• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan Salmonella spp. Pada Daging Sapi Dan Ayam Yang Dijual Di Pasar-Pasar Di Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberadaan Salmonella spp. Pada Daging Sapi Dan Ayam Yang Dijual Di Pasar-Pasar Di Provinsi Jawa Barat"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

KEBERADAAN Salmonella spp. PADA DAGING SAPI DAN

AYAM YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR DI PROVINSI

JAWA BARAT

EDDY SUKMA WINATA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Keberadaan Salmonella spp. pada Daging Sapi dan Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

ABSTRACT

EDDY SUKMA WINATA. Occurance of Salmonella spp. in beef and chicken meat sold in markets in the Province of West Java. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN.

(4)

RINGKASAN

EDDY SUKMA WINATA. Keberadaan Salmonella spp. pada Daging Sapi dan Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.

Sejak tahun 1990 foodborne disease muncul menjadi masalah penting dan terus berkembang dalam kesehatan masyarakat dan ekonomi di beberapa negara (Signorini & Flores-Luna 2010). WHO memperkirakan 1.3 miliar kasus diare per tahun terkait dengan non-tifoid salmonelosis dan menyebabkan kematian 3 juta manusia setiap tahunnya (Maripandi & Al-Salamah 2010).

Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjennak Keswan 2009), tahun 2008 jumlah produksi daging sapi Provinsi Jawa Barat (70010 ekor) menempati urutan kedua terbanyak setelah Provinsi Jawa Timur (85173 ekor) dan untuk produksi daging ayam Provinsi Jawa Barat (335151 ekor) menempati urutan pertama. Konsumsi daging sapi dan daging ayam per kapita per minggu di Provinsi Jawa Barat tahun 2008 berturut-turut sebanyak 0.007 kg dan 0.073 kg.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat keberadaan cemaran Salmonella pada daging sapi dan ayam di pasar-pasar di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan mulai bulan September 2009 sampai dengan Oktober 2009. Sampel daging sapi dan ayam diambil dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Cirebon, dan Kabupaten Indramayu.

Pengujian presumtif Salmonella dilakukan di Laboratorium Kesehatan

Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) dan pengujian serologis (konfirmasi) dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) Bogor.

Jumlah sampel ditentukan secara purposif di pasar dari setiap kabupaten/kota, yaitu masing-masing dua sampel daging sapi dan tiga sampel daging ayam dari setiap kabupaten/kota. Jumlah keseluruhan sampel yang diperiksa sebanyak 24 sampel daging sapi dan 36 sampel daging ayam. Berat sampel daging sapi yang diambil minimum 300 gram dan sampel daging ayam setengah karkas. Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es. Sampel diuji maksimum 24 jam setelah pengambilan.

Pengujian Salmonella di laboratorium dilakukan dengan metode isolasi dan identifikasi menurut the Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods (Andrews et al. 2001). Metode ini terdiri atas lima tahap, yaitu pre-enrichment, selective enrichment, pemupukan pada media selektif, pengujian biokimia, dan pengujian serologis.

(5)

Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sumedang, sedangkan di Kota Bogor dan Kabupaten Tasikmalaya tidak ditemukan. Salmonella pada daging ayam ditemukan di Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya, sedangkan di Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sumedang tidak ditemukan. Tingkat pencemaran Salmonella pada daging yang cukup tinggi dapat menjadi ancaman kesehatan masyarakat.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KEBERADAAN Salmonella spp. PADA DAGING SAPI DAN

AYAM YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR DI PROVINSI

JAWA BARAT

EDDY SUKMA WINATA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Skripsi : Keberadaan Salmonella spp. pada Daging Sapi dan Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Provinsi Jawa Barat

Nama : Eddy Sukma Winata

NIM : B04070082

Disetujui

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi Ketua

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa kekuatan lahir batin sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul skripsi adalah Keberadaan Salmonella spp. pada Daging Sapi dan Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Provinsi Jawa Barat.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah tanpa lelah dan penuh kesabaran membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto, Ibu Prof. Dr. drh. Agatha Winny Sanjaya, MS, Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman, MSi, Ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si, dan Ibu Ir. Maya atas dukungan dan bimbingannya selama penelitian. Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada Bapak Tedy Subarkah, AMd dan Bapak Yuhendra yang telah banyak membantu penelitian ini. Kepada teman-teman satu penelitian (Inda, Ellangga, Rifqy, Putra, Wulan, Fuji, Ningrum) penulis berterimakasih atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, dan adik tersayang (Yuheri, SP, Emlisnidar, Alfy Sukma, dan Sri Sukmawati), serta keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang telah diberikan. Selanjutnya ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada keluarga besar Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang (IPMM) Bogor dan teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di FKH IPB.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 24 November 1989 dari ayah Yuheri, SP dan ibu Emlisnidar. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD 26 Bukit Cangang, Bukittinggi sampai kelas 2 dan kelas 3 sampai kelas 6 ditempuh di SD 07 Gulai Bancah, Bukittinggi hingga lulus pada tahun 2001, yang kemudian dilanjutkan ke MTsN 1 Model Bukittinggi dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMAN 1 Bukittinggi dan lulus pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Jurusan yang dipilih penulis adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………...………... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ………. 1

Latar Belakang ………...………... 1

Tujuan ………...…………... 2

TINJAUAN PUSTAKA ………... 3

Karakteristik Salmonella ………....…... 3

Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada Makanan ………... 5

Cemaran Salmonella pada Daging ………...………….……. 11

Prevalensi Salmonella di Beberapa Tempat ……….…. 13

Dampak Salmonella terhadap Kesehatan Masyarakat ………... 15

Pencegahan Pencemaran Salmonella ………. 17

BAHAN DAN METODE ………...…………. 19

Waktu dan Tempat Penelitian ………... 19

Pengambilan dan Jumlah Sampel ……….. 19

Bahan dan Alat ……….. 20

Kuesioner ... 20

Pengujian Salmonella ……… 21

Analisis Data ……….. 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 23

Karakteristik pedagang daging ……….….. 23

Keberadaan Salmonella pada daging……….. 25

SIMPULAN DAN SARAN ………. 30

Simpulan ... 30

Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ………..………… 32

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah produksi daging sapi dan daging ayam di Provinsi Jawa Barat 2

2 Konsumsi daging sapi dan daging ayam per kapita per minggu di Provinsi Jawa Barat ... 2 3 Karakteristik pertumbuhan Salmonella ... 3 4 Ringer solution sebagai media selektif untuk Salmonella pada ayam

beku ... 7

5 Karakteristik reaksi Salmonella pada beberapa media isolasi ………. 8

6 Prevalensi Salmonella pada karkas/daging sapi dan ayam di beberapa negara ... 14 7 Penyakit yang dapat disebabkan oleh Salmonella…………..... 16 8 Lokasi dan jumlah sampel daging sapi dan daging ayam yang diambil

di Provinsi Jawa Barat ... 19 9 Hasil positif uji TSIA dan LIA untuk identifikasi Salmonella ……… 22 10 Karakteristik pedagang daging di pasar-pasar tradisional di Provinsi

Jawa Barat ... 24 11 Keberadaan Salmonella pada daging sapi dan daging ayam di 12

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Isolasi Salmonella pertama kali dilaporkan oleh Daniel E. Salmone dari babi pada tahun 1885 dan organisme tersebut diberi nama Bacterium choleraesuis (saat ini dikenal Salmonella enterica serovar Choleraesuis). Salmonella menyebabkan gastroenteritis dan demam tifoid, serta merupakan salah satu patogen utama yang ditularkan melalui makanan (foodborne pathogen), yang menjadi perhatian kesehatan masyarakat di negera-negara maju dan berkembang (Stevens et al. 2006; Bhunia 2008). Dalam dua dasawarsa terakhir (sejak 1990), foodborne disease menjadi masalah penting dan terus berkembang dalam kesehatan masyarakat dan ekonomi di beberapa negara (Signorini & Flores-Luna 2010). WHO memperkirakan 1.3 miliar kasus gastroenteritis akut atau diare per tahun terkait dengan non-tifoid salmonelosis dan menyebabkan kematian 3 juta manusia setiap tahunnya (Maripandi & Al-Salamah 2010).

