• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jejaring Sosial Dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus Di Pulau Saparua Propinsi Maluku)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jejaring Sosial Dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus Di Pulau Saparua Propinsi Maluku)"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK MASYARAKAT PEDESAAN

(Kasus Di Pulau Saparua Propinsi Maluku)

AUGUST ERNST PATTISELANNO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK MASYARAKAT PEDESAAN

(Kasus Di Pulau Saparua Propinsi Maluku)

AUGUST ERNST PATTISELANNO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Disertasi : Jejaring Sosial dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku)

Nama : August Ernst Pattiselanno NIM : A1620124011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Ketua

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Hendrik B. Tetelepta Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(4)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro

(5)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Jejaring Sosial dan Konflik

Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku) adalah karya saya

dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2008

August Ernst Pattiselanno

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari 2006 ini ialah konflik, dengan judul

Jejaring Sosial dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi

Maluku).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS,

Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Bapak Prof. Dr. Hendrik B. Tetelepta selaku

pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Rilus Kinseng, MA, Bapak Prof. Dr. Sediono M.P.

Tjondronegoro dan Bapak Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang yang telah banyak memberikan

saran sebagai penguji. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Nurmala K.

Panjaitan, MS, DEA dan Dr. Ir. Arya H. Dharmawan sebagai pimpinan Program Studi

serta seluruh Dosen dan Pegawai Administrasi yang sangat membantu selama penulis

mengikuti proses pendidikan di Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca

Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan Universitas Pattimura

dan Fakultas Pertanian yang memberikan kesempatan bagi penulis melanjutkan

pendidikan jenjang Doktor, serrta pimpinan Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Pasca

Sarjana IPB yang telah menerima penulis melanjutkan studi program Doktor. Di samping

itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Kecamatan Saparua

Kabupaten Maluku Tengah, Bapak Ketua Latupati Pulau Saparua dan seluruh anggota

Latupati Pulau Saparua yang sangat membantu selama pengumpulan data. Ungkapan

terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih

sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2008

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 21 Agustus 1969 dari ayah J.J.

Patiselanno dan ibu M.M. Apituley. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga

bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosiologi Pedesaan

Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unsrat Manado, lulus tahun 1992. Pada

tahun 1998 penulis diterima pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Program

Pascasarjana Unsrat Manado dan menamatkannya pada tahun 2001. Kesempatan

untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah

Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana

diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai Lektor Kepala di Program Studi Sosial Ekonomi,

Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Ambon sejak tahun 1993. Bidang ilmu yang

menjadi tannggung jawab peneliti ialah Sosiologi Pedesaan.

Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Ikatan Sosiologi

Indonesia. Beberapa artikel telah diterbitkan dalam Jurnal Mimbar Sosek, Jurnal

Sosiologi, Jurnal Citra Lekha, dan Jurnal Eugenia. Artikel lain berjudul Jejaring Sosial

dan Resolusi Konflik Masyarakat Pedesaan (kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku)

akan diterbitkan Jurnal Pembangunan Pedesaan Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto pada tahun 2008, serta Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Pasca

Konflik (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku) akan diterbitkan Jurnal Ikhtios pada

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

(9)

ABSTRACT

PATTISELANNO AUGUST ERNST. Social Network and Rural Community Conflict (Case of Saparua Island, Maluku Province). Under direction of LALA M. KOLOPAKING, DJUARA P. LUBIS and HENDRIK B. TETELEPTA.

The Ambon conflict in January 1999 lasted for almost six years, added by the spreading of the conflict was analyzed using social network to understand the conflict happen in the community. The research aimed to see the relevance between social network and conflict in various borders and is there any other factor besides economics, politics, religions and culture which cause the conflict.

Through qualitative technique, it is known that there is relevance between social network and conflict spreading which was initially happen in Ambon Island to rural communities in Saparua Island.

(10)

RINGKASAN

AUGUST ERNST PATTISELANNO. Jejaring Sosial dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus di Pulau Saparua Propinsi Maluku). Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING, DJUARA P. LUBIS, dan HENDRIK B. TETELEPTA.

Konflik Maluku adalah konflik yang diawali oleh pertikaian antara dua individu

berbeda etnis di Kota Ambon. Pertikaian tersebut kemudian melebar menjadi konflik

antar pendatang dan penduduk asli. Akhirnya konflik bergeser menjadi konflik

bernuansa agama, yaitu antara mereka yang beragama Islam (Salam) dengan Protestan

dan Katolik (Sarani). Konflik yang terjadi menyebar sampai ke wilayah lain di luar Pulau

Ambon meliputi Pulau-pulau Seram, Buru, Saparua, Haruku bahkan kemudian sampai

ke seluruh wilayah Maluku termasuk Maluku Utara. Kejadian konflik berfluktuatif selama

hampir enam tahun, sejak tahun 1999 sampai pertengahan tahun 2004.

Hasil-hasil penelitian terdahulu menjelaskan penyebab konflik Maluku adalah

persaingan penduduk asli dengan pendatang, pertarungan elit lokal Salam dan Sarani

dalam memperebutkan posisi di bidang pemerintahan, serta penetrasi Undang-Undang

Pemerintahan Desa yang meminggirkan budaya lokal yang hidup dalam masyarakat.

Namun hasil-hasil penelitian tersebut, belum menjelaskan penyebab konflik di pedesaan

Maluku.

Akibat konflik yang dirasakan oleh masyarakat adalah, hancurnya infrastruktur

pemerintahan dan harta benda milik pribadi. Selain itu, aliran pengungsi yang sampai

kini penanganannya belum terselesaikan. Bertolak dari fakta-fakta tersebut maka

penelitian menggunakan analisis jejaring sosial untuk memahami konflik yang terjadi

dalam masyarakat. Persoalan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana

keterkaitan jejaring sosial dan konflik antara aras mikro (pedesaan), dan meso

(regional), serta mempertanyakan selain faktor ekonomi, politik, agama dan budaya

adakah faktor lain yang mendorong konflik berkembang di masyarakat Pulau Saparua ?

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan keterkaitan jejaring sosial dan konflik

pada berbagai aras (mikro dan meso) serta mengungkapkan faktor di luar ekonomi,

politik, agama dan budaya yang mendorong terjadinya konflik.

Pelaksanaan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Strategi yang

digunakan yaitu, bertanya pada informan kunci (key informan) selanjutnya melalui teknik bola salju (snowball) ditentukan informan-informan lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan strategi studi riwayat hidup yang mengarah pada riwayat hidup informan yang

(11)

implikasinya. Teknik pengumpulan data riwayat hidup meliputi wawancara mendalam

secara langsung, pengamatan, dan pemanfaatan arsip dokumentasi yang relevan.

Pengamatan berperan serta juga digunakan sebagai metode penunjang prosedur

pengambilan data, sehingga memperkecil jarak sosial antara peneliti dengan informan.

Data-data yang terkumpul kemudian diolah melalui tahapan reduksi data, penyajian data

dan penarikan kesimpulan. Pulau Saparua dipilih sebagai lokasi penelitian karena,

sejak masa kolonial Belanda gigih berjuang melawan penjajahan; sebagai pusat

pengaturan aktivitas kolonial Belanda meliputi kawasan Pulau Saparua, Pulau Nusalaut,

Pulau Haruku dan sebagian Pulau Seram; pernah dikenal adanya Kerajaan Iha

sekaligus sebagai pusat agama Salam; salah satu pusat kediaman etnis Buton (Sulawesi Tenggara) yang dominan beragama Salam.

Hasil penelitian menunjukkan konflik agraria sebenarnya lebih mendominasi

nuansa konflik di Saparua. Konflik agraria tersebut meliputi konflik batas tanah antar

warga satu negeri, juga batas tanah antar negeri yang belum terselesaikan sampai saat

ini. Konflik bernuansa agama yang muncul kemudian di Saparua merupakan bagian

konflik Ambon. Konflik tersebut tidak akan muncul jika ada upaya menghambat

penyebaran konflik. Pengungsi yang tidak tertangani di kota Ambon menyebabkan

mereka kembali ke daerah asal di Saparua. Mereka menjadi penerus informasi yang

menimbulkan pemahaman yang mengarahkan terbentuknya perilaku membalaskan

dendam kepada komunitas berbeda agama. Penyebaran informasi memunculkan

jaringan informasi yang bersimpul pada masing-masing Negeri yang beragama sama.

Selain itu, konsep khotbah atau dakwah yang dijalankan elit masing-masing agama tidak

menunjang adanya keberadaan agama yang berbeda. Arus informasi yang

menyalahkan komunitas agama lain sebagai penyebab penderitaan ditambah dengan

khotbah dan dakwah elit agama, semakin menguatkan keinginan untuk membalaskan

dendam kepada komunitas berbeda agama. Sehingga tindakan kelompok yang saling

berlawanan di Saparua, merupakan wujud dari perilaku sosial sebagai orientasi rasa

kecewa dan dendam yang berkepanjangan. Dalam kondisi demikian, perilaku sosial

tersebut tidak lagi memperhitungkan rasionalitas kebersamaan sebelum konflik, tetapi

rasionalitas yang ada hanyalah rasional berdasarkan kebenaran agama semata.

