• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskusi Sesi Pertama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diskusi Sesi Pertama"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Moderator;

Ir Titus Sarijanto, MSc.

Dr.

Ir.

Togu Manuuulzg (Fa kultas Kehutanan IPB)

Pada kenyataamya indusei pulp dan kertas memmg memiliki tingkat keuntungan yang sangat besar. Namm dibalik keuntungan yang diperoleh tersebut ada sebuah pertanyaan: " Berapa besar yang harus dibayar untuk sampai pada keuntungan yang besar tersebut?". Dasar permasalahannya adalah untuk memproduksi pulp dan kertas tersebut diperlukan bahan baku yang berasal dari hutan alam dimana diperkirakan mencapai 90 % dari total bahan baku yang dipergunakan dalam proses produksi. Data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa kayu yang dipanen berasal dari H l l pada tahun 1997/1998 baru mencapai 425 ribu m3

.

Sebagaimiana juga dikatakan oleh Bapak Titus selaku Dirjen Penpsahaan Hutan dalam Jakarta Post bulan Juni 199% bahwa 100 % untuk keperluan industri pulp dan kertas di negara

ini

mas* berasaI dari hutan afam. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam memproduksi pulp dan kertas ini yang manjadi tumpuan adalah hutan alam, sehingga boleh dikatakan kegiatan indusW ini merusak hutan alam yang ada di Indonesia

ini.

Sebagahana juga kalangan
(2)

. Memang masih ada peluang rnisalnya dengan memasarkannya di negara- negara Asia Timur yang belum terlalu sensitif dengan masalah isue hgkungan, dimana konsumennya belum menuntut produk yang eco-friendly.

Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh FSC (Forest Stewaard Council), sebagai sebuah lembaga internasional yang ungguI dalam menangani ecolabeling diluar 1% 14000 menunjukkan bahwa tidak mungkin mengeksport produk pulp dan kertas dari Indonesia yang dihasilkan dari Ifl[? yang dibangun dari

hutan konversi. Ada ketentuan yang mengatur tentang hal itu terdapat dalam Principle No. 9. Dan

ini

adalah salah satu tanbngan bagi kita. Ketentuan h i dibuat sejak tahun 1996 atau 1993, dimana isinya adalah apabila E-ITI dibangun dari hutan konversi maka lidak dapat memenuhi kriteria ecolabeling untuk FSC.

Yang ingin saya katakan adalah bagaimana tantangan kita kedepan ini dalam rangka menghadapi ecolabeling. Memang sekali lagi saya katakan bahwa kita mas& dapat mengekspor hasil hutan untuk negara-negara yang belum sensitif mengenai isue lingkungan, namun demikian perkernbangan menunjukkan bahwa semakin banyak sekali buyers grozlp yang dibangun oleh lembaga lingkungan hidup dunia, seperti WWF agar hanya mengkonsumsi produk- produk kayu yang berasal dari hutan lestari, yang arlinya bahwa tantangan kita adalah semakin besar.

Tentang gambaran tentang industri pulp dan kertas, faktanya mentmjukkan bahvva secara gamblang merusak hutan alam. Oleh karena itu pembangunan I-STI harus direalisasikafi. Secara teknologi dapat ditanyakan kepada saudara Makmur Damanik dari IIU bahwa pembangunan I-FTI itu Lidak ada masalah. Namun bagaimana itu tidak bisa berhasil, itu adaIah problem terbesar kita. Jadi itu komentar saya, mohon dapat ditanggapi.

Drs. Ir. S ~ r m a w i

Abas (Balai Besar Selulosa)

Saya tertarik kepada ide yang dilontarkan oleh Bapak Bungaran Saragih tentang cornmzinity development. Apabila kita melihat fakta, pabrik pulp u m u m y a berlokasi di luar Jawa dan pabrik kertas berada di luar kota. Maka dalam rangka otonorni, dapat diramalkan akan tejadi tarikan kepenkgan dengan masyarakat di daerah tersebut. Pengamatan saya terhadap tenaga kerja menunjukkan bahwa pabrik pulp yang ada di luar Jawa keterlibatan masyarakat yang ada di sekitar pabrik itu sedikit sekali ke pabrik. Disatu sisi karena lokasinya yang jauh, dan faktor yang lain adalah masalah kemampuan yang rendah.

(3)

yang ada di daerah tersebut. Jadi masalah akan mengemuka namgaknya adalah "putra daerah, bagaimana masyarakat daerah tidak semakin termarjinalkan dengan adanya kehadiran industri di daerah tersebut. Dalam pengamatan saya, apabila rnasalah putra daerah

ini

tidak diatasi atau diantisipasi maka dapat menjadi embrio adanya friksi di rnasa yang akan datang. Sekali saya berharap barangkali Pak Saragih memiliki pandmgan atau pernah mengamati masalah

ini

sehingga dalam mngantisipasi keadaan

ini

kedepan mungkin dapat lebih terencana lagi.

