• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai Pada Berbagai Kedalaman Muka Air Di Lahan Rawa Pasang Surut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan Dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai Pada Berbagai Kedalaman Muka Air Di Lahan Rawa Pasang Surut"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS

KEDELAI PADA BERBAGAI KEDALAMAN MUKA AIR

DI LAHAN RAWA PASANG SURUT

DANNER SAGALA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2010

(3)

ABSTRACT

DANNER SAGALA. Growth and Production of Soybean Varieties under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps. Under direction of MUNIF GHULAMAHDI and MAYA MELATI

Saturated soil culture (SSC) is a cultivation technology that provides continuous irrigation. It keeps water depth constantly and makes soil layer in saturated condition. By keeping the water-table constantly, soybean is avoided from negative effect of inundation on its growth because it will acclimatize and improve its growth. This technology appropriate to prevent pyrite oxidation on tidal swamps and has been proved to increase the productivity of soybean on non-tidal swamp. The objective of the research was to determine the response of soybean varieties under saturated soil culture on tidal swamps. The research was conducted at Banyu Urip, Tanjung Lago, Banyuasin District, and South Sumatera Province, Indonesia from April to August 2009. The experiment was arranged in a split plot design with three replications. The main-plot of the experiment was water depth in the furrow consisted of without watering, 10, 20, 30, and 40 cm under soil surface (USS). The subplot of the experiments was soybean varieties consisted of Tanggamus, Slamet, Wilis, and Anjasmoro. The result showed that the interaction between varieties and water depth significantly affected growth and seed production, but not for pod numbers/plant. The values of all variables were higher under SSC compared to those cultivated without watering, but varieties responded to SSC differently. Nutrient absorption of N, K and Mn by Tanggamus was higher than those of other varieties, except K, however K absorption of Tanggamus was not significantly different from Anjasmoro. P and Fe absorption of Tangamus tended to be higher than the other varieties, although statistically they were not affected by variety. The highest seed production was obtained from Tanggamus with 40 cm USS, i.e. 4.83 ton/ha but it was not significantly different from those at water depth 20 (4.63 ton/ha) and 30 cm USS (4.71 ton/ha). However, technically and economically, 20 cm USS was the most appropriate water depth for soybean production at tidal swamps.

(4)

RINGKASAN

DANNER SAGALA. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan MAYA MELATI.

Budidaya jenuh air (BJA) merupakan suatu teknologi yang mempertahankan irigasi secara terus-menerus di dalam saluran sehingga kedalaman muka air dalam saluran selalu tetap dan menciptakan lapisan jenuh air pada tanah. Teknologi ini sesuai dengan prinsip pencegahan oksidasi pirit di lahan pasang surut dan telah terbukti meningkatkan produktivitas kedelai di lahan non-pasang surut.

Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kedalaman muka air parit terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut dan respon beberapa varietas kedelai yang adaptif di lahan rawa pasang surut terhadap kedalaman muka air parit yang berbeda. Percobaan disusun dalam Rancangan Petak Terpisah dengan rancangan acak kelompok sebagai rancangan lingkungan. Percobaan diulang sebanyak tiga kali. Petak utama adalah tinggi muka air yang terdiri dari 5 taraf, yaitu tanpa pengairan, 10, 20, 30 dan 40 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Anak petak adalah varietas yang terdiri dari 4 jenis yaitu Tanggamus, Slamet, Wilis dan Anjasmoro. Saluran air dibuat di antara anak petak berukuran lebar 30 cm dan dalamnya 50 cm dan dengan pengaturan ini maka kondisi petakan akan selalu basah pada saat irigasi diberikan. Air irigasi diberikan mulai saat tanam.

Teknologi BJA dapat meningkatkan pertumbuhan produktivitas kedelai di lahan pasang surut dan setiap varietas yang diuji memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan kedalaman muka air. Tinggi tanaman semua varietas yang ditanam dengan BJA lebih dari 50 cm, sementara semua varietas yang ditanam pada perlakuan tanpa pengairan berada di bawah 40 cm. Slamet merupakan varietas tertinggi di antara varietas-varietas yang ditanam dengan BJA, namun berbeda tidak nyata antar perlakuan kedalaman muka air 10-40 cm DPT. Bobot kering semua komponen tanaman varietas Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkankan dengan varietas lainnya, kecuali bobot kering bintil akar. Bobot kering bintil akar varietas Anjasmoro merupakan yang tertinggi, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Tanggamus. Bobot kering batang pada varietas Tanggamus juga lebih tinggi dibandingkankan varietas lainnya meskipun secara statistik berpengaruh tidak nyata. Bobot kering total tanaman varietas Wilis merupakan yang terendah, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Pertumbuhan varietas Anjasmoro pada awal pertumbuhan lebih cepat dibandingkan varietas lainnya, namun pada umur 8 dan 10 minggu setelah tanam pertumbuhannya menurun. Pertumbuhan varietas Tanggamus lebih stabil dibandingkankan varietas lainnya.

(5)

dan cabang yang tinggi memberi keuntungan bagi kedelai untuk menghasilkan polong dan pengisian polong tersebut.

Jumlah polong kedelai yang ditanam dengan BJA nyata lebih banyak dibandingkankan dengan yang ditanam dengan tanpa pengairan. Kedelai yang ditanam dengan kedalaman muka air 10 cm DPT menghasilkan polong delapan kali lebih banyak dibandingkankan tanpa pengairan. Berdasarkan jumlah polong, varietas Tanggamus dan Slamet dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut dengan teknologi BJA. Jumlah polong pada percobaan ini juga lebih tinggi dibandingkankan dengan jumlah polong di lahan non-pasang surut dengan teknologi BJA. Varietas Tanggamus, Slamet, Wilis, dan Anjasmoro yang diuji di lahan pasang surut ini menghasilkan berturut-turut 105.4, 96.4, 39.9 dan 42.1 polong/tanaman pada kedalaman muka air 20 cm DPT.

Produksi biji semua varietas nyata meningkat dengan penerapan teknologi BJA di lahan pasang surut. Kedalaman muka air 20-40 cm DPT memberi hasil 8-9 kali produksi biji dibandingkan dengan tanpa pengairan. Produksi biji varietas Tanggamus pada kedalaman muka air 40 cm DPT mencapai 4.83 ton/ha, namun berbeda tidak nyata dengan kedalaman 20 cm DPT (4.63 ton/ha) dan 30 cm DPT (4.71 ton/ha). Pembuatan saluran dengan kedalaman muka air 20 cm akan lebih mudah dan lebih murah dibandingkankan dengan saluran dengan kedalaman 30 dan 40 cm DPT. Oleh karena itu kedalaman 20 cm merupakan kedalaman muka air yang paling cocok untuk penanaman kedelai dengan teknologi BJA di lahan pasang surut yang mempunyai kandungan liat tinggi.

Kadar hara N satu-satunya hara yang memberi pengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan semua varietas. Kadar hara N varietas Tanggamus merupakan yang tertinggi, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Kadar hara N varietas Wilis nyata paling rendah dibandingkan dengan varietas lainnya dan secara statistik sama dengan varietas Anjasmoro.

Serapan hara N, K dan Mn varietas Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkan varietas yang lain, akan tetapi serapan hara K varietas Tanggamus berbeda tidak nyata dengan varietas Anjasmoro. Serapan hara P dan Fe varietas Tanggamus juga lebih tinggi dibandingkankan varietas lainnya meskipun secara statistik varietas berpengaruh tidak nyata.

Data analisis tanah yang dilakukan sebelum pengolahan tanah adalah pH (KCl) 4.4, 21.4 ppm P2O5 (Bray 1), 117 ppm K2O, 3.15 me/100 g Al3+, 64.5 ppm

Mn, 1.19% Fe, 0.44% pirit. Namun, pemberian kapur dan pupuk dapat meningkatkan pH dan hara tanah, sementara stabilitas air di bawah permukaan tanah akibat penerapan budidaya jenuh air menyebabkan pirit dalam keadaan reduktif sehingga oksidasi pirit menjadi Fe dapat ditekan dan tidak meracuni tanaman. Kadar pirit tanah saat panen adalah 0.17% dan kadar Fe adalah 1.13% dengan pH tanah 5.3

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS

KEDELAI PADA BERBAGAI KEDALAMAN MUKA AIR

DI LAHAN RAWA PASANG SURUT

DANNER SAGALA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut

Nama : Danner Sagala

NRP : A252080011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Ketua

Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 10 Juni 2010

(10)

PRAKATA

Berkurangnya lahan produktif menyebabkan pengembangan lahan pertanian diarahkan pada lahan marginal potensial, di antaranya adalah lahan rawa pasang surut. Pengelolaan lahan rawa pasang surut membutuhkan penanganan khusus karena mengandung pirit baik aktual maupun potensial. Tesis yang berjudul Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Berbagai Kedalaman Muka Air di Lahan Rawa Pasang Surut ini akan mencoba memberikan salah satu jawaban atas pengelolaan lahan pasang surut di Provinsi Sumatera Selatan.

