PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN VITAMIN B12
TERHADAP VITAMIN B12 SERUM, HEMOGLOBIN,
DAN DAYA INGAT ANAK PRASEKOLAH
ZULHAIDA LUBIS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengaruh Pemberian Suplemen Vitamin B12 terhadap Vitamin B12 Serum, Hemoglobin dan Daya Ingat Anak Prasekolah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2008
ABSTRACT
ZULHAIDA LUBIS. Effect of Vitamin B12 Suplement on SerumVitamin B12, Hemoglobin and Memory Level of Preschool Children. Supervised by HARDINSYAH, HIDAYAT SYARIEF, FASLI JALAL and MUHILAL
This research was aimed to analyze of vitamin B12 deficiency and its risk factors, and the effect of vitamin B12 suplementation on serum vitamin B12, hemoglobin and memory level of preschool children. A randomized community controlled trial of 32 preschool children ( 4-6 year) was applied for 6 months. Subjects divided in to 2 groups, treatment group (received 10 μg of vitamin B12 syrup daily) and control group (placebo). Serum vitamin B12, hemoglobin and memory level of children was measured before and after the intervention. In the baseline, vitamin B12 deficiency and anemia among preschool children was 24,1 % and 46.7 % respectively. Low intake of vitamin B12, protein and calsium are the risk faktors of vitamin B12 deficiency. After 6 month of vitamin B12 suplementation, prevalence of vitamin B12 deficiency of treatment group decreased from 26.7 % to 0.0 %, while in the control group increase from 21.4 % to 28.6 %. The mean increasing of vitamin B12 serum was different significantly among the two group (148.4±110.9 pg/mL in the treatment group and 3.7±12.8 pg/mL in the control group, p ≤ 0.000). The mean change of hemoglobin was different significantly among the two group (1.0±1.3 g/dl in the treatment group and -2±1.2 g/dl in the control group, p ≤ 0.017). Among the anemia children, the mean change of hemoglobin also was different significantly between intervention and control group (2.0±1.2 g/dl in the treatment group and 0.5±0.7 g/dl in the control group, p ≤ 0.028). Memory level was effected by vitamin B12 suplementation for the overall children with Relative Risk (RR) was 19.5. Among the anemia children, memory level was effected by vitamin B12 suplementation with Relative Risk (RR) was 10.0. These result imply the important of vitamin B12 suplementation on improving vitamin B12, hemoglobin and memory level of preshool children.
RINGKASAN
ZULHAIDA LUBIS. Pengaruh Pemberian Suplemen Vitamin B12 terhadap Vitamin B12 Serum, Hemoglobin dan Daya Ingat Anak Prasekolah. Dibimbing oleh HARDINSYAH, HIDAYAT SYARIEF, FASLI JALAL dan MUHILAL
Masalah gizi mikro maupun gizi makro pada anak prasekolah masih banyak ditemukan di Indonesia. Kekurangan gizi pada usia ini akan mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Beberapa penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara kekurangan vitamin B12 dengan penurunan fungsi kognitif. Keterkaitan antara vitamin B12 dengan kemampuan kognitif diduga melalui perannya dalam pembentukan hemoglobin dan pemeliharaan myelin syaraf. Telah dilaporkan bahwa rendahnya status gizi mikro khususnya di Indonesia sangat erat kaitannya dengan rendahnya konsumsi pangan hewani yang umumnyanya ditemukan pada keluarga ekonomi lemah. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang masalah defisiensi vitamin B12 dan bersifat eksperimental dalam upaya penanggulangan masalah gizi dan perbaikan perkembangan anak.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis masalah defisiensi vitamin B12 serta faktor-faktor risikonya, menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap kadar vitamin B12, hemoglobin dan daya ingat anak prasekolah. Disain penelitian adalah “randomized community controlled trial” terhadap 32 anak usia prasekolah. Penelitian dilakukan di TK Al-Zahra Desa Ciherang Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor selama 12 bulan dari bulan Juli 2006 sampai Juni 2007, mulai dari pengurusan ijin, ethical clerance, persiapan suplemen dan intervensi selama 6 bulan (24 minggu). Contoh dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok secara random yaitu kelompok intervensi (menerima vitamin B12 dengan dosis10 μg vitamin B12 dalam 2.5 ml) dan kelompok kontrol (plasebo) diberikan setiap hari. Kadar vitamin B12 serum diukur dengan metode AxSYM (Abbott Laboratories 2005) dan kadar hemoglobin diukur dengan metode ‘cyanmethemoglobyn’. Daya ingat anak diukur dengan metode mengingat gambar dengan menyebutkan gambar apa saja yang dilihat pada gambar yang ditunjukkan selama 30 detik, kemudian diberi skor untuk setiap obyek dalam gambar. Pengumpulan data dilakukan dua kali pada awal dan akhir intervensi.
hemoglobin juga meningkat 1.0±1.3 g/dl pada kelompok intevensi dan menurun pada kelompok kontrol 0.2±1.2 g/dl, perubahan kadar hemoglobin tersebut berbeda signifikan pada kedua kelompok (p= 0.017). Bila dianalisis khusus pada kelompok yang anemia, terjadi peningkatan kadar hemoglobin pada kedua kelompok masing-masing 2.0±1.2 g/dl pada kelompok intervensi dan 0.5±0.7 g/dl pada kelompok kontrol. Hal yang sama juga ditemukan pada kelompok yang anemia, perubahan kadar hemoglobin kedua kelompok pada contoh yang anemia berbeda signifikan (p=0.028). Demikian juga rata-rata skor daya ingat mengalami peningkatan pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol masing-masing 13.7±4.5 poin dan 9.1±2.4 poin, dan terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan skor daya ingat pada kedua kelompok (p=0.002). Hasil analisis regresi logistik pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap daya ingat, menunjukkan bahwa suplementasi vitamin B12 berpengaruh positif dan signifikan terhadap daya ingat anak. Nilai relative Risk (RR) 19.5 pada suplemen vitamin B12 menunjukkan bahwa peluang anak yang menerima suplemen vitamin B12 19.5 kali kelompok kontrol untuk mempunyai daya ingat diatas rata-rata. Demikian juga untuk contoh yang anemia, pemberian vitamin B12 berpengaruh positif dan signifikan terhadap daya ingat dengan nilai RR 10.0, artinya contoh yang anemia dan memperoleh suplemen vitamin B12 mempunyai peluang 10 kali lebih besar dibandingkan contoh yang anemia dan menerima plasebo untuk mempunyai daya ingat diatas rata-rata.
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini dan mempertimbangkan harga pangan hewani sebagai sumber vitamin B12 dan zat besi semakin meningkat pesat, diharapkan perbaikan status vitamin B12 perlu dimasukkan dalam program perbaikan gizi bersama dengan perbaikan status antropometri dan hemoglobin terkait dengan upaya peningkatan kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak, melalui pendekatan sekolah dan/atau komunitas dengan prioritas di daerah tertinggal. Selain itu juga diperlukan studi efikasi lanjutan untuk menganalisis pemberian berbagai jenis intervensi vitamin B12 melalui pangan atau suplemen terhadap perbaikan status gizi dan perkembangan kognitif anak.
Kata-kata kunci : vitamin B12 serum, hemoglobin, daya ingat, suplemen vitamin B12, anak prasekolah
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN VITAMIN B12
TERHADAP VITAMIN B12 SERUM, HEMOGLOBIN
DAN DAYA INGAT ANAK PRASEKOLAH
ZULHAIDA LUBIS
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
2. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MSi
Penguji pada Ujian Terbuka :
1. Dr. Gutama (Direktur PAUD Dirjen PFNI Depdiknas RI)
Judul Disertasi : Pengaruh Pemberian Suplemen Vitamin B12 terhadap Vitamin B12 Serum, Hemoglobin dan Daya Ingat Anak Prasekolah
Nama : Zulhaida Lubis NRP : A 561030051
Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Hardinsyah, MS Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS Ketua Anggota
dr. Fasli Jalal, PhD Prof. Dr.Muhilal, APU
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MSi Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
PRAKATA
Rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Judul disertasi ini adalah ’Pengaruh Pemberian Suplemen Vitamin B12 terhadap Vitamin B12 Serum, Hemoglobin dan Daya Ingat Anak Prasekolah’, penelitiannya dilaksanakan dari bulan Juli 2006 sampai Juni 2007 di Taman Kanak-kanak Az-Zahra Desa Ciherang Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hardinsyah MS, Prof. Dr. Ir Hidayat Syarief MSc, dr. Fasli Jalal, PhD, dan Prof. Dr. Muhilal APU yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan ilmu dan saran kepada penulis. Kepada Prof. Dr. Drh. Clara M. Kusharto MSc penulis ucapkan terima kasih atas kesediannya memberi ulasan dan masukan pada kolokium untuk melengkapi disertasi ini. Terima kasih kepada Dr.Ir.Budi setiawan, MS dan Dr.Ir.Hadi Riyadi, MS yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian tertutup. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh staf pengajar program studi GMK Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh studi, serta seluruh staf administrasi GMK dan Pascasarjana atas pelayanan yang telah diberikan.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, dan Ketua Departemen Gizi Masyarakat FKM USU, atas ijin dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan. Kepada Ibu Anita dan Bapak Sigit dari PT. Kalbe Farma Indonesia penulis ucapkan terima kasih atas bantuannya mulai dari formulasi sampai pengemasan suplemen sirup vitamin B12 yang digunakan dalam penelitian ini. Tidak lupa terimakasih disampaikan kepada Dr. Gutama selaku Direktur PAUD Depdiknas RI yang telah memberikan bantuan sebagian biaya pelaksanaan penelitian untuk disertasi ini. Disamping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada ibu Kulsum sebagai pemilik dan Kepala TK Al-Zahra dan seluruh murid beserta orangtua murid, dr. Maryanto selaku Kepala Puskesmas Ciherang, Dra. Ratna Marpaung dari Laboratorium RS PMI Bogor, atas partisipasinya selama pelaksanaan penelitian.
