• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguatan Nilai Budaya Melalui Gerakan Baku Bae

V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA

5.5. Penguatan Nilai Budaya Melalui Gerakan Baku Bae

Gerakan Baku Bae Maluku bekerjasama dengan Universitas Pattimura (Unpatti) melaksanakan Musyawarah Latupati Maluku, sejak tanggal 9 – 11 Januari 2003 di Kampus Unpatti Ambon. Musyawarah para pemuka adat dan tokoh masyarakat itu merupakan salah satu upaya mengobati luka akibat konflik dan memulihkan sendi kehidupan di Maluku. Berbagai upaya rekonsiliasi untuk Maluku yang dilakukan oleh

berbagai pihak secara berangsur-angsur telah memperlihatkan hasil positif, sekalipun belum mampu mengembalikan kondisi kehidupan masyarakat secara utuh seperti pada kondisi sebelum Januari 1999, tetapi paling tidak perasaan menyesal telah hadir dalam lubuk hati masyarakat. Perasaan menyesal merupakan satu kunci adanya harapan untuk menatap masa depan yang lebih baik. Karenanya sebuah gerakan moral Baku Bae Maluku bersama Universitas Patimura (Unpatti) menyelenggarakan Musyawarah Latupati Maluku di Ambon. Musyawarah yang dihadiri 110 latupati (para tokoh masyarakat dan pemuka adat) dan kalangan cendikiawan lainnya ini lebih mirip sebuah forum penyesalan para Ketua Adat, Raja maupun Lurah atas peristiwa kelabu di Maluku yang telah menelan korban ribuan jiwa, harta benda dan harga diri dengan kehancuran budaya pela gandong yang selama ini menjadi ikatan batin orang Maluku.

Para Latupati diminta memberikan masukan sehingga nantinya bisa dibuat rencana dasar untuk mengoptimalkan peran mereka di Maluku. Selain itu dapat dicari solusinya untuk mensinergikan seluruh komponen masyarakat sipil untuk penghentian kekerasan di Maluku dan menghasilkan rencana dasar untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, menata kembali sistem pendidikan dan memfasilitasi perencanaan pemulangan pengungsi ke daerah asalnya pasca penghentian kekerasan di Maluku. Seperti disebutkan Ketua Musyawarah Latupati Maluku. Ny Theresia Maitimu dan disetujui pula oleh Pejabat Pemerintah Pusat, bahwa :

Situasi Maluku semakin hari semakin baik. Komunitas Salam dan Sarani telah mulai berkumpul kembali seperti sebelumnya. Suasana inilah yang menggerakkan sejumlah orang yang peduli dengan perdamaian di Maluku untuk mengumpulkan para ketua adat, raja dan lurah di seluruh Maluku agar secara bersama-sama menjaga wilayah ini sehingga tidak ada orang lain yang ingin menghancurkannya kembali.

Sementara itu, staf ahli Mendiknas, Drs Hendro Soemaryo MM, yang mewakili Mendiknas Malik Fadjar membuka Musyawarah Latupati tersebut mengatakan, semangat kerjasama seperti ini senantiasa terus dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya untuk membangkitkan kembali budaya pela gandong yang telah berakar di tengah masyarakat. Selama keberadaan masyarakat Maluku yang majemuk yang diikat oleh nilai-nilai budaya pela gandong terbukti mampu hidup berdampingan, kekeluargaan dan persaudaraan sehingga dapat membangun berbagai sendi kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. ”Fakta membuktikan akibat konflik sosial berkepanjangan, berbagai fasilitas umum maupun properti pribadi rusak yang membuat kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban masyarakat. Karena itu kita sadar bahwa konflik apapun bentuknya tidak akan pernah memberikan keuntungan, sebaliknya yang terjadi adalah kerugian mental, sosial dan ekonomi yang besar yang membuat luka pada bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pengalaman pahit yang sangat berharga, sebagaimana yang dirasakan oleh masyarakat Maluku selama ini harus menjadi modal dan pemacu untuk

mendorong dan membangkitkan semangat pela gandong yang merupakan anatomi budaya masyarakat Maluku sehingga segenap aparatur pemerintah, tokoh masyarakat, para latupati, cendekiawan dan anggota masyarakat untuk berpikir, berusaha dan bekerja keras yang dilandasi smangat optimisme dalam menyongsong masa depan yang lebih cerah.