Komunitas yang berbeda agama, harus menjadi korban rasionalitas yang hanya

mendasari pada kebenaran sendiri atas agamanya. Oleh karena itu, organisasi

masing-masing agama turut mengkoordinasi bantuan tenaga untuk mempertahankan

(12)

dengan kasus konflik di Kota Ambon, yang disebabkan oleh kolaborasi aspek ekonomi,

politik, agama dan budaya.

Upaya mencegah terjadinya konflik bernuansa agama di Saparua dapat dimulai

dengan merubah khotbah dan dakwah elit agama. Elit agama seharusnya

mengemukakan keberadaan agama lain sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat,

sehingga tidak dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan. Pendekatan adat

kemudian dapat dipakai sebagai upaya menekan perbedaan antar agama, sebagai satu

kesatuan masyarakat berdasarkan adat istiadat di Saparua. Sehingga adat dapat

menjadi dasar terciptanya rekonsiliasi antara kelompok yang berkonflik. Oleh karena itu,

peran elit adat akan menjadi lebih dominan dibandingkan elilt pemerintah yang non-adat

sekaligus memperkuat keberadaan Lembaga Latupati sebagai wujud kelembagaan adat

di Saparua. Kelembagaan adat ini dapat dimanfaatkan dalam proses penyelesaian

konflik terutama, dengan menyaring informasi yang bermuatan negatif serta

meneruskan informasi yang bermanfaat bagi seluruh warga Saparua. Kerjasama antara

raja-raja negeri di Saparua dalam Lembaga Latupati menjadi katup pengaman sekaligus

membentuk jejaring sosial yang bersimpul pada elit-elit adat di tingkat negeri yang

mampu membentengi masyarakat Saparua dari kemungkinan terjadinya konflik di masa

(13)

DAFTAR ISI

Halaman :

DAFTAR TABEL ……… vii

DAFTAR GAMBAR ……… viii

DAFTAR LAMPIRAN ………. Ix DAFTAR ISTILAH LOKAL ……… x

I. PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Fokus Penelitian ………... 3

1.3. Perumusan Masalah ………... 10

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ……….. 11

1.5 Novelity ……….. 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ………. 14

2.1. Memahami Konflik Masyarakat di Pedesaan ……….. 14

2.2. Keterkaitan Jejaring Sosial dan Konflik ……… 23

2.3. Ikhtisar ……… 30

III. METODOLOGI PENELITIAN ……… 34

3.1. Dasar Pemikiran : Hipotesis Pengarah ……… 34

3.2. Pendekatan Kualitatif ………... 36

3.3. Prosedur Pengumpulan Data ………. 37

3.4. Prosedur Pengolahan Data ……… 40

3.5. Lokasi Penelitian ……….. 41

IV. SAPARUA : AJANG KONFLIK SEJAK MASA PENJAJAHAN ... 43

4.1. Masa Penjajahan : Pusat Pengaturan Aktivitas ... 43

4.2. Struktur Sosial Masyarakat Saparua ... 50

4.3. Penduduk Saparua ... 55

(14)

V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA ... 59

5.1. Keberadaan Konflik di Pedesaan Saparua ... 59

5.2. Migrasi Anak Negeri Saparua ... 79

5.3. Peran Elit Agama dalam Konflik di Pedesaan Saparua ... 83

5.4. Pergeseran Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua ... 85

5.5. Penguatan Nilai Budaya Melalui Gerakan Baku Bae ... 97

VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK ……… 102

6.1. Jejaring Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua ... 102

6.2. Jejaring Sosial dan Konflik di Pedesaan Saparua ... 108

6.3. Keterlibatan Pihak-Pihak dalam Konflik di Pedesaan Saparua ……... 125

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI ………. 139

7.1. Kesimpulan ……….. 139

7.2. Implikasi Penelitian ………. 145

DAFTAR PUSTAKA ………. 147

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman :

1 Jejaring Komunikasi dan Kriteria Evaluasi ... 24

2 Perbedaan Efek Komunikasi Dengan Jaringan Komunikasi ... 25

3 Kategori Komplementer Modal Sosial ……….. 28

4 Kontimum Modal Sosial ……….. 29

5 Luas, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Negeri di Saparua ………... 55

6 Historis Keberadaan Konflik di Saparua ………. 63

7 Proses Kemunculan Konflik di Saparua ………... 109

8 Identifikasi Aktor Dalam Jejaring Penyebaran Informasi ..………. 113

9 Identifikasi Aktor Dalam Jejaring Konflik ... 117

10 Jenis Dan Ciri-Ciri Jejaring Sosial Dalam Konflik ………... 120

11 Tipe Dan Ciri-Ciri Jejaring Sosial Dan Konflik ...………. 121

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman :

1 Jejaring Komunikasi Umum ... 24

2 Kerangka Pikir ... 35

3 Jejaring Penyebaran Informasi Yang Memulai Konflik di Saparua ….. 110

4 Jejaring Sosial Konflik Di Saparua ... 116

5 Jejaring Kerjasama Antar Kelompok Berbeda Agama ... 118

6 Jejaring Sosial Horizontal Dalam Konflik Saparua ………. 124

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman :

1 Temuan Metodologi ………. 154

2 Instrumen Penelitian ……… 157

(18)

DAFTAR ISTILAH LOKAL

Aman : Sekelompok marga yang sama dan menempati wilayah tertentu yang kemudian membentuk kesatuan wilayah sendiri Babalu : Sekelompok warga Desa yang menyewa hasil kebun Sagu di

Desa lain kemudian dikelola menjadi tepung sagu, dimana hasil olahan juga dibagi ke pemilik kebun sebesar sepuluh persen.

Bakubae : Proses penyelesaian konfik untuk menuju perdamaian yang diawali pada tingkat masyarakat dan digagas oleh Lembaga Swadaya Masyarakat lokal yang beranggotakan kedua kelompok yang berkonflik (Islam dan Kristen)

Dati : Kesatuan di bawah Desa yang beranggotakan beberapa marga yang menguasai dan memanfaatkan wilayah tertentu dalam suatu Desa, dimana sistem pewarisannya kepada anak laki-laki dari setiap marga juga bagi anak perempuan yang tidak kawin

Ewang : Tanah kosong yang dimiliki negeri dan dapat dimanfaatkan oleh warga dengan seijin pimpinan negeri

Gandong : Ikatan kekerabatan antara dua negeri berdasarkan satu keturunan

Kapitan : Orang yang bertugas memimpin saat terjadi perang dengan negeri lain dan berasal dari marga tertentu yang telah ditetapkan sejak Desa terbentuk

Kasisi : Pengelola administrasi Mesjid yang diitentukan berdasarkan garis keturunan keluarga tertentu

Kewang : Organisasi yang mengatur ketertiban masyarakat negeri termasuk ketertiban pergaulan, namun biasanya diidentikkan dengan penjaga kelestarian lingkungan hidup wilayah negeri serta dipimpin oleh marga tertentu yang telah ditetapkan sejak negeri terbentuk, demikian pula anggotanya berasal dari marga-marga tertentu.

Latupati : Organisasi yang menghimpun seluruh Raja (kepaladesa) di tingkat Kecamatan

Makan Dati : Anggota dati yang berhak mengelola dan memanfaatkan tanah milik dati

Mata Rumah : Sekelompok keluarga dengan marga tertentu yang berasal dari keturunan yang sama

Mauweng : Orang yang bertugas mengurusi segala urusan adat istiadat dan berasal dari keturunan marga tertentu yang telah ditetapkan sejak negeri terbentuk

Meti : Bagian pantai yang tergenang atau tertutup air laut waktu pasang dan kering waktu surut

Negeri : Kesatuan wilayah setingkat desa yang dipimpin oleh kepala wilayah yang disebut Raja

Nunusaku : Kesatuan wilayah yang berada di Pulau Seram dan dianggap sebagai cikal bakal keberadaan negeri-negeri di Maluku Tengah

(19)

Patalima : Kelompok marga yang terbentuk dalam lima kelompok soa dan membentuk satu negeri

Patasiwa : Kelompok marga yang terbentuk dalam sembilan kelompok soa dan membentuk satu negeri

Pela : Ikatan kekerabatan yang terbentuk antara dua negeri berdasarkan kesepakatan pendahulu negeri setelah saling membantu dalam berbagai aspek kehidupan (membantu melawan musuh, membantu kebutuhan makanan, dan sebagainya)

Raja : Pimpinan negeri yang diwariskan berdasarkan garis keturunan tertentu sejak negeri terbentuk

Salam : Sebutan untuk pemeluk agama Muslim

Saniri Negeri : Kesatuan pengelola negeri yang dipimpin oleh Raja dan beranggotakan perangkat negeri yang keseluruhannya disebut sebagai Badan Saniri Negeri

Sarani : Sebutan untuk pemeluk agama Kristen (termasuk Protestan dan Katolik)

Soa : Kesatuan wilayah di bawah negeri yang berisikan beberapa keluarga dari marga berbeda namun memiliki ikatan sejak negeri terbentuk, biasanya diawali dengan marga yang membentuk suatu negeri dan dipimpin oleh seorang Kepala Soa yang ditetapkan secara bersama oleh perwakilan masing-masing marga

Tanah Pusaka : Tanah yang dikuasai dan dimiliki bersama oleh satu kelompok ahli waris yang diperoleh melalui pewarisan

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konflik Ambon berlangsung selama empat tahun sejak 1999 sampai 2002. Akhir

tahun 2002 kondisi Ambon mulai pulih. Sering terjadi ledakan bom atau rentetan

senjata dengan korban jiwa, tetapi tidak berlangsung secara kontinu. Sisa-sisa

kerusuhan masih ada, walaupun berbagai graffiti yang mencela kelompok agama lain

sudah dihapus. Angkutan kota tetap menarik penumpang dengan agama yang sama,

meski berbagai jalan pembatas yang memisahkan antara warga Islam (Salam) dan

Kristen (Sarani)1 di Ambon sudah disingkirkan. Kehidupan warga masih terpisah antara

wilayah Salam dan Sarani, namun orang sudah tidak takut bepergian ke pasar di wilayah komunitas berbeda (Eriyanto, 2003).