Ungkapan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan: Dr. Evawany Aritonang Msi, Dr. Ai Nurhayati Msi, Dr. Diffah Hanim MSi, Dr. Esi Emilia MSi, Dr. Sri Purwaningsih MSi, Dr. Suryono MSi, Dr. Yuliana MSi, Dr. Prihananto Msi, Dr. Dwi Hastuti MSc, Ir. Istiqlaliyah MS, dan seluruh teman-teman program S3 GMK atas kebersamaannya selama kuliah di Pascasarjana IPB. Kepada kakak Dra. Jumirah Apt, MKes dan teman sejawat Dr. Drs. Surya Utama MS di FKM USU penulis ucapkan terimakasih atas bantuan dan semangat yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.
Anwar Dachlan. Kepada suami tercinta Nasrulloh dan anak-anak tersayang Humaira Anggie Nauli, Muhammad Dimas Ardiaz, dan Anne Aisya Gebriella terimakasih atas semua pengorbanan, pengertian, kesabaran, doa dan kasih sayangnya.
Kepada semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah ber partisipasi dalam penyelesaian studi ini penulis ucapkan terimakasih, semoga Alloh memberi balasan atas semua kebaikannya.
Semoga disertasi ini bermanfaat dan dapat memberi sumbangan yang berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Mei 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara tanggal 29 Mei 1962, anak keempat dari sepuluh bersaudara dari Bapak Sutan Bugis Lubis dan Ibu Siti Hawana Nasution. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB Bogor, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1990 penulis menempuh studi Magister di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat peminatan Gizi Masyarakat di Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, dengan beasiswa pendidikan dari Proyek Pengembangan FKM Indonesia dan lulus pada tahun 1993. Tahun 2003 diterima sebagai mahasiswa program doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa pendidikan dari BPPS DIKTI.
Penulis bekerja sebagai dosen di Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan dari tahun 1989 sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 4
Manfaat ... 4
Hipotesis... 5
TINJAUAN PUSTAKA ... 6
Biokimia dan Fungsi Vitamin B12... 6
Absorbsi Vitamin B12... 11
Transport dan Metabolisme Vitamin B12 ... 13
Defisiensi Vitamin B12 ... 16
Kebutuhan dan Sumber Pangan Vitamin B12... 24
Penilaian Status Vitamin B12 ... 25
Hemoglobin dan Vitamin B12 ... 31
Daya Ingat ... 33
Pengukuran Daya Ingat ... 36
Hubungan Gizi dengan Daya Ingat ... 37
KERANGKA BERPIKIR ... 48
METODE Disain, Lokasi dan Waktu ... 52
Contoh, dan Tehnik Penarikan Contoh ... 54
Pelaksanaan Intervensi ... 55
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 57
Validitas dan Kontrol Kualitas Data ... 60
Pengolahan dan Analisis Data ... 61
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh ... 65
Jumlah Anggota Keluarga ... 65
Urutan Anak Dalam Keluarga... 65
Umur Anak dan Orangtua ... 66
Pendidikan Ayah dan Ibu ... 67
Pekerjaan Ayah dan Ibu ... 68
Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga ... 68
Keadaan Kesehatan Contoh ... 69
Konsumsi Pangan dan Gizi ... 71
Jenis dan Frekuensi Konsumsi Pangan ... 71
Kebiasaan Konsumsi Pangan ... 72
Konsumsi dan Kecukupan Gizi... 75
Status Gizi ... 79
Vitamin B12 Serum dan Status Vitamin B12 ... 85
Kadar Vitamin B12 Serum ... 85
Status Vitamin B12 ... 86
Faktor Risiko Defisisensi Vitamin B12 ... 87
Pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap kadar vitamin B12 serum .... 91
Hemoglobin dan Anemia ... 91
Pengaruh Suplemen Vitamin B12 terhadap Daya Ingat ... 95
Pembahasan ... 97
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan... 104
Saran.. ... 105
DAFTAR PUSTAKA ... 106
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Penyerapan vitamin B12 dari pemberian berbagai dosis secara oral pada
Kondisi penyerapan normal dan tidak normal ... 13
2 Tahapan perkembangan status vitamin B12 dari normal sampai defisiensi ... 17
3 Kecukupan vitamin B12 berdasarkan kelompok umur... 25
4 Kekuatan dan kelemahan beberapa indikator penilaian status vitamin B12. 31 5 Beberapa hasil studi tentang defisiensi vitamin B12 dengan berbagai disain penelitian ... 42
6 Tahapan dan waktu kegiatan penelitian ... 53
7 Aspek, peubah dan pengukuran ... 59
8 Penentuan skor ingatan berdasarkan jenis gambar... 63
9 Distribusi jumlah anggota keluarga contoh berdasarkan kelompok perlakuan ... 65
10 Distribusi urutan anak dalam keluarga berdasarkan kelompok perlakuan.... 66
11 Distribusi rata-rata umur ayah dan ibu berdasarkan kelompok perlakuan ... 66
12 Distribusi pendidikan ayah dan ibu berdasarkan kelompok perlakuan... 67
13 Distribusi pekerjaan ayah dan ibu contoh berdasarkan kelompok perlakuan . ... 67
14 Distribusi rata-rata pendapatan dan pengeluaran berdasarkan kelompok perlakuan ... 69
15 Distribusi kondisi lingkungan tempat tinggal keluarga contoh berdasarkan kelompok perlakuan ... 71
16 Distribusi frekuensi konsumsi pangan berdasarkan kelompok perlakuan .... 72
17 Rata-rata jumlah konsumsi pangan per hari berdasarkan data semi FFQ... 74
18 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi per hari berdasarkan data recall ... 75
20 Rata-rata kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan data recall ... 77
21 Rata-rata kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan data semi FFQ ... 78
22 Sebaran status gizi contoh berdasarkan kelompok perlakuan... 80
23 Rata-rata Z-skor untuk indeks BB/U dan TB/U ... 82
24 Rata-rata kadar vitamin B12 serum ... 85
25 Analisis diskriminan faktor risiko defisiensi vitamin B12... 88
26 Distribusi konsumsi gizi dan karakteristik keluarga berdasarkan status vitamin b12 ... 89
27 Distribusi rata-rata konsumsi gizi berdasarkan status vitamin B12 ... 90
28 Analisis regresi pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap kadar serum vitamin B12... 91
29 Rata-rata kadar Hb contoh berdasarkan kelompok perlakuan ... 92
30 Sebaran contoh berdasarkan status anemia ... 93
31 Rata-rata kadar Hb pada contoh yang anemia... 94
32 Rata-rata skor daya ingat pada awal dan akhir penelitian... 95
33 Analisis regresi logistik pengaruh suplemen vitamin b12 terhadap perubahan daya ingat ... 96
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur vitamin B12 (cobalamin) ... 6
2 Peran vitamin B12 dalam metabolisme L-methylmalonyl-CoA menjadi Succinyl-CoA ... 8
3 Peran vitamin B12 dalam metabolisme homocysteine menjadi methionine 9 4 Absorbsi vitamin B12 dalam saluran pencernaan... 11
5 Metabolisme vitsmin B12 pada manusia ... 15
6 Sistem pemrosesan informasi... 34
7 Kerangka pemikiran studi pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap status vitamin B12, hemoglobin dan daya ingat anak ... 49
8 Langkah-langkah penentuan contoh ... 55
9 Persentase anak gizi kurang (underweight)... 80
10 Persentase anak pendek (stunted) ... 81
11 Rata-rata Z-skor BB/U selama intervensi ... 82
12 Rata-rata Z-skor TB/U selama intervensi ... 83
13 Rata-rata pertambahan berat badan selama intervensi ... 84
14 Rata-rata pertambahan tinggi badan selama intervensi... 84
15 Persentase contoh yang mengalami defisiensi vitamin B12 ... 87
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Persetujuan Etik (Ethical Clerance) ... 114
2 Naskah Informed Concent... 115
3 Pengambilan Darah/Biokimia ... 118
4 Pengukuran daya ingat anak ... 122
5 Kuesioner Penelitian ... 126
6 Kuesioner Pemeriksaan Kesehatan Anak ... 130
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usia prasekolah adalah bagian dari periode usia dini yang mengalami
proses pertumbuhan dan perkembangan pesat dalam siklus kehidupan dan turut
menentukan kualitas manusia. Pembangunan sumberdaya manusia perlu
diarahkan untuk membangun manusia berkualitas baik dari aspek fisik maupun
aspek rohani secara seimbang. Aspek fisik dapat digambarkan melalui kondisi
kesehatan, kekuatan dan ketahanan jasmani sehingga memungkinkan seseorang
bisa hidup sehat, aktif, dan produktif (Syarief H 1997). Oleh karena itu perhatian
terhadap aspek kesehatan, gizi dan pendidikan pada anak merupakan hal yang
perlu diperhatikan dalam upaya menciptakan manusia yang berkualitas.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam pendidikan adalah
keadaan kesehatan dan gizi anak. Keadaan gizi pada usia dini yang terus
dipertahankan secara optimal sampai anak usia sekolah, akan berpengaruh besar
pada perkembangan otak. Menurut Jalal F (2003) gizi yang tidak seimbang serta
derajat kesehatan anak yang rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan
pada gilirannya akan menurunkan kemampuan otak dalam mencatat, menyerap,
menyimpan, memproduksi dan merekonstruksi informasi. Disisi lain dikatakan
bahwa pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara orangtua
mengasuh dan memberi makan serta menstimulasi anak pada usia dini. Namun
demikian stimulasi psikososial untuk merangsang pertumbuhan dan
perkembangan anak tidak akan bermanfaat bagi masa depan anak jika derajat
kesehatan dan gizi anak pada kondisi yang tidak baik. Gutama (2004)
mengemukakan bahwa pada usia prasekolah anak masih mengalami kemajuan
yang luar biasa sebagaimana usia sebelumnya, baik dalam hal fisik, emosional
maupun sosial sehingga anak sangat berpotensi untuk belajar apa saja.