Bapak Sufamat

(PT

Kertas Krap

Aceh)

Pertanyaan saya ditujukan kepada Bapak Gatot atau Hariadi atau kepada rimbawan yang lain. Mengenai bahan baku disebutkan didalam paper Pak Gatot bahwa bahan baku I-TTI itu adalah US $ 26, tetapi dari Pak Hariadi dikatakan bahwa ria cost belum tentu semurah yang kita perkirakan semula karena adanya nilai/biaya atas dasar sesuatu yang "semu". Pertanyaan saya adalah :

1. Berapa "riil cost" bahan baku

.

Pertanyaan inisaya tujukan kepada Bapak Hariadi barangkali ada data yang menunjukkan ha1 itu, terutama untuk hard wood.

2. Dari paper Pak Gatot disebutkan bahwa dalam satu tahun kita masih mengimpor sekitar 900 s / d 1 juta ton pulp, yang sebagian besar

merupakan longfiber, k e m d i a n ada pulp yang berasal dari non wood. SebetuInya dari daerah kita yang merupakan hasil dari penghijauan banyak sekali hutm pinus. Pertanyaan saya adalah dari reserve hutan pinus yang ada ini apakah tidak bisa dibuat sebagai bahan baku ? Dari perusaham kami pernah menjajaki kepada Inhutani

TV

dan P e r h u ~ Jawa Barat dan Jawa Tengah, tetapi memang hasilnya belurn bisa

diharapkm. Dan sebagai informasi sehubungan dengan kondisi yang terjadi di daerah Aceh, maka kebutuhan kami untuk bahan baku tidak dapat dipenuhi daerah Aceh sendiri.

Bapak WiZEy Laluyan

(PT

Pradnya Paramifa)

(4)

Bekrapa waktu yang lalu kami berdiskusi dengan para mahasiswa didapat keshpulan bahwa mereka mengeluh karena tidak mampu membeli buku. Harga buku-buku yang diterbi&an oieh perusahaan kami rata-rata diatas Rp 50 ribu, lalu mereka bertanya dimana kesanggupan karni untuk dapat membeli buku

ini.

Akibat dari faktor itu adalah bangsa kita dinilai tidak bisa membaca. Padahal dasar masalahnya bukan terletak disitu, yaitu malas dan lemah membaca.

Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun mendatang internet akan melahirkan electronic book, electronic news paper, dan electronic leaming. Semua produk globalisasi itu akan rnemaksa kita untuk mengikuG pola hidup global. Disisi lain tingkat pendidikan d m kemampuan masyarakat kita mas* rendah, sehingga golongan masyarakat sebagahana saya sebutkan tadi akan terkggal. Faktor yang paling mempengamlni adalah sebagian besar diantara mereka belum sampai gada kemampuan melek hufuf, apalagi rnelek membaca. Sehingga apabila kemampuan mereka tidak kita tingkatkan dengan misalnya banyak membaca, maka mereka akan tertinggaii.

Selanjubya adalah sebagaimana telah saya dengar pembicaraan tadi bahwa waste paper yang banyak mengandung serat pmjang sebagian besar mas* kita peroleh dari h p o r . Tingginya h p o r akan jenis kertas ini barangkali terletak pada kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih menyukai kertas sebagai pembungkus dibandingkan dengan daun. Menurut pendapat saya, seharusnya kita galakkan dan sosiakasikan kembali penggunam daun sebagai pembungkus. Daun merniliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kertas, antara Iain adalah daun merniliki berbagai aroma alamiah yang hamm, besih dan sehat. Penggunaan kertas sebagai pembungkus rnakanan akan sangat berbahaya manakala kertas yang digunakan tersebut mengandung h t a , karena k t a ini adalah racun yang berbahaya bagi kesehaian.

Prof.

Dr.

Ir. Oemi

Hani'in Stleseno (Fa

kut-as

&hatarran

UGM)

Sebagaimana telah dikemukakan oleh pembicara tadi bahwasanya kayu yang merniliki serat panjang mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu serat pendek. Karena kelebihan ini maka negara New Zealland dan Australia rnemiliki keuntungan karena hutan mereka mempunyai potensi yang besar dengan kayu serat panjang. Namun seberapa besar nilai tambah yang dimiliki oleh kayu serat panjang ini, mohon dapat dijelaskan.

Berkaitan dengan pertanyaan saya sebelumnya, negara kita sebenarnya merniliki potensi yang juga besar akan kayu serat panjang yaitu jenis Pinzis rnevktrsii. Saya m e n y a r d a n agar jenis kayu ini dikembangkan di hutan-hutan kita karena berbagai kelebihamya itu.

(5)

sudah tidak la@ dapat mengandalkan hutan alam, melainkan hutan buatan.. Disamping karena hutan alam kita sudah menyusut, perhatian negara-negara maju akan keberlanjutan hutan alam menjadi pertimbangan kita. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan adalah sudah saatnya kita mengembangkan hutan buatan, yaitu HTI yang dikembangkan dari

benih

yang dihasilkan breeding dan biotehologi. FIT1 yang dikembangkan ini mampu menghasilkan sekitar 40 sampai 60 m3 per ha pertahun di hutan Indonesia. Maka dengan FIT1 intensif, luasan tanam dapat kita batasi sehingga tidak mengganggu hutan alam dan peruntukan lainnya. Dengan demikian biarlah hutan alam itu turnbuh menjadi area konservasi. Kita membuat hutan tanaman produksi yang efisien kompetifif dan lestari mengandalkan dari breeding dan tehologi biotek, sedangkan breeding dan biotehologi h i mengharapkan layanan materi dari hutan alam itu. Dalam hal ini konservasi yang dimaksud ada konservasi in situ, yaitu di hutan alam sebagai penyediaan semua materi-materi yang akan kita budidayakan; serta jenis konservasi ex-situ.

