• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Tegakan Hutan Rakyat Sengon di Desa Tonjongsari, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Tegakan Hutan Rakyat Sengon di Desa Tonjongsari, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

REZA BUDI BERLIANTO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

REZA BUDI BERLIANTO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

REZA BUDI BERLIANTO. E14080120. 2013. Karakteristik Tegakan Hutan Rakyat Sengon di Desa Tonjongsari, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Skripsi. Manajemen Hutan. Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh Dr. Ir. Emi Karimarsih, MS.

Tingginya permintaan kayu untuk industri mendorong perkembangan hutan rakyat, khususnya di Jawa. Salah satu jenis yang paling populer untuk ditanam adalah Sengon (Paraserianthes falcataria). Harga jual yang relatif menguntungkan serta karakteristik yang cepat tumbuh dan mudah beradaptasi di berbagai kondisi tanah membuat sengon dapat diterima semua pihak yang terlibat mulai dari pelaku produksi sampai pemasaran. Tonjongsari merupakan salah satu desa di Kecamatan Cikalong yang potensial dalam mengembangkan hutan rakyat sengon.

Penelitian ini dilakukan di Desa Tonjongsari, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat pada tahun 2012. Data potensi tegakan sengon di lokasi penelitian dikumpulkan dengan pengambilan sampel berjumlah 64 plot secara purpossive yang menyebar rata di tujuh dusun. Untuk mengetahui karakteristik tegakan di lokasi penelitian didekati berdasarkan persamaan De Liocort dari kurva Poisson (Husch 2003) dan faktor fisik lapangan yang meliputi ketinggian, kelerengan, dan kelas luas kepemilikan. Selanjutnya kondisi pengelolaan hutan rakyat di desa tersebut dianalisis secara deskriptif.

Hasil pendugaan rata-rata potensi volume tegakan sengon diperoleh sebesar 112,88 m3/ha dalam selang 92,49 m3/ha sampai 133,27 m3/ha dengan SE sebesar 18,06%. Model alometrik yang terbentuk untuk menggambarkan tipe tegakan hutan rakyat di Desa Tonjongsari yaitu N = (475,4)e-0,10d. Kurva yang berbentuk huruf “J” terbalik menunjukkan bahwa tegakan sengon di Desa Tonjongsari masih menunjukkan sifat normalnya sebagai tegakan tidak seumur. Melalui hasil uji chi-square serta uji anova dua arah berdasarkan ketiga faktor fisik di atas, karaktersitik tegakan hutan rakyat di Desa Tonjongsari sangat dipengaruhi oleh kelas luas kepemilikan lahan, hal ini berkaitan erat dengan perbedaan tingkat kondisi ekonomi masyarakat petani hutan rakyat yang sangat besar pengaruhnya terhadap sistem pengelolaan lahan miliknya.

Sistem pengelolaan yang dilaksanakan saat ini oleh masyarakat setempat masih bersifat tradisional atau berdasarkan pengetahuan lokal, artinya dikelola secara swadaya dengan teknik sederhana dan berdasarkan pengetahuan yang diturunkan secara turun-temurun oleh nenek moyangnya. Meskipun berbekal pengetahuan lokal, namun kelestarian hasil tegakan sengon di Desa Tonjongsari sampai saat ini cukup mampu untuk dipertahankan. Untuk itu perlu mengoptimalkan segenap usaha stakeholder setempat dalam menunjang keberlanjutan pengembangan usaha hutan rakyat di Desa Tonjongsari, baik pemerintah, dinas-dinas yang terkait, LSM, serta para pelaku hutan rakyat itu sendiri.

(4)

Stands in Tonjongsari Village, Cikalong District, Tasikmalaya Recidence, West Java Province supervised Dr. Ir. Emi Karminarsih, MS.

The high demand for wood industry encouraged the increasing of private forest, particularly in Java. One of the most popular species to be planted is Sengon (Paraserianthes falcataria). The objectives of this study is to determine how about characteristics of the Sengon growing stock of private forest by agroforestry system land cover. The study was carried out in Tonjongsari Village, Cikalong District, Tasikmalaya Residence, West Java Province. Purposivelly sampling with 64 total sample plots were spread evenly in seven hamlets. The characteristics stand curve determined by De Liocourt’s equation or Poisson curve (Husch 2003) and three physical factors (elevation classes, slope classes, and land ownership classes). The results shows that potential of sengon is 112,88 m3/ha obtained in the interval 92.49 m3/ha to 133.27 m3/ha with the SE of 18.06%. Allometric models are formed to describe the shape of farm forest in the Tonjongsari Village is N = (475.4) e-0, 10d. The curve shape resembling the reverse of letter "J" shows that sengon stands in the Tonjongsari village still exhibit properties normally as the uneven-aged natural forests. Chi-square test and two-way ANOVA test based on the physically factors shows that the characteristics of the farm forest stands in the Tonjongsari village strongly influenced by land ownership classes, wich related to differences in the level of economic conditions of the forest farmers. Forest management systems is still based on traditional or local knowledge, handed down from generation to generation by their ancestors. The sustainable yield of sengon stands in Tonjongsari village visible to be developed for supply the row material of wood industry.

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Tegakan Hutan Rakyat Sengon di Desa Tonjongsari, Kecamatan Cikalong, Jawa Barat adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 13 Februari 2013

(6)

Judul : Karakteristik Tegakan Hutan Rakyat Sengon di Desa Tonjongsari, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

Nama : Reza Budi Berlianto NRP : E14080120

Departemen : Manajemen Hutan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Emi Karminarsih, MS NIP 19470926 198003 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP 19630401 199403 1 001

(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, ujian, dan kesempatan yang telah dilimpahkan sehingga penyusunan penelitian dan skripsi yang berjudul “Karakteristik Tegakan Hutan Rakyat Sengon di Desa Tonjongsari, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat” ini dapat diselesaikan. Kesulitan, masalah, dan hambatan tentunya tak luput dari proses pembuatan skripsi ini sehingga bantuan, dukungan, serta saran dari berbagai pihak sangat dibutuhkan penulis. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayah (Bambang Supriyanto), Ibu (Lusi Dwi Indriana), Kakak (Nina Diah Respati), adik (Dinda Diah Lestari) atas doa dan dukungannya.

2. Dr. Ir. Emi Karminarsih, MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya dalam proses penyusunan skripsi ini hingga selesai.

3. Nurul Subkhania dan Syauqi Ahmada, S.Hut atas doa, dukungan, masukan, dan kritikannya selama penelitian, serta kawan-kawan seperjuangan MNH 45 atas persahabatannya.

4. Beasiswa Eka Tjipta Foundation yang telah memberikan dukungan selama menjalani pendidikan di IPB.

5. Keluarga Bapak Nandang, Kang Acep, Bapak Sulaiman, serta keluarga Kang Rama atas bantuannya selama melakukan pengambilan data di Desa Tonjongsari.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran untuk perbaikan dan pengembangan penelitian yang sama pada waktu yang akan datang. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat.

Bogor, 13 Februari 2013

(8)

Penulis dilahirkan di kota Jember pada tanggal 23 April 1989. Putra dari pasangan Bapak Bambang Supriyanto dan Ibu Lusi Dwi Indriana ini merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Penulis memulai pendidikan pertamanya di TK PGRI pada tahun 1994-1996. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Kebonagung 1 Jember selama 6 tahun, yaitu dari tahun 1996-2002. Setelah lulus pada tahun tersebut, penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Jember pada tahun 2002-2005 dan kembali meneruskan pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Jember pada tahun 2005-2008. Melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SNMPTN), penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2008 dan mendapat beasiswa Eka Tjipta Foundation (ETF) selama kurun waktu empat tahun.

Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi. Organisasi-organisasi yang pernah diikuti antara lain Uni Konservasi Fauna (UKF) tahun 2008-2009, Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2009-2010, Pengurus Cabang Sylva Indonesia-IPB (PCSI-IPB) tahun 2009-2011, International Forestry Student Association Local Comittee IPB (IFSA LC IPB)

tahun 2010-2011, serta Ikatan Mahasiswa Jember di Bogor (IMJB) tahun 2008-2012. Project yang pernah diikuti oleh penulis adalah project pemetaan lahan sawah yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian RI.