Selanjutnya dikatakan bahwa hasil penelitian di bidang neurologi, psikologi,
fisiologi dan gizi menunjukkan separuh perkembangan kognitif berlangsung
dalam kurun waktu antara konsepsi sampai usia 4 tahun, dan 30 % berlangsung
pada usia 4-8 tahun. Sehingga pada periode ini anak sangat memerlukan gizi
Sampai saat ini masih banyak ditemukan masalah gizi pada anak-anak
baik masalah gizi mikro maupun masalah gizi makro. Prevalensi anemia pada
anak balita 47.0 %, kekurangan vitamin A subklinis yang ditandai dengan serum
retinol < 20 mcg/dL 50 % anak balita (Depkes 2005). Kasus defisiensi vitamin
B12 khususnya pada anak-anak di Indonesia belum ada dilaporkan, namun dari
beberapa penelitian di negara lain prevalensi defisiensi vitamin B12 cukup tinggi
pada anak-anak. Penelitian di Kenya menunjukkan bahwa 80,7 % anak usia
sekolah (5 sampai 14 tahun) mengalami defisiensi vitamin B12 tingkat berat dan
sedang (Siekmann JH et al. 2003) dan di Guatemala terdapat 33 % anak usia 8-12 tahun yang mengalami defisiensi vitamin B12 (Rogers LM et al 2003). Sementara pada kelompok dewasa dan usia lanjut sudah ada dilaporkan walaupun juga masih
terbatas. Penelitian Shibly UF (1999) dari Bagian Kardiologi Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita Jakarta) menunjukkan bahwa terdapat 30 % defisiensi
vitamin B12 pada penderita PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan 30 % pada non
penderita PJK. Martoatmodjo S dkk (1973) menemukan 28 % ibu hamil
mengalami kekurangan vitamin B12 di daerah dengan pola makan beras (Jawa
Barat) dan 7 % pada ibu hamil di daerah dengan pola makan gaplek dan beras
(Jawa Tengah). Disamping masalah gizi mikro, masalah gizi makro juga masih
tetap menjadi permasalahan gizi anak balita di Indonesia. Prevalensi gizi kurang
(underweight) terus mengalami kenaikan dari 24 % tahun 2000 menjadi 26,1 %,
27,3 % dan 27,5 % pada tahun 2001, 2002 dan 2003 (Depkes 2004) dan 28 %
tahun 2005 (Atmarita 2006).
Defisiensi vitamin B12 berhubungan dengan fungsi kognitif yang diduga
melalui fungsinya sebagai kofaktor dalam metabolisme zat-zat gizi yang berperan
dalam sistem syaraf pusat dan pembentukan sel-sel darah merah. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa status vitamin B12 yang rendah berhubungan
dengan penurunan fungsi kognitif (Bryan J et al 2002; Black 2003; Morris MS et al 2007). Selain itu beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada keadaan defisiensi vitamin B12 pemberian intervensi dengan vitamin B12 dapat
memperbaiki status vitamin B12 (Eussen SJ et al 2006; Hin H et al 2006; Dhonukshe-Rutten RAM et al 2005; Siekmann JH et al 2003), sementara
B12 juga berkaitan erat dengan proses perpindahan neurotransmitter melalui
perannya dalam metabolisme asam lemak esensial untuk pemeliharaan myelin
syaraf. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan
sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan akhirnya dapat menyebabkan
kematian sel-sel syaraf (http://www.parhealth.com/druginfo).
Vitamin B12 umumnya ditemukan dalam pangan hewani seperti daging,
susu, dan telur, sehingga diperkirakan anak yang jarang makan makanan tersebut
akan mengalami defisiensi vitamin B12. Sumber pangan hewani umumnya relatif
lebih mahal dibandingkan dengan pangan nabati, sehingga diperkirakan konsumsi
pangan hewani sedikit pada keluarga dengan ekonomi rendah. Tempe sebagai
bahan pangan hasil fermentasi dari kedele juga merupakan sumber vitamin B12
yang potensial dan mengandung sekitar 1.5 mikrogram per 100 gram tempe
kering (http://www.tempeh.info/), atau sekitar 0.36 mikrogram per 100 gram
tempe mentah. Namun konsumsi tempe masih cukup rendah yaitu rata-rata per
orang per tahun di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 6,45 kg atau sekitar 17
gram per orang per hari, selain itu bioavailabilitasnya juga masih belum diketahui
secara pasti.
Menurut Hardinsyah (2001) sebagian besar anak di Indonesia masih
mempunyai masalah ketidakcukupan gizi terutama zat-zat gizi mikro. Hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan bahwa
hanya setengah dari jumlah anak Indonesia yang memperoleh pangan hewani,
bahkan semakin tua umur anak semakin sedikit persentase yang memperoleh
pangan hewani. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak sejak usia dini sudah
mempunyai resiko kekurangan gizi mikro yang akhirnya berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan anak. Bila anak mendapat ASI (Air Susu Ibu)
sampai usia 2 tahun kemungkinan zat-zat gizi mikro akan tercukupi bahkan dapat
disimpan sebagai cadangan bila ibu dalam kondisi gizi baik. Pada usia pada 4
tahun diperkirakan cadangan gizi mulai berkurang sementara asupan dari
makanan tidak mencukupi, oleh karena itu anak-anak usia ini berisiko mengalami
kekurangan gizi.
Sampai saat ini penelitian tentang vitamin B12 di Indonesia masih sangat
kognitif, diperlukan kajian-kajian yang lebih mendalam dan bersifat
eksperimental tentang defisiensi vitamin B12 dan faktor resikonya serta
pengaruhnya terhadap fungsi kognitif.
Tujuan
Tujuan Umum :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis masalah defisiensi vitamin
B12 dan faktor resikonya, dan pengaruh suplementasi vitamin B12 terhadap
vitamin B12 serum, hemoglobin serta dampaknya terhadap daya ingat anak
prasekolah
Tujuan Khusus :
1. Menganalisis masalah defisiensi vitamin B12 serta faktor risiko terjadinya
defisiensi vitamin B12 pada anak prasekolah
2. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap serum
vitamin B12 pada anak prasekolah
3. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap kadar
hemoglobin pada anak prasekolah
4. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap daya ingat
anak prasekolah
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan masalah defisiensi
vitamin B12 khususnya pada anak-anak di Indonesia, dan menghasilkan suatu
bentuk pendekatan yang praktis bagi program perbaikan gizi untuk melengkapi
program pemerintah melalui Departemen terkait, pemerintah daerah serta
keterlibatan sektor swasta dalam upaya memperbaiki status gizi mikro dan
Hipotesis
Hipotesis 1 :
Peningkatan serum vitamin B12 pada kelompok intervensi lebih besar
dibanding pada kelompok kontrol.
