• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterlibatan Pihak-Pihak dalam Konflik di Pedesaan Saparua

VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK

6.3. Keterlibatan Pihak-Pihak dalam Konflik di Pedesaan Saparua

Konflik Ambon yang menyebar ke wilayah lain di Maluku menyebabkan pemerintah berketetapan untuk menerapkan Darurat Militer. Penerapan darurat militer kemudian menajdi perdebatan di tingkat masyarakat. Konflik Maluku sesungguhnya tidak berasal dari masyarakat. Paling tidak ada empat indikasi yang bisa dijadikan parameter. Pertama, kultur masyarakat Ambon atau Maluku sendiri yang sebenarnya tidak pernah bergejolak horizontal secara berarti. Konflik-konflik yang terjadi di Maluku (dan mungkin di daerah-daerah lain) sebenarnya adalah konflik vertikal yang ditularkan kepada masyarakat, termasuk konflik perihal Republik Maluku Selatan (RMS). Karena itu, sebenarnya konflik Maluku tidak memiliki akar historis dan sosiologis, melainkan

MASYARAKAT SAPARUA SALAM BERKONFLIK MASYARAKAT SAPARUA SARANI BERKONFLIK LEMBAGA AGAMA SALAM DI LUAR SAPARUA IKATAN PELA DAN GANDONG DI LUAR SAPARUA LEMBAGA AGAMA SARANI DI LUAR SAPARUA

politis. Kedua, konflik di Maluku yang pecah pasca jatuhnya Soeharto, beberapa kali diberitakan terjadi hanya karena suatu perselisihan kecil yang kemudian diperluas oleh sekelompok orang yang sampai saat ini tidak teridentifikasi oleh aparat keamanan. Entah mengapa aparat keamanan dan intelijen sangat sulit untuk mencari siapa sebenarnya kelompok dan atau "aktor intelektual" yang berada dibalik meluasnya konflik-konflik tersebut. Faktor ini menguatkan indikasi yang pertama, bahwa konflik Maluku tidaklah konflik horizontal yang genuine, melainkan konflik politis yang sifatnya vertikal. Ketiga, beberapa peristiwa yang terjadi, entah langsung atau tidak langsung korelasinya berkaitan dengan peristiwa politik di Jakarta. Beberapa peneliti, antara lain Thamrin A. Tomagola yang dikutip oleh Salampaessy dan Zairin (2001) mengatakan bahwa setiap pecahnya peristiwa kekerasan di Maluku selalu terjadi berdekatan dengan peristiwa-peristiwa politik yang berkaitan dengan pengusutan atau terganggunya kepentingan orang-orang yang berkoneksi dengan keluarga Cendana dan pejabat Orde Baru lainnya. Karena itu, akar konflik di Maluku justru terletak pada elite (baik pusat maupun daerah) dan bukan pada masyarakat. Keempat, dalam beberapa peristiwa yang terjadi di Maluku terlihat bahwa aparat militer dan kepolisian yang bertugas justru mengambil posisi untuk involve dalam konflik. Hal itu juga sempat menjadi perhatian beberapa kalangan dan juga dialog di Malino perihal keterlibatan satuan dan oknum militer dalam konflik. Sehingga pada masa Presiden Abdurrahman Wahid telah dilakukan rotasi satuan yang bertugas dengan tujuan menghindari keterlibatan aparat dalam konflik.

Hal lain yang penting adalah mempertegas penyikapan dan penindakan terhadap gerombolan sipil bersenjata dari pihak manapun. Bagaimana mungkin menerapkan status darurat militer, bila ternyata banyak kelompok para-militer yang mungkin terstruktur dan memiliki garis komando tersendiri. Gerombolan sipil bersenjata itu harus ditindak tegas untuk menghindari perluasan konflik dan mengakhiri kekerasan. Keterlibatan pihak sipil bersenjata terjadi pada semua situasi konflik baik di Ambon maupun di pedesaan Saparua. Anggota komunitas Salam dan Sarani memiliki senjata standart yang digunakan saat konflik terjadi. Selain itu, bantuan tenaga saat konflik di pedesaan Saparua menunjukkan pemilikan senjata standart yang digunakan saat konflik terjadi. Kepemilikan senjata standart harusnya hanya berada di tangan institusi resmi Negara seperti TNI dan Polri. Oleh karena itu kepemilikan senjata standart di luar kedua institusi tersebut merupakan pelanggaran hukum sehingga perlu diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Ternyata kemudian penduduk sipil yang memiliki senjata

standart dan menggunakannya saat konflik tidak pernah mendapat sanksi, bahkan terkesan adanya pembiaran oleh pihak berwenang.