(9)

DAFTAR ISI... ix

2.6 Karakteristik Sengon (Paraserianthes falcataria)... 9

2.7 Potensi dan Sebaran Hutan Rakyat... 11

2.7.1 Potensi Hutan Rakyat di Indonesia... 11

2.7.2 Potensi Hutan Rakyat dan Sebaran Kayu Rakyat di Jawa Barat... 11

3.5.2 Pembuatan Kurva Karakteristik Hutan Rakyat Sengon... 15

(10)

4.1 Letak dan Luas... 19

4.2 Topografi... 19

4.3 Kependudukan... 20

4.4 Mata Pencaharian... 20

4.5 Agama dan Budaya... 21

4.6 Organisasi dan Kelembagaan... 21

4.7 Sarana dan Prasarana... 22

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Tegakan Sengon di Desa Tonjongsari... 23

5.2 Karakteristik Tegakan Hutan Rakyat di Desa Tonjongsari.... 24

5.2.1 Karakteristik Tegakan Sengon Melalui Pendekatan Kurva Poison... 24

5.2.2 Karakteristik Tegakan Sengon Berdasarkan Faktor Ketinggian Tempat, Kemiringan Lahan, dan Strata Luas Kepemilikan Lahan... 26

5.3 Kondisi Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tonjongsari... 29

5.3.1 Sejarah... 29

5.3.8 Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Desa Tonjongsari... 39

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan... 40

6.2 Saran... 41

DAFTAR PUSTAKA... 42

(11)

No. Halaman

1. Potensi standing stock dan tegakan siap panen hutan rakyat…….... 11

2. Perimbangan produksi dan kebutuhan kayu pertukangan untuk bahan baku industri pengolahan kayu pertukangan pada beberapa kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2003... 12

3. Perimbangan produksi dan kebutuhan kayu sengon untuk bahan baku kayu pertukangan pada beberapa kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2003... 12

4. Luas wilayah setiap dusun di Desa Tonjongsari... 19

5. Jumlah penduduk Desa Tonjongsari... 20

6. Sebaran umur petani hutan rakyat di Desa Tonjongsari... 20

7. Distribusi jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian... 21

8. Potensi volume tegakan sengon plot contoh………. 23

9.

Rata-

rata jumlah pohon pada setiap kelas diameter………. 24

10. Hasil perhitungan volume dan jumlah pohon berdasarkan faktor ketinggian, kelerengan, dan kelas lahan... 26

11. Hubungan faktor ketinggian, kelerengan, kelas kahan, dan kombinasinya terhadap volume sengon………...……... 28

(12)

No. Halaman 1. (a) Profil hutan tidak seumur, (b) distribusi diameter hutan

tidak seumur... 8 2. Kurva hubungan antara jumlah pohon per hektar dengan kelas

diameter... 25 3. (a) Hutan rakyat monokultur, (b) agroforestry... 31 4. Batang yang tumbuh dari tunggak bekas tebangan... 34 5. (a) Penggunaan pupuk serbuk kayu, (b) penggunaan pupuk serbuk

zeolit... 35 6. (a) Pohon sengon yang terserang penyakit karat puru, (b) pemberian

kapur pada bagian yang terserang penyakit karat puru sebagai

tindakan pemeliharaan………... 36 7. (a) Kayu hasil panen, (b) limbah kulit kayu yang digunakan untuk

(13)

No. Halaman 1. Tabel volume sengon berdasarkan kelas lahan I... 45 2. Tabel volume sengon berdasarkan kelas lahan II... 45 3. Tabel volume sengon berdasarkan kelas lahan III... 46 4. Tabel volume sengon berdasarkan ketinggian antara 50-70 mdpl….. 47 5. Tabel volume sengon berdasarkan ketinggian antara 90-110 mdpl... 48 6. Tabel volume sengon berdasarkan kelerengan 0-15%... 49 7. Tabel volume sengon berdasarkan kelerengan 25-45%... 50 8. Tabel hasil uji chi-square jumlah pohon pada kondisi ketinggian

yang berbeda………... 51 9. Tabel hasil uji chi-square volume pohon pada kondisi ketinggian

yang berbeda………... 51 10. Tabel hasil uji chi-square jumlah pohon pada kondisi kelerengan

Yang berbeda……… 51 11. Tabel hasil uji chi-square volume pohon pada kondisi kelerengan

Yang berbeda……… 51 12. Tabel hasil uji chi-square jumlah pohon pada kelas lahan yang

Berbeda………. 51

13. Tabel hasil uji chi-square volume pohon pada kelas lahan yang

Berbeda………. 52

(14)

BAB 1

pasokan kayu rakyat. Selain itu, hutan rakyat juga merupakan solusi komprehensif dan permanen yang secara ekologi akan mampu mengembalikan fungsi konservasi tanah dan air, sekaligus secara ekonomi mampu meningkatkan kesejahteraan, menciptakan peluang usaha dan lapangan kerja. Luasannya yang menunjukkan peningkatan dapat diharapkan sebagai antisipasi bagi keberadaan hutan alam yang akhir-akhir ini terus berkurang setiap tahunnya akibat pengelolaan yang kurang mempertahankan aspek kelestariannya, kebakaran hutan, serta konversi hutan seperti perkebunan sawit dan pertambangan, yang berakibat pada pasokan kayu sebagai bahan baku Indonesia menurun secara nasional.

(15)

Salah satu komoditi penting dari hutan rakyat di Jawa adalah kayu sengon. Sengon yang memiliki karakteristik cepat tumbuh (sekitar 4-5 cm per tahun), mudah beradaptasi di berbagai kondisi tanah, karakteristik silvikulturnya yang bagus, kualitas kayunya yang dapat diterima untuk industri panel dan kayu pertukangan, serta harga jualnya yang relatif menguntungkan membuat pasar kayu sengon masih bertahan hingga saat ini. Sengon diharapkan menjadi jenis yang semakin penting bagi industri perkayuan di masa mendatang, terutama jika persediaan kayu yang berasal dari hutan alam sudah tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan. Bahkan, saat ini di beberapa lokasi di Indonesia, sengon berperan sangat penting baik dalam sistem pertanian tradisional maupun komersial. Melihat potensi sengon yang demikian besarnya, penulis ingin mengetahui karakteristik tegakan sengon di hutan rakyat dengan memperhatikan beberapa aspek yang meliputi ketinggian tempat, kelerengan, dan luas kepemilikan lahan.

Desa Tonjongsari merupakan salah satu desa di Kecamatan Cikalong yang memiliki luas dan hasil produksi hutan rakyat jenis sengon yang cukup potensial untuk lebih dikembangkan. Hal tersebut mendorong peneliti untuk mencoba mengkaji lebih jauh kondisi hutan rakyat sengon tersebut melalui judul penelitian Karakteristik Tegakan Hutan Rakyat Sengon di Desa Tonjongsari, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Memperoleh dugaan potensi hutan rakyat di Desa Tonjongsari.

2. Mempelajari karakteristik tegakan hutan rakyat di Desa Tonjongsari dengan pendekatan kurva Poisson.

3. Mempelajari karakteristik produksi tegakan hutan rakyat sengon di Desa Tonjongsari yang didasarkan pada faktor ketinggian tempat, kelerengan, dan strata luas kepemilikan lahan.

(16)

1.3 Manfaat Penelitian

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hutan Rakyat

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan rakyat dapat dikategorikan sebagai hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak milik. Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau sebanyak 500 tanaman tiap ha.

Hardjanto (2000) menerangkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik dengan luas minimal 0,25 ha. Namun, hutan rakyat di Jawa pada umumnya tidak memenuhi luasan hutan rakyat sebagaimana mestinya karena rata-rata pemilikan tanah di Jawa sempit dan terpencar-pencar.

2.2 Tujuan dan Manfaat Hutan Rakyat

Menurut Jafar (1993) dalam Awang et al. (2001), pembangunan hutan rakyat bertujuan untuk :

1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis, atau area yang tidak produktif secara optimal dan lestari.

2. Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat. 3. Membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku

industri serta kayu bakar.

4. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.

5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu aliran sungai.

(18)

lapangan pekerjaan, dan memacu pembangunan ekonomi daerah, sedangkan secara ekologi, hutan rakyat berperan positif dalam pengendalian erosi dan limpasan permukaan, perbaikan kesuburan tanah, serta penyeimbang tata air.

2.3 Ciri-ciri Hutan Rakyat

Menurut Winarno (2010) dalam Media Persaki XIII (2010), hutan rakyat memang berbeda dengan terminologi hutan yang lain. Ciri pertama, pada umumnya hutan rakyat berada di tanah milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan yang kurang subur, serta kondisi topografi yang sulit. Selain itu, secara geografis pada umumnya hutan rakyat tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani. Ciri lain dari hutan rakyat adalah basis pengelolaannya berada pada tingkat keluarga. Setiap keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah.

