• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi Kelembagaan dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Perikanan (Kasus di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimasi Kelembagaan dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Perikanan (Kasus di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten)"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten)

MUZANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Optimasi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Perikanan (Kasus di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten) adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

(3)

MUZANI. Institutional Optimization in Mangrove Ecosystem Based Fisheries Management (Case in Tangerang Regency of Banten Province). Under direction of ARIO DAMAR, DIETRIECH G. BENGEN and MUHAMMAD MUKHLIS KAMAL.

Mangrove ecosystems have important ecological, economic and social functions that need consideration in coastal development. Mangroves in Tangerang District are being degraded by human activities brought about by a range of stakeholders. The complexity of stakeholders creates problems through various government departments having overlapping jurisdictions. The research of optimization in the management of mangrove institutional aims to analyze the condition of the mangrove ecosystem, laws, and institutions associated with the management of mangroves. The data used is primary data and secondary data. Interpretative Structural Modeling (ISM) is used to analyze the institutional management of mangroves. In the coastal district of Tangerang there are 13 different types of stakeholders involved in mangrove management from government to local people. Each of these stakeholders has an interest and influence in mangrove management . Lack of coordination among stakeholders often results in a variety of management activities . The study recommends strategies to increase the role of stakeholders through improved coordination , information and collaboration among stakeholders .

(4)

MUZANI. Optimasi Kelembagaan dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Perikanan (Kasus di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten). Di bawah bimbingan ARIO DAMAR, DIETRIECH G. BENGEN dan MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.

Ekosistem mangrove mempunyai banyak fungsi untuk kawasan pesisir, antara lain fungsi ekologi, sosial dan ekonomi. Ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Tangerang telah mengalami kerusakan akibat salah satunya melalui alih fungsi lahan sebahagian besar untuk kegiatan pertambakan.

Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan suatu kegitan yang penting, kompleks dan dinamis. Penting karena mangrove memiliki fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, menjadi kompleks karena melibatkan multi stakeholder dengan karakter yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran selalu berubah dengan perubahan waktu. Melalui optimasi kelembagaan pengelolaan mangrove diharapkan dapat dioptimalkan untuk meminimalkan degradasi terhadap mangrove.

Penelitian tentang optimasi kelembagaan dalam pengelolaan mangrove ini telah dilakukan dengan tujuan menganalisa kondisi ekosistem mangrove, peraturan perundang-undangan, dan kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Interpretative Structural Modelling (ISM) digunakan untuk menganalisis kelembagaan pengelolaan mangrove.

Metode penelitian untuk menghitung perubahan luas lahan masing-masing katagori lahan menjadi katagori lain diperoleh dengan metode tumpang tindih. Peraturan perundangan terkait pengelolaan mangrove dianalisis dengan berbagai analisis. Analisis Kesenjangan (Gap Analisis) untuk menemukan peran peraturan terhadap degradasi mangrove, parameter yang digunakan adalah efektifitas peraturan. Analisis hak pemilikan parameternya adalah ketaatan terhadap kontrak. Aplikasi hak pemilikan dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik perilaku masyarakat dalam memanfaatkan mangrove. Kepastian pemilikan lahan garapan dianalisis berdasarkan analisis idealis terhadap parameter hak katagoris dan hak kongkrit atas kontrak kerja sama antara penggarap dengan Perhutani. Selanjutnya dilakukan analisis stakeholder menggunakan beberapa metode yaitu identifikasi stakeholderyang didapatkan dari hasil wawancara. Dalam mengidentifikasi stakeholder tahapannya yaitu membuat daftar stakeholder. Sumber data yang dapat digunakan untuk membuat list adalah hasil pengamatan, informasi dari berbagai masyarakat dan hasil survei. Kepentingan yang dapat diidentifikasi diantaranya melalui apa yang diharapkan dan apa yang dapat diperoleh olehstakeholder.

(5)

mangrove.

Selanjutnya stakeholders diklasifikasi berdasarkan posisinya dalam pengelolaan mangrove. Adapun kriteria tersebut adalah:(1). Stakeholder subyek: yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan tinggi dan pengaruh rendah (2). Stakeholder key player: yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan tinggi dan pengaruh yang tinggi terhadap sebuah fenomena (3).Stakeholder context setter: yaitu stakeholder yang memiliki kepentingan yang rendah dan pengaruh yang tinggi (4). Stakeholder crowd: yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang rendah dan pengaruh yang rendah. Hal ini diperlukan untuk menentukanstakeholdermana saja yang perlu sekali bisa bekerjasama.

Hasil penelitian memperlihatkan penurunan luasan lahan mangrove yang signifikan di pesisir Kabupaten Tangerang. Mangrove sudah mengalami pengurangan luasan yang signifikan dalam waktu kurang lebih 12 tahun. Pada lokasi penelitian khususnya di (tiga) kecamatan yaitu kecamatan Pakuhajii, kecamatan Teluknaga dan kecamatan Kosambi mangrove mengalami pengurangan luasan (33,9%). Dari analisis peraturan perundangan diketahui bahwa peraturan perundangan yang ada belum mampu memberikan kejelasan kewenangan dan kepastian hak serta masih terdapat tumpang tindih kewenangan pada kelembagaan yang terkait dalam pengelolaan mangrove di Tangerang. Penelitian ini menemukan bahwa diperlukan optimasi fungsi kelembagaan dalam pengelolaan mangrove saat ini adalah; optimasi fungsi informasi, optimasi fungsi koordinasi, optimasi fungsi kolaborasi dan optimasi fungsi pemberdayaan.

Hasil identifikasi faktor kunci penentu pengelolaan mangrove di Tangerang didasarkan pada faktor yang berpengaruh terhadap pengelolaan mangrove. Berdasarkan analisis diperoleh faktor faktor yang berpengaruh terhadap pengelolaan mangrove mencakup; (1) sumberdaya manusia (2) penegakan hukum, (3) alokasi dana (4) koordinasi kelembagaan, dan (5) partisipasi masyarakat. Alternatif kebijakan pengelolaan mangrove di Tangerang didasarkan pada skenario optimis dihasilkan alternatif kebijakan antara lain adalah kebijakan penegakan hukum, kebijakan pemberdayaan masyarakat, kebijakan penguatan kapasitas kelembagaan.

(6)
(7)

(Kasus di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten)

MUZANI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

(Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB) Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si

(Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB) Penguji pada Ujian Terbuka:

Dr. Ir. Rilus A Kinseng, MA

(Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia, IPB) Dr. Muhammad Zid, M.Si

(9)

SWT, karena berkat izinNya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi yang berjudul Optimasi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Perikanan (Kasus di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten).

Penyusunan disertasi ini telah melibatkan banyak pihak terkait, dan tanpa bantuan mereka penyusunannya mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Komisi pembimbing yaitu Dr. Ir. Ario Damar, M.Si (Ketua), Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA. (Anggota), dan Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc. (Anggota) atas segala bimbingan dan arahan;

2. Pengelola Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) IPB Bogor dan staf administrasinya;

3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional atas beasiswa yang diberikan;

4. Pimpinan Universitas Negeri Jakarta berserta jajarannya (Fakultas Ilmu Sosial) yang telah memberikan ijin dan rekomendasi tugas belajar;

5. Istri (drg Feriza Eliya) dan anak tercinta (Sabrina Jamila) atas segala doa, dukungan dan kesabaran dalam menunggu selama proses penyelesaian doktor; 6. Staf dosen dan teman-teman Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan

Lautan IPB Bogor;

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam upaya pengelolaan kawasan pesisir di Indonesia.

