• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergeseran Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua

V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA

5.4. Pergeseran Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua

Berbagai temuan menyebutkan bahwa Selama 30 tahun masa orde baru pranata-pranata lokal ini telah mengalami marjinalisasi, modifikasi, dan disorganisasi dalam konteks pengintegrasian pranata lokal ke dalam struktur pemerintahan daerah berdasarkan UU No 5/1974. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali berbagai permasalahan yang terjadi sebagai acuan untuk menghindari berulangnya kesalahan, mengangkat kembali potensi yang ada, serta mengulas bagaimana dan sejauhmana pendinamisan dan pemberdayaan kembali pranata-pranata lokal itu dapat dilaksanakan untuk menunjang otonomi daerah. Isu-isu yang relevan perlu dikaji secara cermat untuk kepentingan-kepentingan penelitian, penetapan kebijakan dan pendampingan, agar pelaksanaan otonomi daerah tidak lagi mengabaikan pranata-pranata dan budaya lokal. Selanjutnya, diharapkan dapat diwujudkan pemerintah daerah yang demokratis, bernafaskan kerakyatan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya setempat dalam mencapai masyarakat lokal yang tangguh.

Penerapan UU No. 5/1974 di Maluku, telah merengut kemerdekaan dan kemampuan pemerintahan adat sebagai pelaksana sistem pemerintahan desa yang selalu diwariskan secara turun temurun. Pewarisan sistem pemerintahan adat bukanlah

suatu hegemoni buta, tetapi lebih didasarkan pada kekuatannya untuk mempertahankan kearifan lokal yang ada dalam kehidupan masyarakat. Struktur pemerintahan adat di Maluku memberlakukan tiga fungsi negara secara umum yaitu, pertama, Raja (kepala desa) beserta pembantu-pembantunya yang berfungsi menjalankan pemerintahan;

kedua, Saniri Negeri yaitu kepala-kepala soa (kumpulan mata rumah – keluarga) yang berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan; ketiga, Kewang (polisi) yang berfungsi mengawasi jalannya peraturan dalam masyarakat, termasuk pelanggaran kearifan lokal yaitu sistem pemilikan (dusung) dan pelanggaran usaha pelestarian lingkungan (sasi). Dengan demikian dalam sistem pemerintahan adat di Maluku, telah dibedakan antara fungsi pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Maluku cukup beragam. Namun keragaman tersebut menjadi tidak berarti, karena tanpa keberadaan pemerintahan adat tidak mungkin dapat dijalankan secara baik. Beberapa gambaran yang khas dari sistem pemerintahan adat antara lain, adanya sistem pemilikan komunal yang tidak memungkinkan pemilikan pribadi dengan sertifikasi. Hal ini bukanlah pelanggaran hak pribadi, tetapi lebih didasarkan pada usaha pewarisan milik tersebut secara tetap dan kontinu bagi generasi selanjutnya. Oleh karena itu hak milik yang dikatakan pribadi, tidak dapat dijual secara bebas.

Modernisasi pertanian sebagai model pembangunan yang berdasarkan pendekatan top-down ternyata memerlukan biaya yang tinggi. Model seperti ini juga semakin lama, menurunkan kualitas lingkungan sekaligus merusakkan lingkungan. Hal ini dilihat pula dengan perpanjangan tangan pemerintah pusat, yang turut dirasakan oleh masyarakat pedesaan di Maluku melalui kepala desa (pemimpin desa). Kedudukan kepala desa sebagai pemimpin negeri di Maluku, selama ini menjadi perdebatan sengit. Namun “hegemoni” UU No 5/1974, ternyata sulit dihadapi dan berakhir dengan terkooptasinya masyarakat ke dalam pelaksanaan UU tersebut yang dikatakan penuh nuansa demokrasi. Padahal dalam penerapannya sudah kelihatan “ketidak demokrasiannya”, karena rakyat tidak pernah ditanyakan pendapatnya seperti rakyat di Maluku yang masih menjalankan sistem pemerintahan adat.