Beberapa ciri hutan rakyat menurut Hardjanto (2000) antara lain :

a. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri, dimana petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah.

b. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.

c. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang diusahakan secara sederhana.

d. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% total pendapatan.

Selain itu, Pasaribu dan Roliadi (2006) menerangkan bahwa jumlah volume produksi kayu pertukangan dari areal hutan rakyat umumnya masih rendah. Hal ini disebabkan oleh :

a. Pemanenan kayu dilakukan pada saat pohon belum masak tebang b. Luas hutan rakyat relatif kecil

c. Pemeliharaan tanaman tidak efektif

(19)

f. Kebiasaan masyarakat memanen kayu pada saat perlu biaya yang relatif besar.

2.4 Pola Hutan Rakyat

Menurut Departemen Kehutanan dalam Setyawan (2002), berdasarkan pola jenis tanamannya, hutan rakyat dibedakan menjadi :

a. Hutan rakyat murni; yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis kombinasi kehutanan dengan usaha tani lainnya seperti perkebunan, pertanian, peternakan, dan lain-lain secara terpadu pada satu lokasi. Hutan rakyat bentuk ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan baik dari segi ekonomi maupun ekologi.

Berdasarkan pola pengembangannya, menurut Supriadi (2001) yang dikutip oleh Rosnawati (2004) hutan rakyat dikelompokkan menjadi :

a. Hutan rakyat pola swadaya; yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat akan didorong agar mau dan mampu melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis dari kehutanan.

b. Hutan rakyat pola subsidi; yaitu hutan rakyat yang dibangun dari subsidi, baik sebagian atau keseluruhannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat. Hutan rakyat yang dikembangkan dengan pola subsidi adalah hutan rakyat penghijauan, hutan rakyat padat karya, dan hutan rakyat areal model dampak. c. Hutan rakyat pola kemitraan; yaitu hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama

(20)

2.5 Struktur Tegakan Hutan

Buongiorno dan Giles (1987) dalam Bone (2010) mendefinisikan tegakan (stand) sebagai luasan yang cukup kecil ditebang dalam periode waktu yang singkat, misalnya satu tahun. Tegakan dapat berupa seluruh areal hutan atau bagian dari areal hutan yang luas, yang dikelola dengan siklus tebang tertentu. Sedangkan struktur tegakan (Oliver dan Larson 1990 dalam Labetubun 2004) adalah penyebaran fisik dan temporal dari pohon-pohon dalam tegakan yang penyebarannya tersebut berdasarkan jenis, pola penyebaran vertikal atau horisontal, ukuran pohon atau pohon termasuk volume tajuk, indeks luas daun, batang, penampang lintang batang, umur pohon atau kombinasinya.

Struktur tegakan dapat dibedakan atas struktur tegakan vertikal, struktur tegakan horizontal, dan struktur tegakan spasial. Struktur tegakan vertikal adalah sebaran individu pohon dalam berbagai lapisan tajuk, sedangkan struktur tegakan horisontal didefinisikan sebagai banyaknya pohon per satuan luas pada setiap kelas diameternya (Meyer et al. 1961; Davis dan Johnson 1987 dalam Bone, 2010). Dalam penelitian ini, karakteristik hutan rakyat sengon yang dimaksud adalah struktur tegakan horisontal.

Menurut Suhendang (1985) dalam Bone (2010), pengetahuan tentang struktur tegakan berguna untuk penentuan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, penentuan luas bidang dasar tegakan, dan penentuan biomassa tegakan. Untuk pertimbangan ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan potensi tegakan minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari struktur tegakan akan diperoleh gambaran mengenai regenerasi dari tegakan yang bersangkutan.

(21)

terbesar. Meyer (1953) dalam Husch (2003), mendasarkan karyanya pada penyelidikan De Liocourt, mempelajari struktur yang dia sebut keseimbangan hutan tidak seumur. Definisinya adalah salah satu di mana pertumbuhan saat ini dapat dihapus secara berkala dengan tetap menjaga distribusi diameter dan volume awal hutan. Meyer menyatakan bahwa keseimbangan hutan tidak seumur cenderung memiliki distribusi diameter yang bentuknya dapat dinyatakan oleh persamaan eksponensial negatif. De Liocourt (Bone 2010) menyusun struktur tegakan hutan tidak seumur dengan bentuk kurva yang menyerupai bentuk huruf J terbalik dengan model N = k e –ad, dimana N = kerapatan pohon per satuan luas, D = diameter pohon, dan k dan a = parameter. Nilai k merupakan konstanta yang menjelaskan kondisi kerapatan tegakan, sedangkan nilai a merupakan slope yang ditunjukkan oleh sebaran jumlah pohon terhadap kelas diameter. Profil hutan tidak seumur dan distribusi diameter hutan tidak seumur disajikan pada Gambar 1.

Jumlah Pohon

Diameter

(a) (b)

Gambar 1 (a) Profil hutan tidak seumur, (b) distribusi diameter hutan tidak seumur.

Distribusi yang seimbang menyiratkan bahwa jumlah pohon pada kelas diameter berurutan mengikuti rangkaian geometris yang berbentuk m, mq, mq2, mq3, ..., di mana konstanta q adalah rasio pengurangan jumlah pohon per hektar berturut-turut dari kelas diameter kecil sampai kelas diameter terbesar, dan m adalah jumlah pohon pada kelas diameter terbesar (Husch et al 2003).

(22)

2.6 Karakteristik Sengon (Paraserianthes falcataria)

Sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan jenis pionir serbaguna yang sangat penting di Indonesia. Jenis ini dipilih sebagai salah satu jenis tanaman industri di Indonesia karena pertumbuhannya sangat cepat. Daerah penyebaran sengon cukup luas, mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Flores, dan Maluku (Charomaini dan Suhaendi 1997 dalam Krisnawati et al. 2011). Nama lain sengon antara lain antara lain jeungjing (sunda), albizia, tedehu pute (Sulawesi), bae (Papua), sika (maluku), dan sebagainya. Klasifikasi morfologi sengon adalah : Kingdom : Plantae

Spesies : Paraserianthes falcataria (L) Nielsen.

Pohon sengon umumnya berukuran cukup besar dengan tinggi total mencapai 40 m. Diameter pohon dewasa dapat mencapai 100 cm lebih, dengan tajuk lebar mendatar. Pohon sengon pada umumnya tidak berbanir. Permukaan kulit batang berwarna putih, abu-abu atau kehijauan, halus, kadang-kadang sedikit beralur dengan garis-garis lentisel memanjang. Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan panjang sekitar 23-30 cm. Sengon dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, termasuk tanah kering, tanah lembab, dan bahkan di tanah yang mengandung garam dan asam selama drainasenya cukup (Soerianegara dan Lemmens 1993 dalam Krisnawati et al. 2011).

(23)

Berdasarkan hasil penelitian di Ciamis, Jawa Barat, terdapat variasi dalam diameter dan tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kondisi tempat tumbuh termasuk kualitas tempat tumbuh, ketinggian, kelerengan, dan perlakuan silvikultur yang diterapkan (Krisnawati et al. 2011). Menurut Sumarna dalam Krisnawati et al. (2011), pada tempat tumbuh yang berkualitas bagus di Indonesia, sengon dapat mencapai volume produksi sebesar 403 m3/ha sampai akhir rotasi. Pada tempat tumbuh berkualitas sedang, volume produksi sengon dapat mencapai 350-400 m3/ha termasuk hasil penjarangan. Pada tempat tumbuh berkualitas rendah, total volume produksi dalam delapan tahun adalah sekitar 313 m3/ha.

Kayu sengon dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan konstruksi ringan (misalnya langit-langit, panel, interior, perabotan, dan kabinet), bahan kemasan ringan (misalnya paket, kotak, kotak cerutu, peti, dan pallet), korek api, sepatu kayu, alat musik, mainan, dan sebagainya. Kayu sengon juga dapat digunakan sebagai bahan baku triplex dan kayu lapis, serta sangat cocok untuk bahan papan partikel dan papan blok. Selain itu, kayu ini juga biasa digunakan sebagai bahan rayon dan pulp untuk membuat kertas dan mebel (Soerianegara dan Lemmens 1993 dalam Krisnawati et al. 2011).