Bogor, Juli 2014

(10)

DAFTAR ISI...i

DAFTAR GAMBAR ...iv

DAFTAR TABEL...v

DAFTAR LAMPIRAN...vi

1 PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2. Rumusan Masalah ...2

1.3 Tujuan Penelitian ...3

1.4 Manfaat Penelitian ...3

1.5 Kerangka Pemikiran...3

1.6 Kebaharuan ...4

2 TINJAUAN PUSTAKA...5

2.1. Kelembagaan dan Peran Kelembagaan...5

2.1.1. Hak Pemilikan...10

2.1.2 Batas Kewenangan...12

2.1.3 Aturan Keterwakilan ...12

2.1.4 Kepastian Hak Pemilikan...13

2.1.5 Sistem Pengawasan ...14

2.1.6 Konsep Perilaku dan Kapasitas Penggarap...16

2.1.7 Pengendalian Hubungan Saling Ketergantungan...17

2.2 Ekosistem Mangrove ...18

2.2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove ...18

2.2.2 Fungsi dan Manfaat Mangrove ...20

2.2.3 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Mangrove ...23

2.2.4 Pengelolaan Mangrove...29

2.2.5 Dampak Kerusakan Mangrove ...31

(11)

3.2 Tahapan penelitian ...35

3.3 Teknik pengumpulan data...36

3.4 Metode analisis data...37

3.4.1 Kondisi mangrove ...37

3.4.2 Peraturan perundangan terkait mangrove ...38

3.4.3 Analisisstakeholder...39

3.4.4 Analisis Kelembagaan ...41

4KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN...45

4.1 Kondisi Geografi...45

4.1.1 Letak Geografis...45

4.1.2 Topografi...45

4.1.3 Iklim ...45

4.1.4 Karakter Pantai dan Kondisi Perairan...46

4.1.5 Kualitas Air...47

4.2 Kondisi Sosial Ekonomi ...49

4.2.1 Penduduk ...49

4.2.2 Pendidikan ...51

4.3 Sektor Perikanan Kelautan ...53

4.3.1 Perikanan Laut ...53

4.3.2 Perikanan Budidaya ...56

4.3.3 Budidaya Air Payau ...57

5 HASIL DAN PEMBAHASAN...59

5.1 Kondisi mangrove di kabupaten Tangerang ...59

5.2 Abrasi pantai ...62

5.3 Permasalahan pengelolaan mangrove ...63

5.3.1 Konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan ...63

5.3.2 Peraturan perundangan pengelolaan mangrove ...64

5.3.2.1 Peraturan yang terkait ...64

(12)

5.3.2.5 Orientasi Pemanfaatan Mangrove...71

5.3.2.6 Hak Pemilikan...71

5.3.2.7 Sistem Pengawasan ...72

5.3.3 Peranan hak pemilikan...75

5.3.4 Perilaku dan Kapasitas Penggarap ...87

5.4 Perilaku Stakeholder ...87

5.4.1 Stakeholder yang terlibat ...87

5.4.2 Tugas Pokok Stakeholder ...89

5.4.3 Klasifikasi dan Partisipasi Kelembagaan...90

5.5 Optimasi Fungsi Kelembagaan ...94

5.5.1 Optimasi Fungsi Informasi ...95

5.5.2 Optimasi Fungsi Koordinasi ...96

5.5.3 Optimasi Fungsi Kolaborasi ...97

5.6 Optimasi Struktural Kelembagaan ...98

5.6.1 Identifikasi Elemen dan Sub Elemen ...98

5.6.2 Tujuan yang ingin dicapai...100

5.6.3 Kebutuhan program ...103

5.6.4 Kendala dalam pengelolaan mangrove ...105

5.7 Skenario Pengelolaan...107

5.8 Implikasi Strategis (Alternatif Kebijakan)...110

5.9 Strategi Implementasi ...112

6 KESIMPULAN DAN SARAN ...125

6.1 Kesimpulan ...125

6.2 Saran ...126

DAFTAR PUSTAKA...127

(13)

1 Hubungan sosial pemanfaatan sumberdaya alam ...12

2 Perangkat hak berdasarkan strata...17

3 Indikator penting hasil sensus ...51

4 Penduduk dan luas kecamatan di pesisir Tangerang...51

5 Indikator Penting Pendidikan...53

6 Perubahan luasan mangrove di kabupaten Tangerang...60

7 Luas penutup lahan darah penelitian...61

8 Perubahan luas mangrove ...61

9 Pelaksanaan peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove ...65

10 Peraturan yang berpengaruh ...67

11 Nilai konpensasi pemanfaatan mangrove ...70

12 Komponen biaya pengamanan mangrove ...74

13 Sistematika penciptaan dan penghapusan kontrak...76

14 Kepastian hak penguasaan kontrak kerjasama Perhutani dengan penggrap ...80

15 Strata hak dan kewajiban kontrak ...86

16 Ketaatan penggarap terhadap kontrak sewa garapan ...87

17 Daftar kelembagaan ...88

18 Tugas pokok stakeholder ...89

19 Aspek pengelolaan mangrove berdasarkan tugas pokok ...90

20 Kepentingan dan pengaruh ...92

21 Matriks mekanisme partisipasi ...95

22 Sub elemen tujuan...100

23 Kebutuhan program ...103

24 Sub elemen kendala ...105

25 Kondisi variabel yang ditetapkan secara konsensus ...108

(14)

Halaman

1 MatriksStakeholderdan Pengaruh serta Tingkat Kepentingannya ...41

2 Persentase tingkat Pendidikan di kabupaten Tangerang ...52

3 Produksi Perikanan tangkap di laut 2006-2010 ...55

4 Perkembangan jumlah alat tangkap ...54

5 Perkembangan RTP penangkapan ikan di Laut ...56

6 Perkembangan produksi...57

7 Pergeseran garis pantai tahun 1990–tahun 2010...62

8 Akresi di Tajung Pasir kabupaten Tangerang ...63

9 Struktur organisasi BKPH...73

10 Matrik Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder ...93

11 Model optimasi struktur tujuan pengelolaan mangrove...101

12 MatriksDriver-PowerdanDependenceelemen tujuan...102

13 Model optimasi struktur kebutuhan pengelolaan mangrove ...104

14 MatriksDriver-PowerdanDependenceelemen kebutuhan ...104

15 Model optimasi struktur kendala pengelolaan mangrove ...106

(15)

Halaman

(16)

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem sumberdaya wilayah pesisir perairan tawar dan laut yang memiliki potensi sumberdaya alam tinggi. Salah satu sumberdaya wilayah pesisir adalah mangrove. Fakta menunjukkan bahwa kerusakan mangrove ada dimana-mana, bahkan intensitas kerusakan dan luasannya cenderung meningkat secara signifikan (Bratasida 2002). Penyebab kerusakan mangrove sangat beragam menurut ruang dan waktu. Secara umum kerusakan mangrove diakibatkan oleh; (1) faktor internal seperti alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman, industri dan adanya pencemaran limbah, pestisida dan logam berat, (2) faktor eksternal seperti DAS hulu yang menyebabkan tingginya sedimentasi dan akumulasi zat pencemar. Kegiatan konversi mangrove menjadi tambak, kawasan permukiman, dan perindustrian telah menyebabkan degradasi mangrove baik secara fisik maupun habitat.

