• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Ikhtisar

Teori konflik secara fungsional yang dikemukakan Coser dapat menjadi saluran memahami konflik dalam tataran mikro, dengan individu, dan struktur jaringan sosial yang biasanya menjadi unit kajian konflik melalui pendekatan teori perilaku. Dalam upaya pengembangan teori konflik yang fungsional dan didekati melalui pendekatan teori perilaku disebutkan, bahwa konflik terjadi akibat bias persepsi di kalangan anggota kelompok atau masyarakat. Oleh karenanya muncul sikap positif terhadap kelompok dirinya masing-masing (in-group), berupa solidaritas internal, dan sikap negatif terhadap kelompok lain (out-group). Proses ini menumbuhkan jejaring sosial baru dan secara struktural terjadi perubahan akibat kelahiran kepemimpinan yang bersifat agresif. Akhirnya kondisi ini akan melahirkan konflik. Apabila konflik yang terjadi akan diselesaikan, maka masyarakat yang menghadapi konflik harus mampu mengubah konflik, pertikaian, atau perselisihan menjadi sebuah bentuk kerja sama. Secara teori, konflik antarkelompok itu akan berubah menjadi kerjasama apabila kepada mereka dikenalkan sebuah tujuan yang asasnya secara meyakinkan dapat membuat mereka yang sedang bertikai melihat sesuatu yang jauh lebih penting dari persoalan yang menjadi sumber konflik, sehingga mereka berusaha bekerjasama (Sherif, 1998 dikutip oleh Santosa, 2004).

Pemahaman konflik dengan menggunakan kerangka Teori Konflik Fungsional dan Teori Perilaku dapat menjadi dasar dalam memberi kerangka penyelesaian konflik. Mengikuti pandangan Burton (1991), penyelesaian konflik dapat dilakukan dalam tiga bentuk berbeda. Pertama, melalui manajemen untuk menemukan alternatif jalan keluar sebuah perselisihan (by alternative dispute resolution) agar dapat menampung atau membatasi konflik. Kedua, adalah penyelesaian konflik (settlement) dengan menggunakan proses yang bersandar pada wewenang dan hukum yang dapat

dipaksakan oleh kelompok elit. Sedangkan, penyelesaian yang ketiga adalah melakukan resolusi konflik. Bentuk penyelesaian yang berbeda dengan sekedar penyelesaian konflik melalui pendekatan manajemen konflik atau penyelesaian konflik yang bersandar pada kewenangan hukum. Resolusi konflik lebih menjadi sebuah proses analisis dan penyelesaian masalah yang menjadi sumber konflik dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan, juga perubahan-perubahan kelembagaan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan tersebut.

Keterkaitan jejaring sosial dan konflik dilihat berdasarkan berpindahnya informasi dari satu pihak ke pihak lainnya. Berpindahnya informasi membentuk persamaan persepsi terhadap “sesuatu” yang diinformasikan. Akibat konflik yang dirasakan oleh satu pihak, diinformasikan ke pihak lain (kerabat, teman atau tetangga) di tempat pengungsian menimbulkan persepsi yang sama dalam arti kerabat, teman atau tetangga turut merasakan kesulitan yang dihadapi pemberi informasi akibat konflik yang berkepanjangan. Kemasan informasi kemudian menyebar dan membentuk kelompok yang memiliki persepsi yang sama terhadap informasi tersebut. Persepsi selanjutnya berubah menjadi perilaku emosional yaitu, keinginan untuk membalaskan dendam kepada siapa saja yang dianggap menyebabkan pemberi informasi mengalami kesulitan saat konflik. Penjelasan tersebut mengarah pada Teori Pembelajaran Sosial yang dikembangkan Bandura (1971) yang dikutip oleh Hjelle dan Ziegler(1992). Bandura menjelaskan teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain. Teori Pembelajaran Sosial terutama bagaimana cara pandang dan cara pikir terhadap informasi yang diterima, mengarahkan terbentuknya perilaku konflik akibat cara pandang dan cara pikir bahwa kesulitan akibat konflik yang diterima kerabat, teman dan atau tetangga merupakan akibat dari perbuatan pihak atau kelompok lain. Sehingga satu-satunya cara penyelesaiannya hanya membalaskan dendam kepada kelompok yang sama walaupun bukan pelaku yang sebenarnya.