(24)

2.7 Potensi dan Sebaran Hutan Rakyat

2.7.1 Potensi Hutan Rakyat di Indonesia

Berdasarkan data Ditjen RLPS dalam media Persaki (2010), dari seluruh kawasan hutan rakyat di Indonesia yang luasnya mencapai 3.589.455 ha, diperoleh potensi dalam bentuk standing stock sebanyak 125.627.018 m3. Sementara potensi siap panen dari standing stock tersebut mencapai 20.937.836 m3. Dari keseluruhan potensi produksi kayu yang berasal dari hutan rakyat tersebut, Pulau Jawa masih menduduki urutan pertama dengan potensi panen 16,3 juta m3, disusul Sumatera dengan potensi panen 1,28 juta m3, Bali dan Nusa Tenggara dengan potensi panen 1,12 juta m3. Besarnya potensi hutan rakyat tersebut ternyata belum sepenuhnya memberikan peluang peningkatan hasil secara optimal. Persoalan tata niaga kayu selama ini menyebabkan terjadinya tekanan harga kayu rakyat yang rendah. Besarnya standing stock dan potensi siap panen hutan rakyat dari setiap pulau di Indonesia tersaji di Tabel 1.

Tabel 1 Potensi standing stock dan tegakan siap panen hutan rakyat di Indonesia

No. Wilayah Potensi (m3)

Standing stock Siap panen

1 Sumatera 7.714.143 1.285.690

2 Jawa 97.971.335 16.328.556

3 Bali, NTB, dan NTT 6.691.612 1.115.269

4 Kalimantan 5.157.023 859.504

5 Sulawesi 7.297.892 1.216.315

6 Maluku dan Maluku Utara 299.250 49.875

7 Papua dan Papua Barat 495.765 82.627

Jumlah 125.627.018 20.937.836

Sumber : RLPS 2009 (Media Persaki 2010).

2.7.2 Potensi Hutan Rakyat dan Sebaran Kayu Rakyat di Jawa Barat

(25)

Tasikmalaya dipasarkan ke luar kabupaten. Informasi lebih lengkap mengenai data perimbangan produksi dan kebutuhan kayu pertukangan untuk bahan baku industri pengolahan kayu pertukangan pada beberapa kabupaten di Jawa Barat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perimbangan produksi dan kebutuhan kayu pertukangan untuk bahan baku industri pengolahan kayu pertukangan pada beberapa kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2003

Jumlah 101.625,27 340.244,66 239.475,05 885,66 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya (2003).

Selanjutnya perimbangan produksi kayu sengon dari hutan rakyat dan kebutuhan kayu pertukangan jenis sengon disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Perimbangan produksi dan kebutuhan kayu sengon untuk bahan baku

Jumlah 19.746,33 200.027,86 718,83 181.000,36 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya (2003).

(26)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di areal hutan rakyat Desa Tonjongsari, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Pelaksanaan pengambilan data lapang dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai Agustus 2012 serta pengolahan data hasil lapang dilakukan pada bulan Oktober 2012 sampai November 2012 di kampus IPB Dramaga Bogor.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan hutan rakyat sengon, sedangkan peralatan yang digunakan adalah peta wilayah dan dokumen lain yang berkaitan dengan lokasi penelitian, kamera untuk dokumentasi dan obyek guna kelengkapan penyusunan laporan, peralatan tulis, kalkulator, meteran, alat pengukur diameter pohon (pita ukur), alat pengukur tinggi pohon (hagahypsometer), altimeter, perangkat keras (hardware) berupa seperangkat komputer, serta perangkat lunak (software) berupa program-program komputer untuk mengolah data seperti Microsoft Office Word 2007, Microsoft Office Excel 2007, dan SPSS.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data dimensi tegakan hutan rakyat sengon dan data hasil wawancara yang diperoleh dengan cara melakukan pengukuran tegakan sengon secara langsung di lapangan dan wawancara terstruktur terhadap para stakeholder terkait :

1. Data tentang karakteristik pelaku hutan rakyat, meliputi : nama, umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan, sumber mata pencaharian, dan luas kepemilikan.

(27)

meliputi: luas kepemilikan lahan, status kepemilikan lahan, serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan rakyat, seperti pola pergiliran tanam, penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pemanenan (penebangan, pembagian batang, penyaradan, muat-bongkar, pengangkutan, dan penimbunan kayu), serta distribusi pasar hasil hutan rakyat.

Data sekunder yang diperlukan adalah data yang menyangkut data lingkungan secara fisik dan data sosial ekonomi masyarakat setempat yang dapat diperoleh melalui kantor pemerintahan setempat dan dari literatur (peta-peta, kondisi fisik lapangan, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat). Untuk sumber data, peneliti melakukan studi pustaka yang didapatkan dari perpustakaan IPB berupa buku, jurnal, dan makalah.

3.4 Metode Pengambilan Sampel

Penentuan plot contoh yang berada di Desa Tonjongsari dilakukan secara sengaja (purpossive sampling) terhadap rumah tangga tani yang memiliki usaha hutan rakyat berdasarkan ketinggian, kelerengan, dan strata luas kepemilikan lahan. Pemilihan kelas ketinggian dan kelerengan didasarkan dari hasil survei pendahuluan, didapatkan rentang ketinggian yang ada di Desa Tonjongsari antara 50-110 mdpl dan rentang kelerengan berkisar antara 0-45%. Peneliti menentukan ketinggian tempat dan kelerengan menjadi dua kelas, yaitu ketinggian 50-70 mdpl dan ketinggian 90-110 mdpl, serta kelerengan 0-15% dan kelerengan 25-45%. Peneliti memilih dua kelas tersebut karena saat di lapangan, kondisi tegakan secara kasat mata terlihat berbeda dari segi kerapatan, sebaran diameter, dan umur.

Selanjutnya, pemilihan plot contoh didasarkan pada faktor luas kepemilikan lahan. Kartasubrata (1986) dalam Riva (1997) yang disunting oleh Suharjito (1998) menyatakan bahwa pembagian stratifikasi pemilikan lahan adalah sebagai berikut:

(28)

Untuk keterwakilan data, digunakan rasio untuk masing-masing kelas lahan dengan pertimbangan rasio terbesar adalah kelas lahan yang paling banyak ditemui di Desa Tonjongsari, sehingga dalam hal ini kelas lahan III merupakan kelas lahan yang memiliki rasio paling besar karena paling banyak dimiliki oleh masyarakat di Desa Tonjongsari. Rasio yang digunakan untuk kelas lahan I, kelas lahan II, dan kelas lahan III berturut-turut adalah 3, 5, dan 8 plot contoh.

Dari kombinasi ketiga faktor di atas, maka didapatkan 12 kelas perlakuan. Untuk setiap kelas lahan I, II, dan III masing-masing dibuat 3,5, dan 8 plot contoh berbentuk lingkaran dengan luas 0,1 hektar sehingga total unit contoh sebanyak 64 plot. Intensitas sampling yang digunakan dalam penentuan plot sebesar 1% dari luas total hutan rakyat di Desa Tonjongsari.

Responden yang dipilih merupakan pemilik hutan rakyat yang telah memenuhi 12 kriteria kelas lahan sehingga didapatkan total responden dari 64 plot contoh sebanyak 64 orang.

3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data kuantitatif digunakan untuk menduga potensi tegakan hutan rakyat berdasarkan analisis statistik sederhana.

3.5.1 Penentuan Kelas Diameter

Penelitian karakteristik tegakan hutan rakyat sengon di Desa Tonjongsari menggunakan tujuh kelas diameter, yaitu kelas diameter I (d < 5 cm), kelas diameter II (d = 5-10 cm), kelas diameter III (d = 10-15 cm), kelas diameter IV (d = 15-20 cm), kelas diameter V (d = 20-25 cm), kelas diameter VI (d = 25-30 cm), serta kelas diameter VII (d > 30 cm). Peneliti menentukan interval 5 cm untuk setiap kelas karena sengon termasuk fast growing species yang pertumbuhannya kurang lebih 4-5 cm per tahun. Selain itu, biasanya masyarakat akan menebang pohon sengon pada umur 5-8 tahun, akibatnya diameter lebih dari 30 cm sulit ditemukan sehingga peneliti menjadikan kelas diameter VII untuk diameter 30 cm up.

3.5.2 Pembuatan Kurva Karakteristik Hutan Rakyat Sengon

(29)

eksponensial negatif), yang didasarkan pada perbandingan pengurangan jumlah pohon yang tetap sejalan dengan pertambahan diameter yang merupakan ukuran standar kenormalan pada tegakan tidak seumur, rumus tersebut adalah sebagai berikut (Husch 2003):

N = k e –a d Keterangan :

N = jumlah pohon per hektar per kelas diameter d = kelas diameter

e = angka dasar logaritma (2,7183)

k = konstanta yang menunjukkan ciri kerapatan pohon per hektar

a = nilai yang mencirikan slope dari kurva, yaitu garis yang menggambarkan laju penurunan jumlah batang seiring bertambahnya kelas diameter

k dan a = nilai yang menunjukkan karakteristik model hutan tidak seumur.