(17)

mangrove yang ada disepanjang pantai utara Tangerang yang memiliki panjang 49 Kilometer saat ini rusak parah (Yayasan Peduli Lingkungan Hidup Tangerang). Rusaknya mangrove tersebut karena minimnya perhatian pemerintah akan dampak lingkungan yang terjadi disekitar pantai, banyaknya eksploitasi pasir pantai di wilayah Kabupaten Tangerang yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab serta maraknya pembangunan sejumlah proyek di bibir pantai tersebut. Mengingat pentingnya keberadaan mangrove untuk fungsi ekologisnya dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat pesisir, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan untuk menjamin kelestarian mangrove.

Dalam pengembangan mangrove, peran pemangku kepentingan dalam bentuk kelembagaan sangat penting terutama sebagai media penyebaran inovasi hasil pertanian (Budi 2009). Kelembagaan adalah suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya dan sekaligus mengatur hubungannya (Nasution 2002). Oleh karena itu upaya mengoptimalkan kelembagaan pengelolaan mangrove perlu diupayakan sebagai salah satu alternatif agar terjadi kelestarian ekosistem mangrove.

1.2 Rumusan Masalah

(18)

masyarakat yang meningkat dalam pemanfaatan kayu dan hutan (DPK Kabupaten Tangerang 2003).

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat optimasi kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di kabupaten Tangerang. Guna mewujudkan tujuan penelitian maka tahapan yang dilakukan adalah:

(1) Menganalisa kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Tangerang. (2) Menganalisa berbagai peraturan dan perundangan yang

mempengaruhi ekosistem mangrove di Kabupaten Tangerang.

(3) Menganalisa permasalahan pengelolaan mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang

(4) Menganalisa kelembagaan untuk pengelolaan mangrove berbasis perikanan

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Memberikan informasi dan pengetahuan tentang optimasi kelembagaan dalam pengelolaan mangrove.

(2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai suatu masukan bagi para pengambil kebijakan pengelolaan mangrove di Kabupaten Tangerang.

(3) Dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan bagi para peneliti lain yang akan melakukan pengelolaan mangrove dengan pendekatan kelembagaan.

1.5 Kerangka Pemikiran

(19)

teknologi, perilaku sosial, dan kesadaran masyarakat. Untuk pengelolaan mangrove tidak hanya menekankan pada aspek teknis atau non teknis saja, tetapi keduanya perlu dilaksanakan, dan secara menyeluruh salah satunya dengan menggunakan pendekatan kesisteman, bukan berdasarkan pendekatan yang terpisah yang hanya menekankan pada satu variabel saja. Pada penelitian ini pengelolaan ekosistem mangrove yang dicoba dilihat melalui optimasi peran pemangku kepentingan dalam bentuk kelembagaan sangatlah penting. Kelembagaan adalah suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya dan sekaligus mengatur hubungannya (Nasution 2002). Telah banyak kajian mengenai kelembagaan, tetapi masih menggunakan pendekatan hard system methodology sehingga kajian dengan menggunakan pendekatansoft system methodologyperlu untuk dilakukan.

1.6 Kebaharuan

(20)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelembagaan dan Peran Kelembagaan

Kelembagaan, institusi, pada umumnya lebih di arahkan kepada organisasi, wadah atau pranata. Organisasi berfungsi sebagai wadah atau tempat, sedangkan pengertian lembaga mencakup juga aturan main, etika , kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem.

Kelembagaan berasal dari kata lembaga, yang berarti aturan dalam organisasi atau kelompok masyarakat untuk membantu anggotanya agar dapat berinteraksi satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu lembaga juga dapat diartikan sebagai aturan dalam sebuah kelompok sosial yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, politk dan ekonomi.

(21)

Kelembagaan adalah suatu hubungan dan tatanan antara anggota masyarakat atau organisasi yang melekat, di wadahi dalam suatu jaringan atau organisasi, yang dapat menentukan suatu hubungan antara manusia atau organisasi dengan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik atau aturan formal dan nonformal untuk berkerjasama demi mencapai tujuan yang diinginkan. Kelembagaan berarti seperangkat peraturan yang mengatur tingakah laku masyarakat untuk mendapatkan tujuan hidup mereka. Kelembagaan berisi sekelompok orang yang bekerjasama dengan pembagian tugas tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Tujuan peserta kelompok dapat berbeda, tetapi dalam organisasi menjadi satu kesatuan. Kelembagaan lebih ditekankan pada aturan main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action) untuk mewujudkan kepentingan umum atau bersama. Kelembagaan menurut beberapa ahli, sebagian dilihat dari kode etik dan aturan main. Sedangkan sebagian lagi dilihat pada organisasi dengan struktur, fungsi dan menejemennya. Saat ini kelembagaan biasanya dipadukan antara organisasi dengan aturan main. Kelembagaan merupakan suatu unit sosial yang berusaha untuk mencapai tujuan tertentu dan menyebabkan lembaga tunduk pada kebutuhan tersebut.

Beberapa unsur penting dalam kelembagaan adalah institusi, yang merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat, norma tingkah laku yang telah mengakar pada kehidupan masyarakat dan telah diterima untuk mencapai tujuan tertentu, peraturan dengan penegakan aturan, aturan dalam masyarakat yang memberikan wadah koordinasi dan kerjasama dengan dukungan hak dan kewajiban serta tingkah laku anggota, kode etik, kontrak, pasar, hak milik, organisasi, insentif. Kelembagaan lokal dan area aktifitasnya terbagi menjadi tiga kategori, yaitu kategori sektor publik (administrasi lokal dan pemerintah lokal), kategori sektor suka rela (organisasi keanggotaan dan koperasi), organisasi swasta (organisasi jasa dan bisnis swasta).

(22)

dan staf wajib melaporkan laporan kegiatan pada satu atasan yang lebih tinggi, dan lembaga fungsi bertanggung jawab kepada lebih dari satu atasan yang sesuai dengan spesialisasinya masing-masing.

Tiga jenis dasar dari lembaga yaitu, lembaga sistem otoriter, terdapat dua tingkatan kedudukan, atasan dan bawahan. Atasan bertujuan membina dan menguasai yang lain, suka maupun tidak suka, biasanya ditentukan oleh keturunan, kekayaan, umur, pendidikan, kedudukan/kemampuan, hal ini menyebabkan atasan memutuskan segala sesuatu sendiri, lembaga sistem demokrasi , semua anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama dan seimbang, pemimpin berfungsi sebagai yang satu dari yang sama, lembaga sistem biarkan saja (laissez faire) semua anggota sama tingkat kedudukan dan fungsi sehingga pemimpin tidak memiliki arti dan tidak mempunyai fungsi.

