memikul tanggung jawab, dan 6) cenderung merasa bahagia karena memperoleh perhatian dan dimanjakan
anggota-anggota keluarga selama awal masa kanak-kanak. 2.4 Kemandirian Anak
2.4.1 Konsep Kemandirian
Dalam teori kemandirian yang dikembangkan Steinberg (1995) istilah independence dan autonomy sering disejajarartikan secara berganti
(interchangeable) sesuai dengan konsep kedua istilah tersebut. Meski secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama yakni kemandirian, tetapi
sesungguhnya secara konseptual kedua istilah tersebut berbeda. Secara leksikal independence mengacu kepada kapasitas individu untuk memperlakukan diri sendiri. Steinberg (1995) menyatakan independence generally refers to
individuals’ capacity to behave on their own. Berdasarkan konsep independence ini Steinberg (1995) menjelaskan bahwa anak yang sudah mencapaiindependence
ia mampu menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain terutama orangtua. Misalnya, ketika anak ingin buang air kecil ia langsung pergi ke toilet, tidak merengek-rengek meminta dibantu buka
konsepindependence ini merupakan bagian dari perkembangan autonomyselama masa remaja, hanya autonomy mencakup dimensi emosional, behavioral, dan
nilai. Steinberg (1995) menegaskan the growth of independence is surely a part of becoming autonomous during adolescence.
Wijaya (1986), mengemukakan tiga istilah yang bersepadanan untuk menunjukkan kemampuan berdikari anak, yaitu autonomy, kompetensi, dan kemandirian. Menurutnya, kompetensi berarti kemampuan untuk bersaing dengan
individu-individu lain yang normal. Kompetensi juga menunjuk pada suatu taraf mental yang cukup pada individu untuk memikul tanggungjawab atas
tindakan-tindakannya. Istilah autonomy seringkali disamaartikan dengan kemandirian, sehingga didefenisikan bahwa individu yang otonom ialah individu yang mandiri, tidak mengandalkan bantuan atau dukungan orang lain yang kompeten, dan bebas
bertindak. Padahal dalam perspektif Widjaja (1986) autonomy dan kemandirian adalah dua konsep yang berbeda. Menurutnya, kemandirian menunjuk pada
adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan khusus dari orang lain, keengganan untuk dikontrol orang lain, dapat melakukan sendiri masalah-masalah yang dihadapi.
Berdasarkan konsep-konsep di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk menguasai, mengatur, atau mengelola diri
sendiri.
2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemandirian
Setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda antara anak yang
kemampuan individual anak. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian anak (Soetjiningsih, 1995):
a. Faktor Internal
1) Faktor emosi ditujukkan dengan kemampuan mengontrol
emosi dan tidak terganggunya kebutuhan emosi anak.
2) Faktor intelektual yang ditujukkan dengan kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi anak.
b. Faktor Eksternal
1) Lingkungan merupakan faktor yang menentukan tercapai atau
tidaknya kemandirian anak prasekolah. Pada usia ini anak membutuhkan kebebasan untuk bergerak kesana-kemari dan mempelajari lingkungan.
2) Karakteristik sosial mempengaruhi kemandirian anak,
misalnya tingkat kemandirian anak dari keluarga miskin berbeda dengan anak-anak dari keluarga kaya.
3) Anak yang mendapat stimulus terarah dan teratur akan lebih cepat mandiri dibanding dengan anak yang kurang mendapat stimulasi.
4) Pola asuh, anak dapat mendiri dengan diberi kesempatan,
dukungan dan peran orangtua sebagai pengasuh.
5) Cinta dan kasih sayang kepada anak hendaknya diberikna
6) Kualitas informasi anak dan orangtua yang dipengaruhi pendidikan orangtua, dengan pendidikan yang baik, informasi dapat diberikan
pada anak karena orangtua dapat menerima informasi dari luar terutama cara meningkatkan kemandirian anak.
7) Status pekerjaan ibu, apabila ibu bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah maka ibu tidak bisa memantau kemandirian anak sesuai perkembangan usianya. Sedangkan ibu yang tidak bekerja, ibu dapat memantau
langsung kemandirian anak dan bisa memandirikan anaknya. 2.4.3 Bentuk Kemandirian Berdasarkan Usia
Orangtua sudah saatnya mengetahui tentang standart kompetensi anak, yaitu kompetensi anak sesuai tahapan usia dari berbagai aspek perkembangan. Hal ini perlu diketahui agar para orangtua mengetahui kompetensi apa yang
sepatutnya dimiliki oleh anaknya. Salah satu manfaatnya adalah untuk menghindari orangtua menetapkan standart di atas kemampuan anak sebenarnya.
