STUD
DI KASUS
KPH SUK
SE
INS
S DI PT T
KABUMI
TRIASTU
EKOLAH
STITUT P
AMBANG
PROPIN
UTI NUGR
H PASCAS
PERTANIA
BOGOR
2010
G SEMEN
SI JAWA
RAHENI
SARJANA
AN BOGO
N SUKABU
A BARAT
A
OR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kelayakan Ekonomi Kegiatan Pertambangan di Kawasan Hutan Produksi : Studi Kasus di PT Tambang Semen Sukabumi, KPH Sukabumi, Propinsi Jawa Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2010
TRIASTUTI NUGRAHENI. The economic Feasibility of Mining Activity in Production Forest Area : Case Study in PT Tambang Semen Sukabumi, Sukabumi Forest Management Unit, West Java Province. Under direction of SUDARSONO SOEDOMO and M. BUCE SALEH.
Natural resources management, both renewable resources and non-re-newable resources, should be utilized for the greatest prosperity of the people. Potential economic value for every kind of natural resources at the landscapes needs to be known. It is important to give input to decision makers in determining priority management of natural resources. The goals of this research are to know the economic feasibility of mining activities in forest area and to solve optimum extraction from forest and mineral deposit to gain the maximum net present value (NPV). This research uses secondary data that were analyzed quantitatively and qualitatively. This study concludes that NPV from forest using rotation implemented by Sukabumi Forest Management Unit (25 years) is Rp 8.855.679.950,- and the maximum NPV using optimum rotation (obtained at 13th years) is Rp 14.295.059.027,-. NPV from mining of limestones and clays based on existing plan of PT TSS is Rp 75.930.244.504,- and NPV from mining of limestones and clays based on optimum extraction is Rp 73.754.009.851,-. Constraint used in Solver Excel is the capacity of cement factory, utilization rate of the factory, and composition of the raw material requirements for each ton of cement produced.
Mining activities in forest area produce positive and negative impacts, both on physical and social economic aspects, especially to the environment and people in surrounding mining area.
Kawasan Hutan Produksi : Studi Kasus di PT. Tambang Semen Sukabumi, KPH Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh SUDARSONO SOEDOMO dan M. BUCE SALEH
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumberdaya alam (SDA), baik SDA yang dapat pulih maupun SDA yang tidak dapat pulih, harus dilakukan seoptimal mungkin.
Nilai potensi ekonomi masing-masing SDA dalam suatu bentang alam perlu diketahui. Nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Adanya pengusahaan kegiatan penambangan bahan galian kapur/gamping dan lempung di dalam kawasan hutan akan mengakibatkan kegiatan pengusahaan hutan tidak dapat dilakukan untuk beberapa saat. Akibat penundaan kegiatan pengusahaan hutan, pengusaha pertambangan harus menanggung biaya sebesar nilai ekonomi pengusahaan hutan ditambah dengan biaya produksi pengusahaan penambangan bahan galian batu kapur/gamping.
Nilai ekonomi hutan dan batu kapur yang merupakan bagian dari SDA sangat perlu diketahui sehingga akan dapat diketahui apakah pilihan keputusan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan SDA itu memang benar-benar memberikan kesejahteraan masyarakat yang tertinggi. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan ekonomi dari kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan dan untuk menentukan ekstraksi optimal pengusahaan hutan dan pengusahaan pertambangan yang menghasilkan nilai kini penerimaan bersih maksimal.
Penelitian mencakup wilayah kawasan hutan dimana akan dilakukan ke-giatan penambangan batu kapur dan lempung oleh PT Tambang Semen Sukabumi (PT TSS) yang meliputi luas 493,54 Ha, berlokasi di petak 11, 12, 13 dan 27 Bagian Hutan Nyalindung, Kelompok Hutan Cimerang, RPH Cikembar, BKPH Cikawung, KPH Sukabumi. Berdasarkan administrasi pemerintahan, lokasi pe-nelitian terletak di Desa Tanjungsari Kecamatan Jampang Tengah dan Desa Sukamaju Kecamatan Nyalindung Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat.
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diambil dari Buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hasil (RPKH) KP Pinus KPH Sukabumi jangka perusahaan 2004 – 2010, Buku Evaluasi Hasil Kerja, Buku Tarif Upah dan Buku Pengamatan Anggaran KPH Sukabumi, Laporan Produksi Getah, Buku Rencana Kerja Penggunaan Kawasan Hutan PT TSS, Buku Studi Kelayakan PT TSS. Data-data yang dikumpulkan secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi data pertumbuhan potensi kayu per hektar pada tiap kelas umur, data produktivitas getah, data cadangan galian gamping/kapur dan galian lempung, kelompok data pendapatan dan kelompok data biaya.
peneri-kawasan hutan tersebut akan dilakukan kegiatan penambangan oleh PT TSS se-lama 30 tahun, maka KPH Sukabumi baru akan memperoleh penerimaan bersih setelah kegiatan penambangan selesai sebesar Rp 883.520.168,-. Akibat dari ke-hilangan kesempatan selama 30 tahun itu, KPH Sukabumi menderita kerugian se-besar Rp 8.855.679.950,- (9.739.200.118 - 883.520.168). Nilai terakhir tersebut harus digantikan oleh perusahaan pertambangan sebagai akibat hilangnya oppor-tunity cost hutan produksi.
Berdasarkan skenario daur optimal, penerimaan bersih maksimal yang diperoleh adalah sebesar Rp 15.721.259.276,- dengan daur 13 tahun. NPV mak-simal pengusahaan hutan pinus tersebut akan diperoleh KPH Sukabumi apabila kawasan hutan tersebut dikelola untuk saat ini. Namun karena pada saat sekarang kawasan hutan tersebut akan dilakukan kegiatan penambangan batu kapur dan lempung oleh PT TSS, maka KPH Sukabumi baru akan memperoleh penerimaan bersih setelah kegiatan penambangan selesai sebesar Rp 1.426.200.249,-. Akibat-nya, kompensasi yang harus digantikan oleh pengusaha pertambangan sebagai akibat hilangnya opportunity hutan produksi selama 30 tahun karena kegiatan per-tambangan adalah sebesar Rp 14.295.059.027,- (15.721.259.276 - 1.426.200.249). Nilai ekonomi pengusahaan penambangan batu kapur dan lempung berdasarkan kondisi yang ada di PT TSS menghasilkan NPV sebesar Rp 75.930.244.504,-. Sedangkan nilai ekonomi berdasarkan ekstraksi optimal pada penambangan batu kapur dan lempung dengan umur tambang 30 tahun dan jumlah cadangan (stok) batu kapur dan lempung sebesar 148.770.000 metrik ton (MT) menghasilkan NPV sebesar Rp 73.754.009.851,-. Kendala yang digunakan pada solver excell adalah kapasitas pabrik semen, tingkat penggunaan kapasitas pabrik semen dan komposisi kebutuhan bahan baku untuk tiap ton semen.
Kegiatan penambangan batu kapur dan lempung di dalam kawasan hutan yang dilakukan dengan pola penambangan terbuka (open pit mining) akan me-nimbulkan dampak positif maupun dampak negatif terhadap masyarakat dan ling-kungan di sekitar kawasan hutan. Dampak positif berupa peningkatan perekono-mian bagi masyarakat sekitar lokasi penambangan yaitu dengan terbukanya la-pangan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan asli daerah dan memperlancar akses masyarakat karena dibangunnya fasilitas jalan untuk mobili-sasi alat PT TSS. Dampak negatif kegiatan penambangan batu kapur dan lem-pung di dalam kawasan hutan lebih banyak terjadi pada lingkungannya, yaitu : kualitas udara dan kebisingan, kualitas air permukaan, limpasan air, erosi dan se-dimentasi, perubahan bentang alam dan gangguan terhadap flora dan fauna.
Adanya dampak negatif akibat kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tersebut harus menjadi perhatian utama oleh PT TSS dan harus ditindak lanjuti, misalnya dengan melakukan studi analisis mengenai dampak lingkungan sebelum melakukan kegiatan penambangan. Hal ini dimaksudkan agar dapat di-identifikasi perkiraan terjadinya dampak pada setiap tahapan penambangan.
STUD
DI KASUS
KPH SUK
SE
INS
S DI PT T
KABUMI
TRIASTU
EKOLAH
STITUT P
AMBANG
PROPIN
UTI NUGR
H PASCAS
PERTANIA
BOGOR
2010
G SEMEN
SI JAWA
RAHENI
SARJANA
AN BOGO
N SUKABU
A BARAT
A
OR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kelayakan Ekonomi Kegiatan Pertambangan di Kawasan Hutan Produksi : Studi Kasus di PT Tambang Semen Sukabumi, KPH Sukabumi, Propinsi Jawa Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2010
TRIASTUTI NUGRAHENI. The economic Feasibility of Mining Activity in Production Forest Area : Case Study in PT Tambang Semen Sukabumi, Sukabumi Forest Management Unit, West JavaProvince. Under direction of SUDARSONO SOEDOMO and M. BUCE SALEH.
Natural resources management, both renewable resources and non-re-newable resources, should be utilized for the greatest prosperity of the people. Potential economic value for every kind of natural resources at the landscapes needs to be known. It is important to give input to decision makers in determining priority management of natural resources. The goals of this research are to know the economic feasibility of mining activities in forest area and to solve optimum extraction from forest and mineral deposit to gain the maximum net present value (NPV). This research uses secondary data that were analyzed quantitatively and qualitatively. This study concludes that NPV from forest using rotation implemented by Sukabumi Forest Management Unit (25 years) is Rp 8.855.679.950,- and the maximum NPV using optimum rotation (obtained at 13th years) is Rp 14.295.059.027,-. NPV from mining of limestones and clays based on existing plan of PT TSS is Rp 75.930.244.504,- and NPV from mining of limestones and clays based on optimum extraction is Rp 73.754.009.851,-. Constraint used in Solver Excel is the capacity of cement factory, utilization rate of the factory, and composition of the raw material requirements for each ton of cement produced.
Mining activities in forest area produce positive and negative impacts, both on physical and social economic aspects, especially to the environment and people in surrounding mining area.
Kawasan Hutan Produksi : Studi Kasus di PT. Tambang Semen Sukabumi, KPH Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh SUDARSONO SOEDOMO dan M. BUCE SALEH
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumberdaya alam (SDA), baik SDA yang dapat pulih maupun SDA yang tidak dapat pulih, harus dilakukan seoptimal mungkin.
Nilai potensi ekonomi masing-masing SDA dalam suatu bentang alam perlu diketahui. Nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Adanya pengusahaan kegiatan penambangan bahan galian kapur/gamping dan lempung di dalam kawasan hutan akan mengakibatkan kegiatan pengusahaan hutan tidak dapat dilakukan untuk beberapa saat. Akibat penundaan kegiatan pengusahaan hutan, pengusaha pertambangan harus menanggung biaya sebesar nilai ekonomi pengusahaan hutan ditambah dengan biaya produksi pengusahaan penambangan bahan galian batu kapur/gamping.
Nilai ekonomi hutan dan batu kapur yang merupakan bagian dari SDA sangat perlu diketahui sehingga akan dapat diketahui apakah pilihan keputusan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan SDA itu memang benar-benar memberikan kesejahteraan masyarakat yang tertinggi. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan ekonomi dari kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan dan untuk menentukan ekstraksi optimal pengusahaan hutan dan pengusahaan pertambangan yang menghasilkan nilai kini penerimaan bersih maksimal.
Penelitian mencakup wilayah kawasan hutan dimana akan dilakukan ke-giatan penambangan batu kapur dan lempung oleh PT Tambang Semen Sukabumi (PT TSS) yang meliputi luas 493,54 Ha, berlokasi di petak 11, 12, 13 dan 27 Bagian Hutan Nyalindung, Kelompok Hutan Cimerang, RPH Cikembar, BKPH Cikawung, KPH Sukabumi. Berdasarkan administrasi pemerintahan, lokasi pe-nelitian terletak di Desa Tanjungsari Kecamatan Jampang Tengah dan Desa Sukamaju Kecamatan Nyalindung Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat.
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diambil dari Buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hasil (RPKH) KP Pinus KPH Sukabumi jangka perusahaan 2004 – 2010, Buku Evaluasi Hasil Kerja, Buku Tarif Upah dan Buku Pengamatan Anggaran KPH Sukabumi, Laporan Produksi Getah, Buku Rencana Kerja Penggunaan Kawasan Hutan PT TSS, Buku Studi Kelayakan PT TSS. Data-data yang dikumpulkan secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi data pertumbuhan potensi kayu per hektar pada tiap kelas umur, data produktivitas getah, data cadangan galian gamping/kapur dan galian lempung, kelompok data pendapatan dan kelompok data biaya.
peneri-kawasan hutan tersebut akan dilakukan kegiatan penambangan oleh PT TSS se-lama 30 tahun, maka KPH Sukabumi baru akan memperoleh penerimaan bersih setelah kegiatan penambangan selesai sebesar Rp 883.520.168,-. Akibat dari ke-hilangan kesempatan selama 30 tahun itu, KPH Sukabumi menderita kerugian se-besar Rp 8.855.679.950,- (9.739.200.118 - 883.520.168). Nilai terakhir tersebut harus digantikan oleh perusahaan pertambangan sebagai akibat hilangnya oppor-tunity cost hutan produksi.
Berdasarkan skenario daur optimal, penerimaan bersih maksimal yang diperoleh adalah sebesar Rp 15.721.259.276,- dengan daur 13 tahun. NPV mak-simal pengusahaan hutan pinus tersebut akan diperoleh KPH Sukabumi apabila kawasan hutan tersebut dikelola untuk saat ini. Namun karena pada saat sekarang kawasan hutan tersebut akan dilakukan kegiatan penambangan batu kapur dan lempung oleh PT TSS, maka KPH Sukabumi baru akan memperoleh penerimaan bersih setelah kegiatan penambangan selesai sebesar Rp 1.426.200.249,-. Akibat-nya, kompensasi yang harus digantikan oleh pengusaha pertambangan sebagai akibat hilangnya opportunity hutan produksi selama 30 tahun karena kegiatan per-tambangan adalah sebesar Rp 14.295.059.027,- (15.721.259.276 - 1.426.200.249). Nilai ekonomi pengusahaan penambangan batu kapur dan lempung berdasarkan kondisi yang ada di PT TSS menghasilkan NPV sebesar Rp 75.930.244.504,-. Sedangkan nilai ekonomi berdasarkan ekstraksi optimal pada penambangan batu kapur dan lempung dengan umur tambang 30 tahun dan jumlah cadangan (stok) batu kapur dan lempung sebesar 148.770.000 metrik ton (MT) menghasilkan NPV sebesar Rp 73.754.009.851,-. Kendala yang digunakan pada solver excell adalah kapasitas pabrik semen, tingkat penggunaan kapasitas pabrik semen dan komposisi kebutuhan bahan baku untuk tiap ton semen.
Kegiatan penambangan batu kapur dan lempung di dalam kawasan hutan yang dilakukan dengan pola penambangan terbuka (open pit mining) akan me-nimbulkan dampak positif maupun dampak negatif terhadap masyarakat dan ling-kungan di sekitar kawasan hutan. Dampak positif berupa peningkatan perekono-mian bagi masyarakat sekitar lokasi penambangan yaitu dengan terbukanya la-pangan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan asli daerah dan memperlancar akses masyarakat karena dibangunnya fasilitas jalan untuk mobili-sasi alat PT TSS. Dampak negatif kegiatan penambangan batu kapur dan lem-pung di dalam kawasan hutan lebih banyak terjadi pada lingkungannya, yaitu : kualitas udara dan kebisingan, kualitas air permukaan, limpasan air, erosi dan se-dimentasi, perubahan bentang alam dan gangguan terhadap flora dan fauna.
Adanya dampak negatif akibat kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tersebut harus menjadi perhatian utama oleh PT TSS dan harus ditindak lanjuti, misalnya dengan melakukan studi analisis mengenai dampak lingkungan sebelum melakukan kegiatan penambangan. Hal ini dimaksudkan agar dapat di-identifikasi perkiraan terjadinya dampak pada setiap tahapan penambangan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
STUDI KASUS DI PT TAMBANG SEMEN SUKABUMI
KPH SUKABUMI PROPINSI JAWA BARAT
TRIASTUTI NUGRAHENI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Triastuti Nugraheni
NRP : E 151070211
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS, MPPA Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS Ketua Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Hutan
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas se-gala karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Nopember-Desember 2009 ini menitikberatkan pada tema Kelayakan Ekonomi Kegiatan Pertambangan di Kawasan Hutan Produksi : Studi Kasus di PT. Tambang Semen Sukabumi, KPH Sukabumi, Propinsi Jawa Barat.
Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada :
1. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS, MPPA dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS
selaku dosen pembimbing serta Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS selaku dosen penguji.
2. Pimpinan serta staf KPH Sukabumi dan PT Tambang Semen Sukabumi yang
telah membantu selama pengumpulan data.
3. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor khususnya Departemen Manaje-men Hutan yang telah banyak membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. 4. Departemen Kehutanan sebagai sponsor dan pimpinan Direktorat Penggunaan
Kawasan Hutan yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 ini.
5. Kepada teman-teman mahasiswa IPH angkatan 2007, terima kasih atas segala kebersamaan, keceriaan, dan ketulusan persahabatan yang mewarnai derap langkah melintasi masa pendidikan.
6. Orangtua dan saudara-saudaraku, anak-anakku tersayang : Naufal, Tata dan Zakki serta suamiku tercinta, Saslihadi; terima kasih atas segala doa, dorongan semangat, pengorbanan, cinta dan kasih sayang serta pengertiannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2010
Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 10 Mei 1970 sebagai puteri ke-tiga dari lima bersaudara pasangan Alm. H. Harijanto dan Hj. Asfiatin. Pendidi-kan SD-SMP diselesaiPendidi-kan di Pacitan dan SMA diselesaiPendidi-kan di Jombang. Sedang-kan pendidiSedang-kan Sarjana Strata I ditempuh pada Jurusan Manajemen Hutan Fakul-tas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1994. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dipero-leh pada tahun 2007 dan diterima di Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan melalui beasiswa pendidikan dari Departemen Kehutanan. Penulis menikah dengan Saslihadi pada ta-hun 1996 dan dikarunia tiga orang buah hati yaitu Sulthan Naufal Rabbani, Talitha Naura Khairunnisa dan Ghazy Abrar Muzakki.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN v
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian … 5
1.4 Manfaat Penelitian 5
1.5 Kerangka Pemikiran 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 9
2.1 Sumberdaya Alam 9
2.2 Konsep Nilai untuk Sumberdaya Alam 11
2.3 Bahan Galian 11
2.4 Model Ekonomi Sumberdaya Non Renewable 12
2.5 Hutan 14
2.6 Pinus merkusii Jungh, et de Vriese 15
2.7 Daur 15
2.8 Analisis Kelayakan Proyek 17
3 METODOLOGI PENELITIAN 19
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 19
3.2 Metode Penelitian 19
3.2.1 Pengumpulan Data 19
3.2.2 Asumsi Penelitian 20
3.2.3 Analisis Data 20
3.2.3.1 Nilai Ekonomi Pengusahaan Hutan 20
3.2.3.2 Nilai Ekonomi Penambangan Batu Kapur dan
Lempung 22
3.2.3.3 Analisis Finansial Pengusahaan Hutan dan
Penambangan Batu Kapur dan Lempung. 23
3.2.3.4 Menduga Ekstraksi Optimal 25
3.2.3.5 Analisis Resiko 26
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 29
4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 29
4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 29
4,1.2 Kependudukan dan Tenagakerja 29
4.1.3 KPH Sukabumi 30
ii
4.2 Nilai Ekonomi Pengusahaan Hutan Kelas Perusahaan Pinus
Berdasarkan Daur Yang Berlaku di KPH Sukabumi 35
4.2.1 Penaksiran Produksi Kayu 35
4.2.2 Penaksiran Produksi Getah 36
4.2.3 Pendapatan Pengusahaan Hutan Kelas Perusahaan
Pinus 37
4.2.4 Biaya Produksi Pengusahaan Hutan Kelas Perusahaan
Pinus 37
4.2.5 Perhitungan Analisis Finansial 39
4.3 Nilai Ekonomi Pengusahaan Hutan Kelas Perusahaan
Pinus Berdasarkan Daur Optimal 40
4.3.1 Menduga Persamaan Pertumbuhan 40
4.3.2 Menduga Daur Optimal 45
4.3 Nilai Ekonomi Penambangan Batu Kapur dan Lempung Kondisi
Saat Ini di PT Tambang Semen Sukabumi 47
4.4.1 Penaksiran Cadangan Batu Kapur dan Lempung 47
4.4.2 Pendapatan Kegiatan Penambangan Batu Kapur
dan Lempung 47
4.4.3 Biaya Kegiatan Penambangan Batu Kapur dan
Lempung 48
4.4.4 Perhitungan Analisis Finansial 48
4.5 Nilai Ekonomi Penambangan Batu Kapur dan Lempung
Berdasarkan Ekstraksi Optimal 49
4.6 Analisis Resiko 50
5 SIMPULAN DAN SARAN 55
5.1 Simpulan 55
5.2 Saran 56
DAFTAR PUSTAKA 57
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi penduduk di lokasi penelitian 29
2 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian 30
3 Rincian kelas perusahaan hutan di KPH Sukabumi 32
4 Luas penambangan dan deposit batu kapur dan lempung 33
5 Penaksiran produksi getah di KPH Sukabumi 36
6 Volume rata-rata hasil penjarangan dan tebangan akhir 37
7 Rekapitulasi Biaya Pengusahaan KP Pinus 38
8 Perhitungan volume pohon pinus dengan menggunakan Tabel
Volume Lokal 40
9 Perhitungan volume pohon pinus dengan menggunakan Tabel
Tegakan Normal Jenis Pinus Merkusii (Puslitbang Kehutanan, 1975) 42 10 Cadangan Batu Kapur dan Lempung di lokasi yang dipinjam pakai
PT TSS 47
11 Rincian biaya kegiatan penambangan batu kapur dan lempung oleh
PT TSS 48
12 Tingkat penggunaan kapasitas pabrik semen dan kebutuhan bahan
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram alir kerangka pemikiran 7
2 Grafik hubungan umur dan volume berdasarkan tabel volume lokal 41
3 Kurva hubungan volume dan umur tegakan pinus berdasarkan tabel
tegakan normal jenis Pinus merkusii 43
4 Kurva hubungan ln volume dan ln umur tegakan pinus 43
5. Kurva hubungan umur dan volume tegakan pinus berdasarkan
persamaan (2) 44
6 Kurva hubungan antara tambahan volume/V’(T) dengan umur
berdasarkan persamaan (5) 44
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta Lokasi Penelitian 59
2 Luas dan kondisi tegakan yang dipinjam pakai oleh PT Tambang Semen
Sukabumi di RPH Cikembar, BKPH Cikawung, KPH Sukabumi 60
3 Analisis Finansial Pengusahaan Hutan Kelas Perusahaan Pinus pada areal yang dipinjam pakai PT Tambang Semen Sukabumi di KPH
Sukabumi 62
4 Analisis Regresi Persamaan Pertumbuhan Tegakan Pinus 67
5 Perhitungan volume/V(T) dan tambahan volume/V’(T) 68
6 Perhitungan daur optimal pengusahaan tegakan pinus 70
7 Analisis finansial kegiatan penambangan batu kapur dan lempung oleh
PT Tambang Semen Sukabumi di KPH Sukabumi 72
8 Perhitungan daur optimal penambangan batu kapur dan lempung oleh
PT Tambang Semen Sukabumi 76
9 Solver untuk perhitungan ekstraksi optimal penambangan batu kapur dan
1.1. Latar Belakang
Sumberdaya alam (SDA) terdiri atas SDA yang dapat diperbaharui (rene-wable resources) dan SDA yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). SDA yang dapat diperbaharui mempunyai sifat terus menerus ada dan dapat diper-baharui baik oleh alam sendiri maupun dengan bantuan manusia seperti sumberdaya hutan, air dan lainnya. Terjadinya SDA yang tidak dapat diperbaharui atau diolah kembali memerlukan waktu ribuan tahun, seperti mineral, batubara, minyak bumi dan lainnya.
Dalam pengelolaan dan penentuan peruntukan SDA, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu efesiensi dan efektifitas pemanfaatan yang optimal sesuai daya dukung lingkungan, tidak mengurangi potensi dan kelestarian sumberdaya lain yang berkaitan dengan suatu ekosistem, memberikan kemungkinan alternatif peman-faatan di masa depan sehingga ekosistem tidak dirombak secara drastis. Hal ini pen-ting, sebab SDA memiliki kemampuan untuk dipergunakan sesuai kapasitas daya dukungnya sehingga pemanfaatannya perlu dilakukan secara bijaksana agar mem-berikan manfaat yang sebesar-besarnya secara seimbang dan berkelanjutan bagi ke-makmuran rakyat, baik manfaat lingkungan, sosial maupun ekonomi.
Hutan, bahan mineral dan bahan tambang sebagai bagian dari sumberdaya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir, sumberdaya hu-tan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, dengan mem-berikan dampak yang positif bagi peningkatan penerimaan pemerintah, penye-rapan tenaga kerja, mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan eko-nomi. Kontribusi sub sektor kehutanan (kehutanan termasuk salah satu sub sektor perekonomian di dalam sektor pertanian) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2003 tercatat sebesar 18 triliun dan pada tahun 2007 mengalami pe-ningkatan menjadi sebesar 35 triliun (BPS, 2008). Rata-rata kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDB kurang dari 2%.
sektor minyak dan gas bumi, sub sektor pertambangan bukan migas, dan sub sektor penggalian, memberikan sumbangan sebesar 167 triliun rupiah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sumbangan ini mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2007 sektor pertambangan dan penggalian memberikan sumbangan sebesar 440 triliun rupiah (Badan Pusat Statistik, 2008). Sub sektor penggalian memberikan sumbangan 19 triliun rupiah pada tahun 2003 dan meningkat pada tahun 2007 menjadi sebesar 46 triliun rupiah terhadap PDB. Rata-rata kontribusi sub sektor penggalian terhadap PDB kurang dari 3%.
Kontribusi yang diberikan oleh kedua SDA tersebut terhadap perekono-mian di Indonesia cukup besar, oleh karena itu pengelolaan hutan dan bahan tam-bang harus senantiasa berjalan beriringan. Namun kenyataannya, sering terjadi tumpang tindih kepentingan antar sektor terutama apabila bahan tambang tersebut berada di dalam kawasan hutan.
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan ekonomi dari kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan dan untuk menentukan ekstraksi optimal pengusahaan hutan dan pengusahaan pertambangan yang menghasilkan nilai kini penerimaan bersih maksimal sehingga diharapkan dengan mengetahui nilai ekonomi dari kedua SDA tersebut dapat di-ketahui apakah pilihan keputusan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan SDA itu memang benar-benar memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah
Paradigma baru sektor kehutanan memandang hutan sebagai sistem sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi kepentingan serta pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemak-muran rakyat. Paradigma ini makin menyadarkan kita bahwa keberadaan hutan dengan berbagai fungsi yang dapat diberikannya sangat penting dalam menjaga dan mempertahankan kehidupan di muka bumi.
Smith dalam Siahaan (2007) menyatakan bahwa terdapat 7 faktor yang menjadi sumber tekanan perusakan hutan, yaitu :
2. Pertambangan, baik dilakukan oleh penambang kecil dengan teknologi tradi-sional maupun oleh penambang besar dengan teknologi canggih
3. Transmigrasi, termasuk juga pemukiman kembali penduduk lokal perambah hutan sekaligus dengan pencetakan areal pertanian menetap
4. Perkebunan dan hutan tanaman industri (timber estate) 5. Perladangan berpindah
6. Eksploitasi hutan non kayu
7. Berbagai proyek pembangunan infrastruktur besar yang kebanyakan dibiayai oleh Bank Dunia, termasuk juga sektor pariwisata
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa salah satu penyumbang kerusakan hutan di Indonesia adalah pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai keperluan pembangunan, contohnya adalah pembukaan hutan untuk ke-giatan pertambangan. Namun di sisi lain bahwa pengusahaan pertambangan me-miliki peran yang strategis dan kontribusi yang besar terhadap perekonomian ne-gara. Sebab dengan adanya pengusahaan pertambangan di kawasan hutan akan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar hutan, pembangunan infra-stuktur berupa jalan yang dapat membuka akses bagi masyarakat di sekitar hutan, dan memberikan kontribusi berupa devisa bagi negara. Kondisi ini menjadi di-lema bagi pemerintah karena kebijakan di sektor kehutanan seringkali tidak men-dukung kebijakan di sektor pertambangan. Misalnya : adanya larangan melaku-kan penambangan dengan pola pertambangan terbuka di hutan lindung (Pasal 38 UU No. 41 Tahun 1999).
masyara-kat. Kontribusi tidak langsung berupa pembangunan infrastruktur lebih banyak dilakukan di pusat pemerintahan daripada desa/kelurahan yang berada di sekitar lokasi tambang. Akibat kurang berpihak pada masyarakat, sering kali muncul ke-cemburuan dari masyarakat di sekitar lokasi pertambangan yang ditandai dengan munculnya berbagai konflik antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan. Selain itu, wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah hutan dan wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Hal ini mengaki-batkan kelompok masyarakat akan terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidu-pannya baik akibat tanah yang dirampas maupun akibat tercemar oleh rusaknya lingkungan atau limbah operasi penambangan.
Potensi nilai ekonomi beberapa SDA yang terdapat pada satu bentang alam perlu diketahui. Nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Dengan mengetahui nilai ekonomi batu kapur dan nilai ekonomi hutan akan memberi masukan dalam menentukan prioritas peman-faatannya sehingga akan mencegah terjadinya tumpang tindih kepentingan antar sektor.
Adanya pengusahaan bahan galian kapur di dalam kawasan hutan akan mengakibatkan kegiatan pengusahaan hutan tidak dapat dilakukan untuk beberapa saat. Akibat penundaan kegiatan pengusahaan hutan, pengusaha pertambangan harus menanggung biaya sebesar nilai ekonomi pengusahaan hutan di tambah dengan biaya produksi pengusahaan penambangan bahan galian batu kapur.
Menurut Suparmoko (2008), pengambilan SDA secara optimal harus mempertimbangkan sifat dari kedua SDA tersebut. Untuk SDA yang tidak dapat diperbaharui, jumlah SDA tersebut terbatas dan bersifat tak dapat dihasilkan kem-bali dalam waktu singkat. Hal ini berarti bahwa pengambilan dan pengkonsum-sian SDA saat ini akan berakibat pada tidak tersedianya barang tersebut di kemu-dian hari. Atau dengan kata lain akan ada biaya alternatif (opportuniy cost disebut juga manfaat sosial bersih/rent/nilai bersih/user cost/royalty), yang berupa hilang-nya nilai SDA yang dapat diperoleh pada masa yang akan datang. Biaya alternatif ini harus diperhitungkan dalam menentukan bagaimana mengalokasikan SDA yang tidak dapat diperbaharui tersebut sepanjang waktu. Sedangkan pengambilan secara optimal bagi SDA yang dapat diperbaharui seyogyanya didasarkan pada konsep steady state yaitu pengambilan SDA yang optimal dengan mengindahkan pemeliharaan cadangan.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini terdapat per-masalahan dalam pengusahaan pertambangan di dalam kawasan hutan, yaitu : 1. Bagaimana kelayakan ekonomi pengusahaan pertambangan di kawasan hutan ? 2. Berapa ekstraksi optimal yang menghasilkan nilai kini penerimaan bersih
maksimal masing-masing untuk pengusahaan hutan dan pertambangan ? 1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengestimasi kelayakan ekonomi pengusahaan pertambangan di dalam kawa-san hutan
2. Menentukan jumlah ekstraksi optimal yang akan menghasilkan nilai kini nerimaan bersih maksimal masing-masing untuk pengusahaan hutan dan pe-ngusahaan pertambangan.
1.4. Manfaat Penelitian
1.5. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumberdaya alam, baik SDA yang dapat pulih maupun SDA yang tidak dapat pulih, harus dilakukan seoptimal mungkin.
Hutan dan batu kapur yang merupakan bagian dari SDA, sangat perlu untuk diketahui nilai ekonominya sehingga akan dapat diketahui apakah pilihan keputusan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan SDA itu memang benar-benar memberikan nilai bagi kesejahteraan. Terdapat tiga kriteria untuk menge-tahui kelayakan suatu kegiatan yaitu NPV, BCR dan IRR. Kriteria yang paling mendekati untuk mengetahui besarnya nilai kesejahteraan yang diterima ma-syarakat adalah pendapatan bersih atau NPV.
SDA yang dapat diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperbaharui mempunyai perbedaan dalam ekstraksinya. Oleh karena itu, perlu untuk menge-tahui ekstraksi optimal yang akan menghasilkan NPV maksimal baik untuk kegiatan pengusahaan hutan (renewable resources) maupun kegiatan pengusahaan pertambangan batu kapur dan lempung (non renewable resources).
N
Gambar 1. Diagram alir kerangka penelitian Sumber Daya Alam
Ekstraksi Optimal, NPV maksimal Identifikasi Pendapatan dan Biaya
Kelayakan Ekonomi Kawasan Hutan
Nilai Ekonomi
Hutan
Nilai Ekonomi Bahan Tambang
Penentuan Prioritas Pengelolaan SDA
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sumberdaya Alam
Menurut Rees (1990) dalam Fauzi (2006), sesuatu untuk dapat dikatakan
sebagai sumberdaya harus : 1) ada pengetahuan, teknologi atau ketrampilan untuk
memanfaatkannya dan 2) harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya
tersebut. Dengan kata lain definisi sumberdaya alam (SDA) terkait dengan
kegunaan (usefulness), baik untuk masa kini maupun mendatang bagi umat
manusia.
Owen (1980) dalam Ramdan et al. (2003) mendefinisikan SDA sebagai
bagian dari lingkungan alam (tanah, air, padang penggembalaan, hutan, kehidupan
liar, mineral atau populasi manusia) yang dapat digunakan manusia untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Secara umum SDA dapat diklasifikasikan
ke dalam 2 kelompok, yaitu :
1) Kelompok Stok ; sumberdaya ini dianggap memiliki cadangan yang terbatas,
sehingga eksploitasinya terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan
cadangan sumberdaya, sumberdaya stok dikatakan tidak dapat diperbaharui
(non renewable) atau terhabiskan (exhaustible)
2) Kelompok flows (alur) ; jumlah dan kualitas fisik dari sumberdaya ini berubah
sepanjang waktu. Berapa jumlah yang kita manfaatkan sekarang, dapat
mem-pengaruhi atau dapat juga tidak memmem-pengaruhi ketersediaan sumberdaya di
masa mendatang. Sumberdaya ini dikatakan dapat diperbaharui (renewable)
dimana regenerasinya ada yang tergantung pada proses biologi dan ada yang
tidak.
Pengukuran ketersediaan SDA dapat digunakan beberapa konsep, yaitu
(Rees 1990 dalam Fauzi 2006) :
1) Kelompok sumberdaya stok
a. Sumberdaya hipotetikal, adalah konsep pengukuran deposit yang belum
diketahui namun diharapkan ditemukan pada masa mendatang berdasarkan
b. Sumberdaya spekulatif, konsep pengukuran ini digunakan untuk mengukur
deposit yang mungkin ditemukan pada daerah yang sedikit atau belum
dieksplorasi dimana kondisi geologi memungkinkan ditemukannya deposit
c. Cadangan kondisional (conditional reserve), adalah deposit yang sudah
diketahui atau ditemukan namun dengan kondisi harga output dan
teknologi yang ada saat ini belum dimanfaatkan secara ekonomis
d. Cadangan terbukti (proven resource), adalah sumberdaya alam yang sudah
diketahui dan secara ekonomis dapat dimanfaatkan dengan teknologi,
harga dan permintaan yang ada saat ini.
2) Kelompok sumberdaya flow
a. Potensi maksimun sumberdaya, didasarkan pada pemahaman untuk
mengetahui potensi atau kapasitas sumberdaya guna menghasilkan barang
dan jasa dalam jangka waktu tertentu
b. Kapasitas lestari, adalah konsep pengukuran keberlanjutan dimana
keter-sediaan sumberdaya diukur berdasarkan kemampuannya untuk
menye-diakan kebutuhan bagi generasi kini dan juga generasi mendatang
c. Kapasitas penyerapan, adalah kemampuan SDA dapat pulih (misalnya air,
udara) untuk menyerap limbah akibat aktivitas manusia
d. Kapasitas daya dukung, didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan
me-miliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan
organisme
Ekstraksi SDA merupakan proses pengambilan keputusan yang bersifat
intertemporal. Hal ini disebabkan karena SDA (renewable dan non renewable) adalah asset atau kapital yang pemanfaatannya tidak hanya ditentukan oleh
produktivitas kapital itu sendiri, namun juga menyangkut ketersediaan (supply)
untuk konsumsi di masa mendatang serta adanya resiko dan ketidakpastian dari
ekstraksi SDA. Keputusan intertemporal dari sisi produsen menyangkut biaya
oportunitas dari kapital sedangkan dari sisi konsumen menyangkut preferensi
waktu.
Salah satu kunci dari penentuan pengambilan keputusan yang bersifat
intertemporal tersebut adalah melalui proses discounting dengan penentuan
masyarakat berperilaku terhadap ekstraksi SDA dan bagaimana mereka menilai
SDA itu sendiri (Hanley and Spash 1995 dalam Fauzi 2006).
2.2. Konsep Nilai untuk Sumberdaya Alam
Pengertian nilai atau (value), khususnya yang menyangkut barang dan jasa
yang dihasilkan oleh SDA dan lingkungannya, memang bisa berbeda jika
dipan-dang dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan
bisa dijadikan persepsi bersama berbagai disiplin ilmu tersbut adalah pemberian
price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan SDA dan lingkungan. Dengan demikian digunakan apa yang disebut nilai ekonomi SDA.
Menurut Fauzi (2006), nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran
jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk
mempe-roleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan
mem-bayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan
oleh SDA dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis
ekosistem bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai
moneter barang dan jasa. Sebagai contoh, jika ekosistem pantai mengalami
keru-sakan akibat polusi, nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari
keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya
atau mendekati aslinya. Keinginan membayar juga dapat diukur dalam bentuk
kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang berada dalam posisi
indiffe-rent terhadap perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini bisa terjadi ka-rena perubahan harga (misalnya akibat SDA makin langka) atau kaka-rena
peruba-han kualitas SDA.
2.3. Bahan Galian
Menurut Soedarmo dan Hadiyan (1981) yang dimaksud bahan galian
adalah semua endapan-endapan alam yang berupa unsur-unsur kimia, mineral
bijih dan segala macam batu-batuan termasuk batu-batu mulia. Terbentuknya
endapan bahan galian memerlukan proses dan waktu yang lama, ratusan dan
bahkan jutaan tahun akibat proses geologi, differensiasi magma pada waktu
menerobos lapisan kulit bumi, poses vulkanisme, pelapukan dan erosi,
Dalam penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB) yang dilakukan oleh
BPS, sektor pertambangan dan penggalian merupakan salah satu dari 9 sektor
usaha dalam perekonomian di Indonesia. Menurut BPS (2009b), pertambangan
adalah suatu kegiatan yang meliputi pengambilan dan persiapan untuk pengolahan
lanjutan dari benda padat, benda cair, dan gas. Pertambangan dapat dilakukan di
atas permukaan bumi (tambang terbuka) maupun di bawah tanah (tambang dalam)
termasuk penggalian, pengerukan, dan penyedotan dengan tujuan mengambil
benda padat, cair atau gas yang ada di dalamnya. Hasil kegiatan ini antara lain,
minyak dan gas bumi, batubara, pasir besi, bijih timah, bijih nikel, bijih bauksit,
bijih tembaga, bijih emas dan perak, dan bijih mangan.
Penggalian adalah suatu kegiatan yang meliputi pengambilan segala jenis
barang galian. Barang galian adalah unsur kimia, mineral dan segala macam
batuan yang merupakan endapan alam (tidak termasuk logam, batubara, minyak
bumi dan bahan radio aktif). Bahan galian ini biasanya digunakan sebagai bahan
baku atau bahan penolong sektor industri maupun konstruksi. Hasil kegiatan
penggalian antara lain, batu gunung, batu kali, batu kapur, koral, kerikil, batu
marmer, pasir, pasir silika, pasir kuarsa, kaolin, tanah liat, dan lain-lain.
Batu kapur (gamping) dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara
organik, secara mekanik, atau secara kimia. Sebagian besar batu kapur yang
terdapat di alam terjadi secara organik, jenis ini berasal dari pengendapan
cangkang/rumah kerang dan siput, foraminifera atau ganggang, atau berasal dari
kerangka binatang koral/kerang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu muda,
abu tua, coklat bahkan hitam, tergantung keberadaan mineral pengotornya.
Penggunaan batu kapur sudah beragam diantaranya untuk bahan kaptan, bahan
campuran bangunan, industri karet dan ban, kertas, dan lain-lain.
Potensi batu kapur di Indonesia sangat besar dan tersebar hampir merata di
seluruh kepulauan Indonesia. Sebagian besar cadangan batu kapur Indonesia
terdapat di Sumatera Barat (Departemen ESDM 2005).
2.4. Model Ekonomi Sumberdaya Non Renewable
Sumberdaya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut sebagai
sumberdaya terhabiskan adalah sumberdaya alam yang tidak memiliki
geologi yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan sebagai
sumberdaya alam yang siap diolah atau siap pakai. Jika diambil (eksploitasi)
sebagian, maka jumlah yang tinggal tidak akan pulih kembali seperti semula.
Salah satu yang termasuk dalam golongan sumberdaya tidak dapat
terbarukan adalah batu kapur untuk bahan baku semen. Batu kapur memerlukan
waktu ribuan bahkan jutaan tahun untuk terbentuk karena ketidakmampuan
sumberdaya tersebut untuk melakukan regenerasi. Sumberdaya ini sering kita
sebut juga sebagai sumberdaya yang mempunyai stok yang tetap.
Sifat-sifat tersebut menyebabkan masalah eksploitasi sumberdaya alam
tidak terbarukan (non renewable) berbeda dengan ekstrasi sumberdaya terbarukan
(renewable). Pengusaha pertambangan, harus memutuskan kombinasi yang tepat
dari berbagai faktor produksi untuk menentukan produksi yang optimal, dan juga
seberapa cepat stok harus diekstraksi dengan kendala stok yang terbatas.
Teori ekonomi sumber daya alam tidak terbarukan pertama kali
diperke-nalkan oleh Hotelling (1931). Levhari dan Liviatan (1977) melakukan kajian
apa-kah ekstraksi sumber daya alam akan dilakukan hingga benar-benar terkuras habis
atau tidak. Masalah utama dari problem pemanfaatan sumber daya alam yang
ti-dak dapat diperbaharui adalah menentukan ekstraksi optimal.
Dasar dari teori ekstraksi sumberdaya tidak terbarukan secara optimal
ada-lah model Hotelling yang dikembangkan oleh Harold Hotelling pada tahun 1931.
Problem dasar Hotelling dapat dimodifikasi lebih lanjut ke berbagai arah, seperti
menambah efek kumulatif pada biaya (Levhari dan Liviatan 1977; Livernois dan
Martin 2001), harga komoditas sumber daya yang stokastik (Pindyck 1981),
keti-dakpastian cadangan dan biaya (Hoel 1978) dan perubahan aspek lainnya.
Hukum Hotelling mengatakan bahwa ekstraksi sumberdaya tidak
terbarukan yang efisien dan optimal mengharuskan manfaat bersih dari
sumberdaya harus tumbuh secara proporsional sesuai dengan tingkat suku bunga.
Jika suka bunga adalah 15 %, maka berdasarkan hukum Hotelling ekstraksi yang
efesien dan optimal mengharuskan manfaat dan dari sumberdaya harus tumbuh
secara proporsional sebesar 15 % setiap tahun (Fauzi 2006; Sahat 2006 dalam
Agar pemilik sumberdaya indifferent antara mengekstrasi kini dan masa
mendatang, manfaat yang diperoleh kini (capital gain) harus sama dengan
discount rate. Penentuan kapan ekstraksi dilakukan dengan optimal tergantung opportunity, yang dicerminkan oleh tingkat suku bunga bank. Penghargaan
terhadap pentingnya keberadaan sumberdaya tak pulih berbanding terbalik dengan
besaran suku bunga.
2.5. Hutan
Hutan merupakan sumberdaya terbarukan yang sangat penting bagi
kehidupan manusia. Hutan tidak saja memberikan manfaat pada saat ditebang
(manfaat eksploitasi), namun juga banyak memberikan manfaat tatkala
sumber-daya ini dibiarkan (manfaat konservasi).
Pengelolaan sumberdaya hutan memiliki perbedaan dengan sumberdaya
terbarukan lainnya, yaitu (Fauzi 2006) :
1. Sumberdaya hutan kebanyakan tidak bersifat common property resource.
Hampir sebagian besar hutan di Indonesia dikuasai oleh pemerintah dan hak
pengelolaan hutan diberikan kepada individu atau swasta melalui mekanisme
perizinan. Namun pada kenyataannya di lapangan, hutan bersifat common
property resource, misalnya kawasan hutan yang terkena kebijakan mora-torium kegiatan penebangan saat ini dimanfaatkan oleh penduduk sekitarnya.
2. Skala waktu (time scale). Hutan memiliki skala waktu pertumbuhan yang
sa-ngat panjang, mulai saat ditanam sampai ditebang.
3. Lahan dimana hutan tumbuh memiliki nilai pilihan (option value).
4. Harga per unit diharapkan meningkat tergantung umur pohon dan volume
kayu
5. Adanya konflik pemanfaatan (multiple use resource conflict), misalnya antara
pemanfaatan hutan untuk komersial dan rekreasi
Arief (2001) menjelaskan hasil-hasil hutan dibedakan berdasarkan sifat
tangible dan intagible. Sifat-sifat intagible terdiri atas hasil yang berkaitan dengan sistem alami misalnya hidrologi dan wisata alam. Sedangkan sifat-sifat tangible
berupa hasil hutan berupa kayu. Salim (1997) menggolongkan manfaat hutan ke
manfaat yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat yaitu masyarakat
dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, antara lain kayu yang
merupakan hasil utama hutan, serta berbagai hasil hutan ikutan seperti rotan,
getah, buah-buahan, madu dan lain-lain.
2.6. Pinus merkusii Jungh, et de Vriese
Hutan pinus di Indonesia termasuk hutan yang potensial terutama di Jawa
dan Sumatera. Peran dan manfaatnya semakin meningkat setelah ditetapkan
sebagai salah satu jenis tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI). Pengusahaan
hutan pinus di Jawa (oleh PT Perhutani) merupakan andalan kedua setelah jati.
Kelebihan jenis tanaman pinus adalah dapat menghasilkan produk ganda yaitu
kayu dan getah (Kasmudjo 1997).
Soediono (1983) menyatakan bahwa hutan Pinus merkusii Jungh, et de
Vriese mempunyai potensi yang cukup besar dalam menunjang pembangunan,
berkat kemampuannya yang majemuk sebagai sumberdaya yang menguntungkan.
Sifat-sifat yang menguntungkan dari kayu pinus seperti mudah dikerjakan,
mempunyai penampilan yang menarik dan mudah diawetkan, dapat digunakan
untuk berbagai keperluan seperti korek api, chopstick, kayu konstruksi, kayu lapis
dan sebagainya. Disamping itu, kayu pinus mempunyai sifat yang kurang
menguntungkan, antara lain : mengandung mata kayu, batang kebanyakan
bengkok, keawetan rendah (kelas awet IV), mudah mengalami pewarnaan (blue
stain dan mold), kadar air segar yang tinggi (sampai di atas 100%).
Getah pinus diambil dari pohon melalui proses penyadapan. Menurut
Soediono (1983), getah dapat disadap pada umur 7 tahun dengan hasil 0,5 ton per
tahun dengan cara penyadapan quarre dan penyadapan berhenti pada saat
penebangan tiba. Sedangkan menurut Tedja (1997) penyadapan dilakukan apabila
telah mencapai umur 11 – 30 tahun atau kelas umur (KU) III – KU VI.
2.7. Daur
Daur adalah jangka waktu antara penanaman dan penebangan atau antara
penanaman dan penanaman berikutnya di tempat yang sama, yang ditentukan oleh
jenis, hasil yang diinginkan, nilai tanah dan suku bunga usaha yang tersedia.
tidak seumur istilah yang memiliki arti yang sama adalah siklus tebang (cutting
cycle).
Istilah daur berkaitan erat dengan adanya konsep hutan normal. Secara
ideal, hutan normal akan terdiri atas kelompok tegakan dari semua umur yang
mempunyai potensi sama, mulai dari umur satu tahun sampai akhir daur. Oleh
karena itu, menentukan panjang daur merupakan salah satu faktor kunci dalam
pengelolaan hutan seumur sesuai dengan definisinya. Masalah penentuan panjang
daur sangat berkaitan erat dengan cara menentukan waktu yang diperlukan oleh
suatu jenis tegakan untuk mencapai kondisi masak tebang atau siap panen.
La-manya waktu tersebut tergantung pada sifat pertumbuhan, jenis yang diusahakan,
tujuan pengelolaan dan pertimbangan ekonomi. Dari sinilah lahir beberapa macam
atau cara dalam menentukan panjang daur (Departemen Kehutanan 1992).
Menurut Osmaton (1968), lamanya daur tergantung pada interaksi
bebe-rapa faktor, yaitu :
a. Tingkat kecepatan pertumbuhan tegakan, yang tergantung pada jenis pohon,
lokasi tempat tumbuh serta intensitas penjarangan.
b. Karakteristik jenis atau spesies tanaman, dimana harus diperhatikan umur
maksimal secara alami, umur menghasilkan benih, umur kecepatan tumbuh
terbaik dan umur kualitas terbaik.
c. Pertimbangan ekonomi, dimana harus memperhitungkan ukuran yang dapat
dipasarkan dan harga terbaik yang dapat diperoleh.
d. Respon tanah terhadap penggunaan yang berulang-ulang, hal ini erat
hubu-ngannya dengan batuan induk, pelapukan tanah dan alelopathy
Hiley (1956) dalam Gunawan (2002) menyatakan bahwa ada beberapa
macam daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan sifat tegakan sesuai dengan
tu-juan pengelolaan hutan yang bersangkutan, yaitu :
1. Daur silvikultur, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan saat
tega-kan dapat tumbuh mempertahantega-kan kualitasnya atau mengadatega-kan permudaan
dan reproduksi
2. Daur teknis, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan dimana tegakan
telah mencapai ukuran yang sudah ditetapkan untuk keperluan produk yang
3. Daur pendapatan tertinggi (daur produksi maksimal), yaitu daur yang
dite-tapkan berdasarkan keadaan dimana tegakan dapat menghasilkan pendapatan
atau volume tertinggi per satuan luas per tahun tanpa memperhitungkan
jum-lah modal untuk mendapatkannya. Daur ini dapat ditentukan dengan melihat
perpotongan kurva riap CAI dan kurva riap MAI dari jenis yang bersangkutan
4. Daur finansial, yaitu daur yang ditujukan untuk menghasilkan keuntungan
atau nilai finansial terbesar. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua
sudut pandang yang berbeda, yaitu nilai harapan lahan dan dari hasil finansial.
a. Nilai harapan tanah adalah nilai yang didasarkan pada pendapatan bersih
yang dapat diperoleh dari suatu lahan, dihitung pada tingkat suku bunga
tertentu. Pendekatan yang terkenal dikemukakan oleh Martin Faustman,
pada tahun 1849.
b. Hasil finansial, pendekatan ini menggunakan kriteria-kriteria investasi,
yaitu NPV, IRR dan BCR yang dihitung dari biaya-biaya yang dikeluarkan
dan pendapatan yang diperoleh sampai tegakan tersebut ditebang habis
(umur daur).
Besar kecilnya nilai harapan lahan dan hasil finansial tersebut akan
menentu-kan keputusan yang amenentu-kan diambil dalam penentuan daur finansialnya.
2.8. Analisis Kelayakan Proyek
Pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis manfaat dan biaya suatu
proyek terdiri dari dua macam tergantung pada pihak yang berkepentingan
langsung dalam proyek, yaitu analisis ekonomi dan analisis finansial. Menurut
Djamin (1984), Gittinger (1986) dan Gray et al. (1992) bahwa akan dilakukan
analisis finansial bila yang berkepentingan langsung dalam benefit dan biaya
proyek adalah individu/pengusaha. Dalam hal ini yang dihitung dalam benefit
adalah apa yang diperoleh individu/pengusaha yang menanamkan modalnya
lam proyek tersebut. Sedangkan analisis ekonomi bila yang berkepentingan
da-lam benefit dan biaya proyek adalah pemerintah dada-lam rangka peningkatan taraf
hidup masyarakat. Pada dasarnya dalam analisis finansial dan analisis ekonomi
berbeda menurut lima hal yaitu dalam hal penggunaan harga, perhitungan pajak,
Penilaian suatu proyek dapat dilakukan dengan berbagai macam cara,
tetapi yang paling banyak dan sering digunakan adalah Discounted Cash Flow
Analysis (analisis arus tunai yang didiskonto). Metoda yang digunakan dalam menghitung pengaruh waktu adalah metoda pendiskontoan. Semua biaya dan
pendapatan dikurangi menjadi nilai sekarang dengan prosentase tahunan tertentu
(Darusman 1981).
Karena dalam investasi proyek selama periode waktu tertentu (umur
proyek) akan selalu menerima ataupun mengeluarkan sejumlah uang, maka perlu
dipertimbangkan bahwa uang yang diterima pada masa yang akan datang tidak
sama dengan uang yang diterima pada saat sekarang karena adanya faktor interest
rate tertentu. Oleh karena itu, untuk kepentingan perhitungan nilai uang tersebut perlu dievaluasi pada satu waktu tertentu yaitu waktu sekarang (Gaspersz 1992).
Menurut Gray et al. (1992), dalam rangka mencari suatu ukuran
menyeluruh tentang baik tidaknya suatu proyek telah dikembangkan berbagai
macam indeks. Indeks-indeks tersebut disebut “Investment Criteria”. Terdapat
tiga macam kriteria dalam melakukan suatu evaluasi terhadap investasi proyek
yang sekarang ini banyak digunakan, yaitu :
a. Net Present Value (NPV); adalah metoda untuk menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas
bersih di masa yang akan datang. Dalam evaluasi suatu proyek, kriteria
keputusan layak dinyatakan oleh NPV yang lebih besar atau sama dengan
nol.
b. Benefit-Cost Ratio (BCR); merupakan angka perbandingan antara jumlah present value yang positif dengan present value yang negatif. Kriteria kelayakan proyek adalah jika BCR ≥ 1 dan tidak layak jika BCR < 1.
c. Internal Rate of Return (IRR); Menurut Djamin (1984), cara lain untuk mengevaluasi suatu kelayak proyek adalah dengan menghitung tingkat
investasi atau tingkat penghasilan lebih. IRR adalah suatu tingkat bunga
(discount rate) yang menunjukkan jumlah nilai sekarang netto (NPV) sama
dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek (investment cost). Didalam
analisis IRR, akan mencari pada tingkat bunga berapa akan dihasilkan NPV
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian mencakup wilayah kawasan hutan dimana akan dilakukan
kegiatan penambangan batu kapur dan lempung oleh PT Tambang Semen
Sukabumi (PT TSS) yang meliputi luas 493,54 Ha, berlokasi di petak 11, 12, 13
dan 27 Bagian Hutan Nyalindung, Kelompok Hutan Cimerang, RPH Cikembar,
BKPH Cikawung, KPH Sukabumi. Berdasarkan administrasi pemerintahan, lokasi
penelitian terletak di Desa Tanjungsari Kecamatan Jampang Tengah dan Desa
Sukamaju Kecamatan Nyalindung Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat.
Penelitian mengenai kelayakan ekonomi kegiatan pertambangan di kawasan hutan
produksi dilakukan pada bulan Nopember – Desember 2009.
3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diambil dari Buku
Rencana Pengaturan Kelestarian Hasil (RPKH) KP Pinus KPH Sukabumi jangka
perusahaan 2004 – 2010, Buku Evaluasi Hasil Kerja, Buku Tarif Upah dan Buku
Pengamatan Anggaran KPH Sukabumi, Laporan Produksi Getah, Buku Rencana
Kerja Penggunaan Kawasan Hutan PT TSS serta data lain yang diperlukan dalam
perhitungan.
Data-data yang dikumpulkan secara garis besar dapat dikelompokkan
se-bagai berikut :
1. Data pertumbuhan potensi kayu per hektar pada tiap kelas umur
2. Data produktivitas getah
3. Data cadangan batu gamping/kapur dan lempung
4. Kelompok data pendapatan
5. Kelompok data biaya
Dari Buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) KP Pinus
dipe-roleh data luas, bonita, tahun tanam, KBD dan jumlah pohon per hektar yang
dari buku Laporan Produksi Getah akan dapat diketahui berapa produktifitas getah
per hektar per tahun.
Data cadangan batu gamping/kapur dan lempung diperoleh dari Buku
Rencana Kerja PT TSS. Selain diketahui data cadangannya, juga diketahui berapa
rencana penambangan untuk tiap tahunnya sampai dengan umur tambangnya.
Selain data potensi kayu dan produktivitas getah serta data cadangan
gam-ping/kapur dan lempung, juga diperlukan data pembiayaan dan data pendapatan
yang diperoleh selama pengelolaan (umur daur/umur tambang) serta data lain
yang diperlukan untuk perhitungan.
3.2.2. Asumsi Penelitian
Didalam pengumpulan dan pengolahan data dalam penelitian ini
diguna-kan asumsi penelitian sebagai berikut :
a. Perhitungan nilai manfaat hutan belum memasukkan faktor lingkungan.
b. Biaya operasional dalam pengusahaan hutan adalah semua pengeluaran yang
diperlukan dalam pengelolaan hutan pinus saja.
c. Penerimaan tahunan dalam pengusahaan hutan hanya dibatasi pada hasil
tebangan akhir dan produksi getah pinus saja.
d. Pembiayaan dan penerimaan pengusahaan hutan didasarkan pada laporan
keuangan berupa laporan laba rugi KPH Sukabumi tahun 2008.
e. Harga jual produk pengusahaan hutan dan pertambangan berdasarkan harga
jual rata-rata tahun 2008 dan dianggap konstan sepanjang daur.
f. Analisis didasarkan atas penerimaan sebelum pajak.
g. Semua hasil produksi kayu, getah maupun batu kapur dapat diserap pasar.
h. Struktur pasar kompetitif untuk pengusahaan hutan dan pengusahaan
per-tambangan sehingga harga yang digunakan adalah harga pasar (price taker).
3.2.3. Analisis Data
3.2.3.1. Nilai Ekonomi Pengusahaan Hutan A. Pendapatan
Nilai kayu
Untuk mengetahui nilai kayu pinus maka harus diketahui pertumbuhan
penjarangan. Penaksiran produksi kayu dilakukan dengan mengelompokkan
anak petak menurut bonita pada tingkat kelas umur untuk dilakukan
per-hitungan atau penaksiran volume produksi kayu per hektar. Untuk
men-dapatkan volume produksi kayu per hektar pada setiap anak petak, baik untuk
tegakan tinggal maupun tegakan penjarangan digunakan Tabel Tegakan
Nor-mal Jenis Pinus Merkusii yang dikeluarkan Puslitbang Kehutanan tahun 1975.
Menghitung nilai manfaat dari hasil kayu dengan cara mengalikan
jumlah produksi hasil taksiran dengan harganya dengan persamaan berikut :
Keterangan :
Nk = Nilai manfaat kayu (Rp) Vt = Volume taksiran (m3/ha) Li = Luas petak ke-i (ha) H = Harga (Rp/m3)
Nilai Sadapan Pinus
Nilai sadapan Pinus (NSP) diperoleh dari hasil penyadapan getah
pinus. Penyadapan getah pinus dilakukan pada setiap tahun penyadapan
dimulai pada umur 11 tahun sampai dengan daur. Untuk menghitung nilai
manfaat dari penyadapan getah pinus dengan mengalikan jumlah produksi
dengan harga jualnya, dengan persamaan sebagai berikut :
Keterangan :
NSP = Nilai sadapan pinus (Rp) Pg = Produksi getah per-ha (ton/ha) Li = Luas petak ke-i (ha)
H = Harga (Rp/ton)
B. Biaya
Biaya yang dimaksudkan adalah biaya yang dikeluarkan oleh KPH
Suka-bumi dalam proses pembentukan tegakan menjadi kayu bulat, yaitu terdiri dari :
a) Biaya tahunan, merupakan biaya bersama dengan produksi lainnya sehingga
Biaya tahunan KPH terdiri dari biaya perencanaan di KPH, biaya sosial
(PMDH), biaya pengamanan hutan, pemeliharaan dan penyusutan sarana
prasarana, biaya pendidikan dan penyuluhan dan biaya administrasi umum.
b) Biaya sekali selama daur, merupakan biaya yang langsung dibebankan
dalam pengelolaan produksi kayu pinus, terdiri dari biaya produksi seperti ;
biaya persemaian, penanaman dan penyulaman; biaya pemeliharaan tegakan
(penjarangan dan pemangkasan/prunning); biaya eksploitasi kayu dan
angkutan, termasuk biaya produksi sadapan pinus serta biaya non produksi
seperti pemasaran kayu dan getah pinus
Besarnya biaya pada masing-masing kegiatan maupun biaya yang
dikeluarkan tiap tahunnya dalam pengusahaan hutan pinus mengacu pada Buku
Evaluasi Hasil Kerja, Buku Tarif Upah dan Buku Pengamatan Anggaran KPH
Sukabumi.
3.2.3.2. Nilai Ekonomi Penambangan Batu Kapur dan Lempung A. Pendapatan
Kegiatan penambangan batu kapur dan lempung sebagai bahan baku
industri semen akan dilakukan oleh PT TSS di areal seluas 493,54 ha berada di
kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang dikelola oleh KPH Sukabumi.
Berdasarkan buku Rencana Kerja PT TSS, diketahui bahwa rencana penambangan
dilakukan untuk jangka waktu minimum 30 tahun yang terbagi dalam 6 periode
(masing-masing periode jangka waktunya 5 tahun). Selain itu juga diperoleh
data-data sebagai berikut :
a. Jumlah cadangan terbukti (proven resource) atau volume batu kapur dan
lempung yang akan ditambang
b. Cakupan luas areal yang ditambang
c. Penataan blok rencana quarry batu kapur dan lempung
d. Target produksi untuk tiap periode
e. Jenis kegiatan untuk tiap periode
f. Tahapan kegiatan operasional penambangan
Untuk menduga besarnya pendapatan yang akan diperoleh oleh PT TSS
Keterangan :
P = Pendapatan (Rp)
Vi = Volume produksi batu kapur dan lempung pada tahun ke-i (ton) H = Harga (Rp/ton)
B. Biaya
Dalam pengusahaan penambangan, komponen biaya secara garis besar
terdiri dari pengelompokkan biaya menurut jenis komponen biaya (Batubara,
1985) :
a. Komponen biaya pegawai, diuraikan lagi menjadi biaya langsung dan biaya
pengawasan
b. Komponen biaya alat; mencakup suku cadang, bahan bakar, pelumas dan
berbagai jenis bahan lain
c. Komponen biaya pembebanan, seperti ; harga bahan, upah jasa, sewa alat,
biaya listrik/energi, penghapusan alat, dsb.
d. Komponen biaya penghapusan; dibedakan menjadi penghapusan untuk fixed
assets dan capitalised assets.
e. Komponen biaya pihak ketiga, komponen biaya ini timbul sebagai akibat
diterimanya jasa dari pihak diluar organisasi tambang yang ada
f. Komponen biaya lain, seperti ; kewajiban kepada pemerintah yang dapat
digolongkan sebagai biaya, komponen biaya bersifat umum yaitu jenis biaya
yang tidak termasuk dalam kelompok biaya di atas.
Karena kegiatan pertambangan batu kapur dan lempung dilakukan di dalam
kawasan hutan, maka biaya reklamasi kawasan hutan harus ditambahkan
dan dihitung dari mulai penanaman sampai dengan penebangan (satu daur).
3.2.3.3. Analisis Finansial Pengusahaan Hutan dan Penambangan Batu Kapur dan Lempung
Inti dari analisis finansial adalah membandingkan antara pendapatan (arus
kas masuk/cash in flow) dengan pengeluaran/investasi (arus kas keluar/cash out
untuk melihat tingkat keuntungan dari investasi yang ditanamkan untuk kegiatan
pengusahaan hutan dan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan.
Setelah semua biaya dan manfaat teridentifikasi kemudian ditabulasikan
dalam bentuk tabel aliran kas (cash flow) setiap tahun untuk memproyeksikan
biaya dan manfaat dalam satu umur kegiatan/proyek baik untuk pengusahaan
hutan maupun untuk kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. KPH
Suka-bumi menggunakan daur untuk KP Pinus adalah 25 tahun, sedangkan PT TSS
merencanakan untuk melakukan kegiatan penambangan batu kapung/gamping
selama 30 tahun. Dari arus ini kemudian dapat dihitung nilai sekarang (Present
Value) dengan menggunakan Discount Factor (DF). Penggunaan DF untuk mencari berapa nilai future value (F) pada saat ini (present value/P), ini berarti
mendiscount future value dengan tingkat bunga (i) yang berlaku saat ini, dengan
rumus sebagai berikut :
1 Jika ingin mencari faktor P, berarti :
atau atau
Jadi
Keterangan :
DF = Discount faktor F = Future value P = Present value i = tingkat bunga t = umur proyek
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui nilai ekonomi kegiatan/proyek baik
untuk pengusahaan hutan maupun untuk kegiatan pertambangan diketahui dari
kriteria NPV dengan persamaan sebagai berikut :
1 Keterangan :
NPV = Net Present Value
Bt = benefit sosial bruto pada tahun ke-t
Ct = biaya sosial bruto sehubungan proyek pada tahun ke-t i = tingkat suku bunga
3.2.3.4. Menduga Ekstraksi Optimal A. Pengusahaan Hutan
Penentuan daur optimal dari pengusahaan hutan (merupakan sumberdaya
alam yang dapat diperbarui), yang akan menghasilkan manfaat bersih yang
mak-simal, didasarkan pada skenario yang diterapkan oleh KPH Sukabumi dalam
mengelola hutan tanaman KP Pinus yaitu menggunakan konsep Faustmann.
Pengelolaan hutan merupakan proses yang terus menerus yaitu ketika hutan
ditebang penanaman dilakukan kembali sehingga proses tanam dan tebang dapat
dilakukan secara terus menerus sampai tak terhingga. Dengan asumsi bahwa
parameter ekonomi seperti harga, biaya dan suku bunga tidak berubah sepanjang
waktu, maka untuk menduga nilai penerimaan bersih dari seluruh daur
menggunakan persamaan sebagai berikut (Soedomo, 2009) :
(1)
Keterangan :
PV = Present value atau nilai kini dari penerimaan bersih (Rp/ha) L = luas (ha)
V(T) = Pertumbuhan tegakan sebagai fungsi dari waktu (m3/ha) p = Harga (Rp/m3)
c = Biaya pengadaan tegakan (Rp/ha) T = daur optimal yang dipilih (tahun) r = suku bunga
Menentukan Persamaan Pertumbuhan
Data yang diperlukan untuk membuat persamaan pertumbuhan adalah
umur dan volume. Volume diketahui dari Tabel Tegakan Normal Jenis Pinus
Merkusii setelah data tegakan yang diperoleh dari KPH Sukabumi dikelompokkan menurut kelas umur dan bonita. Data umur dan volume kemudian diplotkan
da-lam bentuk kurva dan dari bentuk kurva tersebut dapat diduga persamaan yang
mendekati bentuk tersebut. Persamaan regresi diperoleh dengan cara menentukan
terlebih dahulu nilai natural logarithm (ln) data umur dan volume, kemudian
dengan program minitab akan diketahui persamaan pertumbuhan tegakan pinus.
Setelah diperoleh persamaan regresi kemudian diturunkan terhadap waktu
dan turunan dari persamaan itu digunakan untuk menghitung daur optimal (T)
Untuk memaksimumkan jumlah nilai kini dari penerimaan bersih (NPV)
dilakukan dengan memilih daur optimal T dengan persyaratan yang akan dicirikan
oleh persamaan :
(2)
Persamaan (2) dapat juga ditulis sebagai berikut :
(3)
Ruas kiri adalah tambahan manfaat sebagai hasil kali dari harga dan
tambahan volume tegakan, sedangkan ruas sebelah kanan adalah bunga dari
pendapatan bersih terdiskonto
B. Penambangan bahan galian kapur dan lempung
Batu kapur (limestone) dan lempung merupakan salah satu contoh dari
sumberdaya alam tidak terbarukan dimana dalam mengeksploitasinya dibatasi
oleh stok atas sumberdaya itu sendiri. Dalam pengelolaan pertambangan, agar
dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat maka sistem pendekatan yang
digunakan adalah Model Hotelling, yang dikembangkan Harold Hotelling 1931
(Fauzi, 2004). Menurut Sahat (2006) Model Hotelling menggunakan pendekatan
konsumen surplus untuk menghitung kesejahteraan masyarakat. Model ekstraksi
optimal dengan biaya ekstraksi non linier dan tergantung pada jumlah yang
diekstraksi (q) dan juga stok sumberdaya (S) atau secara matematis ditulis C(q,S);
dapat ditulis sebagai berikut :
, dengan kendala :
St+1 – St = −qt S0 diketahui qt ≥ 0, St ≥ 0
Pemecahan ekstraksi optimal dilakukan dengan menggunakan fasilitas Solver
Excell.
3.2.3.5. Analisis Resiko
Resiko merupakan kombinasi dari probabilitas suatu kejadian dan