Tahun 2003 kondisi Ambon lebih membaik dan menuju pemulihan. Pos-pos

TNI-POLRI tidak kelihatan lagi, saling mengunjungi antara komunitas berbeda agama

telah berlangsung, walaupun belum normal seperti sebelumnya. Angkutan kota sudah

menarik penumpang dengan agama berbeda, ditunjang pula dengan pulihnya sebagian

besar aktivitas perkantoran. Kenyataan tersebut diandilkan oleh Konferensi Malino II

sebagai bentuk perhatian pemerintah yang diikuti kedua pihak (baik tokoh pemuda,

tokoh agama dan tokoh adat mewakili “grass root”) dan bersepakat untuk memulai kembali hidup damai.

Gambaran singkat tersebut kontras dengan kondisi antara kurun waktu 1999

sampai akhir 2002. Saat itu struktur masyarakat Maluku mengalami “pembelahan”

sosial maupun politik atas dasar suku (pada awalnya) yang bergeser menjadi agama.

Warga kota Ambon saat situasi berlangsung sulit untuk menghindari keterlibatan dalam

konflik. Konflik yang mulanya terpumpun pada masalah antar etnis kemudian bergeser

ke agama tidak memandang ikatan selain agama, termasuk ikatan darah (kekerabatan)

dan ikatan pela – gandong (budaya). Pilihan paling memungkinkan hanyalah ke luar dari lokasi konflik, mengingat konflik mengarahkan terjadinya kekerasan kolektif

berdasarkan sentimen dan simbol-simbol agama (Laporan Lintas Kerusuhan Maluku

oleh Crisis Centre Keuskupan Amboina Ambon, index tahun 1999 – 2003).

Penjelasan tersebut merupakan kilas balik awal konflik hingga akhir tahun 2002.

Tahun 2003 sampai awal tahun 2004 kota Ambon mengarah pada kondisi yang normal

seperti sebelumnya. Masih tersisa puing-puing akibat konflik dan yang terpenting yaitu,

1

(21)

adanya sejumlah pengungsi yang kebutuhannya perlu ditangani secara cepat dan tepat

sehingga tidak menjadi pemicu konflik baru.

Memasuki pertengahan tahun 2004 (25 April) kondisi yang sudah membaik

berubah drastis. Konflik terjadi kembali dan merusakkan kebersamaan hidup yang

mulai terbangun antara komunitas Salam dan Sarani. Konflik saat itu tidak berlangsung lama, namun meningkatkan jumlah arus pengungsi pada kedua komunitas. Arus

pengungsian d merupakan pengulangan untuk kedua kalinya sejak awal kerusuhan

(Januari 1999).

Berbeda dengan konflik sebelumnya, konflik yang terjadi tersebut tidak

menyebar ke luar pusat kota Ambon. Konflik sebelumnya menunjukkan cepatnya

penyebaran konflik ke seluruh Pulau Ambon, Pulau-Pulau Lease (Saparua, Haruku dan

Nusa Laut), Pulau Seram, Pulau Buru kemudian tersebar ke seluruh wilayah Maluku

yang lain (sampai Maluku Utara). Penyebaran konflik demikian membentuk suatu

jaringan yang mampu melewati batas wilayah administrasi, bahkan melintasi laut.

Konflik yang muncul kembali sebagaimana dijelaskan di atas ternyata

penyebarannya tidak secepat dan seluas konflik sebelumnya. Konflik hanya terbatas

pada beberapa daerah perbatasan Salam dan Sarani di pusat kota Ambon. Sehingga ada indikasi jaringan penyebaran konflik tidak berfungsi seperti sebelumnya. Indikasi

lainnya yaitu, sasaran terjadinya konflik hanya diarahkan di kota Ambon. Namun

pastinya implikasi konflik berupa gelombang pengungsi kembali meningkat akibat konflik

tersebut.

Tidak menyebarnya konflik seperti sebelumnya, menunjukkan tumbuhnya

kesadaran masyarakat untuk tidak lagi memperpanjang konflik serta berupaya untuk

kembali hidup dalam keadaan yang aman dan damai. Pada saat yang sama, banyak

upaya dilakukan oleh berbagai pihak untuk mempertemukan elit-elit kelompok yang

bertikai seperti gerakan “bakubae”. Gerakan dimaksud telah digagas sejak awal konflik (tahun 1999), namun memerlukan perjalanan panjang untuk sampai pada komitmen dan

kesadaran bersama. Gerakan bakubae diikuti elit yang tergabung dalam Musyawarah

Raja dan Latupati (Kepala Desa) Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease sebagai upaya menggunakan pendekatan adat (budaya) sebagai kekuatan pengikat dan peredam

konflik berkepanjangan (Leatemia, 2003).

Kenyataan tersebut mengarahkan upaya membangun kembali ikatan

adat/budaya. Selain itu menunjukkan peluang ikatan adat/budaya untuk membentuk

(22)

dan formal dan diharapkan tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Pertemuan elit

melalui kegiatan bakubae membuka kembali hubungan-hubungan elit Salam dan Sarani

melalui ikatan adat atau budaya, sehingga diharpkan menguatkan kembali

hubungan-hubungan antar desa (negeri)2 yang berbeda agama. Terpilihnya Raja dan Latupati

sebagai elit di aras Negeri, menunjukkan kuatnya peran elit dalam kehidupan

masyarakat Maluku.

Penyebaran konflik dapat dilakukan dengan memanfaatkan Raja dan Latupati

sebagai elit negeri dengan menggerakkan warga masyarakatnya untuk terlibat dalam

konflik. Elit negeri juga dapat menahan warga masyarakatnya sehingga tidak terlibat

dalam konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, campur tangan elit menyebabkan

terjadinya konflik berkepanjangan atau konflik dapat segera diakhiri.

1.2. Fokus Penelitian

Sejak zaman kolonial, Maluku sebagai sumber rempah-rempah sudah menjadi

ajang pertarungan negara-negara Barat (Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda). Pada

saat itu pula, konflik dimulai antara Negara-negara Barat (kolonial), maupun antara

kaum kolonial yang mencari rempah-rempah dengan pemilik rempah-rempah. Dalam

upaya menguasai rempah-rempah sekaligus menyebarkan agama inilah, bangsa

kolonial membelah masyarakat Maluku berdasarkan dua agama besar yaitu Salam dan

Sarani (Protestan dan Katolik). Kenyataan tersebut dapat ditemui dalam berbagai dokumen baik yang berbahasa Belanda, maupun yang di-Indonesiakan pada berbagai

perpustakaan serta Daftar Inventaris Arsip Ambon (Arsip Nasional).

Orang Belanda tiba di Ambon pada saat sedang terjadi permusuhan hebat

antara rakyat Maluku dengan orang-orang Portugis; antara rakyat yang beragama

Sarani dengan rakyat yang beragama Salam. Usaha-usaha orang Portugis untuk menguasai gudang rempah-rempah tidak berhasil. Permusuhan dengan Kerajaan

Ternate (yang saat itu menguasai hampir seluruh wilayah Maluku), disebabkan oleh

tindakan-tindakan gubernur dan serdadu-serdadu Portugis yang tidak bijaksana.

Monopoli yang dijalankan Poprtugis, menimbulkan permusuhan dengan

pedagang-pedagang Ternate, Tidore, Jawa, Makasar dan Melayu. Saat itu yang dimaksud dengan

Maluku ialah daerah geografis Propinsi Maluku termasuk Maluku Utara (sebelum

pemekaran). Daerah asli Maluku hanya meliputi Halmahera Barat (Jailolo) dan

2

(23)

pulau sekitarnya, Ternate, Tidore dan Bacan. Dalam bahasa Ternate disebut Muloko

(Naidah dalam B.K.I 2de deel 4de volgreeks, hal. 382 dikutip Leirissa, dkk, 1982).