Kemudian saya ingin menanggapi apa yang dikemukakan okeh Bapak G m a m a n Soeraho d m Bapak Wariadi mengenai hal yang menyangkut HTI. Saya telah banyak mengarnati beberapa IlTI di Indonesia, bahwasanya IFTI itu tidak sejelek yang dikemkakan Bapak Gmarwan dan Bapak Hariadi. Tenhnya diantara yang baik tersebut ada juga yang jelek dapat dirnaklumi. Narnun yang ingin saya k e m k a k m adalah dengan adanya HTI, sektor kehuianan mengalami banyak perkembangan, diantaranya adalah bila pada jaman dahulu nursenj itu menggunakan sebor, sekarang sudah' menggunakan sprinkle untuk sistem pengairamya, sehingga waktu tanam dapat diatur. Selanjubya adalah ditemukamya medium-medium yang efisien serta benih- benih bermutu. Beberapa contoh kasus yang terjadi pada banyak perusaham yang mengetahui akan arti penkgnya breeding, dan mereka mengembmgkannya, temyata setelah saya amati pada seluruh IITI, terdapat korelasi positif anbra perusaham IlTI yang mengembangkan breeding dengan b a a dan mutu hasil tanaman I-ITI-nya.

PT IIU hingga saat

ini

mas& menggunakan mayoritas bahan baku yang berasal dari hutan dam, dengan catatan apabila pabrik kita rnasih bisa beroperasi. Proporsinya adalah sekitar 80 % bahan baku yang kami pergunakan berasal dari hutan alam atau dengan perkataan lakt baru sekitar 20 % yang kami peroleh dari hutan IFTI. Perkiraan kami pada tahun 2006/2007 kelak, kami sudah. menggunakan bahan baku yang berasal dari hutan buatan sebanyak 100
(6)

, aplikasi nanti, tingkat kegagalannya sebesar 30 %, maka angka 70 % mash

cukup baik untuk mengurang ketergantungan kami kepada hutan alam atau mernpercepat ketidaktergantungan kami kepada hutan alam

Njauw h e f

Meen (PT.

Indah Kiat Pulp

+&

Paper)

Sebelummya saya ingin katakan bahwa saya rnemang sangat tertarik dengan seminar prospek dan tantangan industri pulp dan paper ini. Sebelum saya mengomentari mengenai kecukupan bahan baku saya ingin katakan dahulu mengenai prospek dan tantangan ini.

Dalam pandangan saya, prospek industri ini sebagaimana dikemukakan oleh Bapak Dirjen dan Bapak Bungaran, memang cukup menarik. Begitu juga dengm yang dikemukakm ooleh Bapak Hariadi dalam perhitungan blaya produksi itu, sering tejadi distorsi memang ada benamya. Jadi apa yang dikemukakan oleh para pembicara tersebut hampix semanya benar. Namun sejak te jadizlya krisis yang melanda negeri kita ini, yaitu kira-&&-a 2-3 tahun ini telah te jadi pembahan yang besar sekali. Uang kami rasakan adalah selama 2- 3 tahun

ini

tidak ada lagi pembukaan kebun atau konversi hutan untuk daerah transmigrasi. Sehingga kami sebagai pengusaha jauh-jauh hari sudah mengantir;ipasi sesuai dengan komimen dengan masyarakat kita bahwa di tahun 2001) kami mengharapkan bahan baku dari IFTI kita sendiri. Dalam kenyataannya hingga saat ini YT. Indah Kiat masih menggunakan bahan baku dengan memanfaatkan mekanisme IPK, tetapi dalam persiapan perusaham kita sudah bisa katakan 100 % mencukupi dari IlTI kita sendiri.

Selanjutnya yang kedua adalah tentang prospek dan tantangan industri pulp kita. Tantangan yang kita hadapi dari group industri pulp kita berasal dari semua arah. Kita tidak hanya harus menghadapi persaingan karena adanya globalisasi ekonomi, tetapi ada juga tantangan yang berkaitan dengan kesiapan kita menghadapi otonomi, serta keseimbangan antara pusat dan daerah.

(7)

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Bungaran, bahwa industri pulp

ini

.

merupakan cluster indusfy, yang terdiri dari banyak Fndusiri dintaranya Fndustri pulp sendiri, industri kimia dan industri kertas. Jadi dapat dikatakan rnultidisipb industri. Diddam makalah Pak Bungarm d b a n a popup industri hi membawa suautu sinergism untuk memenuhi airibut lokahya addah sesuatu yang sangat menarik. Tetapi apakah tidak terlalu terlambat mengingat industri telah terlanjur dibangun. Bagaimana kita mengintegrasikan kepentingan antara local people dengan industri yang ada, dan apabila ini tidak kita rumuskan dengan baik, dan tidak kita sesuaikan dengan kondisi lapangan akan menimbulkan suatu ko atau mengundang suatu tuntutan yang sulit untuk diatasi.