Sebagaimana terungkap dalam penyerangan pihak Sirisori Salam ke Ulath, juga penyerangan negeri Iha ke negeri sekitar di Hatawano berikut ini :

Keterlibatan TNI sangat nyata dengan adanya penggunaan senjata otomatis standart TNI serta dilengkapi pula dengan pelontar dan mortir dalam kasus konflik di Saparua khususnya di titik api Iha-Ihamahu. Hal ini mengindidkasikan kuatnya keterlibatan militer karena penggunaan mortir sangat tidak dimungkinkan jika penggunanya tidak terlatih dan memiliki keterampilan khusus. Setelah serangan gangguan dilakukan yang keempat kali ke Iha karena terlihat banyak orang-orang baru dalam Iha, serta dilihat dari masuknya lima speed asing yang melakukan penembakan ke arah Ihamahu serta speedboat milik Ihamahu yang ditugaskan untuk menjaga perairan di depan jazirah hatawano.

Saat itulah mulai dilakukan penyerangan-penyerangan secara penuh ke Iha. Bersamaan dengan itu, masuk pula bantuan dari Ambon sebanyak 30 orang dan bersenjata standart TNI karena menurut saya senjata seperti itu merupakan milik Negara, entah yang menggunakannya adalah aparat resmi atau aparat gadungan yang dipimpin oleh AW. Sementara pasukan bantuan yang berhasil memasuki Iha dan mulai melakukan penyerangan balik ke arah Ihamahu.

Saat jam 16.00 sore tanggal 24 September 2006 hari Sabtu, mulailah terjadi penyerangan oleh kelompok Jihad ke arah Ihamahu maupun Noloth dan dibantu pula oleh dua Kapal perang menembak ke arah negeri Ihamahu dan Itawaka- Noloth. Pihak Ihamahu dengan bantuan berbagai negeri di Saparua berusaha mempertahankan dan melakukan serangan balik ke Iha. Sekitar jam 19.00 mereka berhasil masuk ke dalam Iha. Saat itu pasukan Jihad telah mengundurkan diri dengan menaiki kapal perang, sementara bantuan dari aparat TNI yang berasal dari kapal perang tidak berhasil masuk lagi untuk membantu masyarakat Iha. Namun hal ini kelihatannya sebagai suatu upaya secara sengaja untuk menghancurkan Iha oleh kelompok itu sendiri, kemungkinan tujuan mereka agar perseturuan antara Salam dan Sarani terus berkobar, dimana jika ada negeri Salam yang dihancurkan maka akan terjadi juga pembalasan terhadap negeri Sarani. Demikian seterusnya, sehingga konflik berkepanjangan dan bernuansa agama akan terus berlangsung tanpa dapat dihindari.

Pada dasarnya, konflik yang terjadi bukan merupakan konflik agama karena persenjataan yang beredar saat konflik merupakan senjata resmi dan standart TNI – POLRI sehingga bagaimana mungkin senjata demikian beredar dalam masyarakat sipil. Kemungkinan untuk konflik tersebut diatur pihak tertentu, didukung juga dengan tidak adanya tindakan tegas dari aparat keamanan dalam penggunaan senjata organik oleh masyarakat sipil. Setiap negeri yang ditempati aparat seperti halnya Sirisori Salam, ternyata saat konflik berlangsung aparat TNI yang ada dalam Sirisori Salam memerintahkan anak negeri Sirisori Sarani mundur karena mereka yang akan mempertahankan negeri sebagai tugas dan tanggungjawabnya. Ternyata, setelah mundur justru masuklah pasukan penyerang bekerja sama dengan Aparat TNI yang bertugas tadi untuk mulai melakukan penjarahan dan bahkan kemudian mulai membakar setelah penjarahan dilakukan.