Berikut bentuk kemandirian anak berdasarkan usia menurut Wening (2012 dalam Putra, 2012):
a. Usia 3-4 tahun
Bentuk kemandirian anak pada usia prasekolah ini adalah sikat gigi sendiri meski belum sempurna, membuka dan memakai pakaian kaos dan celana
berkaret, memakai sepatu berperekat, mandiri sendiri pada waktunya, buang air kecil di kamar mandi, mencuci tangan tanpa bantuan sebelum dan sesudah beraktifitas, menuang air tanpa tumpah dan minum sendiri dengan gelas tanpa
diingatkan, membantu membersihkan lingkungan, mampu berpisah dengan orangtua tanpa menangis, memiliki kebiasaan yang teratur seperti makan, mandi,
dan tidur.
b. Usia 5-6 tahun.
Bentuk kemandirian pada usia ini adalah menggunakan pisau untuk memotong makanan, membuka dan memakai baju berkancing depan, membuka dan menutup celana bersleting, menalikan sepatu, mandi sendiri tanpa arahan,
cebok setelah buang air kecil atau besar, menyisir rambut, mampu makan sendiri, mampu berpisah dengan ibu tanpa menangis, mampu BAB dan BAK sendiri, dan
mampu berpakaian sendiri tanpa bantuan, membuang sampah pada tempatnya, merapika mainan setelah digunakan, menaati peraturan yang berlaku dn pergi ke sekolah tepat waktu.
2.5 Personal Hygiene
2.5.1 Pengertianpersonal hygiene
Pemeliharaanpersonal hygiene berarti tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan diri seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya. Seseorang dikatakan memiliki personal hygiene baik apabila, orang tersebut dapat menjaga
kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, gigi dan mulut, rambut, mata, hidung, dan telinga, kaki dan kuku, genitalia, serta kebersihan dan
kerapihan pakaiannya.
2.5.2 Macam-macam tindakanpersonal hygiene
Menurut Potter dan Perry (2005) macam-macampersonal hygiene:
Kulit berfungsi sebagai pertukaran oksigen, nutrisi, dan cairan dengan pembuluh darah yang berada di bawahnya; mensintesa sel baru; dan
mengeliminasi sel mati, sel yang tidak berfungsi. Sel-sel integumen memerlukan nutrisi dan hidrasi yang cukup untuk menahan cedera dan penyakit. Sirkulasi yang
adekuat penting untuk memelihara kehidupan sel. Kulit seringkali merefleksikan perubahan pada kondisi fisik dengan perubahan pada warna, ketebalan, tekstur, turgor, temperatur, dan hidrasi. Umur mempengaruhi kondisi normal kulit dan
tipe tindakan hygiene yang diperlukan. Dengan demikian anak-anak memiliki resistensi yang terbesar untuk infeksi dan iritasi kulit. Anak-anak lebih aktif
bermain, dan ketiadaan kebiasaan hygiene yang dibentuk, perhatian terbesar diperlukan orangtua dan pemberi asuhan untuk memberikanhygienedan memulai pengajaran kebiasaanhygieneyang baik.
Salah satu cara untuk menjaga kebersihan kulit adalah dengan mandi. Dimana mandi bertujuan untuk: membersihkan kulit, yaitu pembersihan
mengurangi keringat, beberapa bakteria, sebum dan sel kulit yang mati, yang meminimalkan iritasi kulit dan mengurangi kesempatan infeksi; stimulasi sirkulasi, yaitu sirkulasi yang baik ditingkatkan melalui penggunaan air hangat
dan usapan yang lembut pada ekstremitas; peningkatan citra diri, mandi meningkatkan relaksasi dan perasaan segar kembali dan kenyamanan;
pengurangan bau badan, yaitu sekresi keringat yang berlebihan dari kelenjar apokrin berlokasi di area aksila dan pubik menyebabkan bau badan yang tidak menyenangkan; dan peningkatan rentang gerak, yaitu gerakan ekstremitas selama
Pembersihan mengangkat minyak yang berlebihan, keringat, sel kulit mati, dan kotoran yang meningkatkan perkembangan bakteri dapat dilakukan
dengan mandi setiap hari. Setelah mandi seluruh tubuh dikeringkan supaya tidak terjadi kelembapan yang berlebihan yang akan menyebabkan maserasi kulit, yang
meningkatkan perkembangan bakteri. Kebersihan kulit juga dijaga dengan membersihkan perineal setiap kali uang air besar dan buang air kecil, sebab sekresi keringat yang berlebihan dari kelenjar apokrin di daerah aksila dan pubis
menyebabkan bau yang tidak sedap. Dan sekresi yang terakumulasi pada permukaan kulit sekitar genitalia berperan sebagai tempat penyimpanan infeksi.