Hipotesis 2 :
Peningkatan kadar hemoglobin pada kelompok intervensi lebih besar
dibanding pada kelompok kontrol
Hipotesis 3 :
Peningkatan skor daya ingat anak pada kelompok intervensi lebih besar
dibanding pada kelompok kontrol
Hipotesis 4 :
Pemberian suplemen vitamin B12 berpengaruh positif dan signifikan pada
TINJAUAN PUSTAKA
Biokimia dan Fungsi Vitamin B12
Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan bagian
terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari 1000. Vitamin
B12 mempunyai struktur kimia yang besar dan sangat komplek dibandingkan
vitamin lainnya. Vitamin B12 ini termasuk unik diantara vitamin lain karena
mengandung ion logam yaitu cobalt. Untuk alasan ini cobalamin adalah istilah
yang digunakan untuk merujuk senyawa yang mempunyai aktivitas vitamin B12.
Nama yang lebih spesifik untuk vitamin B12 adalah cobalamin. Vitamin B12
terdiri dari cincin corrin (corrin ring) yang terbuat dari 4 “pyrroles” dengan atom cobalt pada pusat cincin (Gambar 1). Vitamin B12 merupakan kristal berwarna
merah, tahan panas, rusak diatas temperatur 2100 C, dan tidak tahan sinar ultra
violet (FAO/WHO2001; Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/)
(Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/)
Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl),
keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu. Selain
cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu
hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-masing
terikat pada cobal. Bentuk sintetis (buatan) vitamin B12 yang terdapat dalam
suplemen dan pangan fortifikasi adalah cyanocobalamin, dimana sianida terikat
pada logam kobal. Ketiga bentuk vitamin B12 ini diaktifkan secara enzimatik
menjadi methylcobalamin (MetCbl) dan adenosylcobalamin (AdeCbl)
(FAO/WHO 2001; Higdon J 2003). Pada kondisi kekurangan gizi, enzim dalam
tubuh akan terganggu bahkan ada yang rusak, yang menyebabkan penurunan
kemampuan tubuh untuk mensintesis bentuk aktif vitamin B12 dari
cyanocobalamin. Sebagian besar vitamin B12 disimpan dalam hati sebagai
5-deoxydenosylcobalamin (65-70 %), hydroxycobalamin (20-30 %), dan
methylcobalamin (1-5%). Bentuk dominan dalam plasma adalah methylcobalamin
dengan kadar normal 135 - 425 pmol/L (Sauberlich HE 1999).
Vitamin B12 berperan sebagai koenzim yang dibutuhkan beberapa reaksi
biologis penting. Koenzim tersebut ada dua yaitu methylcobalamin yang terdapat dalam plasma, dan 5-deoxyadenosyl-cobalamin yang ditemukan dalam hati, sebagian besar jaringan tubuh, dan makanan (Gibson 2005). Di dalam tubuh
vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua reaksi enzim. Pertama, vitamin
B12 berperan sebagai kofaktor untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim
L-methilmalonyl-CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah
L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Gambar 2). Reaksi biokimia yang menghasilkan succinyl-CoA ini berperan penting dalam produksi energi dari lemak dan protein. Succinyl CoA juga diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen keseluruh
jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi succinyl-CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi methylmalonic acid oleh suatu enzim hydrolase. Keberadaan
methylmalonic acid dalam darah atau yang dikeluarkan melalui urin dapat merupakan indikator terjadinya kekurangan vitamin B12 (Gibson 2005; Carmel R
Gambar 2 Peran vitamin B12 dalam metabolisme L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Stabler SP et al 1997)
Peran yang kedua dari vitamin B12 sebagai kofaktor untuk enzim
methyonine synthase. Enzim ini membutuhkan methylcobalamin dan tergantung pada folat untuk mensintesis asam amino methyonine dari homocysteine.
Methyonin dibutuhkan untuk sintesis S-adenosylmethionine suatu kelompok donor
methyl yang berguna dalam reaksi biologi methylation, termasuk methylation
DNA dan RNA (Gambar 3). Bila reaksi ini rusak akan mempengaruhi
pembentukan DNA yang akhirnya dapat menyebabkan anemia macrocytic megaloblastic (Sauberlich HE 1999; Herbert V 1996; Carmel R 2006). Selain itu
methylation DNA diperlukan untuk mencegah kanker. Oleh karena itu bila fungsi methionine synthase terganggu dapat menyebabkan penumpukan
homocysteine yang dihubungkan dengan peningkatan risiko cardiovasculer.
Vitamin B12 dibutuhkan untuk penyerapan folat, penyimpanan dan
aktivasi untuk bentuk koenzim. Jadi vitamin B12 bekerja secara bersama dengan
folat untuk mendukung replikasi seluler. Kekurangan salah satu vitamin ini dapat
mempengaruhi fungsi keduanya. Peran yang unik juga ditemukan dari vitamin
syaraf. Kerusakan neurologi berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 yang
dapat terjadi tanpa dipengaruhi oleh kecukupan intake asam folat
(http//www.northwestern.edu).
Gambar 3 Peran vitamin B12 dalam metabolisme homocysteine menjadi methionine (Stabler SP et al 1997)
Fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan sel-sel darah merah
dan pemeliharaan kesehatan sistem syaraf. Vitamin B12 penting untuk sistesis
DNA dengan cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel
berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang bertanggungjawab
untuk pembentukan sel darah merah (Sauberlich HE 1999). Vitamin B12
berperan dalam berbagai reaksi seluler, dan mempunyai fungsi penting dalam
metabolisme asam folat. Vitamin B12 diperlukan untuk merubah koenzim folat
menjadi bentuk aktif yang dibutuhkan dalam reaksi-reaksi metabolisme penting
seperti sintesis DNA. Tanpa vitamin B12 reaksi-reaksi yang membutuhkan
berperan dalam terjadinya defisiensi folat. Jika terjadi defisiensi vitamin B12,
pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak normal, disebut
dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi anemia. Gejalanya meliputi
keletihan, sesak nafas, kelesuan, pucat serta penurunan kekebalan tubuh terhadap
infeksi. Gejala lain berupa penurunan rasa (untuk makanan), luka pada lidah, dan
gangguan menstruasi (Wardlaw et al 1992).
Fungsi vitamin B12 dalam pemeliharaan sistem syaraf dapat dijelaskan
melalui perannya yang cukup penting dalam metabolisme asam lemak esensial
untuk pemeliharaan myelin. Syaraf dikelilingi lapisan lemak dibungkus oleh
kompleks protein yang disebut myelin. Komposisi myelin terdiri dari sekitar 80 %
lipid dan 20 % protein. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat
menyebabkan kerusakan sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan
kemungkinan dapat menyebabkan kematian sel-sel syaraf (Dhopeshwarkar 1983;
http://www.parhealth.com/druginfo). Penelitian Pfeifer dan Lewis tahun 1979
yang mempelajari pengaruh pemberian diet rendah vitamin B12 pada tikus selama
20 minggu, mengungkapkan bahwa ketiadaan vitamin B12 dapat mengganggu
perubahan linoleat menjadi PUFA rantai panjang (20:4ω6 dan 22:5ω6).
Penelitian lain menunjukkan bahwa kelainan genetik menyebabkan kerusakan
transformasi vitamin B12 menjadi bentuk koenzim yang dilaporkan dari kematian
seorang bayi berumur 2 tahun, dan terjadi retardasi mental yang berat pada anak
perempuan yang meninggal pada usia 7 tahun (Dhopeshwarkar 1983).
Konsentrasi methionin yang rendah dapat terjadi bila vitamin B12 tidak ada.
Perubahan konsentrasi ini akan menyebabkan berkurangnya aliran asam amino
untuk pembentukan protein di otak. Hipotesis ini didukung oleh Gandy et al pada
tahun 1973 melalui penelitiannya dengan memberikan “1-aminocyclopentane
carboxyc acid” (yang dapat mengganggu reaksi homocystein menjadi methionin)
pada tikus. Penelitian tersebut menunjukkan ketidaknormalan fungsi syaraf yang
ditandai dengan kehilangan rasa, lumpuh, dan “demyelination spinal cord”
(Dhopeshwarkar 1983). Dari beberapa kasus tersebut Dhopeshwarkar
menyimpulkan bahwa defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan kerusakan
sempurna mulai dari sistem syaraf peripheral dan akhirnya pada sistem syaraf
pusat.