Melalui UU No 5/1974, mulailah diterapkan kebebasan dalam memilih secara demokratis pemimpin desa beserta aparat pembantunya (walaupun sebenarnya sering sudah diatur oleh pemimpin di atasnya demi kepentingan politiknya). Penerapan UU tesebut menyebabkan posisi kepala desa bisa diduduki oleh siapa saja termasuk oleh orang yang berasal dari luar desa (tanpa memperhitungkan keturunan seperti halnya

dalam pemerintahan adat). Oleh karena itu pengetahuan lokal pemimpin desa seringkali tidak ada sama sekali. Kemudian dibentuk LKMD menggantikan Badan Saniri Negeri, yang biasanya diisi oleh pegawai negeri sipil yang kebetulan bertugas dalam desa tersebut (mantri, bidan, guru) sehingga pemahaman tentang masyarakat setempat belum memadai. Selain itu, tidak diakomodasikan lembaga kewang (yudikatif) dalam sistem pemerintahan desa yang baru semakin memperuncing potensi konflik antara elit lokal formal dengan informal.

Elit lokal formal yang memegang kekuasaan saat ini, ingin mempertahankan kekuasaan yang sudah dipegangnya selama ini. Pada sisi lain, elit lokal informal masih menganggap dirinya sebagai pemegang kekuasaan (karena secara adat masih melekat pada dirinya). Potensi konflik yang sudah lama terpendam ini, memungkinkan diarahkan menjadi konflik terbuka antara elit lokal formal dan informal beserta pengikutnya masing-masing. Oleh karena itu, sering terjadi dalam pelaksanaan pembangunan di suatu desa yang dipimpin kepala desa (bukan dari elit lokal informal), biasanya tidak mendapat dukungan dari elit lokal informal beserta kelompoknya.

Masing-masing elit (baik elit lokal formal maupun informal) dapat mempengaruhi pengikutnya untuk mengikuti harapan masing-masing elit. Oleh karena itu, kedudukan elit lokal sangat penting dalam mewarnai konflik yang terjadi. Kekuatan dan potensi berkembangnya konflik, sangat tergantung pada masing-masing elit lokal yang berkonflik. Masing-masing elit lokal dapat mempengaruhi pengikutnya untuk melanggengkan konflik atau untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara mereka.

Pola pembangunan di Indonesia yang lebih berorientasi pada kota dan mengabaikan desa, mengakibatkan hajat hidup masyarakat desa yang lebih banyak disisihkan dibandingkan dengan masyarakat kota. Perhatian pembangunan kota dibandingkan dengan desa tersebut, merupakan akibat awal terciptanya kota sebagai primadona serta memiliki daya tarik (pull factors) yang kuat bagi masyarakat desa dibandingkan dengan daya dorong (push factors) masyarakat desa pergi ke kota. Gemerlap kota tanpa memperhatikan keseimbangannya dengan pembangunan di desa, menyebabkan masyarakat desa berbondong-bondong menuju ke kota. Sebaliknya, desa yang pada dasarnya memiliki sumberdaya alam untuk dieksploitasi namun tidak sebanding dengan daya dukung sumberdaya manusia yang tersisa serta kurangnya perhatian pemerintah turut mendukung terciptanya desa dengan embel-embel kehidupan yang kurang gizi. Bahkan, desa-desa yang miskin ini dibiarkan begitu saja, sehingga desa itu sendiri harus lenyap akibat intervensi ekonomi perkotaan.