Cita-cita perang salib yang dipindahkan dari Eropa ke Asia, menimbulkan

permusuhan dengan raja-raja Salam, pedagang-pedagang Salam dan rakyat yang beragama Salam. Dualisme timbul dalam politik mereka, yaitu melaksanakan tugas memerangi orang-orang Salam di mana saja dan menyebarkan agama Sarani (Katolik), dihadapkan pada keharusan berdagang dengan pedagang-pedagang Salam dan bersekutu dengan sultan-sultan Salam. Politik mencari untung dicampurbaurkan dengan politik penyebaran agama. Dualisme ini akhirnya melemahkan dan

melenyapkan kedudukan mereka dari Ternate dan menimbulkan peperangan dengan

Hitu (Manusama, 1977 : 15).

Setahun kemudian Negeri Hitu dibantu dengan orang-orang Jawa menyerang

orang-orang Portugis dan berhasil mengusir mereka dari Jazirah Leihitu. Orang-orang

Portugis menuju ke Leitimur (jazirah tempat kedudukan pusat kota Ambon saat ini). Di

sini mereka diterima dengan baik oleh kepala-kepala negeri (desa sekarang ini) dan rakyat, karena Leitimur mendapat kawan untuk menyerang dan melawan musuh-musuh

lama mereka dari Hitu. Penerimaan yang baik, menimbulkan hal-hal yang baik pula bagi

rakyat Leitimur; mereka berkenalan dengan agama Sarani yang membawa perubahan batin dan keyakinan. Tetapi justru penerimaan ini menimbulkan juga hal-hal yang buruk,

yaitu pertumpahan darah yang berlarut-larut karena perang agama Salam dan Sarani. Lembaran sejarah yang digambarkan tersebut, termasuk lembaran sejarah

terhitam dalam perkembangan agama Salam dan Sarani di Maluku. Tidak kalah kejamnya dengan kekejaman yang dilakukan di daerah-daerah lain, misalnya sekitar

antara Islam dan Kristen di Laut Tengah semasa Perang Salib. Mungkin sekali keadaan

yang buruk itu lambat laun menyadarkan rakyat di berbagai negeri. Kepala-kepala adat,

orang-orang kaya, raja-raja mencari jalan untuk berdamai. Kemungkinan besar

persekutuan pela (saudara) yang dikenal sampai sekarang ini, timbul sebagai hasil kesadaran akan masa yang gelap itu.

Pela mula-mula timbul dalam Patasiwa, yang kemudian bercampur dan tersebar ke seluruh Maluku tengah. Persekutuan Pela itu adalah suatu jalan untuk mengakhiri permusuhan antara Salam dan Sarani, suatu jalan yang sangat efektif untuk menghentikan pertikaian. Walau pun ternyata saat pecah konflik (Januari 1999), adanya

(24)

menyerang dan menghancurkan desa lain yang berbeda agama tetapi masih memiliki

ikatan pela.

Penjelasan tersebut di atas merupakan benang merah dari beberapa studi oleh

peneliti asing (terutama Belanda) yang sudah berupaya mengakomodir kondisi konflik

masa lampau (pada zaman penjajahan), walau pun lebih terarah pada aras meso dan

makro. Di antaranya Jansen (1929), Fraassen (1972), Bartels (1977), Van Klinken

(1999) dan Bartels (2000). Walau pun pada aras mikro sulit ditemui, namun disertasi

Hikayat Tanah Hitu (Manusama, 1977) sampai saat ini cukup mewakali ajang konflik di

aras mikro.

Setelah konflik bernuansa Agama mulai terjadi (sejak Januari 1999), muncul

berbagai tulisan dari masing-masing pihak yang berkonflik (berupa pembelaan diri

maupun saling menyalahkan – bahkan sampai melibatkan lembaga resmi dari kedua

kelompok agama yang bertikai), sehingga upaya memahami konflik dari para pelaku

atau aktor sulit ditelusuri karena sudah terkooptasi dengan suasana konflik. Selain itu,

ada pula tulisan dari berbagai penulis lain yang lebih terfokus pada upaya menggali akar

konflik (kronologis kejadian sejak 19 Januari 1999) serta mengaitkannya dengan aras

meso (pertikaian elit politik daerah antara elit – pejabat/birokrat yang Salam dan Sarani

dalam memperebutkan kedudukan tertentu dalam pemerintahan). Tulisan-tulisan

tersebut antara lain melalui studi Kastor (2000), Nanere (2000), serta laporan evaluasi

jalannya konflik Ambon-Maluku oleh Tim Pengacara Muslim dan Tim Pengacara Gereja.

Selain itu, ada juga yang mengaitkan dengan aras makro (konflik Indonesia saat

jatuhnya pemerintah Orde Baru – Soeharto), kemudian berusaha menyusun berbagai

strategi pemecahan konflik. Ternyata, berbagai tulisan tersebut tidak sampai menelusuri

fenomena masa lalu (sejarah) secara rinci sampai pada aras mikro, walaupun ada juga

yang menelusuri sejarah konflik pada aras meso dan makro. Seperti studi Ecip (1999)

yang juga mengkaji akar permasalahan pada aras meso dan mengupayakan

pemecahan sekaligus sebagai dasar pada upaya manajemen konflik yang marak di

berbagai daerah di Indonesia. Studi Salampessy, dkk (2001) sebagai kumpulan tulisan

bernuansa sosiologi yang mengkaji akar permasalahan pada aras meso dan

menghubungkan dengan aras makro. Akhirnya, studi Eriyanto (2003) tentang konflik

media yang dijalankan masing-masing komunitas. Perlu diingat, bahwa studi-studi

tersebut lebih netral dan tidak mengandung unsur keberpihakan pada salah satu

(25)

Di luar ajang konflik Ambon – Maluku pada aras mikro, meso dan makro terdapat

beberapa tulisan yang juga memusatkan pada penelusuran akar permasalahan ajang

konflik di berbagai daerah yang terpumpun pada kekuatan sosiologis. Beberapa tulisan

tersebut antara lain, Sihbudi dan Nurhasim (2001) yang memfokuskan pada kasus

Kupang, Mataram dan Sambas sebagai keterkaitan kasus konflik yang dipicu oleh suatu

jaringan yang terorganisir dengan baik. Studi Surata dan Taufiq (2001) yang

memfokuskan pada menggali akar permasalahan konflik etnis di Sambas dan Sampit

serta Kalimantan (pada aras meso) yang menunjukkan keterpinggiran etnis lokal akibat

kemampuan yang ditunjukkan etnis pendatang yang akhirnya menguasai hampir seluruh

kekuatan ekonomi informal, diikuti dengan cara mengatasinya. Studi Soemardjan dan

Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (2001) yang juga menggali dan mengidentifikasi akar

permasalahan konflik yang marak di Indonesia (aras makro) berdasarkan kasus pada

aras meso yang kelihatannya dapat menjadi kesimpulan dari berbagai studi

sebelumnya, serta menyusun upaya penyelesaiannya.

Demikian pula studi Simanjuntak (2002) yang mefokuskan pada konflik status

dan kekuasaan masyarakat Batak Toba, sebagai studi sosiologis yang paling serius

dengan ajang konflik yang terstruktur secara tegas dan mantap dimulai dari aras mikro

(pedesaan), kemudian menunjukkan keterkaitannya dengan aras meso (kabupaten dan

propinsi), serta keterkaitannya dengan aras makro (peran elit etnis Batak Toba yang

berada di Jakarta). Studi ini pula secara tidak langsung, menggambarkan jaringan

sosial yang dibangun dari mikro sampai makro atau pun sebaliknya, walau pun untuk

tataran teoritik tidak memberikan sumbangan yang signifikan karena lebih menunjukkan

tataran praktis.

Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil studi bernuansa konflik yaitu,

akar konflik di Maluku bersumber pada lebih mampunya penduduk pendatang (migran)

memasuki dan menguasai sektor informal yang selama ini tidak digarap oleh penduduk

lokal kemudian mulai menyebar ke sektor formal yang memunculkan persaingan dengan

penduduk lokal; pertarungan elit politik lokal salam dan sarani dalam menduduki kekuasaan di bidang pemerintahan (birokrat) sekaligus mengarahkan persaingan ke

aspek agama; kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah terutama dengan

penetrasi kebijakan yang diikuti peraturan yang turut menghancurkan pengetahuan lokal

(seperti UU 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menggeser kedudukan

Pemerintahan Adat, sekaligus menggusur kedudukan elit adat), serta secara tidak

(26)

(misalnya sistem pela dan gandong). Dengan demikian akar konflik dimaksud dapat disimpulkan merupakan masalah penguasaan yang tidak seimbang pada aspek

ekonomi dan politik dilihat dari segi perbedaan agama dan budaya. Selain itu dapat

dikatakan pula bahwasannya, studi-studi tersebut belum secara jelas menggambarkan

keterkaitan jejaring sosial dan konflik sebagai bagian penting untuk memahami

fenomena konflik yang muncul di masyarakat.

Studi tentang jaringan sosial di Indonesia, ditemui pada studi Saefuddin (1992)

yang berhasil mengidentifikasi hubungan sosial yang kontinu di antara anggota

rumahtangga miskin; atau antara mereka dan pihak lain yang memiliki tingkat sosial

ekonomi lebih tinggi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat yang

bersangkutan. Kemampuan penduduk miskin melakukan seleksi atas potensi sosial

budaya untuk menghadapi lingkungan hidup di perkotaan, mendorong mereka untuk

kreatif guna menciptakan dan memelihara penggunaan jaringan sosial baik untuk

kelompok pemilik status ekonomi setara maupun berbeda. Sarana terpenting untuk hal

tersebut adalah jaringan kekerabatan, ketetanggaan, pertemanan dan kesamaan tempat

asal-usul. Selain itu ditemukan adanya bentuk pola jaringan vertikal dan horizontal

rumahtangga miskin di perkotaan. Dalam membentuk jaringan sosial tersebut

(khususnya jaringan horizontal) faktor kekerabatan merupakan salah satu unsur

pengikat yang penting. Dalam hal ini jaringan merupakan sarana untuk memenuhi atau

mengatasi tekanan kehidupan sosial-ekonomi di perkotaan.

Agusyanto (1996 : 18 -19) menjelaskan, bahwa jaringan kepentingan terbentuk

oleh hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau tujuan khusus sehingga bila

tujuan telah tercapai maka pelaku hubungan kepentingan tidak dilanjutkan lagi. Oleh

karena itu, sturuktur sosial yang muncul dalam jaringan sosial seperti ini bersifat

sementara dan terus berubah-ubah. Ruang bagi tindakan dan interaksi pun lebih

didasarkan pada tujuan relasional. Sebaiknya, jika tujuan tersebut tidak konkret dan

spesifik, atau hampir berulang setiap saat, struktur yang terbentuk relatif stabil dan

permanen. Diikuti dengan studi Kusnadi (2000 : 206-207) yang menyimpulkan bahwa,

jaringan sosial (ikatan kerabat dan tetangga) merupakan satu-satunya strategi adaptasi

yang paling utama dan efektif bagi rumahtangga pandhiga di Pesisir untuk mengatasi kesulitan ekonomi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika strategi ini

tidak berhasil, maka mereka yang memiliki barang-barang berharga akan menggadaikan

barang-barang tersebut. Namun bagi yang tidak memiliki barang berharga, jaringan

(27)

Beberapa studi jaringan sosial tersebut menghasilkan kesimpulan yaitu, jejaring

sosial merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang tepat untuk mengatasi masalah

keterpurukkan ekonomi sebagai dampak rendahnya penguasaan terhadap sumberdaya.

Jejaring sosial ini lebih kuat dengan adanya ikatan budaya (kekerabatan), walau pun

dapat terputus kapan saja jika tujuan tercapai. Studi-studi terrsebut juga lebih

menunjukkan pada pentingnya jejaring dalam mempertahankan kehidupan untuk tetap

eksis, sehingga lebih mengarah pada kerjasama antara individu ataupun antara

kelompok masyarakat. Analisis fenomena kerjasama tersebut hanya berujung pada

putusnya hubungan jika tujuan tercapai, tanpa melihat peluang konflik akibat putusnya

hubungan tersebut.

Selain itu terdapat studi yang terfokus pada penanganan pengungsi seperti studi

Noveria dan Romdiati (2002), Noveria, dkk (2002) khusus untuk penanganan pengungsi

Maluku Utara yang mengungsi ke Sulawesi Utara. Kemudian studi Purawana dan

Bambang Hendarta Suta (2003) yang membahas kebijaksanaan penanganan pengungsi

akibat konflik antar etnis di Sambas (Kalimantan Barat). Studi Susetyo (2003) yang

membahas dampak kebijakan relokasi terhadap pengungsi internal Sambas. Keempat

studi ini menghasilkan serangkaian kesimpulan yaitu, terdapat tiga model pengungsian

yang dilakukan pengungsi di kedua lokasi penelitian (kembali ke desa asal, ke luar

daerah dan mengungsi ke tempat yang aman di kota yang sama). Sementara itu,

terdapat dua pola penanganan pengungsi yaitu, dengan melakukan relokasi dan

pemulangan ke daerah asal. Kebijakan dalam penanganan pengungsi harus diikuti

dengan proses pemberdayaan menuju kehidupan mandiri di tempatnya berada (tempat

sebelum konflik maupun tempat baru). Studi-studi tersebut lebih terarah pada kritik atas

kebijakan pemerintah dalam penanganan pengungsi, sekaligus memberikan masukan

guna penangan pengungsi yang lebih baik. Studi-studi ini juga sebenarnya

menunjukkan berperannya jejaring sosial dalam penanganan pengungsi, walau pun

tidak disebutkan secara tegas. Peran jejaring tersebut terlihat pada pemilihan model

pengungsian serta pola penanganan, mengingat adanya ikatan antara pengungsi

dengan tempat tujuan pengungsian menjadi unsur penting dalam pemilihan tersebut.

Sehingga, secara tidak langsung ada jejaring yang terbangun dalam fenomena

pengungsian tersebut.

Berdasarkan pada gambaran sebelumnya, dapat dilihat bahwa isu agama di

Maluku bukanlah masalah baru. Perbedaan agama menjadi salah satu sumber konflik

(28)

dalam mengantisipasi kebebasan yang muncul setelah jatuhnya Orde Baru sehingga

agama kembali digunakan untuk menyulut konflik Ambon tahun 1999. Dengan demikian

penelusuran sejarah untuk memahami ajang konflik bernuansa agama di Ambon

(Maluku) pada aras meso, serta di pedesaan Pulau Saparua3 pada aras mikro ini

merupakan dasar yang penting untuk menggali akar konflik yang sebenarnya, sekaligus

menelusuri keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sebagai jalan untuk menentukan

strategi manajemen konflik. Fokus penelitian ditentukan demikian mengingat,

berdasarkan penelusuran studi-studi tersebut di atas khususnya untuk Maluku belum

ada satu studi pun yang menjelaskan jejaring sosial dalam konflik sampai pada resolusi

konflik sebagai bagian yang saling melengkapi karena kalau tidak ada konflik maka tidak

ada implikasinya demikian pula akar konflik harus diselesaikan agar konflik yang sama

tidak terulang lagi. Dengan demikian struktur sosial masyarakat studi dari aspek konflik

sampai pada implikasinya dapat ditelusuri dengan tepat.

Berdasarkan uraian sebelumnya, isu agama sebagai sumber konflik di Maluku

khususnya kota Ambon bukanlah masalah baru. Perbedaan agama menjadi salah satu

sumber konflik di Maluku sejak masa penjajahan Belanda, ditunjang dengan lemahnya

peran Negara dalam mengantisipasi kebebasan yang muncul setelah jatuhnya Orde

Baru sehingga agama kembali digunakan untuk menyulut konflik Ambon tahun 1999.

Namun, belum ada kajian khusus tentang isu agama sebagai sumber konflik di

pedesaan Maluku. Dengan demikian penelusuran sejarah untuk memahami ajang

konflik bernuansa agama di Ambon (Maluku) pada aras meso, serta di pedesaan Pulau

Saparua4 pada aras mikro menjadi langkah, sekaligus menelusuri keterkaitan antara

jejaring sosial dan konflik sebagai jalan untuk menentukan strategi resolusi konflik.

Implikasi konflik yang perlu ditangani seperti penanganan pengungsi yang tidak

kunjung selesai berpotensi menjadi sumber konflik baru. Padahal penanganan

pengungsi sudah dilakukan sejak konflik pertama meletus (tahun 1999).

Berdasarkan pada latar belakang dan penelusuran studi-studi yang dilakukan

sebelumnya seperti telah dikemukakan maka, dikembangkan tiga asumsi dasar yaitu :

a. Konflik yang dimulai di Ambon sejak Januari 1999 berakar pada masalah ekonomi,

politik, agama dan budaya ternyata dalam hitungan hari begitu cepat menyebar ke

seluruh pulau Ambon, bahkan kemudian beberapa bulan kemudian menyebar ke

wilayah administrasi atau Kabupaten lain (Maluku Tengah, Maluku Tenggara dan

3

3

(29)

akhirnya Maluku Utara – saat itu belum menjadi Propinsi sendiri), sehingga dapat

dikatakan bahwa akar konflik (ekonomi, politik, agama dan budaya) menjadi ikatan

penting dalam jejaring sosial yang terbentuk antar wilayah, mengingat penyebaran

konflik dengan melintasi wilayah laut secara logis bukanlah sesuatu hal yang

mudah dilaksanakan.

b. Jejaring sosial yang diasumsikan menggerakkan akar konflik pada dasarnya pula

bergantung pada elit yang berada di dalamnya mengingat elit-lah yang memiliki

basis masa (setiap anggota masyarakat pasti memiliki ikatan dengan elit-nya

sehingga lebih mudah menggunakan elit sebagai motor dalam menggerakkan

jejaring dibandingkan non-elit), sehingga dengan kekuatan yang dimilikinya elit

dapat menggerakkan jejaring sosial ke arah konflik atau ke arah kerjasama.