Absorbsi Vitamin B12
Penyerapan vitamin B12 dalam tubuh manusia termasuk unik diantara
vitamin-vitamin lainnya. Penyerapan vitamin B12 berlangsung secara spesifik di
ileum dan tergantung pada intrinsic factor (IF) suatu jenis protein yang diproduksi oleh sel-sel asam lambung dan berperan sebagai reseptor vitamin B12 (Wardlaw
et al 1992; Herbert V V 1996; WHO 2001; Robert C & Brown DL 2003; Carmel R 2006). Setelah makanan masuk melalui mulut sampai ke lambung, vitamin B12
dalam pangan dipisahkan dari bahan-bahan lain oleh pepsin lambung yang
aktifitasnya optimal pada pH asam lambung yang normal. Kemudian vitamin B12
berikatan dengan suatu protein yang disebut R-protein yang diproduksi oleh
kelenjar saliva dalam mulut (Gambar 4).
Ikatan protein-vitamin B12 masuk ke dalam usus halus dan di usus halus
R-protein dipisahkan dengan vitamin B12 oleh enzim tripsin yang dikeluarkan oleh
pankreas. Dalam usus halus vitamin B12 bebas kembali, kemudian berikatan
dengan intrinsic factor. Hasil ikatan intrinsic factor dengan vitamin B12 masuk ke bagian akhir usus halus yang disebut ileum. Sel-sel ileum menyerap vitamin
B12 dan mentransfernya kedalam darah yang selanjutnya berikatan dengan
transport protein yang dikenal sebagai transkobalamin.
Proses penyerapan vitamin B12 secara normal melalui ikatan vitamin B12
dengan intrinsic factor diperkirakan 30-70 % dapat diserap tergantung pada kebutuhan tubuh. Kegagalan penyerapan melalui sistem ini vitamin B12 masih
dapat diserap secara pasif melalui proses difusi namun hanya sekitar 1-2 % dari
vitamin B12 yang ada dalam makanan. Penyerapan vitamin B12 dapat terganggu
misalnya karena pembentukan intrinsic factor yang tidak efisien, defisiensi sintesis R-protein secara genetik, atau adanya infestasi cacing (Robert C & Brown
DL 2003).
Bila terjadi defisiensi vitamin B12 biasanya diperlukan suplemen melalui
oral atau injeksi vitamin B12 yang langsung dapat diserap. Tabel 1
menggambarkan jumlah atau persentase vitamin B12 yang diserap secara aktif
(melalui sistem intrinsic factor) dan secara pasif (tanpa intrinsic factor) dari pemberian berbagai dosis. Availabilitas vitamin B12 tergantung pada berapa
banyak vitamin B12 yang dipisahkan dari pangan oleh pepsin dan enzim-enzim
lambung lainnya, kemampuan sistem penyerapan melalui intrinsic factor, dan jumlah vitamin B12 dalam pangan yang dimakan. Jika sistem penyerapan melalui
intrinsic factor sempurna, lebih dari 50 % vitamin B12 yang ada dalam pangan atau suplemen dapat diserap secara aktif, namun penyerapan melalui sistem
intrinsic factor ini tidak dapat melebihi 2 μg. Pemberian vitamin B12 dengan dosis 0.25 μg akan diserap sebesar 0.19 μg (75 %). Vitamin B12 yang diserap
secara aktif semakin besar dengan peningkatan dosis mulai dari 0.25 μg sampai 10
μg. Pada pemberian dosis 10 μg penyerapan vitamin B12 secara aktif mencapai batas optimum yaitu 1.6 μg, dan pemberian diatas dosis tersebut misalnya 50 μg
kapasitas intrinsic factor, dan penyerapan vitamin B12 akan terjadi secara pasif dengan jumlah penyerapan sekitar 1-2 % (Tabel 1).
Tabel 1 Penyerapan vitamin B12 dari pemberian berbagai dosis secara oral pada kondisi penyerapan normal dan tidak normal (tanpa intrinsic factor)
Jumlah yang diserap melalui IF dan non-IF/ pasif
Jumlah yang diserap secara pasif (non-IF) Dosis oral
(μg)
μg % μg %
0,25 0,19 75 -
1 0,56 56 0,02 2 2 0,92 46 -
3 - - 0,08 3
5 1,4 28 - 10 1,6 16 0,2 2 50 1,5 3 0,5 1 100 - - 1,8 1,8 500 - - 6 1,2 Sumber: Carmel R (2006)
Transport dan Metabolisme Vitamin B12
Vitamin B12 yang masuk ke dalam darah melalui membran sangat
sedikit dan tergantung pada beberapa protein pengikat untuk transport. Segera
setelah vitamin B12 diserap masuk ke dalam saluran darah, transport dan
penggunaannya tergantung pada protein spesifik pengikat kobalamin (cobalamin-binding protein) yang disebut transcobalamin II (TC II) atau sering disebut TC. Sedangkan transcobalamin I (TC I) juga berperan mengikat kobalamin dalam darah namun perannya belum dapat dijelaskan (Carmel R 2006). Kobalamin dari
TC I yang masuk ke empedu sekitar 1,4 μg per hari dan diperkirakan 70 %
diabsorpsi kembali dalam keadaan normal, sisanya dibuang melalui feses. TC II
disintesis oleh beberapa sel termasuk sel-sel khusus endhotelial. Gen
pembentuknya sama dengan IF tetapi berada pada kromosom yang berbeda. TC II
dengan cepat mengantar kobalamin ke semua sel dalam tubuh. Masa hidup
holo-TC II dalam plasma hanya 90 menit. Pertama sekali dan sebagain besar
kobalamin diantar ke hati, tetapi reseptor yang spesifik untuk TC II sebenarnya
ditemukan pada semua sel dan dalam kompleks holo-TC II oleh pinocytosis
Enzim yang mengandung vitamin B12 memindahkan kelompok methyl
dari methylfolate, sementara regenerasi tetrahydrofolat (THF) dari
5,10-methylene THF diperlukan untuk sistesis thymidilate. Karena methylfolate
merupakan bentuk vitamin yang dominan dalam serum dan hati, dan karena hanya
methylfolate yang mengembalikan folat ke cadangan tubuh melalui proses yang tergantung vitamin B12, maka bila terjadi defisiensi vitamin B12 akan
menyebabkan folat terperangkap sebagai methylfolate sehingga tidak dapat digunakan untuk fungsi metabolik. Folat yang terperangkap akhirnya dapat
menyebabkan kerusakan hematologik akibat defisiensi vitamin B12 yang tidak
dapat dibedakan dari defisiensi folat. Kedua defisiensi tersebut menyebabkan
kerusakan yang sama sebagai akibat dari ketidakcukupan 5,10-methylene THF
untuk berpartisipasi dalam pembentukan DNA (Herbert V 1996; Beck 2003;
Carmel R 2006).
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5 bahwa pada kondisi normal
penyerapan vitamin B12 dari pangan memerlukan kondisi lambung yang normal;
asam lambung dan enzim yang membebaskan vitamin B12 dari ikatan peptide
dalam pangan oleh proteolisis, kemudian vitamin B12 terikat pada protein saliva
dan sel-sel parietal lambung mengeluarkan intrinsic factor suatu glikoprotein yang penting untuk absorbsi vitamin B12 dari usus halus. Penyerapan yang
normal juga membutuhkan kondisi pankreas yang normal sehingga tripsin dan
bikarbonat (yang dihasilkan pada pH lebih dari 8) dapat memisahkan vitamin b12
dari protein saliva dan kemudian berikatan dengan intrinsic factor, dan akhirnya pada kondisi ileum yang normal reseptor sel pemukaan dapat menangkap vitamin
B12 yang terikat pada intrinsic factor dengan batuan ion kalsium. Bila terjadi gangguan pankreas sehingga ion kalsium tidak tersedia maka penyerapan vitamin
B12 akan terganggu (Herbert V 1996). Penyerapan vitamin B12 dapat diperbaiki
dengan memberikan kalsium, bikarbonat atau cairan pankreas yang dapat
meningkatkan ketersediaan kalsium. Pentingnya kalsium dalam penyerapan
vitamin B12 telah dijelaskan pada suatu studi yang menunjukkan bahwa
penyerapan vitamin B12 yang terganggu akibat penggunaan obat diabetes
(metformin) karena mengikat kalsium akhirnya dapat diperbaiki dengan
Setelah proses uptake, kobalamin dipisahkan dalam endosom dan masuk
ke sitoplasma terutama berbentuk methylcobalamin, atau diambil oleh mitokondria. Methylcobalamin diikat oleh methionine synthase dan membantu remetilasi homocysteine. Deoxyadenosyl cobalamin dalam mitokondria diikat oleh methylmalonyl-CoA-mutase dan berperan dalam metabolisme propionat. Tidak ada protein pengikat intraseluler lain yang diidentifikasi untuk kobalamin,
dan tidak ada juga peran metabolik (Herbert V 1996; Carmel R 2006).
Selanjutnya dikatakan bahwa ginjal juga kaya akan reseptor TC II, yang berperan
penting dalam meminimalkan kehilangan kobalamin melalui urin.