Penjelasan Raja Itawaka, Raja Noloth, Kepala Soa Sirisori Salam dan Raja Ulath turut menggambarkan keterlibatan pihak atas (Sipil dan Militer) dalam konflik:

Penembakan terhadap warga Itawaka di Tanjung Ouw, kemudian alat angkutan “pok-pok (sejenis speedboat kecil)” yang juga tertembak mesinnya sehingga menggunakan satu mesin untuk kembali ke Noloth. Diperkirakan mereka itu adalah penembak-penembak yang terlatih dan bukan tidak mungkin kalau itu merupakan aparat TNI yang menguasai peralatan dan persenjataan militer. Hal itu juga didukung oleh rentetan tembakan senjata otomatis dan standart TNI, dengan asumsi bahwa mereka sudah terlatih atau pun oleh aparat militer yang kebetulan berasal dari negeri Iha sendiri. Yang pasti seorang sipil tidak mungkin demikian, kecuali sudah terlatih dan dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman militer. Bahkan komandan Brimob BKO dari Kelapa Dua dan 13 anak buahnya juga disandera oleh pihak penyerang, sehingga tidak mampu mengendalikan pasukan nya. Bahkan kemudian komandan Brimob BKO juga dibawa bersama-sama masyarakat Iha ke atas kapal perang, sehingga juga menimbulkan tandatanya bagi kami masyarakat sipil.

Pihak Brimob pun menyerahkan senjatanya kepada Bapa Raja Itawaka dan kemudian mundur, sehingga Raja Itawaka mengkoordinir pertahanan dan kemudian balik menyerang dari arah Ihamahu, karena kalau tidak demikian maka pihak penyerang (dari Iha) akan terus masuk mungkin dapat menembus Noloth dan bukan tidak mungkin sampai ke Itawaka. Amunisi dan senjata standart milik Brimob itu digunakan untuk bertahan dan balik menyerang ke Iha. Kalau tidak demikian kami diperkirakan habis dan terbakar, karena beberapa speedboat bantuan yang akan masuk ke Iha merupakan aparat militer baik TNI maupun Polri yang Salam dan berasal dari Ambon. Kondisi demikian menjadi hal yang biasa, karena semua sudah terpisah menurut agamanya masing-masing. Hal tersebut kami dengar dari teman kami di Tulehu maupun Palauw beberapa minggu kemudian, bahkan mereka berpikir orang Saparua yang Sarani akan habis dibantai, mengingat mereka yang datang itu bersenjata lengkap bahkan menggunakan mortir. Selain itu, untung saja kami juga memiliki persediaan amunisi, dengan cara membeli dari teman-teman kami atau kerabat kami yang berdinas di TNI maupun Polri. Waktu itu ada dua perahu jaring besar dengan sekelompok orang yang ingin membantu Iha, selain itu ada dua speedboat bantuan yang masuk tetapi satunya berhasil ditembak sampai tenggelam, sehingga kapal motor jaring maupun speedboat tidak berani merapat ke Iha dan hanya berlindung di belakang kapal perang.

Sirisori Salam merupakan basis Salam di Saparua maupun Maluku dan menurut arahan kapolda bahwa Sirisori Salam merupakan barometer keamanan di Maluku. Sehingga setiap ada konflik di Ambon maka Sirisori Salam pun akan goyah. Di Sirisori Salam ditempatkan tentara secara resmi, demikian pula di Ulath dan Sirisori Sarani. Kemudian Brimob masuk tentara ditarik masuk ke dalam Sirisori Salam. Ulath sendiri diserang selama 6 kali dan yang terakhir 26 Oktober 2000 selama 6 jam dan berakibat 17 rumah terbakar, yang waktu itu kami melihat ada masuk pasukan yang diturunkan dari kapal perang, dimana mereka dilengkapi dengan senjata otomatis standart, juga longser dan mortir. Saya sendiri menemukan mortir yang tidak meledak di belakang gereja Ulath dan saya menyerahkannya ke SPN Passo. Mortir tersebut merupakan mortir standart angkatan darat, sehingga tidak dapat dinafikkan ada keterlibatan militer dalam penyerangan yang dilakukan oleh Sirisori Salam ke Ulath maupun Sirisori Sarani. Serangan ke Ulath juga sepertinya dikoordinir dengan baik, jika dilihat dari pola

serta strategii penyerangan yang dilakukan. Sehingga saya menyebutkan itu adanya peran dari pihak militer yang memang mengetahui dengan jelas strategi penyerangan.

Kuatnya dugaan keterlibatan pihak Militer dalam konflik di Saparua tergambar dari penjelasan Raja Ulath berikut ini :

Selama ini berdasarkan pengamatan, terdapat penggunaan pensiunan TNI serta anak-anak purnawirawan yang berfungsi untuk menyebarkan konflik. Jadi seperti penggunaan strategi intelejen untuk menggalang kekuatan guna penyebaran konflik dimaksud. Oleh karena itu disebutkan bahwa hal ini merupakan strategi intelejen oleh BAIS yang memang bermaksud menggoyang Maluku. Jadi adanya FKM / RMS termasuk AM juga merupakan strategi intelejen untuk menunjukkan adanya kegiatan makar sehingga perlu kelompok tandingan yang kemudian disebut sebagai Jihad untuk meredam serta menyeimbangkan kekuatan yang pada akhirnya mampu melanggengkan konflik di Maluku.