Maluku merupakan konflik SARA paling awal, paling lama dan paling berdarah sepanjang sejarah kolonial di Indonesia. Tapi banyak pakar menunjuk Orde Baru sebagai biang keladi timbulnya kerusuhan sosial di kawasan itu. Orde Baru memang represif, yang meminggirkan mekanisme adat sebagai instrument problem solving bagi komunitas setempat. Bisa jadi juga, provokator dengan motif politik tertentu ikut bermain pula. Namun satu hal yang pasti ada yaitu, adanya ketegangan SARA yang sebenarnya belum hilang sebagai bentuk pewarisan masa kolonial dan secara tidak langsung masih tersimpan sebagai pengalaman pahit yang harus selalu dikenang dan diwariskan pada generasi selanjutnya. Kenyataan demikian menimbulkan pemahaman dan pengetahuan yang negatif antaretnik dan kemudian antaragama, sehingga bermunculan anggapan-anggapan yang saling menyudutkan bahkan menjelekkan antara satu dan lainnya ibarat cap yang dipatri dan sulit dihilangkan.

Masa Portugis. Perselisihan antarkomunitas di Maluku memang sudah berlangsung lama, terutama antara empat kerajaan Salam (Moluku Kie Raha) – yakni ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo – yang sering melibatkan Kimalaha (vazal) mereka di bagian selatan : Pulau Ambon (Leihitu di Utara dan Leitimor di Selatan), Haruku, Seram, Saparua, Manipa, Nusalaut, Buano, Tual, Buru dan sebagainya. Namun, skala perang, intensitas dan nuansanya berubah setelah peng-Sarani-an orang Maluku oleh Padri Portugis, dan tentunya monopoli rempah-rempah. Apalagi ditunjang dengan kehadiran Spanyol yang mendukung Tidore, sebagai lawan dari Ternate yang terlebih dahulu bersekutu dengan Portugis.

Nanulaitta (1966) menyebutkan, dengan menguasai jalur perdagangan Salam di mana saja ditemukan, diikuti dengan menyiarkan agama Katolik maka Portugis telah memindahkan cita-cita Perang Salib ke Asia. Memang ketika itu Perang Salib masih berlangsung di Eropa. Demi kelancaran usaha, Portugis mengikat perjanjian dengan Sultan Khairun dari Ternate. Salah satu isi perjanjian yaitu, kampanye misi penginjilan yang di luar dugaan memperoleh banyak pengikut yang sebagian besar masih kafir di Halmahera dan Leitimur. Akibatnya fatal, orang Salam Ternate dan Tidore memerangi penduduk Sarani sekaligus memulai insiden saling membunuh pertama antara Salam

dan Sarani (Hanna dan Des Alwi dalam Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain (Ed)., 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa, peristiwa ini menjadi pemicu semangat dakwah portugis, dengan melakukan Saranisasi secara luas dan intens di kepualauan selatan hingga jumlahnya pengikutnya menjadi ribuan orang. Fenomena ini mungkin

merupakan ekspresi permusuhan antara rakyat Leitimur (kawasan di mana kota Ambon sekarang berkedudukan) terhadap penguasa Salam di belahan utara. Suksesnya

Sarani memicu golongan Salam melakukan tekanan, karena perpindahan agama ketika itu dipandang sebagai pergeseran loyalitas politik.

Seiring dengan gencarnya pengabaran Injil yang diikuti dengan monopoli rempah-rempah, permusuhan Salam dan Sarani makin menjadi-menjadi. Tahun 1564, rakyat Salam mengepung dan membakar negeri-negeri (kampung/desa) Sarani. Negeri Nusaniwe, kampung di Leitimur dihancurkan rata dengan tanah. Sedangkan pusat

Sarani di Hatiwe jatuh ke tangan pasukan Salam. Seratus orang Sarani dibunuh dan sisanya lari ke gunung-gunung di sekitar kota Ambon, bahkan ada yang melarikan diri sampai Saparua. Padahal di Saparua sendiri, perang sedang berkecamuk. Kaum

Salam di negeri Sirisori Salam menyerang negeri Ulat yang Sarani (kondisi demikian sering terjadi dengan “tanah” sebagai permasalahan pokok, sampai pecahnya konflik Ambon – Maluku 1999). Adanya dukungan pasukan Portugis menyebabkan rakyat

Salam dapat dikalahkan. Tahun 1570, akibat penghianatan dan pembunuhan terhadap Sultan Hairun, seluruh Maluku bergolak. Sultan Baabulah mengirim pasukan ke selatan. Dukungan dan bantuan rakyat Hitu (Salam lokal), Jawa, Makasar dikerahkan, sampai akhirnya berhasil menggusur dan menghancurkan kedudukan Portugis di Hitu sehingga harus bergeser ke Leitimor (daerah kota Ambon sekarang ini).