Vitamin B12 dapat disimpan dalam hati. Total simpanan tubuh pada
subyek omnivore dalam keadaan sehat sekitar 2 – 3 mg. kehilangan vitamin B12
dapat terjadi melalui desquamasi epithelium dan sekresi dalam empedu. Sebagian
besar vitamin B12 yang disekresi empedu diabsorbsi kembali dan dapat
digunakan untuk fungsi metabolik. Kehilangan pada orang dewasa diperkirakan
1–3 μg/hari (sekitar 0.1 % dari cadangan dalam tubuh). Jumlah pengeluaran
vitamin B12 melalui stool proporsional dari cadangan tubuh, sehingga perkembangan defisiensi lebih lambat pada orang yang kekurangan vitamin B12
misalnya vegetarian dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai intrinsic factor atau yang mengalami malabsorbsi (Gibson 2005).
Defisiensi Vitamin B12
Defisiensi vitamin B12 adalah kondisi yang menunjukkan bahwa jumlah
vitamin B12 tidak cukup untuk melakukan fungsi biokimia secara normal. Proses
defisiensi vitamin B12 terjadi secara bertahap yang diawali dari penurunan
cadangan tubuh yang disebut dengan deplesi, namun pada saat ini fungsi biokimia
belum terganggu. Tahap awal defisiensi vitamin B12 ketika terjadi keseimbangan
negatif yang dapat dideteksi dengan penurunan persentase kejenuhan serum TC II.
Keseimbangan negatif merupakan gambaran situasi dimana jumlah vitamin B12
yang diabsorbsi menurun sampai dibawah jumlah yang hilang setiap hari (Herbert
V 1996). Keseimbangan negatif dengan cepat menyebabkan deplesi, dan bila
Tabel 2 Tahapan perkembangan status vitamin B12
dU suppression Normal Normal Normal Abnormal Abnormal
Hypersegmentation No No No Yes Yes
TBBC % sat. > 15 % > 15 % > 15 % < 15 % < 10 %
Hap % sat. > 20 % > 20 % > 20 % < 20 % < 10 %
RBC folate (ng/mL) > 160 > 160 > 160 < 140 < 100
Erythrocytes Normal Normal Normal Normal Macroovalocytic
MCV Normal Normal Normal Normal Elevated
Hemoglobin Normal Normal Normal Normal Low
TC II Normal Normal Normal Elevated Elevated
Methylmalonate Normal Normal Normal High High
Homocysteine Normal Normal Normal High High
Myelin Damage No No No ? Frequent
Sumber: Herbert V (1996)
Serum holoTCII yang rendah dapat dijadikan sebagai indikator awal
terjadinya keseimbangan negative vitamin B12 dan dapat dijadikan sebagai
pengganti Schilling test dan suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 yang dibawa ke seluruh sel-sel pembentuk DNA (Herbert V 1996). Selanjutnya jika
keseimbangan negatif terjadi dalam waktu yang lama, akan terjadi deplesi vitamin
B12 yang ditandai dengan penurunan konsentrasi holohaptocorin sampai dibawah
150 pg/mL akan tetapi fungsi biokimia masih normal. Keadaan keseimbangan
negatif ini ditemukan juga pada kelompok usia lanjut dengan konsentrasi vitamin
B12 serum yang rendah yaitu < 221 pmol/L atau < 300 pg/mL, sehingga angka ini
juga dapat dijadikan sebagai indikator keseimbangan negatif (Herbert V 1996;
Sauberlich HE 1999).
Defisiensi vitamin B12 secara klinis menyebabkan kerusakan sistem
hematopoitik sama seperti pada defisiensi asam folat. Macro-ovalocytic
erythrocytes sebagai petunjuk sel darah merah tidak normal, dan terjadi penurunan
hemoglobin. Pada keadaan ini terjadi juga peningkatan kadar methylmalonic acid
(MMA) pada urin namun tidak ditemukan pada anemia akibat defisiensi asam
folat (Gibson 2005).
Defisiensi vitamin B12 merupakan akibat dari kerusakan reaksi enzim
yang memerlukan vit B12. Kerusakan aktifitas pembentukan methionine synthase
dapat meningkatkan level homosistein, sementara kerusakan aktifitas L-methylmalonyl-CoA mutase menyebabkan peningkatan metabolit dari
methylmalonyl-CoA yang disebut methylmalonic acid (MMA). Seseorang yang mengalami defisiensi vitamin B12 ringan tidak akan terlihat gejalanya walaupun
level homosistein dan MMA dalam darah meningkat (Gibson 2005; Herbert V
1996).
Akibat dari defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan perubahan dalam
tubuh yang disebut sebagai gejala atau efek klinik. Gejala klinik dari defisiensi
vitamin B12 dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu gejala hemotologik,
neurologik dan gastrointestinal, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1. Gejala hematologik.
Gejala hematologik akibat defisiensi vitamin B12 tidak dapat dibedakan
dari defisiensi folat, yaitu terjadinya anemia megaloblastic disertai gejala anemia
klasik seperti berkurangnya energi dan kemampuan fisik, lemah, sesak nafas, dan
jantung berdebar (Gibson 2005; http//www.parhealth.com/druginfo). Aktifitas
yang berkurang pada methyonine synthase saat defisiensi vitamin B12 menghambat regenerasi tetrahydrofolate (THF) dan menjebak folat dalam bentuk yang tidak dapat digunakan oleh tubuh, menghasilkan gejala defisiensi folat
padahal folat sebenarnya cukup. Jadi, dalam keadaan defisiensi keduanya (folat
dan vitamin B12) folat tidak tersedia untuk pembentukan DNA. Kerusakan
sintesis DNA ini menyebabkan kecepatan pembelahan sel-sel tulang belakang
lebih cepat dari sel-sel lain, menyebabkan sel-sel darah merah berukuran besar,
tidak matang dan miskin hemoglobin. Keadaan ini disebut anemia megaloblastic
asam folat akan memberikan folat yang cukup untuk digunakan dalam
pembentukan sel-sel darah merah dalam kondisi normal. Namun jika defisiensi
vitamin B12 yang merupakan penyebabnya, hasilnya akan tetap anemia. Jadi,
anemia megaloblastik tidak selalu harus diperbaiki dengan pemberian asam folat
hingga penyebab yang sebenarnya ditetapkan. Karena penurunan (deplesi)
cadangan vitamin B12 tubuh lebih lambat dibandingkan folat, menyebabkan
gejala klinik defisiensi vitamin B12 juga lebih lama muncul. Pada saat terjadi
perubahan biokimia, gejala klinik belum muncul hingga beberapa bulan bahkan
beberapa tahun setelah proses yang menyebabkan defisiensi (misalnya
malabsorbsi) dimulai. Sedangkan perubahan akibat defisiensi folat sudah muncul
dalam beberapa minggu (Carmel R 2006).
2. Gejala Neurologis
Gejala-gejala neurologis defisiensi vitamin B12 meliputi kehilangan rasa,
rasa geli pada tangan dan kaki, susah berjalan dan melangkah tidak normal,
kejang, lekas marah, depresi, dan perubahan kognitif seperti kehilangan
konsentrasi dan ingatan (memory), serta dimensia, disorientasi, namun umumnya
tanpa perubahan kejiwaan (http://www.parhealth.com/druginfo). Walaupun
kemajuan komplikasi neurologik secara umum bertahap, gelaja-gejala tersebut
tidak selalu dapat dikembalikan dengan pemberian vitamin B12 apalagi gejala
tersebut sudah muncul lama. Komplikasi neurologik tidak selalu berhubungan
dengan anemia megaloblastic dan yang mengalami gejala defisiensi vitamin B12
secara klinis hanya sekitar 25 persen kasus. Walaupun defisiensi vitamin B12
diketahui merusak lapisan myelin pada syaraf-syaraf cranial, spinal dan periperal,
proses biokimia yang mempengaruhi kerusakan neurologik belum dipahami
dengan baik (http:/lpi.oregonstate.edu/infocenter/vitamin/vitaminB12). Efek
neurologik defisiensi vitamin B12 dapat terjadi tanpa anemia, terutama pada orang
tua diatas 60 tahun. Pada dasarnya defisiensi vitamin B12 mempengaruhi syaraf
peripheral dan berlanjut sampai ke spinal cord (http//www.eatright.org). 3. Gejala Gastrointestinal
Sakit lidah, kehilangan selera makan, dan konstipasi telah dihubungkan
dengan defisiensi vitamin B12. Kebenaran dari gejala ini belum jelas, tetapi
banyak kasus desisiensi vitamin B12, atau Peningkatan kemampuan menyerang
dari kecepatan pembelahan sel-sel gastrointestinal untuk merusak sintesis DNA.
Efek defisiensi vitamin B12 terhadap gastrointestinal menyebabkan sering diare
dan konstipasi, sakit di bagian perut, kembung, dan luka pada lidah. Anoreksia
dan kehilangan berat badan juga merupakan gejala umum kekurangan vitamin
B12. Bahkan ada pendapat bahwa kehilangan kemampuan mendengar (tuli)
karena pertambahan usia juga berhubungan dengan status vitamin B12 dan folat
yang miskin (http://www.parhealth.com/druginfo).