Selanjutnya untuk mengetahui karakteristik tegakan sengon berdasarkan ketinggian tempat, kelerengan lahan, dan strata luas kepemilikan lahan digunakan uji chi square, dengan hipotesa sebagai berikut :

Ho : Tidak ada perbedaan signifikan dari segi jumlah batang H1 : Ada perbedaan signifikan dari segi jumlah batang, Dengan kriteria uji :

Tolak H0 jika Sig < 0,05 Terima H0 jika Sig ≥ 0,05

3.5.3 Pendugaan Potensi Tegakan Hutan Rakyat

(30)

Ragam populasi (2) :

disebut faktor koreksi populasi terbatas (fpc : finite population corrector)

yang biasanya diabaikan apabila f n N

Selang kepercayaan (1-).100% bagi nilai tengah/rata-rata populasi :

2( 1)

Penduga ragam total populasi ( 2ˆ

Y

Selang kepercayaan (1-).100% bagi total populasi :

Kesalahan sampling (sampling error, SE) :

(31)

3.5.4 Metode Analisis Kondisi Pengelolaan Hutan Rakyat Desa Tonjongsari

(32)

BAB IV

KEADAAN UMUM LOKASI

4.1 Letak dan Luas

Secara geografis, Desa Tonjongsari berada pada 108º08‟03‟‟BT–

108º11‟30‟‟BT dan 7º43‟30‟‟–7º45‟00‟‟LS. Secara administratif, Desa Tonjongsari termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Adapun batas-batas wilayah Desa Tonjongsari adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Singkir 2. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kujang

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kubangsari dan Desa Cidadali 4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Desa Cikalong.

Luas Desa Tonjongsari sebesar 708,64 ha yang terbagi menjadi tujuh dusun dan jumlah rukun tetangga sebanyak 29 RT yang masing-masing luas wilayahnya bervariasi. Data luasan setiap dusun selengkapnya ada di Tabel 4.

Tabel 4 Luas wilayah setiap dusun di Desa Tonjongsari

No. Nama Dusun Luas (ha)

Wilayah Desa Tonjongsari sebagian besar berupa lereng-lereng atau punggung bukit. Kelerengan tersebut berkisar antara 15 – 25 % atau agak curam dan antara 25 - 45 % atau curam. Sedangkan untuk ketinggian wilayah Desa Tonjongsari berkisar antara 50 – 120 mdpl (BPS Kabupaten Tasikmalaya 2009).

(33)

4.3 Kependudukan

Jumlah penduduk Desa Tonjongsari seluruhnya sebanyak 4.326 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2163 jiwa dan perempuan sebanyak 2163 jiwa dengan jumlah keluarga sebesar 1395 jiwa. Kepadatan penduduk per hektar yaitu 4,95 jiwa/ha (Tabel 5).

Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Tonjongsari

Uraian Jumlah Penduduk (jiwa)

Laki-laki 2.163

Perempuan 2.163

Jumlah Penduduk 4.326

Luas Wilayah (Ha) 872

Kepadatan Penduduk (Per Ha) 4,95

Keluarga 1.395

Rata-rata Penduduk Per Keluarga 3

Sumber: Monografi Desa Tonjongsari (2008).

Peluang kerja di sektor hutan rakyat tidak dibatasi faktor usia. Sebaran umur petani hutan rakyat selengkapnya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran umur petani hutan rakyat di Desa Tonjongsari

Umur (tahun) Persentase (%)

(34)

Tabel 7 Distribusi jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian berkewarganegaraan Indonesia. Sedangkan suku bangsa di desa ini mayoritas adalah Suku Sunda. Pendatang yang juga mendiami desa ini adalah warga bersuku Jawa dan Betawi.

Kebudayaan gotong royong sangat melekat di Desa Tonjongsari. Kebudayaan ini dapat dilihat dalam kegiatan panen sawah, pembangunan masjid, kegiatan keagamaan, dan lain-lain.

4.6 Organisasi dan Kelembagaan

Desa Tonjongsari dipimpin oleh kepala desa. Dalam menjalankan tugasnya, kepala desa dibantu oleh sekretaris desa, kepala urusan pemerintahan, kepala urusan kesejahteraan, kepala urusan ekonomi pembangunan, kepala urusan umum, polisi desa, pamong tani desa, dan kepala dusun (punduh) yang memimpin setiap dusun.

(35)

4.7 Sarana dan Prasarana

(36)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Potensi Tegakan Sengon di Desa Tonjongsari

Potensi tegakan sengon Desa Tonjongsari diduga rata-rata per hektar sebesar 112,88 m3/ha dengan nilai sampling error sebesar 18,06%. Rata-rata potensi tegakan sengon berada diantara selang 92,49 m3/ha dan 133,27 m3/ha. Potensi tegakan sengon pada masing-masing plot disajikan pada tabel 8.

Tabel 8 Potensi volume tegakan sengon plot contoh

(37)

sekitar 313 m3/ha. Rendahnya potensi di Desa Tonjongsari tersebut karena saat dilakukan pengukuran, tegakan belum mencapai akhir daur.

5.2. Karakteristik Tegakan Hutan Rakyat di Desa Tonjongsari

5.2.1. Karakteristik Tegakan Sengon Melalui Pendekatan Kurva Poisson

Rata-rata jumlah pohon pada kelas diameter I, II, III, IV, V, VI, dan kelas diameter VII setiap hektar disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Rata-rata jumlah pohon pada setiap kelas diameter

Kelas diameter Diameter Jumlah pohon

I 0-5 196 kenaikan kelas diameter. Penurunan ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat untuk menebang pohon sesuai kebutuhannya, yaitu antara umur 3-6 tahun, sehingga pohon-pohon dengan diameter besar jumlahnya akan berkurang sesuai peningkatan kelas diameter. Pada kelas diameter II jumlah pohon yang dihasilkan lebih tinggi dari kelas diameter I, hal ini dikarenakan masyarakat selalu melakukan penanaman dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir sehingga pohon yang berdiameter kurang dari 5 cm lebih sedikit ditemui saat dilakukan pengukuran.

(38)

penelitian lain menyebutkan bahwa bentuk persamaan yang diperoleh untuk Desa Tonjongsari yaitu N = (239,1)e-0,15d (Karminarsih 2012). Perbedaan pada nilai k kemungkinan karena masyarakat melakukan banyak penanaman pada pertengahan tahun 2012 sehingga model persamaan yang dihasilkan oleh penelitian terdahulu mempunyai nilai k lebih kecil. Adanya penanaman tersebut dapat dibuktikan dari jumlah pohon sengon berdiameter kurang dari 5 cm.

Selanjutnya diperlukan rasio jumlah pohon untuk mengetahui besar pengurangannya pada setiap kelas diameter. Berdasarkan jumlah pohon per hektar secara berurutan dari kelas diameter I sampai kelas diameter VII, yaitu sebesar 196 batang, 323 batang, 190 batang, 103 batang, 43 batang, 25 batang, dan 15 batang, maka diperoleh nilai qi secara berturut-turut 0,61; 1,70; 1,84; 2,40; 1,72; dan 1,67. Menurut Meyer (1952) dalam Davis et al. (1987), nilai q yang didapatkan secara matematis merupakan nilai rasio normal untuk tegakan hutan tidak seumur yang tidak terganggu. Dari hasil perhitungan secara matematis dalam penelitian ini diperoleh nilai q rata-rata sebesar 1,1. Oleh karena itu, adanya variasi nilai q pada tegakan hutan rakyat sengon di Desa Tonjongsari merupakan suatu kewajaran, karena tegakan tersebut tidak dapat terlepas dari campur tangan manusia dalam pengelolaannya sebagai hutan tanaman tidak seumur. Adapun bentuk penurunan jumlah pohon setiap kenaikan kelas diameternya ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah ini :

(39)

Gambar 2 menunjukkan bahwa struktur tegakan di hutan rakyat Desa Tonjongsari secara umum menggambarkan sebaran normal tegakan hutan tidak seumur (uneven-aged forest) yang berbentuk kurva huruf “J” terbalik. Karakteristik tersebut menyerupai karakteristik tegakan di hutan alam. Model alometrik tersebut memiliki koefisien determinasi sebesar 90,3% yang berarti bahwa sebesar 90,3% dari keragaman jumlah pohon dapat dijelaskan oleh kelas diameter dengan baik. Sebagaimana hasil penelitian Suhendang (1995) dalam Labetubun (2004) di propinsi Riau mendapatkan fakta bahwa model struktur tegakan N = k e –ad dapat diterima oleh semua petak percobaan, dicirikan oleh besarnya koefisien determinasi yang diperoleh (R2 berkisar 73 % sampai 89 %). Tingginya koefisien determinasi yang diperoleh di Desa Tonjongsari disebabkan oleh jenis yang lebih homogen.