Berdasarkan beberapa teori diatas dapat diketahui pengertian kelembagaan adalah suatu pola hubungan antara anggota masyarakat yang saling mengikat, diwadahi dalam suatu jaringan atau organisasi dengan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal dan non-formal untuk bekerjasama demi mencapai tujuan yang diinginkan.

(23)

organisasi biasanya merujuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintah, koperasi, bank dan sebagainya.

Kelembagaan menurut definisi Hayami dan Kikuchi (1987) dan Bardan (1989) dalam Peter (2000) mempunyai dua pengertian yaitu: Pertama, kelembagaan adalah suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal. Kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-haknya dan tanggung jawabnya. Kedua, kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki.

Menurut Pakpahan (1990) dalam Kartodihardjo (1998) kelembagaan atau institusi merupakan sistem yang kompleks rumit dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum adat istiadat, aturan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi) atau dalam bentuk bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrumen yang mengatur individu.

Kelembagaan meupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Sebagai organisasi kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti pemerintah, bank, koperasi, pendidikan, HPH dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan sedangkan aturan main merupakan perangkat lunak. Kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama (Shafer dan Smith dalam Pakpahan, 1989), yaitu batasan kewenangan (jurisdictional boundary), hak kepemilikan (property right) dan aturan perwakilan (rules of representation) yang uraiannya adalah sebagai berikut: (1) Batas kewenangan, diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya, faktor produksi, barang dan jasa. Oleh karena sumberdaya tersebut harus dikonsumsi secara bersama

(24)

ditentukan oleh empat hal yaitu; perasaan peserta sebagai suatu bagian masyarakat. Anwar (2001) menyatakan bahwa kewenangan berperan untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat keberlanjutan sumberdaya tersebut dan pembagian manfaat bersih yang diperoleh masing-masing pihak, (2) Hak kepemilikan, diartikan hak yang dimiliki seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya atau output tertentu yang diatur oleh suatu peraturan adat dan tradisi atau consensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Olehkarena itu tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak milik atau hak penguasaan apabila tanpa pengesahan dari masyarakat sekitarnya. Implikasinya adalah: 1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan 2) hak yang tercermin oleh kepemilikan adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya, (3) Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap keadaan dan ditentukan oleh kaidah perwakilan yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oeh kebutuhan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut.

Dengan demikian pengertian kelembagaan diatas memberikan gambaran bahwasanya jika kinerja pengelolaan hutan tidak sesuai dengan yang diharapkan, berarti institusi pengelolaan hutan tidak mengandung faktor-faktor yang menjadi pertimbangan masyarakat agar memberikan respon dan melakukan reaksi untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena lemahnya institusi dan kontrol pelaksanaannya, perilaku, kapabilitas organisasi pemerintah dan masyarakat. Menurut Schmidt (1987) dalam Kartodihardjo (2000), institusi atau kelembagaan dapat merubah faktor eksternal dalam proses pembangunan. Dengan demikian kelembagaan mampu melakukan perubahan. Dipihak lain kelembagaan dapat menjadi perubah faktor internal dalam pembangunan.

(25)

institusi menciptakan suatu sistem sosial yang kompleks. Kontribusi utama kelembagaan dalam proses pembangunan adalah mengkoordinasikan para pemilik input berupa tenaga kerja, kapital, manajemen dan lain lain, dalam proses transformasi dari input menjadi output. Pada saat yang bersamaan kelembagaan juga mengkoordinasikan distribusi output kepada pemilik input berupa individu, organisasi pemerintah dan lain lain, tergantung dari suatu analisis yang digunakan. Kemampuan suatu institusi dalam mengkoordinasikan, mengendalikan atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber interdependensi.

2.1.1 Hak Pemilikan

Hak pemilikan seperti dijelaskan oleh Schmid (1998) adalah menggambarkan hubungan individu dengan yang lainnya terhadap sumberdaya alam atau sesuatu yang lainnya. Hak merupakan instrumen masyarakat untuk mengendalikan hubungan saling ketergantungan manusia dan merupakan pemecahan terhadap siapa memperoleh apa. Hak adalah sesuatu yang disepakati, tidak statis, ia berangsur-angsur berubah dan sebagian sejalan dengan proses kesepakatan politis. Bromley (1991) dalam Hanna dan Munasinghe (1995), menyatakan bahwa hak pemilikan merupakan kumpulan hak yang diberikan dimana telah didefinisikan secara jelas hak dan kewajiban didalam pemanfaatan sumberdaya alam. Menurut Lynch (1993), hak pemilikan sumberdaya alam terdiri atas 6 (enam) kelompok besar yaitu: (1) hak menggunakan secara langsung; (2) hak memperoleh keuntungan ekonomi secara tidak langsung; (3) hak untuk mengendalikan; (4) hak memindahtangankan; (5) hak-hak residual, mewariskan; (6) hak simbolik. Hal pemilikan sumberdaya alam berdasarkan hubungan segitiga sosial pemberi hak, penerima hak dan pengakuan

(26)

menyatakan bahwa prasyarat melakukan pengaturan hak pemilikan bersama adalah : (1) bebas dari intervensi pihak luar; (2) memiliki batas yang jelas; (3) memiliki anggota yang jelas; (4) memiliki kebebasan membuat dan menerapkan aturan main; (5) laju pemanfaatan sumberdaya alam relative rendah dan seragam; (6) aturan main fleksibel; (7) hak dapat ditegakkan; (8) distribusi manfaat berkeadilan; (9) solusi konflik yang murah; (10) institusi secara berjenjang fleksibel dan mudah dikendalikan. Terdapat dua karakteristik kunci dalam hak pemilikan bersama, yaitu teridentifikasinya pengguna dan dipahaminya hak serta kewajiban di dalam memanfaatkannya.

Pemilikan perorangan didefinisikan oleh McKean (2000) adalah bentuk pengelolaan sumberdaya alam dimana pemiliknya memiliki kemampuan untuk mengeluarkan/mengecualikan pihak lain atas sesuatu yang telah menjadi haknya. Gibson, McKean, dan Ostrom (2000) menyatakan bahwa pemilikan swasta sangat bergantung pada keberadaan dan kemampuan untuk menegakkan peraturan dengan terlebih dahulu mendefinisikan siapa yang berhak mengerjakan atas sumberdaya alam.

Ellsworth (2004), menyatakan bahwa hak pemilikan negara adalah bentuk pengelolaan sumberdaya alam dimana pemiliknya adalah pemerintah atau lembaga publik yang diberi kuasa oleh negara. Hak pemilikan negara memiliki karakteristik dikuasai dan pengaturannya dilaksanakan pemerintah, pengaturan oleh pemerintah harus menjamin masyarakat untuk memperoleh hak untuk memanfaatkan secara berkeadilan.

(27)

Tabel 1 Hubungan sosial pemanfaatan sumberdaya alam Pelaku Satu orang Anggota Anggota Anggota Terbuka Pemanfaatan Individu Dibatasi Sumber: Ostrom dan Stevenson (1991) dan Ellswotrh (2004)

2.1.2 Batas Kewenangan

Menurut Schmid (1998) menyatakan bahwa batas kewenangan diartikan sebagai batas wilyah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap sumberdaya alam. Karena mangrove memiliki karakteristik dapat dikonsumsi dan dirasakan manfaatnya secara bersama maka persoalan batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan pengguna. Batas kewenangan berperan mengatur alokasi sumberdaya alam yang diindikasikan dengan kinerja tertentu.