Konteks konflik di pedesaan Saparua menunjukkan bagaimana kesulitan atau akibat yang diterima pihak Salam dan Sarani asal Saparua yang tinggal di luar Saparua menjadi informasi yang menyebar bagi kerabat, teman dan tetangga saat kembali ke

Saparua sebagai pengungsi. Penyebaran informasi memebentuk dua kelompok korban konflik, kemudian bermuara pada dua komunitas Salam dan Sarani. Padahal akibat yang diterima bukan perbuatan salah satu anggota kelompok di Saparua, tetapi di luar Saparua. Namun informasi telah membentuk persepsi, yang berkembang menjadi perilaku membalaskan dendam pada komunitas yang dianggap sebagai penyebab.

Sumber-sumber utama konflik seperti ekonomi, politik, agama dan budaya secara tidak langsung dialihkan oleh adanya penyebaran informasi yang membentuk kelompok dan kemudian komunitas berdasarkan ikatan agama yang sama pada suatu jejaring sosial. Sehingga jejaring sosial yang lain dengan dasar ikatan budaya yang sebenarnya melampaui ikatan agama, menjadi tidak berfungsi. Konflik kemudian berkembang menjadi berkepanjangan, ketika perilaku yang terbentuk dari informasi yang bergerak dalam jejaring sosial dengan ikatan agama merupakan perilaku saling membalaskan dendam.

Kajian jejaring sosial dan konflik di masyarakat pedesaan ini lebih merujuk pada upaya manajemen bukan penyelesaian konflik dengan pengaturan konflik berdasarkan kewenangan yang umumnya didasarkan pada aktivitas mediasi dan negosiasi. Oleh karena dua pendekatan yang disebut terakhir hanya akan berjalan jika pihak-pihak yang berkonflik setuju untuk bernegosiasi dan mempunyai posisi tawar yang sama. Padahal, hal tersebut sering tidak dipunyai masyarakat, khususnya mereka yang ada di pedesaan. Dengan demikian, hal yang penting dilakukan dalam penyelesaian konflik di masyarakat pedesaan adalah melacak konflik untuk menemukan proses perubahan berencana sebagai bentuk manajemen konflik yang mengarahkan penyelesaian konflik sebenarnya. Merujuk pada penyebaran informasi yang membentuk kelompok dengan ikatan agama dalam satu jejaring sosial, upaya penyelesaian konflik secara sederhana dapat dilakukan dengan mengubah isi informasi. Informasi akibat konflik diganti dengan informasi penguatan adat/budaya, sehingga ikatan adat/budaya kembali dikuatkan dan diharapkan kembali melampaui ikatan agama seperti sebelum konflik. Jika strategi ini mampu dijalankan, diharapkan menjadi satu strategi manajemen konflik melalui penguatan kelembagaan adat/budaya yang tidak memandang agama atau aspek lain baik politik dan ekonomi sebagai faktor pembatas.

Penelitian ini dilakukan untuk mempertanyakan apakah selain faktor-faktor penyebab yang diungkapkan berbagai penelitian sebelumnya, adakah faktor lain yang mendorong terjadinya konflik di Saparua. Merujuk pada kenyataan tersebut maka aspek ekonomi, politik, budaya dan agama diterima sebagai akar konflik sebagaimana telah

diungkapkan oleh berbagai studi sebelumnya, namun selain ke empat faktor tersebut jejaring sosial terindikasi sebagai faktor lain yang mendorong terjadinya konflik. Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan penting dalam mengungkapkan keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik, sehingga ada sumbangan teori yang belum pernah diungkapkan oleh berbagai studi konflik selama ini.

III. METODOLOGI PENELITIAN