EFEKTIVITAS PERANGKAP JUVENIL
SPINY LOBSTER
BERDASARKAN TINGKAT KEDALAMAN, JENIS BAHAN
DAN LAMA PERENDAMAN
DI PERAIRAN PALABUHANRATU
IWAN DIRWANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini menyatakan bahwa tesisEfektivitas Perangkap JuvenilSpiny lobster berdasarkan Tingkat Kedalaman, Jenis Bahan dan Lama Perendaman di Perairan Palabuhanratu adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2012
iii
ABSTRACT
IWAN DIRWANA. The Effectiveness of Spiny Lobster Juvenile Traps based on Type of Depth level, Material, and Soaking Time in the waters Palabuhanratu. Under Supervision of SULAEMAN MARTASUGANDA and DINIAH.
The objectives of the research is to create an effective trap of spiny lobster juvenile base on trap position in the sea water layer, type of the material and trap soaking time. The experimental fishing was conducted in the Kertajaya Sangra wayang water of Sukabumi District. There are 7 levels of water depth are 1,5m, 3m,4,5m, 6m, 7,5m, 9 m,10,5mand 4 kinds material are waring, woven shirt, woven netting and gunny. The result of the research was the traps can catch the spiny lobster juvenile, the most catch was found in the 1-3mwater layers and use material gunny. The main catch was spiny lobster juvenile and catch were crustacean group and fish group (pisces). The trap s position in the water layer influence the catch value of spiny lobster.. The most main catch was found in water levels 1,5m and 3m. The best material for spiny lobster juveniles trap was gunny. The fisherman can use spiny lobster juvenile trap by operating in water levels 1-3m, use gunny meterial with one day soaking time.
v
RINGKASAN
IWAN DIRWANA. Efektivitas Perangkap Juvenil Spiny lobster Berdasarkan Tingkat kedalaman, Jenis Bahan dan Lama Perendaman di Perairan Palabuhanratu .
Di bawah bimbinganSULAEMAN MARTASUGANDAdanDINIAH.
Program pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pengembangan usaha pembesaran merupakan salah satu cara guna mendongkrak peningkatan produksi Spiny lobster dan memenuhi kebutuhan pasar. Juvenil spiny lobster sangat dibutuhkan oleh pengembang usaha pembesaran Spiny lobster karena selama ini masih terkendala dengan kualitas sumber benihnya yang diperoleh dari nelayan yang menggunakan alat penangkapan jaring dasar (bottom gilnet), proses penyelaman dan bubu. Permasalahan tersebut adalah ukurannya tidak merata, jumlahnya sedikit, tingkat kesetresannya tinggi dan banyak Spiny lobster yang cacat dan masih bergantung dari alam. Seiring dengan masalah tersebut potensi juvenilSpiny lobster(CL: 10-45 mm) yang berwarna putih dan hijau melimpah di perairan Kertajaya sangra wayang, pada dinding jaring karamba yang sudah ditumbuhi alga merah sering terlihat juvenilSpiny lobster menempel dan mencari makan, namun susah untuk ditangkap.
Menurut Cecaldi dan Latrouite (2000) tingkat kematian (mortality) yang tinggi pada Spiny lobster karena adanya predator seperti cumi-cumi, ikan buntal, juvenil hiu dan ikan dasar lainnya terjadi pada masa inkubasisebanyak 10-30% , pada masa juvenil menuju masa remaja sebesar 40-60% dan akhirnya hanya 0,1 % yang dapat bertahan sampai dengan dewasa. Oleh karena itu harus ada pengelolaan dan penyelamatan terkait dengan perkembangan Spiny lobster di alam. Langkah pertama untuk terwujudnya pengelolaanSpiny lobsteradalah harus tertangkapnya juvenil Spiny lobster. Alat yang ada seperti proses penyelaman, jaring dasar dan bubu belum mampu untuk menangkap juvenilSpiny lobster. Oleh karena perlu adanya alat yang efektif untuk menangkap juvenil Spiny lobster. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan perangkap yang dirancang dengan mendapatkan bahan pembentuk perangkap yang efektif dalam menangkap juvenil Spiny lobster; menentukan kedalaman peletakan perangkap yang banyak didatangi oleh juvenil Spiny lobster ; dan menentukan waktu perendaman perangkap yang efektif untuk pemanenan juvenil Spiny lobster.
Dua percobaan telah dilakukan di Desa Sangra wayang Kabupaten Sukabumi, yaitu percobaan tingkat kedalaman peletakan perangkap dan perbedaan jenis bahan yang direndam selama satu hari masing masing 47 dan 43 7rip sedangkan lama perendaman dua hari masing masing 23 dan 22 trip . Bahan waring (PP 5mm) digunakan dalam percobaan tingkat kedalaman. Jenis bahan perangkap yang diujikan adalah waring, kain kao jaring , kain kasa dan karung goni. Perangkap tersebut diletakan pada frame berukuran . Hauling dilakukan setiap hari untuk perendaman satu hari dan dua hari sekali untuk perendaman dua hari.
dan 143 ekor atau 10,88% kelompok ikan (Pisces) yang terdistribusi pada perendaman 1 hari (24 jam) dan 2 hari (48 jam).
Hasil tangkapan perangkap juvenil Spiny lobster berdasarkan jenis bahan pembentukan perangkap terdiri atas 24 ekor atau 1,34% JuvenilSpiny lobsterdan 1766 ekor atau 98,66% hasil tangkapan sampingan (HTS). Hasil tangkapan sampingan terdiri atas 1677 ekor atau 93,66% kelompok udang-udangan (Crustacean) dan 89 ekor atau 4,97 % kelompok ikan (Pisces) yang terdistribusi pada lama perendaman satu hari (24 jam) dan dua hari (48 jam).
Perangkap yang dirancang mempunyai kemampuan untuk menangkap juvenil Spiny lobster. Jumlah tangkapan secara keseluruhan menurun mulai dari kedalaman 1,5 m sampai dengan 10,5 m dan didominasi oleh hasil tangkapan terbanyak dengan perendaman satu hari. Hasil analisis ragam menunjukan adanya perbedaan hasil tangkapan juvenil Spiny lobster di setiap tingkat peletakan perangkap dengan nilai probabilitas kurang dari 0,005. Hasil analisis sidik ragam dengan klasifikasi yang terdiri atas empat perlakuan jenis bahan mempunyai nilai probabilitas kurang dari 0,05 atau Fhit (8,385) > Ftabel (2,683) pada taraf selang
kepercayaan 95% yang menunjukan adanya beda hasil tangkapan disetiap jenis bahan. Hasil tangkapan terbanyak dengan lama perendaman satu hari lebih mendominasi dibanding dengan perendaman dua hari. Uji statistik menunjukan bahwa nilai probabilitas dari kedua percobaan lebih dari 0,05 yaitu 0.886 dan 0,228 dimana nilai ini menunjukan bahwa lama perendaman satu dan dua hari tidak berbeda nyata.
Kesimpulan yang didapat adalah alat perangkap yang dirancang mampu menangkap juvenil Spiny lobster, tingkat kedalaman peletakan perangkap terbaik adalah pada kedalaman 1-3 m dari permukaan laut, Jenis bahan perangkap juvenil Spiny lobster yang terbaik digunakan adalah bahan karung goni dan lamanya perendaman satu hari (24 jam) dan dua hari (48 jam) secara signifikan tidak membedakan hasil tangkapan juvenilSpiny lobsteryang diperoleh.
vii
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ix
EFEKTIVITAS PERANGKAP JUVENIL
SPINY LOBSTER
BERDASARKAN TINGKAT KEDALAMAN, JENIS BAHAN
DAN LAMA PERENDAMAN
DI PERAIRAN PALABUHANRATU
IWAN DIRWANA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen pemanfaatan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
xi
Judul : EFEKTIVITAS PERANGKAP JUVENIL SPINY LOBSTER
BERDASARKAN TINGKAT KEDALAMAN, JENIS BAHAN DAN LAMA PERENDAMAN DI PERAIRAN PALABUHANRATU
Nama : Iwan Dirwana
NRP : C451100051
Disetujui Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Ujian : 03 Juli 2012 Tanggal Lulus :
Dr. Sulaeman Martasuganda,B. Fish Sc. M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Diniah, M.Si Anggota
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Mulyono S Baskoro, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana
xiii
RIWAYAT HIDUP
xv
PRAKATA
Puji dan Syukur penulis ucapkan ke Khadirat Allah SWT, yang telah memberikan berkah, rahmat, hidayyah dan karunia-NYA serta kesempatan kepada penulis untuk melakukan dan menuangkan serta menyelesaikan suatu tesis yang merupakan tugas akhir penulis. Tesis ini berjudul Uji Efektivitas Perangkap Juvenil Spiny lobster Berdasarkan Tingkat Kedalaman, Jenis Bahan dan Lama Perendaman di Perairan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi .
Dengan berakhirnya menyelesaikan tesis, penulis mengucapkan terima kasih kepada ;
(1) Kedua orang tua yang telah memberikan do a, semangat dan motivasi untuk melanjutkan sekolah
(2) Istri tercinta Devi Afifah Jaya Putri, S.Pd yang telah mengizinkan dan memberikan motivasi untuk mencari ilmu.
(3) Pemerintah Kabupaten Sukabumi yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan sekolah di Perguruan Tinggi IPB dan yang telah memberikan bantuan tunjang dalam pembiayaan sekolah.
(4) Pembimbing Dr. Sulaeman Martasuganda, B. Fish. Sc. M.Sc dan Dr. Ir. Diniah, M.Si yang senantiasa membimbing dan membantu dalam penyelesaian tesis ini.
(5) Teman-teman nelayan di Kabupaten Sukabumi, Bapak Acis dan Bapak Bambang Subarna yang senantiasa membantu dalam proses penelitian (6) Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, yang
senantiasa memfasilitasi dan membantu dalam menyelesaikan penelitian ; (7) Teman-temanku sekelas Pasca sarjana Mayor SPT dan TPT Ardani, Soraya
Gigentika, Immanuel M Thenu, Didin, Kaharudin, Tasrif KWJ, Arinto K.J., Edy Hamka, Styla Yohanes, dan Suri Pebrianti yang telah sudi untuk berdiskusi dan menemani dalam penyelesai tesis ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kabupaten Sukabumi khususnya untuk mengelola sumberdaya perikanan di perairan Teluk Palabuhanratu secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan nelayan.
xvii 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah... 2
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian... 3
1.4 Hipotesis Penelitian ... 4
1.5 Kerangka Pemikiran ... 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SumberdayaSpiny lobster... 7
2.1.1 Klasifikasi dan morfologiSpiny lobster... 7
2.1.2 Habitat dan pola Penyebaran ... 9
2.1.3 JuvenilSpiny lobster... 11
2.2 Pemanfaatan Spiny lobster... 13
2.2.1 Pemanfaatan juvenilspiny lobster... 15
2.2.2 Perangkap dan atraktor... 15
2.2.3 Spesifikasi bahan alat tangkap ... 16
2.2.4 Alat tangkapspiny lobster... 18
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 23
3.2 Alat dan Bahan ... 23
3.3 Perancangan Percobaan... 25
3.4 Metoda Pengumpulan Data ... 29
3.5 Analisis Data ... 30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 33
4.1.1 Total Hasil Tangkapan ... 34
4.1.1.1 Pengujian kedalaman peletakan perangkap... 34
4.1.1.2 Pengujian jenis bahan pembentuk perangkap ... 38
4.2 Hasil Tangkapan Utama... 42
4.2.1. Pengaruh kedalaman peletakan perangkap... 42
4.2.2 Pengaruh jenis bahan perangkap ... 45
4.3 Hasil Tangkapan Sampingan ... 48
4.3.1. Pengaruh kedalaman peletakan perangkap ... 49
4.4 Pembahasan ... 51
4.4.1 Kemampuan menangkap ... 51
4.4.2 Penyebab perbedaan jumlah tangkapan juvenilspiny lobster... 52
4.4.3 Kedalaman peletakan perangkap... 55
4.4.4 Jenis bahan perangkap... 57
4.4.5 Perendaman satu dan dua hari ... 59
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 61
5.2 Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA... 63
xix
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Ciri-cirispiny lobsteryang banyak diperdagangkan... 8 2 Daerah penangkapanspiny lobster... .... 14 3 Analisis sidik ragam hasil percobaan pengaruh kedalaman
perangkap dengan perendaman satu dan dua hari ... 45 4 Analisis sidik ragam hasil percobaan pengaruh jenis bahan perangkap
xxi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran peneltian... 6
2 MorfologiSpiny lobster... 8
3 PenyebaranSpiny lobsterberjenis Panulirus sp si Indonesia ... 11
4 Pola migrasiSpiny lobster ... 13
5 ProduksiSpiny lobsterdi Indonesia Tahun 1996-2009 ... 14
6 Bubu lobster dengan celah pelolosan di Honolulu Hawai USA ... 19
7 Bubu lobster di Inggris... 19
8 Bentuk bubu di Cuba ... 20
9 Bubu Lipat ... 21
10 Bubu Pintur/bubu Krendet ... 21
11 Bubu Spiny lobster... 22
12 Jenis-jenis bahan perangkap... 24
13 Tahapan pembuatan perangkap juvenilSpiny lobster... 25
14 Ilustrasi susunan perangkap untuk melihat pengaruh kedalaman
pemasangan perangkap terhadap hasil tangkapan juvenilSpiny lobster.. 27
15 Desain pengujian kedalaman peletakan perangkap juvenil
Spiny lobster... 27
16 Desain pengujian jenis bahan pembentuk perangkap juvenil
Spiny lobster... 28
17 Keramba apung ... 29
18 Komposisi kelompok hasil tangkapan pada pengujian kedalaman
peletakan perangkap... 35
19 Komposisi jenis hasil tangkapan pada percobaan kedalaman
20 Komposisi kelompok hasil tangkapan pada percobaan tingkat kedalaman dengan lama perendaman satu hari... 36
21 Komposisi jenis hasil tangkapan pada percobaan kedalaman peletakan
perangkap dengan lama perendaman satu hari ... 36
22 Komposisi kelompok hasil tangkapan pada percobaan tingkat kedalaman dengan lama perendaman dua hari ... 37
23 Komposisi jenis hasil tangkapan pada percobaan kedalaman peletakan
perangkap dengan lama perendaman dua hari ... 37
24 Komposisi kelompok hasil tangkapan berdasarkan jenis bahan
perangkap... 38
25 Komposisi jenis dan jumlah hasil tangkapan pada percobaan
penggunaan jenis bahan perangkap yang berbeda... 39
26 Komposisi kelompok hasil tangkapan pada percobaan jenis bahan
perangkap dengan lama perendaman satu hari ... 40
27 Komposisi jenis hasil tangkapan pada percobaan jenis bahan perangkap
dengan lama perendaman satu hari... 40
28 Komposisi kelompok hasil tangkapan pada percobaan jenis bahan
perangkap dengan lama perendaman dua hari... 41
29 Komposisi jenis hasil tangkapan pada percobaan jenis bahan perangkap
dengan lama perendaman dua hari. ... 41
30 Jumlah tangkapan juvenilspiny lobsterpada setiap kedalaman peletakan perangkap dengan lama perendaman satu dan dua hari ... 43
31 Data hasil tangkapan pada percobaan tingkat kedalaman peletakan
perangkap setelah di tranformasi ... 44
32 NormalP-Pplot data hasil tangkapan pada percobaan tingkat kedalaman peletakan perangkap setelah di tranformasi... 44
33 Jumlah hasil tangkapan juvenilspiny lobsterper jenis bahan
perangkap dengan lama perendaman satu hari ... 46
34 Data hasil tangkapan pada percobaan perbedaan jenis bahan perangkap
setelah di tranformasi... 47
35 NormalP-Pplot data hasil tangkapan pada percobaan perbedaan
xxiii
36 Jumlah hasil tangkapan sampingan pada setiap kedalaman peletakan
perangkap dengan lama perendaman satu dan dua hari. ... 49
37 Jumlah hasil tangkapan sampingan per jenis bahan perangkap dengan lama perendaman satu dan dua hari ... 50
38 Penutup alga pada dinding perangkap berbahan karung goni .. ... 51
39 Posisi perangkap akibat dialiri oleh arus berkecepatan rendah dan tinggi. 54
40 Alga merah yang tumbuh di permukaan perangkap dengan bahan
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kondisi kedalaman, salinitas dan suhu pada percobaan
tingkat kedalaman peletakan perangkap ... 69 2. Kondisi kedalaman, salinitas dan suhu pada percobaan
jenis bahan perangkap ... 71 3. Distribusi hasil tangkapan utama (HTU) perangkap juvenil
Spiny lobsterpada percobaan tingkat kedalaman dengan
perendaman satu hari (24 jam)... 73 4. Distribusi hasil tangkapan utama (HTU) Perangkap juvenil
Spiny Lobsterpada percobaan tingkat kedalaman dengan
perendaman dua hari (48 jam) ... 75 5. Distribusi hasil tangkapan sampingan (HTS) Perangkap juvenil
Spiny Lobsterpada percobaan tingkat kedalaman dengan
perendaman satu hari (24 jam) ... 76 6. Distribusi hasil tangkapan sampingan (HTS) perangkap juvenil
Spiny lobsterpada percobaan tingkat kedalaman dengan
Perendaman dua hari (48 jam) ... 89 7. Distribusi hasil tangkapan utama (HTU) perangkap juvenil
Spiny lobsterpada percobaan perbedaan jenis bahan perangkap
dengan perendaman satu hari (24 jam) ... 96 8. Distribusi hasil tangkapan utama (HTU) perangkap juvenilSpiny
lobster pada percobaan perbedaan jenis bahan perangkap dengan
perendaman dua hari (48 jam) ... 98 9. Distribusi hasil tangkapan sampingan (HTS) perangkap juvenil
Spiny lobsterpada percobaan perbedaan jenis bahan perangkap
dengan perendaman satu hari (24 jam) ... 99 10. Distribusi hasil tangkapan sampingan (HTS) perangkap juvenil
Spiny lobsterpada percobaan perbedaan jenis bahan perangkap
dengan perendaman dua hari (48 jam)... 111 11. Output SPSS dengan mentrasformasi data antara variable uji hasil
tangkapan dengan variabel group tingkat kedalaman dan lama
perendaman dalam rangka uji normalitas ... 118
12. Out put SPSS Tabel sidik ragam pada percobaan tingkat kedalaman
peletakan perangkap... 119 13. Output SPSS dengan mentrasformasi data antara variable
uji hasil tangkapan dengan variabel group jenis bahan dan
14. Out put SPSS Tabel sidik ragam pada perbedaan jenis
bahan perangkap ... 121 15. Out put BNT (SPSS) perbandingan antar jenis-jenis bahan perangakap
pada percobaan perbedaan jenis bahan perangkap... 122
16. Out put tukey (SPSS) perbandingan antar tingkat kedalaman peletakan perangkap pada percobaan
xxvii
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
Atraktor : Penarik ikan untuk berkumpul, mencari makan dan berlindung.
Baby lobster : Ukuran spiny lobster diantara 30-60g
BNJ : Beda nilai jujur.
BNT : Beda nilai tengah.
Bubu : Salah satu alat penangkap ikan menetap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada pemaksaan, tetapi sulit keluar atau lolos karena dihalangi dengan berbagai cara.
Software : Perangkat lunak pada sebuah komputer.
Cotton : Jenis bahan katun.
Efektifitas Suatu pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya.
Efisiensi : Penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum.
Hauling : Pemanenan atau proses mengambil hasil
tangkapan pada perangkap yang sudah dipasang dengan lama perendaman tertentu
HTU : Hasil tangkapan utama.
HTS : Hasil tangkapan sampingan.
Juvenil Spiny lobster putih
: Juvenil spiny lobster yang tubuhnya berwarna putih dengan rata-rata carapace length ± 2- 15 mm dan termasuk pada fasepeureulus
Juvenil Spiny lobster jangkrik
: Juvenil spiny lobster yang tubuhnya berwarna hijau dengan rata-rata carapace length ± 15- 45 mm dan termasuk pada fasepost peureulus Jaring dasar : Jaring yang berbentuk empat persegi panjang
dengan satu atau beberapa lapisan jaring yang bentangkan tegak di dasar perairan.
(KS) : Kecil super yaitu ukuranspiny lobster60-100g
(KB) : Kecil besar yaitu ukuranspiny lobster100-200g
Nature fiber : Serat alami
Neuroplankton : Plankton yang dapat terlihat oleh mata dan berukuran besar.
Mortalitas : Tingkat kematian.
Perangkap : Salah satu alat penangkap ikan menetap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada pemaksaan, tetapi sulit keluar atau lolos karena dihalangi dengan berbagai cara.
(PE) : Polyetelin.
(PP) : Polyprofelin.
(S) : Super yaitu ukuranspiny lobsterlebih dari 200g
Sintetic fiber : Serat buatan
Soaking time : Lama perendaman.
A A
1.1 Latar Belakang
n
y l r merupakan salah satu jenis hewan laut yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Rasanya yang lezat dan kandungan gizinya yang tinggi menyebabkan spiny ltr sangat disukai oleh para penggemar makanan laut,
baik di dalam maupun luar negeri.
Sebagian besar spiny lr yang diperjualbelikan di pasar diperoleh dari
hasil penangkapan di laut. Jenis alat tangkap yang digunakan berupa bubu, jaring dasar dan pengambilan langsung dengan penyelaman. ny l r yang
dihasilkan oleh bubu dan pengambilan langsung selalu dalam kondisi hidup dan memiliki kualitas yang baik, sehingga memiliki harga jual yang tinggi. Adapun
sp in
y l r yang didapat dari hasil penangkapan dengan jaring insang umumnya
sudah dalam keadaan mati dan cacat. Ini mengakibatkan harga jualnya menurun. Menurut data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (2008), harga ny lr
dibedakan berdasarkan ukuran beratnya. Rinciannya adalah sebagai berikut : 1) l r ukuran 30-60gseharga Rp. 70.000,00 per kg;
2) Kecil Super (KS) ukuran 60-100gseharga Rp. 130.000,00 per kg; 3) Kecil besar (KB) ukuran 100-200gseharga Rp. 320.000,00 per kg; dan 4) Super (S) ukuran lebih dari 200gseharga Rp. 260.000,00 per kg.
Habitat lobster banyak terdapat di beberapa perairan Indonesia. Salahsatu daerah penyebaran spiny l r adalah perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penangkapanspiny lr di perairan ini bersifat terbuka.
Artinya, setiap nelayan bebas untuk melakukan operasi penangkapanspi ny lr
sebanyak-banyaknya tanpa adanya pembatasan. Padahal, Dayton t (1995)
menerangkan bahwa, operasi penangkapan spiny l r yang berlebihan akan mempengaruhi kelestariannya. Dengan demikian, cepat atau lambat sumberdaya lobster di perairan Teluk Palabuhanratu akan semakin berkurang sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan pasar dan terlihat produksi hasil tangkapan
ny lr di Kabupaten Sukabumi selama ini menurun dari tahun ke tahun
Cara yang dapat dilakukan untuk memasok spiny l r ke pasar tanpa merusak sumberdayanya adalah dengan melakukan pembesaran benih atau juvenil
sp in
y lr . Upaya ini sebenarnya telah mulai dilakukan oleh masyarakat
nelayan Desa Kertajaya Sangra wayang, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi. Permasalahannya, masyarakat nelayan terkendala oleh pasokan juvenil
ny lr yang sangat bergantung dari alam,
Selama ini, potensi juvenil ny l r (CL: 10-45 mm) yang berwarna
putih dan hijau melimpah di perairan desa Kertajaya sangra wayang , pada dinding jaring karamba yang sudah ditumbuhi alga merah sering terlihat juvenil
ny l r menempel dan mencari makan, namun susah ditangkap. Bahkan, di
wilayah ini belum ada alat penangkapan khusus juvenilspiny l tr .
Menurut Cecaldi dan Latrouite (2000) tingkat kematian (mort !ity ) juvenil
spiny lr di alam sangat tinggi, pemangsaan oleh predator seperti cumi-cumi,
ikan buntal, juvenil hiu dan juvenil ikan dasar lainnya terjadi pada masaink" i
mencapai 10-30% , pada masa juvenil menuju masa remaja mencapai 40-60% dan akhirnya hanya 0,1 % yang dapat bertahan sampai dengan dewasa.
Oleh karena itu pengelolaan dan penyelamatan terkait dengan pengembangan juvenil ny l r di alam perlu dilakukan. Langkah awal untuk melakukan
pengelolaan dan pengembangan adalah membuat alat untuk menangkap juvenil
spiny lr .
1.2 Perumusan Masalah
ny l r merupakan komoditas unggulan yang mudah dipasarkan.
Menurut Negrete-Soto t ! # (2002), spiny l r merupakan sasaran tangkap
bagi industri perikanan tangkap di seluruh dunia.
Hampir setiap daerah memanfaatkan dan mengelola komoditas lobster dengan tujuan yang berbeda-beda. Masyarakat Desa Kertajaya Sangra wayang, Kabupaten Sukabumi melakukan pembesaran spiny lr sebagai kegiatan
pemberdayaan masyarakat pesisir. Mereka terkendala dengan kekurangan pasokan benih. Benih yang tersedia selalu dalam jumlah terbatas, tidak memiliki ukuran yang sama dan sangat mudah mati padahal masyarakat sangat memerlukan benih
sp in
3
Bersamaan dengan permasalahan tersebut, sering terlihat oleh para pembudidaya bahwa juvenil spiny l$%&' (r terdapat pada dinding keramba yang di
tumbuhi dengan alga merah. namun belum tersedia alat penangkapan yang khusus digunakan untuk juvenil spiny l$%&'(r . Tingkat kematian pada )*+ny l$%&'(r fase
juvenil di alam sangat tinggi, diantaranya adalah akibat dari pemangsaan oleh predator. Solusinya tinggal bagaimana cara memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya perairan tersebut untuk selalu dapat memasok juvenil spiny l$%&' (r
pada kegiatan pembesarannya dan menyelamatkan dari predator Juvenil spiny
l
$%&' (r.
Kualitas benih untuk pembesaranspiny l$%&'(r merupakan kunci keberhasilan
kegiatan tersebut, oleh karena itu bagaimana caranya juvenil yang ada di perairan dapat tertangkap dengan tidak mngalami tingkat stress yang tinggi atau cacat. Pengoperasian perangkap yang menyerupai atraktor merupakan salahsatu solusi untuk mendapatkan juvenilspiny l$%&' (r yang berkualitas, kemudian dikelola dan
dikembangkan. Dalam penelitian ini dilakukan ujicoba pengoperasian perangkap yang terbuat dari berbagai bahan. Juvenil spiny l$%&' (r yang berkumpul pada
perangkap lebih dikarenakan tertarik oleh keberadaan alga merah yang menempel pada perangkap tersebut. Juvenil spiny l$%&' (r yang dikumpulkan dari perangkap
berkualitas baik, ukurannya merata dan tidak mudah mati. Untuk mendapatkan perangkap yang efektif, maka perangkap diuji berdasarkan aspek bentuk dan ukuran, bahan pembentuk, kedalaman peletakannya di dalam perairan, dan lamanya perendaman.
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah menghasilkan perangkap juvenil spiny l$%&'(r yang efektif dan efisien. Lebih khusus tujuan penelitian ini
adalah :
1. Merancang dan membuat perangkap yang mampu menangkap juvenil
sp in
y l$%&'(r ;
2. Menganalisa bahan perangkap yang efektif dalam menangkap juvenil
sp in
3. Menganalisis kedalaman peletakan perangkap yang sesuai dengan
4. Menganalisis pengaruh lama waktu perendaman terhadap hasil tangkapan juvenilspiny l./0 1-r.
Manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini adalah tersedia jenis alat penangkapan yang khusus diarahkan pada sasaran juvenilspiny l./0 1-r. Lebih
lanjut dari hal ini adalah turut mendukung pemberdayaan masyarakat pesisir dalam kegiatan pembesaran spiny l./0 1-r dalam rangka meningkatkan produksi
spiny l./01-r di wilayah Kabupaten Sukabumi.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah perangkap yang dibuat mampu menangkap juvenil spiny l./0 1-r , sedangkan jumlah hasil tangkapan juvenil spiny l./0 1-r
merupakan fungsi atau dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis bahan pembentuk perangkap, lokasi dan lama pemasangan perangkap di dalam perairan. Hubungan ini dapat diformulasikan sebagai berikut ;
2
= f (x
1, x
2,x
3)
dimana ;
1.5 Kerangka Pemikiran
Dalam rangka memenuhi kebutuhan benih pada kegiatan pembesaran spiny
lobster, maka dilakukan usaha pemanfaatan juvenil spiny lobster agar tingkat
kematian pada fase juvenil dalam rangka pengelolaan dan pengembangan Juvenil
spiny lobsterdapat ditekan maka diperlukan sebuah perangkap yang efektif untuk
mengumpulkan juvenil spiny lobster. Efektifas sangat terkait dengan berbagai
C
= Hasil tangkapan juvenilspiny lobsterx
1 = Jenis bahan pembentuk perangkap juvenilspiny lobsterx
2 = Kedalaman pemasangan perangkap juvenilspiny lobster5
aspek antara lain jenis bahan pembentuk, kedalaman pengoperasiannya dan lama perendamannya di dalam air.
Berkumpulnya juvenil spiny lobster dalam suatu lahan lebih disebabkan oleh adanya subtract yang menempel seperti alga dan yang lainnya. Perangkap dapat dirancang menjadi tempat juvenil spiny lobsterberlindung dari predator, rumah untuk proses perkembangan dan sebagai tempat mencari makan. Menurut Joll and Crossland (1983), alga merupakan salahsatu jenis makanan bagi juvenil spiny
lobster. Oleh karena itu, harus dirancang bahan perangkap yang dapat menjadi
media tumbuhnya alga. Jenis bahan perangkap yang baik adalah mudah ditumbuhi oleh alga, juvenil tidak mudah lepas ketika dikumpulkan,serta bahan perangkap mudah didapat di pasaran.
Lobster dewasa, menurut Castaneda et.al. (2005), akan melepaskan telurnya dan terbawa arus melayang sebagai neuroplankton. Selanjutnya neuroplankton akan menempel pada subtrat atau benda yang telah ditumbuhi alga sebagai habitatnya. Telur akan berkembang menjadi juvenil spiny lobster dan bermigrasi dari kedalaman 60 m menuju ke arah pantai pada kedalaman 1-5 m. Alga yang tumbuh pada suatu subtrat atau benda tertentu di perairan pantai menjadi tempat berlindung dan sumber makanan bagi juvenil spiny lobster. Sampai saat ini belum diketahui berapa kedalaman perairan yang baik untuk menangkap juvenil
spiny lobster.
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
1. Kebutuhan JuvenilSpiny lobster
sangat tinggi
2. Harga juvenilSpiny lobstertinggi
3. Potensi juvenilSpiny lobster
berlimpah
4. Bahan-bahan bekas seperti waring, karung goni, kain kaos jaring, dan kasa banyak
PELUANG
3A4 5A6;
1. Tingkat Kedalaman Peletakan perangkap 2. Jenis bahan Perangkap
3. Lama perendaman
1. Tingkatmortalitasdi alam
tinggi pada fase juvenil ke remaja
2. Kurangnya pertimbangan aspek efektivitas dan efisiensi 3. Belum ada alat untuk
menangkap juvenilSpiny lobster MASALAH-MASALAH
Kondisi yang diperhitungkan :
1 .Keunikan migrasispiny lobster;
789 :;<=A:>= ?8A@A
2.1 Sumberdaya Spiny Lobster
2.1.1 Klasifikasi dan morfologiSpiny lobster
Spiny lobster di Indonesia dikenal dengan nama udang karang atau udang
barong atau lobster. Sebanyak 6 spesies Spiny lobster tertangkap di perairan Indonesia, yaituspiny Lobsterhijau pasir (Panulirus homarus), Spiny lobsterbatu (Panulirus penicilatus), spiny lobster bunga (Panulirus longipes), spiny lobster hijau (Panulirus versicolor), spiny lobster bambu coklat (Panulirus plyphagus), dan spiny lobster mutiara (Panulirus ornatus). Menurut Muljanah et al. 1994, keenam jenisspiny lobsterini yang banyak diperdagangkan di Indonesia. Hierarki darispiny lobstersebagai berikut (Holthius 1991):
Induk kelas : Crustacea;
Marga : Panulirus; dan Spesies : - P. versicolor
- P .homarus - P .longipes - P. ornatus - P. penicilatus - P. Plyphagus
Morfologi spiny lobster terdiri atas kepala, thorax yang tertutup oleh karapas dan abdomennya yang memiliki 6 segmen (Gambar 2) (Miyeke, 1976).
Spiny lobster memiliki bentuk yang unik sehingga sangat mudah dibedakan
Tabel 1 Ciri-cirispiny lobsteryang banyak diperdagangkan.
AB A C DCEBFCE A C DCG C HI J/ilmiah Morfologi
1 Spiny lobsterhijau pasir
Panulirus homarus (Scallope spiny lobster)
Abdomen beruas-ruas, berwarna hijau gelap, antena berwana coklat gelap, antenulla berwarna hitam putih berselang-seling atau coklat tua, kaki berwarna hijau gelap. Hidup di perairan karang yang dangkal dengan kedalaman 1-90 m. Panjang total maksimun 31 cm, panjang karapas 12 cm dan panjang badan 20-25 cm.
kemerahan dengan kaki belang-belang kuning. Hidup di perairan dangkal 1-80 m dengan dasar
berpasir, berlumpur, atau
berkarang, Kadang-kadang hidup di muara sungai. Panjang total 40 cm dan panjang karapas 12 cm.
Sumber :Sadayoshi Miyeke. 1976. Japanese Crustacean Decapods and Stomatopods in
Color. Vol 1. (in Japanese)
Antenular plate
9
Abdomen berwarna hijau
kehitaman atau hitam kehijauan dan termasuk jenis kanibal. Banyak dijumpai di perairan dangkal 1-4 m dan bersembunyi di karang-karang di perairan yang jernih. Panjang total rata-rata 30 cm. Lobster jantan lebih besar dari lobster betina.
4 Spiny lobster
pakistan
Panuliru versicolor (Painted spiny lobster)
Abdomen berwarna hijau dengan garis-garis tranversal berwarna kuning. Karapas berwarna hitam
kehijauan dengan pola warna
kuning dan kaki hijau gelap dengan garis kuning memanjang. Hidup di
perairan dangkal dengan
kedalaman 15 m, terutama di daerah karang dan bersembunyi di karang-karang di pinggir pantai. Panjang rata-rata 30 cm.
5 Spiny lobster
bambu
Panulirus polyphagus (Mud spiny lobster)
Abdomen berwarna dasar coklat dan kaki berwarna kecoklatan dengan pola warna kuning. Hidup di perairan yang berlumpur, terutama di muara sungai pada dengan kedalaman 3-40 m. Panjang rata-rata antara 20-25cm.
6 Spiny lobsterbatik Panulirus longipes (Longlegged spiny lobster)
Abdomen berwarna dasar merah coklat gelap sampai cerah atau kemerahan dengan totol-totol putih menyebar di seluruh permukaan tubuh membentuk pola seperti batik. Antena berwarna coklat
muda terang dan antenula
berwarna hitam putih berselang-seling. Hidup di perairan yang jernih dengan dasar berkarang pada kedalaman 1-18 m. Panjang tubuh rata-rata 20-25 cm dengan panjang karapas berkisar antara 8-10 cm. Sumber : Holthius (1991)
2.1.2 Habitat dan pola penyebaran
Spiny lobster(Panulirus sp.) hidup di laut pada kedalaman perairan antara 5
450LS.Spiny lobsterjuga hidup mulai dari daerah intertidal sampai perairan yang dalam. Cobb and Phillips (1980) mengelompokkan Spiny lobster berdasarkan daerah penyebarannya, yaitu:
1) Continental species of spiny lobster adalah spiny lobster yang hidup di perairan karang pantai yang dangkal.
2) Coral species of spiny lobsteradalahspiny lobster yanghidup di perairan pantai maupun lepas pantai yang agak dalam, dan
3) Oceanic species of spiny lobsteradalahspiny lobster yangbiasa hidup di lepas pantai, yaitu di perairan laut yang dalam.
Hampir semua Spiny lobster yang ditangkap oleh nelayan adalah
Spiny lobster yang berada di daerah penyebaran continental dengan alat
tangkap jaring dasar dan proses penyelaman sedangkan Spiny lobster yang berada pada coral biasanya menggunakan bubu lipat. Spiny lobster yang berada di laut dalam belum termanfaatkan sama sekali (Dislutkan, 2008) .
Suku panulirudae dalam pengelompokan taksonominya menunjukkan ciri morfologi yang sangat berhubungan erat dengan letak geografis atau garis lintang dan juga kedalaman air. Sebagai contoh adalah genus Panulirus yang hidup di perairan dangkal di daerah equator (Karnofsky et al. 1989).
Keanekaragaman jenis Panulirus sp di perairan tropis lebih besar dibandingkan dengan sub-tropis, meskipun kelimpahannya lebih rendah. Lobster hijau pasir(Panulirus homarus) termasuk ke dalamcontinental spesies dancoral
spesies yang hidup pada perairan terumbu karang dengan kedalaman beberapa
meter. Spiny lobster biasanya mendiami tempat-tempat yang terlindung di antara batu karang dan jarang ditemukan dalam bentuk kelompok yang berjumlah besar. Penyebaran Spiny lobster di Indonesia meliputi perairan pantai selatan Bali, Lombok, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya. Beberapa tempat yang dijadikan pusat pengumpulan Spiny lobster antara lain adalah Binuangen, Palabuhanratu, Pangandaran, Pacitan, Blitar, Tabanan, Gianyar, Jembrana (Bali), Lempasing, Bandar Lampung dan beberapa daerah di wilayah Indonesia timur (T D Suryaningrum et al, 2001). Penyebaran Upiny
11
Sumber : FAO Species Catalogue. Vol 13Marine Lobsters of The World penyebaran Spiny lobster P homarus
2.1.3 Juvenilspiny lobster
Spiny lobster merupakan spesies yang aktif mencari makan di malam hari
sebagai pemakan segala dan bangkai (omnivora and scavenger), semenjak juvenil sudah memakan kerang-kerangan kecil, molusca, dan alga (Herrinkind, 1980).
Spiny lobster betina dengan ukuran 5 inci mampu mengerami telurnya sebanyak
4.000 butir, sedangkan spiny lobster yang berukuran 10 inci akan mengerami telurnya sebayak 50.000 butir. Hanya 0,1 % dari jumlah tersebut yang mampu bertahan hidup sampai dewasa (Wikipedia 2011) dan (Cecaldi dan Latrouite, 2000). Telur yang sudah dieraminya akan dilepas dan menetas menjadi larva (phyllosoma) setelah melakukan metamorfosa selama kurang lebih 330 hari dalam 12 tahap (Bayu, 2008) dan (Lipcius and Eggleston, 2000)V Larva akan berubah
menjadi bentuk juvenil spiny lobster yang bersifat neuroplanton. Larva tersebut melayang di kolom perairan. Kemampuan berenangnya sangat tergantung pada keadaan faktor oseanografi, seperti arus, salinitas, dan suhu.
Larva spiny lobster mempunyai perkembangan dan metamorfosa serta migrasi yang disesuaikan dengan lingkungannya yang dirasakan nyaman untuk
melangsungkan kehidupannya. Migrasi larva dapat mencapai beribu-ribu mil (Ajmal khan, 2006), ada yang bersifat vertikal dimana fenomena upwelling membantu proses migrasi tersebut. Selanjutnya, migrasi horisontal yang dipengaruhi oleh faktor oseanografi seperti arus dan gelombang laut. Menurut Lipcius and Eggleston (2000), penyebaran larva terjadi pada kedalaman 60 m dan bermigrasi secara horizontal menuju perairan dengan kedalaman 20-10 m. Setelah menjadi pueruli, larva masuk kedalam zona perairan dengan kedalaman 5-2 m. Pada kedalaman ini, menurut Rimmer and Phillips (1979), larva selalu berupaya untuk menghindari cahaya dengan mencari tempat tempat yang terlindung seperti rumpun alga, lubang-lubang dikarang, padang lamun dan atau celah-celah batu.
Selama proses adaptasi, larva spiny lobster yang sedang mengalami perubahan menjadi juvenil berusaha bersembunyi di alga merah, batu dan karang, selain tempat untuk mencari makan juga untuk berlindung dari predator seperti hiu, cumi-cumi dan beberapa ikan predator lainnya (Johnson dan Al-Abdusalaam,1991). Juvenil selanjutnya berkembang menjadi palinurids dan melakukan pertualang menuju dasar perairan dengan kedalaman 5-10 m untuk mencari makan hingga tumbuh menjadi dewasa. Pola migrasispiny lobster dapat dilihat pada Gambar 4.
Seperti halnya komoditas lain, juvenil spiny lobster mempunyai musim-musimnya. Pada musim tertentu juvenil spiny lobster berlimpah, saat itu hiu dan cumi akan datang menghampiri daerah perairan yang terdapat juvenil spiny
lobstersebagai predator utama juvenil, kematian juvenil akibat pemangsaan dapat
13
Data produksi juvenil spiny lobster di Kabupaten Sukabumi belum tercatat oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, karena belum ada nelayan yang secara khusus menangkap juvenil spiny lobster dan tidak ada alat tangkap yang khusus digunakan untuk menangkap juvenil. Oleh karena itu sumberdaya juvenil spiny lobster di perairan Teluk Palabuhanratu diperkirakan masih cukup besar dan berlimpah.
2.2 PemanfaatanSpiny lobster
Indonesia merupakan produsen utama udang dunia. Salah satu jenis udang yang diekspor adalah spiny lobster(Nurjanahet al., 2011). Statistik Kelautan dan Perikanan Indonesia tahun 2010 menginformasikan bahwa produksi rata-rata
spiny lobster Indonesia pada tahun 1996 sebesar 2.463 ton dan terus mengalami Gambar 4 Pola migrasispiny lobsterW
Sumber : R N Lipcius and D B Eggleston. 2000 Ecology and Fishery Biology of Spiny
peningkatan hingga tahun 2008 sebesar 9.896 ton. Pada Gambar 5 dijelaskan perkembangan produksiSpiny lobsterantara tahun 1996-2009.
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu daerah penghasil Spiny lobster di Indonesia, meskipun produksinya masih relatif sedikit sekitar 28,76 ton pada tahun 2009 (Dislutkan, 2010) atau hanya 0,005 % dari produksi spiny lobster Indonesia.
Jumlah nelayan yang menangkap spiny lobster di wilayah perairan Palabuhanratu sebanyak 3.645 orang atau 0,3% dari total nelayan yang berjumlah 12.146 orang dengan menggunakan alat tangkap bubu, jaring udang dan proses penyelaman. Jenisnya adalah Panulirus homarus, Panulirus versicolor dan
Panulirus longipes. Ketiga jenis lobster tersebut ditangkap di beberapa tempat
seperti diuraikan pada Tabel 2.
Tabel.2 Daerah penangkapanspiny lobster
XY Z [\camatan Pesisir Daerah penangkapan
1. Cisolok Cikembang dan Karang Dampar
2. Cikakak Citepus
3. Palabuhanratu Gado Bangkong,
4. Simpenan Muara Batu, Cimandiri, Karang Jangkung dan Khuan In 5. Ciemas Legon Pandang, Cisaar dan Karang Mandra Jaya 6. Ciracap Kiara Condong dan Cikepuh
7. Surade Muara Cikarang dan Minajaya
8. Cibitung Karang Bolong
9. Tegalbuled Buni Asih
Sumber : Potensi Kelautan (Dislutkan, 2008)
Gambar 5 Produksi spiny lobster di Indonesia tahun 1996-2009
15
Data produksi juvenil spiny lobster di Kabupaten Sukabumi belum tercatat oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, karena belum ada nelayan yang secara khusus menangkap juvenil spiny lobster dan tidak ada alat tangkap yang khusus digunakan untuk menangkap juvenil. Oleh karena itu sumberdaya juvenil spiny lobster di perairan Teluk Palabuhanratu diperkirakan masih cukup besar dan berlimpah.
2.2.1 Pemanfaatan juvenilspiny lobster
Spiny lobster dapat diperjualbelikan setelah memiliki berat lebih dari 50g.
Pada ukuran berat kurang dari 50 g, lobster dikategorikan pada ukuran juvenil atau remaja (Lipcius and Eggleston, 2000). Jika sebelumnya masyarakat hanya memanfaatkan lobster berukuran lebih dari 50 g, maka akhir-akhir ini lobster berukuran kurang dari 50 g juga dimanfaatkan untuk tujuan pembesaran dan dijadikan sebagai peluang usaha baru.
Usaha pembesaran juvenil spiny lobster di Kabupaten Sukabumi merupakan program pemberdayaan masyarakat pesisir dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan. Saat ini, hal itu banyak dilirik oleh pengusaha perikanan, karena dapat memberikan keuntungan yang menggiurkan.
Kegiatan pembesaran spiny lobster mulai diperkenalkan kepada masyarakat pada tahun 2008. Pada awalnya, kegiatan tersebut dilakukan di Desa Kertajaya Sangrawayang dan berkembang ke Desa Pasir Baru Cibangban. Ada 20 keramba milik masyarakat yang digunakan untuk menampung juvenil spiny lobster (Dislutkan, 2008). Benih yang dibesarkan berukuran 20-50 g yang diperoleh dari hasil tangkapan bubu dan jaring dasar dan proses penyelaman.
2.2.2 Perangkap dan atraktor
Perangkap atau lebih dikenal dengan bubu adalah salah satu alat penangkapan ikan menetap yang berbentuk kurungan, ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada pemaksaan, tetapi sulit keluar atau lolos karena dihalangi dengan berbagai cara (Von Brandt 1984).
berfungsi untuk mengumpulkan ikan dan biota-biota perairan lainnya yang tidak mempunyai kemampuan untuk menangkap.
2.2.3 Spesifikasi bahan alat tangkap
Sadhori dan Naryo (1984) menerangkan bahwa bahan alat penangkapan ikan secara umum dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu bahan tekstil dan non tekstil. Pada umumnya untuk membuat sebuah alat tangkap selalu digunakan bersamaan. Hanya besar kecil perbandingan penggunaan bahan tersebut bergantung pada jenis alat yang dibuat. Bila dilihat dari asalnya, maka bahan tekstil tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu bahan tekstil yang berasal dari serat alami (nuture fiber) dan serat buatan (sintetic fiber).
Sekarang ini serat buatan lebih banyak digunakan untuk membuat alat penangkapan ikan dibandingkan dengan serat alami, karena serat sintetis memiliki kelebihan, baik daya tahan maupun efisiensi dalam penangkapan ikan. Ketrinia (1984) dan Sari (1995) menerangkan bahwa kelebihan serat buatan adalah sebagai berikut ;
1) Tidak mudah lapuk 2) Kemuluran lebih besar 3) Daya menyerap air kecil 4) Tahan terhadap gesekan
5) Tidak terpengaruh oleh asam, basa, garam dan minyak
Pembuatan suatu alat penangkapan ikan, maka memerlukan seleksi terhadap material yang akan digunakan untuk mendesainnya sehingga akan diperoleh suatu alat penangkapan ikan yang efektif dan efisien (Von Brandt 1984). Serat buatan antara lain :
1) Serat Polyprophylen (PP)
17
2). Serat Polyetelin (PE)
Serabut berbahan PE pada mulanya digunakan untuk alat penangkapan ikan oleh Zigler (Jerman) pada permulaan tahun 1950. Bersamaan dengan teknik polimerisasi (United Kingdom) sebelumnya yang memerlukan tekanan tinggi sebesar 1000 atm atau lebih, maka cara terbaru ini bekerja dengan tekanan lebih rendah dan dengan katalisator organomental, seperti alumunium alkil. Serabut yang diperoleh dengan cara baru ini mempunyai sifat-sifat fisik yang lebih baik. Monomer ethylene sebagai bahan dasar polyethylen secara normal diperoleh dari petroleum (Klust, 1987), salahsatu contohnya adalah kain kasa.
3). Bahan kain kaos jaring katun (cotton)
Kain kaos jaring katun adalah kain yang terbuat dari bahan dasar serat kapas, yang dicampur dengan bahan-bahan polimer lainnya yang mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1) Tidak kisut
2) Tidak luntur untuk bahan berwarna 3) Halus
4) Tidak berbulu 5) Ringan
Secara garis besar dapat disebutkan bahwa serat alam adalah kelompok serat yang dihasilkan dari kelompok tumbuhan, binatang dan mineral. Penggunaan serat alam dalam bidang industri berasal dari tumbuhan yang dikenal yaitu Rosella, flak, kenap dan rami. Tanaman Rosela belum lama ini ramai dibicarakan orang dan berbagai artikel ditulis untuk mengangkat faedah Rosela. Namun mungkin hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa Rosela erat kaitannya dengan karung, antara lain karung goni. Dahulu karung goni sangat indentik dengan kemasan untuk beras, gula dan hasil panen lainnya.
goni. Dibalik kelemahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengundang organisme lain untuk tumbuh dan berkembang (Prasetyo ,2009)
2.2.4 Alat tangkapspiny lobster
Alat penangkap Spiny lobster sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Beberapa waktu sebelumnya, penangkapan lobster menggunakan zat kimia yang sangat berbahaya (Polovina 2000). Perkembangan selanjutnya penangkapan lobster menggunakan bubu berbentuk oval dengan bukaan mulut berbentuk bulat. Bubu dilengkapi dengan celah pelolosan yang terbuat dari plastik (Gambar 6). Bubu lobster yang dioperasikan oleh nelayan Inggris berbentuk empat persegi panjang dengan bagian atasnya berbentuk setengah lingkaran. Bubu dibentuk oleh kayu dan bambu serta diselimuti oleh jaring (Gambar 7). Nelayan di La Habana Cuba, menurut Baisre 2000, mengoperasikan berbagai bubu penangkap lobster, seperipesquero,joulon,antilean trapdanbully net(Gambar 8).
Bubu lobster dalam statistik alat penangkapan ikan dimasukkan ke dalam kelompok perangkap dan penghadang (traps and guiding barriers), yaitu perangkap yang berupa jebakan. Alat penangkapan ikan ini bersifat pasif (Subani dan Barus, 1989). Spiny lobsterdapat masuk dengan mudah ke dalam perangkap tanpa paksaan dan sulit untuk keluar, karena terhalang pintu masuknya yang berbentuk corong (non-return device) (Von brandt 2005).
19
Jenis alat penangkap lobster yang digunakan oleh nelayan Indonesia sangat beragam. Sebagai contoh adalah nelayan di Teluk Palabuhanratu, Kabupatem
Sumber :; The lobster fisheries in the north-western Hawaiian island
Gambar 6 Bubu lobster dengan celah pelolosan di Honolulu Hawai USA
Sukabumi, yang mengoperasikan tiga jenis alat penangkap lobster, (Dislutkan, 2008) yaitu dengan menggunakan alat tangkap yang terdiri dari :
1) Bubu lipat dan bubu jodang atau bubu pintur atau bubu krendet (Gambar 9 dan 10), dan
2) Jaring dasar empat persegi panjang dengan bahan jaring monofilament
polyamide (PA). Jaring diberi umpan dan letakan memanjang di atas
permukaan dasar perairan.
Sedangkan yang tanpa alat adalah dengan cara menyelam ke dalam perairan dengan kedalaman 1-7 m untuk mencari rumah lobster kemudian mengambil lobster dengan tangan.
Gambar 8 Bentuk bubu di Cuba (a).Pesquero; (b).Jaulon ; (c). Antillean trap; (d). Bully net
21
Gambar 9 Bubu lipat
23
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian di lapangan telah dilakukan selama 5 (lima) bulan, yaitu dari Bulan Oktober 2011 sampai dengan Februari 2012. Tahapan penelitian meliputi perancangan perangkap, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan penulisan laporan. Seluruh penelitian berlangsung di perairan Teluk Palabuhanratu, tepatnya di Desa Kertajaya Sangra wayang, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi yang terletak pada posisi antara 07o05,23 14 LS dan 106o 30,42 10 BT (Lampiran 17).
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan tahap penelitian. Masing-masing adalah :
1) Perancangan perangkap
Peralatan yang digunakan meliputi alat pemotong (pisau, gunting dan golok), alat pengukur panjang (meteran) dan komputer yang dilengkapi correl
draw software. Adapun jenis bahan yang dipakai berupa jaring polyethylene(PP)
Cara membuat perangkap dimulai dengan membentuk bahan perangkap menjadi persegi panjang berukuran 1 × 1,2 (m). Selanjutnya kedua sisinya dilipat ke arah dalam. Terakhir, kedua ujungnya diikat dengan benang (Gambar 13).
Perangkap dibuat dengan dua fungsi, yaitu berperan sebagai penarik atau atraktor bagi organime atau juvenil lain untuk mencari makan dan berlindung dari ancaman-ancaman seperti ancaman faktor oseanografi dan predator, dan akhirnya berkumpul pada dinding perangkap. Fungsi yang lain adalah perangkap, juvenil akan terjebak pada lipatan-lipatan yang telah disusun ketika dilakukan hauling. Pemilihan juvenil untuk ditangkap dapat dilakukan dengan mudah.
Keterangan :
a) Waring(mesh size5 mm);
b) Kain kaos (mesh size3 mm); c) Kain kasa (mesh size2 mm); dan
d) Karung goni.
Gambar 12 Jenis-jenis bahan perangkap
a b
25
2) Pengumpulan data
Beberapa peralatan yang dipakai untuk pengumpulan data terdiri atas perahu jukung bercadik tanpa mesin berukuran 7 × 0,45 × 0,5 (m), 4 kotak plastik berukuran 80 × 45 × 50 (cm), 4 ember plastik berdiameter 25 cm, 1 bak fiber berukuran 2,5 × 1,2 × 0,5 (m), kain kasa sepanjang 2 m, 1 unit aerator, 1 unit
airpump, 1 sekat pemisah, 1 unit keramba pembesaran, thermometer dan
salinometer. Bahan yang digunakan hanya berupa 81 lembar plastik dan 81 kantung plastik berlabel.
3). Pengolahan data dan penulisan
Alat yang digunakan berupa komputer yang dilengkapi dengan beberapa
software yang mendukung, seperti microsoft office, SPSS 17 dan art view.
Sementara tiga macam bahan yang digunakan adalah data hasil penelitian, kertas dan tinta komputer,
3.3 Perancangan Percobaan
Kegiatan penelitian di laut diawali dengan melakukan survei perairan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui lokasi tempat penelitian dilakukan yang meliputi kedalaman air, daya jangkau, pola dan kecepatan arus, dan jalur lintasan perahu.
1,20 meter
1 meter
Lembaran bahan Lipatan bahan perangkap
Desain penelitian perangkap untuk mencapai tujuan penelitian dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok untuk pengujian jenis bahan pembentuk perangkap dan kelompok untuk pengujian kedalaman peletakan perangkap. Lamanya perendaman dilakukan pada masing-masing kelompok.
1) Desain pengujian kedalaman peletakan perangkap
Pengujian kedalaman peletakan perangkap dimaksudkan untuk melihat keberadaan juvenil spiny lobster yang menurut Lipcius R.N and Eggleston D B, (2000) bahwa dalam siklusnya akan melayang dan terbawa arus di lapisan perairan sebagaineuroplanktonpada kedalaman 1-3m. Oleh karena itu perangkap harus disusun secara vertikal.
Perangkap digantungkan pada tali line yang daikaitkan pada tali frame utamanya yang berbetuk kotak, ukurannya sama seperti halnya pada pengujian jenis bahan yaitu 12m x 6 m. Pada pengujian kedalaman peletakan perangkap, perangkap 1 (P1) diletakkan pada kedalaman 1,5 m, dan selanjutnya masing masing jarak antar perangkap 1,5 m hal ini dilakukan guna melihat keberadaan juvenil paling banyak dan pertimbangan panjang parangkap, sehingga data yang dihasilkan menjadi tidak bias. Jarak perangkap dari permukaan laut adalah sebagai berikut : perangkap 2 (P2) (3 m), perangkap 3 (P3) (4,5 m), perangkap 4 (P4) (6 m), perangkap 5 (P5) (7,5 m), perangkap 6 (P6) (9 m), dan perangkap 7 (P7) (10,5 m). Susunan perangkap dapat dilihat pada Gambar 14.
27
A C
6 m
12 m
Permukaan air laut
Dasar Perairan 45
0
45
0
1 m Pelampung botol A-qua
Pelampung Bola
Tambang PE 8 mm Tambang PE 5 mm
Jangkar
Gambar 14 Ilustrasi susunan perangkap untuk melihat pengaruh kedalaman pemasangan perangkap terhadap hasil tangkapan juvenil spiny lobsterc
2) Desain pengujian jenis bahan pembentuk perangkap
Pengujian jenis bahan dimaksudkan untuk membandingkan jenis bahan waring dari bahan Polyproprofilen dengan ukuran 5mm, kain kaos jaring dari bahan katun dengan ukuran mata jaring 3 mm, kain kasa dari bahan polyetelin dengan ukuran mata jaring 2 mm dan karung goni yang merupakan perwakilan dari bahan alami.
Desain pengujian ini menggunakan metode longline dimana tali utama menggunakan tambang polyetelin berdiameter 8mm dipasang membentuk kotak yang berukuran 12m x 6m dan ditahan dengan empat jangkar, tali ini berfungsi sebagai pengait dari tali penggantung perangkap (tali line) dengan menggunakan tambang berdiameter 5mm dan panjang 6 m. Jarak antara line adalah 1,5 m dan perangkap dari beberapa jenis bahan dipasang pada tali line yang dikaitkan pada tali frame utama yang berada pada kedalaman 1,5 meter dari permukaan jarak antar perangkap 1,5 meter. Ada 8 tali line yang dipasang pada pengujian jenis bahan, empat tali line yang direndam satu hari yaitu pemanenan (hauling) dilakukan setiap hari dan empat tali line yang direndam dua hari yaitu pemanenan dilakukan setiap dua hari sekali. Kedua perlakuan perendaman dilakukan pada waktu bersamaan, adapun desain pengujian dapat dilihat pada Gambar 16.
A
29
Seluruh juvenil lobster hasil tangkapan perangkap dimasukkan kedalam keramba apung yang memiliki ukuran 3m × 3 m dengan kedalaman pemasangan jaring 2,40 m.Posisinya tidak jauh dari lokasi pemasangan perangkap. Keramba apung berfungsi untuk menampung, memelihara dan membesarkan juvenil spiny
lobsterhingga mencapai ukuran juvenil yang dapat diidentifikasi. Keramba apung
dilengkapi jangkar yang besar untuk menahan posisinya agar tidak berpindah akibat gempuran ombak dan arus laut. Pada Gambar 17 ditunjukkan keramba apung yang digunakan untuk menampung juvenilspiny lobster.
3.4 Metoda Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setiap hari setelah perangkap direndam selama 10 hari. Maksud perendaman adalah untuk menumbuhkan alga merah yang berfungsi sebagai atraktan atau penarik juvenil spiny lobster untuk berlindung. Juvenil yang didapatkan dari setiap perangkap dimasukkan kedalam kantung plastik berlabel yang telah diisi air laut. Seluruh juvenil dikelompokkan berdasarkan jenisnya dan dihitung jumlahnya.
Seluruh juvenil hasil tangkapan dibesarkan di bak fiber selama seminggu dan dilanjutkan di keramba pembesaran selama 1-2 bulan. Tujuannya untuk memudahkan mengidentifikasi jenis juvenil lobster. Selama proses pemeliharaan, juvenilspiny lobsterdiberi pakan ikan rucah.
Gambar 17 Desain keramba apung
3 m
3 m
2,4m
3.5 Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan dianalisa dengan menggunakan SPSS 17
software dan beberapa sofware lain, seperi microsoft office dan art view.
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka analisis data dikelompokkan menjadi :
1) Analisis kemampuan perangkap
Kemampuan perangkap berdasarkan perbedaan kedalaman dan jenis bahan dalam menangkap juvenil lobster dapat dilihat dari komposisi hasil tangkapannya. Data hasil tangkapan utama (HTU), yaitu juvenil spiny lobster dihitung dan disajikan secara deskriptif berdasarkan perlakuan lama perendaman satu dan dua hari.
2) Analisis kedalaman peletakan perangkap dan lama perendaman
Data hasil tangkapan utama (HTU) berupa juvenil spiny lobster diolah menggunakan SPSS 17 software dan disajikan dalam bentuk tabel sidik ragam untuk diuji apakah terdapat pengaruh perbedaan kedalaman peletakan perangkap terhadap hasil tangkapan juvenil. Persamaan yang digunakan adalah:
Yijk = + i + j+ ij + ijk
dimana ;
Yijk = Hasil tangkapan juvenil spiny lobster pada perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j;
= Rataan hasil tangkapan;
i = Pengaruh perlakuan kedalaman perangkap ke i;
j = Pengaruh perlakuan perendaman ke-j pada ulangan ke-k; ij = Pengaruh interaksi perlakuan kedalaman ke-idan perendaman
ke-j pada ulangan ke-k; dan
ijk = Sisa dari perlakuan ke-ipada ulangan ke-j.
Hipotesis untuk pengujian pengaruh kedalaman perangkap terhadap hasil tangkapan juvenil adalah:
H0: 1 = 2= 3 = 4= 5= 6 = 7 (Tidak ada pengaruh kedalaman perangkap
terhadap hasil tangkapan juvenilspiny lobster); dan
H1 : Minimal ada 1 nilai tengah tingkat kedalaman yang mempengaruhi hasil
31
Hipotesis pengujian pengaruh lama perendaman perangkap terhadap hasil tangkapan juvenil adalah:
H0 : 1 = 2 (Tidak ada pengaruh lama perendaman perangkap terhadap hasil
tangkapan juvenilspiny lobster); dan
H1: Minimal ada 1 nilai tengah lama perendaman yang mempengaruhi hasil
tangkapan juvenilspiny lobster.
Hipotesis pengujian untuk melihat adanya interaksi antara kedalaman perangkap dengan lama perendaman perangkap terhadap hasil tangkapan juvenil adalah :
H0: 1 = 2(Tidak ada pengaruh interaksi antara tingkat kedalaman dan lama
perendaman perangkap terhadap hasil tangkapan juvenilspiny lobster); dan
H1: Minimal ada 1 nilai tengah interaksi antara tingkat kedalaman dan lama
perendaman perangkap yang mempengaruhi hasil tangkapan juvenilspiny
lobster.
Pengujian dilanjutkan dengan membandingkan antar perlakuan dengan metoda beda nyata jujur (honest signifincance diference) atau yang dikenal dengan metoda Tukey. Analisis ini dilakukan guna menganalisis apa saja yang berbeda nyata diantara perangkap yang diletakan pada setiap kedalaman.
3) Analisis faktor jenis bahan dan lama perendaman
Data hasil tangkapan utama (HTU) juvenil spiny lobster diolah dengan menggunakan SPSS 17 software dan disajikan dengan tabel sidik ragam. Uji dilakukan untuk melihat apakah terdapat pengaruh perbedaan jenis bahan perangkap terhadap hasil tangkapan juvenil. Formula yang digunakan disajikan sebagai berikut:
Yijk = + i + j+ ij + ijk
dimana ;
Yijk = Hasil tangkapan juvenil spiny lobster pada perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j;
= Rataan hasil tangkapan;
i = Pengaruh perlakuan kedalaman perangkap ke i;
j = Pengaruh perlakuan perendaman ke-j pada ulangan ke-k; ij = Pengaruh interaksi perlakuan kedalaman ke-idan perendaman
ke-j pada ulangan ke-k; dan
Hipotesis untuk pengujian pengaruh perbedaan jenis bahan perangkap terhadap hasil tangkapan juvenil adalah:
H0: 1 = 2= 3 = 4 (Tidak ada pengaruh jenis bahan terhadap hasil tangkapan
juvenilspiny lobster); dan
H1: Minimal ada 1 jenis bahan yang mempengaruhi hasil tangkapan juvenil spiny
lobster.
Hipotesis untuk pengujian pengaruh lama perendaman perangkap terhadap hasil tangkapan juvenil adalah:
H0 : 1 = 2 (Tidak ada pengaruh lama perendaman perangkap terhadap hasil
tangkapan juvenilspiny lobster); dan
H1: Minimal ada 1 nilai tengah lama perendaman yang mempengaruhi hasil
tangkapan juvenilspiny lobster.
Hipotesis pengujian untuk menentukan apakah ada interaksi antara kedalaman perangkap dengan lama perendaman perangkap terhadap hasil tangkapan juvenil adalah:
H0: 1 = 2(Tidak ada pengaruh interaksi antara perbedaan jenis bahan dan lama
perendaman perangkap terhadap hasil tangkapan juvenilspiny lobster); dan
H1: Minimal ada 1 nilai tengah interaksi antara perbedaan jenis bahan dan lama
perendaman perangkap yang mempengaruhi hasil tangkapan juvenilspiny
lobster.
Pengujian dilanjutkan dengan analisis beda nilai terkecil (least significance
difference). Tujuannya adalah untuk menganalisis apa saja yang berbeda nyata
33
deAf ghiAjklmBAeAfAj
4.1 Hasil
Berdasarkan data profil pesisir Teluk Palabuhanratu, Desa Kertajaya Sangra wayang merupakan salah satu desa pesisir yang ada di Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi (BLH Kabupaten Sukabumi dan PKSPL-IPB, 2003). Luas desa mencapai 188 ha dengan ketinggian rata-rata 746 m dpl dan berbatasan langsung pantai. Satuan morfologi penyusun pantai di wilyah pesisir desa terdiri atas perbukitan dan daratan. Perbukitan merupakan ciri utama pantai selatan yang memiliki pantai terjal, perbukitan bergelombang, dan kemiringan yang dapat mencapai 40%. Satuan morfologi datarannya berkembang di sekitar muara sungai dengan susunan yang terdiri atas pasir dan kerikil yang berasal dari endapan limpahan banjir.
Kondisi iklim tropis di perairan Desa Kertajaya dipengaruhi oleh musim angin barat yang bertiup dari timur ke barat dan musim angin timur yang bertiup dari barat ke timur. Musim barat bertiup dari bulan Desember sampai Maret, sedangkan musim angin timur berlangsung antara bulan Juni sampai September (BLH Kabupaten Sukabumi dan PKSPL-IPB, 2003). Selama penelitian, kondisi perairan sangat fluktuatif. Antara September- Nopember, ketinggian gelombang kurang dari 1 m, salinitas rata-rata pada kedalaman 11 m sebesar 34 ppt, suhu udara 28-32 0C, dan cuaca cerah. Sementara antara bulan Desember- Februari, ketinggian gelombang laut antara 3-6 m, salinitas rata-rata pada kedalaman 11 m cukup rendah sekitar 32 ppt, suhu udara 27-30 0C, cuaca mendung dan terkadang hujan disertai angin yang cukup kencang. Banyak nelayan dan pembudidaya yang berhenti melakukan aktifitasnya dan beralih profesi menjadi petani di sawah atau di kebun.
Fasilitas yang mendukung kegiatan perikanan tangkap di Desa Kertajaya Sangra wayang, seperti tempat pendaratan ikan (TPI), listrik, jalan yang memadai dan pabrik es belum tersedia. Nelayan terpaksa membawa ikan hasil tangkapan atau mendaratkan langsung hasil tangkapannya ke desa lain untuk dipasarkan.
4.1.1 Total hasil tangkapan
4.1.1.1 Pengujian kedalaman pelatakan perangkap
Komposisi jenis dan jumlah hasil tangkapan yang didapat dari hasil pengujian kedalaman peletakan perangkap dihasilkan juvenil spiny lobster sebanyak 56 ekor (7,84%) dan hasil tangkapan lainnya yang dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu kelompok udang-udangan sebanyak 1.068 ekor atau 81,28% dari total tangkapan, dan kelompok ikan 236 ekor (10,88%) (Gambar 18). Pada Gambar 19 ditunjukan kelompok udang-udangan terdiri atas juvenil
spiny lobster (Panulirus sp) sebanyak 103 ekor (7,84 %),udang merah (tiny red
shrimp) 136 ekor (10,35%), udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) 69 ekor
(5,25%), rebon (Mysis sp) 499 ekor (37,98%), udang batik (Rhynchocinetes sp) 45 ekor (3,42%), udang kenji (Stenopus hispidus) 4 ekor (0,30%) dan kepiting (Portunus sp) 315 ekor (23,97%). Kelompok ikan berupa juvenil kerapu (Epinephelus sp) 42 ekor (3,20%), juvenil belanak (Valamugil seheli) 31 ekor (2,36%), juvenil bloso (Saurida tumbi) 21 ekor (1,60%), ikan hias kepe-kepe
(Chaetodon speculum linaeus) 24 ekor (1,83%), buntal (Porcupinefish) 17 ekor
35
a. Lama perendaman satu hari (24 jam)
Komposisi jumlah tangkapan berdasarkan kelompok tangkapan ditunjukkan pada Gambar 20. Hasil tangkapan perangkap yang direndam selama satu hari terdiri atas juvenilspiny lobster sebanyak 56 ekor (6,15%) dan kelompok udang-udangan sebanyak 753 ekor atau 82,75% dari total tangkapan dan kelompok ikan 101 ekor (11,10%) (Gambar 20). Komposisi jenis dan persentase jumlah
Gambar 18 Komposisi kelompok hasil tangkapan pada pengujian kedalaman peletakan perangkap.
tangkapan dengan perlakuan perbedaan kedalaman peletakan perangkap dengan lama perendaman satu hari pada Gambar 21.
b. Lama perendaman dua hari (48 jam)
Adapun Gambar 22 menguraikan komposisi hasil tangkapan pada perendaman dua hari yang meliputi juvenil spiny lobster sebanyak 47 ekor (11,63% ) dan kelompok udang-udangan 867 ekor (89,60%) dan kelompok ikan 135 ekor (10,40%). Komposisi jenis dan persentase jumlah tangkapan dengan
Gambar 21 Komposisi jenis hasil tangkapan pada percobaan kedalaman peletakan perangkap dengan lama perendaman satu hari. Gambar 20 Komposisi kelompok hasil tangkapan pada percobaan