2.1.3 Aturan Keterwakilan

(28)

berprilaku. Apabila kerusakan ekosistem mangrove masih meningkat berarti bahwa institusi yang ada tidak mampu mengendalikan hubungan saling ketergantungan antar manusia terhadap ekosistem mangrove. Kemungkinan penyebab adalah ketidakpastian hak pemilikan dan lemahnya sistem pengawasan.

2.1.4 Kepastian Hak Pemilikan

Hak pemilikan merupakan ikatan atau kumpulan hak untuk mengawasi dan menggunakan sumberdaya alam oleh seseorang atau sekelompok orang. Schmidt (1998) menyatakan bahwa kepastian hak menjadi sangat penting karena mempengaruhi kinerja ekonomi. Magrath (1998) dan Stevenson (1991) menyatakan bahwa apabila hak pemilikan terdefinisikan secara jelas, maka tindakan pengurasan sumberdaya alam menjadi tidak ekonomis sehingga mendorong kearah pemanfaatan secara berkelanjutan. Kepastian hak penguasaan tanah dijelaskan oleh Harsono (1999), adalah serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang hak untuk berbuat sesuatu (yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat) mengenai tanah yang menjadi haknya. Unsur kepastian hak penguasaan tanah terdiri atas hak katagoris dan hak konkrit.

Hak katagoris apabila hak penguasaan atas tanah belum dihubangkan dengan obyek dan suyeknya (invidu atau badan hukum) sebagai pemegang haknya, contohnya adalah hak milik, hak guna usaha dan lain-lain. Unsur-unsur hak katagoris adalah:

(1) Nama hak terkait dengan peraturan yang berlaku,

(2) Isi yang menyangkut: (a) kewenangan, yaitu kekuasaan dan pembatasan kekuasaan, serta pembeda, (b) kewajiban, yaitu memelihara potensi tanah, fungsi sosial tanah, fungsi ekologis tanah.

(3) Subyek hak menyangkut: (a) persyaratan; (b) pengaturan umum dan (c) pengaturan khusus.

(4) Obyek hak menyangkut pengaturan pokok dan pengaturan khusus.

(29)

sudah dihubungkan dengan obyek dan subyeknya (individu atau badan hukum) sebagai pemegang haknya. Unsur hak kongkrit adalah sebagai berikut:

(1) Penciptaan hak

(2) Pembebanan dengan hak-hak lainnya (3) Peralihan hak

(4) Hapusnya hak (5) Pembuktian hak

Hak atas lahan garapan mangrove dikatakan memberikan kapasitas apabila sistematika penciptaan sampai dengan penghapusan unsur-unsur hak katagoris dan hak kongkrit adalah dalam jangka panjang memberikan jaminan untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kepastian hak penguasaan secara teoritis berfungsi sebagai alat koordinasi yang efektif karena mengarahkan perilaku pemegang haknya untuk mengendalikan kerusakan mangrove.

2.1.5 Sistem Pengawasan

(30)

menciptakan permasalahan penghamburan sumberdaya alam dan memaksimalkan keuntungan, sehingga menghasilkan kerugian ekonomi dan sosial. Schmid (1987) dalam Kartodihardjo (1998) menyatakan bahwa institusi memiliki implikasi terhadap inisiatif dan kemampuan suatu organisasi untuk menjalankan penegakan peraturan guna mengatasi permasalahan komitmen, efisiensi, dan faktor eksternal yang mempengaruhinya.

Pengaturan yang efektif adalah membatasi pemanfaatan dan orang-orang yang memanfaatkan, serta mendefinisikan secara jelas hak, kewajiban dan memiliki kewenangan untuk mengecualikan orang-orang atau kelompok orang yang tidak memiliki hak (Stevenson 1991), Alikodra (2002), menyatakan bahwa terdapat 27 buah peraturan yang mengatur mengenai pengelolaan hutan mengrove yang kesemuanya mengarah kepada konservasi, namun dalam implementasinya banyak menghadapi hambatan karena perbedaan persepsi, ego sektor dan sulitnya penegakan hukum. Menurut Hirakuri (2003), pengaturan sumberdaya hutan di Brasil melalui peraturan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, ternyata tidak efektif mengendalikan kerusakan hutan.

(31)

berprilaku seperti itu. Tidak terkendalinya perilaku mengambil keuntungan tanpa berkontribusi terhadap pengelolaan sumberdaya alam adalah indikasi terjadinya kegagalan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam. Bertitik tolak dari teori-teori tersebut maka sistem pengawasan yang efektif adalah yang memberikan peran kepada penggarap untuk mengendalikan dirinya sendiri untuk tidak melakukan pemanfaatan secara berlebihan. Selain itu peningkatan kapasitas pengawasan sangat diperlukan guna memantau aktivitas pemanfaatan mangrove.

2.1.6 Konsep Perilaku dan Kapasitas Penggarap

(32)

Tabel 2 Perangkat hak berdasarkan strata

Strata Hak Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna Penikmat

Memasuki v v v v v

Memanfaatkan v v v v

Mengelola v v v v

Mengecualikan v v

Memindahtangankan v

Sumber: Ostrom (1999)

Kartodihardjo (1998), menyatakan bahwa rendahnya strata hak mengakibatkan pemegang hak tidak memiliki inovasi untuk melakukan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan. Dihubungkan dengan pemanfaatan ekosistem mangrove, rendahnya strata hak garapan mengarahkan perilaku penggarap untuk tidak memperlakukan ekosistem mangrove sebagai asset guna meningkatkan produktivitas usaha tambaknya. Oleh karena itu penggarap tidak berusaha untuk melindungi dan melestarikan ekosistem mangrove, karena dianggap sebagai penghambat untuk memaksimalisasikan keuntungannya.

2.1.7 Pengendalian Hubungan Saling Ketergantungan

Degradasi mangrove dapat terkendali apabila : (1) luasan mangrove yang dimanfaatkan untuk usaha tambak tidak melebihi kuota yang ditetapkan. Ketepatan dalam menentukan kouta tergantung kepada ketersediaan informasi yang diperlukan; (2) mangrove dapat ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya melalui peningkatan hasil rehabilitasi; (3) mangrove dapat dilindungi dari berbagai kerusakan, baik yang terjadi secara alami maupun karena gangguan keamanan hutan.

(33)

Hak pemilikan dapat mengendalikan perilaku penggarap untuk melakukan pemanfaatan mangrove secara lestari. Diaplikasikannya hak pemilkan dapat mendorong penggarap untuk melakukan rehabilitasi dan perlindungan mangrove secara partisipasif, karena dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas usahanya.