Masih sedikit diketahui tentang prevalensi defisiensi vitamin B12 terutama
pada anak-anak. Namun, karena vitamin B12 hanya terdapat pada pangan
hewani, diperkirakan angka defisiensi vitamin B12 tinggi pada anak-anak yang
jarang atau sedikit makan makanan hewani seperti daging, telur dan susu.
Penelitian di Kenya (Siekmann JH et al 2003) terhadap 555 anak sekolah (5-14 th) menunjukkan 80,7 % anak mengalami defisiensi vitamin B12 tingkat berat
dan sedang. Pemberian makanan tambahan di sekolah berupa daging (60-85 g/hr)
dan susu (200-250 ml/hr) atau energi (kalori dari daging dan susu 240-300 Kal/hr)
selama satu tahun ajaran. Sampel darah dan tinja dikumpulkan 2 kali yaitu pada
waktu sebelum dan sesudah satu tahun intervensi untuk menilai parasit pada tinja,
malaria, Hb, serum atau plasma C-reactive protein,ferritin, Zn, Cu, vitamin B12,
folat dan retinol, riboflavin eritrosit. Pada saat baseline, ditemukan prevalensi
yang tinggi untuk defisiensi gizi mikro (Fe, Zn, vitamin A, vitamin B12, dan
riboflavin), dan ferritin rendah pada beberapa anak. Pada akhir intervensi,
plasma vitamin B12 meningkat secara signifikan pada anak yang diberi makan
daging dan susu, prevalensi defisiensi vitamin B12 turun dari 80,7 % menjadi
64,1 % pada kelompok intervensi daging dan 71,6 % menjadi 45,1 % pada
kelompok intervensi susu. Tidak ada perbaikan yang signifikan pada status gizi
mikro lainnya. Kesimpulan yang dapat diperoleh bahwa suplemen dengan
sejumlah kecil daging dan susu dapat menurunkan prevalensi defisiensi vit B12
pada anak-anak.
Rogers LM et al (2003) berdasarkan hasil penelitiannya di Guatemala terhadap 553 anak sekolah usia 8 sampai 12 tahun dari keluarga sosial ekonomi
22 % mempunyai kobalamin plasma yang marginal. Peningkatan serum
methylmalonic acid (MMA) dan homosistein plasma lebih tinggi pada anak dengan kobalamin plasma yang rendah dan marginal dibandingkan dengan anak
yang mempunyai kobalamin plasma normal.
Kasus yang ditemukan di Georgia tahun 2001 menunjukkan bahwa anak
yang diberi ASI oleh ibu vegetarian didiagnosa mengalami defisiensi vitamin
B12, menderita anemia makrositik, dan kerusakan sistem syaraf serta
keterlambatan perkembangan mental (CDC 2003). Penelitian lain terhadap
anak-anak penderita cacing di Spanyol yang dilakukan oleh Olivares et al (2002) menunjukkan bahwa anak yang terinfeksi cacing giardia lamblia dan enterobius vermicularis mempunyai kadar vitamin B12 yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak terinfeksi cacing. Hal ini berhubungan dengan gangguan
penyerapan pada mukosa usus. Oleh karena itu, untuk kasus infeksi parasit selain
penanggulangan infeksi cacing perlu juga dilakukan suplementasi vitamin B12.
Penelitian Allen LH et al (1995) terhadap anak-anak dan dewasa di mexico menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi vitamin B12 yang dinilai berdasarkan
plasma viatmin B12 berkisar antara 19 % sampai 41 %, sementara status plasma
folat normal untuk semua individu. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat 62 %
ibu menyusui yang mempunyai konsentrasi vitamin B12 ASI rendah.
Beberapa penelitian di Indonesia tentang status vitamin B12 sudah mulai
dilakukan sejak tahun 70 an walaupun masih terbatas pada orang dewasa.
Penelitian Martoatmodjo S dkk (1973) dari Pusat penelitian Gizi dan Makanan
Depkes RI, menunjukkan bahwa terdapat 28 % wanita hamil di daerah Jawa Barat
mengalami kekurangan vitamin B12. penelitian lain dilakukan oleh Shylbi UF
(2007) dari Bagian Kardiologi Rumah Sakit Jantung Harapan Kita di Jakarta,
menemukan 30 % kasus defisiensi vitamin B12 pada penderita Penyakit Jantung
Koroner (PJK) dan 30 % juga pada non penderita PJK. Penelitian ini juga
menunjukkan adanya tingginya defisiensi asam folat yaitu 82 % pada penderita
PJK dan 83 % pada nonpenderita PJK, serta adanya hubungan negatif antara
defisiensi vitamin B12 dan defisiensi folat dengan kadar homocysteine.
Beberapa penelitian di luar negeri juga menunjukkan defisiensi vitamin
penelitiannya di Inggris menunjukkan bahwa terdapat 13 % dari partisipas usia
lanjut mengalami defisiensi vitamin B12. Dengan pemberian intervensi suplemen
1000 mikrogram intramuskuler per bulan dapat memperbaiki status biokimia
vitamin B12 walaupun secara klinis tidak dapat diperbaiki. Penelitian Clarke R
et al (2003) di Inggris menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin B12 10 % pada usia 65-74 tahun dan 20 % pada usia diatas 75 tahun. Selanjutnya berdasarkan
penelitiannya pada usia lanjut di Inggris (Clarke R et al 2004) menemukan bahwa prevalensi defisiensi vitamin B12 meningkat dengan bertambahnya umur.
Defisiensi vitamin B12 ditemukan pada 1 dari 20 orang yang berumur 65-74
tahun dan 1 dari 10 orang yang berumur diatas 75 tahun. Hao Ling et al (2003) dari China mengemukakan prevalensi defisiensi vitamin B12 pada orang dewasa
berumur 35-64 tahun sebesar 11 % di China bagian Selatan dan 39 % di China
bagian Utara, yang selanjutnya mengatakan prevalensi defisiensi vitamin B12
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Sementara Tucker KL et al (2000)
berdasarkan penelitiannya pada orang dewasa berumur diatas 26 tahun
menemukan 39 % mempunyai kadar vitamin B12 plasma < 350 pg/mL.
Berikut ini dikemukakan beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya
defisiensi vitamin B12, antara lain :
1. Vegetarian
Orang yang hanya mengkonsumsi pangan nabati (vegetarian) mempunyai
resiko kekurangan vitamin B12 karena tanaman tidak mengandung vitamin B12.
Dengan kata lain vitamin B12 hanya ada dalam pangan hewani. Hal ini dapat
dilihat dari bayi yang diberi ASI eksklusif oleh ibu penganut vegetarian
mengalami gejala defisiensi vitamin B12 pada beberapa bulan pertama setelah
dilahirkan (Brody 1999; American Dietetic Association http//www.eatright.org).
Oleh karena itu vegetarian dianjurkan untuk memasukkan tempe dan pangan yang
difortifikasi vitamin B12 ke dalam menu makanan sehari-hari.
Gao X et al (2003) dalam penelitian pola makan pada populasi perkotaan di China menunjukkan bahwa lebih dari 40 % dari kelompok dengan pola sereal
mempunyai plasma homosistein yang tinggi dan konsentrasi asam folat plasma
rendah, 67 % mempunyai konsentrasi plasma vitamin B12 rendah. Pola sereal
tinggi dan vitamin b12 yang rendah dibandingkan kelompok dengan pola buah
dan susu.
2. Anemia Pernisius
Gangguan penyerapan (malabsorbsi) vitamin B12 dapat terjadi selama
proses pencernaan. Suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya malabsorbsi
adalah penyakit auto-immun, disebut anemia pernisius. Pada sebagian besar kasus anemia pernisius, antibodi yang dihasilkan menyerang sel-sel parietal yang
menyebabkan sel parietal tersebut atropi, sehingga kehilangan kemampuan untuk
menghasilkan faktor intrinsik, yang berfungsi mengeluarkan asam hidroklorik.
Anemia pernisius juga terjadi karena ketidakmampuan mengabsorbsi vitamin B12
yang dihasilkan oleh empedu. Diperkirakan vitamin B12 yang dikeluarkan oleh
empedu sekitar 0,3 – 0,5 μg/hari. Keadaan ini disebut sirkulasi enterohepatik
vitamin B12 yang menyebabkan tubuh mengalami keseimbangan negatif untuk
vitamin. Walaupun vitamin B12 dalam tubuh cukup untuk persediaan selama 3-5
tahun, anemia pernisius menyebabkan gangguan absorbsi vitamin yang baru
dikonsumsi, ditambah lagi kehilangan vitamin karena keseimbangan negatif. Bila
cadangan vitamin B12 berkurang, akhirnya tahapan defisiensi terjadi sangat cepat,
dan bila tidak diobati dapat menyebabkan kematian dalam beberapa bulan
(FAO/WHO 2001; American Dietetic Association http://www.eatright.org).