Permusuhan terus berlangsung di seluruh kawasan dan tidak mungkin membahas seluruh pertempuran tersebut yang melibat vis a vis umat Salam dan Sarani. Hal itu dianggap sebagai lembaran terhitam dalam sejarah perkembangan agama

Salam dan Sarani di Maluku. Dengan demikian, Nanulaitta (1966) menyimpulkan bahwa kemungkinan besar Pela dan Gandong (aliansi persaudaraan tanpa memandang ikatan agama dan darah) yang dikenal sekarang ini merupakan bentuk kesadaran akan masa gelap tersebut.

Masa Belanda. Sementara peperangan agama yang begitu hebat sedang berkecamuk, muncullah Belanda yang memadukan kekuasaan politik dan perdagangan. Belanda kemudian membentuk serikat perdagangan VOC (Vereniging Oost-Indische Company) guna memperkuat monopoli-nya atas perdagangan cengkeh termasuk juga pada di Kepulauan Belanda. Kerajaan-kerajaan setempat akhirnya hanya menjadi boneka dan kaki tangan VOC dalam menjalankan kebijakan politik perdagangannya. Nanere (2002) mencatat, kebijakan yang paling tragis bagi rakyat di kawasan pantai barat Hamahera yaitu pemusnahan tanaman cengkeh, demi mengontrol kuota

perdagangan cengkeh. Sentra produksi cengkehpun akhirnya berpindah ke pulau-pulau Lease (Ambon dan sekitarnya).

Kendati Belanda melakukan kontrol yang ketat namun, orang Salam masih sering melanggar perjanjian monopoli (hongi tochten = pembatasan penanaman dan penjualan produk cengkeh dan hanya boleh menjual kepada VOC/Belanda) dengan melego hasil cengkehnya ke pedagang-pedagang Makasr, Melayu dan Jawa. Bahkan, masih menanam cengkeh di wilayah terlarang. Maka mulailah VOC melakukan usaha menghentikan semua kegiatan illega, dengan menaklukkan penduduk Salam di berbagai tempat seperti Hoamoal, Manipa, Buru dan Banda. Mereka menghancurkan benteng pertahanan yang tak terlalu kuat diikuti dengan pembakaran negeri-negeri, hewan ternak, pepohonan cengkeh, pohon kelapa, pohon pisang dan hamper semua yang hidup dan bergerak. Bahkan menggiring penduduk yang telah menyerah dan memaksa sekitar 5000 orang untuk bunuh diri, diperbudak dan dikirim ke pulau lain sedangkan yang tertangkap dibuang ke Ambon (Sejarah Indonesia Modern, 1991). Tempat pembuangan pejuang Salam di Ambon sekarang ini menjadi perkampungan

Salam Batu Merah, sekaligus menjadi titik awal dimulainya konflik Ambon-Maluku Januari 1999.

Kampung Mardika (sebagai kampung Sarani) yang bertetangga dengan Kampung Batu Merah (sebagai kampung Salam), menurut Luhulima (1971) dibentuk oleh Portugis untuk menampung orang Portugis hitam bekas budak India yang telah dibebaskan (dimerdekakan). Dengan demikian dapatlah dilihat, bahwa penduduk Hoamoal yang dipindahkan de Vlaming ke Ambon merupakan cikal bakal dari penduduk

Salam yang sekarang ini mendiami kampong Batu Merah asli. Sehingga nampaklah adanya kesengajaan dari pihak Belanda untuk melestarikan permusuhan Salam dan

Sarani ke Ambon guna memudahkan pengontrolah. Mungkin pula, pengetahuan ini yang dipakai oleh “aktor intelektual” di belakang konflik Ambon – Maluku (jika dugaan kita ada yang merancang konflik dengan memulai dari perbatasan Mardika – Baru Merah).