Selanjutnya diungkapkan, kebijakan dan strategi yang akan digunakan untuk merehabilitasi sarana dan prasarana pendidikan di Provinsi Maluku dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu, pertama, pendekatan percepatan yaitu dilakukan dengan mempertimbangkan kenyataan sarana-prasarana, tenaga dan dana yang jauh berkurang dalam kondisi wilayah yang terisolasi; kedua, pendekatan pemberdayaan dengan memperhatikan potensi dan kekuatan yang telah dimilikinya sehingga perlu optimalisasi penggunaan sarana prasarana, tenaga dan dana yang ada serta, ketiga, pendekatan penguatan yaitu dengan memperhatikan infrastruktur dan kelembagaan yang ada tetapi perlu ditingkatkan kualitas peran dan fungsinya untuk mempercepat terwujudnya target dan tujuan yang hendak dicapai.

Baku bae pengertian harafiahnya adalah saling berbaikan, namun dalam konflik Maluku pengertiannya adalah penghentian kekerasan sehingga gerakan Baku Bae adalah gerakan masyarakat sipil untuk menghentikan kekerasan di Maluku. Fasilitator Gerakan Baku Bae Maluku, Ichsan Malik, mengaku selama proses lokakarya Baku Bae maupun dalam interaksi selama tiga tahun Gerakan Baku Bae ada seperangkat nilai- nilai dasar yang dijadikan acuan dalam proses untuk menghentikan kekerasan di Maluku yang dinamakan Spirit Baku Bae. Spirit Baku Bae ini terdiri atas beberapa nilai yaitu pemaafan, keadilan, solidaritas, dan keragaman. Keempat nilai atau spirit Baku Bae baik disadari maupun tidak ternhyata telah menjadi penuntun bagi Gerakan Baku Bae dalam upaya untuk menghentikan kekerasan di Maluku (Letaemia Rolly, ed, 2003).

Gerakan Baku Bae menempuh strategi yaitu dikembangkan dengan bertitik tolak dari kenyataan yang ada di Maluku yaitu masyarakat Maluku telah terbelah, tercerai berai, luluh lantak secara sosial, politik, ekonomi, budaya maupun agama. Ada beberapa strategi yang dikembangkan yaitu penghentian kekerasan, pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, pembenahan pendidikan, penyediaan sarana kesehatan minimal, penyediaan sarana informasi dan komunikasi rakyat serta penegakan hukum. Menurut Ichan Malik ungkapan kemarahan, rasa dendam, rasa curiga, putus asa, dorongan untuk mengambil jalan pintas merupakan ekspresi umum yang muncul dari masyarakat yang telah mengalami konflik seperti Maluku. Gagasan perdamaian atau penghentian kekerasan yang diusung oleh Gerakan Baku Bae Maluku memang tidak mudah karena itu bacaan terhadap momentum yang tepat serta terus menerus

membuka ruang dialog tentang keadilan, pluralisme dan solidaritas korban paling tidak mampu mengurangi dorongan untuk terus melanjutkan konflik.

Salah satu fasilitator Gerakan Baku Bae menjelaskan, mantapnya sistem pemerintahan adat dengan sendirinya akan menjamin integritas sosial dan menghindari timbulnya kembali kerusuhan yang luas dan berkepanjangan. Oleh karena itu sudah waktunya para Latupati kini mengkonsolidasikan diri demi kelangsungan dan ketentraman hidup di Maluku. Namun harus dipikirkan juga bagaimana para Latupati dibina secara sistematis agar tidak terpuruk dalam globalisasi yang makin kuat. Mantapnya peranan Latupati sebagai penegak integritas sosial menyebabkan kedamaian dan ketentraman bisa terpelihara. Salah satu kebijakan yang perlu dilakukan yaitu mengusahakan agar para pengungsi dapat kembali ke pemukiman mereka yang asli.