Anemia pernisius sebagai penyebab defisiensi vitamin B12 merupakan kasus yang
jarang terjadi, mungkin pengaruhnya hanya 1 persen sampai beberapa persen pada
kelompok lanjut usia.
3. Atrophic gastritis
Anggapan terbaru mengatakan bahwa masalah yang lebih umum adalah
hypochlodhydria yang berkaitan dengan atropic gastritis, dimana semakin bertambah umur terjadi penurunan kemampuan sel parietal untuk mensekresi
asam hidroklorik (FAO/WHO 2001; American Dietetic Association
http//www.eatright.org). Diperkirakan lebih dari seperempat jumlah lanjut usia
mempunyai berbagai tingkat hypochlodhydria sebagai hasil atrophic gastritis.
Selain itu ada anggapan bahwa pertumbuhan bakteri yang berlebihan pada
penyerapan kembali vitamin yang dikeluarkan empedu, oleh karena itu tidak
menyebabkan keseimbangan negatif sebagaimana terjadi pada penderita anemia
pernisius. Namun, bila terjadi dalam waktu yang lama, jumlah vitamin yang
diabsorbsi dari makanan berkurang akhirnya cadangan vitamin B12 akan habis,
selanjutnya dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12.
4. Konsumsi alkohol berlebih
Orang yang mengkonsumsi alkohol berlebih cenderung mengalami
kekurangan beberapa zat gizi esensial termasuk vitamin B12 (American Dietetic
Association, http//www.eatright.org; Nutrion.gov; http//nutrition.gov).
Kebutuhan dan Sumber Pangan Vitamin B12
Hanya sedikit vitamin B12 yang dapat disimpan dalam tubuh. Total
simpanan dalam tubuh sekitar 2-5 mg pada orang dewasa, sekitar 80 % disimpan
dalam hati. Vitamin B12 yang masuk dalam empedu dapat diserap kembali secara
efektif, yang disebut sebagai sirkulasi enterohepatik. Kelebihan vitamin B12
dikeluarkan melalui ginjal dalam jumlah yang bervariasi mulai dari 1 – 10 μg/hari.
Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil. Kecukupan
vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 μg/hari, pada usia 4 –12 tahun
sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan bagi usia 13 tahun sampai dewasa 2,4 μg/hari.
Sedangkan ibu hamil dan menyusui memerlukan tambahan masing-masing 0,2
μg/hari dan 0,4 μg/hari (Tabel 3).
Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging,
susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain. Menurut Sauberlich HE (1999) pangan
hewani satu-satunya sumber vitamin B12 dalam penyediaan pangan. Daging
menyumbang sekitar 69 persen, susu 21 persen, dan telur 8,5 persen. Sereal yang
difortifikasi dengan vitamin B12 hanya menyediakan sedikit sekali vitamin ini
yaitu sekitar 1,6 persen. Sedangkan pangan nabati tidak mengandung vitamin
B12, kecuali yang terkontaminasi oleh mikroorganisme yang diperoleh dari tanah
seperti bakteri dan ragi. Salah satu pangan hasil olahan melalui proses fermentasi
adalah tempe ternyata mengandung vitamin B12 sehingga tempe merupakan
dibentuk oleh ragi yang ditambahkan saat pembuatan tempe akan tetapi dibentuk
oleh bakteri kontaminan jenis klebsiella (http://www.ivs-online.org). Namun
demikian belum diteliti lebih lanjut tentang bioavailabilitas dari vitamin B12 yang
ada dalam tempe.
Tabel 3 Kecukupan vitamin B12 berdasarkan kelompok umur
Kelompok Umur AKG (μg/hr) Sumber: Setiawan B & Rahayuningsih S (2004)
Penilaian Status Vitamin B12
Status vitamin B12 dalam tubuh dapat ditentukan dengan menggunakan
indikator dan jenis penilaian status vitamin B12 serta kekuatan dan kelemahan
setiap indikator..
1. Vitamin B12 dalam serum
Dari seluruh vitamin B12 dalam serum, 20 persen terikat pada protein
transport transcobalamin (TC II), sisanya 80 % merupakan ikatan campuran glyco-protein B12, dikenal sebagai TC I dan TC III, dan akhirnya diketahui
sebagai haptocorrin (Herbert V 1996; Gibson 2005; Carmel R 2006). Menurut Sauberlich HE (1999) konsentrasi vitamin B12 serum dapat memberi informasi
status gizi vitamin B12, karena cadangan vitamin B12 dalam tubuh yang rendah
berhubungan dengan level vitamin B12 serum yang rendah. Sedangkan menurut
Herbert V (1996) pengukuran vitamin B12 dalam serum merupakan indikator
defisiensi vitamin B12 yang relatif terlambat karena pada keadaan normal 80 %
dari total vitamin B12 dalam serum terikat pada holohaptocorrin, dan hanya 20 % yang yang terikat sebagai holotranscobalamin II dalam serum. Holohaptocorrin
menggambarkan vitamin B12 dalam cadangan tubuh (terutama di hati), yang
mengalami penurunan dengan lambat sesuai dengan terjadinya keseimbangan
negatif vitamin B12.
Serum holotranscobalamin II adalah protein yang bersirkulasi dalam darah mengantar vitamin B12 ke sel-sel pembentukan DNA. Keseimbangan negatif
merupakan gambaran situasi dimana sejumlah vitamin B12 yang diabsorbsi setiap
hari menurun sampai di bawah jumlah yang hilang setiap hari. Keseimbangan
negatif yang cepat menyebabkan deplesi, jika tidak diperbaiki akan berlanjut
menjadi defisiensi. Serum holoTC II rendah merupakan indikator awal terjadinya
keseimbangan negatif, suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 untuk sintesis
DNA. Pada saat keseimbangan negatif terjadi, konsentrasi serum vitamin B12
menurun sampai nilainya antara 150 sampai 100 pg/mL; namun fungsi biokimia
masih dalam keadaan normal (Herbert V 1996).
Allen RH et al (1990) mengemukakan bahwa penilaian kobalamin serum adalah tes diagnostik yang penting untuk defisiensi vitamin B12 terutama untuk
tujuan screening karena sebagian besar pasien yang mengalami defisiensi vitamin B12 secara klinis mempunyai level vitamin B12 serum yang rendah. Walaupun
orang yang mempunyai serum vitamin B12 rendah tidak selalu mengalami
defisiensi vitamin B12. Methylmalonic acid (MMA) dan homosysteine dalam serum meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12. Namun akhirnya
diketahui juga bahwa homosysteine serum tidak spesifik karena tidak selalu meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12 sedangkan methylmalonic acid
serum selalu meningkat. Oleh karena itu methylmalonic acid lebih tepat digunakan sebagai indikator terjadinya defisiensi vitamin B12.
Penentuan cut off point untuk defisiensi vitamin B12 masih beragam pendapat. Menurut Gibson (1990) konsentrasi serum vitamin B12 pada keadaan
normal untuk orang sehat berada pada kisaran 200 – 900 pg/mL (148 – 682
pmol/L). Nilai dibawah 100 pg/mL (74 pmol/L) selalu menunjukkan keadaan
defisiensi vitamin B12 dan dihubungkan dengan anemia megaloblastik.
Sedangkan FAO/WHO tahun 1988, merekomendasikan penggunaan cut off point
di bawah 80 pg/mL (59 pmol/L) untuk defisiensi vitamin B12. Menurut Gibson
(2005) total vitamin B12 serum adalah tes biokimia yang dapat digunakan secara
rutin untuk screening defisiensi vitamin B12 karena konsentrasinya menggambarkan intik vitamin B12 dan sekaligus cadangan dalam tubuh, namun
sensitifitasnya rendah. Hal ini ditunjukkan dari penelitian terhadap usia lanjut
yang mempunyai konsentrasi vitamin B12 serum rendah sampai normal (111-295
pmol/L atau 150-400 pg/mL) mempunyai fungsi biokimia yang tidak normal.
Beberapa peneliti lain menggunakan cut off point 300 pg/mL sebagai batas bawah keadaan normal untuk vitamin B12 (Herbert V 1996; Sauberlich HE 1999;
Siekmann 2003; Eussen SJ et al 2006) dengan alasan bahwa pada batas tersebut sering sudah mulai dapat ditemukan tanda-tanda klinis defisiensi vitamin B12.
Penilaian konsentrasi vitamin B12 serum dapat dilakukan dengan
“microbiological assay” dan “radioisotope dilution methods” atau disebut
“Radioassay”. Metode “radioisotope dilution methods” memberi hasil yang lebih
tinggi dari penilaian mikrobiologi. Metode radioisotop sangat sederhana,
memerlukan waktu yang singkat, dan tidak dipengaruhi oleh antibiotik atau