2. Kebersihan kaki dan kuku
Kaki dan kuku seringkali memerlukan perhatian khusus untuk mencegah infeksi, bau dan cedera pada jaringan. Perawatan dapat digabungkan
selama mandi atau pada waktu yang terpisah. Seringkali, orang tidak sadar akan masalah kaki dan kuku sampai terjadi nyeri atau ketidaknyamanan. Masalah
dihasilkan karena perawatan yang salah atau kurang terhadap kaki dan tangan seperti menggigit kuku atau pemotongan yang tidak tepat, pemaparan dengan zat-zat kimia yang tajam, dan pemakaian sepatu yang tidak pas. Ketidaknyamanan
dapat mengarah pada stres fisik dan emosional.
Jenis alas kaki yang dipakai dapat mempengaruhi masalah kaki dan
kuku klien. Anak-anak seperti dewasa muda yang secara teratur gagal memakai kaus kaki akan memiliki keringat yang berlebihan yang meningkatkan pertumbuhan jamur. Sepatu sempit atau kurang pas, kaus kaki, ikat kaus kaki, atau
mengganggu sirkulasi kaki. Pengulangan pemakaian alas kaki juga menyebabkan infeksi. Karena itu gunakan kaus kaki dan stoking yang bersih setiap hari. Ganti
kaus kaki dua kali sehari jika kaki berkeringat banyak. Kaus kaki harus bebas lubang atau jahitan yang menyebabkan tekanan. Dan jangan berjalan dengan kaki
tanpa sepatu atau kaus kaki.
Beberapa masalah umum kaki dan kuku antara lain: infeksi jamur kaki (tinea pedis), kuku yang tumbuh ke dalam, dan bau kaki. Infeksi jamur kaki
merupakan ketidaksamaan sisi dan keretakan kulit terjadi antara jari dan tumit kaki. Kaki yang melepuh kecil berisi cairan dapat terlihat. Masalah ini disebabkan
pemakaian alas kaki yang ketat. Implikasi dari infeksi jamur dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain, khususnya tangan. Hal ini sangat menular dan seringkali kambuh. Intervensi untuk mengatasi kondisi ini sebaiknya kaki berventilasi baik.
Pengeringan kaki dengan baik setelah mandi dan penggunaan bedak membantu mencegah infeksi. Mengenakan kaus kaki atau stoking yang bersih mengurangi
insiden. Masalah kuku yang tumbuh ke dalam yaitu dimana jari kaki atau jari tangan masuk ke dalam jaringan yang halus sekitar kuku. Kuku yang masuk ke dalam akibat dari pemotongan kuku yang tidak tepat. Hal ini bisa menyebabkan
nyeri lokal jika terkena tekanan. Intervensinya adalah sering berendam pada larutan antiseptik yang panas dan pengangkatan bagian kuku yang telah tumbuh
ke dalam bagian kulit. Masalah lain yaitu bau kaki, dimana hal ini terjadi karena akibat keringat yang berlebihan yang meningkatkan perkembangan mikroorganisme. Implikasinya yaitu dapat menyebabkan ketidaknyamanan akibat
deodorant kaki dan bedak, dan pemakaian alas kaki yang bersih mencegah atau mengurangi masalah.
3. Kebersihan mulut
Hygiene mulut yang baik termasuk kebersihan, kenyamanan, dan
kelembaban struktur mulut. Hygiene mulut membantu mempertahankan status kesehatan mulut, gigi, gusi, dan bibir. Menggosok membersihkan gigi dari partikel-partikel makanan, plak; memasase gusi; dan mengurangi
ketidaknyamanan yang dihasilkan dari bau dan rasa yang tidak nyaman. Flossing membantu lebih lanjut dalam mengangkat plak dan tartar di antara gigi untuk
mengurangi inflamasi gusi dan infeksi. Hygienemulut yang lengkap memberikan rasa sehat dan selanjutnya menstimulus nafsu makan. Sepanjang masa hidup seseorang, perubahan fisiologi mempengaruhi kondisi dan penampilan struktur
rongga mulut. Anak dapat terjadi karies gigi pada gigi susu karena pola makan atau kurangnya perawatan gigi. Pada anak usia 8-6 tahun 20 gigi susu telah ada.
Usia 2 tahun anak mulai menggosok gigi dan belajar praktik hygiene dari orangtua, karies gigi menjadi masalah jika mengabaikan kebersihan gigi. Pada usia 6 tahun, gigi bayi mulai tanggal dan digantikan gigi permanen.
Tujuan pembersihan mulut antara lain, supaya mukosa mulut terhidrasi dengan baik dan mulut tetap terasa nyaman. Dua tipe masalah besar
mulut adalah karies gigi (lubang) yang paling sering dialami oleh orang muda dan penyakit periodontal yang sering dialami oleh orang dewasa. Perkembangan lubang merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email gigi pada
gigi menjadi kecoklatan atau kehitaman. Masalah mulut lainnya yaitu: halitosis (bau napas) yang merupakan akibat dari hygiene mulut yang buruk, pemasukan
makanan tertentu, atau proses infeksi atau penyakit. Hygiene mulut yang tepat dapat mengeliminasi bau kecuali penyebabnya adalah kondisi sistemik seperti
penyakit liver atau diabetes; keilosis, gangguan bibir yang retak terutama pada sudut mulut. Pemberian minyak pada bibir mempertahankan kelembaban, dan salep antijamur atau antibakteri memperkecil perkembangan mikroorganisme.
Mukosa, lidah, dan bibir akan menjadi merah muda, lembab, dan utuh serta gigi akan bebas dari partikel makanan jika dilakukan perawatan mulut
setelah makan dan sebelum tidur, seperti menggosok gigi dengan sikat gigi lembut dengan gerakan horizontal dan mencuci mulut juga bibir. Hal ini akan meningkatkan jaringan gusi, mengurangi kotoran, dan menghasilkan pengontrolan
plak. Sikat gigi yang lembut dengan gerakan horizontal membantu melindungi jaringan gusi yang lembut dan mencegah perdarahan. Gosok gigi dengan teliti
sedikitnya empat kali sehari (setelah makan dan waktu tidur) adalah dasar program hygiene mulut yang efektif. Sikat gigi harus memiliki pegangan yang lurus, dan bulunya harus cukup kecil untuk menjangkau semua bagian mulut.
Sikat gigi harus diganti setiap 3 bulan. Bahkan, permukaan sikat yang bulat dengan bulu yang lembut, banyak, dari nilon adalah yang terbaik. Bulu halus yang
bundar menstimulasi gusi tanpa menyebabkan abrasi atau perdarahan. Baik sikat atau spon yang digunakan, membilas dengan teliti setelah menggosok gigi penting untuk mengurangi partikel makanan yang dikeluarkan atau kelebihan pasta gigi.
Bagaimanapun penggunaan obat kumur dalam jangka waktu yang lama akan mengeringkan mukosa.
4. Kebersihan rambut
Rambut normal adalah bersih, bercahaya dan tidak kusut, untuk
kulit kepala harus bebas dari lesi. Sepanjang hidup, perubahan dan perkembangan, distribusi, dan kondisi rambut dapat mempengaruhi hygiene yang dibutuhkan seseorang. Praktik keperawatan rambut yang baik harus dilakukan rutin untuk
memenuhi kebutuhan hygiene seseorang. Perawatan rambut dan kulit kepala bertujuan untuk membersihkan kulit kepala dan rambut sehingga tetap terjaga
sehat dan mencapai rasa nyaman dan harga diri yang baik.
Penyikatan yang sering membantu mempertahankan kebersihan rambut dan mendistribusi minyak secara merata sepanjang helai rambut.
penyisiran hanya membentuk gaya rambut dan mencegah rambut kusut. Sisir bergerigi pendek cukup untuk rambut pendek, tapi sisir bergerigi panjang dipilih
untuk rambut keriting. Sisir bergerigi tajam dan tidak beraturan dapat melukai kulit kepala. Selain dari itu, bersampo juga sangat mempengaruhi kebersihan kulit kepala dan rambut. Bersampo membuat rambut bersih. Frekuensi bersampo
tergantung rutinitas pribadi sehari-hari dan kondisi rambut. Tetapi sampo yang tersisa menyebabkan rambut kusam. Sampo yang mengering menyebabkan iritasi
kulit kepala.