2.2 Ekosistem mangrove

2.2.1 Pengertian ekosistem mangrove

Mangrove adalah tumbuhan yang hidup pada daerah pasang surut yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang memiliki substrat berlumpur dan dapat tahan terhadap perubahan salinitas yang signifikan. Mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki muara sungai yang besar dan delta yang aliran airnya mengandung lumpur. Dilihat dari fungsi bagi ekosistem perairan, ekosistem mangrove memberikan tempat untuk memijah dan membesarkan berbagai jenis ikan, crustacea, dan spesies perairan lainnya (Nagelkerken dan Van Der Velde, 2004).

(34)

sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh.

Dengan demikian bentuk mangrove dan keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut (FAO 1994). Karakteristik ekosistem mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorfologi, hidrologi, dan drainase. Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Mangrove hidup pada daerah yang tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove. Ekosistem mangrove terdapat pada daerah yang terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat dan air pada ekosistem ini bersalinitas payau (2-22 PSU) hingga asin (hingga 38 PSU) (Bengen 2002b). Komunitas fauna mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok yaitu :

(1) Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular, primata, dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut.

(2) Kelompok fauna perairan/akuatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu tipe yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang dan tipe yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang, dan berbagai jenis avertebrata lainnya.

(35)

Dahuri (2004) mengatakan bahwa di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan satu jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis yang merupakan mangrove sejati (true mangrove). Vegetasi mangrove dapat dibagi menjadi tiga, yaitu vegetasi utama, vegetasi pendukung, dan vegetasi asosiasi. Di Pulau Bali dan Lombok ditemukan 17 spesies vegetasi utama, 13 spesies vegetasi pendukung dan 19 spesies vegetasi mangrove asosiasi (Kitamura 2004).

2.2.2 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Peranan penting ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya makhluk hidup, baik yang hidup diperairan, di atas lahan maupun tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut. Nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari ekosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat polusi (pencemaran) produksi bahan organik sebagai sumber makanan, sebagai wilayah/daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam ekowisata di banyak negara. Pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan penghalang alami dari badai, taufan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove juga telah berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat disekitarnya.

Terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:

(1) Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir.

(36)

(3) Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan topan.

(4) Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan.

(5) Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.

(6) Mangrove merupakan sumber bahan baku kayu dan atap dari nipah untuk bahan bangunan, kayu api dan bahan bakar, serta tambak untuk budidaya perikanan. Benih mangrove dapat dipanen dan dijual. Ikan, udang-udangan dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung dari mangrove untuk perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu mangrove juga sumber bahan tanin, alkohol dan obat-obatan. Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat alami bagi fauna yang menurut Chapman (1977) dalam Kusmana (1998) terdiri 5 (lima) habitat, yakni:

(1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga.

(2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga (terutama nyamuk).

(3) Permukaan tanah sebagai habitatmudskipperdan keong/kerang.

(4) Lubang permanen dan semi permanent di dalam tanah sebagai habitat kepiting dan katak.

(5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.

(37)

berfungsi sebagai penyaring berbagai jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk ke ekosistem ini (Abdullah 1988).

Peranan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dan daratan, serta kemampuannya untuk menstimulir dan meminimasi terjadinya pencemaran logam berat dengan menangkap dan menyerap logam berat tersebut.

Fungsi penting lainnya dari ekosistem mangrove adalah manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan produksi dari berbagai jenis hutan dan hasil ikutan lainnya. Dahuri (2004) mengidentifikasikan kurang lebih 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan manusia, baik produk langsung maupun tidak langsung yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat langsung, seperti: bahan baku bangunan, alat tangkap, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Sedangkan produk tidak langsung berupa tempat rekreasi dan sebagainya.

Fungsi biologis mangrove adalah sebagai sumber kesuburan perairan, tempat perkembangbiakan dan pegasuhan berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung-burung (khususnya burung air), habitat berbagai satwa liar dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali 2001).

Kontribusi yang paling penting dari mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya. Diperkirakan mangrove mampu menghasilkan bahan organik dari serasah daun sebanyak 7-8 ton/ha/tahun. Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7% dari dedaunan yang dihasilkan dikonsumsi langsung oleh hewan di dalamnya, sedangkan sisanya oleh makroorganisme (terutama kepiting) dan organisme pengurai diubah sebagai detritus atau bahan organik mati dan memasuki sistem energi.

(38)

2.2.3 Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Ekosistem Mangrove

Fisiografi Pantai

Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh.

Iklim dan Oceanografi

Faktor iklim yang berpengaruh bagi pertumbuhan mangrove meliputi cahaya matahari, curah hujan, suhu udara, dan angin, adalah sebagai berikut : Cahaya

Tanaman mangrove umumnya membutuhkan intensitas matahari tinggi atau penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800 kkal/m²/ hari.

Curah Hujan

Kondisi curah hujan dapat memberikan pengaruh bagi lingkungan pertumbuhan mangrove. Hal ini terutama disebabkan oleh suhu air dan udara serta salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Mangrove akan tumbuh dengan subur pada daerah dengan kisaran curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/ tahun.

Suhu Udara

(39)

beberapa jenis mangrove, yaitu : Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20 ºC, Rh. stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa, Ceriops spp., Excoecaria agalloca dan Lumintzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28 ºC, suhu optimum Bruguiera spp. 27 ºC, Xylocarpus spp. Berkisar antara 21-26 ºC dan X. granatum 28 ºC. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal 20ºC. Temperatur rata-rata-rata-rata udara yang penting untuk pertumbuhan mangrove berkisar 20º - 40ºC (Tomascik 1997). Suhu air juga merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan mangrove. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20ºC, sedangkan kisaran suhu musiman tidak lebih dari 5ºC . Temperatur yang tinggi (>40ºC) cenderung tidak mempengaruhi kehidupan tumbuhan mangrove .

Angin

Angin juga berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal.

Salinitas

Mangrove merupakan tumbuhan yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas, mereka juga dapat bertahan hidup pada lingkungan pantai yang sering kali tidak digenangi oleh air . Avicennia spp merupakan jenis yang paling memiliki kemampuan toleransi tinggi terhadap kisaran salinitas yang luas dibandingkan dengan jenis lainnya. Avicennia marinamampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati air tawar

sampai dengan salinitas 90 ‰. Pada kondisi salinitas yang ekstrim ini, pohon

(40)

Arus

Arus laut merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mangrove, terutama untuk peletakan atau penancapan semaian mangrove. Arus susur pantai mempunyai kontribusi terhadap pola penyebaran mangrove (Tomascik 1997). Arus yang sangat berperan di kawasan hutan mangrove adalah arus pasang surut. Daerah-daerah yang terletak di sepanjang sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang bisa mencapai puluhan kilometer, seperti yang terdapat di Sungai Barito (Provinsi Kalimantan Selatan). Panjang hamparan mangrove tergantung pada intrusi air laut yang sangat di pengaruhi oleh pasang surut air laut (Noor 1999).

Pasang surut

Zonasi vertikal mangrove mempunyai kaitan erat dengan pasang surut. Di Indonesia, areal yang selalu digenangi, walaupun pada saat pasang rendah, umumnya didominasi olehAvicennia albadanSonneratia alba.Areal yang digenangi oleh pasang sedang, didominasi oleh Rhizophora spp. Adapun areal yang digenangi pada saat pasang tinggi, dimana areal ini lebih ke arah darat, umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera spp dan Xylocarpus granatum. Sedangkan areal yang hanya digenangi pada saat pasang tertinggi saja, umumnya didominasi oleh jenis Bruguiera sexangula danLumnitzera littorea(Noor 1999).