Keamanan pangan secara mikrobiologis menjadi perhatian kesehatan masyarakat yang semakin meningkat di seluruh dunia. Beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa pangan asal hewan merupakan media utama berkaitan dengan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh Campylobacter, Salmonella, dan Yersinia spp. (Humphrey 2006). EFSA (2007) melaporkan wabah foodborne disease di Uni Eropa pada tahun 2005, yaitu 64% wabah foodborne disease disebabkan oleh Salmonella (3406 dari 5355 wabah foodborne disease) dan diikuti oleh Campylobacter (9%; 312 dari 5344 wabah foodborne disease).

Di Indonesia, daging banyak dikonsumsi oleh masyarakat, khususnya pada hari besar agama. Ada berbagai macam masakan Indonesia yang menggunakan daging sebagai bahan baku, baik dimasak dengan cara direbus, ditumis, dipanggang maupun dibakar. Selain itu, masakan juga dapat disajikan dalam bentuk matang maupun setengah matang.

(15)

produksi daging ayam di Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama. Jumlah produksi daging sapi dan daging ayam di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 2 dapat dilihat konsumsi daging sapi dan daging ayam per kapita per minggu di Provinsi Jawa Barat tahun 2007-2008.

Tabel 1 Jumlah produksi daging sapi dan daging ayam di Provinsi Jawa Barat (Ditjennak Keswan 2009)

Jenis Daging Tahun

2005 2006 2007 2008

Daging sapi (ekor) 72.529 77.759 50.646 70.010

Daging ayam (ekor) 259.749 276.195 279.851 335.151

Tabel 2 Konsumsi daging sapi dan daging ayam per kapita per minggu di Provinsi Jawa Barat (Ditjennak Keswan 2009)

Jenis Daging Satuan Tahun

2007 2008

Daging sapi kg 0.008 0.007

Daging ayam kg 0.079 0.073

Pangan dapat berfungsi sebagai media pembawa agen patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada konsumen (foodborne illness) (Lukman 2009). Mikroorganisme yang ditemukan pada daging dapat bersifat pembusuk dan patogen. Bakteri patogen yang penting dari aspek kesehatan masyarakat dan keamanan pangan adalah Salmonella (Nesbakken 2009).

Melihat bahaya penyakit yang ditimbulkan akibat pencemaran mikroorganisme patogen khususnya Salmonella, maka perlu dilakukan penelitian mengenai keberadaan cemaran Salmonella pada daging sapi dan ayam di Provinsi Jawa Barat melalui pemeriksaan sampel daging secara acak dari beberapa pasar di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

Tujuan

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Salmonella

Genus Salmonella merupakan anggota famili Enterobacteriaceae, Gram negatif, berbentuk batang, tidak berspora, motil (kecuali Salmonella Pullorum dan S. Gallinarum), memiliki flagela peritrikus, bersifat anaerob fakultatif, tumbuh

pada suhu antara 5-45 °C, dengan suhu optimum 35-37 °C. Salmonella mampu

tumbuh pada pH rendah dan umumnya sensitif pada kadar garam yang meningkat.

Salmonella membentuk rantai filamen yang panjang jika dibiakkan/ditumbuhkan pada suhu ekstrim 4-8 °C atau 44 °C, serta pada pH 4.4 atau 9.4. Semua Salmonella merupakan patogen intraselular fakultatif dan bersifat patogen, serta dapat menyerang makrofag, sel-sel dendrit, dan epitel (Bhunia 2008). Untuk lebih lengkap, karakteristik pertumbuhan Salmonella dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik pertumbuhan Salmonella (Norhana et al. 2010)

Parameter Minimum Optimum Maksimum

Suhu (°C) 5.2 (sebagian serotipe tidak

berkembang pada suhu <7.0)

35-37 45-47

pH 3.8 5.5-5.7 9.5

Daya tahan terhadap garam (%)

- - 4-5

Kelembaban 0.94 - >0.99

(17)

Serovar-serovar S. enterica dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, bergantung pada perilaku kolonisasi dan kecenderungannya menyebabkan penyakit sistemik pada induk semang yang sehat dan dewasa. Kelompok pertama adalah serovar yang beradaptasi pada induk semang (host-adapted), terutama Salmonella yang menginfeksi induk semang melalui jalur fekal-oral dan multiplikasi bakteri terutama terjadi secara intraselular di dalam makrofag. Serovar dalam kelompok ini seperti S. enterica serovar Typhi di manusia, serovar Dublin di sapi, dan serovar Gallinarum di unggas, yang dicirikan dengan dosis infektif yang rendah, masa inkubasi yang panjang, dan menyebabkan infeksi yang sistemik. Kelompok kedua terdiri atas hampir semua serovar Salmonella enterica. Serovar ini umumnya tidak mampu menyebabkan penyakit sistemik pada induk semang yang sehat, tidak stres dan dewasa, serta berkoloni di saluran pencernaan hewan tanpa menyebabkan gejala klinik. Karena berada di saluran pencernaan hewan, maka serovar ini sering masuk dalam rantai pangan dan menyebabkan kasus penyakit yang ditularkan melalui makanan atau foodborne salmonelosis (Humphrey 2006).

Sejarahnya, nomenklatur Salmonella didasarkan pada tempat asal, seperti S.

miami, S. london, S. richmond, S. dublin, S. indiana, S. kentucky, dan S. tennessee. Sistem klasifikasi ini sekarang tidak dilanjutkan dan Salmonella diklasifikasikan berdasarkan kepekaannya (susceptibility) terhadap bakteriofage yang berbeda, yang disebut phage typing. Lebih dari 200 definitive phage types (DT) telah dilaporkan, seperti phase type (PT) 1, 4, 8, 13, 13a, 23, DT104, DT108, DT204, dan lain-lain. Resistensi terhadap antibiotik juga digunakan sebagai pengklasifikasian Salmonella. Sebagai contoh, DT104 resisten terhadap berbagai antibiotik seperti ampicillin, chloramphenicol, streptomycin, spectinomycin, sulfonamides, florfenicol, tetracycline, nalidixic acid dan ciprofloxacin. Sekarang dilaporkan bahwa DT204 menjadi emerging strain yang resisten terhadap 8-9 antibiotik dan menjadi masalah penting bagi kesehatan manusia (Bhunia 2008).

Dalam sistem nomenklatur modern, informasi mengenai subspesies diabaikan. Sebagai contoh, isolat dengan nama Salmonella enterica subspesies I serovar Enteritidis pada kalimat ditulis sebagai Salmonella Enteritidis (Mølbak et

(18)

klasifikasi dan nomenklatur Salmonella agar terjadi keseragaman dalam laporan dan menghindari kebingungan yang berlanjut (Bhunia 2008).

Salmonella terdapat di saluran intestinal burung/unggas, reptil, kura-kura, insekta, ternak, dan manusia (Hanes 2003; Bhunia 2008), namun paling banyak ditemukan pada unggas (Nørrung et al. 2009). Spesies ini juga tersebar di lingkungan alami seperti tanah dan air, yang mana Salmonella dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama, namun tidak dapat memperbanyak diri secara signifikan seperti saat berada pada inangnya (Bell & Kyriakides 2002).

Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada Makanan

Menurut Adams dan Moss (2008) metode isolasi dan identifikasi

Salmonella pada makanan mendapat perhatian lebih dari pada foodborne pathogen lainnya. Untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan dapat menggunakan teknik biakan konvensional. Terdapat lima tahapan prosedur yang sudah ditetapkan dan dapat diterima secara luas untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan, yaitu tahap pre-enrichment (pra-pengayaan), selective enrichment (pengayaan selektif), selective plating media (media pemupukan selektif), uji biokimia, dan uji serologik.

Tahap pre-enrichment pada media non-selektif merupakan tahapan yang

bertujuan untuk meningkatkan perbaikan sel Salmonella dengan cara

memperbaiki sel-sel yang mengalami kerusakan subletal. Kerusakan subletal dapat diakibatkan dari kondisi yang merugikan selama proses pengolahan makanan, seperti pendinginan, pembekuan atau pengeringan (Adams & Moss 2008). Pada tahap pre-enrichment berdasarkan ISO 6579 (Horizontal method for the detection of Salmonella spp.), sampel karkas ayam dibilas selama 2 menit dengan 225 ml buffered peptone water (BPW) dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam (Yildirim et al. 2011). Kegagalan dalam resusitasi sel bakteri dalam tahap pre-enrichment dapat menyebabkan tidak terdeteksinya bakteri dalam pengujian, yang mungkin sebenarnya terdapat pada makanan dan bisa menyebabkan infeksi makanan (Adams & Moss 2008).

(19)

peningkatan proliferasi Salmonella dan menekan pertumbuhan bakteri lain. Media selective enrichment mengandung bahan selektif yang tidak memengaruhi pertumbuhan Salmonella tetapi menekan pertumbuhan bakteri lain. Bahan selektif tersebut, yaitu empedu, brilliant green, tetrathionate, dan selenite. Media yang sering digunakan adalah selenite-cystine (SC) broth yang berisikan cystine untuk menstimulasi pertumbuhan Salmonella; Müller-Kauffman tetrathionate (TT) broth yang mengandung tetrathionate, brilliant green, empedu, dan Rappaport-Vassiliadis (RV) broth yang berisikan malachite green, magnesium chloride (MgCl2), dan pH agak rendah (Adams & Moss 2008).

Medium Rappaport-Vassiliadis (RV) secara umum telah diterima sebagai media yang digunakan selain selenite cystine (SC) dan tetrathionate (TT) broth. RV dan SC broth digunakan secara paralel pada tahap selective enrichment (Adams & Moss 2008). Dalam praktiknya, hanya satu media yang biasa digunakan pada tahap selective enrichment yaitu RV broth. SC broth tidak banyak memperlihatkan hasil positif. Hal ini disebabkan oleh tingginya toksisitas dari selenite pada penggunaan SC broth yang mencapai level kritis. Beberapa studi juga memperlihatkan bahwa RV broth dapat mendeteksi Salmonella Enteritidis (Boer 1998).

Müller et al. (1997) yang dikutip oleh Boer (1998) menyatakan bahwa tetrathionate brilliant green bile (TTBG) broth menunjukkan produktivitas yang lebih baik dalam mendeteksi Salmonella pada daging ayam. Pada studi

komparatif, media modified semisolid Rappaport-Vassiliadis (MSRV)

menunjukkan efektifitas yang lebih tinggi dalam pengisolasian Salmonella pada

makanan. Deteksi Salmonella dengan menggunakan media MSRV cukup mudah

dan tidak membutuhkan banyak biaya, serta dapat mendeteksi hasil positif dan negatif dalam waktu 24 jam sesuai dengan standar metode ISO. Penambahan

buffered peptone water (BPW) dengan ferrioxamine E memperlihatkan peningkatan motilitas Salmonella dan zona diameter di atas media semi solid

enrichment. Tabel 4 menunjukkan hasil positif Salmonella pada beberapa media selektif dan dapat dilihat bahwa media Rappaport-Vassiliadis (RV) baik untuk

(20)

Tabel 4 Ringer solution sebagai media selektif untuk Salmonella pada ayam beku (Busse 1995)

Sampel yang diuji 178

Sampel positif 118 100%

Hasil positif pada:

Pre-enrichment 48 41%

Selenite cystine 37 °C 41 35%

Tetrathionate bile 37 °C 35 30%

Rappaport modified 43 °C 72 61%

Ringer solution 37 °C 68 58%

Setelah 24 jam pada selectiveenrichment, biakan dari kedua SCB dan TTB digoreskan pada media selektif seperti brilliant green agar (BGA), hektoen enteric agar (HEA), dan xylose lysine deoxycholate (XLD) agar dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24-48 jam. Koloni Salmonella pada media selektif BGA, HEA, dan XLD didapatkan setelah 24-48 jam inkubasi (Suresh et al. 2011).

Hasil yang diharapkan pada media ini adalah ketidakmampuan Salmonella untuk memfermentasi laktosa dan atau memproduksi hidrogen sulfida. Dalam pemilihan media yang akan digunakan, dianjurkan memilih dua jenis media berdasarkan pada reaksi diagnostik yang berbeda untuk meyakinkan bahwa kekhasan galur (seperti galur yang memfermentasi laktosa) tidak terlewatkan (Adams & Moss 2008). Keberhasilan tahap enrichment merupakan tahapan yang menentukan dalam deteksi Salmonella. Saat ini, telah dilakukan usaha-usaha yang bertujuan untuk mengembangkan media dan prosedur untuk tahapan enrichment (Busse 1995).

Selective plating agar yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi terhadap perbaikan Salmonella (Boer 1998). Plating media untuk isolasi Salmonella dapat dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan agen selektif yang digunakan yaitu bile salt agar, brilliant green agar, dan bismuth sulphite agar (Busse 1995).

(21)

1965). Deoxycholate agar dan XLD agar berisikan garam empedu dan sitrat dalam jumlah 1-2 g/l (Busse 1995).

Terdapat dua modifikasi dari brilliant green agar. Berdasarkan pada ISO, agar berisikan 4.7 mg/l brilliant green, sedangkan formulasi USP berisikan hampir tiga kali zat warna. Pada brilliant green agar, Salmonella dideteksi dengan ketidakmampuan Salmonella memfermentasi laktosa atau laktosa dan sukrosa dengan memberikan warna pink pada koloni (Busse 1995). Selanjutnya, Van Schothorst et al. (1987) yang dikutip oleh Busse (1995) menyarankan menggunakan mannitol-lysine-crystal violet-brilliant green agar (MLCB) yang dikombinasikan dengan Rappaport-VassiliadisSoya (RVS) broth karena memiliki daya selektif yang tinggi. Tabel 5 memperlihatkan karakteristik reaksi Salmonella pada beberapa media isolasi.

Tabel 5 Karakteristik reaksi Salmonella pada beberapa media isolasi (Boer 1998)

Media Selektif/karakteristik diagnostic Reaksi +/- terhadap Salmonella

Rambach Asam dari propilen glikol +

β-Galaktosidase dengan kromogenik BCIG -

XLT4 Tergitol 4 (pertumbuhan) +

Produksi H2S +

Fermentasi laktosa -

SM-ID β-Galaktosidase dengan +

Substrat kromogenik -

NBGL Novobiosin (pertumbuhan) +

Produksi H2S +

Fermentasi gliserol -

Fermentasi laktosa -

Rambach: Rambach agar (Merck); XLT4: xylose lysine tergitol 4 agar; SM-ID: Salmonella medium SM-ID (BioMe´rieux); NBGL: novobiocin brilliant green glycerol lactose agar.

Beberapa studi memperlihatkan bahwa selective plating agar yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi terhadap perbaikan Salmonella dari sampel makanan dengan aktivitas air tinggiadalah Rambach dan xylose lysine tergitol 4

(22)

sensitifitas yang tinggi sebagai media isolasi Salmonella dari sampel makanan asal hewan. Rambach memilki daya sensitifitas yang sangat tinggi sebagai media isolasi Salmonella. Rambach dan modified solid Rappaport Vassiliadis (MSRV) merupakan media yang memiliki spesifisitas yang tinggi sebagai media isolasi Salmonella (Boer 1998).

Presumtif Salmonella dari media selektif harus dikonfirmasi dengan uji biokimia dan uji serologi yang menggunakan antisera polivalen O. Lama pelaksanaan keseluruhan prosedur minimum empat hari. Selain itu, terdapat pula teknik biakan pre-enrichment konvensional yang merupakan teknik inokulasi ke dalam media diagnostik selektif. Media diagnostik selektif tersebut memberikan perubahan warna dan mampu menggumpalkan partikel latex yang diberikan

coating antibodi terhadap Salmonella. Hasil positif menghasilkan presumtif Salmonella, yang harus dikonfirmasi dengan uji serologi konvensional dan uji biokimia. Dengan teknik ini, identifikasi presumtif Salmonella dilakukan selama 42 jam. Pada metode lain, deteksi Salmonella membentuk imunopresipitasi, yang mana antibodi terhadap Salmonella berdifusi ke bawah melalui media dan berkontak dengan bakteri Salmonella yang bergerak ke atas pada media selektif (Busse 1995).

Menurut Food and Drug Administration (FDA) (2011), konfirmasi

Salmonella dengan uji serologi dapat menggunakan media triple sugar iron agar (TSIA) dan lysine iron agar (LIA). Pengujian terhadap koloni yang diduga Salmonella berdasarkan pada koloni yang menunjukkan tipe morfologi Salmonella dan koloni yang tidak menunjukkan tipe morfologi Salmonella. Yildirim et al. (2011) menambahkan bahwa pengujian konfirmasi Salmonella berhubungan dengan faktor virulensi Salmonella, yaitu aglutinasi antisera O dan H.

Pengujian terhadap koloni yang menunjukkan tipe morfologi Salmonella adalah dengan mengambil dua atau lebih koloni, kemudian diinokulasikan pada media TSIA dan LIA. Inokulan diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 ± 2 jam. Sumbat tabung dilepas untuk menjaga kondisi aerobik selama inkubasi untuk mencegah berlebihnya produksi H2S. Pada media TSIA biakan Salmonella

(23)

(kuning), dengan atau tanpa diproduksinya H2S (hitam). Pada media LIA,

Salmonella ditandai dengan timbulnya reaksi basa pada butt (ungu) yang menunjukkan hasil positif, sedangkan reaksi asam (kuning terang) menunjukkan hasil negatif. Salmonella pada media LIA memproduksi H2S. Beberapa biakan

non-Salmonella memproduksi warna merah bata pada media LIA (FDA 2011). Semua biakan yang memberikan reaksi basa pada bagian butt media LIA, tanpa memerhatikan reaksi pada media TSIA, disimpan sebagai isolat yang berpotensi sebagai Salmonella dan dilanjutkan ke uji biokimia dan uji serologi. Biakan yang memberikan reaksi asam pada bagian butt media LIA dan biakan yang menimbulkan reaksi basa pada bagian slant dan reaksi asam pada bagian

butt media TSIA juga dapat dianggap sebagai biakan yang berpotensi sebagai Salmonella dan dilanjutkan ke tahap pengujian biokimia dan uji serologi.

Biakan pada LIA yang memproduksi reaksi asam butt dan biakan pada TSIA yang memproduksi reaksi asam slant dan reaksi asam butt dapat dibuang dan dianggap negatif Salmonella. Jika biakan TSIA gagal untuk memberikan reaksi khas untuk Salmonella (basa slant dan asam butt), ambil koloni yang mencurigakan dari media selektif yang tidak menunjukkan biakan pesumtif-positif, kemudian diinokulasikan ke media TSIA dan LIA (FDA 2011).

Tahap identifikasi Salmonella terhadap biakan murni dari media TSIA dan LIA dilanjutkan dengan uji urea. Biakan presumtif-positif TSIA dan LIA diinokulasikan ke media urea broth, kemudian diinkubasi selama 24 ± 2 jam pada suhu 35 °C. Hasil positif uji urea ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah bata pada daerah tusukan (FDA 2011).

(24)

uji serologi yang berisikan 0.5 ml antiserum polyvalent H. Larutan NaCl fisiologis disiapkan sebagai kontrol dengan mencampur 0.5 ml larutan NaCl fisiologis yang diformalin dengan 0.5 ml antigen formalin. Campuran diinkubasi dalam penangas air (waterbath) yang bersuhu 48-50 °C. Kemudian diobservasi setiap 15 menit dan hasil akhir dibaca setelah satu jam. Hasil positif ditunjukkan dengan terjadinya aglutinasi pada campuran dan tidak pada kontrol. Hasil negatif ditunjukkan dengan tidak terjadinya aglutinasi pada campuran dan kontrol. Hasil nonspesifik ditunjukkan dengan terjadinya aglutinasi pada campuran dan kontrol. Uji biakan juga dapat dilakukan dengan menggunakan antiserum Spicer-Edwards (FDA 2011).

Uji serologis Spicer-Edwards digunakan sebagai alternatif untuk uji

polyvalent H. Hal ini juga dapat digunakan dengan biakan yang memberikan aglutinasi non-spesifik dalam uji polyvalent H. Uji antiserum Spicer-Edwards flagellar (H) dilakukan sebagaimana telah dijelaskan pada saat pengujian formalinized broth dengan uji antiserum polyvalent H di atas. Uji biokimia tambahan dilakukan dengan larutan lysine decarboxylase broth, fenol red dulcitol

broth atau purple broth dengan dulcitol 0.5% pada biakan yang menunjukkan positif flagela pada hasil uji (FDA 2011).

Uji polyvalent somatik (O) dilakukan dengan mengemulsikan biakan dari media slant TSIA yang telah diinkubasi selama 24-48 jam atau lebih dianjurkan dari tryptose blood agar dengan 2 ml 0.85% NaCl. Satu uji suspensi biakan dan antiserum somatik (O) dicampurkan pada gelas objek yang telah ditandai. Untuk kontrol digunakan satu uji larutan NaCl yang diuji pada gelas objek. Hasil positif ditunjukkan dengan terjadinya aglutinasi pada pencampuran dan tidak terjadi aglutinasi pada larutan garam. Hasil negatif ditunjukkan dengan tidak terjadinya aglutinasi pada pengujian campuran dan kontrol (FDA 2011).

Cemaran Salmonella pada Daging

(25)

Salmonella adalah tanah, air, dan serangga. Tanah dan air dapat tercemar melalui feses atau melalui serangga yang sebelumnya berkontak dengan feses yang kemudian dengan mudah berkontak dengan makanan (Brands 2006).

Pada dasarnya tubuh manusia memiliki ketahanan untuk mereduksi bakteri Salmonella dalam kurun waktu lima sampai tujuh hari. Sehingga manusia atau hewan yang tidak sakit dapat menularkan penyakit ke individu lain melalui feses (Brands 2006). Infeksi Salmonella spp. pada ternak seringkali tidak memperlihatkan gejala klinis dan pada akhirnya menghasilkan daging yang tercemar (Newell et al. 2010).

Lawrie dan Ledward (2006) mengemukakan pencemaran pada daging terjadi melalui infeksi endogenus dan infeksi eksogenus. Infeksi endogenus merupakan infeksi terjadi secara in vivo, sedangkan infeksi eksogenus dapat terjadi sejak pengeluaran darah saat pemotongan sampai daging dikonsumsi. Kedua aspek tersebut sebaiknya diperhatikan, walaupun konsumen akan lebih banyak menjumpai kontaminasi daging pascamati (infeksi eksogenus).

Jalur infeksi atau cemaran terpenting Salmonella enterica adalah di pembibitan, yang mana infeksi diturunkan secara vertikal ke dalam telur tetas. Sumber lain infeksi Salmonella pada unggas adalah pakan yang tercemar, rodensia, cacing, dan hewan liar (Humphrey 2006).

Saat hewan dipersiapkan untuk dipotong dan diproses, biasanya hewan ditangani oleh banyak pekerja. Salmonella atau agen patogen lain yang berada pada peralatan, tangan atau pakaian pekerja, memungkinkan terjadinya kontaminasi pada daging (Brands 2006). Pencemaran Salmonella pada daging sapi biasanya terjadi pada proses pemotongan, khususnya saat eviserasi. Tingkat cemaran Salmonella di rumah potong bergantung pada higiene pemotongan (Lawrie & Ledward 2006; Humphrey 2006). Bhunia (2008) menambahkan, kolonisasi Salmonella di usus akan meningkatkan risiko pencemaran selama proses pemotongan. Manusia dapat terinfeksi Salmonella melalui kontak dengan manusia, hewan, dan makanan yang terkontaminasi (Bell & Kyriakides 2002).

(26)

yang persisten, sehingga prevalensi kejadian Salmonella tidak mudah dideteksi, kecuali melalui pengambilan dan pemeriksaan sampel yang rutin (Namata et al. 2005).

Menurut Vindigni et al. (2007) yang dikutip Dallal et al. (2010), daging unggas dan daging merah (red meat) yang mentah atau tidak dimasak sempurna merupakan media utama yang penting dalam penularan penyakit. Secara umum,

Salmonella dapat ditemukan pada karkas, baik pada permukaan atau di dalam ruang abdominal. S. enterica dapat berada di bagian-bagian karkas, seperti dalam kulit antara kaki dan dada (Humphrey 2006). Selanjutnya, Nógrády et al. (2008) mendapatkan dari penelitiannya bahwa cemaran Salmonella infantis di rumah potong unggas di Hungaria barasal dari air yang telah tercemar Salmonella dan pencemaran silang selama pencabutan bulu, pendinginan, serta penanganan selama pemotongan (cutting) dan pengemasan (packaging).

Prevalensi Salmonella di Beberapa Tempat

Salmonelosis merupakan foodborne disease yang paling sering terjadi di negara-negara berkembang dan negara-negara industri, walaupun laju insidensinya bervariasi di setiap negara (Stevens et al. 2006). Wabah foodborne disease secara rutin diobservasi dan sering dilaporkan (Newell et al. 2010).

(27)

Tabel 6 Prevalensi Salmonella pada karkas/daging sapi dan ayam di beberapa negara

Jenis Daging Lokasi Prevalensi Pustaka

Karkas sapi Rumah Potong, Irlandia Utara 1.5% Madden et al. (2001) Daging Sapi Ritel daging, Dakar, Senegal 87% (174/199) Stevens et al. (2006) Daging Sapi Rumah potong, Dakar, Senegal 43% (101/236) Stevens et al. (2006) Daging/karkas sapi Rumah potong di Vietnam Selatan 27.4% (107/390) Vo et al. (2006) Daging sapi Supermarket, Thailand 24% (6/25) Minami et al. (2010) Daging sapi Pasar tradisional, Thailand 0% (0/4) Minami et al. (2010) Daging sapi Ritel daging, Provinsi Shaanxi, Cina 17% (13/78) Yang et al. (2010) Daging sapi Ritel daging, Teheran, Iran 20% (38/379) Dallal et al. (2010)

Karkas ayam Supermarket dan toko daging, Barat Daya Spanyol

55% (22/40) Capita et al. (2003)

Daging ayam Toko daging, supermarket dan penjual di jalan, Provinsi Gauteng, Afrika Selatan

19.2% (19/99) Nierop et al. (2005)

Daging ayam Pasar Kota Metropolitan Kathmandu, Nepal

14.5% (4/55) Maharjan et al. (2006)

Karkas/daging ayam Rumah potong di Vietnam Selatan 38.5% (99/257) Vo et al. (2006) Daging ayam Pasar di 5 district, Hanoi, Vietnam 48.9% (128/262) Huong et al. (2006) Karkas ayam Rumah potong, Barat Daya Spanyol 17.9% (60/336) Capita et al. (2007)

Daging ayam (paha atas)

Supermarket, toko daging Provinsi Bursa, Turki

0.60% (1/168); Salmonella infantis

Cetinkaya et al. (2008)

Daging ayam Ritel daging, Eastern County Hungaria 72.7% (40/55) Salmonella infantis Daging ayam Pasar tradisional, Thailand 48% (13/27) Minami et al. (2010) Daging ayam Ritel daging, Provinsi Shaanxi, Cina 54% (276/515) Yang et al. (2010) Daging ayam Ritel daging, Teheran, Iran 45% (86/379) Dallal et al. (2010)

Daging ayam (paha atas)

Pasar Al-Ahsa, Arab Saudi 10%; Salmonella arizona

Ayam (flock) Peternakan ayam pedaging di Perancis 8.6% (32/370) Bouquin et al. (2010) Ayam (flock) Peternakan komersial ayam broiler di

Valencia (Spanyol Timur) beberapa pasar di central Anatolia

34% (68/200) Yildirim et al. (2011)

Daging ayam Rumah potong unggas di Perancis 7.52% (32/425) Hue et al. (2011) Daging ayam Pasar tradisional di Taipe, Taiwan 41.4% (173/417)

(tahun 2000-2005)

Chen et al. (2011)

Daging ayam Ritel daging di Australia Selatan 38.8% (138/356) Fearnley et al. (2011) Daging ayam dan

sapi Hypermart

(28)

Dampak Salmonella terhadap Kesehatan Masyarakat

Salmonelosis merupakan salah satu penyakit enterik yang disebabkan oleh bakteri terpenting yang menyebabkan jutaan kasus penyakit pada manusia dan hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan di seluruh dunia (Nógrády et al. 2008). Salmonelosis pada manusia umumnya dikategorikan

foodborne disease yang disebabkan oleh konsumsi makanan asal hewan yang tercemar (daging, susu, unggas, telur). Produk susu, termasuk keju dan es krim, juga pernah berkaitan dengan wabah salmonelosis (Bhunia 2008; Hugas et al. 2009). Wabah salmonelosis akibat pangan asal hewan yang tercemar terus mendapat perhatian khusus dari masyarakat dan pemerintah (Cao et al. 2009).

Foodborne disease yang disebabkan oleh non-typhoid Salmonella merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia (Yang et

al. 2010). Gejala salmonelosis pada manusia paling sering ditunjukkan sebagai non-typhoid syndrome, yang meliputi onset demam yang akut, nyeri abdomen, nausea, dan kadang-kadang muntah. Gejala ini berjalan dalam waktu tertentu (self-limiting). Menurut Namata et al. (2009), manusia umumnya terinfeksi

Salmonella karena mengonsumsi telur, daging unggas, daging babi, dan daging sapi (jarang).

Salmonella menyebabkan tiga bentuk penyakit, yaitu demam tifoid (typhoid fever), gastroenteritis, dan bakterimia. Salmonella enterica serovar Typhi merupakan tipe paling invasif dan menyebabkan demam tifoid, yang merupakan penyakit sistemik pada manusia. S. enterica serovar Paratyphi menyebabkan infeksi seperti tifoid (typhoid-like infection) pada manusia. S. enterica serovar Typhimurium dan serovar Enteritidis menyebabkan gastroenteritis atau enterokolitis yang bersifat terbatas, yang umumnya terlokalisasi di saluran gastrointestinal. Kedua serovar tersebut merupakan serovar yang paling sering

menyebabkan infeksi pada manusia. S. enterica serovar Typhimurium

(29)

Dublin, dan Arizonae) kadang menyebabkan infeksi pada manusia. S. enterica serovar Pullorum dan Gallinarum menginfeksi unggas (Bhunia 2008). Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh Salmonella disarikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Penyakit yang dapat disebabkan oleh Salmonella (Bell & Kyriakides 2002)

Penyakit Dosis Infektif Karakteristik Penyakit Serotipe yang terlibat

Demam enterik Dosis infektif dapat <1000 sel Masa inkubasi 7-28 hari, rata-rata 14 hari

(30)

Typhimurium. Di England dan Wales pada tahun 2002, dilaporkan bahwa laju infeksi (infection rate)serovar Enteritidis adalah 18.8 kasus per 100 000 orang, sedangkan serovar Typhimurium 3.7 kasus per 100 000 orang dan serovar Virchow 0.5 kasus per 100 000 orang (Nørrung et al. 2009). Serovar-serovar S. enterica memiliki dampak ekonomis besar dan merupakan agen patogen yang ditularkan melalui makanan yang paling penting terkait dengan penyebab kematian konsumen (Humphrey 2006).

Salmonella enterica dapat menyebabkan penyakit yang serius yang tidak tertolong. Penyakit ini lebih parah terjadi pada orang tua, anak-anak dan orang yang menderita gangguan imunitas. Gejala klinis umum yang tampak adalah diare (87% kasus), nyeri abdominal (84%), demam (75%), nausea dan nyeri otot (65%). Sekitar seperempat kasus menunjukkan muntah dan sakit kepala. Masa inkubasi salmonelosis ini antara 12 sampai 72 jam, namun pernah dilaporkan lebih dari masa tersebut. Pada beberapa wabah salmonelosis dilaporkan masa inkubasinya lebih singkat, yaitu 2.5 jam (Humphrey 2006).

Orang yang terkena salmonelosis biasanya ditandai dengan panas, diare, nyeri abdominal, dan mual. Gejala yang ditimbulkan biasanya tidak terlihat, akan tetapi infeksi tersebut dapat menimbulkan dehidrasi yang sangat hebat sampai dengan kematian (Nørrung et al. 2009).

Pencegahan Pencemaran Salmonella

Melihat bahaya yang ditimbulkan oleh Salmonella, maka masalah cemaran

Salmonella harus harus mendapat perhatian dari berbagai pihak. Agar infeksi Salmonella terhadap hewan hidup tidak menyebar perlu dilakukan beberapa tindakan pencegahan seperti: menjaga kebersihan dan desinfeksi kandang, menerapkan biosafety, memakai sepatu yang khusus untuk masuk ke dalam kandang (Adeline et al. 2009).

(31)

Untuk mengendalikan risiko pada kesehatan manusia, maka sangat penting melaksanakan pengendalian di tingkat peternakan untuk mengurangi pencemaran silang yang dapat terjadi sepanjang rantai makanan (Namata et al. 2009). Nesbakken (2009) menambahkan untuk mencegah terjadinya penyebaran perlu didirikannya suatu unit populasi yang bebas dari bakteri patogen dan pastikan bakteri patogen tersebut belum pernah ada di area tersebut.

Pencemaran karkas dari Salmonella tidak dapat dihindari jika unggas yang

masuk rumah potong membawa Salmonella, namun dapat diminimalisasi melalui

perbaikan sistem pemotongan (ICMSF 1998). Nesbakken (2009) juga berpendapat, kontaminasi banyak terjadi di tempat-tempat pemotongan hewan. Kemampuan operator dalam melakukan pengulitan sampai pengeluaran organ visera merupakan kunci dari penyembelihan yang higienis. Hewan yang bersih, pengerjaan yang baik dan higienis, serta didukung oleh kesehatan dan keahlian operator dalam penyembelihan secara higienis dapat mencegah terjadinya kontaminasi pada karkas oleh bakteri patogen.

(32)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan September 2009 sampai dengan Oktober 2009. Sampel daging sapi dan ayam diambil dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat (Tabel 8). Pengujian presumtif Salmonella dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) dan pengujian serologis (konfirmasi) dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) Bogor.

Tabel 8 Lokasi dan jumlah sampel daging sapi dan daging ayam yang diambil

di Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Daging Sapi Daging Ayam Jumlah Total

1. Kota Bekasi 2 3 5

2. Kabupaten Purwakarta 2 3 5

3. Kabupaten Bogor 2 3 5

4. Kota Bogor 2 3 5

5. Kota Sukabumi 2 3 5

6. Kabupaten Bandung 2 3 5

7. Kota Bandung 2 3 5

8. Kabupaten Cianjur 2 3 5

9. Kabupaten Sumedang 2 3 5

10 Kabupaten Tasikmalaya 2 3 5

11. Kota Cirebon 2 3 5

12. Kabupaten Indramayu 2 3 5

24 36 60

Pengambilan dan Jumlah Sampel

(33)

ayam setengah karkas. Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es. Sampel diuji maksimum 24 jam setelah pengambilan.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah daging ayam dan daging sapi masing-masing 25 gram, buffered peptone water (BPW) 0.1% (225 ml) (Pronadisa 1402.00), Salmonella enrichment broth acc. to Rappaport and Vassiliadis/RVS broth (Merck 1.07700), XLD medium (Oxoid CM0469), triple sugar iron agar/TSIA (Difco 0265-01-9), lysine iron agar (LIA) (Merck 1.11640) dan nutrient agar (Oxoid CM0003). Selanjutnya, kuesioner yang telah dirancang untuk pedagang daging sapi dan daging ayam.

Alat yang digunakan adalah gunting, pinset, timbangan digital, stomacher (Seward), erlenmeyer, pipet, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pembakar bunsen, cawan petri (diameter 10 cm), batang ose, penangas air, inkubator, otoklaf, dan oven.

Kuesioner

(34)

Pengujian Salmonella

Pengujian Salmonella di laboratorium dilakukan dengan metode isolasi dan identifikasi menurut the Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods (Andrews et al. 2001). Metode ini terdiri dari lima tahap, yaitu pre-enrichment, selective enrichment, pemupukan pada media selektif, pengujian biokimia, dan pengujian serologis. Pengujian serologis dilaksanakan di BBALITVET Bogor.

Tahap pre-enrichment. Sampel daging ditimbang sebanyak 25 gram dalam

kantong plastik steril, kemudian 225 ml buffered peptone water (BPW) 0.1% dimasukkan ke dalam kantong plastik tersebut dan selanjutnya dihomogenkan dengan stomacher (kecepatan normal, selama 60 detik). Homogenat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer steril (500 ml) dan diinkubasi pada suhu 35 °C selama 18 ± 2 jam.

Selective enrichment. Sejumlah 0.1 ml inokulan dari BPW yang telah

diinkubasi diambil dan dimasukkan ke dalam 10 ml RV-medium (dalam tabung reaksi). Tabung reaksi tersebut diinkubasi pada suhu 42 ± 0.2 °C selama 24±2 jam.

Pemupukan pada media selektif. Satu atau dua ose inokulan dari RV-medium diambil dan digoreskan pada media selektif (XLD agar). Cawan petri yang telah digores tersebut diinkubasi pada suhu 35-37 °C selama 24 jam.

Pengujian biokimia. Koloni yang diduga sebagai Salmonella diambil dan kemudian diinokulasikan pada media TSIA dan LIA. Kedua media tersebut diinkubasi pada suhu 35-37 °C selama 24 ± 2 jam. Kemudian hasilnya dibaca setelah media diinkubasi. Pembacaan hasil positif uji TSIA dan LIA dapat dilihat pada Tabel 9. Biakan yang menunjukkan positif pada uji TSIA dan LIA ditanam pada agar miring (nutrient agar) dan dikirim ke BBALITVET Bogor untuk konfirmasi Salmonella.

Analisis Data

(35)

Tabel 9 Hasil positif uji TSIA dan LIA untuk identifikasi Salmonella

Tempat TSIA LIA

Slant Merah Ungu

Button Kuning/hitam Ungu

H2S + +

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pedagang Daging

Sampel daging sapi dan ayam diperoleh dari pasar-pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sebagian besar pedagang daging sapi (54.2%) dan daging ayam (63.9%) berjenis kelamin laki-laki. Pedagang daging sapi yang telah menempuh pendidikan tingkat SMU sebanyak 45.8% dan pedagang daging ayam sebanyak 38.9%. Hampir semua (91.7%) pedagang sapi dan hampir tiga per empat (72.2%) pedagang ayam memiliki pengalaman dalam menangani daging lebih dari 5 tahun.

Para pedagang daging ayam dan daging sapi umumnya telah mendapatkan penyuluhan dari pemerintah daerah maupun institusi pendidikan tentang cara penanganan daging yang baik. Sebagian besar (83.3%) pedagang daging sapi dan lebih dari setengah (55.6%) pedagang daging ayam di Provinsi Jawa Barat sudah mendapat penyuluhan tentang penanganan daging. Rata-rata daging habis terjual 1-2 hari. Sebanyak 91.7% pedagang daging sapi dan 72.2% pedagang daging ayam dapat menghabiskan dagangan dagingnya selama satu hari. Hampir semua (83.33%) pedagang daging sapi dan sekitar tiga per empat (72.22%) pedagang daging ayam menyimpan daging yang tidak terjual dengan pendinginan. Karakteristik pedagang daging di pasar-pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 10.

(37)

Tabel 10 Karakteristik pedagang daging di pasar-pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat

Karakteristik pedagang daging Persentase pedagang daging sapi (n=24) Persentase pedagang daging ayam (n=36)

Jenis kelamin pedagang

Laki-laki 54.2 63.9

Perempuan

45.8 36.1

Pendidikan pedagang

Tidak sekolah 0 0

Tidak lulus SD 8.3 0

SD sederajat 12.5 36.1

SMP sederajat 33.3 25

SMU sederajat 45.8 38.9

PT sederajat

0 0

Pengalaman usaha

Kurang dari 1 tahun 0 11.1

1-3 tahun 0 11.1

3-5 tahun 8.3 5.6

Lebih dari 5 tahun 91.7 72.2

Lama rata-rata daging di tempat penjualan

1 hari 91.7 88.9

2 hari 83.3 11.1

Cara penanganan daging

Disimpan dalam pendingin 83.3 72.2

Disimpan pada tempat tanpa pendingin

16.7 27.8

Ada atau tidaknya penyuluhan

Ada 83.3 55.6

(38)

Keberadaan Salmonella pada Daging

Berdasarkan hasil pengujian laboratorium terhadap Salmonella, jumlah sampel daging sapi yang positif Salmonella sebanyak 13 sampel dari 24 sampel (54.2%), sedangkan sampel daging ayam yang positif sebanyak 24 sampel dari 36 sampel (66.7%). Cemaran Salmonella lebih banyak ditemukan pada daging ayam dibandingkan dengan daging sapi. Sampel daging sapi yang berasal dari Kota Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya tidak ditemukan Salmonella, sedangkan sampel daging ayam dari Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sumedang tidak ditemukan Salmonella. Hasil pengujian Salmonella pada daging sapi dan daging ayam yang dijual di pasar-pasar di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Keberadaan Salmonella pada daging sapi dan daging ayam di 12 kabupaten/kota/di Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Positif Salmonella

Daging Sapi Daging Ayam

1. Kota Bekasi 2/2 (100%) 2/3 (66.7%)

2. Kabupaten Purwakarta 1/2 (50%) 1/3 (33.3%)

3. Kabupaten Bogor 2/2 (100%) 3/3 (100%)

4. Kota Bogor 0/2 (0%) 3/3 (100%)

5. Kota Sukabumi 2/2 (100%) 2/3 (66.7%)

6. Kabupaten Bandung 1/2 (50%) 2/3 (66.7%)

7. Kota Bandung 0/2 (0%) 3/3 (100%)

8. Kabupaten Cianjur 1/2 (50%) 0/3 (0%)

9. Kabupaten Sumedang 1/2 (50%) 0/3 (0%)

10. KabupatenTasikmalaya 0/2 (0%) 3/3 (100%)

11. Kota Cirebon 1/2 (50%) 3/3 (100%)

12. Kabupaten Indramayu 2/2 (100%) 2/3 (66.7%)

Jumlah 13/24 (54.2%) 24/36 (66.7%)

(39)

menunjukkan gejala klinis (bersifat subklinis) sehingga bakteri ini cenderung menyebar dengan mudah di antara flok atau kumpulan ternak. Selain itu, hewan dapat menjadi pembawa penyakit (carrier) yang persisten, sehingga prevalensi kejadian Salmonella tidak mudah dideteksi, kecuali melalui pengambilan dan pemeriksaan sampel yang rutin (Namata et al. 2009). Oleh sebab itu, hewan sehat dapat berperan sebagai carrier dalam menularkan Salmonella ke hewan normal (Abouzeed et al. 2000) dan saat menunggu giliran untuk dipotong (Lawrie & Ledward 2006).

Feedmills juga dilaporkan sebagai sumber infeksi yang potensial terhadap pencemaran Salmonella pada daging (Arsenault et al. 2007). Lewerin et al. (2005) melaporkan bahwa pada tahun 1997 S. Yoruba ditemukan pada kedelai yang digunakan sebagai bahan pembuatan pakan babi dan unggas. Hal ini dikarenakan S. Yoruba memiliki ketahanan terhadap pemanasan tinggi selama proses pengolahan kedelai menjadi pelet. Humphrey (2006) juga mengemukakan bahwa jalur infeksi atau cemaran Salmonella enterica terpenting pada unggas adalah di pembibitan, yang mana infeksi diturunkan secara vertikal ke dalam telur tetas. Sumber lain infeksi Salmonella pada unggas adalah pakan yang tercemar, rodensia, cacing, dan hewan liar lain.

Pencemaran Salmonella pada daging yang paling sering biasanya terjadi selama proses pemotongan hewan (Hanes 2003; Goncagül et al. 2005; Stevens et

al. 2006; Stevens et al 2006; Cortez et al. 2006). Penelitian Cortez et al. (2006) dan Nógrády et al. (2008) menunjukkan bahwa pencemaran daging ayam di rumah potong terjadi melalui feses, bulu, air panas rendaman sebelum pencabutan bulu (scalding water), air eviserasi, air pendingin (chiller water), dan air bilasan karkas. Lebih lanjut Humphrey (2006) menyatakan bahwa pencemaran Salmonella pada karkas/daging unggas sering terjadi saat proses pemotongan, terutama saat eviserasi (pengeluaran isi jeroan), serta pada saat pencelupan dalam air hangat (soft scalding).

(40)

ayam). Dalam penelitian didapatkan bahwa tingkat pencemaran Salmonella pada daging ayam lebih tinggi daripada daging sapi. Hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian Minami et al. (2010) di Thailand (0% pada daging sapi dan 48% pada daging ayam) dan Dallal et al. (2010) di Iran (20% pada daging sapi dan 45% pada daging ayam).

Unggas merupakan sumber penting bagi Salmonella dan sering menjadi sumber pencemaran terhadap daging (Hamphrey 2006). Kasus Salmonella pada unggas sering ditemukan di banyak negara (Capita et al. 2003). Unggas dikenal sebagai sumber penting infeksi Salmonella pada manusia, karena unggas dipelihara secara intensif dan diproses dalam skala besar dalam rangka penyediaan daging yang murah (Corry et al. 2002). Bhunia (2008) juga berpendapat bahwa pemeliharaan dengan kepadatan tinggi di peternakan mempermudah penyebaran Salmonella antar unggas dalam satu flok. Dalam beberapa tahun terakhir perhatian difokuskan kepada penentuan prevalensi

Salmonella dalam tahapan pada rantai produksi unggas (Huong et al. 2006). Manusia dapat terinfeksi Salmonella melalui kontak dengan sesama manusia, hewan, dan makanan yang terkontaminasi (Bell & Kyriakides 2002). Menurut Vindigni et al. (2007) yang dikutip Dallal et al. (2010), daging unggas dan daging merah (red meat) yang mentah atau tidak dimasak sempurna merupakan media utama yang penting dalam penularan penyakit. Hal ini didukung oleh pernyataan Minami et al. (2010) yang mengatakan bahwa keberadaan bakteri patogen di makanan mentah dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang dan berkonsekuensi terhadap kesehatan masyarakat.

Salmonella menyebabkan tiga bentuk penyakit yaitu demam tifoid, gastroenteritis, dan bakterimia (Bhunia 2008; Bell & Kyriakides 2002). S. enterica serovar Typhimurium dan serovar Enteritidis merupakan serovar yang paling sering menyebabkan infeksi pada manusia (Bhunia 2008). Goncagül et al. (2005) menambahkan bahwa infeksi Salmonella juga dapat menyebabkan artritis dan osteomielitis.

(41)

dengan kematian (Nǿrrung et al. 2009). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Humphrey (2006) bahwa Salmonella enterica dapat menyebabkan penyakit yang serius yang tidak tertolong. Penyakit ini lebih parah terjadi pada orang tua, anak-anak dan orang yang menderita gangguan imunitas. Gejala klinis umum yang tampak adalah diare (87% kasus), nyeri abdominal (84%), demam (75%), nausea dan nyeri otot (65%). Sekitar seperempat kasus menunjukkan muntah dan sakit kepala. Masa inkubasi salmonelosis ini antara 12 sampai 72 jam, namun pernah dilaporkan lebih dari masa tersebut. Pada beberapa wabah salmonelosis dilaporkan masa inkubasinya lebih singkat yaitu 2.5 jam.

Foodborne disease yang disebabkan oleh non-typhoid Salmonella merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia (Yang et

al. 2010) dan paling sering bersumber dari hewan (Vo et al. 2006). Selanjutnya Nógrády et al. (2008) menyatakan bahwa salmonelosis merupakan salah satu penyakit enterik yang disebabkan oleh bakteri terpenting yang menyebabkan jutaan kasus penyakit pada manusia dan hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan di seluruh dunia. Menurut Keene (2006), kerugian ekonomis itu terkait dengan penyediaan dana perawatan sakit bagi individu dan keluarga serta pengurangan produktivitas kerja.

Untuk mengendalikan risiko pada kesehatan manusia, maka sangat penting melaksanakan pengendalian di tingkat peternakan untuk mengurangi pencemaran silang yang dapat terjadi di sepanjang rantai makanan (Namata et al. 2009). Pernyataan ini didukung oleh Adeline et al. (2009) yang menerangkan pentingnya menerapkan biosafety, selalu menjaga kebersihan kandang, melakukan desinfeksi lantai dan udara, dan memakai sepatu yang khusus untuk masuk ke dalam kandang.

(42)

dengan suhu pasteurisasi minimum 71.7 °C selama 15 detik diikuti dengan pendinginan segera pada suhu 3-4 °C atau pembekuan dalam waktu 2 jam dapat mengeliminasi Salmonella dari makanan (Bhunia 2008).

Menurut Nesbakken (2009), kemampuan operator di rumah potong dalam melakukan pengulitan sampai pengeluaran organ viseral merupakan kunci dari penyembelihan yang higienis. Hewan yang bersih, pengerjaan yang baik dan higienis, serta didukung oleh kesehatan dan keahlian operator dalam penyemblihan secara higienis dapat mencegah terjadinya kontaminasi pada karkas oleh bakteri patogen.

(43)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Keberadaan Salmonella pada daging sapi dan daging ayam yang dijual di pasar-pasar di Provinsi Jawa Barat adalah berturut-turut 54.2% (13/24 sampel) dan 66.7% (24/36 sampel).

2. Salmonella pada daging sapi ditemukan di Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sumedang, sedangkan di Kota Bogor dan Kabupaten Tasikmalaya tidak ditemukan.

3. Salmonella pada daging ayam ditemukan di Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya, sedangkan di Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sumedang tidak ditemukan.

Saran

Berdasarkan penelitian ini, disarankan beberapa hal terkait pencegahan dan pengendalian Salmonella pada pangan asal hewan, khususnya daging, sebagai berikut:

1. Diharapkan pemerintah daerah dapat meningkatkan pembinaan dan

pengawasan terhadap keamanan pangan asal hewan mulai dari peternakan hingga ke konsumen.

2. Penerapan biosafety dan biosecurity pada peternakan perlu didorong untuk mencegah penyebaran cemaran Salmonella.

3. Pembinaan dan pengawasan pemerintah terhadap sanitasi dan higiene pada

rumah potong dan kios daging di pasar perlu ditingkatkan karena rumah potong dan pasar merupakan sumber pencemaran terbanyak terhadap daging sapi dan daging ayam.

(44)

5. Pemerintah pusat diharapkan dapat lebih meningkatkan Program Monitoring dan Surveilance Residu dan Cemaran Mikroba (PMSR) pada tiap-tiap daerah.

6. Diharapkan dari penelitian berikutnya sampel yang diambil tidak hanya di pasar tradisional, akan tetapi juga dapat diambil dari supermarket dan rumah potong hewan (RPH).

7. Untuk melakukan pengamatan terhadap keberadaan Salmonella pada karkas,

perlu dilakukan pengamatan terhadap keberadaan Salmonella pada

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Abouzeed YM, Hariharan H, Poppe C, Kiebenge FSB. 2000. Characterization of Salmonella isolate from beef cattle, broiler chicken, and human sources on Prince Edward Island. Comp Immun Microbiol Infect Dis 23:253-266. Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology. Ed-3. Cambridge: RSC Pub. Adeline HS, Marianne C, Sophie LB, Françoise L, Isabelle P, Sandra R, Virginie

M, Philippe F, Nicolas R. 2009. Risk factors for Salmonella enterica subsp. Enterica contamination in 519 French laying hen flocks at the end of the laying period. Prev Vet Med 89:51-58.

Al-Dughaym AM, Altabari GF. 2010. Safety and quality of some chicken meat products in Al-Ahsa markets-Saudi Arabia. Saudi J Biol Sci 17:37–42. Anderson RC, Ziprin RL. 2001. Bacteriology of Salmonella. Di dalam: Hui YH,

Pierson MD, Gorham JR, editor, Foodborne Disease Handbook. Marcel Dekker. Hlm 247-264.

Andrews WH, Flowers RS, Silliker J, Bailey SJ. 2001. Salmonella. Di dalam: Downes FP, Ito K, editor, CompendiumofMethodsfortheMicrobiological Examination of Foods. Ed ke-4. Washington: APHA.

Arsenault J, Letellier A, Quessy S, Normand V, Boulianne M. 2007. Prevalence and risk factors for Salmonella spp. and Campylobacter spp. caecal colonization in broiler chicken and turkey flocks slaughtered in Quebec, Canada. Prev Vet Med 81:250–264.

Bell C, Kyriakides A. 2002. Salmonella a Partical Approach to the Organism and Its Control in Food. Iowa: Blackwell Sci.

Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens: Mechanisms and

Pathogenesis. New York: Springer.

Bouquin SL, Allain V, Rouxel S, I. Petetin I, Picherot M, Michel V, Chemaly M. 2010. Prevalence and risk factors for Salmonella spp. contamination in French broiler-chicken flocks at the end of the rearing period. Prev Vet Med 97:245–251.

Brands DA. 2006. Deadly Diseases and Epidemics: Salmonella. Philadelphia: Chelsea House Pub.

Busse M. 1995. Media for Salmonella. Dalam Corry JEL, Curtis GDW, Baird RM editor, Culture Media for Microbiology – Progress in Industrial Microbiology Vol 34. Amsterdam: Elsevier.

Boer ED. 1998. Update on media for isolation of Enterobacteriaceae from foods. Int J Food Microbiol 45:43–53.

(46)

Capita R, Álvarez-Astorga M, Alonso-Calleja C, Moreno B, García-Fernández MC. 2003. Occurrence of salmonellae in retail chicken carcasses and their products in Spain. Int J Food Microbiol 81:169-173.

Capita R, Alonso-Calleja C, Prieto M. 2007. Prevalence of Salmonella enterica serovars and genovars from chicken carcasses in slaughterhouses in Spain. J Appl Microbiol 103:1366-1375.

Cetinkaya F, Cibik R, Soyutemiz GE, Ozakin C, Kayali R, Levent B. 2008. Shigella and Salmonella contamination in various foodstuffs in Turkey. Food Control 19:059–1063.

Chen MH, Hwang WZ, Wang SW, Shih YC, Tsen HY. 2011. Pulsed field gel electrophoresis (PFGE) analysis for multidrug resistant Salmonella enterica serovar Schwarzengrund isolates collected in six years (2000-2005) from retail chicken meat in Taiwan. Food Microbiol 28:399-405.

Corry JEL, Allen VM, Hudson WR, Breslin MF, Davies RH. 2002. Sources of salmonella on broiler carcasses during transportation and processing: modes of contamination and methods of control. J Appl Microbiol 92:424-432. Cortez ALL,. Carvalho ACFB, Ikuno AA, Bürger KP, Vidal-Martins AMC.

2006. Identification of Salmonella spp. isolates from chicken abattoirs by multiplex-PCR. Res Vet Sci 81:340–344.

Dallal MMS, Doyle MP, Rezadehbashi M, Dabiri H, Sanaei M, Modarresi S, Bakhtiari R, Sharifiy K, Taremi M, Zali MR, Sharifi-Yazdi MK. 2010. Prevalence and antimicrobial resistance profiles of Salmonella serotypes, Campylobacter and Yersinia spp. isolated from retail chicken and beef, Tehran, Iran. Food Control 21:388–392.

[Ditjennak Keswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2009. Statistik Peternakan 2009. [terhubung berkala]. http://www.ditjennak.go.id [20 Agustus 2009].

[EFSA] European Food Safety Authority. 2007. Zoonoses Data Collection Reports. [terhubung berkala]. http://www.efsa.europa.eu/en/science/ monitoring_zoonoses/reports.html [17 Agustus 2010].

[FDA] Food and Drug Administration. 2011. Bacteriological Analytical Manual Chapter 5 Salmonella. [terhubung berkala]. http://www.fda.gov/ default.htm [28 Mei 2011].

Fearnley E, Raupach J, Lagala F, Cameron S. 2011. Salmonella in chicken meat, eggs and humans; Adelaide, South Australia, 2008. Int J Food Microbiol 146:219-227.

Goncagül G, Günaydin E, Carli KT. 2005. Prevalence of Salmonella serogroups in chicken meat. Turk J Vet Anim Sci 29:103-106.

Hanes D. 2003. Non-typhoid Salmonella. Di dalam: Miliotis MD, Bier JW, editor, International Handbook of Foodborne Pathogens. New York: Marcel Dekker. Hlm 137-150.

Gambar

Tabel 1  Jumlah produksi daging sapi dan daging ayam di Provinsi Jawa Barat (Ditjennak Keswan 2009)
Tabel 3  Karakteristik pertumbuhan Salmonella (Norhana et al. 2010)
Tabel 4   Ringer solution sebagai media selektif untuk Salmonella pada ayam beku (Busse 1995)
Tabel 5  Karakteristik reaksi Salmonella pada beberapa media isolasi (Boer 1998)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam buku tersebut ditegaskan cara penilaian yang meliputi aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang mencerminkan kompetensi mahasiswa (pasal 19). Secara lengkap,

Komunikasi juga dapat diartikan sebagai proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk membertihau atau merubah sikap, pendapat atau perilaku baik

Sehingga, penulis melakukan penelitian tindakan kelas untuk mengetahui apakah metode demonstrasi dapat meningkatkan kemampuan motorik halus anak di TK Siwi Peni

Setiap aplikasi dalam Visual Basic disebut dengan istilah project, dan setiap proyek bisa mengandung lebih dari satu file. Gambar 2.7

Concrete cutting ( concrete cutter) atau mesin pemotong aspal adalah mesin yg berfungsi untuk memotong aspal atau beton pada proyek jalan yang tersedia dalam beberapa

sebuah indikator kualitas sumber daya manusia pada suatu perusahaan. 3) Structural Capital Value Added (STVA). STVA mengukur jumlah yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1

Hasil dari program ini ialah masyarakat memahami siklus hidup maggot, tata cara membudidayakan maggot, keuntungan dalam membudidayakan maggot, jenis sampah organik yang

Hasil penelitian ditemukan bahwa Upaya Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Membina Akhlak Peserta didik Kelas VIII Di SMP Negeri 2 Tulang Bawang Tengah mengalami berbagai kendala