Asumsi ini mengarahkan pula pada peluang elit untuk menggunakan paling tidak

dua jejaring sosial yaitu, jejaring sosial yang mengarah pada proses disosiatif

(konflik) dan mengarah pada proses asosiatif (kerjasama).

c. Jika jejaring sosial ini mampu digunakan untuk memunculkan dan menyebarkan

konflik (jejaring sosial konflik), maka bukan tidak mungkin kalau dengan

menggunakan jejaring sosial pula konflik dapat diredam dan diselesaikan dengan

tepat. Dalam upaya meredam dan menyelesaikan konflik ini, jejaring sosial

mengarah pada kerjasama (jejaring sosial kerjasama). Dalam hal ini konflik dan

kerjasama dillihat sebagai dua sisi mata uang, sehingga suatu saat yang muncul

adalah konflik dan saat yang lain yang muncul adalah kerjasama. Dengan

demikian, peluang munculnya konflik dan kerjasama pada saat yang sama menjadi

mungkin mengingat elit mampu memanfaatkan lebih dari satu jejaring sosial.

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latarbelakang dan fokus penelitian yang telah dijelaskan ada

beberapa persoalan penelitian yang akan diuji, yaitu :

(1) Merujuk pada berbagai hasil studi sebelumnya maka dipertanyakan adakah factor

lain yang mendorong konflik di masyarakat Saparua selain ekonomi, politik, agama

dan budaya sekaligus untuk menjawab :

(1.1) Mengapa dan bagaimana konflik dapat berkembang ?

(1.2) Benarkah penyebaran konflik dimulai dari lapisan elit dan berbasis dari

(30)

(2) Bagaimana keterkaitan jejaring sosial dan konflik antara aras mikro (pedesaan),

dan meso (regional), lebih lanjut masalah ini dapat diurai menjadi :

(2.1) Adakah konflik berkaitan dengan jejaring sosial yang berkembang di

masyarakat Pulau Saparua ?

(2.2) Apabila ada, bagaimana terbentuknya kaitan serta dari mana jejaring

sosial tersebut ada ?

(2.3) Bilamana jejaring sosial bergerak ke arah konflik dan bilamana bergerak

ke arah kerjasama?

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkaji “mengapa dan bagaimana” jejaring sosial dan

konflik di Pulau Saparua Propinsi Maluku. Kajian tersebut mencakup pula beberapa hal

yaitu :

b. Mengungkapkan faktor lain di luar ekonomi, politik, agama dan budaya yang

mendorong terjadinya konflik di pedesaan Saparua.

b. Mengungkapkan keterkaitan jejaring sosial dan konflik antara aras mikro dan

meso.

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada :

a. Tataran teoritis yaitu, untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang

berkaitan dengan pengembangan teori konflik dengan memanfaatkan jejaring

sosial dalam konflik (penyebaran konflik, resolusi konflik sampai pada penanganan

implikasi konflik) atau pun sebagai suatu upaya untuk menghasilkan teori yang

menunjukkan keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik.

b. Tataran praktis yaitu, sebagai wujud kritik terhadap penyelesaian konflik yang

kelihatannya instan dan diprogramkan oleh pemerintah sehingga tidak

memperhatikan kehendak dari masyarakat yang berkonflik, ditambah lagi dengan

penanganan implikasi konflik yang bersifat instrumental semata.

1.5. Novelity

Penelitian ini memberikan sumbangan teori dalam memahami konflik masyarakat

di pedesaan. Teori disumbangkan melalui pendekatan jejaring sosial untuk memahami

(31)

diidentifikasi sebagai sumber konflik di kota Ambon diketahui bukan merupakan faktor

pendorong terjadinya konflik di pedesaan Saparua. Pemicu konflik di pedesaan Saparua

digerakkan oleh simpul-simpul penyebaran informasi yang berisi akibat buruk yang

diterima oleh korban konflik asal Saparua yang menetap di pulau Ambon dan sekitarnya.

Penyebaran informasi membentuk jejaring yang mampu menimbulkan dan

menyebarkan konflik ke pedesaan Saparua. Penyebaran informasi ditunjang pula

dengan keberadaan dakwah elit agama, yang mengarah pada kebenaran satu agama

terhadap agama yang lain.

Pembentukan jejaring diawali dengan arus balik masyarakat Saparua sebagai

pengungsi, akibat konflik yang terjadi di Ambon dan sekitarnya. Pengungsi asal

Saparua kemudian menjadi sumber informasi bagi kerabat dan tetangganya, terutama

menceritakan kembali proses terjadinya konflik serta akibat-akibat yang diterima sampai

kemudian harus melakukan pengungsian. Informasi yang berawal dari pengungsi,

kemudian tersebar ke negeri-negeri lain melalui kerabat dan tetangga. Penyebaran

informasi selanjutnya membentuk kesamaan persepsi bahwa komunitas lain yang

berbeda agama sebagai penyebab penderitaan sehingga harus mengungsi.

Penyebaran informasi pada masing-masing komunitas berbeda agama, selanjutnya

membentuk dua komunitas yaitu Salam dan Sarani.

Penyebaran informasi yang tidak terkontrol karena berawal dari individu yang

mengungsi kemudian tersebar menjadi persepsi komunitas menjadi bias, ketika

komunitas lain yang berbeda agama dituduh sebagai penyebab penderitaan.

Perbedaan agama sebagai salah satu sumber konflik di Ambon kemudian menyebar

melalui ikatan se-agama sampai ke Saparua. Biasnya informasi ditunjang penyebaran

isu dan selebaran yang tidak jelas kebenarannya, semakin memperkeruh hubungan

antara komunitas berbeda agama di pedesaan Saparua. Keberadaan Latupati sebagai

pengikat kekerabatan lintas agama di Saparua tidak mampu menahan penyebaran

informasi, sehingga ikatan adat Pela dan Gandong seperti tidak memiliki kekuatan saat

perbedaan agama dipersepsikan oleh komunitas Salam dan Sarani sebagai pemicu

penderitaan anggota komunitasnya masing-masing. Selain bahwa tidak ada upaya

pemerintah untuk menghindari terjadinya penyebaran konflik, bahkan cenderung terjadi

pembiaran oleh pihak keamanan yang bertugas di Saparua. Terjadinya konflik terbuka

antara komunitas Salam dan Sarani didorong penyebaran informasi yang

(32)

Resolusi konflik di pedesaan Saparua memerlukan dua langkah yang berjalan

sekaligus, yaitu penggunaan penyelesaian berasaskan penguatan budaya lokal dan

diikuti penguatan kembali hubungan-hubungan agraris dalam konteks reforma agraria.

Dengan langkah awal melakukan analisis keberadaan hak-hak atas sumberdaya alam

dan lahan dari negeri dan batas-batasnya melalui pembicaraan adat.

Sebagaimana layaknya penelitian ilmiah, maka penelitian ini memiliki beberapa

kelebihan dan kelemahan. Kelebihan penelitian ini yaitu :

a. Peneliti yang berasal dari komunitas Sarani mengalami kesulitan saat

melaksanakan pengumpulan data terutama di Negeri Sirisori Salam, namun

melalui beberapa strategi yang dijelaskan pada lampiran Disertasi (sumbangan

ilmiah dari aspek metodologi penelitian) data-data yang diperlukan dapat diperoleh

sehingga mampu menjelaskan lebih jauh bagaimana keterkaitan jejaring sosial dan

konflik di Saparua.

b. Asal usul peneliti yang berasal dari Saparua sangat membantu dalam

pengumpulan data, terutama data yang sulit diungkapkan karena menyangkut

proses terjadinya penyerangan serta bantuan-bantuan (senjata standart, senjata

rakitan, dan amunisi) yang digunakan masing-masing komunitas saat konflik

terjadi.

Kelemahan penelitian ini :

a. Sulitnya untuk memperoleh fakta sumber-sumber penyebaran isu yang tidak

terbukti kebenarannya, baik dalam lingkungan komunitas Salam maupun Sarani.

b. Penelitian ini tidak mampu mengungkapkan keterlibatan institusi resmi Negara

(Sipil dan Militer) secara jelas dalam konflik, karena terbatasnya data yang relevan

untuk menjelaskan keterlibatan tersebut.

Kesulitan tersebut di atas menyebabkan penelitian ini tidak dapat mengungkapkan

secara tegas keterkaitan jejaring sosial penyebaran konflik antar aras mikro sampai

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Jejaring sosial dapat menjadi sebab dan akibat konflik, maupun upaya resolusi

konflik di pedesaan. Dalam kerangka inilah dijelaskan bagaimana secara teori, konflik

dalam kaitannya dengan jejaring sosial yang di dalamnya ada proses komunikasi.

Sebelumnya perlu ditelusuri hasil-hasil studi bernuansa konflik melalui studi-studi di

Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI) dan Lembaga Ilmu dan

Pengetahuan Indonesia (LIPI) sampai tahun 2004. Hasil-hasil studi tersebut merupakan

bagian dari proses pemetaan konflik masyarakat pedesaan di Indonesia.