Seperti diketahui, perseturuan antara Mardika dan Batu Merah terus berlangsung setiap tahunnya merupakan fenomena yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat kota Ambon. Oleh karena itu, pecahnya konflik Januari 1999 yang diawali dengan pertikaian antara kelompok pemuda di perbatasan Batu Merah – Mardika, juga dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja dan umumnya masyarakat tidak menyangka bahwa kemudian akan berkembang bahkan sampai saat ini belum pulih sepenuhnya. Mungkin

saat itu, hanya “aktor intelektual” beserta kelompoknya yang mengetahui dengan pasti ke mana konflik Januari 1999 akan dibawa dan dimuarakan. Paling tidak hanya merekalah yang mampu menjawab dengan pasti perihal, kepentingan apa sebenarnya yang ingin dicapai dan diharapkan dari konflik dimaksud. Perjalanan konflik selanjutnya menunjukkan bahwa, kelompok sipil maupun militerlah yang kemudian diuntungkan akibat keberadaan konflik tersebut.

Misalnya, mangalirnya bantuan kemanusiaan bagi korban konflik yang kemudian ditangani oleh Pemerintah namun sampai saat ini permasalahan pengungsi saja belum terselesaikan. Padahal, sudah begitu banyak dana yang dikucurkan untuk menangani masalah tersebut. Sementara itu, keuntungan yang diperoleh kelompok militer terlihat dalam bentuk “pengawalan” keamanan bagi masyarakat yang harus bepergian dengan melalui wilayah komunitas berbeda dengan imbalan uang dalam jumlah tertentu. Khususnya untuk perjalanan lewat darat, biasanya pengawalan dilakukan oleh pihak TNI-AD dan sebagian juga Kepolisian. Sementara, untuk jalur laut biasanya dikawali oleh pihak TNI-AL (Marinir) juga dengan imbalan tertentu. Pihak TNI-AU juga memperoleh manfaat dengan digunakannya pesawat Hercules (milik TNI AU) sebagai sarana pengangkut penumpang umum dengan bayaran tertentu (bayaran dalam situasi konflik yang berbeda dengan situasi normal), karena pada awal konflik sampai beberapa waktu kemudian maskapai penerbangan sipil tidak berani melakukan aktivitasnya di Ambon.

Namun tidaklah cukup kuat untuk menarik satu kesimpulan, bahwa kelompok- kelompok tersebutlah yang seharusnya bertanggungjawab atas terjadinya konflik sampai implikasinya (fisik, mental dan materi) yang harus ditanggung oleh masyarakat yang berkonflik. Sehingga diperlukan analisis yang lebih tajam dan terperinci, sehingga upaya menggali akar konflik sampai pada berkembangnya konflik secara meluas mampu membuka selubung keterlibatan berbagai kelompok sebagai pengawalan berkembangnya konflik sampai tingkat tertentu dengan keuntungan tertentu pula. Namun ada benang merah yang dapat ditarik untuk saat ini bahwa, begitu kompleksnya akar penyebab konflik Ambon – Maluku sehingga sangatlah sulit menguraikan benang kusut penyebabnya sekaligus mencari solusi penyelesaian yang paling tepat.