Yang terakhir adalah tentang sinergis atau atribut lokal sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak Bungaran menyangkut comrnunihj development.

Memang sudah menjadi slogan industri kita bagaimma membawakan economic and social benejt bagi local people. Dan nampaknya angan-angan atau slogan ini akan dapat tercapai apabila terdapat satu visi antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat sendiri. Oleh karena yang sellama ini terjadi adalah hanya beruga bantuan sporadis saja dari perusaham, d m tidak sanzpai pada rnenyelesaikan permasalahannya, bahkan sering d k a l a h p a k a n . 81eh karena itu dalam co~nmunity development

ini

hams kita kembangkan cara yang dapat diterinna oleh semua pihak agar supaya tidak menjadi bumerang dimadaa&an oleh orang-orang pinter. Bila

ini

terjadi, akibatnya adalah biarpun pengusaha telah mengeluarkan banyak uang untuk program pengembangan masyarakat, hjuannya tidak a k a tercapai sebagaimana yang telah tejadi sebelumya dan tetap akan sia-sia.

Leo Batubara

(Seur'kaf

Penerbit Surat Ka

bar)

(8)

banyak yang diimpor, khususnya untuk kertas koran. Hal lainnya adalah memang budaya kita dimana menginginkan buku dan kertas koran semuanya dari bahan yang diimpor. Bangsa Bangladesh bangga kertas korannya berasal dari mangrove meskipun second class quality, tapi yang terpenting adalah reading habit hinggi. Kemudian masalah daya beli sebenarnya tidak ada soal, karena reading habit kita rendah. Menurut hasil studi yang pernah dilakukan oleh organisasi kami, spending masyarakat kita untuk membaca koran hanya 1,9 trilyun pertahun, sementara untuk rokok sebesar 47 trilyun pertahun dan untuk narkoba sebesar 140 trilyun. Hasil penelitian itu menu jukkan bahwa kita sebenarnya memiiki uang untuk membeli rokok dan narkoba, tetapi tidak untuk koran dan buku.

Selanjutnya rnengenai prospek adalah kita tidak boleh dibodoh-bodohi bahkan oleh pemerintah sekalipun karena pengalaman sejarah menunjukkan dernikim, dan apabila kedepan mas& seperti itu maka prospeknya adalah ltidak secerah yang kita bayangkan. Oleh karena itu tantangamya adalah mengurangi ketergantungan kita terhadap impor dan n~enggalakkan local content. Apalagi dalarn rangka otonomi daerah, koran kita juga akan semakin mendaerah (local based news paper). Tanpa harga kertas yang mmah, saya kira otonomi hanya ada di angan-angan. Tanhngan yang kedua adalah rnenymgkut krisis, d h a n a bagahana kita merubah life style untuk menggunakan kertas koran yang murah.

Ir.

H.

R.lansur

(Ketaa

APKI)

Saya sangat tertarik dengan apa yang diajukan oleh Pak Bungaran mengenai hubungan industri dengan conrnzunit7~ deuelop~?~e~zt (CD). Dalam hal ini terutarna adalah adanya hutan kemasyarakatan. Hutan kemasyarakatan ini sudah

berhasil di Scandinavia bahkan Thailand. Idenya itu adalah disamping FIT1

pulp rakyat mendirikan hutan kemasyarakatan yang kalau bisa di Indonesia dibantu dengan dana reboisasi. Di Riau Andalan model seperti itu sudah mutai dilakukan, dimana ada 10 ribu Ha hutan rakyat, 8 ribu Ha ditanami pohon, 2 ribu Ha ditanami tanaman pangan, sehingga sarnbil rnenunggu pohon menjadi besar, rakyat bisa rnakan, disamping perusahaan membantu teknis bibit dan lain-lain dan janji untuk membeli kayunya. Hal ini baik karena akan memakmurkan perusahaan dan masyarakat.

Tekad industri pulp adalah akan menggunakan kayu dari tanaman sendiri atau dari mitra hutan kemasyarakatan. Jadi kami selalu tebang

-

tanam

-

tebang dan tanaman selalu diperluas, karena kapasitas industri pulp makin lama makin tinggi. Kalau tadinya 300 ribu ton/tahun maka sekarang 1500 ribu ton/tahun, malah m m j u 1 atau 1,5 juta ton/tahun. Kami tidak akan meninggallcan hutan

karena investasi karni terlalu besar, misalnya, untuk 1 pabrik kayu lapis perlu 50 juta d o h , sedangkan industri pulp perlu 1,2 miliar dolar.

(9)

harus tunduk kepada komiwen nasional dan internasional. Mengenai

.

pungutan, kami khawatirkan kalau berlain-lainan baik jenis maupun besarnya. Hal

ini

akan mengganggu negara kesatuan dan investor menjadi takut untuk masuk ke suatu daerah kecuali untuk suatu daerah yang pabriknya terlanjur ada di situ dan akan menjadi sapi perahan. Hal itu perlu ada keseragarnan antar daerah tentang jenis dan besar pungutan. Perlu ada pembicaraan antar pusat dan daerah sehingga peraturan yang disiapkan oleh pusat dan dijalankan oleh daerah sejalan dan daerah tidak menciptakan Perda-Perda sendiri kecuali sudah bicara (koordinasi) dengan pemerintah pusat. Dengan demikian investor akan lebih tenang beke rja dan mendirikan pabrik dimanapun akan mendapat perlakuan yang sama.