Demikian pula keterlibatan BL yang selama itu berperan sebagai Laskar Kristus, sebenarnya merupakan asuhan KOPASSUS yang sengaja dimunculkan juga untuk menunjukkan adanya perlawanan terhadap kelompok Jihad. Sehingga dapat dikatakan bahwa, konflik yang terjadi sebenarnya merupakan pengaturan yang dikendalikan dari pusat, bukan muncul dari masyarakat sendiri. Agama hanyalah menjadi topeng, sehingga memudahkan koknflik menjadi panjang dalam kurun waktu yang lama. Pada dasarnya sebenarnya RMS tidak ada karena sudah lama hilang sejak tahun 1950-an. Namun hal itu harus dihidupkan untuk memperuncing konflik. Jihad sendiri sebenarnya berpakaian di luar putih tetapi di dalamnya loreng. Sebenarnya sangat nyata juga di Sirisori Salam

kelihatan sekali bahwa Jihad yang ada itu menggunakan jenggot maupun kumis palsu, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka ini sebenarnya adalah tentara yang kemudian menyamar sebagai Jihad dan merupakan strategi tertentu guna mengimbangi berbagai kelompok Sarani yang sudah dibentuk sebelumnya.

Strategi intelejen TNI memang demikian dengan prinsip penyusupan, penggalangan dan akhirnya penghancuran. Jadi mereka menyusup dan menggalang kekuatan dari rakyat sipil (termasuk kelompok Kristen RMS, laskar Kristus dan kemudian Jihad), dan akhirnya kelompok-kelompok inilah yang berfungsi untuk membakar amarah masyarakat berdasarkan agama sehingga konflik berkepanjangan sulit untuk dihindari. Sehingga masyarakat juga tanpa sadar telah tergalang untuk terus berkonflik, berbeda dengan tugas intelejen Kepolisian yang melakukan wawancara dan ineterview untuuk mengungkapkan kasus.

Hal ini juga nyata saat konflik terjadi di Porto – Haria, dimana waktu itu digalang lah kekuatan masing-masing 5 di Negeri Porto dan 5 di Negeri Haria untuk mengobarkan konflik awal sehingga kemudian terjadi saling serang antara porto dan haria. Hal ini sudah terungkap dan telah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta namun tanpa penyelesaian yang jelas mengenai keterkaitan aparat TNI karena yang disidangkan hanyalah warga sipil yang digunakan sebagai boneka yaitu 10 orang (5 di Porto dan 5 di haria). Mengingat senjata yang digunakan itu berasal dari senjata standart TNI yang telah dipersiapkan oleh pihak militer. Hal ini diperkuat oleh cerita seorang polisi anak negeri Ulath (HN) yang mengungkapkan kasus keterlibatan BL dalam kerusuhan Haria dan Porto. HN sendiri menjadi target operasi oleh inetelejen KOPASSUS.

Raja Negeri Paperu bahkan pernah mengutarakan pada salah satu kerabatnya yang menjadi anggota Tim 19 (Tim yang dibentuk Pemerintah untuk mengatasi Kondflik Maluku yang beranggotakan 19 orang Perwira Menengah dan Perwira Tinggi dari TNI dan POLRI asal Maluku) bahwa Tim 19 tidak perlu bekerja tetapi serahkan saja kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Mengingat sejak dibentuk sampai konflik mereda TIM 19 tidak memberikan peran faktual dalam meredakan konflik yang sedang berlangsung.

Kemudian ada pula warga Negeri Ulath sendiri yaitu HN-2 yang juga dikatakan sebagai pemimpin grassroot. Tetapi menurut responden dari negeri Ulath, pemimpin grassroot ini diindikasikan merupakan salah satu binaan intelejen untuk mengobarkan konflik Maluku. Pemimpin ini biasanya mengarahkan anggota kelompoknya dengan alasan untuk memperkuat dan melindungi kawasan Sarani. Ternyata, mereka sendiri yang menjadi perusak dan penghancur dan bahkan tidak segan-segan membunuh sesama warga Sarani.