5.2.2. Karakteristik Tegakan Sengon Berdasarkan Faktor Ketinggian Tempat, Kemiringan Lahan, dan Kelas Lahan

Hasil perhitungan volume dan jumlah pohon disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil perhitungan volume dan jumlah pohon berdasarkan faktor ketinggian, kelerengan, dan kelas luas kepemilikan lahan

Faktor Volume (m3/ha) Jumlah pohon per

hektar

(40)

Perbedaan potensi tersebut menunjukkan bahwa pada ketinggian 90-110 mdpl memiliki diameter lebih besar dibandingkan pohon-pohon yang berada pada ketinggian antara 50-70 mdpl. Tidak adanya pengaruh ketinggian terhadap jumlah batang tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Tonjongsari umumnya memperlakukan lahan garapannya tidak terlalu mempertimbangkan faktor ketinggian tempat. Kesulitan dalam mengakses lokasi untuk keperluan penanaman maupun pemanenan sama sekali tidak merupakan faktor penghambat proses kegiatan pengangkutan maupun pemasaran. Hal terpenting bagi mereka adalah bagaimana memaksimalkan lahan miliknya dengan menanami jenis kayu dan jenis pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan jangka panjang.

Pengaruh faktor kelas kemiringan lahan terhadap potensi volume tegakan sengon tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95%, akan tetapi menunjukkan perbedaan nyata terhadap kerapatan jumlah batang per pohon. Tidak adanya perbedaan pada potensi volume tegakan ditunjukkan oleh besarnya potensi volume tegakan pada kelas kemiringan 0-15 % sebesar 117,29 m3/ha, pada kelas kemiringan 25-45 % sebesar 108,47 m3/ha, sedangkan perbedaan pada jumlah pohon kemungkinan disebabkan oleh pengaturan jarak tanam. Pada kelerengan tanah yang lebih curam akan memberikan jumlah pohon yang ditanam lebih banyak dibandingkan dengan lahan yang lebih datar atau landai, karena dengan kemiringan yang curam seharusnya jarak tanam bukan menggunakan jarak lapang, melainkan jarak datar.

(41)

kepemilikan lahan I umumnya terdiri dari tegakan sengon yang berdiameter kecil atau berumur 2-3 tahun sehingga pada sebaran kurva poisson di Desa Tonjongsari, tegakan sengon pada kelas lahan I banyak menduduki sebaran diameter kelas bawah. Banyaknya jumlah pohon disebabkan oleh penanaman yang lebih rapat dan juga banyak pohon berasal dari tunggak bekas tebangan yang tidak dibuang sehingga menghasilkan batang baru yang banyak cabang.

Selanjutnya untuk mengetahui karakteristik secara umum tegakan sengon di Desa Tonjongsari, maka dilakukan uji Anova untuk mengetahui hubungan berdasarkan faktor ketinggian, kelerengan, kelas luas kepemilikan lahan, dan kombinasinya terhadap potensi tegakan sengon sehingga dapat memperkuat hasil uji chi-square yang telah didapatkan diatas. Hasil uji anova tersebut disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12.

Tabel 11 Hubungan faktor ketinggian, kelerengan, kelas luas kepemilikan lahan, dan kombinasinya terhadap volume sengon

Faktor Signifikan

Ketinggian 0,151

Kelerengan 0,921

Kelas luas kepemilikan lahan 0,268

Ketinggian*kelerengan*kelas lahan 0,978

Keterangan: *) dikombinasikan

Tabel 12 Hubungan faktor ketinggian, kelerengan, kelas luas kepemilikan lahan, dan kombinasinya terhadap jumlah pohon

Faktor Signifikan

Ketinggian 0.633

Kelerengan 0.507

Kelas luas kepemilikan lahan 0.010

Ketinggian * kelerengan * kelas luas kepemilikan lahan 0.064

Keterangan: *) dikombinasikan

(42)

hektar) dapat dijelaskan oleh ketinggian tempat, kelerengan lahan, dan kelas lahan di dalam model, sisanya 68.4% dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

5.3. Kondisi Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tonjongsari

5.3.1. Sejarah

Hutan rakyat di Desa Tonjongsari juga dikenal sebagai kebun campuran. Keberadaan kebun campuran ini sudah sejak lama terbentuk. Masyarakat umumnya menanami lahan mereka dengan pohon kelapa, pohon manggis, kedondong, dan pisang. Gula kelapa dan produk olahan kelapa lainnya merupakan ciri khas sekaligus hasil utama Desa Tonjongsari hingga saat ini. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai memaksimalkan hasil lahannya dengan menanam jenis kayu di sela-sela pohon kelapa, sawo, kedondong, maupun pisang. Mengetahui bahwa hasil dari kombinasi tanaman tersebut sangat membantu perekonomian dalam rumah tangganya, maka mereka mulai menanami lahannya dengan jenis tanaman kayu.

Menurut beberapa warga, sengon awalnya diperkenalkan melalui program Dinas Pertanian sekitar tahun 1987. Namun, program tersebut belum menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap perkembangan hutan rakyat sengon. Pada tahun 1990-an, salah satu warga, yakni Haji Pupud mulai menanam jenis sengon di lahannya. Usaha hutan rakyat sengon tersebut ternyata berkembang dan sukses. Bahkan, Haji Pupud kini telah memiliki usaha penggergajian kayu sendiri. Melihat kesuksesannya, lambat laun masyarakat mulai mencoba mengikuti usaha tersebut. Sebagian besar masyarakat yang memiliki lahan kebun sudah mulai menanami lahannya dengan jenis sengon atau biasa masyarakat setempat mengenalinya dengan istilah albiso. Hingga kini, bukan hanya sengon saja yang ditanam, masyarakat juga mulai menanami lahan mereka dengan jenis-jenis pohon kayu lainnya seperti mahoni.

5.3.2. Status Kepemilikan Lahan

(43)

5.3.3. Batas Kepemilikan Lahan

Batas-batas lahan yang biasa digunakan masyarakat setempat adalah pagar bambu dan pagar tanaman. Pagar tanaman yang biasa digunakan adalah jenis kaliandra. Pagar bambu biasanya digunakan untuk mencegah penggembalaan hewan ternak, yaitu sapi dan kambing. Namun, ada juga warga yang sengaja menggunakan lahan hutan rakyatnya menjadi lahan untuk penggembalaan. Adanya batas menggunakan pagar ini sangat efektif mengingat tidak adanya konflik mengenai kepemilikan lahan di Desa Tonjongsari.

5.3.4. Pola Hutan Rakyat di Desa Tonjongsari

Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat setempat beraneka ragam, terdiri dari jenis tanaman perkebunan, jenis tanaman kehutanan, serta jenis tanaman pertanian, umumnya petani hutan rakyat mencampurkan jenis-jenis tanaman tersebut atau biasanya dikenal sebagai agroforestry (Gambar 3b). Agroforest adalah struktur yang dibangun oleh masyarakat-masyarakat setempat dalam rangka diversifikasi produksi, melengkapi produksi bahan pangan yang dihasilkan untuk kebutuhan sendiri dari lahan tanaman semusim. Agroforest merupakan bagian dari sistem pertanian masyarakat, petani tidak menganggapnya sebagai „hutan‟ melainkan sebagai „ladang‟ atau „kebun‟ (de Foresta et al. 2000).

(44)

(a) (b) Gambar 3 (a) Hutan rakyat monokultur, (b) agroforestry.

Secara ekologi, bentuk penanaman campuran ini sangat menguntungkan karena kerentanan tegakan terhadap hama dan penyakit serta kebakaran lebih rendah dibandingkan penanaman secara monokultur. Namun, kondisi ini juga tidak menutup kemungkinan adanya sistem monokultur di Desa Tonjongsari (Gambar 3a). Meskipun terbilang sangat kecil jumlahnya, sistem monokultur juga diterapkan oleh beberapa warga. Sistem ini biasanya dilakukan oleh pemilik lahan yang luas (strata I) sehingga pendapatan yang dihasilkan dari pemanenan sangat besar dan cukup untuk memenuhi kebutuhan setidaknya sampai panen selanjutnya. Selain itu, warga setempat menanam dengan pola monokultur juga karena mereka memiliki penghasilan dari sektor lain seperti toko, PNS, dan swasta sehingga mereka tidak menggantungkan penghasilan dari lahannya saja.