Keterlindungan

(41)

tertutup. Pada daerah seperti ini, lebar hutan mangrove dapat mencapai 18 Km, seperti yang terdapat di Sungai Sembilang (Provinsi Sumatera Selatan) atau bahkan bisa mencapai lebih dari 30 Km seperti yang terdapat di Teluk Bintuni (Provinsi Irian Jaya).

Batimetri Perairan

Daerah pantai yang perairannya dangkal merupakan tempat yang banyak ditumbuhi mangrove. Kondisi tersebut dapat terlihat di daerah sepanjang pantai timur Pulau Sumatera (Selat Malaka), bagian timur, selatan dan barat Pulau Kalimantan, bagian tenggara pantai Pulau Irian (Laut Arafuru), serta di Pulau Halmahera. Vegetasi mangrove yang terdapat di daerah-daerah tersebut umumnya didominasi oleh famili Rhizophoraceae, Sonneratiaceae dan Verbenanceae Menurut Bengen (2002b) mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai yang perairannya dangkal dan memungkinkan ujung semaian mencapai dasar perairan dan menancap untuk kemudian bertumbuh. Selanjutnya, Chapman (1997) mengemukakan bahwa secara umum mangrove tidak ditemui di tempat-tempat dimana benih tidak dapat mengakar.

Substrat

Endapan lumpur yang cukup memadai merupakan salah satu faktor penentu kehadiran dan perkembangan mangrove . Sebagian besar hutan mangrove yang ada di pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian berasosiasi dengan substrat berlumpur. Jadi kebanyakan mangrove mempunyai kecenderungan umum untuk bertumbuh di substrat lunak (Tomascik 1997). Mangrove juga dapat berkembang baik pada substrat kapur, seperti mangrove yang terdapat di Pulau Rambut (Teluk Jakarta), Pulau Panjang dan Pulau Berau ( Provinsi Kalimantan Timur).

(42)

Oksigen Terlarut

Keadaan oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga kosentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari, yang dibatasi oleh waktu, musim, kesuburan tanah, dan organisme akuatik. Menurut Aksornkoae (1978), konsentrasi oksigen terlarut untuk mangrove 1,7-3,4 mg/l, lebih rendah dibanding diluar mangrove sebesar 4,4 mg/l.

Zonasi Mangrove

Zonasi hutan mangrove dari suatu tempat ke tempat lain berbeda tergantung pada kombinasi faktor-faktor yang mempengaruhi. Zonasi dapat juga diputuskan oleh kondisi lokal seperti penguapan air dari tanah yang mengakibatkan terjadi hipersalinitas. Hipersalin cenderung mematikan bakau membentuk daerah gundul (Nybakken 1992).

Ekosistem mangrove sangat rumit, karena terdapat banyak faktor yang saling mempengaruhi, baik didalam maupun diluar pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan tempat tumbuhnya kawasan mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi.

Selain itu tiga zona yang terdapat pada kawasan mangrove yang disebakan terjadinya perbedaan penggenangan yang juga berakibat pada perbedaan salinitas. Hal ini yang membuat adanya perbedaan jenis dikawasan mangrove.

Adapun pembagian kawasan mangrove berdasarkan penggenangan sebagai berikut :

(1) Zona “proksimal” yaitu zona yang terdekat dengan laut, pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis seperti Rhyzopora apicuta, R. mucronatadanSoneratia alba.

(43)

(3) Zona “distal” yaitu zona yang terjauh dari laut, pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis Heritiera littolis, Pongamia, Pandanus spp, danHibiscus tilliaceus.

Substrat, salinitas, kedalaman dan lama penggenangan serta ketahanan terhadap gelombang dan arus adalah faktor penentu tumbuh dan menyebarnya jenis-jenis mangrove. Pada daerah mangrove yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut, urutan vertikalnya dari spesies mangrove sangat jelas kelihatan.

Salah satu tipe zonasi mangrove di Indonesia (Bengen 2000 a);

(1) Daerah yang paling dekat dengan laut ditumbuhi jenis Avicennia dan Sonneratiabiasanya tumbuh pada lumpur dalam kaya bahan organik (2) Lebih kearah darat, umumnya didominasi olehRhizophoraspp. Di zona

ini juga ditumbuhiBruguieradanXylocarpus

(3) Kearah darat setelah zonaRhizophora spp, hutan mangrove didominasi oleh Bruguiera spp. Daerah yang paling dekat dengan daratan dimana terdapat zona transisi antara hutan mangrove dan hutan daratan rendah, umumnya ditumbuhiNypadan pandan laut (Pandanusspp).

2.2.4 Pengelolaan ekosistem mangrove

(44)

Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana pengelolaan ini harus dijadwalkan dan dikordinasi secara resmi di dalam rencana tata ruang daerah tersebut dan merupakan rencana tata ruang kabupaten. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan survei yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada dan aspirasi masyrakat perlu dinilai dan didengar melalui komunikasi langsung dan dipertimbangkan dalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian dan kerjasama dengan masyarakat setempat, maka rencana pengelolaaan tersebut tidak akan berfungsi dengan baik (Alikodra 1999).

Pengelolaaan hutan mangrove harus memperhatikan keterkaitan dengan ekosistem di sekitarnya sehingga tidak berorientasi dalam lingkup kecil. Saenger (1993) mengatakan bahwa pengelolaan mangrove harus mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut, sehingga secara ideal merupakan pengelolaan wilayah pesisir secara keseluruhan. Aspek sosial ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dan pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal tempat sumberdaya alam berada.

Pengelolaan ekosistem mangrove tidak boleh mengesampingkan masyarakat setempat, namun membuka akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut. Aspek sosial ekonomi diwujudkan dalam bentuk pengelolaan multiguna (Ahson 1993).

(45)

membutuhkan sifat akomodatif dari pihak-pihak terkait baik yang berada di sekitar maupun di luar kawasan.

Pada dasarnya kegiatan pelestarian mangrove dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya apabila lebih berpihak pada institusi yang paling rentan terhadap sumberdaya mangrove, yakni masyarakat. Masyarakat harus diberikan porsi yang lebih besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian mangrove. Dengan demikian persepsi masyarakat terhadap keberadaan mangrove perlu diarahkan kepada cara pandang pentingnya sumberdaya ini.

2.2.5 Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove

Kawasan pesisir merupakan wilayah yang secara ekologis sangat peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang meningkat, sehingga wilayah pesisir mengalami tekanan dan cenderung menurunkan kualitas lingkungan wilayah pesisir serta kerusakan-kerusakan kawasan pesisir. Kondisi tersebut tidak bisa secara parsial dilihat sebagai masalah salah satu sektor saja, walaupun sektor hulu yang menerima dampak terbesar adalah sektor perikanan. Masalah degradasi kualitas dan nilai ekonomi sumber daya alam merupakan masalah lintas sektoral yang membutuhkan penanganan yang terpadu, tidak hanya pada tataran komitmen namun sampai pada tataran aksi manajemen pengelolaan ekosistem.