6.3.2. Isu Kelompok Agama

Pada prinsipnya, pandangan bahwa agama sebagai bagian dari konflik di Maluku tidak bisa dielakkan namun bukan itu sumber dan motif konflik. Motif utama dari konflik di Maluku haruslah dipandang bahwa "agama-agama di Maluku telah dieksploitasi dan dipolitisasi untuk melahirkan dan melegitimasi konflik kekerasan massa". Dengan demikian, sumber konflik tidak terletak pada pluralitas agama di Maluku melainkan pada design kerusuhan yang memperalat (1) sensitivitas dan sikap fanatik masyarakat Maluku terhadap agama sebagai motor aksi kekerasan (2) kecemasan dan ketidak- berdayaan masyarakat membendung eskalasi pertikaian. Selanjutnya, kelanggengan konflik ini terpelihara oleh akibat adanya sikap bias dari aparat keamanan, peredaran senjata dan amunisi ilegal di kalangan masyarakat, provokasi-provokasi dari dalam dan luar masyarakat, ketidak-mampuan pemerintah menangani penyelesaian konflik.

Pengendapan dan eskalasi aksi kekerasan dalam kehidupan masyarakat semakin menyulitkan posisi dan peran masyarakat Maluku untuk mengatasi konflik kekerasan dalam dirinya. Padahal sejarah masa silam Maluku menunjukkan bahwa tatanan sosial-budaya Maluku cukup menghormati pluralitas dan toleran. Adanya jurang kenyataan antara suasana kehidupan masyarakat Maluku masa lalu dan masa kini menyebabkan dua kelompok masyarakat Maluku yang bertikai terkondisikan untuk tidak mampu menyelesaikan konfliknya sendiri. Perangkat budaya dan agama yang

semestinya mampu menjembatani kembali konflik dan perbedaan ternyata lumpuh. Berbagai proses penanganan konflik yang terjadi selama ini baik oleh pihak pemerintah, aparat keamanan hingga media massa, terlihat tidak adanya upaya membangun kemampuan masyarakat untuk mengendalikan kerusuhan dan mengkondisikan diri dalam perdamaian. Justru yang terjadi ialah baik semua pendekatan yang telah dilakukan, entah itu pendekatan keamanan, pendekatan dialogis maupun penanganan korban dan pengungsi kerusuhan, berakhir dengan peruncingan emosi dan suasana konflik itu sendiri.

Konflik di Maluku dimulai dari kota Ambon di pulau Ambon pada tanggal 19 januari 1999 terjadi dalam tiga gelombang besar. Gelombang pertama terjadi dalam periode Januari – Juni. Gelombang kedua terjadi dalam periode Juli – Okobtober dan gelombang ketiga terjadi sejak bulan November 1999 hingga kini. Dalam tiga gelombang ini, kerusuhan telah menyebar hampir ke seluruh kawasan kepulauan di Maluku, ke berbagai kota, kabupaten, kecamatan, hingga pedesaan. Konflik Maluku ditandai dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan, serta penghancuran lingkungan kehidupan masyarakat seperti penjarahan, pembakaran dan pengrusakkan rumah,harta milik pribadi, fasilitas dan sarana umum maupun pemerintahan hingga tempat-tempat ibadah. Walaupun ada berbagai versi angka korban kerusuhan di Maluku namun yang pasti angka-angka itu memiliki kesamaan pesan yakni bahwa jumlah keseluruhan korban Jiwa maupun korban luka akibat kerusuhan di Maluku telah mencapai ribuan jiwa dan jumlah para pengungsi telah mencapai puluhan ribu jiwa.

Eskalasi konflik dengan tingginya tingkat destruksi wilayah, jumlah korban dan kerugian material, serta semakin terlantarnya para pengungsi, telah membawa bencana baru dalam kehidupan masyarakat Maluku kini dan generasi yang akan datang. Perjalanan konflik Maluku menghasilkan beberapa persoalan kemanusiaan yang membutuhkan penanganan dan dukungan masyarakat Internasional. Yaitu:

a. Penghentian aksi kekerasan yang membutuhkan adanya dukungan dan tekanan dari masyarakat International terhadap pemerintah, militer, politikus, institusi agama maupun institusi-insitusi sosial untuk mengakhiri praktek politisasi konflik di Maluku dan menegakkan hukum yang adil bagi masyarakat Maluku.

b. Penyediaan kebutuhan dasar kehidupan masyarakat sebagai syarat untuk bisa mempertahankan kehidupan dan kelangsungan masa depan bangsa Maluku. Kebutuhan dasar ini berkaitan dengan kondisi terlantarnya para pengungsi yang sangat membutuhkan penyediaan pangan, obat-obatan, pakaian dan perumahan.