5.3.5. Pola Pengelolaan

Pola pengelolaan hutan rakyat di Desa Tonjongsari merupakan pola swadaya. Masyarakat mengelola hutan rakyat secara perseorangan dengan kemampuan modal yang bervariasi tergantung kemampuan masing-masing. Dalam hal ini, masyarakat hanya sebatas mengelola hutan rakyat mulai dari pengadaan bibit hingga pohon siap panen, sedangkan penanganan panen dan pasca panen sepenuhnya diserahkan kepada tengkulak. Petani hutan rakyat juga membutuhkan tenaga bantuan atau buruh untuk keperluan penyiapan lahan seperti halnya petani sawah saat melakukan penyiapan lahan untuk penanaman padi.

5.3.6. Kelembagaan

(45)

kelompok tani. Kelompok tersebut berperan sebagai pengendali harga jenis kehutanan yang diberikan oleh tengkulak. Meskipun demikian, posisi tawar petani masih rendah. Kelompok tani tersebut juga bisa berperan sebagai penyalur bantuan pemerintah. Hanya saja, sampai saat ini kelompok tani yang ada masih belum bisa memfasilitasi masyarakat dalam penyediaan bibit dan pemasaran secara swadaya. Masyarakat yang luas lahannya kecil hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah untuk penyediaan bibitnya, sedangkan pemilik lahan yang luas biasanya memperoleh bibit dari penjual bibit keliling. Kendala dalam penyediaan bibit ini menjadi fokus bidang perkebunan dan kehutanan. Mereka saat ini sedang merencanakan pembuatan kebun bibit rakyat yang akan dikelola secara gotong-royong. Menurut mereka, kendala utama untuk merealisasikan program tersebut adalah modal.

5.3.7. Kegiatan Pengelolaan

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Desa Tonjongsari meliputi pengadaan bibit, persiapan lahan dan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengangkutan, serta pemasaran.

5.3.7.1. Pengadaan Bibit

Sebagian masyarakat Desa Tonjongsari mendapatkan bibit sengon dengan cara membeli dari penjual bibit sengon keliling. Bibit yang akan dijual di letakkan ke dalam bak truk. Satu bibit sengon dihargai Rp. 1000,00. Menurut masyarakat setempat, bibit yang dijual oleh penjual keliling cukup baik kualitasnya.

(46)

5.3.7.2. Persiapan Lahan dan Penanaman

Sebelum kegiatan penanaman dimulai, pemilik lahan mempersiapkan lahannya terlebih dahulu. Persiapan lahan tersebut dilakukan dengan cara membersihkan semak atau rumput-rumputan di daerah yang akan ditanami sengon. Pada sistem agroforestry, masyarakat juga akan memperhatikan tanaman pertanian yang menjadi penghasilan utamanya. Bibit sengon akan ditanam di sela-sela tanaman pertanian yang sudah ada.

Setelah membersihkan semak atau rumput-rumputan, daerah yang akan ditanami akan dicangkul untuk membuat lubang tanam. Kemudian, bibit sengon siap tanam yang berukuran sekitar 40-60 cm akan diletakkan ke dalam lubang tanam tersebut. Dalam membuat lubang, jarak tanam yang digunakan cukup bervariasi. Biasanya jarak tanam yang digunakan oleh masyarakat adalah 3 m x 2 m, 2 m x 2 m, 3 m x 3 m, dan 5 m x 5 m. Namun, ada juga yang menanamnya secara tidak beraturan karena disesuaikan dengan posisi tanaman pertanian yang sudah ada sebelumnya.

(47)

Gambar 4 batang yang tumbuh dari tunggak bekas tebangan.

5.3.7.3. Pemeliharaan

Pemeliharaan sengon dimulai dari awal penanaman. Masyarakat setempat rata-rata menggunakan pupuk NPK padat untuk memupuk tanaman baru. Ada juga yang menggunakan pupuk kandang untuk memupuk tanaman sengon yang baru ditanam. Menurut warga setempat, pupuk-pupuk yang digunakan tersebut sangat membantu proses pertumbuhan bibit.

Pemeliharaan pada tanaman yang berumur 1-2 tahun antara lain pemupukan dan penjarangan. Untuk membantu proses pertumbuhan sengon, masyarakat memupuk sengon menggunakan serbuk gergajian kayu. Selain itu, ada juga yang memberi serbuk batu zeolit untuk dijadikan pupuk.

(48)

(a) (b)

Gambar 5 (a) Penggunaan pupuk serbuk kayu, (b) penggunakan pupuk serbuk zeolit.

(49)

(a) (b)

Gambar 6 (a) Pohon sengon yang terserang penyakit karat puru, (b) pemberian kapur pada bagian yang terserang penyakit karat puru sebagai tindakan pemeliharaan.

5.3.7.4. Pemanenan

Pemanenan merupakan kegiatan yang tidak dilakukan oleh pemilik secara langsung. Masyarakat di Desa Tonjongsari menyerahkan tegakan yang siap untuk ditebang kepada para tengkulak. Jika seluruh pohon atau sebagian pohon telah dibeli, maka selanjutnya akan menjadi hak pemborong untuk melakukan pemanenan. Pemborong dapat memanen pohon yang telah dibeli kapan pun. Bahkan, ada lahan milik salah satu warga yang pohonnya telah dibeli sejak satu tahun lalu, tetapi masih belum ditebang sampai saat ini. Hal ini tentu saja menyebabkan kerugian bagi pemilik lahan. Meskipun demikian, antara pemilik lahan dan pemborong ternyata tidak pernah terjadi konflik.

(50)

(a) (b)

Gambar 7 (a) Kayu hasil panen, (b) limbah kulit kayu yang digunakan untuk bahan bakar.

5.3.7.5. Pengangkutan

Kegiatan pengangkutan seluruhnya dilakukan oleh pemborong, mulai dari kayu yang berada di dalam lahan sampai keluar dari lahan petani. Tujuan pengangkutan sendiri adalah mengangkut kayu rakyat menuju industri pengolahan kayu rakyat.

Alat yang digunakan untuk mengangkut biasanya berupa truk kecil dan truk besar. Kayu yang baru ditebang akan diangkut menggunakan motor menuju tempat pengumpulan kayu di pinggir jalan. Selanjutnya, kayu yang telah dikumpulkan akan diangkut kembali menggunakan truk menuju industri pengolahan kayu.

5.3.7.6. Pemasaran

Kegiatan pemasaran kayu rakyat dilakukan oleh pemborong dan pemilik industri. Pemborong sendiri merupakan orang atau sekelompok orang yang membeli kayu rakyat secara langsung dari petani hutan rakyat. Pemborong berperan sebagai penentu harga tegakan yang telah disesuaikan dengan taksiran volumenya. Hal ini tidak menutup kemungkinan danya tawar menawar antara pihak petani dan pemborong. Setelah harga disepakati, pemborong berhak mengurus pemanenan sampai pemasaran kayu rakyat.

(51)

sangat minim terhadap kegiatan pemanenan sehingga mereka lebih memilih menyerahkan kegiatan tersebut kepada pemborong. Selain itu, pertimbangan biaya yang dikeluarkan untuk pemanenan dan pengangkutan juga menjadi dasar bagi petani untuk menyerahkan kepada pemborong.

Pihak lain yang terlibat dalam pemasaran kayu rakyat adalah industri penggergajian, baik skala kecil maupun skala besar. Alur pemasaran di Desa Tonjongsari ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Alur kegiatan pemasaran kayu rakyat.

Umumnya petani menjual hasil kayu rakyatnya kepada tengkulak. Namun, ada pula masyarakat yang langsung membeli kayu dari petani. Dalam hal ini, tengkulak berperan sebagai distributor (perantara). Tengkulak akan mendatangi secara langsung lokasi hutan rakyat yang akan diborong. Setelah terjadi kesepakatan, tengkulak akan mengambil alih keperluan pemanenan sampai pengangkutan. Setelah itu, tengkulak akan mendistribusikan kayu rakyat yang berupa kayu gelondongan maupun kayu gergajian ke industri penggergajian, baik skala kecil maupun besar. Di industri tersebut, kayu rakyat akan diolah menjadi kayu gergajian sesuai dengan ukuran pertukangan. Kemudian barulah kayu rakyat akan sampai ke tangan konsumen untuk memenuhi kebutuhannya.

Industri Penggergajian (skala kecil)

Tengkulak

Industri Penggergajian (skala besar)

(52)

Gambar 9 Industri penggergajian skala kecil di Kecamatan Cikalong. Salah satu penduduk Desa Tonjongsari memiliki industri penggergajian skala kecil (Gambar 9). Untuk mendapatkan pasokan kayu rakyat, biasanya pemilik industri tersebut mendatangi langsung petani kayu rakyat. Namun, keuntungan yang didapatkan petani dari pemilik industri besarnya sama dengan keuntungan yang dihasilkan dari tengkulak.

5.3.8. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat di Desa Tonjongsari

Pengelolaan hutan rakyat di Desa Tonjongsari bersifat swadaya sehingga modal yang digunakan untuk membangun hutan rakyat atau kebun campuran menjadi tanggung jawab pemilik lahan masing-masing. Pada petani hutan rakyat dengan luasan yang kecil umumnya menghadapi kendala modal awal untuk pengadaan bibit sehingga mereka cenderung menunggu bantuan bibit secara gratis dari pemerintah. Dengan demikian, usaha untuk meningkatkan permodalan sangat diperlukan dalam pengembangan hutan rakyat di Desa Tonjongsari. Usaha tersebut dapat diwujudkan melalui pengembangan koperasi atau usaha pola kemitraan. Selain itu, rencana pembentukan kebun bibit rakyat oleh Bidang Perkebunan dan Kehutanan di Desa Tonjongsari apabila terealisasi juga dapat mendongkrak kemandirian usaha.

(53)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini:

1. Potensi hutan rakyat di Desa Tonjongsari sebesar 112,88 m3/ha dengan rentang nilai sebesar 92,49 m3/ha dan 133,27 m3/ha.

2. Kondisi tegakan hutan rakyat sengon di Desa Tonjongsari mengalami penurunan jumlah pohon pada setiap kenaikan kelas diameter dengan persamaan N = (475,4)e-0,10d dengan koefisien determinasi sebesar 90,3%. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik tegakan hutan rakyat di Desa Tonjongsari masih menunjukkan sifat normal sebagai tegakan hutan tidak seumur (uneven-aged forest). Jumlah batang pada kelas diameter I lebih sedikit dibandingkan kelas diameter II karena masyarakat melakukan penanaman sekitar 2-3 tahun yang lalu.

3. Diantara faktor ketinggian, kelerengan, dan kelas luas kepemilikan lahan serta kombinasinya, pengaruh yang paling signifikan terhadap potensi tegakan sengon adalah kelas luas kepemilikan lahan terhadap potensi jumlah batang, hal ini berkaitan erat dengan perbedaan tingkat kondisi ekonomi masyarakat petani hutan rakyat yang sangat besar pengaruhnya terhadap penutupan lahan yang ada.

(54)

6.2 Saran

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Propinsi Maluku [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Tidak Diterbitkan.

Davis L. S., Johnson K. Norman. 1987. Forest Management 3rd ed. USA: McGraw-Hill, Inc.

De Foresta, Kuswono A., Michon G., Djatmiko W.A. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan – Agroforest Khas Indonesia – Sumbangan Masyarakat Bagi Pembangunan Berkelanjutan. International Centre for Research in Agroforestry, Bogor, Indonesia; Institut de Recherche pour le Developpement, France; dan Ford Foundation, Jakarta, Indonesia.

Hardjanto. 2000. Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat di Jawa. Dalam Suharjito (Penyunting). Hutan Rakyat di Jawa: Perannya Dalam Perekonomian Desa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Bogor. pp. 7-11.

Husch B., Beers T.W., Kershaw J.A. 2003. Forest Mensuration 4th ed. Canada: Wiley.

Karminarsih, Emi. 2012. Unit Pengelolaan Hutan Rakyat LestariSkala Kecil: Kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat [Disertasi]. Bogor: Pascasarjana IPB. Tidak Diterbitkan.

Krisnawati H., Varis E., Kallio M., Kanninen M. 2011. Paraserianthes falcataria (L) Nielsan: Ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor: CIFOR, Indonesia.

Labetubun M. H. 2004. Metode Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur Melalui Pendekatan Model Dinamika Sistem (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Tidak Diterbitkan.

(56)

Pasaribu RA., Roliadi H. 2006. Kajian Potensi Kayu Pertukangan Dari Hutan Rakyat Pada Beberapa Kabupaten di Jawa Barat. (Prosiding) Kontribusi Hutan Rakyat Dalam Kesinambungan Industri Kehutanan. Bogor . Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. 29-39.

Persaki. 2010. Membedah Keberhasilan Hutan Rakyat. vol 13 edisi Pebruari 2010 hal 29. Jakarta: Pusat Informasi Kehutanan.

Rahadikha R. 2011. Pemodelan Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat) [Skripsi]. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan.

Riva W. F. 1997. Pengelolaan Kebun Campuran Tradisional dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Tani. Dalam Suharjito (penyunting). Kehutanan Masyarakat: Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Institut Pertanian Bogor. pp. 37-47.

Rosnawati E. 2004. Karakteristik pemasaran kayu hasil hutan rakyat di Cianjur Selatan (Kasus di Kecamatan Cibinong dan Sindangbarang) [Skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan.

Setiawan A. 2006. Tingkat serangan hama pada sistem agroforestri berbasis kopi (Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung) [Skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan.

(57)
(58)

Lampiran 1 Tabel volume sengon berdasarkan kelas lahan I

Lampiran 2 Tabel volume sengon berdasarkan kelas lahan II

(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)

Lampiran 8 Tabel hasil uji chi-square jumlah pohon pada kondisi ketinggian yang

Total 1790 Chi-square 0.002235

Lampiran 9 Tabel hasil uji chi-square volume pohon pada kondisi ketinggian yang berbeda

Total 225.76 Chi-square 4.965053

Lampiran 10 Tabel hasil uji chi-square jumlah pohon pada kondisi kelerengan yang berbeda

Lampiran 11 Tabel hasil uji chi-square volume pohon pada kondisi kelerengan yang berbeda

(65)

Lampiran 13 Tabel hasil uji chi-square jumlah pohon pada kelas lahan yang berbeda

Kelas lahan

Volume (m3/ha)

(E) O E - O (E - O)

2 (E – O)

2

E

I 85.11 110.0467 -24.9367 621.8373 5.65067 II 136.48 110.0467 26.43333 698.7211 6.349316 III 108.55 110.0467 -1.49667 2.240011 0.020355

330.14 12.02034

Gambar

Tabel 2 Perimbangan produksi dan kebutuhan kayu pertukangan untuk bahan
Tabel 7 Distribusi jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian
Tabel 8  Potensi volume tegakan sengon plot contoh
Gambar 2  Kurva hubungan antara jumlah pohon per hektar dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selisih hasil antara metode perhitungan per pohon dengan kelas diameter memiliki perbedaan yang signifikan.Oleh karena itu, metode perhitungan atas dasar kelas

Nilai-nilai dugaan bagi potensi volume dalam tegakan-tegakan berdasarkan strata nilai potensi dan jenis vegetasi di HPGW yang diketahui dari hasil pendugaan dengan

Kegiatan pada kunjungan kedua dilakukan pendalaman informasi potensi wisata yang didapat pada diawal melalui forum diskusi yang lebih besar dengan melibatkan

Potensi biomassa, potensi serapan karbon dioksida ( ) dan potensi oksigen pada tegakan bambu parring (Gigantochloa Atter) yang ada di Desa Toddolimae Kecamatan

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan tinjauan mengenai pengusahaan kayu pada hutan rakyat dan manfaat ekonomi terhadap pendapatan rumah tangga serta

Indeks kepadatan tegakan yang diajukan oleh Reineke (1933) dengan menggunakan pendekatan diameter pada rata-rata luas bidang dasar yang mendekati 10 inci atau 25,4 cm

Variabel Pengamatan Untuk memperoleh data, maka variabel yang diamati adalah jumlah pohon bulan baon per hektar termasuk luas areal hutan dan jarak tanam pohon, volume tegakan bulan

Potensi Karbon Tersimpan Hasil perhitungan sensus keseluruhan pada setiap pohon munjukan nilai kandungan karbon tersimpan pada Kampus Universitas Kuningan sebesar 66,67 ton dengan