(46)

tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat.

Dalam pengelolaan mangrove di Indonesia terdapat beberapa isu yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan mangrove tersebut. Masalah-masalah utama (isu) yang berhubungan dengan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Indonesia dapat dibagi menjadi empat isu yaitu:

(1) Isu Ekologi

a. Sekitar 57 % dari total luas mangrove Indonesia berada dalam kondisi rusak, sehingga fungsi ekologis mangrove menurun. b. Konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove yang diharapkan

mampu meningkatkan fungsi ekologi masih dianggap sebagai beban, bukan tanggung jawab.

(2) Isu Sosial Ekonomi

a. Keterbatasan pemahaman tentang nilai dan fungsi ekosistem mangrove di antara penentu kebijakan dan masyarakat

b. Keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan dan implementasi pengelolaan ekosistem mangrove belum optimal

c. Kegiatan budidaya pada ekosistem mangrove yang ramah lingkungan dan berkelanjutan masih belum berkembang

(3) Isu Kelembagaan

a. Koordinasi pengelolaan serta penjabaran peran dan tanggung jawab instansi terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove belum berjalan b. Lemahnya kerangka kerja kelembagaan (pusat–daerah) yang berwenang

dalam pengelolaan ekosistem mangrove

c. Belum ada instansi yang disepakati untuk diberikan peranan kunci lintas sektoral untuk menjamin keharmonisan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove.

(4) Isu Peraturan Perundang-Undangan

a. Kebijakan pengelolaan dan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan ekosistem mangrove dan wilayah pesisir masih bersifat sektoral.

(47)

c..Payung hukum pengelolaan ekosistem mangrove pada tingkat operasional masih banyak kelemahan.

2.2.6 Korelasi Ekosistem Mangrove dan Perikanan

Siregar, dan Purwoko (2002) menyatakan, kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkorelasi secara timbal balik. Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan atau lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.

Di antara elemen ekosistem pesisir yang ada, mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemaran. Dalam tinjauan siklus biomasa, mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin dan pemijahan dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di ekosistem mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (dentritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah (contoh: daun, ranting dan bunga). Selama proses dekomposisi, serasah berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme penyaring makanan, pemakan partikulat dan pemakan deposit seperti moluska, kepiting dan cacing.

(48)

2.3 Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

2.3.1 Pengelolaan Pesisir Terpadu

Menurut Sain dan Krecth Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T) adalah proses yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang dapat diterima secara politis.

Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan. Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir yaitu: 1) UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alamdan Ekosistemnya. 2) UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang. 3) UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan LingkunganHidup. 4) UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah. 5) PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. 6) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 7) Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah. 8) Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.

(49)

Al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999). Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses iteratif dan evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah keterpaduan (integration) dan koordinasi.

2.3.2 Pengelolaan Pesisir Secara Berkelanjutan

Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital (capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (dekratisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Wiyana, 2004).

(50)

jasalingkungan pesisir. Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ini palingkurang memiliki empat tahapanutama : (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4) evaluasi (Cicin-Sain and Knecht 1998). Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulandan analisis data gunamengidentifikasi kendala dan permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategidan pemilihan strukturimplementasi untukmencapai tujuan tersebut. Oleh karena tujuan ICZM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara berkelanjutan maka keterpaduan dalamperencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu: (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b) keterpaduan sektor; (c) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder. Dengan kata lain,penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholderssecara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

2.3.3 Kelembagaan Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu

(51)

berkesinambungan dan dinamis dengan mempertimbangkan segala aspek sosio-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Rohmin, 2001). Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu adanya perubahan paradigma dalam pembangunan wilayah pesisir dimana perencanaan sektoral yang berpotensi menimbulkan berbagai kepentingan instansi ke perencanaan terpadu yang melibatkan stakeholders yang berkepentingan di wilayah tersebut.

Pengaturan Hukum dan Kelembagaan

(52)
(53)
(54)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di pesisir Kabupaten Tangerang. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan kondisi kawasan mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang mengalami degradasi yang masih terus berlangsung. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Juli 2012.

3.2 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam beberapa kegiatan yaitu: 1) mengetahui kondisi ekosistem mangrove 2) mengetahui berbagai peraturan dan permasalahan serta stakeholders dalam pengelolaan mangrove, dan 3) mengoptimasi kelembagaan pengelolaan mangrove serta menyusun alternatif kebijakan.

Analisis spasial vegetasi mangrove dilakukan untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove saat ini dan perubahannya dengan menggunakan sistem informasi geografi. Hasil analisis ini memberikan gambaran kondisi mangrove berupa perubahan tutupan lahan di wilayah tersebut.

Analisis peraturan perundangan pengelolaan mangrove di pesisir Tangerang mencakup kebijakan yang telah dirumuskan selama ini. Hasil analisis ini berupa deskripsi peran peraturan serta kepastian hak pemilikan dalam mengatasi kerusakan mangrove.

(55)

Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Penelitian

NO JENIS DATA SUMBER DATA METODE ANALISIS Vegetasi

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara survei dan melalui pengamatan serta wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun terhadap stakeholder dan instansi atau pihak-pihak yang terkait. Menurut Nazir (1988), metode survei adalah penelitian yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual baik tentang instansi sosial dan ekonomi dari usaha kelompok atau suatu daerah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari catatan yang berupa laporan atau arsip hasil-hasil penelitian yang relevan dari lembaga-lembaga atau instansi yang terkait.

Sumber data adalah responden dari berbagaistakeholder, yaitu: (1) Instansi atau lembaga pemerintah yang terkait dengan pengelolaan

mangrove, seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Perum Perhutani, KPH Bogor, BKPH Parung Panjang, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang, Kecamatan-Kecamatan Pesisir Kabupaten Tangerang.

Gambar

Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Penelitian
Gambar 1 Matriks pengaruh dan kepentingan stakeholder
Tabel 3 Indikator Penting Hasil Sensus Penduduk 2010
Gambar 6 Perkembangan produksi budidaya air payau 2006-2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, mengetahui bentuk- bentuk kelembagaan, struktur kelembagaan, mekanisme dan output dari bentuk- bentuk kelembagaan dan

Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pada ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh (1) rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai sumberdaya

Sedangkan model regresi luas hutan mangrove dengan beberapa komoditi (ikan belanak, udang, kerang, kepiting, dan teri) adalah: (1) regresi luas hutan mangrove

Salah satu sumberdaya ekosistem pesisir yang mengalami tingkat kerusakan ( degradasi ) yang cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang tidak memperhatikan aspek

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung pendugaan nilai potensi manfaat perikanan sumbangan dari serasah mangrove serta membuat model dinamik pengelolaan mangrove

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung pendugaan nilai potensi manfaat perikanan sumbangan dari serasah mangrove serta membuat model dinamik pengelolaan mangrove

Salah satu alasan yang menjadikan ekosistem mangrove sangat terkait dengan perairan di sekitarnya adalah keunikan ekosistem mangrove yang merupakan batas yang menghubungkan

Mangrove merupakan tumbuhan yang memiliki kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas, mereka juga dapat bertahan hidup pada lingkungan pantai yang