Penulis sangat bersyukur pada Yesus Kristus atas segala karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga penulisan tesis ini dengan baik. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih pada Dr. Munif Ghulamahdi dan Dr. Maya Melati sebagai komisi pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ketua Gabungan Kelompok Tani, Bapak Tukijo, dan para petani Desa Banyu Urip, secara khusus kepada Bapak Ngatimin, Bapak/Ibu Suaji, Bapak Muhtar dan Bapak Sumarno, yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan atas dukungan yang selalu diberikan oleh ayah, ibu, kakak, adik dan Arlien Shirley Sitorus serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

Bogor,

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Kandang Kerbau, Sumatera Utara, pada tanggal 4 Oktober 1981 sebagai anak keempat dari pasangan M. Sagala dan A. br. Sinaga. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya dan lulus pada tahun 2004. Penulis bekerja sebagai dosen di Kopertis Wilayah II Palembang yang diperbantukan di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. Bengkulu sejak tahun 2005.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut ... 4

Varietas Kedelai Adaptif Lahan Masam... 7

Budidaya Jenuh Air pada Kedelai ... 8

METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu ... 10

Bahan dan Alat ... 10

Metode Penelitian ... 10

Prosedur Percobaan ... 13

Peubah dan Pengolahan Data... 14

HASIL DANPEMBAHASAN Hasil ... 16

Pembahasan ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38

Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(13)

xii DAFTAR TABEL

Halaman 1 Data analisis tanah sebelum tanam ... 20

2 Data analisis air ... 21

3 Pengaruh varietas terhadap komponen pertumbuhan kedelai pada

umur 4, 6, 8 dan 10 MST ... 22

4 Kadar dan serapan hara N, P, K, Fe dan Mn dalam daun pada

beberapa varietas kedelai dan kedalaman muka air ... 24

5 Bobot kering batang, daun, akar, bintil akar dan total beberapa

varietas kedelai dan kedalaman muka air ... 24

6 Pengaruh interaksi kedalaman muka air dan varietas terhadap tinggi

tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada akhir pengamatan ... 26

7 Jumlah polong empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman

muka air ... 26

8 Produktivitas empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman

muka air ... 27

9 Pengaruh kedalaman muka air terhadap umur 50% berbunga dan

umur panen ... 27

(14)

xiii DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Ukuran saluran dan pengukuran kedalaman muka air ... 10

2 Skema Pengaturan Air ... 11

3 Petak percobaan yang telah dibentuk ... 12

4 Peta lokasi penelitian ... 17

5 Klasifikasi rawa pasang surut menurut luapan pasang maksimun dan minimum ... 17

6 Jaringan drainase di Desa Banyu Urip ... 18

7 Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) ... 18

8 Kedalaman lapisan pirit dari permukaan tanah ... 19

9 Keragaan empat varietas kedelai pada BJA di lahan pasang surut pada umur 6 MST ... 28

10 Jumlah polong varietas Tanggamus pada BJA dan kontrol pada umur 8 MST ... 29

(15)

xiv DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data analisis tanah saat panen ... 44

2 Data curah hujan (mm/hari) daerah penelitian ... 45

3 Data suhu udara maksimum (oC) daerah penelitian ... 46

4 Deskripsi varietas Tanggamus ... 47

5 Deskripsi varietas Slamet ... 48

6 Deskripsi varietas Wilis ... 49

7 Deskripsi varietas Anjasmoro ... 50

8 Rekapitulasi analisis sidik ragam data sebelum panen ... 51

9 Rekapitulasi analisis sidik ragam data saat panen ... 51

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konversi lahan pertanian dari lahan yang berproduktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian atau menjadi lahan pertanian non-pangan merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi kedelai nasional. Data dalam naskah Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005 mencontohkan konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 330 000 ha atau setara dengan 110 000 ha/tahun. Menurut Sudaryanto dan Swastika (2007), proyeksi konsumsi kedelai di Indonesia dari tahun 2005 hingga 2020 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 konsumsi kedelai Indonesia akan mencapai 2 juta ton, sementara angka ramalan I tahun 2010 dari data BPS (2010) menunjukkan bahwa produksi kedelai nasional masih 963 000 ton dengan luas panen 709 000 ha dan produktivitas 1.357 ton/ha.

Salah satu upaya pengembangan lahan pertanian dapat ditempuh melalui pemanfaatan lahan potensial. Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk pengembangan kedelai di masa depan (Sudaryono et al. 2007). Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia berkisar 20 juta ha (Subagyo 2006a) dan diperkirakan sekitar 9.53 juta ha cocok untuk usaha pertanian (Suyamto et al. 2007). Sumberdaya lahan rawa di Indonesia secara dominan terdapat di empat pulau besar di luar Jawa, yaitu Pulau Sumatera, Kalimantan, Papua, dan sebagian kecil di Pulau Sulawesi (Subagyo 2006a). Tahun 2008 Departemen Pertanian merencanakan pencapaian areal tanam kedelai sekitar satu juta hektar meliputi berbagai provinsi di Indonesia. Areal pengembangan kedelai tersebut termasuk juga lahan pasang surut yang ada di Sumatera Selatan (Deptan 2008).

(17)

2

Fe, Al, dan Mn menjadi tinggi, serta rendahnya ketersediaan P dan K (Suastika & Sutriadi 2001). Oleh sebab itu dalam memanfaatkan lahan rawa secara berkelanjutan, diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu.

Budidaya jenuh air adalah sistem produksi yang dikembangkan di semi arid tropis Australia yang dilaporkan dapat meningkatkan hasil kedelai di atas pencapaian yang ditanam dengan irigasi konvensional. Teknologi budidaya jenuh air mempertahankan air dalam saluran antara bedengan dari awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan. Pertumbuhan kedelai pada awal pemberian jenuh air, mengalami tekanan namun setelah melewati masa aklimatisasi pertumbuhan kemudian meningkat. Budidaya jenuh air juga dapat menurunkan aborsi bunga dan polong, tidak mengalami senessen saat masa pengisian polong sehingga akhirnya dapat meningkatkan indeks panen (Fehr et al. 1971; Garside et al. 1982; Nathanson et al. 1984; Troedson et al. 1984; Lawn 1985). Penelitian yang dilakukan oleh Ghulamahdi (1999) di lahan non pasang surut, Bogor, menunjukkan produksi kedelai yang tinggi dengan budidaya jenuh air yaitu mencapai 2.9 ton/ha pada genotipe PTR 32.

Teknologi budidaya jenuh air yang telah terbukti memberikan hasil yang baik bagi pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan non-pasang surut ini merupakan peluang untuk menurunkan kadar pirit sehingga kedelai dapat dibudidayakan di lahan pasang surut. Usaha penurunan kadar pirit dapat dilakukan dengan cara pengaturan kedalaman muka air agar kondisi tanah lebih reduktif. Kedalaman muka air yang tetap di dalam saluran akan menghilangkan pengaruh dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman.

(18)

3

Uraian di atas dan masih sedikitnya informasi mengenai penerapan budidaya jenuh air di lahan rawa pasang surut menunjukkan perlunya mempelajari pengaruh berbagai kedalaman muka air parit dan beberapa varietas yang adaptif dibudidayakan dengan teknologi budidaya jenuh air di lahan pasang surut.

Tujuan

a. Mempelajari pengaruh kedalaman muka air saluran terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut.

b. Mempelajari respon beberapa varietas kedelai yang adaptif di lahan rawa pasang surut terhadap kedalaman muka air parit yang berbeda.

Hipotesis

a. Ada kedalaman muka air tertentu yang memberi pertumbuhan dan produksi kedelai terbaik di lahan rawa pasang surut.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut

Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut) yaitu antara daratan dan laut atau di daratan sendiri yaitu antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai/danau. Karakteristik lahan ini adalah tergenang dangkal, selalu jenuh air atau mempunyai air tanah yang dangkal sepanjang tahun atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (Subagyo 2006b).

Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut pada tahun 1992 di Cisarua, Bogor, menyepakati bahwa istilah rawa mempunyai dua pengertian, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak (swampy atau non-tidal swamps). Rawa pasang surut diartikan sebagai daerah rawa yang mendapatkan pengaruh langsung atau tidak langsung oleh ayunan pasang surutnya air laut/sungai sekitarnya. Rawa lebak diartikan sebagai daerah rawa yang mengalami genangan selama lebih dari tiga bulan dengan tinggi genangan terendah antara 25-50 cm (Noor 2004).

Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar di musim hujan, bagian daerah aliran sungai dapat dibagi menjadi tiga zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini adalah Zona I (Wilayah rawa pasang surut air asin/payau), Zona II (Wilayah rawa pasang surut air tawar), dan Zona III (Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut). Wilayah zona II sudah berada di luar pengaruh air asin/salin dan yang dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai, namun energi pasang surut masih cukup dominan yang ditandai oleh masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai. Saat volume air sungai relatif tetap atau malahan berkurang di musim kemarau, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari muara sungai pada bulan-bulan terkering yaitu bulan Agustus-Oktober (Widjaja-Adhi et al. 1992; Subagyo 1997).

(20)

5

hanya oleh air pasang besar. Sementara tipe C dan D tidak mengalami luapan air pasang namun muka air tanah berada pada kedalaman kurang dari 50 cm untuk tipe C dan lebih dari 50 cm untuk tipe D.

Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut yang dapat diklasifikasikan menurut posisi bahan sulfidik di dalam tanah. Tanah dengan reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut tanah sulfat masam (acid sulphate soils). Tanah sulfat masam potensial mengandung pirit pada jeluk >50 cm yang bila terbuka ke udara akan terjadi reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah tidak dapat digunakan untuk pertanian (Noor 2004; Suriadikarta 2005).

Kandungan pirit di tanah rawa pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%. Pirit menjadi permasalahan utama yang berat ketika tanah rawa dibuka untuk pertanian (Subagyo 2006b). Pirit yang mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe3+). Setiap 1 mol pirit yang teroksidasi akan membebaskan 4 mol ion H+, dan apabila Fe3+ kemudian bertindak sebagai oksidator maka akan dibebaskan sebanyak 16 mol ion H+ (Noor 2004). Hasil akhirnya merupakan tanah dengan reaksi masam ekstrim (pH <3.5), dan banyak mengandung ion-ion sulfat (SO4-), besi bervalensi 2 (Fe2+),

dan aluminium (Al3+). Asam sulfat akan melarutkan sejumlah besar logam-logam berat, antara lain Al, Mn, Zn dan Cu sehingga bersifat toksik (Suriadikarta 2005).

Pada musim hujan air tanah berangsur naik ke permukaan dan dapat menggenangi tanah. Potensial redoks tanah menjadi lebih tinggi dan pH tanah meningkat kembali. Hal ini mengakibatkan konsentrasi ion H dan Al dalam larutan tanah menurun atau kurang bersifat toksik, tetapi muncul masalah-masalah baru. Kandungan ion sulfat (SO42-) dalam larutan tanah meningkat kembali yang

disebabkan oleh hidrolisis Al-sulfat hidrat:

AlOHSO4 + 2H2O7→ Al(OH)3 + 2H+ + SO42-,

atau desorpsi sulfat yang diadsorpsi kompleks pertukaran liat tanah Tanah-SO4 + 2H2O → Tanah-(OH)2 + 2H+ + SO4

(21)

6

Tahap pertama yang mengalami reduksi adalah nitrat (NO3-), sehingga semua

nitrat akan direduksi menjadi ion amonium (NH4+). Setelah semua nitrat habis,

oksida-mangan (MnO2) yang ada akan direduksi menjadi ion Mn2+. Dalam 1-3

minggu penggenangan, hampir seluruh Mn dapat tukar, direduksi menjadi Mn2+. Sesudah semua MnO2 habis, reduksi sebarang Fe3+ (ferri-oksida) mulai terjadi,

yang menghasilkan Fe2+ (ferro) yang melimpah, dan peningkatan pH oleh karena dihasilkannya senyawa hidrokarbonat dalam larutan tanah.

Fe(OH)3 + ¼ CH2O + 2H+ → Fe2+ + ¼ CO2 + 1¼ H2O

Peningkatan pH larutan tanah bersifat menstabilkan reduksi Fe3+, sehingga dihasilkan ion Fe2+ dalam konsentrasi tinggi yang bersifat toksik terhadap tanaman. Jumlah ion Fe2+ yang melimpah mendesak ke luar basa-basa dapat tukar Ca dan Mg dari kompleks adsorpsi tanah, sehingga jumlahnya meningkat dalam larutan tanah. Kedua unsur hara ini dengan mudah terbawa keluar dari lingkungan akar oleh air yang mengalir. Sesudah semua ferri-oksida tereduksi, reduksi sulfat mulai terjadi, yang berakibat menurunkan konsentrasi ion sulfat dan ion H+ (karena digunakan untuk membentuk bikarbonat), dan disertai dengan peningkatan pH tanah.

SO42- + 2CH2O → H2S + 2HCO3-

Proses reduksi sulfat terjadi pada potensial redoks antara -0.12V dan -0.19V,serta hanya terjadi di atas pH 5.0, tetapi juga pada reaksi lebih masam, pH 2.8-3.4. Sulfida yang terbentuk segera bereaksi dengan Fe2+ yang tersedia dalam larutan tanah, dan membentuk senyawa ferro-sulfida. Adanya reduksi sulfat pada lapisan tanah ditandai oleh karatan FeS yang berwarna hitam, dan terkadang oleh bau (busuk) H2S. Senyawa H2S yang dihasilkan dari reduksi sulfat bersifat sangat

toksik terhadap pertumbuhan tanaman. Penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan pH tanah, dan penurunan konsentrasi Al. Namun, kemungkinan dapat terjadi keracunan ion Fe2, dan Mn karena konsentrasinya

yang sangat tinggi dalam larutan tanah. Kemungkinan juga terjadi keracunan H2S,

dan pencucian unsur basa Ca dan Mg yang berakibat menurunkan kesuburan alami tanah rawa (Konsten et al. 1990; Subagyo 2006b).

(22)

7

1995), teknologi budidaya jenuh air (Ghulamahdi 1999), ameliorasi dan pemupukan (Suriadikarta & Sjamsidi 2001) serta penataan lahan (Suriadikarta 2005).

Varietas Kedelai Adaptif Lahan Masam

Penambahan areal penanaman ke lahan pasang surut dihadapkan pada kendala fisik dan kimia tanah yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Produktivitas kedelai di lahan pasang surut tergolong rendah, 800 kg/ha (Djayusman et al. 2001). Menurut Sabran et al. (2000), kendala penanaman kedelai di lahan pasang surut adalah genangan air. Genangan air yang berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran. Respirasi akar akan terganggu dan jangka panjang dapat mematikan tanaman. Masalah lain yang dihadapi adalah kemasaman tanah. Drainase yang berlebihan pada tanah sulfat masam menciptakan kondisi aerob yang mengakibatkan lapisan pirit teroksidasi dan melepaskan asam yang merupakan racun bagi tanaman.

Upaya untuk mengatasi kondisi tanah sulfat masam dapat ditempuh melalui perakitan varietas kedelai yang toleran tanah sulfat masam atau mengadaptasikan varietas-varietas unggul yang sudah ada pada kondisi tanah sulfat masam. Penelitian yang dilakukan oleh Suastika dan Ismail (1992) menyimpulkan bahwa salah satu varietas yang tumbuh dan berkembang baik di lahan potensial adalah varietas wilis dengan tingkat hasil antara 1.7-2 ton/ha biji kering. Menurut Sabran et al. (2000), pengujian galur-galur yang berasal dari hasil persilangan Balitkabi pada lahan sulfat masam telah menghasilkan 4 galur yang berdaya hasil tinggi yaitu 3034/Lamp 3-II-1, 3034/Lamp 3-II-2, MSC 8613-6-8 dan SJ-5. Selanjutnya Alihamsyah dan Ar-Riza (2004) menemukan bahwa varietas Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Galunggung, Slamet, Lawit, Merbabu, Petek, Kerinci, Tampomas, Tanggamus dan Menyapa mampu memberikan hasil panen sebesar 1.5-2.4 ton/ha di lahan rawa lebak.

(23)

genotipe-8

genotipe lainnya yang diuji, dan bila penyimpangan hasilnya dari garis regresi rataan hasil terhadap indeks lingkungan kecil. Stabilitas hasil merupakan ukuran kemampuan suatu genotipe untuk menenggang perubahan lingkungan.

Budidaya Jenuh Air pada Kedelai

Budidaya kedelai yang biasa dilakukan oleh petani adalah dengan memberikan pengairan secara berkala baik dengan cara luapan maupun penyiraman. Kondisi ini menyebabkan tanaman kedelai akan mengalami kelebihan air pada suatu waktu dan stress kekurangan air pada suatu waktu tertentu. Pemberian air secara terputus-putus sangat mengganggu pertumbuhan tanaman karena pada waktu kering akan mengalami stres dan saat air diberikan terjadi pemulihan namun sebelum pulih tanaman kembali mengalami stres kekeringan. Penggenangan terputus-putus juga dapat menghambat penambatan N dibandingkan dengan tanpa penggenangan (Tampubolon 1988).

Budidaya jenuh air adalah sistem produksi yang dikembangkan di semi arid tropis Australia yang dapat meningkatkan hasil kedelai dibandingkan dengan irigasi konvensional. Budidaya jenuh air mempertahankan air dalam saluran antar bedengan sejak awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan (Fehr et al. 1971; Nathanson et al. 1984).

Pertumbuhan kedelai mengalami tekanan pada awal pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi mati dan selanjutnya tumbuh di atas muka air. Pertumbuhan meningkat setelah melewati masa aklimatisasi. Peningkatan pertumbuhan ini sangat berhubungan dengan peningkatan nodulasi dan fiksasi N2

yang besar (Ghulamahdi et al. 2006). Budidaya jenuh air juga dapat menurunkan aborsi bunga dan polong, tidak mengalami senessen saat masa pengisian polong sehingga akhirnya dapat meningkatkan indeks panen (Fehr et al. 1971; Garside et al. 1982; Nathanson et al. 1984; Troedson et al. 1984). Menurut Inderadewa et al. (2004), genangan dalam parit dapat meningkatkan hasil biji kedelai 20-80% dari hasil biji tanaman kontrol yang diluapi.

(24)

9

Sebaliknya dengan pengairan luapan yang dilakukan petani, tanaman kedelai mengalami kekurangan air saat tidak diairi dan kekurangan oksigen saat diairi.

Ghulamahdi (1999), selanjutnya menambahkan bahwa budidaya jenuh air memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan tanaman kedelai dengan meningkatnya kadar etilen dalam jaringan tanaman. Mekanisme adaptasi tanaman kedelai pada budidaya jenuh air dimulai dengan meningkatnya kandungan prekusor etilen, aminocyclopropana-1-carboxylic acid, di akar yang diikuti dengan meningkatnya kandungan etilen akar. Etilen akar meningkatkan terbentuknya jaringan aerenkima dan perakaran baru.

Dalam penelitian yang lebih detail dilakukan oleh Hartley et al. (1993) dengan galur yang lebih representatif di Lawes, ada variasi yang sangat besar dalam respon relatif (RR) tanaman terhadap budidaya jenuh air (dimana respon relatif didefinisikan sebagai respon terhadap budidaya jenuh air dikurangi respon terhadap irigasi konvensional kemudian dibagi dengan respon terhadap irigasi konvensional tersebut) dengan hasil biji menurun hingga 52%, meningkat hingga 37% atau tidak berubah tergantung genotipe dan manajemen agronominya. Variasi genotipe dalam hal RR umumnya konsisten antar musim dan bervariasi dalam hal penotipe antar genotipe bila ditanam pada sistem irigasi konvensional. Secara umum, genotipe-genotipe yang memberi respon paling positif adalah genotipe yang memulai fase pembungaannya lambat karena tanaman harus beraklimatisasi terhadap budidaya jenuh air dan durasi berbunganya lama. Genotipe-genotipe yang berespon negatif adalah genotipe-genotipe yang fase vegetatifnya singkat karena fase pembungaan mulai sebelum aklimatisasi selesai.

Berdasarkan lamanya periode tumbuh dari sejak tanam sampai polong matang, varietas kedelai digolongkan menjadi tiga kelompok umur, yaitu umur genjah (<80 hari), umur sedang (80-85 hari) dan umur dalam (>85 hari) (Somaatmadja et al. 1985). Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air berbeda-beda (Ghulamahdi 2008; Ghulamahdi & Nirmala 2008). Kedelai yang berumur lebih panjang biasanya mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan kedelai yang berumur pendek (Hunter et al. 1980; CSIRO 1983; Ghulamahdi et al. 1991).

(25)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di lahan pasang surut Desa Banyu Urip Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyu Asin Sumatera Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian mulai bulan April hingga Agustus 2009.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi benih kedelai, inokulan Rhizobium sp, insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53%, pupuk kandang, urea, SP18 dan KCl. Alat yang digunakan adalah peralatan pengolaan tanah dan peralatan pertanian lainnya seperti sprayer.

Metode Penelitian

Percobaan disusun dalam Rancangan Petak Terpisah dengan rancangan acak kelompok sebagai rancangan lingkungan. Percobaan diulang sebanyak tiga kali. Sebagai petak utama adalah tinggi muka air yang terdiri dari lima taraf, yaitu tanpa pengairan, 10, 20, 30 dan 40 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Sebagai anak petak adalah varietas yang terdiri dari empat jenis yaitu Tanggamus, Slamet, Willis, dan Anjasmoro. Anak petak berukuran 2 m x 5 m. Diantara anak petak dibuat saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan dalamnya 50 cm sehingga petak utama berukuran 5.90 m x 11 m, dan dengan pengaturan ini maka kondisi petakan akan selalu basah pada saat irigasi diberikan (Gambar 1, 2 dan 3). Air irigasi diberikan mulai saat tanam.

Gambar 1 Ukuran saluran dan pengukuran kedalaman muka air 20 cm

50 cm

(26)

11

Keterangan: : Pintu air : Pematang / Jalan : Aliran air : Anak petak (2 m x 5 m) : Jembatan : Jarak antar anak petak

Pintu air

Saluran (lebar 30 cm) Pembatas petak utama (50 cm)

Gambar 2. Skema pengaturan air

2 m x 5 m 2 m x 5 m

2 m x 5 m 2 m x 5 m

2 m x 5 m 2 m x 5 m

2 m x 5 m 2 m x 5 m

Jalan Saluran Tersier

Saluran Primer Jalur 17 Saluran Primer Jalur 17

S a l S e k u n d e r

Lahan Percobaan

(27)

12

(28)

13

Model linier dari rancangan petak terpisah (Mattjik & Sumertajaya 2002) adalah:

Yijk= µ + i+ αj+ ij+ βk+ (αβ)jk+ Єijk

Dimana:

i : Ulangan/kelompok (1, 2, 3) j : Tinggi muka air (1, 2, 3, 4, 5) k : Varietas (1, 2, 3, 4)

Yijk : Hasil pengamatan pengaruh tinggi muka air ke-j, Varietas ke-k dan

ulangan ke-i µ : Nilai tengah

i : Pengaruh ulangan/kelompok ke-i

αj : Pengaruh tinggi muka air ke-j

ij : Pengaruh galat tinggi muka air ke-j dan ulangan/kelompok ke-i

βk : Pengaruh varietas ke-k

(αβ)jk : Pengaruh interaksi antara tinggi muka air ke-j dan varietas ke-k

Єijk : Pengaruh galat tinggi muka air ke-j dan varietas ke-k pada ulangan ke-i

Prosedur Percobaan

(29)

14

dikendalikan dengan cara mekanis, sedangkan hama dikendalikan dengan menggunakan insektisida.

Peubah dan Pengolahan Data

Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dan dimulai sejak tanaman berumur 4 MST. Peubah-peubah yang diamati adalah:

1. Tinggi tanaman pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen 2. Jumlah daun trifoliate pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen 3. Jumlah cabang pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen

4. Bobot kering batang, daun, akar, bintil akar, dan total

Tanaman sampel berumur 6 MST sebanyak delapan tanaman (diperkirakan berat kering daun cukup untuk analisis hara daun) diambil mulai dari akar. Sampel dikeringkan dalam oven selama 72 jam dengan suhu 60oC. Setelah dikeringkan, bagian-bagian tanaman dipisahkan yaitu batang, daun, akar, dan bintil, lalu ditimbang.

5. Jumlah polong isi 6. Umur 50% berbunga 7. Umur panen

8. Bobot biji per hektar

9. Analisis hara N, P, K, Fe dan Mn daun

Contoh daun umur 6 MST diambil dari lapangan, dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama 72 jam kemudian daun kering dihaluskan. Kandungan N daun ditentukan dengan metode Kjeldahl dengan alat titrasi. P daun ditentukan dengan metode pengabuan kering dan ditetapkan dengan spektrofotometer. K, Fe dan Mn ditentukan dengan metode HClO4+HNO3

menggunakan alat Atomic Absorption Spectrometer (AAS). 10. Analisis tanah sebelum tanam dan sesudah panen

Analisa tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu dan liat), pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K, Na, dan

KTK, kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, dan Mn, dan pirit. Tekstur tanah ditentukan dengan metode pipet. Keasaman tanah (pH) ditentukan dengan ekstrak 1:5 menggunakan H2O dan KCl. C organik

(30)

15

P2O5 ditentukan dengan metode Bray I, K2O ditentukan dengan metode

Morgan. Kation dan unsur hara mikro dengan metode AAS, KTK dengan metode titrasi.

11. Analisis air meliputi pH, DHL, kation, anion dan kadar lumpur

Keasaman tanah (pH) diukur dengan pH meter menggunakan elektrode gelas kombinasi. Daya hantar listrik diukur dengan menggunakan alat konduktometer. Kation diukur dengan metode yang sesuai dengan masing-masing kation. Ca, Mg, Fe, Al, Mn ditentukan dengan metode AAS; K dan Na dengan fotometer nyala; NH4 dengan kolorimeter metode biru indofenol;

NO3 dengan spektrofotometri; SO4 dengan turbidimetri, Cl dengan

argentometri; PO4 dengan kolorimetri pewarnaan biru molibden pada

panjang gelombang 693 nm; CO3 dan HCO3 dengan titrasi menggunakan

asam hingga pH tertentu.

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Keadaan Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian

Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di utara, provinsi Kepulauan Bangka-Belitung di timur, provinsi Lampung di selatan dan provinsi Bengkulu di barat (Gambar 4). Luas daratan provinsi Sumatera Selatan adalah 87 017 km2 atau 1.68 persen dari total luas daratan wilayah Indonesia dan dialiri oleh 34 Sungai besar dan kecil (Sumsel 2010).

Kabupaten Banyuasin adalah salah satu kabupaten di provinsi Sumatera Selatan pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin yang terbentuk berdasarkan UU No. 6 Tahun 2002. Kabupaten Banyuasin terletak pada posisi antara 1.30°-4.0° LS dan 104° 00’-105° 35’ BT yang terbentang dari bagian tengah provinsi Sumatera Selatan sampai dengan bagian timur dengan luas wilayah seluruhnya 11 832.99 km2 atau 1 183 299 ha. Kabupaten Banyuasin terbagi menjadi 15 kecamatan yaitu Banyuasin I, Banyuasin II, Banyuasin III, Betung, Makarti Jaya, Muara Padang, Muara Telang, Pulau Rimau, Rambutan, Talang Kelapa, Rantau Bayur, Tungkal Ilir, Tanjung Lago, muara Sugihan, dan Air Saleh (Pusdatarawa 2006; Banyuasin 2010).

(32)

17

Gambar 4 Peta lokasi penelitian (diolah dari Pusdatarawa 2006)

Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago merupakan salah satu desa eks transmigrasi penempatan tahun 1980-1981 yang berasal dari Pulau Jawa. Desa Banyu Urip mempunyai luas lahan 1 600 ha dengan penggunaan 1 100 ha untuk lahan sawah penanaman padi. Desa ini terletak pada ketinggian 1-2 m dari permukaan laut dan berjarak 42 km dari Selat Bangka (Gambar 4). Berdasarkan tipe luapan, areal ini termasuk dalam tipe luapan C dan D (Gambar 5; Monografi desa Banyu Urip).

(33)

18

Daerah reklamasi rawa pasang surut ini dibuka dengan cara membuat jaringan drainase. Semua saluran belum dilengkapi pintu air, sehingga sistem pengelolaan air hanya tergantung dengan fluktuasi pasang surut. Jaringan drainase terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier dan saluran kuarter (Gambar 6).

Saluran Sekunder Saluran Tersier Saluran Kuarter dan BJA

Gambar 6 Jaringan drainase di Desa Banyu Urip

(34)

19

Lahan pasang surut lokasi penelitian termasuk dalam zona II menurut klasifikasi Widjaja-Adhi et al. (1992) dan Subagyo (1997) (Gambar 7). Saat volume air sungai relatif tetap atau berkurang di musim kemarau, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari muara sungai pada bulan-bulan terkering yaitu bulan Agustus-Oktober. Curah hujan di daerah ini cukup tinggi yaitu 1 700 mm/thn, namun tidak merata sepanjang tahun. Curah hujan tertinggi mencapai 560.8 mm dan terjadi pada bulan Maret 2009, kemudian curah hujan menurun hingga bulan Agustus 2009 hanya mencapai 39.6 mm (Lampiran 2). Suhu udara di lokasi penelitian adalah 27.7-34.4oC (Lampiran 3).

Hasil analisis tanah memperlihatkan tingkat kesuburan yang relatif baik dengan kandungan bahan organik, P2O5 dan K2O yang tinggi. Akan tetapi tanah

memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH 4.4 dan Al3+ 3.15 me/100g. Nilai tukar kation Ca, K dan Na rendah, namun nilai tukar kation Mg tergolong tinggi. Kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa sedang. Tekstur tanah adalah liat berdebu dengan komposisi pasir 1%, debu 42% dan liat 57%. Tanah juga mengandung pirit dan Fe (Gambar 8 dan Tabel 1).

Sumber air untuk BJA dalam penelitian adalah memanfaatkan air yang berada di saluran drainase. Air berasal dari pengaruh pasang surut air laut. Hal ini berpengaruh pada kandungan kation dan anion dalam air yang didominasi oleh Na dan Cl, namun daya hantar listrik air tidak terlalu tinggi yaitu 0.493 dS/m. Air ini juga memiliki keasaman yang tinggi dengan pH 4.6 (Tabel 2).

(35)

20

Tabel 1 Data analisis tanah sebelum tanam

(36)

21

Tabel 2 Data analisis air

No Peubah analisis Hasil analisis

1 DHL 25oC 0.493 dS/m

a. 0.02 me/l air bebas lumpur b. 0.09 me/l air bebas lumpur c. 0.40 me/l air bebas lumpur d. 1.17 me/l air bebas lumpur e. 3.42 me/l air bebas lumpur f. 0.00 me/l air bebas lumpur g. 0.05 me/l air bebas lumpur h. 0.01 me/l air bebas lumpur i. 5.16 me/l air bebas lumpur 4 Anion

a. 0.01 me/l air bebas lumpur b. 0.00 me/l air bebas lumpur c. 1.67 me/l air bebas lumpur d. 3.27 me/l air bebas lumpur e. 0.03 me/l air bebas lumpur f. 0.00 me/l air bebas lumpur g. 4.98 me/l air bebas lumpur 5 Kadar lumpur 50 mg/l

Pertumbuhan dan Produksi

Varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 4, 6, 8, dan 10 MST, jumlah daun pada umur 4 dan 6 MST dan jumlah cabang pada umur 8 dan 10 MST. Kedalaman muka air dan interaksi antara varietas dan kedalaman muka air tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah di atas (Lampiran 8).

Pertumbuhan awal varietas Anjasmoro lebih cepat dibandingkan dengan varietas lain. Hal ini terlihat pada komponen pertumbuhan umur 4 MST dimana Varietas Anjasmoro nyata paling tinggi dengan jumlah daun yang berbeda tidak nyata dengan varietas Tanggamus. Jumlah daun varietas Tanggamus lebih banyak namun tidak berbeda nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Jumlah daun varietas Wilis nyata terendah dibanding varietas lainnya (Tabel 3).

(37)

22

Pola pertumbuhan tanaman pada umur 8 dan 10 MST berbeda dengan pola pertumbuhan sebelumnya. Semua varietas telah membentuk percabangan dan tanaman tertinggi diperoleh pada varietas Slamet. Jumlah daun dan cabang varietas Tanggamus tetap nyata lebih banyak dibandingkan varietas lainnya (Tabel 3).

Tabel 3 Pengaruh varietas terhadap komponen pertumbuhan kedelai pada umur 4, 6, 8 dan 10 MST

Varietas Komponen pertumbuhan

Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun Jumlah cabang 4 MST tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT

* Tanaman belum mengeluarkan cabang

** Merupakan pengamatan terakhir untuk peubah jumlah daun dan disajikan pada Tabel 6 *** Daun sudah gugur, sehingga data tidak dipakai

(38)

23

Varietas berpengaruh nyata terhadap kadar hara N, serapan hara N, K dan Mn, bobot kering daun, bintil akar, akar dan total, namun berpengaruh tidak nyata terhadap kadar hara P, K, Fe, Mn, serapan hara P, Fe, dan bobot kering batang. Kedalaman muka air dan interaksinya dengan varietas berpengaruh tidak nyata terhadap semua peubah yang diamati (Lampiran 8).

Kadar hara dalam daun semua varietas kedelai yang diuji dengan teknologi BJA di lahan rawa pasang surut mencukupi bagi pertumbuhan tanaman menurut kriteria Small dan Ohlrogge (1973) dan Marschner (1995), kecuali K dan Mn. Kadar hara K dalam daun semua varietas berada di bawah interval mencukupi bagi tanaman dan kadar hara Mn berada di atas interval mencukupi.

Kadar hara N pada daun varietas Tanggamus merupakan yang tertinggi, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro. Kadar hara N varietas Wilis nyata paling rendah dibandingkan dengan varietas lainnya dan secara statistik sama dengan varietas Anjasmoro. Kadar semua hara yang diamati lebih tinggi pada kedalaman muka air 20 cm DPT meskipun secara statistik berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air lainnya (Tabel 4).

Serapan hara N, K dan Mn varietas Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkan varietas yang lain, akan tetapi serapan hara K varietas Tanggamus berbeda tidak nyata dengan varietas Anjasmoro. Serapan hara P dan Fe varietas Tanggamus juga lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya meskipun secara statistik varietas berpengaruh tidak nyata. Serapan semua hara yang diamati lebih tinggi pada kedalaman muka air 20 cm DPT meskipun secara statistik berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air lainnya (Tabel 4).

(39)

24

Tabel 4 Kadar dan serapan hara N, P, K, Fe dan Mn dalam daun pada beberapa varietas kedelai dan kedalaman muka air

Perlakuan N P K Fe Mn tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT

Tabel 5 Bobot kering batang, daun, akar, bintil akar dan total beberapa varietas kedelai dan kedalaman muka air

(40)

25

Pertumbuhan dan hasil tanaman pada BJA lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pengairan (Tabel 6). Kedalaman muka air dan varietas nyata mempengaruhi jumlah polong per tanaman, umur 50% berbunga dan umur panen. Interaksi kedalaman muka air dan varietas nyata mempengaruhi tinggi tanaman saat panen, jumlah daun umur 8 MST, jumlah cabang saat panen, dan produktivitas (Lampiran 9).

Tinggi tanaman semua varietas pada BJA lebih besar dari 50 cm, sementara semua varietas yang ditanam pada perlakuan tanpa pengairan berada di bawah 40 cm. Varietas Slamet merupakan varietas tertinggi di antara varietas-varietas pada BJA, namun tidak nyata antar perlakuan kedalaman muka air 10-40 cm DPT. Tanaman pada BJA dengan kedalaman muka air 20 cm DPT cenderung lebih tinggi dibandingkan tanaman pada kedalaman muka air lainnya, namun secara statistik tidak berbeda nyata (Tabel 6).

Tinggi tanaman tidak berkorelasi positif dengan jumlah daun dan jumlah cabang (Lampiran 10) dimana jumlah daun dan cabang terbanyak dihasilkan oleh varietas Tanggamus, sementara tanaman tertinggi adalah varietas Slamet (Tabel 6). Jumlah daun pada BJA nyata berbeda diantara varietas dan kedalaman muka air. Jumlah daun terbanyak pada umur 8 MST diperoleh pada varietas Tanggamus dengan kedalaman muka air 30 cm, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air 10, 20 dan 40 cm DPT serta dengan varietas Slamet pada kedalaman muka air 30 dan 40 cm DPT. Jumlah daun varietas Tanggamus pada BJA 2.5 kali lebih banyak dibandingkan dengan tanpa pengairan.

Jumlah cabang kedelai pada BJA nyata berbeda diantara varietas dan kedalaman muka air. Jumlah cabang terbanyak diperoleh pada varietas Tanggamus dengan kedalaman muka air 40 cm DPT, akan tetapi berbeda tidak nyata dengan kedalaman muka air 20 dan 30 cm DPT varietas Tanggamus dan Slamet. Jumlah cabang varietas Tanggamus pada BJA dapat 3,5 kali lebih banyak dibandingkan dengan tanpa pengairan (Tabel 6).

(41)

26

air 20 cm DPT dapat menghasilkan secara berturut-turut 105.4, 96.4, 39.9 dan 42.1 polong/tanaman.

Tabel 6 Pengaruh interaksi kedalaman muka air dan varietas terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada akhir pengamatan

Kedalaman muka air (cm)

Varietas

Rerata Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro

Tinggi tanaman saat panen (13 MST)

Tanpa pengairan 34.78 d 37.22 d 38.11 d 36.89 d 36.75

Jumlah cabang saat panen (13 MST)

Tanpa pengairan 2.0 f 2.4 f 2.4 f 3.0 ef 2.5 peubah menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT

Tabel 7 Jumlah polong empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman muka air

Kedalaman muka air (cm DPT)

Varietas

Rerata Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro

Tanpa pengairan 20.6 4.8 6.6 1.3 8.3 b

(42)

27

Produksi biji semua varietas nyata meningkat dengan penerapan teknologi BJA di lahan pasang surut. Kedalaman muka air 20-40 cm DPT memberi hasil 8-9 kali produksi biji dibandingkan dengan tanpa pengairan. Produksi biji varietas Tanggamus pada kedalaman muka air 40 cm DPT mencapai 4.83 ton/ha, namun berbeda tidak nyata dengan kedalaman 20 cm DPT (4.63 ton/ha) dan 30 cm DPT (4.71 ton/ha).

Produktivitas varietas Tanggamus pada perlakuan tanpa pengairan lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Produktivitas vatietas Tanggamus pada perlakuan tanpa pengairan mampu mencapai 850 kg/ha (Tabel 8).

Umur berbunga dan umur panen kedelai pada BJA nyata lebih panjang dibandingkan dengan tanpa pengairan, akan tetapi berbeda tidak nyata antar perlakuan kedalaman muka air 10-40 cm DPT. Varietas Tanggamus dan Slamet dipanen nyata lebih lambat dibandingkan Varietas Wilis dan Anjasmoro (Tabel 9).

Tabel 8 Produktivitas empat varietas kedelai pada berbagai kedalaman muka air

Kedalaman muka air (cm DPT)

Varietas (ton/ha)

Rerata Tanggamus Slamet Wilis Anjasmoro

Tanpa pengairan 0.85 g 0.16 g 0.30 g 0.09 g 0.35 berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT

Tabel 9 Pengaruh kedalaman muka air terhadap umur 50% berbunga dan umur panen

Kedalaman muka air (cm DPT) 50% berbunga (hst) Umur panen (hst)

(43)

28

Tabel 10 Pengaruh varietas terhadap umur 50% berbunga dan umur panen Perlakuan 50% berbunga (hst) Umur panen (hst) Varietas

Tanggamus 37.0 a 90.1 a

Slamet 37.7 a 89.8 a

Wilis 36.5 b 88.5 b

Anjasmoro 36.3 b 88.6 b

Ket: angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom menyatakan berbeda tidak nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT

Tanggamus Slamet

Wilis Anjasmoro

(44)

29

Tanpa pengairan BJA

Gambar 10 Jumlah polong varietas Tanggamus pada BJA dan tanpa pengairan pada umur 8 MST

Pembahasan

Pengaruh Varietas terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai

Pertumbuhan tanaman pada umur 4, 6, 8 dan 10 MST menunjukkan respon yang berbeda-beda antar varietas yang diuji terhadap BJA di lahan pasang surut. Varietas Anjasmoro menunjukkan respon awal yang lebih baik. Varietas Anjasmoro merupakan tanaman tertinggi dengan jumlah daun yang berbeda tidak nyata dengan Tanggamus pada umur 4 MST. Varietas Anjasmoro memiliki laju pertumbuhan awal yang sangat cepat namun mengalami penurunan hingga umur 10 MST. Varietas Slamet dan Wilis juga menunjukkan pertumbuhan yang tidak stabil pada setiap pengamatan. Pertumbuhan varietas Slamet merupakan yang paling tertekan selama masa aklimatisasi di awal pertumbuhan. Hal ini terlihat dari tinggi varietas ini yang rendah pada umur 4 MST dan merupakan tanaman tertinggi pada umur 10 MST. Pertumbuhan varietas Tanggamus lebih stabil sejak awal pertumbuhan hingga umur 10 MST yang ditunjukkan oleh peubah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang (Tabel 3). Menurut Ghulamahdi et al. (2006), pertumbuhan kedelai mengalami tekanan pada awal pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi mati dan selanjutnya tumbuh di atas muka air. Pertumbuhan meningkat setelah melewati masa aklimatisasi.

(45)

30

Kadar hara daun yang dibutuhkan kedelai untuk pertumbuhan optimal adalah 2-5% N, 0.3-0.5% P, 1.7-2.5% K, 50-500 ppm Fe dan 21-100 ppm Mn (Marschner 1995; Small dan Ohlrogge 1973). Rendahnya kadar hara K (1.28-1.56%) dan tingginya kadar hara Mn (142.58-169.50 ppm) melampaui kadar kecukupan bagi tanaman ternyata belum mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut dengan teknologi BJA. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan serapan hara K dan Mn antar varietas yang diuji. Kekurangan K dan kelebihan Mn yang tidak terlalu jauh dari batas optimum dan adanya hara N yang memberi pengaruh nyata diduga mampu mendorong pertumbuhan tanaman.

Kadar hara N merupakan satu-satunya hara yang memberi pengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan semua varietas sehingga terjadi perbedaan serapan hara daun. Marschner (1995) menyatakan bahwa nitrogen merupakan unsur hara pembentuk sebagian besar komponen tanaman seperti asam amino, sistem enzim dan bagian dari molekul klorofil. Selanjutnya Taiz dan Zeiger (1998) menyatakan bahwa legum dengan bintil akar dapat memanfaatkan gas nitrogen dari udara maupun nitrogen anorganik dari dalam tanah dalam bentuk ion amonium dan nitrat. Nitrat mula-mula direduksi menjadi nitrit oleh nitrat reduktase sedangkan gas nitrogen disemat oleh nitrogenase. Pertumbuhan dan hasil kedelai dengan BJA meningkat karena penyematan nitrogen dan pertumbuhan akar di atas muka air tanah ditingkatkan.

(46)

31

Varietas Tanggamus menyerap N lebih banyak dan mampu menggunakan N secara efisien untuk meningkatkan Bobot kering tanaman. Kadar hara N pada daun varietas Tanggamus secara statistik sama dengan varietas Slamet, namun bobot kering total varietas Tanggamus nyata lebih besar dibandingkan dengan varietas Slamet. Varietas Slamet lebih banyak menggunakan hara untuk pembentukan akar dan pemanjangan batang, sementara Varietas Tanggamus menggunakannya untuk semua komponen tanaman secara merata (Tabel 3). Varietas Slamet merupakan tanaman tertinggi yaitu mencapai 91.19 cm, namun varietas Tanggamus memiliki jumlah daun dan cabang yang lebih banyak (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa jarak antar buku varietas Slamet lebih panjang dibandingkan varietas lainnya. Varietas Anjasmoro lebih banyak menggunakan hara untuk pembentukan bintil akar. Varietas Wilis merupakan varietas yang paling tidak adaptif yang ditunjukkan dengan kadar hara N dan bobot kering total yang paling rendah.

Jumlah daun dan cabang yang banyak pada varietas Tanggamus memberi keuntungan untuk menghasilkan polong dan pengisian polong tersebut. Irwan (2006) menyatakan bahwa tangkai bunga kedelai umumnya tumbuh dari ketiak tangkai daun yang disebut rasim. Semakin banyak cabang dengan jarak antar buku yang pendek semakin banyak pula rasim untuk munculnya bunga.

Berdasarkan jumlah polong, varietas Tanggamus dapat beradaptasi dengan baik di lahan pasang surut dengan teknologi BJA. Hal ini juga dapat dilihat dari jumlah polong varietas Tanggamus yang dengan perlakuan tanpa pengairan dapat mendekati jumlah polong kedelai yang ditanam di lahan non-pasang surut, yaitu 20.56 polong (Tabel 7 dan Gambar 10). Ghulamahdi et al. (2009) menemukan bahwa dengan teknologi BJA di lahan non-pasang surut (Bogor) kedelai hanya menghasilkan 38 (Tanggamus), 49 (Slamet), 27 (Wilis) dan 18 (Anjasmoro) polong/tanaman pada kedalaman muka air yang sama.

(47)

32

namun sink lemah juga akan menyebabkan produksi biji yang rendah. Data analisis hara daun (source) dalam penelitian ini menunjukkan serapan hara Tanggamus lebih tinggi (1 100 mg N, 103 mg P2O5, dan 455 mg K2O/tanaman)

dibandingkan Slamet (810 mg N, 78 mg P2O5, dan 311 mg K2O/tanaman), Wilis

(645 mg N, 79 mg P2O5, dan 288 mg K2O/tanaman), dan Anjasmoro (856 mg N,

94 mg P2O5, dan 421 mg K2O/tanaman).

Umur berbunga semua varietas pada BJA nyata lebih lambat (di atas 36 hst) dibandingkan tanpa pengairan (33 hst) dan produksi biji semua varietas pada BJA nyata lebih tinggi dibandingkan tanpa pengairan. Menurut Hartley et al. (1993), secara umum genotipe-genotipe yang paling memberi respon positif adalah genotipe yang memulai fase pembungaannya lambat. Menurut CSIRO (1983); Ghulamahdi et al. (1991); Ghulamahdi (2008); Ghulamahdi dan Nirmala (2008), hal ini disebabkan adanya waktu yang cukup untuk aklimatisasi sebelum masuk pada fase reproduktif.

Umur 50% berbunga dan umur panen tidak memiliki korelasi secara langsung dengan produktivitas kedelai di lahan pasang surut dengan teknologi BJA (Lampiran 10) meskipun secara statistik umur 50% berbunga dan umur panen antar varietas berbeda nyata. Kondisi ini terjadi karena perbedaan umur 50% berbunga dan umur panen antar varietas hanya 1 hari. Umur 50% berbunga berkorelasi dengan jumlah daun, jumlah cabang dan jumlah polong (Lampiran 10) yang secara tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas.

(48)

33

Pengaruh Kedalaman Muka Air terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai

Pertumbuhan dan hasil kedelai pada BJA di lahan pasang surut lebih tinggi dibandingkan tanpa pengairan (Tabel 6, 7 dan 8). Hal ini disebabkan adanya air yang stabil di bawah permukaan tanah sehingga lengas tanah dalam keadaan kapasitas lapang dan dapat menekan oksidasi pirit.

Data analisis tanah yang dilakukan sebelum pengolahan tanah adalah pH (KCl) 4.4, 3.15 me/100 g Al3+, 64.5 ppm Mn, 1.19% Fe, 0.44% pirit. Adanya lapisan pirit pada kedalaman 20 cm (Gambar 8) menjadi penghambat pertumbuhan kedelai jika ditanam saat musim kering tanpa BJA. Hal ini terbukti dari pertumbuhan dan hasil yang berbeda antara BJA dengan tanpa pengairan. Penyebabnya adalah karena pada musim kering, air tanah akan turun melebihi lapisan pirit. Suriadikarta (2005) menyatakan bahwa pirit yang mengalami oksidasi menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe3+). Hasil akhirnya merupakan tanah dengan reaksi masam ekstrim (pH <3.5), dan banyak mengandung ion-ion sulfat (SO4-), besi bervalensi 2 (Fe2+), dan aluminium

(Al3+). Asam sulfat akan melarutkan sejumlah besar logam-logam berat, antara lain Al, Mn, Zn dan Cu sehingga bersifat toksik.

Penerapan BJA akan menyebabkan pirit dalam keadaan reduktif karena sebagian ruang pori tanah diisi oleh air. Hal ini menyebabkan oksidasi pirit menjadi Fe dapat ditekan dan terhindar dari penurunan pH yang makin rendah, sementara pemberian kapur dan pupuk dapat mengatasi kekurangan unsur hara dan pH tanah yang rendah. Kadar pirit saat panen adalah 0.17% dan kadar Fe adalah 1.13% dengan pH tanah 5.3 (Lampiran 1).

Pemberian kondisi jenuh air di pasang surut berbeda dengan di lahan non-pasang surut. Pemberian air di non-pasang surut air dimulai saat tanam, sedangkan di lahan non-pasang surut air diberikan saat tanaman berumur 2 MST. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah oksidasi pirit sejak awal pertumbuhan tanaman.

(49)

34

terhadap kondisi jenuh. Tanaman akan meningkatkan kandungan asam aminosiklopropana-karboksilik akar pada lapisan yang jenuh air. Adanya oksigen pada lapisan di atas lapisan jenuh air mendorong terjadinya perubahan aminosiklopropana-karboksilik menjadi etilen di akar sehingga kandungan etilen akar meningkat. Etilen akar akan merangsang pembentukan aerenkima dan akar-akar baru. Inderadewa et al. (2004) menemukan bahwa akar-akar baru tersebut akar juga meningkatkan pembentukan bintil-bintil akar, dan Ghulamahdi et al. (2006) melaporkan bahwa peningkatan pembentukan bintil akar dapat meningkatkan aktivitas nitrogenase dan serapan hara.

Produksi kedelai yang tinggi pada penerapan teknologi budidaya jenuh air ini juga sesuai dengan hasil penelitian Inderadewa et al. (2004) yang menunjukkan bahwa budidaya jenuh air secara nyata meningkatkan produksi kedelai hingga 20-80% dibandingkan dengan pengairan konvensional. Hal ini terjadi karena bubidaya jenuh air menyebabkan kondisi tanah pada kapasitas lapang. Sebaliknya, teknik pengairan konvensional, sebagaimana yang diterapkan oleh petani, menyebabkan kondisi air tanah tidak stabil. Ralph (1983) menyimpulkan bahwa tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan BJA mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dan hasil lebih tinggi karena mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai fase pengisian polong, dan mengalami penundaan penuaan. Menurut Sudaryono et al. (2007), kecukupan penyediaan air untuk mencapai kelengasan tanah optimal merupakan komponen budidaya kedelai yang sangat penting.

(50)

35

dilakukan di sub tropis memperlihatkan hasil yang rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di daerah tropis karena suhu dan radiasi yang lebih rendah di daerah sub tropis. Fehr et al. (1971); Garside et al. (1982), Nathanson et al. (1984); Troedson et al. (1984) menyimpulkan bahwa budidaya jenuh air juga dapat menurunkan aborsi bunga dan polong.

Menurut Fehr et al. (1971); Nathanson et al. (1984), kondisi jenuh air yang dipertahankan sejak awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan menyebabkan tanaman tidak cepat mengalami senessen saat masa pengisian polong. Selanjutnya Garside et al. (1982); Troedson et al. (1984) menyatakan bahwa kondisi ini menyebabkan suplai asimilat dari source ke sink berlangsung lama dan akhirnya dapat meningkatkan indeks panen.

Varietas Tanggamus merupakan varietas yang paling responsif terhadap perlakuan kedalaman muka air dimana jumlah daun dan jumlah cabang varietas Tanggamus dapat mencapai tiga kali jumlah daun dan jumlah cabang tanpa pengairan. Produksi biji varietas Tanggamus pada kedalaman muka air 40 cm DPT mencapai 4.83 ton/ha, namun tidak nyata berbeda dengan kedalaman 20 cm DPT (4.63 ton/ha) dan 30 cm DPT (4.71 ton/ha). Pembuatan saluran dengan kedalaman muka air 20 cm DPT akan lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan saluran dengan kedalaman 30 dan 40 cm DPT. Oleh karena itu kedalaman 20 cm DPT merupakan kedalaman muka air yang paling cocok untuk penanaman kedelai di lahan pasang surut dengan teknologi BJA.

(51)

36

Penerapan Budidaya Jenuh Air di Lahan Rawa Pasang Surut

Daerah pasang surut memiliki potensi yang besar untuk pengembangan kedelai di Indonesia jika dikelola dengan tepat. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan budidaya kedelai di pasang surut. Adanya tata air makro dan mikro mendukung penerapan teknologi BJA di lahan pasang surut.

Tata air ini dibentuk mulai dari saluran primer hingga saluran kuarter sehingga penerapan BJA untuk skala besar berada di antara saluran kuarter. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kebutuhan nasional akan kedelai masih perlu dilakukan pengujian BJA dalam skala besar yang di lahan yang dibatasi oleh dua saluran sekunder dan dua saluran tersier (Gambar 11). Pengujian semacam ini akan lebih memperlihatkan pengelolaan tata air makro dan mikro yang terpadu dan stabilitas hasil pada genotipe dan teknologi budidaya yang dipilih (BJA). Menurut Lin et al. (1996), ada 3 konsep mengenai genotipe yang stabil yaitu bila ragam hasilnya lintas lingkungan kecil, bila responnya terhadap perubahan lingkungan sebanding dengan rataan respon genotipe-genotipe lainnya yang diuji, dan bila penyimpangan hasilnya dari garis regresi rataan hasil terhadap indeks lingkungan kecil.

(52)

37

Keterpaduan antara varietas, teknologi budidaya dan keadaan agroekologi lokasi budidaya merupakan faktor penting dalam upaya peningkatan produktivitas kedelai. Lahan pasang surut yang memiliki keterbatasan karena adanya lapisan pirit dapat menjadi lahan yang berpotensi tinggi untuk budidaya kedelai jika dilakukan dengan BJA di lahan yang memiliki kesuburan relatif baik dengan kandungan bahan organik, P2O5 dan K2O yang relatif tinggi, termasuk dalam zona

pasang surut air tawar dengan daya hantar lisrik 0.5 dS/m dan tipe luapan C.

SALURAN SEKUNDER

(53)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Varietas Tanggamus menghasilkan daun, cabang, polong dan produksi biji tertinggi pada semua kedalaman muka air. Produksi biji varietas Tanggamus pada kedalaman muka air 40 cm DPT mencapai 4.83 ton/ha namun berbeda tidak nyata dengan kedalaman 20 cm DPT (4.63 ton/ha) and 30 cm DPT (4.71 ton/ha).

2. Secara teknis dan ekonomis, kedalaman muka air 20 cm DPT dan varietas Tanggamus merupakan kedalaman muka air dan varietas yang paling cocok untuk budidaya kedelai di lahan rawa pasang surut.

Saran

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah T, Ar-Riza I. 2006. Teknologi pemanfaatan lahan rawa lebak. Di dalam: Suriadikarta DA, Kurnia U, Suwanda MH, Hartatik W, Setyorini D, editor. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Ed ke-1. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 181-201.

Arifin. 2008. Respon tanaman kedelai terhadap lama penyinaran. Agrivita 30(1): 61-66.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Palawija di Indonesia. www.bps.go.id [19 Maret 2010].

Banyuasin. 2010. Letak geografis banyuasin. www.banyuasin.go.id [5 Mei 2010].

[CSIRO] Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation. 1983. Soybean response to controlled waterlodging. Di dalam: Lehane R, editor. Rural Research. The Science Communication of CSIRO’s Beaureau of Scientific Services. hlm 4-8.

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2008. Rencana aksi percepatan peningkatan produksi kedelai tahun 2008. Pertemuan teknis penanaman kedelai. Jakarta. 17 hlm.

Djayusman M, Suastika IW, Soelaeman Y. 2001. Refleksi pengalaman dalam pengembangan sestem usaha pertanian di lahan pasang surut, Pulau Rimau. Seminar Hasil Penelitian Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor, Juni 2001.

Fehr WR, Cavines CE, Burmood DT, Pennington JS. 1971. Stage of development descriptions for soybeans Glycine max (L.) Merill. Crop Sci., 11: 929-931.

Garside AL, Lawn RJ, Byth DE. 1982. Irrigation Management of Soybean (Glycine max (L.) Merill) in a Semi-arid Tropical Environment. III. Response to Saturated Soil Culture. Aust. J. Agric. Res., 43: 1019-1032.

Ghulamahdi M, Rumawas F, Wiroatmojo J, Koswara J. 1991. Pengaruh pemupukan fosfor dan vari terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai pada budidaya jenuh air. Forum pasca Sarjana, 14(1): 25-34.

(55)

40

Ghulamahdi M, Aziz SA, Melati M, Dewi N, Rais SA. 2006. Aktivitas nitrogenase, serapan hara dan pertumbuhan dua varietas kedelai pada kondisi jenuh air dan kering. Bul. Agron., 34(1):32-38.

Ghulamahdi M. 2008. Pengaruh genotip dan pupuk daun terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai panen muda pada budidaya jenuh air. J. Agripeat, 9(2):49-54.

Ghulamahdi M, Nirmala E. 2008. Pengaruh waktu pemetikan dan genotip terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai pada budidaya jenuh air. Anterior Jurnal, 8(1):6-13.

Ghulamahdi M, Melati M, Murdianto. 2009. Penerapan teknologi budidaya jenuh air dan penyimpanan benih kedelai di lahan pasang surut. Laporan akhir program insentif tahun 2009. Kementrian Negara Riset dan Teknologi.

Hartley RA, Lawn RJ, Byth DE. 1993. Genotypic Variation in Growth and Seed Yield of Soybean [Glycine max (L.) Merr.] in Saturated Soil Culture. Aust. J. Agric. Res., 44: 689-702.

Hunter MN, De Fabrun PLM, Byth DE. 1980. Response of Nine Soybean Line to Soil Moisture Conditions Close to Saturation. Austral. J.Exp. Agric. Anim. Husb., 20: 339-345.

Inderadewa D, Sastrowinoto S, Notohadiswarno S, Prabowo H. 2004. Metabolisme nitrogen pada tanaman kedelai yang mendapat genangan dalam parit. Ilmu Pertanian, 2: 68-75.

Irwan AW. 2006. Budidaya tanaman kedelai (Glycine max (l.) Merill). Jatinangor: Jurusan Budidaya Pertanian Faperta Unpad. 40 hlm.

Konsten CJM, Suping S, Aribawa IB, Widjaja-Adhi IPG. 1990. Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South and Central Kalimantan, Indonesia. Di dalam: Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. AARD and LAWOO. hlm 109-135.

Lawn B. 1985. Saturated Soil Culture Expanding the Adaptation of Soybeans. Food Legumes Newsletter, 3: 2-3.

Lin SC, Binns MR, Lafkovitch LP. 1996. Stability analysis, where do we tand. Crop Sci., 26: 894-900.

Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. London. Academic Press. hlm 229-369.

Gambar

Gambar 5 Klasifikasi rawa pasang surut menurut luapan pasang maksimun dan minimum (Widjaja-Adhi et al
Gambar 6 Jaringan drainase di Desa Banyu Urip
Gambar 8  Kedalaman lapisan pirit dari permukaan tanah
Tabel 1 Data analisis tanah sebelum tanam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berusaha melihat apakah terdapat bias gender terhadap adopsi internet pada teknologi informasi khususnya oleh guru SMK Swasta di Kota

Mediasi yang berlangsung di Pengadilan Agama Tulungagung dalam hal perkara perceraian merupakan proses komunikasi secara primer yang artinya bahwa proses penyampaian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga yang ditetapkan Tengkulak terhadap hasil tangkapan nelayan tidak sesuai dengan harga pasar yang ada sehingga merugikan pihak nelayan

Berdasarkan hasil pembahasan tentang Sistem Informasi Monitoring Perkembangan Proyek dalam Bidang Kontruksi Berbasis Web Pada CV. Jaya Makmur, maka dapat diambil

Polipirol dengan larutan elektrolit netral dan asam yang masing-masing dalam keadaan oksidasi dan reduksi berkaitan dengan serapan material, indeks bias dan

Peranan Ali Moertopo dalam mewujudkan stabilitas politik pada masa pemerintahan Soeharto ( 1966 – 1984 ).. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Maka respon kontrol pada inverter sudah baik dilihat dari persentase error yang sangat kecil dan kecepatan injeksi yang cepat meskipun tegangan input saat pengetesan masih

Hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, penelitian [1] dapat disimpulkan untuk menentukan tingkat Reliability jaringan atau layanan infrastruktur sangat dipengaruhi oleh