2.

3 a w a b a n Pemrasaran

Dr. Ir.

Gatot Ibnusantosa

Dari segi teknologi terjadi revolusi yang besar sekali. Dahulu di tahun 1980-an (1976-1980-an) kita hanya mampu merubah komoditi kayu (yaitu 1 ton pulp) mnjadi kertas sebesar 30%. Sedangkan sekarang telah mencapai 50%. Teknologi bilangan kappa rendah rata-rata sudah mulai dipnakan sejak tahun 86-an. Dengan teknologi ini mampu menaikkan efisiensi dari segi pemakaian bahan baku. Sebagai contoh adalah 1 ton pulp kebuMan bahan bakunya (tergantung dari jenis kayunya dan jenis pemasakamya) 4.5 m3

.

Ekspor kertas kita telah menembus pasar Eropa yaitu di Finland, Swedia, Belanda, Itali dan Spanyol. Dan bahkan ekspor kita telah menembus Kanada.

Kemampuan menembus ekspor ini merupakan pengakuan secara tidak langsung di negara pengimpor. Bahwa kita telah mampu bersaing. Jenis pulp yang diekspor adalah dari jenis hard wood. Yang digunakan di Eropa sebagai substitusi sama seperti kita menggunakan pulp dari soff wood sebagai substitusi. Masih banyak negara-negara di Asia yang menggunakan hard wood.

Komenhr u n b k Bapak Surmawi, saya berprinsip bahwa adanya satu industri di satu ternpat harus mampu menggabungkan ketiga himpunan, yaitu:

1. Membangun sosio perfomzance didaerah setempat

2. Membangun enviro~znzental perfonrzalzce; perpotongan dari kedua himpunan diatas adalah menciptakan sosio environmental performance.

3. Economic performance, yang rnenggambarkan keberadaan indusiri tersebut efisien atau tidak didalam menggunakan prosesnya.

(10)
(11)

budaya masyarakat kita yang lebih menyukai kertas dengan kualitas baik, .

mendorong biaya produksi menjadi tinggi dan akibatnya harga kertas me qadi mahal. Padahal sebagaimana telah saya kernukakm tadi upaya-upaya untuk rnereduksi biaya tadi sudah kita lakukan. Padahal untuk harga kertas di Indonesia ini kita telah mengikuti harga dunia, namun kebijakan pemerintah yang diberlakukm untuk beberapa penerbitan kita juga perlakukan harga yang khusus.

Prof. Dr. Pr.

Bungamn Saragz'k MEc.

Ada cerita menarik yang saya peroleh dari negeri Jerman dari pe jalanan yang baru saja saya lakukan. Bahwasanya hutan yang ada disana saat

ini

sernuanya adalah bukan hutan alam, melainkan hutan buatan. Sebelum hutm alam di Indonesia rusak, negara-negara rnaju telah terlebih dahulu merusak hutan mereka. Namun saat ini mereka m e ~ m p a k a n kerusakan hutan alam itu ke negara-negara bopis seperti Indonesia h i . Namun yang ingin saya katakan adalah berapa sebenarnya optimunl size dari hutan alam kita hi. Saya kira beIum ada yang gernah melakukan penelitian ini atau yang mengatakan. Apabila angka tersebut dapat diketahui rnaka dapat juga ditentukm apakah hutan tersebut sudah terlalu banyak diigunakan atau masih dapat dieksploitasi. Kemudian bagaimana caranya agar ICITI h i dapat menjadi substitusi yang baik untuk hutan darn tersebut. Jadi menurut pendapat saya, kita jangan terlalu environmentalisme, tapi juga jangan terlalu comercialisme, tetapi kita harus sustainable developmenSalisme. Saya mendengar dari Indah Kiat dan Indorayon tadi bahwa pada mulanya rnereka memang menggunakan hutan alam, tetapi secara perlahan rnereka berusaha menghilangkan ketergantungamya kepada hutan alam. Menurut pendapat saya marilah kita percepat upaya menghilangkan ketergantungan tersebut.

Realita bahwa pemerintah pusat dengan daerah mempunyai visi yang tidak sarna, pemerintah dengan penpsaha, pengusaha dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah dan masyarakat, perusahaan dan masyarakat dan itulah yang menyebabkan kita menjadi chaos seperti sekarang ini. Tapi kita jangan dikalahkan dengan chaos, kita harus berbuat sesuatu, kita harus berbicara banyak dan implikasinya ada cost untuk itu. Jangan hanya bisa menunlut, tetapi yang p a h g baik adalah ambilah inisiatif. Sekarang ini Pusat Studi Fernbangunan sedang mencoba untuk mengambil inisiatif ini supaya kita mulai menciptakan visi bersama itu dengan cara menpndang pihak pemerintah,

(12)

hdorayon, dirnana orang lain yang justru mengambil inisiatif. Saya harapkan hal yang sarna tidak terjadi di tempat lain. Saya kira perusahaan pulp dan paper hams selalu mengambil inisiatif dan pro aktiif bila menghadapi masalah. Sebelumya masalah seperti ini bisa diselesaikan pada tingkat nasional misahya dengan berbicara dengan menteri atau dengan dijen, namun sekarang sudah tidak ada manfaatnya upaya seperti itu. Dalam rangka otonomi ini kewenangan memang telah didaerahkan dimana peran pusat sudah sangat berkurang.