Dibandingkan dengan wilayah lain, usaha Portugis dan Belanda menggarap Ambon di bidang sosial budaya jauh lebih serius. Hal ini dapat dilihat pada tingkat melek huruf dan mental orang Sarani Ambon. Ketika Indonesia merdeka, jumlah penduduk Ambon yang mengecap pendidikan formal sebesar 37 persen, jauh di atas

Jawa yang hanya mencapai 0.2 persen (Ricklefs dikutip oleh TAPAK dalam

Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain (Ed)., 2001). Tak heran, kemudian masyarakat Maluku bagian Selatan mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS) melalui Proklamasi Kemerdekaan tanggal 25 April 1950. RMS ternyata didukung oleh masyarakat Maluku baik Salam maupun Sarani, namun kemudian berhasil dipatahkan Tentara Pusat dengan dukungan penduduk Salam Batu Merah dan Hitu (Smith Alhadar

dikutip oleh TAPAK dalam Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain (Ed)., 2001).

Faktor lokal dapat ditelusuri sebagai berikut. Saat para penjajah menginjak kakinya di pasir putih Maluku (mulai dari Portugis dan kemudian Belanda), di Maluku Utara sendiri telah berdiri dengan kukuh empat Kerajaan Salam (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo). Kerajaan Ternate pernah menguasai hampir seluruh daerah pantai di Maluku Utara, sebagian pula Seram (Maluku Selatan), daerah Gorontalo (Sulawesi Utara), dan Filipina Selatan (Mindanao) yang semua di-salam-kannya. Bangsa penjajah tak punya pilihan selain berusaha menanamkan pengaruhnya di luar wilayah Kerajaan Ternate yaitu, di pedalaman Halmahera dan Maluku Selatan. Misi Sarani diijinkan berkiprah di daerah-daerah tersebut. Jadilah Maluku terbagi dua dengan mayoritas

Salam di bagian utara dan bagian selatan dengan mayoritas Sarani.

Sejalan dengan kebijakan memecah belah, Belanda secara diskriminatif mendorong pembangunan di Maluku bagian selatan yang Sarani. Sejak saat itu terbentuklah suatu segregasi wilayah yang berbasis agama di Maluku. Warga Sarani di Maluku bagian selatan yang berpendidikan, banyak terserap ke dalam birokrasi Belanda. Sedangkan yang tidak berpendidikan memilih bergabung ke dalam tentara kolonial (KNIL).

Wujud segregasi sosial berbasis agama bahkan terus berlanjut ke tingkat satuan wilayah yang lebih kecil. Di tingkat desa atau kelurahan (negeri), dapat ditemukan dengan mudah apa yang disebut negeri Salam dan negeri Sarani. Pola pemukiman yang disebut juga dengan segregated pluralism sebagai lawan dari integrated pluralism, yaitu warga cenderung bermukim dengan sesame umatnya sendiri.

Pada masa-masa awal kemerdekaan, segregasi tempat tinggal ini diperkuat lebih lanjut oleh perbedaan pendidikan dan jenis pekerjaan. Perbedaan tersebut bermuara pada, perbedaan tingkat kesejahteraan antara warga negeri Salam dan warga

negeri Sarani. Negeri Sarani biasanya ada di pusat kota, warganya berpendidikan, bekerja di perkantoran/pemerintah, rumahnya berlistrik dan berair PAM. Sebaliknya,

sebagai petani, nelayan, pedagang ikan dan sayuran di pasar tradisional, dengan rumah berlampu petromaks dan air dari sumur galian.

Untungnya warga Maluku bagian selatan, terutama di Ambon dan Lease memiliki sistem peredam ketegangan sosial yang dikenal dengan istilah pela gandong. Sistem ini memungkinkan warga berbeda agama atau pun suku mengangkat sumpah melalui suatu upacara khusus, berjanji untuk saling setia serta saling membantu dan membela dalam suka dan duka seperti layaknya terhadap saudara kandung sendiri dalam semua urusan secara tulus dan sepenuh hati. Sistem sosial ini melahirkan cross cutting affiliation and loyality di antara pihak-pihak yang berbeda latar belakangnya. Seperti diketahui, walaupun orang Ambon dikenal temperamental seperti orang Aceh dan Madura, namun sekali mereka berjanji maka janji itu akan dipegang seteguh-teguhnya apa pun akibatnya (Botti dikutip oleh Nuria Soeharto dalam Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain (Ed)., 2001).