c. Pemberdayaan masyarakat menuju rekonsiliasi. Kebutuhan ini lahir sebagai akibat efek distorsi politisasi agama dalam pelembagaan budaya kekerasan dalam kehidupan masyarakat. Disamping itu kebutuhan ini juga diperlukan untuk menjawab beban traumatis aksi kekerasan yang diperparah dengan hancurnya sejumlah pusat-pusat pemberdayaan masyarakat seperti Sekolah, tempat-tempat Ibadah ataupun hancurnya sumber pendapatan dan pembiayaan hidup masyarakat. Keterlibatan organisasi resmi kedua komunitas agama di tingkat meso terbukti melalui pembentuk Posko Maranatha untuk komunitas Sarani dan Posko Al Fatah untuk komunitas Salam. Terjadi pembelian amunisi yang digunakan untuk mempertahankan masing-masing komunitas yang diserang, sehingga tidak lagi berfungsi mendamaikan tetapi justru memperarah situasi dan kondisi keamanan. Sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan pihak elit agama terlibat mengobarkan konflik, walaupun bermaksud untuk mempertahankan entitas masing-masing komunitas yang tertekan. Namun dibalik itu justru menunjukkan kekerdilan penguasaan pengetahuan beragama sehingga bukan menghindari konflik, tetapi justru terlibat secara tidak langsung mengarahkan konflik. Sehingga secara tidak langsung upaya mempertahankan mempertahankan keberadaan masing-masing komunitas saat diserang, turut mengobarkan konflik yang berkepanjangan.

Kuatnya pengaruh agama dalam konflik Saparua sebenarnya tidak sekuat berkembangnya isu-isu kelompok penghancur dari pihak lawan. Faktanya hasil wawancara dengan responden di negeri-negeri Jazirah Hatawano Saparua berikut ini :

Diawali dengan adanya informasi bahwa, di Iha sudah masuk Jihad yang dipimpin oleh Jihad dari luar (Negeri Geser, Sepa, Tamilou dan Hatuhaha) yang dipimpin kapitan Negeri Geser “Mukadar”. Hari jumat tanggal 6 Oktober 2000, mulailah Iha melakukan penyerangan ke Noloth dan membakar 12 rumah pendudukan serta satu negeri muhabeth, sementara akibat bunyi tembakan seorang tua kena serangan jantung dan meninggal. Saat itu juga Raja Noloth sempat berdialog dengan Kapolda Firman Gani, dan meyakinkan bahwa masyarakat Negeri Noloth dapat mempertahankan kondisi keamanan, karena masyarakat Noloth sendiri tidak mempersiapkan apa pun juga selain berjaga- jaga. Padahal justru masyarakat Iha melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap Noloth akibat hasutan orang dari luar. Maka bergejolaklah Hatawano, sehingga mulailah dikumpulkan mesyarakat untuk berupaya mempertahankan negerinya. Saat itu Noloth dihantam dengan senjata otomatis didukung oleh tembakan dari kapal perang. Oleh karena itu, Raja Noloth berkesimpulan bahwa ada keterlibatan aparat TNI dalam berbagai bentuk, karena mungkin saja secara tidak langsung tetapi dengan meminjamkan senjata dan amunisi bagi mereka. Namun dengan bersusah payah akhirnya masyarakat Noloth mampu memeprtahankan keberadaan negeri Noloth dengan bantuan dari negeri-negeri

sekitar (Itawaka, Ihamahu, kampung dan Tuhaha). Apalagi setelah terjadi penyerangan dan pembakaran beberapa rumah di Sirisori Sarani dan kemudian pembakaran di Pia.

Saat konflik dari kelompok penyerang ada yang menjadi korban menurut perkiraan, karena saat hari minggu tanggal 23 Nopember 2000 setelah Iha jatuh ada pasukan yang masuk ke Iha, sehingga banyak masyarakat di hatawano yang kebetulan sedang menghadiri gereja segera melarikan diri ke dalam hutan karena takut. Mereka masuk dengan perahu karet yang dilabuhkan kapal perang dan memeriksa beberapa kapal ikan yang ada di Iha, kemudian masuk ke Ihamahu dan menyita parang-parang dan tombak yang dimiliki masyarakat Ihamahu. Keghiatan tersebut ditentang oleh perempuan Ihamahu karena menurut para perempuan, parang merupakan peralatan kerja yang selalu dipakai