Memang benar pada waktu yang lalu, kita bisa menyalahgunakan community developmenf termasuk juga penyalahgunaan oleh pengusaha. Nlenurut pendapat saya salah satu kesulitan dari cornmurzity development pada masa lalu itu adalah masalah pendekatanxlya yang terlalu pendekam teknis d m bisnis saja. Kelemahan perusaham kita, di perkebunan juga tejadi, .yaitu tidak me sosiolog dan ankopholog, yang banyak adalah e n e e e r s dan maester managemen sehingga tidak bisa mengerti apa

yang

tejadi saat itu. Oleh karena itu pembiayaan untuk communiftJ development lebih banyak dari yang dibutuhkan, seperti yang tejadi pada Indorayon pada waktu ymg lalu. CommuniftJ development fidak bisa dibuat secara nasional, hams local spesijic, bahkan harus dari perusahaan ke perusahaan.

Selanjutnya jawaban saya untuk pertanyaan mengenai kertas unttlk humnn investment. Menurut pendapat saya kertas harus menjadi uang terlebih dahulu, baru kemudian uang dapat digunakan untuk hukan invesfnrent. Karena bila tidak ada uang tidak mungkin ada investasi, dan pendapat ini yang sering salah. Karena kaertas itu adalah hztnlan investmenf, maka beban biaya itu semuanya diberikan kepada pabrik pulp dan paper. Sehingga yang salah selalu pabrik pulp d m paper, padahal tidak demikian sebenarnya. Perusahaan tersebut harus memenuhi tanggung jawabnya untuk commzinity development, harus membayar modal, dan tentunya wajar bila harus mengharapkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh itulah digergunakan untuk membayar pajak, dan pajak inilah yang seharusnya dipergunakan untuk hurnnrz investmenf. Tetapi memang pada waktu yang lalu itu disalahgunakan, dan ini yang akan kita perbaiki dimasa yang akan datang.

Jadi kertas uniuk hunzan invesfment itu memang benar, narnun jangan dipergunakan untuk melawan para pengusaha pulp dan paper ini. Artinya jangan kita membuat jargon-jargon yang hanya menguntungkan kita tetapi merugikm orang lain.

(13)

terapkan lagi karena banyak orang yang berani menentang pemaksaan. . Sehingga kuncinya memang dialog, dan dialog itu merupakan proses, sehhgga memerlukan waktu dan biaya.

Prof.

Dr.

F.G.

Soeratmo

Saya akan memulai dengan Pak Togu Manurung, bahwa mengenai aspek biaya sejak tahun 1990 saat diadakamya Inter Parliamenter Conference di Washington, telah disepakati bahwa sistem akuntasi (accounting system), harus dirubah dengan apa yang disebut dengan environmental accounting. Maka didalam sistem yang baru ini telah diinternalisasikan environmental cost. Yang d h a k s u d dengan environmental cost ini bukalah alat untuk membuang limbah dsb, tetapi adalah biaya yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan atau proyek, IlPisalnnya HPW. Dampak yang dimaksud adalah yang intangible, yaitu diantaranya cost by diversify, cost karena erosi, cost karena penurunan kualitas tmah, cost karena hilangnya mata air, dsb. Semua unsur biaya tersebut dhasukkan dalam environmental cost, dan daiam anahis yang telah dilakukan apabila biaya tersebut dimasukkan, ternyata cos t-benefit kita menjadi sangat buruk.

Accozlnting system yang barn sebagainnana saya kemukakm tadi hingga sekarmg behm dijalankan di Indonesia. Environmental cost yang sehamsnya masuk dalam Environmental accotlnting sama sekali belum kita jalankan. Untuk mernperdalam

ini

saya saat ini sedang membimbing mahasiswa S3 agar kita sama-sama dapat mempelajarinya nanti. Masaliah dalam environmental cost itu terletak pada intangible value hgkungan itu sendiri sebenarnya harganya berapa rupiah? Misalnya kerugian yang harus kita mggung karena adanya asap pencemaran, seperti yang dialami oleh polisi lalu lintas, penjaga tol, dan sebagainya. Nah, Kemgian-kerugian itu seharusnya dibayar. Hingga saat ini pengusaha-pengusaha kita belum menggunakan sistem akuntasi seperti itu, d h a n a kerugian orang lain yang diakiba&an oleh pengusaha itu, diinternalisasikm dalam cost-pow. Oleh karena itu environmental accounting yang dideklaras&an sejak tahun 1990 dan p e m e r i n ~ kita juga turut menandabngani ha1 itu.
(14)

padahal batas maksimal yang diijinkan adalah 9 derajat. Selanjutnya ketinggian diatas 800 m dpl, padahal paling tinggi yang diijinkan adalah 500 m