Bagi orang yang pernah tahu tentang Saparua, dikenal memiliki tradisi budaya pela dan gandong yaitu suatu tradisi yang menjalin persaudaraan antara komunitas yang berbeda agama. Apabila komunitas Sarani memiliki hajat seperti membangun Gereja, membangun rumah adat (baeleo), maka komunitas Salam secara otomatis akan turut membantu. Demikian pula sebaliknya, jika komunitas Salam yang memiliki hajat seperti membangun Mesjid maka komunitas Sarani secara otomatis turut membantu pula.

Fakta menunjukkan bahwa, pembangunan Mesjid Iha di Pulau Saparua di akhir tahun 1990-an turut dilakukan oleh gandong-nya Ihamahu yang Sarani di Pulau Saparua serta pela-nya Amahai di Pulau Seram yang juga Sarani. Bahkan sampai melibatkan keturunan pela dan gandong yang berada di luar Maluku. Kenyataan tersebut menunjukkan betapa kuatnya jejaring kekerabatan pela dan gandong sebagai ikatan adat yang melampaui ikatan agama. Namun saat jejaring kekerabatan tersebut tidak mampu menghindari terjadinya konflik di Saparua. Bahkan Mesjid Iha yang merupakan simbol kekuatan jejaring kekerabatan pela dan gandong turut dihancurkan saat penyerangan komunitas Sarani ke negeri Iha (Desember 2000). Bahkan negeri Ihamahu sebagai gandongnya sekaligus tetangga Iha tidak mampu menahan upaya penyerangan dan penghancuran negeri Iha termasuk Mesjid yang turut dibangun secara bersama- sama.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pela dan gandong saat konflik pecah di Saparua tidak mampu lagi memerankan fungsinya untuk mempertahankan

persaudaraan tanpa memandang agama. Penyebaran konflik sampai ke Saparua justru didukung oleh informasi-informasi yang disampaikan aliran pengungsi korban konflik di Ambon dan sekitarnya. Anak negeri yang mengungsi ke Saparua membawa cerita menyedihkan, berupa hilangnya harta benda bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Fakta-fakta tersebut mendominasi pergeseran pemikiran masyarakat dan melemahkan jejaring kekerabatan antar agama melalui adat pela dan gandong diikuti dengan menguatnya jejering kekerabatan sesama agama.

Budaya pela dan gandong memiliki hal positif yaitu rakyat Saparua yang terdiri dari komunitas Salam dan Sarani berasal dari keturunan yang sama. Oleh karena itu harus saling tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat dan dilarang untuk menyakiti apalagi saling membunuh. Ikatan pela-gandong umumnya terjalin antara negeri Salam dan negeri Sarani karena di Maluku setiap negeri umumnya dihuni satu pemeluk agama saja Salam atau Sarani.

Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu budaya mudah mengalami infiltrasi dan akulturasi. Pengaruh-pengaruh luar turut melunturkan nilai budaya pela dan gandong. Bahkan gerakan-gerakan politik yang membuat dikotomi warga setempat atas nama agama turut merusak budaya pela dan gandong. Misalnya ada istilah Republik Maluku Sarani (RMS) sebagai metamorfosis dari kelompok Front Kedaulatan Maluku (FKM).

Masuknya kelompok Laskaf Jihad (LJ) saat konflik berkembang turut mengambil bagian baik dengan keterlibatan langsung maupun melalui informasi menggunakan berbagai media (cetak dan elektronik). Selain itu kelompok “preman Coker” yang kemudian diketahui turut mengobarkan konflik ternyata dijaga oleh pihak Kopassus (TNI-AD). Proses penangkapan kelompok Coker menyebabkan terjadinya bentrokan antara aparat keamanan dari Brimob (Polri) dengan Kopassus (TNI-AD). Kenyataan