2.1. Memahami Konflik di Masyarakat Pedesaan

2.1.1. Pemetaan Konflik Masyarakat di Pedesaan

Pemetaan konflik masyarakat pedesaan di Indonesia dilakukan dengan

menelusuri hasil studi bernuansa konflik di Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas

Indonesia (UI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penelusuran tersebut

menghasilkan beberapa konsep dan teori yang sering digunakan. Konsep-konsep yang

digunakan pada “panggung konflik agraria” yaitu :

a. Konsep kelas Marxian, yang membagi masyarakat berdasarkan kepemilikannya

yaitu penguasaan lahan dan akhirnya tingkat pendapatan, sehingga dikenal ada

golongan atas yang menguasai tanah luas dan golongan petani sempit atau antara

nalayan pemilik dan non-pemilik (Machfuddin, 1981; Girsang, 1996; Sjamsuddin,

1984; Sitorus, 1997; Hanggar, 2001), bahkan ditambah dengan kelas “bawah” atau

golongan ketiga sebagai petani tak bertanah (Hamid, 1981), juga ditambah pula

dengan golongan “sedang” (Kliwon, 1985)

b. Konsep kelas Weberian, yang membagi masyarakat berdasarkan multi-dimensi

bukan hanya kepemilikan saja dan menghasilkan elit lokal ekonomi, elit lokal politik

dan elit lokal sosial (Satria, 2000) yang sebenarnya merupakan akibat dari tindakan

“rasional” individu.

c. Konsep “patron-client”, sebagai akibat ketakutan petani menanggung resiko

“kegagalan” (Sutisna, 2001)

d. Konsep konflik sebagai suatu peselisihan atau perbentrokan antara dua pihak

karena memperebutkan “tanah pusaka” (Harun, 1998), juga sebagai konflik

kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, serta konflik antara penduduk asli

(34)

makna protes pemilik tanah (Saleh, 1997); sengketa tanah adat (Tantri, 2002);

konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan (Petrus, 2000); perlawanan

nelayan sebagai strategi adaptasi (Dede, 2001)

e. Konsep monetesi pedesaan, yang berakibat pada hilangnya atau menyempitnya

atau pun berubahnya fungsi lahan pertanian (Sahab, 2002)

Konsep-konsep yang digunakan pada panggung “konflik peluang berusaha dan

bekerja” yaitu :

a. Konsep persaingan di bidang usaha dagang, yang menghasilkan dominasi yang

satu (etnis cina) terhadap yang lain (etnis melayu), atau dikatakan yang tertindas

menjadi tersubordinasi (Arbi, 2001); konsep konflik kepentingan antar pedagang,

(Meiyani, 1998);

b. Konsep status yang terbentuk sebagai hasil keberadaan kekuatan ekonomi atau

pendapatan rumahtangga, sehingga menghasilkan status rumahtangga kuat,

kurang kuat dan pekerja (Susilowati, 1986)

c. Konsep kelas sosial yang diadaptasi dari Marx dan Weber, dan menghasilkan

pengertian kelas yang merupakan golongan dari sejumlah orang yang memiliki

hubungan produksi yang sama dalam bidang ekonomi (Murdiyanto, 2001) juga

pembagian kelas ala Marx yang menghasilkan lapisan masyarakat bawah

(lower-level) sebagai nelayan dan produsen ikan/nelayan tradisional yang berstatus

sebagai buruh dan melakukan usaha tanpa motor serta masyarakat atas

(upper-level) sebagai pemilik modal dan penguasa/nelayan non tradisional sebagai nelayan

pemilik dan melakukan usaha menggunakan perahu bermotor (Pranadji, 1995;

Boer, 1984)

d. Konsep rasionalitas petani yang dijadikan alasan yang paling memungkinkan

sebagai faktor pemicu sehingga petani melakukan tindakan-tindakan sosial yang

dianggapnya logis (Mukhtar, 1994)

Panggung “konflik nilai sosial budaya” sendiri mengungkapkan beberapa konsep

penting yaitu :

a. Konsep elit informal yang berperan dalam proses pembuatan keputusan

pembangunan desa disebabkan oleh penggerak yang bersifat laten yang

didasarkan pada hubungan sosial dan struktur sosial dari masyarakat (Iberamsjah,

(35)

b. Konsep integrasi yang tidak lagi diartikan sebagai pembauran berbagai kelompok

etnis dengan mengorbankan nilai atau norma yang mereka anut, tetapi lebih

cenderung ke arah sosialisasinya Coser, yang memungkinkan seseorang tidak

memaksakan apa yang dianggap baik oleh suatu kelompok padahal berbeda

menurut pandangan etnis lain, sehingga integrasi dianggap sebagai sikap dan

pandangan serta pola hubungan yang harmonis dari dan antar para

pelaku-pelakunya sehingga tercipta homogenitas pada pola nilai-nilai dan norma di antara

kelompok dan struktur yang ada (Saad, 1984), juga menghasilkan perubahan

secara sadar terhadap aspek kesejahteraan yang disebabkan proses interaksi antar

individu dan antar kelompok masyarakat yang berinteraksi dan akhirnya

menghasilkan “sesuatu yang baru” serta penciptaan keadaan yang lebih baik

(Yosep, 1996); konsep integrasi pada unit pemukiman transmigrasi (Soumokil

1992); konsep keserasian hubungan antar etnik di perkotaan (Hartoyo, 1996);

konsep integrasi masyarakat terasing ke dalam sistem nasional (Tasman, 1995);

konsep tingkat integrasi transmigrasi dan penduduk asli (Torro, 1998); konsep

interaksi antara masyarakat pendatang dan lokal (Ikhawan, 2000); konsep konflik

dan integrasi dalam Komunitas Islam di Bali (Budi, 1992).

c. Konsep status, yang dikembangkan sebagai hasil dari penggunaan sumberdaya

manusia dan pengelolaan sumberdaya alam yang tercermin dalam pola usaha, dan

menentukan pula produksi sekaligus pendapatan, atau dengan kata lain dasar

ekonomi menjadi penentu status seseorang dalam masyarakatnya (Singarasa,

1988)

d. Konsep kelas berdasarkan kedudukan dalam kekerabatan, sehingga lebih cocok

dengan kelas Weberian yang lebih multidimensi dibandingkan dengan Marxian yang

hanya terfokus pada dasar kepemilikan yang mengarah ke ekonomi, walaupun

dalam aplikasinya ternyata terdapat tiga kelas dalam masyarakat yaitu lapisan atas,

lapisan menengah dan lapisan bawah (Siagian, 2000); konsep konflik sebagai

pertentangan kelas sosial dan ekonomi (Warsilah 2003)

e. Konsep gerakan sosial (Keron, 2001); konsep solidaritas internal dan integrasi

kelompok (Ngabalin, 2001); konsep konflik etnis yang menjurus pada konsep

kerusuhan sosial (Syahrul, 2001; Konita, 2003); konsep pengakuan yang diperoleh

dengan strategi oleh etnis lokal (Satrio, 2002); konsep resolusi konflik antara migran

dengan penduduk asli (Zainuddin, 2002); konsep konflik etnis dan ras (Lan, 2003);

(36)

Berbagai konsep yang dicetuskan melalui studi pada masing-masing panggung,

menunjukkan adanya kemiripan walaupun pada kedudukan panggung yang berbeda.

Hal ini menjadi satu keraguan untuk menyatakan ada “pembaharuan” dalam

penggunaan konsep-konsep pada studi yang bernuansa konflik. Hal ini terlihat dengan

jelas, apabila konsep-konsep tersebut disandingkan dengan konsep-konsep yang asli.

Studi konflik yang dilakukan di UI cukup memberikan sumbangan konsep-konsep

dan teori-teori demi perkembangan studi konflik di Indonesia. Hal ini disumbangkan

oleh kajian studi konflik yang lebih beragam, serta tidak adanya pembatasan kajian pada

batas “pedesaan”. Selain itu, kekuatan teori yang dibangun lebih nyata karena

studi-studi yang dilakukan lebih terfokus pada tataran teoritik dibandingkan tataran praktis

(empirik) seperti di IPB. Hasil kajian menunjukkan keberadaan konsep-konsep yang

ternyata semuanya berada di bawah payung “teori konflik” sehingga menawarkan

“disharmonisasi” seperti konsep pemetaan konflik, manajemen konflik, komunal,

separatis yang dipadu dengan konsep-konsep konflik horizontal, konflik vertikal,

elit-massa, antar elit, struktur konflik, penggerak konflik, konflik tanah, hukum negara dan

hukum adat. Selain itu pandangan Coser menjadi acuan bahwa konflik antar kelompok

menyebabkan menguatnya solidaritas internal dan memperkuat integrasi kelompok,

sebagai hasil proses komunikasi desas-desus.