dpl. Ketentuan

ini

dimuat dalam Peraturan Pemerintah. Nah kesalahan yang seperti ini adalah kesalahan pemerintah, d m bukan kesalahan pengusaha. Yang ke (2) mengenai pembahan monokultur tanaman; saya kira Pak Rudy Tarumingkeng dapat berbicara disini, misalnya mengenai pest and disease yang diakibatkan jenis tanaman tadi. Oleh karena itu I-ITI jelek mengapa masih diteruskan saja. Menurut pendapat saya, IITI ada yang jelek dan ada yang b a s . Nah, perbedaan antara saya dengan Ibu Oemi adalah saya lebih banyak mengamati HTI yang jelek, sedangkan Ibu Oemi banyak yang baa. Oleh karena itu mengapa ITTB pada tahun 1990 mengeluarkan guide line mengenai sustainable forest marzagenzenf untuk HPH, menghdikasikan bahwa HPH kita belurn sustain.

Jadi contoh-contoh seperti di Porsea mil%

IT.

IIU, Karangos milik FT.

Sumalindo menun?ukkan pada kita bahwa ada IlTI yang bagus dan ada juga yang jelek. Yang penting menurut saya adalah kita mengauti kriteria HTI yang bagus.

Selanjuhrya mengenai percetakan; yang menjadi masalah apakah harga kertasnya yang mahal atau daya beli kita yang rendah?

Mengenai pembungkus; yang sangat dominan adalah faktor budaya. Di suatu negara, sebagai contoh kardus, pemerintah tidak mampu melarang perusahaan makanan menggunakan pembungkus plastik.

Namun ketika ibu-ibu di negara tersebut tidak mau membeli makanan dengan pembungkus plastik, maka dengan sendirinya, makanan-makanan yang dijual di toko-toko tidak lagi menggunakan pembungkus plastik. Berkaitan dengan penggunaan daun sebagai pembungkus maka faktor budaya juga erat memegang peranan. Dahulu orang Jawa banyak menggunakan daun jaei sebagai pembungkus makanan. Sampai-sampai bila tidak menggunakan daun jati tidak mau, atau daun pisang sebagai pembungkus gudeg, makanan khas Kogya. Nah itu s e m a faktor budaya.

Tentang zvaste paper yang dipergunakan disini sebagian telah menggunakan lapisan pelindung, sebagaimana pernah saya amati di sebuah perusahaan di Bekasi, dimana caranya adalah waste paper tersebut diblow dengan warna coklat, menjadi boks, dan untuk pembungkus makanan, diberi lapisan.

Dr.

Iilart'adi

Pi;avfodihaujo

(15)

begini, bahwa s e m a negara/warganegara wajib mematuhi national law di negarmya masing-mashg. lndonesia sudah menetapkan adanya pemisahan bahwa

HPH

adalah pengelolaan hutan alam, s e d a n g k m I-FTI adalah pengelolaan bukan hutan alam. K e m u d i m pada saat proses ecolabeling

ini

berlangsung kita ( d u ~ a ) melihat bahwa ada sekitar 16 juta Ha d i hutan alam

( d i HPH) itu rusak. Kenapa rusak, yang menyebabkan adalah antara lain IPK- IPK oleh IITI. Sehingga dalam konteks misalnya seorang warga negara harus mematuhi undang-undang d i negaranya sendiri, maka

itu

tidak kena d i level itu. Jadi persoalamya bukan terletak pada boleh tidaknya negara-negara Eropa dahulu telah merusak hutan alam mereka, sehingga kita juga boleh merusaknya. Saya kira dalam konteks ini tidak relevan. Sehingga semua negara-negara sepakat sejak tahun 1994 itu begitu juga kita, b u k a m y a kita m e n g h g k a r i peraturan d i negara kita sendiri. Sehingga p e r s o a l w y a k e m d i a n adalah pemerintah harus memastikan kalau memang H T I itu dibuat tidak mengkonversi hutan alam, maka tmplementasi d i lapangan juga harus begitu. Ketika diketahui oleh publik bahwa sekitar 72 % itu sebenarnya adalah secondan] forest, 24 % itu adalah virgin forest didalarn IITI, rnaka kennudim kornplain ada disana. Sehingga ada persoalan-persoalan yang menentang ha1 ini. Seandainya k l a r w a s i dari policy ini jelas, sebenarnya tidak akan m e n i n b u l k a n masalah. Jadi dengan perkataan lain selesai sudah permasalahan baik atau buruk h d i bila masing-masing memegang rule ofthe game.