Salah satu tokoh Latupati Maluku, Mahfud Nukuhehe menegaskan dalam forum Gerakan Baku Bae bahwa :

saat ini yang menjadi agenda mendesak dalam membangun kembali Maluku adalah membuka ruang yang kondusif bagi tertatatanya kembali hubungan antar masyarakat, hubungan antara masyarakat dengan alamnya dan hubungan antara masyarakat dengan struktur lokal-nasionalnya. Hubungan antar manusia perlu ditata kembali atas dasar prinsip-prinsip pluralitas dan kesetaraan. Sikap dapat menerima kehadiran manusia lain dengan apa adanya pada hakikatnya adalah sikap tunduk pada keberasaran Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan keragamannya. Situasi dan kondisi keamanan di Provinsi Maluku secara perlahan tetapi pasti mulai berubah ke arah yang semakin menjanjikan semua pihak. Kondisi yang berangsur-angsur membaik ini tetap membutuhkan kewaspadaan dan kehati-hatian semua pihak, sebab bisa saja keadaan ini berubah 180 derajat kalau saja kita semua lengah, teledor dan tak punya gagasan apapun dalam memanfaatkan peluang yang telah terbangun ini. Sehingga, adat menjadi salah satu solusi dalam membangun kembali Maluku sebab pengalaman membuktikan bahwa kekuatan adat dapat berperan dan berkontribusi dalam mendorong kondisi Maluku yang ada dewasa ini. Berperannya adat dalam memberikan solusi berkenaan dengan problematika di Maluku sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari eksistensi adar dimana adat itu sesungguhnya lahir dari haribaan masyarakat itu sendiri.

Namun demikian, Mahfud menyadari ketika berbicara tentang adat belum tentu bisa diterima oleh semua pihak dan kemungkinan masih ada pihak-pihak yang khawatir dan berpandangan bahwa dengan menguatnya adat, peran Raja/Latupati serta kelembagaan adat lainnya hanya akan membangkitkan kembali romatisme sejarah. Sebenarnya pandangan seperti itu tidak perlu terjadi sebab adat bukanlah sesuatu yang statis dan kaku namun sebaliknya luwes dan dinamis sehingga bisa bertahan hingga saat ini. Oleh karena itu, berkenaan dengan peran adat, Raja dan Latupati serta kelembagaan adat lainnya dalam membangun Maluku, maka nilai-nilai adat akan sangat terbuka untuk berinteraksi dan membangun dialog. Sebab melalui dialoglah kita akan mengantarkan masyarakat menuju masa depan Maluku yang lebih baik.

Saat konflik terjadi banyak warga Sarani yang sedang berkunjung ke kerabatnya warga Salam yang merayakan Idul Fitri. Jika awal konflik telah terbentuk dua kelompok berdasarkan agama, maka dipastikan banyak warga Sarani yang mati karena saat yang sama berada di rumah wagma Salam. Kondisi yang sama terjadi di pedesaan Saparua ternyata masih ada warga Sarani yang menyelamatkan begitu banyak warga Salam (Bugis, Padang dan Buton). Penjelasan tersebut menjadi dasar bahwa, ikatan adat- istiadat di Saparua harus diitingkatkan lagi sehingga dapat dipertahankan sebagai suatu kekuatan penahan terjadinya konflik.

Salah satu cara untuk menekan terjadinya konflik di pedesaan Saparua yaitu berpatokan pada peraturan adat mengingat Saparua merupakan negeri-negeri adat yang memiliki peraturan adat tersendiri. Hal itu pula ditunjang oleh kesepakatan Latupati Saparua untuk tetap mendukung proses rekonsialiasi. Selain itu, jika ada informasi yang mengarah pada perpecahan agama haruslah didiskusikan dan diselesaikan dahulu. Apabila negeri Salam dan Sarani di Saparua dapat menyatukan barisannya, mustahil mereka terpuruk seperti yang dialami sekarang ini. Kedua komunitas dapat bekerjasama dalam beberapa hal berikut ini :

1. Bekerjasama mengontrol mekanisme pasar jika berada dalam ikatan ekonomi, 2. Bekerjasama untuk menolak arahan dan hembusan isu-isu yang bersifat

memanasi dengan memunculkan dan memprovokasi perbedaan-perbedaan mendasar antara kedua idiologi baik melalui aktor-aktor yang menyusup maupun aktor-aktor resmi tanpa disadari oleh kedua penganut idiologi,

3.

Bekerjasama memperkuat ikatan adat seperti halnya Pela-Gandong sebagai simbol agama suku yang menjadi asal mula keyakinan masyarakat Saparua sebelum masuknya agama Salam dan Sarani.