Hasil lacakan terhadap hasil studi bernuansa “konflik” di LIPI, ternyata penggunaan konsep-konsep Marxian dalam menganalisis fenomena konflik sudah “mendominasi” setelah melewati tumbangnya ORBA (tahun 1998), sehingga keinginan peneliti untuk menelusuri “sesuatu” yang bertentangan dengan kebiasaan (mainstream) juga bermunculan seiring dengan munculnya era “reformasi”. Studi konflik di LIPI akhirnya lebih mampu memberikan sumbangan konsep-konsep dan teori-teori demi perkembangan studi konflik di Indonesia. Hal ini disumbangkan oleh kajian studi konflik yang lebih beragam, serta tidak adanya pembatasan kajian. Selain itu, ditunjang pula oleh kemampuan mengelola tataran teoritik dan praktis (empirik) secara bersamaan dalam pelaksanaan studi. Walau pun dalam hal perkembangan teori ternyata sama seperti di UI yaitu, nuansa konflik lebih cepat bergerak setelah munculnya “reformasi” (tahun 1998). Perkembangan teori sekaligus ditentukan oleh keberanian menentukan fokus kajian studi, karena semakin terfokus pada disharmonisasi maka penggunaan teori konflik akan lebih mampu memaparkan fenomena-fenomena yang ada. Oleh karena itu, studi-studi terbaru yang dilakukan LIPI (setelah 2000 – seiring dengan maraknya konflik sosial di Indonesia) mengangkat fenomena konflik dari sisi

“disharmonisasi” dengan menggunakan teori konflik sehingga mampu menjelaskan fenomena konflik dengan lebih tajam, lengkap dan sesuai fenomena yang ada.

Sehingga dapat dikatakan bahwa, studi-studi konflik (baik di IPB dan di luar IPB termasuk UI dan LIPI) mengarah pada pengungkapan runtut kejadian (berlangsungnya konflik), mencari akar permasalahan (akar konflik), menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan konflik serta menguraikan cara menanggulangi konflik. Akar

(37)

ekonomi dan aspek nilai (budaya atau agama). Kedua aspek ini memunculkan aspek lainnya seperti politik. Hasil kajian menunjukkan belum ada studi yang menjelaskan adanya keterkaitan konflik dan jejaring sosial baik dari penyebab konflik maupun cara penanggulangan konflik.

Berkaitan dengan konflik pedesaan yang disajikan dalam disertasi ini, dapat

dikatakan bahwa kemunculan konflik di kalangan masyarakat pedesaan khususnya

Pulau Saparua merupakan imbas dari konflik yang berkepanjangan di kota Ambon.

Sehingga pilihan jejaring sosial sebagai aspek penting dalam konflik pedesaan Pulau

Saparua menjadi jelas. Bahwasannya konflik di Saparua muncul karena diperluasnya

konflik Ambon ke berbagai wilayah lain secarra sengaja oleh “pihak-pihak yang

berkepentingan”, atau pun secara tidak sengaja oleh masyarakat pedesaan melalui

proses komunikasi antar individu yang berkerabat dan atau bertetangga yang berisi

terjadinya konflik serta akibat-akibat yang diderita. Proses penyebaran konflik dari

Ambon ke berbagai wilayah lain paling terjadi karena ada jejaring sosial yang

menghubungkan antara wilayah Ambon dengan wilayah sasaran penyebaran konflik

termasuk Saparua.

2.1.2. Konflik Masyarakat di Pedesaan

Masyarakat manusia di manapun berada senantiasa menghadapi kemungkinan

terjadinya konflik. Sepanjang peradaban manusia di muka bumi, konflik merupakan

warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan. Konflik atau pertentangan umumnya

dianggap sebagai sesuatu yang tidak fungsional. Suatu sistem, pranata, atau institusi

yang acapkali mengalami konflik dinilai tidak lebih harmonis daripada sistem, atau

institusi lain yang relatif jarang mempunyai konflik. Pemahaman seperti ini lebih

disebabkan oleh adanya kecenderungan dari kebanyakan orang untuk memilih “strategi

hidup” yang akomodatif, daripada harus memakai jalan yang sering menempatkan orang

dalam posisi yang saling kontradiktif.

Dalam analisis studi konflik, paling tidak ada tiga pandangan klasik yang dapat

dipakai sebagai dasar. Ketiga pandangan tersebut masing-masing diungkapkan oleh

Marx, Coser dan Dahrendorf seperti dijelaskan berikut ini.

1. Pandangan Karl Marx (1967)

Dalam teori Marx terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang tidak dapat

diabaikan oleh teori apa pun, antara lain adalah penegakuan akan adanya struktur kelas

dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara

(38)

ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadarannya; serta berbagai

pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial.

Marx memberi tekanan pada dasar ekonomi untuk kelas sosial, khususnya

pemilikan alat produksi. Ia juga mempunyai ide yang kontroversial mengenai sistem

dua-kelas yang digunakan dalam analisisnya, khususnya tentang ramalannya mengenai

pertumbuhan yang semakin melebar antara kelas borjuis dan proletar. Marx

mengajukan ramalan mengenai revolusi proletariat di waktu yang akan datang, dimana

menurutnya tidak akan terjadi perubahan struktur sosial yang utama, kecuali dengan

revolusi.

Filosofi Marx banyak ditemukan dalam analisa sosiologi maupun ekonomi.

Intinya Marx menghubungkan antara komitmen ideologi dengan struktur ekonomi dan

posisi kelas. Pemikiran filosofi Marx berpusat pada usahanya untuk membuka kedok

sistem nilai masyarakat; pola kepercayaan; dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang

mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Marx lebih memberi

tekanan pada pentingnya kondisi materiil dalam struktur masyarakat, dan membatasi

pengaruh budaya yang bebas terhadap kesadaran individu serta perilakunya.

Marx (1967) membagi kesadaran manusia menjadi “kesadaran palsu” dan

“kesadaran benar”. Misalnya, ia meyakini bahwa kepatuhan dari para buruh dalam

pekerjaannya merupakan kesadaran palsu, sebab sesungguhnya dalam diri mereka

terdapat bentuk kebutuhan lain yang ingin diperjuangkannya. Marx menunjuk

kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang

sifatnya memang mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subyektif

mereka atas kondisinya.

Dengan demikian jelaslah, bahwa Marx memberikan gambaran tentang model

konflik klas revolusioner dan perubahan sosial. Marx mengajukan asumsi yang sangat

simpel, yaitu organisasi ekonomi, khususnya kepemilikan tanah (the ownership of property) akan menentukan organisasi yang ada dalam masyarakat. Struktur kelas dan susunan institusional seperti nilai budaya, kepercayaan, dogma agama/religi, dan sistem

ide lain merupakan refleksi dasar-dasar ekonomi masyarakatnya (Marx, 1967). Oleh

karena itu, semakin segmen sub ordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya

yang sesungguhnya (true collective interests), semakin cenderung mereka

mempertanyakan legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber langka

(39)

1. Semakin perubahan sosial dibuat oleh segmen dominan untuk merusak keberadaan hubungan di antara segmen subordinat, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya.

2. Semakin segmen dominan menciptakan keterasingan di antara segmen subordinat, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya.

3. Semakin para anggota segmen subordinat dapat mengkomunikasikan keluhan-keluhan di antara satu dengan yang lain, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya.

4. Semakin segmen subordinat dapat mengembangkan ideologi yang mempersatukan (unifying ideologies), semakin cenderung mereka menjadi sadar akan kepentingan kolektifnya.

2. Pandangan Ralf Dahrendorf (1959)

Menurut Dahrendorf (1959), terdapat hubungan yang erat antara konflik dengan

perubahan sosial. Konflik akan menyebabkan terciptanya perubahan sosial. Aspek

terakhir teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial.

Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi

konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan

perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan

yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan

kekerasan, maka perubahan struktural akan efektif.

Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua muka, yaitu konsensus

dan konflik. Teorinya tentang konflik dialektik ini dianggap masih mendapat pengaruh

dari Marx. Menurutnya setiap organisasi sosial akan menunjukkan realita :

• Setiap sistem sosial akan menampilkan konflik yang berkesinambungan,

• Konflik dimunculkan oleh kepentingan oposisi yang tak terhindarkan,

• Kepentingan oposisi tersebut merupakan refleksi dari perbedaan distribusi kekuasaan di antara kelompok dominan dan kelompok lapisan bawah,

• Kepentingan akan selalu membuat polarisasi ke dalam dua kelompok yang berkonflik.

• Konflik selalu bersifat dialektik, karena resolusi terhadap suatu konflik akan menciptakan serangkaian kepentingan oposisi yang baru, dan dalam kondisi tertentu, akan memunculkan konflik berikutnya.

• Perubahan sosial selalu ada pada setiap sistem sosial, dan hal ini merupakan hasil yang tidak terhindarkan dari konflik dialektik, dan aneka tipe pola institusional.

Konflik berhubungan dengan tumbuhnya kesadaran kelompok subordinat

tentang kepentingan obyektifnya. Peningkatan kesadaran tersebut sejalan dengan

bekembangnya kondisi teknik (kader kepemimpinan dan kodifikasi dalam sistem ide),

Gambar

Tabel 2  Perbedaan Efek Komunikasi dengan Jaringan Komunikasi
Tabel 3. Kategori komplementer Modal Sosial
Tabel 4.  Kontinum Modal Sosial
Gambar 2.  Kerangka Pikir
+7

Referensi

Dokumen terkait