Tentu kita mempunyai pengalaman mengenai kekurang-berhasilan gembangunan HTI. Mengapa jadi dernikian, menurut saya yang menonjol adalafi pada tahun 1984 ke&a ada seminar mengenai timber estate,

itu

adalah sebenarnya pemikiran HT'I pertama d i Indonesia. Saya kira kita semua sependapat dengan pemerintah bahwa ketika p r o d u k t i ~ t a s h u t a n alam menurun, maka HTI adalah salah satu solusinya. Saya kira tidak ada yang menentang itu d a n kita disini semua sepakat. Tetapi persoalamya adalah bahwa pernerintah yang memiliki kemauan yang didukung oleh khalayak

ini

menjalankamya dengan inslruksional, cona7zand and control policy. Misalnya menarik 100

WPH

harus m m b u a t flTI transmigrasi, yang berarti membuat subsidi. AkibaGnyra adalah orang-orang yang t a d m a tidak memiliki k e m a m p u a n enkqreneurship coba-coba masuk, karena ada value disitu yang non-marketable. S h i n g g a h p l i k a s i n y a banyak penyalahgunaan dalam konteks command and control policy tersebut. Oleh karena ittu pelajaran yang sangat berharga adalah tidak bisa lagi ha1 semacam h i dilakukan. Studi saya menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan perusahaan yang tidak menerima DR (dana reboisasi), lebih

k g @

dibandingkan dengan perusaham yang menerima DR, tentunya secara nasional, kita Gdak dapat menyebu&an

PT

demi

PT.

N a h

ini

m e n u n j u k k m bahwa k e m a u m pemerintah tidak bisa dilakukan dengan intmiksi be@tu saja.
(16)

dengan instruksional. Selama kayu dari hutan alam itu masih lebih murah daripada kayu dari HTI, saya pikir semua pengusaha akan menggunakan hutan alam, sehingga kebijakamya harus komprehensif, tidak bisa hanya karena keinginan, tetapi harus tahu persis mengapa tedadi banyak persoalan, misahya IPK fiktif. Itu saya kira yang harus diket&ui secara pasti oleh pemerintah. Pemerintah juga harus mengetahui supply-demand kayu untuk pulp dan kertas.

Uang terakhir saya ingin menanggapi tentang riil cost. Ketika saya melakukan penelitian ke beberapa I-ITI, nilai US $ 26 itu sebenarnya cukup marjinal bagi pembangun HTInya, mesEpun industri pulp dan kertas dapat menarik keuntungan dari sana. Uang harus kita pikirkan adalah apabila sampai te qadi harga kayu nntuk HIT itu US $ 26 per kubik, masalahnya adalah apakah ada masyarakat yang tertarik untuk membangun HTI. Apabila antara HTI dan perusahaan pulp dan kertas merupakan suatu holding company, tidak ada masalah berapapun anda beli bahan baku tersebut. Namun apabila membeli dari masyarakat maka kita gunya kepentingan agar supaya harga itu tidak terlalu jatuh. Oleh karena itu sebenarnya perlu harga yang tidak under price, sehingga betul-betul masyarakat pun akan tertarik karena harganya bagus. Ini saya kira yang harus menjadi policy pemerintah. Sehingga harus ada sharing disitu antara kepe~tingan pulp d m kertas disatu sisi dan kepentingm masyarakat di sisi lain

3.

Komentar

Moderator

0 Pertama: hingga saat h i pasaran pulp dan kertas masih dikuasai oleh negara Nort Scandinavia dimana pangsanya mencapai 62%. N a m demikian Indonesia mas& punya peluang untuk memasuki pasar dunia. Hingga saat ini pangsanya baru mencapai 10%.

(17)

Reboisasi. Kenyataan hi menyimpulkan bahwa kemauan keras untuk membangun IlTI itu jauh lebih penting dibandingkan dengan sekedar menjalankan instruksi. Diharapkan karena saat ini terdapat 30% hutan

alam yang gundul, maka sebaiknya dkitulah Iokasi IFTI tersebut, sehingga tidak hams mengkonversi fiutan alam.

Q Ketiga: suatu ha1 yang harus segera kita atasi yang menyangkut ketidakpastian otonomi, ketidakpastian kewenangan, ketidakpastian areal. Hams ada persepsi yang sama anbra pemerintah, rakyat dan perusahaan dan dirumskan secara lokal spesifik

Q Keempat: yang menyangkut communiw development yang harus segera dhmuskan dan tidak hanya dilepaskan saja. Harus diperhaaan social cost bagi yang akan membanpn industri pulp dan IFTI. Setah saya sudah ada industri-hdustri yang telah terbentuk dengan mengikut-sertakan masyarakat dalam suatu program percontohan, atau demplot-demplot.

Notufis:

Ir. Agit KriwanMyono

Ir. Frans Dabukke

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Namun, masih banyak masalah interior yang terdapat pada bangunan Museum Olahraga Nasional yang diantaranya adalah penggunaan tata cahaya yang kurang baik, ruang

Gagasan utama yang direpresentasikan melalui Batu dan Täbä adalah pemeliharaan Allah dalam sejarah masyarakat setempat.. Menghidupkan kembali makna inilah yang

Pada Gambar 7, nilai pada perlakuan kombinasi eceng gondok dan pelepah pisang menunjukan semakin banyak penambahan bahan serat maka akan semakin besar pula daya serap dan

Adapun jenis penelitian ini adalah bersifat deskriftif dan yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah warga masyarakat di Kecamatan Bilah barat.Adapun

Sudiadnyana, Eka, Yudha dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu selama penulis menempuh studi di Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

Transformasi desain bangunan tradisional Souraja pada bangunan kantor pemerintah di Palu meliputi transformasi : bentuk bangunan (bentuk panggung), bentuk geometri

Data sekunder yaitu data untuk memperkuat data primer dalam melengkapi penulisan dengan melakukan penelitian lapangan dengan cara mencatat dan menganalisa

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi