• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Kondisi Fisiologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Kondisi Fisiologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN UKURAN DAN

SUHU LINGKUNGAN

RHESA AGUNG MAULANA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Mas (Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan RONI NUGRAHA.

Ikan mas merupakan ikan air tawar yang biasa dijual dalam keadaan hidup. Teknik transportasi ikan hidup yang dapat menjamin ikan tetap hidup hingga ke tangan konsumen sangat dibutuhkan. Upaya meningkatkan kepadatan ikan dengan mengurangi jumlah air telah dilakukan. Upaya tersebut masih belum diikuti dengan upaya peningkatan ketahanan hidup ikan dan kajian fisiologis ikan sehingga, masih banyak masalah yang dihadapi. Suhu merupakan salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap proses fisiologis ikan. Informasi dasar tentang sifat fisiologis ikan mas pada suhu berbeda yaitu suhu dingin, suhu ruang, dan

suhu hangat sangat diperlukan terutama mengeanai metabolismenya (tingkat konsumsi oksigen dan produksi metabolit). Tujuan penelitian ini adalah

mendapatkan informasi mengenai perubahan kondisi fisiologis ikan mas (C. carpio L.) serta perubahan kualitas air pada perlakuan perbedaan ukuran dan perbedaan suhu lingkungan.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk memilih size ikan mas ukuran konsumsi (size 4, size 5, dan size 6) yang memiliki daya tahan terbaik terhadap perubahan lingkungan (kepadatan). Penelitian utama dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai perubahan kondisi fisiologis ikan mas dibawah kondisi suhu lingkungan yang berbeda. Rancangan percobaaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan satu faktor, yaitu faktor pemberian ukuran untuk penelitian pendahuluan dan faktor pemberian suhu untuk penelitian utama dengan taraf suhu dingin, suhu ruang, dan suhu hangat. Apabila hasil perhitungan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, maka dilakuan uji lanjut Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan mas dengan size 4 memiliki SR yang paling tinggi yaitu 62,5 %, diikuti oleh size 5 sebesar 60 %, dan size 6 sebesar 50 %. Penurunan kualitas air pada perlakuan size 4 relatif lebih lambat dibandingkan dengan size 5 dan size 6. Rata-rata jumlah bukaan mulut yang paling banyak didapatkan oleh ikan size 6 yaitu sebesar 1643, sedangkan rata-rata terkecil didapatkan oleh ikan size 4 yaitu sebesar 1131. Tingkat konsumsi oksigen tetinggi pada perlakuan perbedaan suhu didapatkan pada perlakuan suhu hangat menit ke-30 yaitu sebesar 23,40 ± 0,42 mgO2/kg/jam, sedangkan tingkat konsumsi

oksigen terendah didapatkan pada perlakuan suhu ruang menit ke-90 yaitu sebesar 0,14 ± 0,02 mgO2/kg/jam. Perhitungan kualitas air pada perlakuan perbedaan suhu

untuk parameter DO, CO2, TAN, dan pH yang terbaik didapatkan oleh perlakuan

(3)

PERBEDAAN UKURAN DAN

SUHU LINGKUNGAN

RHESA AGUNG MAULANA C34080089

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Nama Mahasiswa : Rhesa Agung Maulana

NRP : C34080089

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. MPhil Roni Nugraha, S.Si, M.Sc NIP : 1958 0511 1985 03 1 002 NIP : 1983 0421 2009 12 1 003

Mengetahui

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 1958 0511 1985 03 1 002

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Perubahan Kondisi Fisiologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan” adalah benar karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Rhesa Agung Maulana

(6)

anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan cukup baik

dan lancar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar

Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi

hasil penelitian ini berjudul “Perubahan Kondisi Fisiologis Ikan Mas

(Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan”.

Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, dukungan, dan bantuan

dari berbagai pihak. Penulis sangat berterima kasih pada:

1. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S, M.Phil dan Roni Nugraha, S.Si, M.Sc

sebagai Dosen Pembimbing yang telah membimbing dan memberikan

arahan dengan penuh kesabaran.

2. Dr. Ir. Nurjanah, M.S, sebagai Dosen Penguji atas saran yang telah

diberikan.

3. Ibu Etty Lisnawati, Bapak Sumardi Sumamiharja, Yuska Etika Mardiana,

Dwi Prima Nurani, dan Irfan Widya Permana atas perhatian dan

dukungannya.

4. Yunita Puspa Dewi atas saran, semangat, dan bantuannya.

5. Teman-teman THP 45 atas kenangan indah yang telah terukir.

6. Kakak-kakak kelas THP 44, 43, dan 42 atas saran yang sangat membantu.

Penulis menyadari penulisan skrpsi ini masih belum sempurna. Penulis

sangat terbuka atas saran maupun kritik yang membangun. Semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, September 2012

(7)

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal

27 Juni 1989 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari

pasangan Sumardi Sumamiharja dan Etty Lisnawati. Pada

tahun 2008, penulis lulus dari SMA Kornita, Bogor dan pada

tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor

(IPB) melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiwa Baru).

Selama pendidikan, Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Teknologi

Penanganan dan Transportasi Biota Hasil perairan pada tahun 2010-2011, asisten

mata kuliah Fisiologi, Formasi, dan Degradasi Metabolit Hasil Perairan pada

tahun 2011, serta asisten mata kuliah Biotoksikologi Hasil Perairan pada

tahun 2011.

Penulis pernah menjadi anggota Divisi Informasi dan Komunikasi,

Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan (HIMASILKAN, 2009-2011),

dan anggota Baraccuda Music Club (BMC, 2009-2010). Penulis melakukan

penelitian dengan judul “Perubahan Kondisi Fisilogis Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dibimbing oleh

(8)

viii

3.3.2 Penelitian pendahuluan ... 11

3.4.3 Penelitian utama ... 12

3.5 Rancangan Percobaan... 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4.1 Sifat Fisiologis Ikan Mas (C. carpio L.) ... 13

4.2 Tingkat Konsumsi Oksigen Ikan Mas (C. carpio L.) ... 18

(9)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Parameter kualitas air, alat, dan cara pengukurannya ... 10

2 Jumlah bukaan mulut ikan saat mengambil oksigen ke permukaan 14

3 Nilai perhitungan SR perlakuan perbedaan ukuran ... 14

4 Tingkat konsumsi oksigen ikan mas selama simulasi... 18

5 Pengamatan fisik tingkah laku ikan pada suhu dingin, ruang, dan hangat ... 25

6 Uji kadar glukosa darah pada beberapa suhu di awal dan akhir

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Ikan mas (Cyprinus carpio L.) ... 3

2 Diagram alir tahapan pengujian fisiologis ikan mas ... 13

3 Grafik nilai DO pada perlakuan perbedaan ukuran ... 13

4 Grafik nilai CO2 pada perlakuan perbedaan ukuran ... 15

5 Grafik nilai TAN pada perlakuan perbedaan ukuran ... 16

6 Grafik nilai pH pada perlakuan perbedaan ukuran ... 17

7 Diagram batang nilai rata-rata parameter DO ... 19

8 Diagram batang nilai rata-rata parameter CO2 ... 20

9 Diagram batang nilai rata-rata parameter TAN ... 21

(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Data kualitas air perbedaan ukuran ikan mas ... 34

2 Data pengamatan tingkah laku ikan pada perlakuan perbedaan ukuran ... 35

3 Data kualitas air perbedaan suhu lingkungan ... 38

4 Data pengamatan tingkah laku ikan pada perlakuan perbedaan suhu lingkungan ... 39

5 Tabel ANOVA perlakuan perbedaan ukuran ... 42

6 Tabel ANOVA perlakuan perbedaan suhu ... 45

7 Tabel uji lanjut Duncan perlakuan perbedaan ukuran ... 48

8 Tabel uji lanjut Duncan perlakuan perbedaan suhu ... 50

(12)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Transportasi biota hasil perairan berfungsi menghubungkan produsen

produk perikanan dengan konsumen. Permintaan konsumen terhadap komoditas

perikanan dalam bentuk hidup semakin besar dan berkembang, karena ikan

hidup memiliki kesegaran yang masih prima. Perdagangan ikan dalam bentuk

hidup selain menguntungkan konsumen, juga dapat menguntungkan pedagang

karena harganya bisa mencapai tiga hingga empat kali harga ikan mati

(Suparno et al. 1994). Imanto (2008) menyatakan pula bahwa transportasi ikan

hidup sangat penting bagi perdagangan ikan karena dapat meningkatkan nilai jual

yang lebih tinggi dan meningkatkan nilai hasil usaha.

Ikan mas (Cyprinus carpio L.) tergolong ikan ekonomis penting karena

ikan ini digemari oleh masyarakat. Produksi ikan mas ditargetkan akan meningkat

dari 280.000 ton (2011) menjadi 380.000 ton di tahun 2012 (KKP 2012).

Optimisme peningkatan produksi ikan mas ini dikarenakan telah ditemukannya

vaksin bagi virus KHV yang menyerang ikan mas. Nugroho & Wahyudi (1991)

menyatakan pula bahwa ikan mas merupakan salah satu dari 10 jenis ikan

budidaya air tawar penting yang dapat dibudidayakan di Indonesia.

Ikan mas merupakan ikan air tawar yang biasa dijual dalam keadaan

hidup. Teknik transportasi ikan hidup yang dapat menjamin ikan sampai kepada

konsumen dalam keadaan tetap hidup sangat dibutuhkan. Teknik transportasi ikan

mas hidup yang biasa digunakan masyarakat adalah sistem basah tertutup dengan

kantong plastik dan sistem basah terbuka dengan drum plastik atau wadah blong.

Upaya meningkatkan kepadatan ikan dengan mengurangi jumlah air telah

dilakukan. Upaya tersebut masih belum diikuti dengan upaya peningkatan

ketahanan hidup ikan dan kajian fisiologis ikan sehingga masih banyak masalah

yang dihadapi. Suhu merupakan salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap

proses fisiologis ikan. Rachmawati et al. (2010) melaporkan bahwa suhu

merupakan salah satu sumber stres yang dapat mempengaruhi perubahan

fisiologis tubuh ikan. Ketidaksesuaian suhu tempat ikan hidup (lingkungan) akan

(13)

Kajian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu lingkungan

terhadap fisiologis ikan mas. Informasi dasar tentang sifat fisiologis ikan mas

pada suhu berbeda yaitu suhu dingin, ruang, dan hangat sangat diperlukan

terutama mengeanai metabolismenya (tingkat konsumsi oksigen dan produksi

metabolit). Sulmartini et al. (2009) menyatakan bahwa salah satu kendala dalam

transportasi ikan mas adalah sifat ikan mas yang memiliki metabolisme yang

tinggi. Perhitungan respon stres (kadar glukosa darah), serta aktivitas gerak fisik

ikan mas juga perlu dilakukan.

1.2 Tujuan

Mendapatkan informasi mengenai perubahan kondisi fisiologis ikan mas

(C. carpio L.) serta perubahan kualitas air pada perlakuan perbedaan ukuran dan

(14)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Mas (C. carpio L.)

Ikan mas atau common carp termasuk Ordo Cypriniformes, Familia

Cyprinidae. Ikan mas (C. carpio L.) mempunyai empat buah sungut dan bagian

belakang jari-jari terakhir sirip dubur pada ikan mas mengeras dan bergerigi. Ikan

mas berasal dari Jepang, China, dan diintroduksi ke seluruh dunia sebagai

ikan konsumsi. Ikan mas merupakan ikan budidaya tertua yang dapat tumbuh

mencapai ukuran panjang 120 cm dengan berat 37,3 kg. Sifat ikan mas

adalah omnivora atau pemakan segala, mencari hewan dasar dengan cara

mengauk dasar kolam yang menyebabkan air menjadi keruh

(Tim Peneliti BRPPU 2008). Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan mas

(C. carpio L.) adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Ostariophysi

Famili : Cyprinidae

Genus : Cyprinus

Spesies : Cyprinus carpio (Linnaeus 1758), morfologi ikan mas (C. carpio L.)

disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan mas (C. carpio L.)

2.2 Suhu

Ikan merupakan hewan berdarah dingin (poikilothermal) yang

metabolisme tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Neuman et al. 1997).

Engelsma et al. (2003) menyatakan bahwa suhu juga berpengaruh terhadap

(15)

ataupun suhu rendah yang mendadak dapat meningkatkan jumlah sel darah putih

pada ikan mas. Proses fisiologis dalam ikan yaitu tingkat respirasi, makan,

metabolisme, pertumbuhan, perilaku, reproduksi dan tingkat detoksifikasi dan

bioakumulasi dipengaruhi oleh suhu (Fadhil et al. 2011).

Setiap ikan memiliki rentang suhu yang optimal bagi pertumbuhannya. Ikan

yang hidup di lingkungan lebih hangat memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih

cepat tetapi cenderung memiliki jangka hidup yang lebih pendek daripada ikan

pada lingkungan air dingin. Suhu air yang tinggi dapat meningkatkan

sistem metabolisme tubuh ikan sehingga konsumsi pakan meningkat

(Kausar & Salim 2006). Meningkatnya suhu dapat meningkatkan aktivitas enzim

pencernaan yang dapat mempercepat pencernaan nutrisi sehingga dapat

meningkatkan hasil buangan (Shcherbina & Kazlauskene 1971).

2.3 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu parameter kimia perairan

yang memiliki pengaruh besar terhadap organisme yang hidup di dalamnya. Nilai

pH akan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Kisaran pH yang cocok untuk

kehidupan ikan adalah 6,5-9. Batas terendah yang menyebabkan kematian ikan

adalah pH 4 dan tertinggi pada pH 11 (Boyd 1990). Perairan dengan kisaran pH

4-6 mengakibatkan pertumbuhan lambat bagi ikan budidaya (Boyd 1990). Nilai

pH suatu perairan dapat mempengaruhi fungsi fisiologis normal organisme air,

termasuk pertukaran ion dengan air dan respirasi (EIFAC 1969).

2.4 Oksigen Terlarut (DO)

Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernafasan biota budidaya

tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktivitasnya dengan batas minimum adalah

3 ppm. Kandungan oksigen di dalam air dianggap optimum bagi budidaya biota

air adalah 4-10 ppm, tergantung jenisnya. Laju respirasi terlihat tetap pada batas

kelarutan oksigen antara 3-4 ppm pada suhu 20-30 oC (Ghufran & Kordi 2007).

Ernest (2000) ikan mas dapat bertahan hidup pada konsentrasi DO minimum

sebesar 2 mg/L. Doudoroff dan Shumway (1970) menyatakan bahwa kebutuhan

(16)

menjelaskan juga bahwa kandungan DO kurang dari 1 mg/L dapat menyebabkan

lethal atau menyebabkan kematian dalam beberapa jam.

2.5 Karbondioksida (CO2)

Sumber utama CO2 dalam perairan dapat berasal dari hasil respirasi

organisme perairan. Lamanya waktu transportasi berbanding lurus dengan

tingginya eksresi CO2 yang dihasilkan. Kepadatan yang tinggi juga akan

menghasilkan eksresi CO2 yang lebih tinggi. Karbondioksida bereaksi dengan air

akan menghasilkan asam karbonat (H2CO3) (Suryaningrum et al. 2006). Berikut

ini adalah reaksi terbentuknya asam karbonat menurut William & Robert (1992) :

H2O + CO2 = H2CO3 = H+ + HCO3

-Tingkat aktivitas dan stres ikan juga mempengaruhi kadar CO2 dalam air

terkait tingkat respirasinya. Hal tersebut dikarenakan CO2 dihasilkan sebagai

oksidasi senyawa organik yang berasal dari makanan selama proses respirasi

(Suryaningrum et al. 2006). Ketika ikan ditebar sangat banyak atau pada

kepadatan tinggi, konsentrasi CO2 dapat menjadi tinggi sebagai hasil dari

respirasi. CO2 bebas yang dilepaskan selama respirasi akan berekasi dengan air

sehingga menghasilkan asam karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH air

(William & Robert 1992).

2.6 Total Amonia Nitrogen (TAN)

Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Ion

amonium adalah bentuk transisi dari amonia. Sumber amonia pada wadah

transportasi berasal dari hasil metabolisme ikan yang dikeluarkan oleh insang.

Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga

banyak mengeluarkan amonia (Effendi 2003). Metode penghitungan amonia yang

ada sekarang ini sebenarnya melakukan perhitungan terhadap amonia total atau

total amonia nitrogen (TAN) yang terdiri dari NH3 dan NH4+ (Hargreaves dan

Tucker 2004). Berikut merupakan kesetimbangan reaksinya:

(17)

Proporsi relatif dari kedua bentuk amonia tersebut di dalam perairan

ditentukan oleh derajat keasaman atau pH. Bentuk toksik dari amonia adalah saat

menjadi NH3 dan umumnya dominan saat pH tinggi. Ion amonium relatif tidak

toksik dan mendominasi saat pH rendah (Hargreaves dan Tucker 2004).

Konsentrasi amonia dalam suatu perairan harus diatur secara hati-hati karena

amonia yang tidak terionisasi (NH3) dapat menjadi sangat beracun bagi hewan

budidaya. Persentase amonia bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan

suhu perairan. Sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi Pada pH 7 atau

kurang. Amonia tidak terionisasi pada pH lebih besar dari 7 dan akan bersifat

toksik jika jumlahnya banyak. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan

meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu

(Effendi 2003).

Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu

tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan pada

akhirnya dapat mengakibatkan sufokasi (Effendi 2003). Kadar amonia pada

perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/L, sedangkan kadar amonia bebas

yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari

0,2 mg/L. Kadar amonia bebas lebih dari 0,2 mg/L, perairan toksik bagi beberapa

jenis ikan (Effendi 2003).

Pada tingkat toksik, NH3 dapat menyebabkan peningkatan pH pada darah,

gangguan osmoregulasi, dan kesulitan bernafas. Akumulasi NH3 pada

kolam-kolam budidaya dapat bersifat toksik pada konsentrasi yang tinggi dan

dapat menyebabkan kematian hewan budidaya. Akumulasi NH3 pada

kolam-kolam budidaya biasanya hanya sampai pada level yang menyebabkan

efek-efek subletal (Hargreaves dan Tucker 2004).

2.7 Glukosa Darah

Respon sekunder terjadi karena adanya pengaktifan hormon stres yang

menyebabkan perubahan kimia darah dan jaringan (Begg & Pankhurst 2004),

misalnya peningkatan glukosa dalam plasma darah (Porchas et al. 1990). Glukosa

darah kebanyakan diproduksi akibat adanya aksi hormon kortisol yang dapat

(18)

(Porchas et al. 1990). Keberhasilan pasokan glukosa ke dalam sel ditentukan oleh

kinerja insulin. Sedangkan selama stres terjadi inaktivasi insulin sehingga

menutup penggunaan glukosa oleh sel (Brown 1993 dalam Hastuti et al. 2003).

Pengujian glukosa darah merupakan salah satu parameter yang digunakan

untuk mengevaluasi tingkat stres pada ikan (Kucukgul & Sahan 2008). Barton &

Iwama (1991) menyatakan bahwa konsentrasi kortisol dan glukosa merupakan

indikator stres yang paling penting pada ikan. Kebutuhan energi dari glukosa

untuk menangani stres dapat dipenuhi apabila glukosa dalam darah dapat segera

masuk ke dalam sel target. Keberhasilan pasokan glukosa ke dalam sel ditentukan

oleh kinerja insulin. Inaktivasi insulin terjadi selama stres sehingga menutup

penggunaan glukosa oleh sel (Hastuti et al. 2003).

Mekanisme terjadinya perubahan performa glukosa darah selama stres

adalah sebagai berikut: Adanya perlakuan shock suhu (perubahan suhu)

lingkungan akan diterima oleh organ reseptor. lnformasi tersebut disampaikan ke

otak bagian hipotalamus melalui sistem syaraf, dan selanjutnya sel kromaffin

menerima perintah melalui serabut syaraf symphatik untuk mensekresikan

hormon katekolamin. Hormon ini akan mengaktivasi enzim-enzim yang terlibat

dalam katabolisme simpanan glikogen hati dan otot serta menekan sekresi hormon

insulin, sehingga glukosa darah mengalami peningkatan. Pada saat yang

bersamaan hipothalamus otak mensekresikan CRF (corticoid releasing factor)

yang meregulasi kelenjar pituitary untuk mensekresikan ACTH

(adrenocorticotropik hormone), MSH (melanocyte stimulating hormone) dan

B-End (B-endorphin). Hormon tersebut akan meregulasi sekresi hormon kortisol

dari sel. Kortisol selanjutnya akan menggertak enzim-enzim yang terlibat dalam

glukoneogenesis yang menghasilkan peningkatan glukosa darah yang bersumber

dari non karbohidrat. Penurunan glukosa darah terjadi akibat adanya katabolisme

protein untuk membentuk glukosa, katabolisme protein ini juga menghasilkan

asam amino, sehingga asam amino dalam darah diduga meningkat. Meningkatnya

asam amino dalam darah akan mengaktivasi insulin kembali sehingga mampu

melakukan transport glukosa, sehingga glukosa dalam darah akan menurun

(19)

Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta pulau lengerhan

pada jaringan epithelium pankreas yang mengatur tingkat kenormalan gula darah

yang relatif konstan dibawah kondisi normal. Hormon ini berpengaruh terhadap

metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Suptijah 1996). Insulin adalah

protein yang mempunyai struktur primer spesifik dan merupakan polipeptida

besar dengan berat molekul kira-kira 6000. Polipeptida ini terdiri dari 51 asam

amino tersusun dalam 2 rantai: rantai A yang terdiri dari 21 asam amino dan rantai

B terdiri dari 30 asam amino. Antara rantai A dan rantai B terdapat

2 jembatan disulfida yaitu antara A-7 dengan B-7 dan N-19 dengan A-20.

Jembatan disulfida juga terdapat antara asam amino ke-6 dan ke-11 pada rantai A

(Suharto & Handoko 1987 dalam Suptijah 1996).

Insulin memiliki fungsi yang luas dan rumit. Efek akhir dari hormon ini

adalah penyimpanan karbohidrat, protein dan lemak sehingga insulin dapat

disebut sebagai hormone of abudance (Nurtanio & Wangko 2007). Insulin

memiliki dua fungsi penting dalam menjaga homeostasis metabolisme dalam

tubuh. Mengusahakan tetap tersedianya sumber energi yang cukup

untuk kebutuhan tubuh dalam masa perkembangan, pertumbuhan, dan

reproduksi adalah fungsi pertama. Fungsi kedua adalah mengatur

konsentrasi glukosa plasma. Pengaturan pelepasan insulin ini dikendalikan

oleh sistem saraf pusat dan dipengaruhi oleh jumlah sel lemak dan glukosa plasma

(20)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Juli 2012. Adapun

tempat penelitiannya yaitu di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil

Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Lingkungan

Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan mas

(C. carpio) ukuran 4 ekor/kg atau ukuran konsumsi yang diperoleh dari

kolam ikan di Dramaga-Bogor. Bahan pembantu yang dipakai adalah air, aquades,

es batu, indikator pp, NaOH, NH4Cl, MnSO4, hipoklorit , dan fenat.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan, akuarium berukuran 5 liter,

pengukur waktu, gelas ukur, beaker glass, erlenmeyer, pipet mikro, GlucoDR,

serta peralatan untuk pengukuran kualitas air, yaitu multimeter dan

spektrofotometer.

3.3 Tahap Penelitian

Penelitian dilakukan melalui dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan

penelitian utama. Sebelum penelitian, dilakukan persiapan antara lain:

(a) media air, dan (b) ikan uji.

3.3.1 Persiapan penelitian

a). Media air

Media air yang digunakan diuji kualitasnya, meliputi pengukuran suhu,

kadar oksigen terlarut (DO), CO2, pH, dan amoniak terhadap media air

laboratorium yang diendapkan selama 1 hari. Alat dan cara pengukuran disajikan

(21)

Tabel 1 Parameter kualitas air, alat, dan cara pengukurannya

Parameter Alat Cara Pengukuran

Suhu Air Multimeter Pembacaan skala

DO Multimeter Pembacaan skala

CO2 Alat gelas Titrasi

pH Multimeter Pembacaan skala

TAN Spektrofotometer Pembacaan skala

Glukosa Darah GlucoDR Pembacaan skala

1) CO2 (Dye 1958 dalam Franson 1975)

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengukuran CO2, yang pertama

yaitu air sampel sebanyak 25 mL diambil menggunakan gelas ukur, lalu

dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Setelah itu, air sampel yang tadi ditambahkan

indikator pp sebanyak 3-4 tetes kemudian dilihat dan diamati reaksi yang terjadi,

jika air sampel berubah warna menjadi pink berarti dalam air sampel tersebut

tidak terkandung CO2, namun jika air sampel tidak berubah warna, berarti dalam

air sampel tersebut terkandung CO2, maka langkah berikutnya yang dilakukan

pada air sampel yang tidak berwarna tadi adalah proses titrasi dengan Na2CO3

atau NaOH hingga berubah menjadi warna pink. Langkah terakhir jumlah titran

dicatat dan dihitung dengan rumus:

2) Pengukuran TAN (Weatherburn 1967 dalam Rand et al. 1975)

Pengukuran amoniak dilakukan pada sampel air laboratorium yang telah

diendapkan selama 1 hari menggunakan metode spektrofotometer. Sampel air

sebanyak 25 mL dipipet dan dimasukkan ke dalam beaker glass 100 mL.

selanjutnya, larutan NH4Cl disiapkan sebanyak 25 mL sebagai larutan standar

amoniak dan larutan aquades sebanyak 25 mL sebagai larutan blanko. Larutan

MnSO4 sebanyak 1 tetes, chlorox 0,5 mL, dan reagen fenat 0,6 mL ditambahkan

ke dalam larutan standar sampai berwarna biru kehijauan, serta ke dalam sampel

air dan blanko, kemudian ketiga larutan tersebut dibiarkan sampai 15 menit.

(22)

pada absorbansi 0,000, kemudian dilakukan pengukuran sampel dan

larutan standar. Nilai pengukuran tersebut kemudian dihitung menggunakan

rumus:

TAN (mg/L) =

Keterangan :

Cst = konsentrasi larutan standar (0,3 ppm) As = Nilai Absorban sampel

Ast = Nilai absorban standar

3) Penghitungan tingkat konsumsi oksigen ( Pavlovskii 1964 dalam Budiarti

et al. 2005)

Keterangan :

TKO = tingkat konsumsi oksigen (mgO2/g/jam)

DO0 = konsentrasi oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg/L)

DOt = konsentrasi oksigen terlarut pada waktu t (mg/L)

V = volume air dalam wadah (L) W = biomassa ikan uji (g) t0 = waktu pada jam ke-0 (awal) t1 = waktu pada jam ke-1 (akhir)

b) Ikan uji

Ikan mas berukuran konsumsi yang baru dibeli dalam keadaan hidup dari

kolam dipindahkan pada akuarium untuk dilakukan adaptasi kemudian dipuasakan

selama 1 hari. Pada saat ikan dipindahkan pada akuarium, ikan tidak boleh diberi

pakan terlebih dahulu, karena ikan baru berada dalam lingkungan baru sehingga

perlu penyesuaian diri terhadap lingkungan baru.

3.3.2 Penelitian pendahuluan

Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk memilih size ikan mas ukuran

konsumsi (size 4, 5, dan 6) yang memiliki daya tahan terbaik terhadap perubahan

lingkungan. Sebanyak 3 buah akuarium yang berisi air 3 liter masing-masing

diberi ikan sebanyak 4 ekor (size 4), 5 ekor (size 5), dan 6 ekor (size 6). Ikan

diamati setiap 30 menit selama dua jam. Prosedur penelitian tersebut dilakukan

(23)

respon fisiologis gerak ikan, serta kualitas air yaitu DO, CO2, TAN dan pH. Size

ikan yang terbaik kemudian dipilih untuk dijadikan bahan uji pada penelitian

utama.

3.3.3 Penelitian utama

Tujuan penelitian utama adalah untuk mendapatkan informasi mengenai

perubahan kondisi fisiologis ikan mas dibawah kondisi suhu lingkungan yang

berbeda. Sebanyak 6 buah akuarium berukuran 5 liter diisi air yang telah

diendapkan selama 1 hari masing-masing 3 liter. Kemudian akuarium tersebut

diberi ikan sebanyak 4 ekor (size 4) dengan perlakuan berbeda-beda. Perlakuan

tersebut diantaranya kontrol atau pemberian suhu ruang (27 oC), pemberian suhu

dingin (15 oC), dan pemberian suhu hangat (35 oC). Perlakuan perbedaaan suhu

ini dilakukan secara bertahap dengan perubahan suhu ± 2 oC setiap 5 menit hingga

mencapai suhu target. Perubahan suhu pada perlakuan suhu dingin dimulai dari

suhu 25 oC hingga mencapai suhu 15 oC yang tercapai pada menit ke-20.

Perubahan suhu pada perlakuan suhu hangat dimulai dari suhu 29 oC hingga

mencapai suhu 35 oC yang tercapai pada menit ke-15. Ikan diamati setiap 30

menit sekali hingga dua jam. Pengamatan tersebut meliputi respon fisiologis gerak

ikan, pengukuran kualitas air yaitu pengukuran suhu, DO, CO2, TAN, dan pH.

Pengukuran glukosa darah diawal dan diakhir juga dilakukan selama simulasi.

Rangkaian prosedur penelitian disajikan pada Gambar 2.

3.4 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

(RAL) faktorial dengan satu faktor, yaitu faktor pemberian ukuran (size 4, size 5,

dan size 6) untuk penelitian pendahuluan dan faktor pemberian suhu untuk

penelitian utama dengan taraf suhu dingin, suhu ruang, dan suhu hangat. Model

matematika RAL factorial adalah sebagai berikut:

Y

ij

=

μ

+

τ

i +

ε

ij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j (j=1,2)

(24)

τi = Pengaruh perbedaan suhu lingkungan pada taraf ke-i (i=1,2,3) εij = Galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j

Apabila hasil perhitungan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata,

maka dilakuan uji lanjut Duncan. Pengolahan data statistik ini menggunakan

program SPSS 13.0 for Windows.

Gambar 2 Diagram alir tahapan pengujian fisiologis ikan mas

Ikan Mas (C. carpio) size 4

Penimbangan bobot ikan (wo)

Pemberokan ikan selama 24 jam

Pengukuran glukosa darah ikan

Suhu kamar (27 oC)

Suhu dingin (15 oC)

Suhu hangat (35 oC)

Penimbangan bobot ikan (wt)

Pengukuran glukosa darah ikan

(25)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisiologis Ikan Mas (C. carpio L.)

Nilai perbandingan DO pada perlakuan perbedaan ukuran disajikan pada

Gambar 3. Gambar 3 menujukkan bahwa nilai DO menurun drastis dari menit

ke-0 hingga menit ke-30, sedangkan dari menit ke-30 hingga menit ke-120

nilainya relatif stabil atau tidak menunjukkan penurunan yang terlalu besar. Hasil

uji Kruskal Wallis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan

95 % pemberian perlakuan perbedaan ukuran memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap kelarutan oksigen (DO) pada media. Semakin kecil ukuran ikan,

nilai penurunan oksigen terlarut semakin tinggi.

Gambar 3 Grafik nilai DO pada perlakuan perbedaan ukuran ( size 4; size 5; size 6).

Burggren & Ramdall (1978) menjelaskan bahwa kapasitas aerobik yang

tinggi dari spesies ikan yang sangat aktif dapat menghalangi toleransi hipoksia,

dan sebaliknya. Penjelasan tersebut mengandung arti bahwa ikan yang lebih aktif

bergerak akan lebih tinggi tingkat konsumsi oksigennya sehingga lebih rentan

mengalami hipoksia. Ikan yang berukuran lebih kecil umumnya bergerak lebih

aktif atau lebih lincah dibandingkan dengan ikan yang berukuran lebih besar,

sehingga kebutuhan oksigennya lebih banyak. Ghufran & Kordi (2007)

(26)

budidaya tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktifitasnya. Gambar 3

menunjukkan bahwa kelarutan oksigen (DO) pada perlakuan perbedaan ukuran

menurun drastis hingga di bawah 2 mg/L pada selang waktu 30 menit sehingga

ikan mengalami hipoksia dan beberapa ikan tidak mampu bertahan di menit-menit

selanjutnya. Ernest (2000) menjelaskan bahwa ikan mas dapat bertahan hidup

pada konsentrasi DO minimum sebesar 2 mg/L. Ikan pun kemudian merespon DO

minimum tersebut dengan cara melakukan pemompaan air yang lebih cepat ke

permukaan air sehingga beberapa ikan masih bisa bertahan hidup. Odum (1971)

menjelaskan bahwa kecepatan difusi oksigen dari udara dipengaruhi oleh suhu,

salinitas, kekeruhan, pergerakan udara, massa air, dan gelombang. Upaya ikan

memompa air lebih cepat ke permukaan akan menyebabkan terbentuknya riak air

atau gelombang sehingga akan mempercepat difusi oksigen pada permukaan air.

Hasil perhitungan jumlah bukaan mulut ikan saat mengambil oksigen ke

permukaan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah bukaan mulut ikan saat mengambil oksigen ke permukaan

Size Menit (s)

5` 30` 60` 90` 120`

4 ± 3,20 194 854 1712 1426 1468

5 ± 3,68 295 2120 2814 1847 702

6 ± 3,58 285 2334 3483 1631 481

Jumlah bukaan mulut ikan ketika mengambil oksigen ke permukaan

berbeda-beda tiap size (Tabel 2). Venberg & Venberg (1972) menyatakan bahwa

jika ikan berada pada medium yang tekanan parsial oksigennya lebih rendah dari

lingkungan, maka untuk memenuhi kebutuhan oksigennya ikan akan melakukan

pemompaan air yang lebih besar melalui peningkatan frekuensi pergerakan

operkulum. Tabel 2 menunjukkan bahwa ikan mas dengan size 4 memiliki

rata-rata jumlah bukaan mulut yang paling kecil. Jumlah bukaan mulut terbanyak

pada saat simulasi dihasilkan oleh ikan mas size 6. Ikan mas size 6 memiliki

kepadatan yang lebih tinggi secara kuantitas dibandingkan dengan ikan mas size

4 dan size 5, sehingga kelarutan oksigennya lebih cepat menurun. Docan et al.

(2010) melaporkan bahwa ketika ikan berada pada kepadatan yang tinggi

kebutuhan oksigen akan meningkat, sehingga oksigen terlarut dalam air lebih

(27)

berbedanya jumlah bukaan mulut. Semakin tinggi kepadatan, maka kualitas air

lebih cepat menurun sehingga ikan akan lebih cepat mati (Docan et al. 2010).

Nilai perhitungan SR pada perlakuan perbedaan ukuran disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai perhitungan SR perlakuan perbedaan ukuran

Size SR

0` 30` 60` 90` 120`

4 ± 3,20 100 % 100 % 87,5 % 62,5 % 62,5 %

5 ± 3,68 100 % 100 % 70 % 60 % 60 %

6 ± 3,58 100 % 100 % 100 % 75 % 50 %

Rata-rata size ikan yang memiliki daya tahan yang cukup baik terhadap

perubahan lingkungan (kepadatan) adalah ikan mas dengan size 4 yaitu dengan

rata-rata SR 62,5 %. Gomes et al. (2003) menyatakan pula bahwa tingkat

mortalitas semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kepadatan. Hasil

pengujian juga menunjukkan bahwa ikan mas size 4 memiliki rata-rata kelarutan

oksigen (DO) terbesar (Gambar 3). Grafik perbandingan nilai CO2 pada perlakuan

perbedaan ukuran disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Grafik nilai CO2 pada perlakuan perbedaan ukuran ( size 4;

size 5; Size 6).

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa pada tingkat

kepercayaan 95 % pemberian perlakuan perbedaan ukuran memberikan pengaruh

yang berbeda nyata terhadap nilai CO2. Nilai rata-rata kadar CO2 yang paling

(28)

tinggi diperoleh pada perlakuan size 6 (Gambar 4). Nilai CO2 berbanding terbalik

dengan nilai DO karena CO2 merupakan hasil dari proses respirasi. Suryaningrum

et al. (2006) menjelaskan bahwa tingkat aktivitas dan stres ikan dapat

mempengaruhi kadar CO2 dalam air terkait tingkat respirasinya, karena CO2

dihasilkan sebagai oksidasi senyawa organik yang berasal dari makanan selama

proses respirasi. Kepadatan ikan mas juga dapat mempengaruhi jumlah eksresi

CO2. Perlakuan size 6 memiliki kepadatan yang lebih tinggi dari segi kuantitas

dibanding dengan perlakuan lainnya, sehinga menghasilkan eksresi CO2 yang

lebih banyak. William & Robert (1992) melaporkan bahwa pada umumnya,

kepadatan yang tinggi dapat menyebabkan konsentrasi CO2 menjadi tinggi. Grafik

perbandingan nilai TAN pada perlakuan perbedaan ukuran disajikan pada

Gambar 5.

Gambar 5 Grafik nilai TAN pada perlakuan perbedaan ukuran ( size 4; size 5; Size 6).

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa pada tingkat

kepercayaan 95 % pemberian perlakuan perbedaan ukuran memberikan pengaruh

yang berbeda nyata terhadap nilai TAN. Gambar 5 menunjukkan bahwa rata-rata

nilai TAN tertinggi didapatkan oleh size 6, sedangkan nilai rata-rata terendah

didapatkan oleh perlakuan size 4. Nilai TAN hasil penelitian berkisar antara 0,016

hingga 0,917 mg/L. Kisaran ini masih tergolong sangat kecil bagi kehidupan ikan

sehingga tidak akan menghambat proses transportasi. Chervinsky (1982) dalam

(29)

baik untuk kehidupan ikan adalah kurang dari 2,4 mg/L. TAN merupakan salah

satu sumber amonia dari hasil metabolit ikan yang dikeluarkan melalui insang dan

tinja (Effendi 2003). Tingginya metabolisme ikan mas pada kepadatan yang lebih

tinggi (Size 6) menghasilkan buangan amonia yang lebih banyak dibandingkan

dengan size 4 dan size 5, sehingga kepadatan yang tinggi harus dihindarkan

selama proses transportasi. Meningkatnya kepadatan ikan yang diangkut akan

meningkatkan tingkat metabolisme ikan dan dapat mengakibatkan tingginya

tingkat stres yang dialami oleh ikan karena menurunya kualitas air

(Supriyono et al. 2010). Grafik perbandingan nilai pH pada perlakuan perbedaan

ukuran disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Grafik nilai pH pada perlakuan perbedaan ukuran ( size 4; size 5; Size 6).

Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai pH menurun dari menit ke-0 hingga

menit ke-30, namun mulai dari menit ke-30 hingga menit ke-120 nilai pH relatif

stabil. Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa pada tingkat

kepercayaan 95 % pemberian perlakuan perbedaan ukuran tidak memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap pH air. Nilai pH masih tergolong baik

dimana kisaran pH berada pada nilai 6,635 hingga 7,91. Sofarini (2009)

menyatakan bahwa nilai baku mutu pH air untuk ikan dapat hidup dengan baik

adalah berkisar antara 6 hingga 9. Nilai CO2 yang meningkat drastis pada menit

(30)

menit tersebut. Karbondioksida bereaksi dengan air akan menghasilkan asam

karbonat (H2CO3)sehingga pH air menjadi turun (Suryaningrum et al. 2006).

Hasil pengujian kualitas air menunjukkan bahwa secara umum, ikan size 4

memiliki rata-rata nilai kelarutan oksigen (DO) yang paling tinggi dan paling

sedikit menghasilkan buangan sisa metabolit (CO2 dan TAN) disbanding dengan

ikan size 5 dan size 6. Ikan mas size 4 juga menghasilkan SR yang terbesar yaitu

62,5 %. Ikan dengan size terbaik yaitu size 4, selanjutnya digunakan sebagai

bahan percobaan pada penelitian utama.

4.2 Tingkat Konsumsi Oksigen Ikan Mas (C. carpio L.)

Respirasi menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut dan peningkatan

karbon dioksida pada media transportasi. Peningkatan konsentrasi karbon

dioksida menyebabkan pH air menurun. Meningkatnya respirasi juga dapat

meningkatkan eksresi ammonia (Dobsikova et al. 2006). Tabel tingkat konsumsi

ikan mas disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Tingkat konsumsi oksigen ikan mas selama simulasi

Suhu (oC) Tingkat Konsumsi Oksigen (mgO2/kg/jam)

30` 60` 90` 120`

Dingin (25-15 ± 0,25) 21,89 ± 1,42 0,89 ± 0,23 0,56 ± 0,06 0,21 ± 0,04 Ruang (27 ± 0,24) 23,31 ± 0,59 0,47 ± 0,11 0,14 ± 0,02 0,24 ± 0,17

Hangat (29-35 ± 0,21) 23,40 ± 0,42 0,35 ± 0,23 0,46 ± 0,03 -

Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat konsumsi oksigen

terbesar terdapat pada perlakuan suhu hangat menit ke-30 yaitu sebesar

23,40 ± 0,42 mgO2/kg/jam. Nilai tingkat konsumsi oksigen terkecil terdapat pada

perlakuan suhu ruang menit ke-90 yaitu sebesar 0,14 ± 0,02 mgO2/kg/jam.

Matinya seluruh ikan pada perlakuan suhu hangat menit ke-120 menyebabkan

nilai konsumsi oksigen tidak ada. Kematian ini diakibatkan oleh meningkatnya

metabolisme tubuh ikan pada suhu hangat yang menyebabkan ikan bergerak lebih

agresif dibandingan dengan perlakuan suhu dingin dan suhu ruang, sehingga

kandunngan oksigen terlarut pun lebih cepat menipis dan ikan pun mati lemas

(hipoksia). Adanya perbedaan suhu lingkungan akan menyebabkan tingkat

(31)

aktivitas tersebut menyebabkan perbedaan dalam kebutuhan energi dan akibatnya

terdapat perbedaan dalam konsumsi oksigen. Davis & Parker (1990) melaporkan

bahwa semakin tinggi suhu maka metabolisme tubuh ikan akan semakin

meningkat. Sulmartini et al. (2009) menyatakan pula bahwa peningkatan

metabolisme dapat menyebabkan hipoksia pada ikan. Laju pengambilan oksigen

ikan akan menurun jika kandungan oksigen dalam air berkurang. Proses fisiologis

dalam ikan seperti tingkat respirasi, makan, metabolisme, pertumbuhan, perilaku,

reproduksi, tingkat detoksifikasi, dan bioakumulasi dipengaruhi oleh suhu

(Fadhil et al. 2011).

4.3 Pengaruh Suhu Lingkungan terhadap Kualitas Air dan Tingkah Laku Ikan Mas (C. carpio L.)

Diagram batang uji kualitas air untuk nilai DO disajikan pada Gambar 7.

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 6) menunjukkan bahwa pada tingkat

kepercayaan 95 % pemberian suhu berbeda memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap kelarutan oksigen (DO) pada media. Hasil uji lanjut Duncan

(Lampiran 8) menunjukkan bahwa pada menit ke-30, nilai DO suhu ruang

berbeda nyata dengan nilai DO suhu hangat dan dingin.

(32)

Di menit ke-90, nilai DO suhu dingin berbeda nyata dengan nilai DO suhu

ruang dan hangat. Nilai DO ketiga suhu saling berbeda nyata satu sama lain pada

menit ke-60 dan ke-120. Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai DO berada pada

kisaran 0,14 ± 0,02 mg/L hingga 4,19 ± 0,09 mg/L. Nilai DO awal air sudah

memenuhi Nilai Baku Air (NBA) untuk perikanan, namun setelah menit ke-30

nilai DO menurun drastis. Nilai DO yang merosot ini diakibatkan oleh tingginya

nilai kulaitas air awal. Menurunnya nilai DO juga diakibatkan oleh tidak adanya

aerasi. Nilai DO tertinggi pada menit ke-30 hingga menit ke-120 diperoleh pada

perlakuan suhu dingin yaitu sebesar 0,48 ± 0,04 mg/L. Lesmana (2002) menyatakan bahwa pengaruh suhu rendah terhadap ikan adalah rendahnya

kemampuan mengambil oksigen (hypoxia). Rendahnya kemampuan pengambilan

oksigen ini menyebakan nilai kelarutan oksigen lebih lambat menurun pada

perlakuan suhu dingin. Diagram batang uji kualitas air untuk CO2 disajikan pada

Gambar 8.

Gambar 8 Diagram batang nilai rata-rata parameter CO2 ( suhu dingin ;

suhu ruang ; suhu hangat) ; huruf berbeda menunjukkan hasil perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05).

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 6) menunjukkan bahwa pada tingkat

kepercayaan 95 % pemberian suhu berbeda memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap kandungan CO2 pada media. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 8)

menunjukkan bahwa pada menit ke-0, nilai CO2 suhu hangat berbeda nyata

(33)

nilai CO2 suhu ruang berbeda nyata dengan CO2 suhu dingin dan suhu hangat.

Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai rata-rata CO2 pada suhu ruanglebih tinggi

dibandingkan dengan suhu dingin dan suhu ruang. Metabolisme tubuh ikan

menurun pada suhu dingin sehingga tingkat konsumsi oksigen kecil dan nilai CO2

yang dihasilkan pun juga menjadi kecil, sedangkan pada suhu hangat kelarutan

gas lebih kecil dibandingan pada suhu dingin dan suhu ruang sehingga nilai CO2

pun lebih kecil. Ghosal & Freeman (1994) menyatakan bahwa semakin tinggi

suhu maka kelarutan gas pada perairan akan semakin menurun. Nilai CO2 pada

Gambar 8 menunjukkan bahwa nilainya masih tergolong rendah yaitu berkisar

antara 0,14 ± 0,00 hingga 1,56 ± 0,44. Nilai CO2 yang tinggi tidak akan menjadi

masalah selama nilai oksigen tinggi. Hasil studi Tahe (2008) menunjukkan bahwa

nilai CO2 yang tinggi (36,45-70,45 mg/L) masih dapat ditoleransi oleh ikan

asalkan kadar oksigen tinggi (3,9-4,3 mg/L). Diagram batang uji kualitas air untuk

TAN disajikan pada Gambar 9.

kepercayaan 95 % pemberian suhu berbeda memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap kandungan TAN pada media. Hasil uji lanjut Duncan

(Lampiran 8) menunjukkan pada menit ke-0, 90, dan 120 nilai TAN ketiga suhu

(34)

saling berbeda nyata satu sama lain. Di menit ke-30, nilai TAN suhu hangat

berbeda nyata dengan nilai TAN suhu ruang dan dingin, sedangkan di menit

ke-60, nilai TAN suhu ruang berbeda nyata dengan nilai TAN suhu dingin dan

hangat. Gambar 9 menunjukkan bahwa kisaran nilai TAN berada pada 0,06 ± 0,01

hingga 0,91 ± 0,01 mg/L.

Nilai TAN awal air untuk ketiga suhu sudah cukup memenuhi Baku Mutu

Air (BMA) untuk perikanan, namun setelah menit ke-30 nilai TAN melonjak

naik. Sofarini (2009) melaporkan bahwa nilai Baku Mutu Air (BMA) untuk

amonia adalah kurang dari 0,1 mg/L. Nilai TAN tertinggi saat simulasi pada menit

ke-60 didapat pada perlakuan dengan suhu ruang yaitu sebesar 0,91 ± 0,01 mg/L (Gambar 9). Boyd (1990) menyatakan bahwa laju proses biokimia sesuai dengan

hukum van hoff akan meningkat dua kalinya setiap peningkatan suhu 10 oC.

Meningkatnya reaksi di dalam cairan media dan cairan tubuh ikan menyebabkan

adanya peningkatan reaksi kimia di dalam air dimana NH3 bereaksi dengan H2O

menghasilkan NH4+sehingga pH perairan menjadi naik. Pada tingkat toksik, NH3

dapat menyebabkan peningkatan pH pada darah, gangguan osmoregulasi, dan

kesulitan bernafas (Hargreaves dan Tucker 2004). Diagram batang uji kualitas air

untuk pH disajikan pada Gambar 10.

(35)

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 6) menunjukkan bahwa pada tingkat

kepercayaan 95 % pemberian suhu berbeda memberikan pengaruh yang berbeda

nyata terhadap derajat keasaman (pH) pada media. Hasil uji lanjut Duncan

(Lampiran 8) menunjukkan bahwa pada menit ke-30 dan 60, nilai pH suhu hangat

berbeda nyata dengan nilai pH suhu ruang dan dingin, sedangkan di menit ke-90

dan ke-120, nilai pH ketiga suhu tidak berbeda nyata. Gambar 10 menunjukkan

bahwa kisaran pH berada pada kisaran 5,75 ± 0,22 hingga 6,93 ± 0,01. Pada

awalnya nilai pH awal air untuk ketiga suhu sudah memenuhi Baku Mutu Air

(BMA) untuk perikanan, namun pada menit ke-30 dan menit ke-60 nilai pH pada

suhu hangat masing-masing menurun menjadi 5,96 ± 0,04 dan 5,75 ± 0,22.

Sofarini (2009) melaporkan bahwa nilai baku mutu pH air untuk ikan

dapat hidup dengan baik adalah berkisar antara 6 hingga 9. Penurunan pH pada

suhu hangat diakibatkan oleh meningkatnya metabolisme tubuh ikan pada suhu

hangat sehingga tingkat konsumsi oksigen meningkat. Proses konsumsi oksigen

ini kemudian akan menghasilkan CO2. William & Robert (1992) melaporkan

bahwa konsentrasi CO2 dapat menjadi tinggi sebagai hasil dari respirasi.

Karbondioksidabebas yang dilepaskan selama respirasi akan berekasi dengan air

sehingga menghasilkan asam karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH air.

Akibat penurunan pH tersebut menyebabkan 12,5 % ikan mati di menit ke-30 dan

37,5 % mati di menit ke-60 pada suhu hangat. Zooneveled et al. (1991)

menyatakan bahwa ketika insang berada pada pH rendah, peningkatan lendir akan

terlihat pada permukaan insang dan meyebabkan penurunan difusi oksigen pada

lamela insang. Rata-rata nilai pH tertinggi dihasilkan oleh perlakuan suhu dingin.

Metabolisme tubuh ikan cenderung lebih kecil pada suhu rendah dibandingkan

dengan pada suhu tinggi sehingga buangan hasil metabolisme seperti CO2 lebih

sedikit akibatnya pH relatif stabil. Davis & Parker (1990) melaporkan bahwa

semakin tinggi suhu maka metabolisme tubuh ikan akan semakin meningkat.

Pengamatan tingkah laku fisik ikan mas dalam berbagai suhu disajikan pada

(36)

Tabel 5 Pengamatan fisik tingkah laku ikan pada suhu dingin, ruang, dan hangat

Lincah* : Lincah stres

Pengujian perlakuan suhu hangat menunjukkan bahwa pada awalnya ikan

bergerak lincah normal, namun ketika suhu air mulai naik perlahan-lahan dan ikan

pun mulai stres dan melambat pada menit ke-60. SR ikan berkurang menjadi 75 %

pada menit ke-30. Pada menit ke-90 dan ke-120 ikan berada pada fase pasca stres

ditandai dengan terjadinya disorentasi pada ikan, bahkan diantaranya mati

sehingga SR menjadi 50 % pada menit 90 dan 0 % pada menit 120. Ikan mas yang

diberi perlakuan suhu dingin secara umum memberikan perlakuan yang lebih baik

daripada perlakuan suhu ruang dan hangat. Ikan dengan perlakuan suhu dingin

terlihat lebih tenang dan menghasilkan sisa metabolit lebih sedikit. Ikan dengan

Suhu Gerak

Lambat Lambat Lambat Normal Banyak Banyak

(37)

perlakuan suhu dingin juga menghasilkan SR 100 % atau tidak ada ikan yang

mengalami kematian pada saat simulasi.

Pada suhu yang turun mendadak akan terjadi degenerasi sel darah merah

sehingga proses respirasi terganggu. Pemberian suhu rendah juga dapat

menyebabkan ikan tidak aktif, bergerombol seperti tidak mau berenang dan

makan sehingga imunitasnya terhadap penyakit berkurang. Perubahan suhu yang

melebihi 3-4 oC dalam waktu yang relatif singkat dan mengakibatkan kejutan suhu

dan kematian ikan (Boyd 1990). Pada suhu dingin ikan terlihat lincah stres pada

menit awal, namun pada menit berikutnya ikan terlihat tenang. Karnila & Edison

(2001) menyatakan bahwa untuk pembiusan bertahap sampai suhu 15 oC selama

15 menit kondisi ikan sudah melewati fase panik dan tidak meronta saat dilakukan

pengemasan, sehingga proses pengemasan sanga mudah dilakukan.

4.3 Pengaruh Suhu terhadap Glukosa Darah (C. carpio L.)

Glukosa darah merupakan sumber pasokan bahan bakar utama dan subtrat

esensial untuk metabolisme sel. Pengujian glukosa darah ikan dilakukan di awal

dan di akhir simulasi. Pengukuran dilakukan dengan cara mengambil darah ikan

pada vena caudal (ekor) ikan dengan cara menggunakan jarum suntik berukuran

3 ml. Data hasil uji kadar glukosa darah disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Uji kadar glukosa darah pada beberapa suhu di awal dan akhir simulasi

Kadar Glukosa Darah (mg/L)

Suhu Dingin (15 oC) Suhu Ruang (27 oC) Suhu Hangat (35 oC)

Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir

12,9 ± 0,1 15,0 ± 0,3 12,2 ± 0,3 14,0 ± 1,1 11,7 ± 2,2 6,3 ± 0,8

Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai glukosa darah untuk

suhu dingin dan suhu ruang. Nilai glukosa darah tertinggi didapat pada suhu

dingin yaitu sebesar 15,0 ± 0,3 mg/L. Hasil studi Hastuti et al. (2003) menunjukkan bahwa kadar glukosa darah ikan yang diberi stres perubahan suhu

dingin secara mendadak akan mengalami peningkatan. Pada perlakuan suhu

(38)

Penurunan nilai kadar glukosa ini dikarenakan semakin tinggi suhu maka

metabolisme tubuh ikan menjadi tinggi dan ikan akan lebih aktif bergerak sampai

cadangan glikogen habis, sehingga kadar glukosa dalam darah menurun.

Kucukgul & Sahan (2008) menyatakan bahwa semakin meningkat suhu, maka

nilai glukosa darah akan semakin menurun. Hastuti et al. (2003) menyatakan

bahwa hormon kortisol dan katekolamin akan diproduksi ketika ikan stres.

Hormon kortisol dan katekolamin selanjutnya akan mengaktivasi proses

(39)

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Ikan yang memiliki daya tahan cukup baik terhadap stres perubahan

lingkungan (kepadatan) adalah ikan mas size 4 dengan rata-rata SR 63 %.

Rata-rata tingkat konsumsi oksigen tertinggi pada perlakuan perbedaan suhu

didapatkan pada perlakuan suhu hangat yaitu sebesar 8,07 mgO2/kg/jam,

sedangkan rata-rata tingkat konsumsi oksigen terendah didapatkan pada perlakuan

suhu dingin yaitu sebesar 5,89 mgO2/kg/jam. Ikan mas yang diberi perlakuan suhu

dingin memberikan hasil yang lebih baik daripada perlakuan suhu ruang dan

hangat. Ikan dengan perlakuan suhu dingin gerakan fisik tubuhnya lebih lambat

dan menghasilkan sisa metabolit yang lebih sedikit. Ikan dengan perlakuan suhu

dingin juga menghasilkan SR 100 % atau tidak ada ikan yang mati pada saat

simulasi.

5.2 Saran

Transportasi ikan mas sebaiknya dilakukan pada suhu dingin atau pada

waktu pagi hari, dan hindari pengangkutan ikan mas dengan kepadatan yang

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Barton BA, Iwama GK. 1991. Physiological changes in fish from stress in aquaculture with emphasis on the response and effects of corticosteroids.

Annual Review of Fish Diseases 1: 3-26.

Begg K, Pankhurst NW. 2004. Endocrine and metabolic responses to stress in a laboratory population of the tropical damselfish Acanthochromis polyacanthus. J. Fish Biology 64: 133–145.

Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for Aquqculture. Alabama: Birmingham Publishing Co.Birmingham.

Budiarti T, Batara T, Wahjuningrum D. 2005. Tingkat konsumsi oksigen udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan model pengelolaan oksigen pada tambak intensif. J. Akuakultur Indonesia 4(1): 89-96.

Burggren WW, Randall DJ. 1978. Oxygen uptake and transport during hypoxic exposure in the sturgeon Acipenser transmontanus. J. Respiratory Physiology 34: 171-183.

Davis KB, Parker NC. 1990. Physiological stress striped bass: Effects of acclimation temperature J.Aquaculture. 91: 349-358.

Dobsikova R, Svobodova Z, Blahova J, Modra H, Velisek J. 2006. Stress response to long distance transportation of common carp (Cyprinus carpio L.).

J. Acta Veterina Brno 75: 437-448.

Docan A, Cristea V, Grecu I, Dediu L. 2010. Hematological response of the European catfish, Silurus glanis reared at different densities in ”flow

-through” production system. Archiva Zootechnica. 13(2): 63-70.

Doudoroff P, Shumway DL. 1970. Dissolved Oxygen Requirements of Freshwater Fishes. Rome : Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolahan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.

[EIFAC] European Inland Fisheries Advisory Commission. 1969. Water quality criteria for European freshwater fish: Report on extreme pH values and inland fisheries. Prepared by EIFAC Working Party on Water Quality Criteria for European Freshwater Fish. J. Water Research 3(8): 593–611.

(41)

Ernest DH. 2000. Performance engineering. Di dalam: Stickney RR. Encyclopedia of Aquaqulture. New York: John Wiley & Sons. Hal 629-644.

Fadhil R, Endan J, Taip FS, Salih M. 2011. Kualitas air dalam sistem resirkulasi untuk budidaya ikan lele/keli (Clarias Batrachus). J. Aceh Depelovment International Conference 1:1-10.

Franson MA. 1975. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater.

14th Ed. New York: American Public Health Association.

Ghosal K, Freeman BD. 1994. Gas separation using polymer membranes. Polym. Adv. Technol 5: 673-697.

Ghufran HM, Kordi K, Andi BT. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Jakarta: Rineka Cipta.

Gomes LC, Araujo LCARM, Roubach R, Gomes CAR, Lopes NP, Urbinati EC. 2003. Effect of fish density during transportation on stress and mortality of juvenile tambaqui colossoma macropomum. J. World Aquaculture Society

34(1):76–84.

Hargreaves JA, Tucker CS. 2004. Managing ammonia in fish ponds. J. South Region Aquaqulture Center Publication 4603: 1-7.

Hastuti S, Supriyono E, Mokoginta I, Subandiyono. 2003. Respon glukosa darah ikan gurami (Osphronemus gouramy, LAC.) terhadap stres perubahan suhu lingkungan. J. Akuakultur Indonesia 2(2): 73-77.

Imanto PT. 2008. Beberapa teknik transportasi ikan laut hidup dan fasilitasnya pada perdagangan ikan laut di Belitung. J. Media Akuakultur 3(2): 181-188.

Karnila R, Edison. 2001. Pengaruh suhu dan waktu pembiusan bertahap terhadap ketahanan hidup ikan jambal siam (Pangasius sutchi F) dalam transportasi sistem kering. J. Natur Indonesia 3(2): 151-167.

Kausar R, Salim M. 2006. Effect of water temperature on the growth performance and feed conversion ratio of Labeo rohita. J. Pakistan Veteterina 26(3):

(42)

Neuman E, Sandstrom O, Thoresson G. 1997. Gudlines for Coastal Fish Monitoring. Sweden: National Board of Fisheries.

Nugroho E, Wahyudi NA. 1991. Seleksi berbagai ras ikan mas koleksi dari

berbagai daerah di Indonesia dengan menggunakan “Skor-Z”, Buletin

Penelitian Perikanan Darat 10(2): 49-54.

Nurtanio N, Wangko S. 2007. Resistensi insulin pada obesitas sentral. J. Bik Biomed 3(3): 89-96.

Odum EP. 1971. Fundamental Ecology 3. London-Toronto: W.B Sounders Company.

Porchas MM, Cordova LRF, Enriquez RR. 2009. Cortisol and glucose: reliable indicators of fish stress?. Pan-American Journal of Aquatic Sciences

(2009), 4(2): 158-178.

Praseno O, Krettiawan H, Asih S, Sudrajat A. 2010. Uji ketahanan salinitas beberapa strain ikan mas yang dipelihara di akuarium. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur : 93-100.

Rachmawati FR, Susilo U, Sistina Y. 2010. Respon fisiologis ikan nila,

Oreochromis niloticus, yang distimulasi dengan daur pemuasaan dan pemberian pakan kembali. J. Seminar Nasional Biologi 7: 492-499.

Rand MC, Greenberg AE, Taras MJ. 1975. Standard methods for the examination of water and wastewater. 14th Ed. Washington DC: APHA.

Rudiyanti S, Ekasari AD. 2009. Pertumbuhan dan survival rate ikan mas (Cyprinus carpio Linn) pada berbagai konsentrasi pestisida regent 0,3 G.

J. Saintek Perikanan. 5(1): 39-47.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Bandung: Binacipta.

Shcherbina MA, Kazlauskene OP. 1971. Water temperature and digestibility of nutrient substances by carp. J. Hydrobiologia. 9: 40-44.

Sofarini D. 2009. Analisa kualitas air (fisik,kimia) sebagai indikator kehidupan induk ikan nila (Oreochromis niloticus) di loka budidaya air tawar mandiangin. J. Bumi lestari 9(1): 77-81.

(43)

Suparno, Basmal J, Muljanah I, Wibowo S. 1994. Pengaruh suhu dan waktu pembiusan dengn pendinginan bertahap terhadap ketahanan hidup dan windu tambak (Penaeus monodon Fab.) dalam transportasi sistem kering.

J. Penelitian Pasca Panen Perikanan (79): 73-78.

Supriyono E, Budiyanti, Bdiarti T. 2010. Respon fisiologis benih ikan kerapu macan Epinepelus fuscoguttatus terhadap penggunaan minyak sereh dalam

transportasi tertutup dengan kepadatan tinggi. J. Ilmu Kelautan

15(2): 103-112.

Suptijah P. 1996. Ekstrak insulin dari ikan dan uji kemurniannya. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 2(2): 103-121.

Suryaningrum TD, Ikasari D, Syamdidi. 2006. Pengaruh kepadatan dan waktu transportasi sistem kering terhadao sintasan hidup lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). J. Penanganan Pasca Panen Perikanan 79(3): 37-55.

Tahe S. 2008. Penggunaan phenoxy ethanol, suhu dingin, dan kombinasi suhu dingin dengan phenoxy dalam pembiusan bandeng umpan. J. Media Akuakultur 3(2): 133-136.

Tim Peneliti BRPPU. 2008. Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan.

Venberg WB, Venberg FJ. 1972. Enviromental Phisiology Of Marine Animal Springer, verlag. Berlin: Heidenberg. 294p.

William AW, Robert MD. 1992. Interaction of pH, carbon dioxide, alkalinity and hardnes in fish ponds. J. SRAC Publication 464: 1-4.

Zonneveld N, Huisman EA, Boon JN. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan.

(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)

f. TAN menit ke-60

Size

N Subset for alpha = .05

1 2 1

Size 6 4 ,460750

Size 5 4 ,837750

Size 4 4 ,872250

Sig. 1,000 ,671

g. TAN menit ke-90

Size

N Subset for alpha = .05

1 2 1

Size 6 4 ,564000

Size 5 4 ,908500

Size 4 4 ,916750

Sig. 1,000 ,906

h. TAN menit ke-120

Size

N Subset for alpha = .05

1 2 1

Size 6 4 ,691750

Size 4 4 ,870750

Size 5 4 ,988000

(60)
(61)
(62)
(63)

Lampiran 9 Faktor perhitungan konsentrasi CO2 dalam air dengan diketahui pH

dan temperatur

pH Suhu (

oC)

5 10 15 20 25 30 35

6,0 2,915 2,539 2,315 2,112 1,970 1,882 1,839 6,2 1,839 1,602 1,460 1,333 1,244 1,187 1,160 6,4 1,160 1,010 0,921 0,841 0,784 0,749 0,732 6,6 0,732 0,637 0,582 0,531 0,495 0,473 0,462 6,8 0,462 0,402 0,367 0,335 0,313 0,298 0,291 7,0 0,291 0,254 0,232 0,211 0,197 0,188 0,184 7,2 0,184 0.160 0,146 0,133 0,124 0,119 0,116 7,4 0,116 0,101 0,092 0,084 0,078 0,075 0,073 7,6 0,073 0,064 0,058 0,053 0,050 0,047 0,046 7,8 0,046 0,040 0,037 0,034 0,031 0,030 0,030 8,0 0,029 0,025 0,023 0,021 0,020 0,019 0,018 8,2 0,018 0,016 0,015 0,013 0,012 0,012 0,011 8,4 0,012 0,010 0,009 0,008 0,008 0,008 0,007

Gambar

Tabel 1  Parameter kualitas air, alat, dan cara pengukurannya
Gambar 2  Diagram alir tahapan pengujian fisiologis ikan mas
Gambar 3. Gambar 3 menujukkan bahwa nilai DO menurun drastis dari menit
Tabel 3  Nilai perhitungan SR perlakuan perbedaan ukuran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Kecernaan Total dan Kadar Nutrien Daging Ikan Mas ( Cyprinus carpio ) yang Diberi Pakan Mengandung

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “ Efektivitas Pemberian Probiotik Bacillus NP5 Segar dan Mikroenkapsulasi Melalui Pakan pada Ikan Mas Cyprinus carpio

PERBANDINGAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSl. IKAN MAS ( Cyprinus carpio

PADA BENlH IKAN MAS ( Cyprinus carpio I...

bahwa guna lebih memperkaya jenis dan varietas Ikan Mas ( Cyprinus Carpio ) yang beredar di masyarakat, telah dihasilkan Ikan Mas ( Cyprinus Carpio ) Marwana sebagai

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh perbedaan lama waktu kejutan panas yang berbeda terhadap daya tetas telur ikan mas ( Cyprinus carpio ) dengan

Dengan ini saya menyatakan laporan Tugas Akhir yang berjudul Pembenihan dan Pembesaran Ikan Mas Mustika Cyprinus carpio di Dinas Perikanan Kabupaten

Dengan ini saya menyatakan laporan akhir berjudul Pembenihan dan Pembesaran Ikan Mas Strain Mantap Cyprinus carpio di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar