• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of regional development and disparities in regional development border and non border in West Kalimantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of regional development and disparities in regional development border and non border in West Kalimantan"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

PERBATASAN DI KALIMANTAN BARAT

RITA YULISA

NRP. A156090081

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini menyatakan bahwa tesis Analisis Perkembangan Wilayah dan Disparitas Pembangunan Wilayah Perbatasan dan Non-Perbatasan di Kalimantan Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2011

Rita Yulisa

(3)

ABSTRACT

RITA YULISA. Analysis of Regional Development and Disparities in Regional Development Border and Non-Border in West Kalimantan. Under direction of SANTUN R. P. SITORUS and ATANG SUTANDI

Indonesia is an archipelago that has many border areas with other countries in the region of sea and land. In West Kalimantan border there are 5 district border, namely are Sambas District, Bengkayang, Sanggau, Sintang, and Kapuas Hulu District. The border region of a country has a strategic value in supporting the success of national development, especially in the aspect of political, economic, and ecological. Border areas of natural resource potential is quite large and very high economic value, yet can be put to good use.

The research was conducted in 5 districts in West Kalimantan border and aims to determine the level of development of regions, Leading sectors, the level of disparity that occurred in the border regions and the factors causing the disparity, further research will be able to provide recommendations in the process of border regional development policy. Analytical methods used to achieve these objectives include skalogram analysis, analysis of LQ and SSA, Williamson index and Theil Entropy Index, and Spatial Econometrics.

The results obtained by the analysis that the level of development of border districts in the county is still dominated by 3 hierarchy and 2 hierarchy, which means that the facilities and infrastructure in almost all sub-district boundary is uneven and inadequate, both non-border districts and district boundaries. Leading sectors in the three border districts of Sambas District, Sanggau, and Kapuas Hulu District is the agricultural sector, but it is trade, hotels, and restaurants, transport and communication sector, financial sector, rental and service companies, as well as the service sector. The mining sector is a sector that has the potential to be developed in some districts such as districts Paloh in Sambas district, and some non-border districts in the District and other Kapuas Hulu.

Disparity analysis results showed that there was disparity sub districts in the border counties with Williamson index value of 0.54. Disparities that occur in the form of disparities within each group the Border District Area (WKP) and the Non-Border District Area groups (WKNP). The factors that cause disparities in the border region is a factor of its own sub-regional GDP (GDP), and the surrounding district GRDP (W_PDRB), as well as factors that occur in the sub-district disparities around (W_Disparitas).

Disparities that occurred in the border districts should be dealt with simultaneously and to put forward a comprehensive approach to prosperity than the approach to safety. Construction of basic infrastructure, especially infrastructure for basic social service needs should be a priority in the district border. Efforts to improve the local economy should be based on resource potential and to create linkages between sectors in one district and inter-sectoral linkages with the surrounding districts.

(4)

RINGKASAN

RITA YULISA. Analisis Perkembangan Wilayah dan Disparitas Pembangunan Wilayah Perbatasan dan Non-Perbatasan di Kalimantan Barat. Dibimbing oleh SANTUN R. P. SITORUS dan ATANG SUTANDI

Indonesia merupakan negara kepulauan yang banyak memiliki wilayah perbatasan dengan negara lain yang berada di kawasan laut dan darat. Perbatasan Darat Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan secara administratif meliputi 2 (dua) provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Di Kalimantan Barat sendiri terdapat 5 Kabupaten perbatasan diantaranya Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Kabupaten Kapuas Hulu.

Wilayah perbatasan suatu negara memiliki nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional terutama dalam aspek politik, ekonomi, dan ekologi. Potensi sumberdaya alam wilayah perbatasan yang cukup besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi, belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Wilayah perbatasan cenderung menjadi beban karena sebagian besar wilayah perbatasan masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Secara umum infrastruktur sosial ekonomi di kawasan ini, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, maupun sarana prasarana penunjang wilayah masih memerlukan banyak peningkatan.

Penelitian ini dilakukan di 5 kabupaten perbatasan di Kalimantan Barat dan bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah, sektor unggulan, tingkat disparitas yang terjadi di daerah perbatasan serta faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas, lebih jauh lagi penelitian ini nantinya dapat memberikan masukan/rekomendasi dalam proses penyusunan kebijakan pembangunan daerah perbatasan. Metode analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut diantaranya adalah analisis skalogram, analisis LQ dan SSA, Indeks Williamson dan Theil Indeks Entropy, dan Ekonometrika Spasial.

(5)

(PDRB), dan PDRB kecamatan sekitarnya (W_PDRB), serta faktor disparitas yang terjadi di kecamatan sekitar (W_Disparitas).

Disparitas yang terjadi di kecamatan perbatasan harus ditangani secara simultan dan menyeluruh dengan lebih mengedepankan pendekatan pembangunan masyarakat (prosperity) daripada pendekatan keamanan (security). Pembangunan sarana prasarana dasar terutama infrastruktur untuk pelayanan kebutuhan sosial dasar perlu menjadi prioritas di kecamatan perbatasan. Upaya peningkatan perekonomian lokal wilayah harus berbasis potensi sumberdaya dan menciptakan keterkaitan antar sektor unggulan disatu kecamatan maupun keterkaitan antar sektor dengan kecamatan disekitarnya.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tesis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

(7)

ANALISIS PERKEMBANGAN WILAYAH DAN DISPARITAS

PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN DAN NON

PERBATASAN DI KALIMANTAN BARAT

RITA YULISA

TESIS

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar MAGISTER SAINS

Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Perkembangan Wilayah dan Disparitas Pembangunan Wilayah Perbatasan dan Non-Perbatasan di Kalimantan Barat Nama : Rita Yulisa

NRP : A156090081

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ir. Atang Sutandi, M.Si, Ph.D

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

Sebuah karya yang kuperuntukkan bagi orang-orang yang kukasihi dan mengasihiku:

Drs. Bartolomeus Japari Panjaitan Ibunda Nurhayati

serta adik-adikku

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmah, karunia, dan taufik-Nya sehingga penelitian dengan judul Analisis Perkembangan Wilayah dan Disparitas Pembangunan Wilayah Perbatasan dan Non-Perbatasan di Kalimantan Barat dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini tidak terlepas dari peran dan dukungan berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus sebagai Ketua Komisi pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, kemudahan dalam studi, menyumbang pikiran, dan menambah pengalaman penulis

2. Dr. Ir. Atang Sutandi sebagai anggota komisi yang telah memberikan masukan kritis, penajaman, pengkayaan, dan membuka cakrawala penulis 3. Dr. Ir. Setia Hadi M.Si penguji luar komisi yang telah membuat tesis ini

menjadi lebih sempurna

4. Segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB

5. Orang tua saya tercinta Bapak Drs. Bartolomeus Japari Panjaitan dan Mama Nurhayati serta adikku Ridho Zia Suhaya dan Reza Muharram yang selalu mendukung dan mendoakanku.

6. Ir. Fajar yang telah memberikan masukan dan memfasilitasi survei lapang ke lokasi penelitian

7. Instansi-instansi terkait yang terlah memberikan kemudahan dalam hal memperoleh data, serta seluruh Bapak-bapak Camat di Kabupaten Kapuas Hulu dan Sanggau atas respon yang sangat baik.

8. Ibu Neng Rahayu SE, Ibu Yustina beserta keluarga besar yang semangat serta suasana yang baik saat berada di lokasi penelitian.

9. Rekan-rekan PWL 2009 IPB Ibu Noi Rachmawati, Pak Syamsul, Yoga, Bang Zulyan, Mas Ardi yang senantiasa bersama dan kompak.

10.Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis sadari bahwa penelitian ini tidak lepas dari kekurangan dan keterbatasan. Namun demikian, semoga dari sedikit kelebihan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pengembangan wilayah pada era otonomi daerah ini.

Bogor, November 2011

(12)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Putussibau, Kalimantan Barat pada tanggal 21 Juli 1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Drs. Bartolomeus Japari Panjaitan, dan Nurhayati. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 34 Pontianak Selatan. Kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama di SLTPN 2 Pontianak sampai pada tahun 2001. Penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMUN 1 Pontianak pada tahun 2004.

(13)

DAFTAR ISI

1.5.Kerangka Pemikiran Penelitian... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pembangunan Wilayah ... 9

2.2.Indikator Pembangunan Wilayah ... 10

2.3.WilayahPerbatasan ... 12

2.4.Disparitas ... 15

2.5.Faktor Penyebab Disparitas Pembangunan ... 17

2.6.Urgensi Pembangunan Antar-Wilayah secara Berimbang ... 21

III. METODE PENELITIAN 3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

3.2.Data dan Sumber Data ... 25

3.3.Bagan Alir Penelitian ... 26

3.4.Tehnik Analisis Data 3.4.1.Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah ... 28

3.4.2.Identifikasi Sektor Unggulan 3.4.2.1.Location Quotient (LQ) ... 30

3.4.2.2.Shift Share Analysis (SSA) ... 31

3.4.3.Analisis Disparitas Wilayah 3.4.3.1.Indeks Williamson ... 33

3.4.3.2.Indeks Theil Entropy ... 33

3.4.4.Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Disparitas Pembangunan Wilayah Perbatasan ... 35

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1.Keadaan Umum Propinsi Kalimantan Barat ... 37

4.2.Kabupaten Sambas ... 38

4.3.Kabupaten Bengkayang ... 40

4.4.Kabupaten Sanggau ... 43

(14)

4.6.Kabupaten Kapuas Hulu ... 48

4.7.Perbandingan Kinerja Pembangunan, Ekonomi dan Manusia dengan Negara Malaysia ... 51

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.Analisis Perkembangan Wilayah dengan Metode Skalogram ... 53

5.2.Identifikasi Sektor Unggulan ... 58

5.2.1.Kabupaten Sambas ... 63

5.2.2.Kabupaten Sanggau ... 69

5.2.3.Kabupaten Kapuas Hulu ... 74

5.3.Analisis Disparitas Wilayah 5.3.1.Indeks Williamson ... 82

5.3.2.Indeks Theil Entropy ... 83

5.4.Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Disparitas Pembangunan Antar-Wilayah ... 84

5.5.Pembahasan Umum ... 89

VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1.Simpulan ... 91

6.2.Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Wilayah Administrasi Kawasan Perbatasan Kalimantan Barat–Sarawak

dan Jumlah Penduduk Tahun 2008 ... 2

2 Indikator-Indikator Pembangunan Wilayah Berdasarkan Basis/ Pendekatan Pengelompokannya ... 11

3 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan, Teknik Analisis Data dan Output yang Diharapkan ... 26

4 Nilai Selang Hierarki IPK ... 29

5 Kondisi Makro Ekonomi Kabupaten Sambas Tahun 2004-2008 ... 39

6 Indeks Pembangunan Manusia dan Komponen Penyusunnya serta Angka Kemiskinan Kabupaten Sambas Tahun 1999-2007 ... 40

7 Kondisi Makro Ekonomi Kabupaten Bengkayang Tahun 2004-2008 .... 41

8 Indeks Pembangunan Manusia dan Komponen Penyusunnya serta Angka Kemiskinan Kabupaten Bengkayang Tahun 1999-2007 ... 42

9 Kondisi Makro Ekonomi Kabupaten Sanggau Tahun 2004-2008 ... 44

10 Indeks Pembangunan Manusia dan Komponen Penyusunnya serta Angka Kemiskinan Kabupaten Sanggau Tahun 1999-2007 ... 45

11 Kondisi Makro Ekonomi Kabupaten Sintang Tahun 2004-2008 ... 47

12 Indeks Pembangunan Manusia dan Komponen Penyusunnya serta Angka Kemiskinan Kabupaten Sintang Tahun 1999-2007 ... 48

13 Kondisi Makro Ekonomi Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004-2008 .... 49

14 Indeks Pembangunan Manusia dan Komponen Penyusunnya serta Angka Kemiskinan Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 1999-2007 ... 50

15 Jumlah dan Persentase Hirarki Kecamatan ... 54

16 Hasil Analisis LQ Kabupaten Perbatasan tahun 2008... 60

17 Tabel Hasil Analisis SSA 3 Kabupaten Perbatasan Tahun 2007-2008 .... 61

18 Hasil Analisis LQ Kecamatan Kabupaten Sambas 2008 ... 64

19 Tabel Hasil Analisis SSA Kecamatan Kabupaten Sambas Tahun 2007-2008 ... 65

20 Hasil Analisis LQ Kecamatan Kabupaten Sanggau 2008 ... 70

21 Tabel Hasil Analisis SSA Kabupaten Sanggau Tahun 2007-2008 ... 71

22 Hasil Analisis LQ Kecamatan Kabupaten Kapuas Hulu 2008 ... 75

23 Tabel Hasil Analisis SSA Kecamatan Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2007-2008 ... 76

(16)

25 Kompilasi Hasil Analisis SSA di 9 Kecamatan Perbatasan ... 81 26 Hasil Nilai R2 dan uji F Model Ekonometrika Spasial ... 85 27 Nilai Parameter Estimates dan Koefisien (B) Model Ekonometrika

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 8

2. Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah ... 10

3. Peta Administrasi Lokasi Penelitian ... 25

4. Bagan Alir Penelitian ... 27

5. Peta Daerah Perbatasan di Kalimantan Barat ... 37

6. Struktur Ekonomi Kabupaten Sambas Tahun 2008 ... 39

7. Struktur Ekonomi Kabupaten Bengkayang Tahun 2008 ... 42

8. Struktur Ekonomi Kabupaten Sanggau Tahun 2008 ... 44

9. Struktur Ekonomi Kabupaten Sintang Tahun 2008 ... 47

10. Struktur Ekonomi Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2008 ... 50

11. Peta Sebaran Hirarki Kecamatan di Kabupaten Perbatasan ... 59

12. Matrik Kuadran LQ dan SSA ... 62

13. Grafik Sektor Unggulan Kabupaten Sambas ... 66

14. Grafik Sektor Unggulan Kabupaten Sanggau ... 72

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil Analisis Skalogram Kecamatan Kabupaten Perbatasan ... 99 2a. Hasil Analisis SSA Kecamatan Kabupaten Sambas Tahun 2007-2008

... 102 2b. Hasil Analisis SSA Kecamatan Kabupaten Sanggau Tahun 2007-2008

... 103 2c. Hasil Analisis SSA Kecamatan Kabupaten Kapuas Hulu Tahun

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang banyak memiliki wilayah perbatasan dengan negara lain yang berada di kawasan laut dan darat. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sementara itu untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste dengan panjang garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km.

Kawasan Perbatasan Darat Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan secara administratif meliputi 2 (dua) provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, terdiri dari 8 (delapan) kabupaten, yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Malinau, Nunukan, dan Kutai Barat (Kalimantan Timur). Garis perbatasan darat di Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan negara bagian Sabah dan Serawak Malaysia secara keseluruhan memiliki panjang 1.885,3 km.

Secara geografis kawasan perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak berada pada bagian paling utara wilayah Provinsi Kalimantan Barat, yang membentang dari barat ke timur sepanjang sekitar 805 km, meliputi Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu (Tabel 1). Jika diasumsikan kawasan perbatasan merupakan kawasan yang berjarak 20 km dari garis batas sepanjang 966 km, terhitung dari tanjung Dato, Kabupaten Sambas yang berada diujung paling barat sampai ke Kabupaten Kapuas Hulu yang berada diujung paling timur, maka luas kawasan perbatasan meliputi 19.320 km2, atau 1.932.000 ha.

(20)

peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Aspek ekologi, sebagian kawasan perbatasan merupakan kawasan berfungsi lindung dengan hulu-hulu sungai yang sangat penting bagi daerah hilir.

Tabel 1. Wilayah Administrasi Kawasan Perbatasan Kalimantan Barat - Serawak, dan Jumlah Penduduk Tahun 2008

No. Kabupaten Kecamatan Luas

Jumlah 20.380,80 172.986 132

Sumber: Kabupaten Dalam Angka 2009

Potensi sumberdaya alam wilayah perbatasan di Kalimantan cukup besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi, terdiri dari hutan produksi (konversi), hutan lindung, taman nasional, dan danau alam, yang semuanya dapat dikembangkan menjadi daerah wisata alam (ekowisata). Beberapa areal hutan tertentu yang telah dikonversi tersebut telah berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta nasional maupun yang bekerjasama dengan perkebunan asing yang umumnya berasal Malaysia. Namun demikian secara umum infrastruktur sosial ekonomi di kawasan ini, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, maupun sarana prasarana penunjang wilayah masih memerlukan banyak peningkatan.

(21)

wilayah perbatasan tersebut, namun dalam kenyataannya banyak wilayah perbatasan malah menjadi beban.

Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan di masa lalu bahwa daerah perbatasan merupakan wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena merupakan daerah yang rawan keamanan telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan. Hal ini menyebabkan wilayah perbatasan di beberapa daerah menjadi tidak tersentuh oleh kegiatan pembangunan.

Persoalan-persoalan perbatasan yang cukup rumit dan kompleks selama ini kurang mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah. Perencanaan pembangunan yang tersentralisasi dengan memprioritaskan sasaran makro pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa mempertimbangkan aspek pemerataan memberi dampak pada timbulnya kesenjangan antar daerah, dan merupakan salah satu penyebab ketertinggalan daerah perbatasan dibandingkan dengan daerah yang lain.

Otonomi yang diharapkan dapat memperkecil kesenjangan antara pusat dengan daerah apabila tidak dilaksanakan dengan bijak justru dapat memperparah kesenjangan yang ada. Perencanaan pembangunan di wilayah perbatasan seharusnya dilakukan dengan mengenali dan menggali potensi sumberdaya yang dimiliki agar berkelanjutan dan tepat sasaran bagi daerah perbatasan itu sendiri. Hal ini penting agar tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan berkurangnya angka kemiskinan dan kesenjangan pembangunan infrastruktur fisik dan sarana-prasarana dasar sebagai penunjang aktivitas dapat dilaksanakan dengan baik dan tepat sasaran.

(22)

dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga.

Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat menggagas kebijakan percepatan pembangunan yang diarahkan pada tiga permasalahan pokok yang terdiri dari tataruang, infrastruktur dan kelembagaan.

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1989 dalam Rustiati et al., 2009). Tiga sasaran utama pembangunan yaitu pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan sebagai bentuk redefinisi pembangunan dalam konteks tujuan sosial bertujuan untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakat (Seer, 1973 dalam Kuncoro, 2006).

Perbatasan Kalimantan Barat merupakan wilayah yang memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi sebagai keunggulan komparatif wilayah. Pertambangan, Kehutanan, Pertanian, Perikanan dan Kelautan serta pariwisata, merupakan sektor-sektor yang diharapkan dapat menjadi penggerak roda perekonomian daerah. Sumberdaya alam kawasan perbatasan yang melimpah dan letaknya mempunyai akses ke pasar (Serawak), tetapi terdapat sekitar 45% desa miskin dengan jumlah penduduk miskin sekitar 35%. Pemerataan yang menjadi salah satu sasaran utama pembangunan belum terwujud.

(23)

Secara garis besar, isu permasalahan pembangunan wilayah perbatasan terbagi atas: Pertama permasalahan yang berdimensi lokal dan domestik, yaitu gambaran kemiskinan sebagai akibat dari tidak fokusnya intervensi kebijakan di masa lalu sehingga terabaikannya pembangunan infrastruktur, sumberdaya manusia, diikuti dengan penanganan wilayah perbatasan yang masih kental dengan nuansa sentralistik. Infrastruktur terutama jalan yang menghubungkan wilayah antar daerah yang masih minim, rendahnya kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan angka kemiskinan 9.03 %, pengangguran 5,44 %, indek pembangunan manusia 68,17). Masih rendahnya derajat kesehatan yang ditandai dengan usia harapan hidup 66 tahun dan tingkat pendidikan dengan rata-rata lama sekolah 6,8 tahun. (Effendy, 2009)

Kedua, permasalahan yang berdimensi nasional, yaitu munculnya kegiatan ekonomi ilegal diantaranya illegal logging, TKI dan penyelundupan lainnya, pemanfaatan sumberdaya alam secara tidak beraturan, lemahnya sistem pengawasan, semangat otonomi mengenai status dan kewenangan penanganan, serta gejala degradasi nasionalisme. Ketiga, permasalahan yang berdimensi regional antar negara, lebarnya kesenjangan ekonomi antara penduduk sendiri dengan negeri tetangga, pergeseran atau menghilangnya patok (tapal) batas sehingga menimbulkan konflik mengenai garis batas dan kasus lainnya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan ekonomi penduduk perbatasan kurang berpengaruh terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya. Kegiatan yang ada di daerah perbatasan hanya berskala lokal, parsial dan kurang terkoordinasi bahkan terjadi ketergantungan masyarakat kawasan perbatasan terhadap perekonomian Serawak. Hal ini tercermin dari keterbatasan infrastruktur kewilayahan, baik infrastruktur dasar prasarana seperti jalan, listrik, telekomunikasi dan infrastruktur sosial seperti kesehatan, pendidikan dsb, sehingga keterkaitan wilayah perbatasan terhadap wilayah lainnya di Kalbar relatif rendah dan sebaliknya interaksi masyarakat di daerah perbatasan pada umumnya lebih berorientasi ke Serawak.

(24)

Keberhasilan pembangunan daerah perbatasan diharapkan mampu menjadikan daerah perbatasan sebagai hinterland bagi kabupatennya atau bahkan pusat yang dapat menjadi kebanggaan Indonesia. Oleh karena itu, dalam penelitian ini disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana hierarki atau tingkat perkembangan kecamatan di kabupaten perbatasan Kalimantan Barat secara keseluruhan?

2. Sektor apa saja yang menjadi unggulan di masing-masing kecamatan pada kabupaten perbatasan?

3. Bagaimana tingkat disparitas antar kecamatan yang terjadi di kabupaten perbatasan?

4. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya disparitas dikabupaten perbatasan?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui tingkat perkembangan/hirarki wilayah kecamatan di masing-masing kabupaten yang berbatasan langsung dengan Serawak-Malaysia. 2. Mengidentifikasi sektor unggulan pada tiap kabupaten perbatasan.

3. Mengetahui tingkat disparitas di kabupaten yang berbatasan langsung dengan Serawak-Malaysia.

4. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ketimpangan di wilayah perbatasan.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran, masukan dan informasi bagi perencanaan pembangunan wilayah perbatasan di Kalimantan Barat untuk mengurangi tingkat disparitas yang terjadi.

2. Sebagai bahan pembelajaran dan pengembangan perencanaan wilayah dengan isu pemerataan pembangunan.

1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian

(25)

pembangunan di Era Orde Baru yang cenderung mengejar pertumbuhan (growth) setinggi-tingginya, namun di pihak lain harus mengorbankan pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability).

Minimnya sarana prasarana di daerah perbatasan, keterisolasian serta kebijakan pembangunan daerah yang kurang berpihak bagi daerah perbatasan mengakibatkan daerah perbatasan mengalami disparitas atau kesenjangan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan daerah lain disekitarnya. Apabila kesenjangan tersebut tidak dieleminir secara hati-hati dalam kebijakan proses pembangunan saat ini dan ke depan dikhawatirkan dapat menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks (seperti masalah kependudukan, sosial, ekonomi, politik dan lingkungan) dan dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai. 

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat disparitas yang terjadi di daerah perbatasan serta faktor-faktor penyebab disparitas. Selain itu dalam penelitian ini juga menganalisis hirarki/perkembangan wilayah daerah perbatasan serta sektor unggulan.

(26)
(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Wilayah

Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dan pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada.

Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan pada “efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) (Anwar, 2005; Rustiadi et al., 2007) dalam memberikan panduan pada alokasi segala sumberdaya (semua capital yang berkaitan dengan natural, human, man-made maupun social), baik pada tingkatan nasional, regional, maupun lokal.

Dalam kerangka pembangunan Nasional di Indonesia, pada Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993, pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menggerakkan prakarsa dan peranserta masyarakat dalam pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Pemerataan dan keberimbangan dapat diwujudkan melalui pembangunan daerah yang mampu mengembangkan potensi-potensi pembangunan sesuai kapasitasnya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Anonim, 2004).

(28)

banyak negara termasuk Indonesia, teori ini gagal menciptakan kemakmuran untuk semua. Sebagaimana konsep temuan Kuznets (1945): kurva U-terbalik yang mengatakan bahwa bagi negara yang pendapatannya rendah, tumbuhnya perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade off antara pertumbuhan dan pemerataan)

2.2 Indikator Pembangunan Wilayah

Indikator adalah ukuran kualitatif dan/atau kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Rustiadi (2009) membagi tiga kelompok cara dalam menetapkan indikator pembangunan, yaitu: (1) indikator berbasis tujuan pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya , dan (3) indikator berbasis proses pembangunan (Gambar 2).

Gambar 2. Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah.

(29)

operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yakni: (1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al., 2009).

Deskripsi indikator-indikator pembangunan wilayah ke dalam kelompok-kelompok indikator berdasarkan klasifikasi tujuan pembangunan, kapasitas sumberdaya pembangunan dan proses pembangunan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Indikator-indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/ pendekatan

pengelompokannya. Basis/

Pendekatan Kelompok Indikator-indikator Operasional

Tujuan

a. Pendapatan wilayah (1) PDRB

(2) PDRB per Kapita (3) Pertumbuhan PDRB b. Kelayakan Finansial/Ekonomi

(1) NPV (2) BC Ratio (3) IRR (4) BEP

c. Spesialisasi, Keunggulan Komparatif /Kompetitif (1) LQ

(2) Shift and Share

d.Produksi-produksi Utama (tingkat produksi, produktivitas, dll)

(1) Migas

(2) Produksi Padi/Beras (3) Karet

a. Distribusi Pendapatan (1) Gini Ratio

(2) Struktural (vertikal)

b. Ketenagakerjaan/Pengangguran (1) Pengangguran Terbuka (2) Pengangguran Terselubung (3) Setengah Pengangguran c. Kemiskinan

(1) Good-service Ratio (2) % Konsumsi Makanan

(30)

Tabel 2. (lanjutan) Basis/

Pendekatan Kelompok Indikator-indikator Operasional

 

d. Regional Balance

(1) Spatial Balance(primacy index, entropy, index Williamson)

a. Dimensi Lingkungan b. Dimensi Ekonomi c. Dimensi Sosial

Sumberdaya

1. Sumberdaya Manusia

a. Knowledge (Education) b. Skill (Keterampilan) c. Competency d. Etos Kerja/Sosial e. Pendapatan/Produktivitas f. Kesehatan

g. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)

2. Sumberdaya Alam

a. Tekanan (Degradasi) b. Dampak

c. Degradasi 3. Sumberdaya

Buatan/ Sarana dan Prasarana

a. Skalogram Fasilitas Pelayanan b. Aksesibilitas terhadap fasilitas 4. Sumberdaya

Sosial (Social Capital)

a. Regulasi/Aturan-aturan Adat/Budaya (norm) b. Organisasi Sosial (network)

c. Rasa percaya (trust)

Proses Pembangunan

1. Input a. Input Dasar (SDA, SDM, Infrastruktur, SDS)

2. Proses/

Implementasi b. Input Antara

3. Output c. Total Volume Produksi

4. Outcome 5. Benefit

6. Impact

Sumber: Rustiadi, et al. (2009)

2.3 Wilayah Perbatasan

(31)

langsung dengan negara tetangga dengan fungsi utama mempertahankan kedaulatan negara dan kesejahteraan masyarakat. Wilayah yang dimaksud adalah wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan atau Kecamatan yang bagian wilayahnya secara geografis bersinggungan langsung dengan garis batasnegara (atau wilayah negara) dan/atau yang memiliki hubungan fungsional (keterkaitan). (Anonim, 2011).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Kawasan perbatasan adalah suatu kawasan yang merupakan bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan. Wilayah perbatasan menurut buku utama rencana induk pengelolaan perbatasan negara merupakan wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan dengan negara lain, dan batas-batas wilayahnya ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Wilayah perbatasan di Indonesia secara umum dicirikan antara lain oleh : (1) letak geografisnya berbatasan langsung dengan negara lain, bisa propinsi, kabupaten/kota maupun kecamatan yang memiliki bagian wilayahnya langsung bersinggungan dengan garis batas negara. (2) kawasan perbatasan umumnya masih relatif terpencil, miskin, kurangnya sarana dan prasarana dasar sosial dan ekonomi serta (3) kondisi pertumbuhan ekonomi wilayahnya relatif terlambat dibandingkan dengan wilayah lain di negara lain.

(32)

Leste (RDTL) serta perbatasan maritim yang berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, RDTL, dan PNG.

Setiap kawasan perbatasan memiliki ciri khas masing-masing dan potensi yang berbeda antar satu kawasan dengan kawasan yang lainnya. Potensi yang dimiliki kawasan perbatasan yang bernilai ekonomis cukup besar adalah potensi sumberdaya alam (hutan, tambang dan mineral, serta perikanan dan kelautan) yang terbentang di sepanjang dan di sekitar kawasan perbatasan. Meskipun demikian, wilayah perbatasan selalu menjadi wilayah yang hampir luput dari perhatian pemerintah dalam proses pembangunan sehingga masyarakat wilayah perbatasan menjadi masyarakat yang termarginalkan.

(33)

belt), dan pembentukan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai serta perangkat komando dan pengendalian yang mencukupi.

2.4 Disparitas

Menurut Chaniago et al. (2000) disparitas atau kesenjangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak seimbang atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan. Kesenjangan pembangunan adalah suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan wilayah yang ditunjukkan oleh perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tergantung pada perkembangan struktur sektor-sektor ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, sanitasi dan lain-lain). Kesenjangan pembangunan yang terjadi dapat menyebabkan munculnya berbagai permasalahan, baik masalah sosial, politik, ekonomi maupun masalah lingkungan.

Penelitian mengenai disparitras telah banyak dilakukan diantaranya oleh Giannetti, Mariassunta . 2002. Menyatakan bahwa daerah-daerah khusus dengan sektor canggih pada awal periode sampel memiliki pendapatan perkapita yang lebih serupa, sementara daerah-daerah khusus dengan sektor-sektor tradisional tertinggal. Qing, Yu dan Kaiyuen, TSUI. 2005. Hasil empiris menunjukkan bahwa di antara semua faktor signifikan secara statistik, PDB per kapita dan dikotomi desa-kota adalah dua variabel yang paling penting yang mempengaruhi kesenjangan fiskal, dengan kontribusi total 60%. Faktor-faktor yang relatif penting lainnya adalah struktur ekonomi dan kepadatan penduduk.

(34)

mempertimbangkan tiga unsur strategi dalam mengatatasi kesenjangan jangka panjang: infrastruktur, investasi sosial dan perlindungan, dan reformasi tata pemerintahan. Goletsis, Y. dan Chletsos, M. 2011. Mengidentifikasi kesenjangan regional dan pola pertumbuhan daerah merupakan faktor penting yang mempengaruhi perumusan kebijakan. Indikator tunggal, biasanya PDB berbasis, pendekatan telah mengungkapkan kekurangan yang signifikan.

Dihampir semua negara berkembang, pada kawasan pedesaan memiliki tingkat kesehatan, sanitasi, perumahan dan penyediaan air minum yang berada pada tingkat yang sangat rendah (Gilbert, 1974). Hal ini sejalan dengan hipotesis yang dikembangkan oleh Kuznets (1954) bahwa pada awalnya disparitas akan meningkat dan selanjutanya akan menurun sejalan dengan proses pembangunan, namun tidak mungkin sama dengan nol. Disparitas dalam suatu pembangunan adalah hal yang tidak mungkin dihapuskan sama sekali, namun tetap harus dikurangi.

Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antar kelompok maupun antar daerah dapat selalu terjadi. Persoalannya adalah apakah kesenjangan tersebut menurun atau meningkat sejalan dengan perubahan waktu atau kenaikan rata-rata kesejahteraan. Lebih lanjut, apakah kesenjangan tersebut menyebabkan hal-hal yang tidak bisa di tolerir lagi. Kesenjangan yang terus terjadi merupakan awal dari timbulnya konflik finansial, ekonomi, sosial politik yang berakhir pada terjadinya krisis multi dimensi (Anwar 2005).

Untuk mengatasi terjadi krisis multi dimensi yang diakibatkan oleh kesenjangan pembangunan, Todaro dan Smith (2003) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan kesenjangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan.

(35)

kedalam disparitas antar wilayah pengembangan dan antar wilayah didalam wilayah pengembangan.

2.5 Faktor Penyebab Disparitas Pembangunan

Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah. Faktor-faktor ini terkait dengan variabel fisik dan sosial ekonomi wilayah. Menurut Murty (2000), faktor-faktor utama tersebut adalah sebagai berikut:

1) Faktor Geografi

Pada suatu wilayah atau daerah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumberdaya alam, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah akan berkembang lebih baik.

2) Faktor Sejarah

Tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung dari apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship.

3) Faktor Politik

Instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di berbagai bidang terutama ekonomi. Ketidakpastian tersebut mengakibatkan keraguan dalam berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang, bahkan mungkin saja terjadi pelarian modal ke luar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil.

4) Faktor Kebijakan

(36)

daerah (Rustiadi dan Pribadi 2006). Menurut Nurzaman (2002), diduga sejak tahun1980-an, yaitu sejak diterapkannya kebijakan pembangunan dengan penekanan pada sektor industri, kesenjangan wilayah di Indonesia makin membesar, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi, maupun antar wilayah.

5) Faktor Administratif

Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena perbedaan kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.

6) Faktor Sosial

Masyarakat yang tertinggal pada umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Mereka masih percaya pada kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya, masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah.

7) Faktor Ekonomi

Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah adalah sebagai berikut:

a) Faktor ekonomi yang terkait dengan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan;

b) Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu contohnya adalah lingkaran setan kemiskinan, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya, diwilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan taraf hidup masyarakat;

(37)

bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju;

d) Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar, seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya.

Menurut Tambunan (2003) faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas ekonomi wilayah di Indonesia adalah:

1) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang meyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat, sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.

2) Alokasi Investasi

Indikator lain yang juga menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.

3) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah

(38)

mempengaruhi mobilitas atau (re)alokasi faktor produksi antar provinsi. Jika perpindahan faktor produksi antar daerah tidak ada hambatan, maka pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik.

4) Perbedaan Sumberdaya Alam Antar Provinsi

Pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumberdaya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin sumberdaya alam.

5) Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah

Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi demografis antar provinsi, terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi produksi.

6) Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Provinsi

Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga merupakan unsur yang turut menciptakan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antar provinsi meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku, material-material lainnya untuk produksi dan jasa. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu provinsi.

(39)

aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan (6) perbedaan dari aspek potensi pasar. Faktor-faktor di atas menyebabkan perbedaan karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: (1) Wilayah maju; (2) Wilayah sedang berkembang; (3) Wilayah belum berkembang; dan (4) Wilayah tidak berkembang.

Menurut Gama (2007) dibukanya lapangan kerja yang padat dan tetap mempertimbangkan pemerataan fisik dan prasarana pendidikan disetiap wilayah merupakan upaya yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan antar wilayah.

2.6 Urgensi Pembangunan Antar-Wilayah Secara Berimbang

Meskipun disparitas antar wilayah merupakan suatu hal wajar yang bisa ditemui, baik di negara maju maupun berkembang, namun seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Kemiskinan di suatu tempat akan sangat berbahaya bagi kesejahteraan di semua tempat sedangkan kesejahteraan di suatu tempat harus didistribusikan ke semua tempat.

Menurut Rustiadi et al. (2009) setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun belum berkembang (less developed countries) selalu berusaha untuk mengurangi disparitas antar wilayah karena beberapa alasan, yaitu: (1) untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap; (2) untuk mengembangkan ekonomi secara cepat; (3) untuk mengoptimalkan dan mengkonservasi sumberdaya; (4) untuk meningkatkan lapangan kerja; (5) untuk mengurangi beban sektor pertanian; (6) untuk mendorong desentralisasi; (7) untuk menghindari konflik internal dan instabilitas politik distegratif, dan; (8) untuk meningkatkan ketahanan nasional.

(40)

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 dalam salah satu bagiannya mengamanatkan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. Salah satu program yang disebutkan pada bagian ini adalah pengembangan wilayah perbatasan yang ditujukan untuk: (1) menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui penetapan hak kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dijamin oleh hukum internasional; (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Program pengembangan wilayah perbatasan selanjutnya dijabarkan dalam 6 kegiatan pokok yang tujuan utamanya meningkatkan kedaulatan wilayah NKRI dan kedaulatan ekonomi daerah perbatasan.

Percepatan pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai-nilai strategis, yang antara lain meliputi ; a) Mempunyai potensi sumber daya yang besar pengaruhnya terhadap aspek

ekonomi, demografi, politis, dan hankam, serta pengembangan ruang wilayah di sekitarnya,

b) Mempunyai dampak penting baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lainnya,

c) Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat baik di wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya,

d) Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional,

e) Mempunyai dampak terhadap kondisi politis dan pertahanan keamanan nasional dan regional.

(41)

rentan terhadap infiltrasi ideologi, politik, ekonomi, maupun sosial budaya dari negara lain. Di sisi lain, kawasan perbatasan antarnegara masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang sangat mendasar seperti rendahnya kesejahteraan masyarakat, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, serta minimnya infrastruktur di sektor perhubungan dan sarana kebutuhan dasar masyarakat. Ketertinggalan pembangunan kawasan perbatasan baik darat maupun laut dengan negara tetangga secara sosial maupun ekonomi dikhawatirkan dapat berkembang menjadi kerawanan yang bersifat politis untuk jangka panjang.

Menurut Bappenas (2003), sebagaimana pelaksanaan pembangunan pada wilayah-wilayah lain relatif masih tertinggal, pembangunan wilayah perbatasan menganut pendekatan, antara lain:

1. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic need approach), yaitu kecukupan konsumsi pangan, sandang dan perumahan yang layak huni.

2. Pemenuhan akses standar terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur mobilitas warga.

3. Peningkatan partisipasi dan akuntabilitas publik dalam setiap perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program pembangunan untuk kepentingan masyarakat sendiri.

Selain tiga pendekatan yang secara umum diterapkan dalam setiap program pembangunan, hal lain yang perlu memperoleh perhatian adalah konteks sosial budaya, adat istiadat, kondisi geografis dan keunikan komunitas dan kewilayahan yang dimiliki oleh wilayah perbatasan. Lebih khusus lagi, pengembangan kawasan perbatasan ini akan ditekankan pada tiga aspek utama sebagaimana ciri-ciri kawasan perbatasan, yaitu:

1. Aspek Demarkasi dan Delimitasi Garis Batas, yaitu Penetapan batas wilayah negara (demarkasi dan delimitasi) dilakukan untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan wilayah negara

2. Aspek Politik, Hukum dan Keamanan.

Tingginya potensi kerawanan di perbatasan menyebabkan perlunya perhatian khusus terhadap wilayah ini dalam hal peningkatan kesadaran politik, penegakan hukum, serta peningkatan upaya keamanan. 

(42)

Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wilayah perbatasan masih tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga, terutama wilayah yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura. Hal ini menyebabkan kesenjangan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Permasalahan di perbatasan yang terkait dengan kesenjangan pembangunan antara lain:

a. Rendahnya aksesibilitas yang menghubungkan wilayah perbatasan yang tertinggal dan terisolir dengan pusat-pusat pemerintahan dan pelayanan atau wilayah lainnya yang relatif lebih maju;

b. Terbatasnya sarana dan prasarana baik pemerintahan, perhubungan, pendidikan, kesehatan, perekonomian, komunikasi, air bersih dan irigasi, ketenagalistrikan serta pertahanan keamanan;

c. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar karena karakteristik geografis masing-masing baik di wilayah kepulauan maupun pegunungan; d. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia;

e. Belum optimalnya pembangunan di wilayah perbatasan oleh pemerintah baik Pusat maupun Daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan secara langsung.

(43)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Serawak-Malaysia yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kapuas Hulu, sampai pada unit analisis kecamatan. Unit kecamatan dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu kecamatan perbatasan dan kecamatan non-perbatasan. Kecamatan perbatasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kecamatan yang secara geografis berbatasan langsung dengan Serawak-Malaysia, sedangkan kecamatan non-perbatasan merupakan kecamatan yang terdapat pada kabupaten non-perbatasan namun secara geografis tidak berbatasan langsung dengan Serawak-Malaysia. (Gambar 3).

Gambar 3. Peta Administrasi Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dimulai pada bulan April 2011 hingga September 2011. Pengumpulan data di lapangan dilakukan pada bulan April 2011 sampai Juli 2011.

3.2 Data dan Sumber Data

(44)

Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) Provinsi Kalimantan Barat, dan dinas-dinas terkait. Sumber data juga diakses melalui publikasi artikel maupun makalah/jurnal ilmiah dari internet untuk mendukung ketersediaan data lainnya yang lebih lengkap. Jenis data yang dikumpulkan disesuaikan dengan tujuan penelitian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis dan sumber data yang digunakan, teknik analisis data dan output yang diharapkan.

4 Mengetahui faktor penyebab

3.3 Bagan Alir Penelitian

(45)

Pada tahap analisis, data PODES digunakan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah kecamatan di kabupaten perbatasan. Data PDRB kecamatan di masing-masing kabupaten digunakan untuk menganalisis sektor unggulan dan mengetahui tingkat disparitas yang terjadi antara kecamatan perbatasan dengan kecamatan non-perbatasan. Hasil tahapan analisis tersebut kemudian di spasialkan untuk menghasilkan peta tipologi tingkat perkembangan wilayah kecamatan dan peta tipologi sektor unggulan.

Tahapan analisis selanjutnya yaitu analsis pendugaan faktor penyebab terjadinya disparitas dengan metode Ekonometrika Spasial. Berdasarkan hasil tingkat disparitas kecamatan, hasil sektor unggulan dan pendugaan faktor penyebab disparitas, maka diharapkan dijadikan sebagai dasar untuk memberikan saran/pertimbangan dalam menentukan arahan kebijakan pembangunan wilayah perbatasan. Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

(46)

3.4 Tehnik Analisis Data

3.4.1 Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah

Analisis tingkat perkembangan wilayah dilakukan untuk menentukan hierarki relatif tiap wilayah kecamatan di kabupaten perbatasan. Data yang digunakan adalah data Potensi Desa Provinsi Kalimantan Barat tahun 2008. Parameter yang diukur meliputi jumlah dan jumlah jenis fasilitas bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian dan jarak menuju lokasi fasilitas yang terdapat pada masing-masing desa di 5 kabupaten perbatasan (Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kapuas Hulu). Data jumlah maupun jumlah jenis parameter yang dimiliki tiap desa kemudian dilakukan agregasi atau penjumlahan terhadap kecamatan yang sama agar didapat hierarki kecamatan. Jumlah keseluruhan kecamatan di 5 kabupaten perbatasan tersebut adalah sebanyak 90 kecamatan, yang terdiri dari 77 kecamatan non-perbatasan dan 13 kecamatan perbatasan.

Analisis ini menggunakan metode skalogram berbobot, secara terinci prosedur kerja penyusunan hierarki relatif suatu wilayah menggunakan Skalogram berbobot adalah sebagai berikut:

a. Dilakukan pemilihan terhadap data Potensi Desa di 5 Kabupaten sehingga yang tinggal hanya data yang bersifat kuantitatif, yang kemudian diseleksi berdasarkan parameter yang relevan untuk digunakan.

b. Dilakukan agregasi/penjumlahan terhadap desa-desa yang terdapat dalam satu kecamatan yang sama, sehingga yang didapat adalah hierarki relatif kecamatan;

c. Memisahkan antara data jarak dengan data jumlah fasilitas, hal ini karena antara data jarak dengan jumlah fasilitas bersifat berbanding terbalik.

d. Rasionalisasi data dilakukan terhadap data jarak dan fasilitas. Data jarak diinverskan dengan rumus: y= 1/xij, dimana y adalah variabel baru dan xij

adalah data jarak j di wilayah i. Untuk nilai y yang tidak terdefinisikan (xij=

(47)

e. Pembobotan dilakukan terhadap data kapasitas dengan cara data kapasitas j dibagi dengan bobot fasilitas j, dimana bobot fasilitas j = jumlah total kapasitas j dibagi dengan jumlah wilayah yang memiliki fasilitas j.

f. Standardisasi data dilakukan terhadap variabel-variabel baru dari data jarak dan fasilitas (berbobot) dengan menggunakan rumus:

=

dimana:

yij = variabel baru untuk wilayah ke-i dan jenis fasilitas atau jarak ke-j.

xij = jumlah sarana untuk wilayah ke-i dan jenis sarana atau jarak ke-j.

Min(xj) = nilai minimum untuk jenis sarana atau jarak ke-j.

sj = simpangan baku untuk jenis sarana atau jarak ke-j.

g. Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) ditentukan dengan cara menghitung jumlah hasil standarisasi sarana dan aksesibilitas pada suatu wilayah. Kemudian nilai IPK diurutkan nilainya dari yang terbesar sampai terkecil untuk ditentukan kelas hirarkinya.

h. Pada penelitian ini, IPK dikelompokkan ke dalam tiga kelas hierarki, yaitu hierarki I (tinggi), hierarki II (sedang), dan hierarki III (rendah). Penentuan kelas hierarki didasarkan pada nilai standar deviasi (St Dev) IPK dan nilai rataannya, seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Selang Hierarki IPK

Hierarki Nilai Selang (X) Tingkat

Perkembangan

I X > [rataan +(2*St Dev

IPK)] Tinggi

II rataan ≤ X ≤ (2*St Dev) Sedang

III X < rataan Rendah

Dari hasil analisis skalogram berupa tingkatan hierarki, maka data tersebut diinput kedalam peta spasial sehingga diperoleh peta sebaran hierarki kecamatan di kabupaten perbatasan.

3.4.2 Identifikasi Sektor Unggulan

(48)

masing-masing kabupaten. Data yang digunakan pada analisis LQ berupa data PDRB kecamatan tahun 2008, sedangkan pada analisis SSA menggunakan data PDRB kecamatan dua titik tahun yaitu tahun 2007 dan tahun 2008.

Suatu sektor dikatakan unggul apabila memiliki sifat komparatif dan kompetitif di suatu wilayah. Komparatif merupakan kemampuan sektor untuk menjadi sektor basis terhadap sektor-sektor yang lain di wilayah yang sama, sektor yang memiliki sifat komparatif ditandai dengan nilai LQ>1. Kompetitif merupakan kemampuan suatu sektor untuk bersaing dengan sektor yang sama dengan cakupan wilayah yang lebih luas. Sifat kompetitif sektor di suatu wilayah ditandai dengan nilai komponen Differential Shift (DS) pada hasil analisis Shift Share Analysis (SSA) yang positif.

Analisis sektor unggulan hanya dapat dilakukan pada tiga kabupaten perbatasan karena ketidaktersediaan data PDRB kecamatan. Kabupaten yang dianalisis adalah Kabupaten Sambas, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Kapuas Hulu. Hasil dari analsis sektor unggulan ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam memberikan arahan kebijakan pembangunan daerah perbatasan agar sesuai dengan potensi sektor unggulan yang ada.

3.4.2.1 Location Quotient (LQ)

Metode LQ digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas dan dapat mengidentifikasi keungulan komparatif suatu wilayah dengan asumsi (1) kondisi geografis relatif sama, (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama. Rumus umum dari persamaan Location Quotient adalah sebagai berikut :

(49)

Dari persamaan ini maka nilai LQ yang dihasilkan untuk tiap aktivitas di tiap wilayah beserta interpretasinya adalah sebagai berikut :

• Nilai LQij > 1, menunjukkan terjadinya konsentrasi/pemusatan aktifitas ke-j di

wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah

• Nilai LQij = 1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa aktifitas setara dengan

pangsa total

• Jika nilai LQij < 1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa relatif lebih kecil

dibandingkan dengan aktifitas yang ditemukan diseluruh wilayah

Analisis LQ dilakukan terhadap 5 kabupaten perbatasan Kalimantan Barat dengan menggunakan data PDRB Kabupaten tahun 2008, sedangkan analisis LQ unit kecamatan menggunakan data PDRB Kecamatan tahun 2008 hanya dapat dilakukan terhadap 3 Kabupaten perbatasan saja yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Kapuas Hulu dengan alasan ketidaktersediaan data pada 2 kabupaten perbatasan lainnya.

3.4.2.2 Shift Share Analysis (SSA)

SSA merupakan teknik analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif (competitiveness) suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas, berdasarkan kinerja sektor lokal (local sector) di wilayah tersebut. Teknik analisis SSA bertujuan untuk menganalisa pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah untuk dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran, untuk melihat keungulan kompetitif dan mengetahui sektor ataupun wilayah yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan di wilayah lebih luas.

Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu :

• Komponen regional share, merupakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik tahun yang menunjukkan dinamika total wilayah.

• Komponen proportional shift, menunjukkan pertumbuhan total

aktivitas/sektor secara relatif di wilayah agregat yang lebih luas.

• Komponen differential shift, menunjukkan tingkat kompetisis

(competitiveness) suatu aktivitas/sektor tertentu disuatu wilayah.

(50)

fundamental masih memiliki potensi untuk terus tumbuh meskipun faktor-faktor eksternal (komponen share dan proportional shift) tidak mendukung. Rumus umum dari pers maan SSA adalah sebagai berikut : a

SSA = ..

X.. : Nilai total aktifitas/sektor dalam total wilayah kecamatan yang terjadi Xi. : Nilai aktifitas/sektor ke-i dalam total wilayah kecamatan

Xij : Nilai aktifitas/sektor ke-i dalam unit wilayah kecamatan ke-j t1 : titik tahun akhir

t0 : titik tahun awal

Apabila komponen differential shift memiliki nilai negatif maka kinerja aktivitas/sektor yang terjadi bersifat semu karena lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal (komponen share dan proportional shift). Sebagai ilustrasi, apabila wilayah suatu tersebut seolah-olah berdiri sendiri, tanpa komponen share dan proportional shift, wilayah tersebut akan mengalami kemunduran.

Analisis SSA dilakukan terhadap 3 Kabupaten perbatasan (Kabupaten Sambas, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Kapuas Hulu) dengan tujuan untuk melihat sektor yang memiliki keunggulan kompetitif (competitiveness) di suatu kecamatan pada kabupaten perbatasan dengan menggunakan data PDRB kecamatan kabupaten.

3.4.3 Analisis Disparitas Wilayah

(51)

Identifikasi disparitas pembangunan wilayah perbatasan di Kalimantan Barat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode Indeks Williamson dan Indeks Theil entropy. Kedua alat analisis tersebut digunakan secara bersamaan karena sifatnya yang saling melengkapi. Indeks Williamson untuk melihat total disparitas yang terjadi di suatu wilayah perbatasan, sedangkan Indeks Theil entropy lebih spesifik dapat menguraikan disparitas yang terjadi menjadi disparitas antar wilayah (between region) dan disparitas dalam wilayah (within region), serta memberikan informasi wilayah/kecamatan mana yang berkontribusi terhadap disparitas dalam suatu satuan wilayah.

3.4.3.1Indeks Williamson

Persamaan indeks Williamson yang digunakan untuk melihat disparitas total yang terjadi di wilayah kabupaten perbatasan di Kalimantan Barat, sebagaimana di formulasikan oleh Williamso (196 ) sn 6 ebagai berikut:

Keterangan:

Vw : Besaran Indeks Williamson

yi : PDRB pada kecamatan ke-i

ŷ : rata-rata PDRB Kecamatan perkapita fi : jumlah penduduk kecamatan Ke-i

p : total jumlah penduduk seluruh kecamatan (3 kabupaten perbatasan)

Nilai Indeks yang mendekati 1 menunjukkan kondisi ketidakmerataan yang sangat nyata, sedangkan nilai indeks yang mendekati 0 menunjukkan kondisi yang relatif merata. Semakin besar indeks yang dihasilkan, maka semakin besar tingkat disparitas antar wilayah. Disparitas dilakukan pada seluruh kecamatan yang terdapat di tiga kabupaten perbatasan yang kemudian akan menghasilkan disparitas total kabupaten perbatasan.

3.4.3.2Indeks Theil Entropy

(52)

lebih rendah, dan sebaliknya nilai indeks Theil entropy yang lebih tinggi menunjukkan tingkat antar wilayah kelompok disparitas yang lebih tinggi. Rumus indeks Theil entropy adalah sebagai berikut:

ITheil = ∑(yi/Y).log [(yi/Y)/(xj/X)]

Dimana:

ITheil = Total ketimpangan kabupaten perbatasan (Indeks Theil Entropy)

yj = PDRB di kecamatan j ;

Y = PDRB di kabupaten perbatasan xj = Jumlah penduduk di kecamatan j

X = Jumlah penduduk di kabupaten perbatasan.

Total ketimpangan wilayah yang dihitung dengan indeks Theil entropy dapat diuraikan menjadi ketimpangan antar kawasan (between region) dan ketimpangan dalam kawasan (within region), dengan pe sr amaa bn erikut:

I = I0 +∑ dimana; I0 = ∑ log ;

Yg = ; Xg = ∑ ; dan Ig = ∑ log ⁄ ⁄

Dimana:

I = total disparitas di kabupaten Perbatasan (Indeks Theil Entropy)

I0 = disparitas antar kecamatan (between region)

∑ = disparitas antar kecamatan dalam kawasan (within region)

Ig =total disparitas kecamatan

(53)

3.4.4 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disparitas Pembangunan Wilayah Perbatasan

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pembangunan wilayah perbatasan dilakukan dengan menggunkan model ekonometrika spasial yaitu metode General Linear Model (GLM). Model ekonometrika spasial merupakan model ekonometrika yang telah mempertimbangkan keterkaitan spasial. Model ekonometrika ini berkembang didasarkan pada dua alasan, yaitu: (1) dalam kehidupan nyata terjadi keterkaitan spasial dimana kejadian di suatu lokasi berpengaruh terhadap kejadian di lokasi lain, dan (2) sering kali data dikumpulkan berdasarkan wilayah administrasi sehingga data-data tersebut tidak merekam kejadian yang bersifat lintas wilayah administrasi.

Kinerja pembangunan ekonomi pada suatu daerah, tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan manajemen pembangunan yang dilakukan di daerah tersebut. Kinerja pembangunan ekonomi, karakteristik lingkungan, serta manajemen pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah sekitarnya yang terkait dalam satu sistem ekologi-ekonomi juga ikut mempengaruhinya (Saefulhakim, 2008).

Dalam penelitian ini, model ekonometrika digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang diduga menyebabkan disparitas pembangunan antar wilayah kecamatan perbatasan dan non-perbatasan di 3 kabupaten perbatasan Kalimantan Barat. Secara prinsip model ekonometrika ini dibangun dengan matrik contiguity yaitu matrik keterkaitan antar wilayah berdasarkan kedekatan geografis diukur dari jarak centroid poligon. Matriks ini akan menjadi pembobot variabel sehingga dapat dilihat sejauh mana kejadian di suatu lokasi berpengaruh terhadap kejadian dilokasi lainnya. Centroid merupakan pusat geometrik suatu poligon. Centroid dapat juga didefinisikan sebagai titik tengah (mid-point) antara awal dan akhir suatu jarak alamat (address range). Penentuan titik centroid digunakan untuk mengetahui jarak antar masing-masing poligon.

Matriks kontiguitas spasial antar daerah (Wr i,j) merupakan matriks kontiguitas

(54)

Penentuan titik centroid dilakukan dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

r i,j i j i j  

r i,j r i,j / r i,j  

Keterangan:

r i,j : jarak antara kecamatan ke-i dengan kecamatan ke-j

Xi : koordinat X poligon asumsi daerah terpengaruh Xj : koordinat X poligon analisis daerah mempengaruhi Yi : koordinat Y poligon asumsi daerah terpengaruh Yj : koordinat Y poligon analisis daerah mempengaruhi

Variabel-variabel penjelas (explanatory variables) yang digunakan untuk menduga faktor penyebab disparitas berupa hasil analisis skalogram, berupa nilai Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK), PDRB kecamatan, jumlah penduduk, kerapatan penduduk, luas penutupan lahan tertentu, dan besaran disparitas yang diperoleh dari hasil analisis Williamson. Variabel-variabel tersebut kemudian dikoreksi dengan jarak centroid kecamatan, sehingga variabel penjelas yang dihasilkan adalah variabel penjelas didaerah itu sendiri, serta variabel penjelas yang sama di daerah sekitarnya. Variabel tujuan (dependent variable) yi berupa

indeks disparitas yang dikontribusikan masing-masing kecamatan.

Model ekonometrika spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode G ner l inea Moe a L r del (GLM), dengan persamaan sebagai berikut:

yi = W ∑ + ∑ +

Dimana:

yi = Indeks disparitas yang dikontribusikan oleh kecamatan ke-i terhadap disparitas

total di kabupaten perbatasan hasil analisis indeks Williamson.

W = Matriks kontiguitas kedekatan jarak (total pengaruh asosiasi spasial independent variable antar wilayah)

X = Variabel terkait karakteristik wilayahdi kecamatan ke-i, seperti potensi SDA, kependudukan, sosial dan ekonomi (pengaruh independent variable di wilayah) ρ = intercept

βi = nilai koefisien pengaruh independent variable

(55)

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum Provinsi Kalimantan Barat

Propinsi Kalimantan Barat terdiri atas 12 kabupaten dan 2 kota di mana dari 12 kabupaten tersebut, 5 diantaranya berada pada garis batas dengan Serawak Malaysia. Lima kabupaten yang merupakan daerah perbatasan yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu. Panjang garis batas pada lima kabupaten ini mencapai 966 kilometer yang melintasi 147 desa pada 15 kecamatan (Gambar 5).

Daerah perbatasan negara di Kalimantan Barat sebagian besar terdiri atas dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 200 meter di atas permukaan laut (dpl), kecuali sebagian kecil dataran tinggi di sekitar Gunung Niut di Bengkayang dan Gunung Lawit di Kapuas Hulu. Kondisi geografis tersebut, berpengaruh terhadap persebaran penduduk yang sebagian besar berada di daerah dataran rendah. Misalnya wilayah Kapuas Hulu yang memiliki daerah dataran tinggi lebih banyak memiliki kepadatan penduduk rendah.

Gambar 5 Peta Daerah Perbatasan di Kalimantan Barat.

Gambar

Gambar
Tabel 1. Wilayah Administrasi Kawasan Perbatasan Kalimantan Barat - Serawak,
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.  Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sistem kontrol merupakan salah satu kemajuan teknologi yang bisa dirasakan saat ini karena banyak alat - alat dan teknologi yang bisa dikontrol secara wireless sehingga

[r]

Acara Hasil Pengadaan Langsung Nomor: 602.1/33/PBJ/P-W/I/426.109/2016, tanggal 17 Maret 2016 pada. Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Kabupaten Probolinggo tentang

70 Tahun 2012 beserta petunjuk teknisnya serta ketentuan teknis operasional pengadaan barang/jasa secara elektronik kepada Pokja II Pengadaan Barang ULP Provinsi Sulawesi

Sehubungan dokumen penawaran saudara yang masuk tentang Belanja Hibah Barang/Jasa Kepada Pihak Ketiga (Belanja Meubelair Ruang Kantor SMK) kami panitia pengadaan

Karena usaha jasa penggilingan padi mobile tidak terlalu rumit untuk dijalankan, maka risiko yang ada juga relatif kecil dan mudah ditanggulangi. Risiko terbesar adalah

Yang menjadi perhatian kami adalah Taman Alun-alun kota Bandung merupakan kawasan yang banyak dikunjungi masyarakat kota Bandung, karena design taman yang unik dan akses yang mudah

Berdasarkan fenomena di atas terlihat bahwa ada masalah yang memengaruhi penderita diabetes mellitus (DM) tidak melakukan pengobatan, sehingga perlu dilakukan penelitian