5. Kebersihan mata, telinga, dan hidung
Perhatian khusus diberikan untuk membersihkan mata, telinga, dan
diperlukan untuk mata karena secara terus-menerus dibesarkan air mata, dan kelopak mata dan bulu mata mencegah masuknya partikel asing. Seseorang hanya
memerlukan untuk memindahkan sekresi kering yang terkumpul pada kantus sebelah dalam atau bulu mata. Pembersihan mata biasanya dilakukan selama
mandi dan melibatkan pembersihan dengan waslap bersih yang dilembabkan dengan air. Sabun yang menyebabkan panas dan iritasi biasanya dihindari.
Hygienetelinga mempunyai implikasi utuk ketajaman pendengaran
bila substansi lilin atau benda asing berkumpul pada kanal telinga luar, yang mengganggu konduksi suara. Pembersihan telinga merupakan bagian rutin dalam
kegiatan mandi di tempat tidur. Pembersihan berakhir dengan waslap yang dilembabkan, dirotasikan ke kanal telinga dengan lembut, kerja terbaik untuk pembersihan.
Hidung memberikan indera penciuman tetapi juga memantau temperatur dan kelembapan udara yang dihirup serta mencegah masuknya partikel
asing ke dalam sistem pernapasan. Pembersihan hidung biasanya dilakukan dengan mengangkat sekresi hidung secara lembut dengan menggunakan tissue. Hal ini menjadi hygiene harian yang diperlukan. Jika mengeluarkan kotoran
dengan kasar bisa mengakibatkan tekanan yang mencederai gendang telina, mukosa hidung, dan bahkan struktur mata yang sensitif. Perdarahan hidung adalah
tanda kunci dari pengeluaran yang kasar, iritasi mukosa, atau kekeringan. 2.5.3 Faktor-faktor yang MempengaruhiPersonal Hygiene
Menurut Potter dan Perry (2005), sikap seseorang melakukanpersonal
1. Citra tubuh (Body Image)
Penampilan umum pasien dapat menggambarkan pentingnya
personal hygiene pada orang tersebut. Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang tentang penampilan fisiknya. Citra tubuh dapat berubah, karena operasi,
pembedahan atau penyakit fisik maka perawat harus membuat suatu usaha ekstra untuk meningkatkan hygiene dimana citra tubuh mempengaruhi cara mempertahankanhygiene. Body image seseorang berpengaruhi dalam pemenuhan
personal hygiene karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap kebersihannya.
2. Praktik sosial
Kelompok-kelompok sosial wadah seorang pasien berhubungan dapat mempengaruhi bagaimana pasien dalam pelaksanaan praktik personal
hygiene. Perawat harus menentukan apakah pasien dapat menyediakan bahan-bahan yang penting seperti deodorant, sampo, pasta gigi, dan kosmetik. Perawat
juga harus menentukan jika penggunaan dari produk-produk ini merupakan bagian dari kebiasaan sosial yang dipraktekkan oleh kelompok sosial pasien.
3. Status sosial ekonomi
Pendapatan keluarga akan mempengaruhi kemampuan keluarga untuk menyediakan fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk
memadai, seperti kamar mandi, peralatan mandi, serta perlengkapan mandi yang cukup (misalnya sabun, sikat gigi, sampo, dll).
4. Pengetahuan
Pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting, karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Pengetahuan tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik hygiene. Kendati demikian, pengetahuan itu sendiri tidaklah cukup, pasien juga
harus termotivasi untuk memelihara personal higiene. Individu dengan pengetahuan tentang pentingnya personal higeneakan selalu menjaga kebersihan
dirinya untuk mencegah dari kondisi atau keadaan sakit. 5. Kebudayaan
Kebudayaan dan nilai pribadi mempengaruhi kemampuan
perawatan personal higiene. Seseorang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, mengikuti praktek perawatan personal higiene yang berbeda. Keyakinan
yang didasari kultur sering menentukan defenisi tentang kesehatan dan perawatan diri. Dalam merawat pasien dengan praktik higiene yang berbeda, perawat menghindari menjadi pembuat keputusan atau mencoba untuk menentukan
standar kebersihannya. 6. Pilihan pribadi