MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL
KERAWANAN PANGAN
SABARELLA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul : “MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL KERAWANAN PANGAN” adalah karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya
Bogor, Nopember 2005
ABSTRAK
SABARELLA. Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan. Dibimbing
oleh BAMBANG JUANDA dan TJUK EKO HARI BASUKI.
Penelitian ini membahas penerapan model persamaan struktural untuk mengkaji keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa. Data yang digunakan dalam penelitian mengacu pada indikator- indikator yang telah dipilih dalam pembuatan peta kerawanan pangan yang terdiri dari 3 dimensi/faktor kerawanan pangan, yaitu dimensi ketersediaan pangan (SEDIA), akses terhadap pangan dan pendapatan (AKSES) serta pemanfaatan dan penyerapan pangan (SERAP).
Model yang dibangun menghubungkan tiga faktor laten SEDIA-AKSES-SERAP sebagai pendekatan bagi keterkaitan antar indikator tersebut dengan menggunakan analisis LISREL (Linear Structure Relationship). Model pesamaan struktural kerawanan pangan nasional dan Jawa yang dihasilkan mengungkapkan bahwa ketersedian pangan berpengaruh positif dan nyata terhadap akses, dan akses berpengaruh positif terhadap penyerapan, namun pengaruh langsung dari ketersediaan terhadap penyerapan pangan negatif dan tidak nyata yang berarti ketersediaan pangan tidak diikuti oleh penyerapan yang baik, hal ini masih menunjukkan terjadinya rawan pangan. Sementara untuk model di Luar Jawa ketersediaan berpengaruh positif namun tidak nyata terhadap akses pangan dan pendapatan, yang berarti kabupaten di Luar Jawa pada umumnya belum mampu menopang kebutuhan pangan untuk wilayahnya, meskipun akses berpengaruh positif dan nyata terhadap penyerapan. Ketersediaan pangan yang cukup merupakan suatu persyaratan yang perlu untuk jaminan pangan, tetapi tidak cukup untuk menggaransi jaminan pangan di tingkat rumah tangga dan individu, karena masih sangat tergantung pada faktor akses dan penyerapan pangan, seperti yang terjadi di kabupaten Bondowoso, Probolinggo, Jember, OKI, Musi Banyu Asin, Tulang Bawang, Donggala , Sambas dan Landak. Hubungan antara skor SEDIA terhadap katagori kerawanan pangan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menunjukkan tidak berpengaruh dalam pengkatagorian tersebut untuk ketiga model nasional, Jawa dan Luar Jawa. Sementara hubungan skor AKSES dan SERAP terhadap katagori untuk model nasional dan kabupaten di Jawa dan di Luar Jawa menujukkan semakin mudah dalam mengakses dan menyerap pangan maka katagori rawan pangannya makin rendah atau semakin tahan pangan, kecuali untuk model di Luar Jawa pada skor AKSES tidak berpengaruh.
MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL
KERAWANAN PANGAN
SABARELLA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Statistika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan
Nama : Sabarella
NIM : G151024084
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. Dr. Ir. Tjuk Eko Haribasuki, M.St.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Statistika Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Budi Susetyo, M.S. Prof.Dr.Ir.Syafrida Manuwoto, M.Sc.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dibahas
dalam penelitian ini adalah model persamaan struktural, diterapkan untuk
memodelkan keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan
Luar Jawa.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda,
M.S. dan Dr. Ir. Tjuk Eko Haribasuki, M.St. selaku ketua komisi pembimbing dan
anggota yang telah banyak memberikan perhatian, saran dan bimbingan.
Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Ir. Iwan F Malonda,
M.Com. dari Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian yang telah
memberikan informasi dan masukan yang sangat berharga dalam penulisan karya
ilmiah ini.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak di Pusat Data
dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian, yang telah membantu baik materi
maupun moril selama studi penulis di Bogor. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada anak-anak tercinta, orang tua dan seluruh keluarga, atas
segala doa dan dukungannya. Akhirnya ucapan terima kasih disampaikan kepada
teman-teman, mas Heri dan semua pihak yang telah membantu demi kelancaran
penyelesaian studi penulis.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Nopember 2005
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 8 Mei 1967 sebagai anak ketiga
dari delapan bersaudara dari ayah H. Sulaeman (Alm) dan Ibu H. Futichah.
Tahun 1990 penulis lulus dari Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto. Pada tahun 2002,
penulis diterima di Program Studi Statistika pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Pusat Data dan Informasi
Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai fungsional Statistisi di Pusat Data dan Informasi
Pertanian, Departemen Pertanian sejak tahun 1992 sampai dengan sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Konsep Ketahanan Pangan ... 4
Eksplorasi Data ... 10
Pemodelan Persamaan Struktural ... 12
Validitas dan Kehandalan Indikator ... 18
METODE PENELITIAN ... 20
Sumber Data ... 20
Metode Analisis ... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
Gambaran Umum Data Indikator Kerawanan Pangan ... 25
Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan ... 29
Hubungan Skor SEDIA, AKSES dan SERAP Terhadap Katagori Kerawanan Pangan yang diidentifikasi Oleh Dewan Ketahan Pangan (DKP) ... 35
SIMPULAN DAN SARAN ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 43
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Klasifikasi kelompok indeks serta gradasi warna dalam peta kerawanan pangan...10
2. Faktor laten dan peubah manifes/indikator model persamaan struktural
kerawanan pangan ...21
3. Nilai GFI dan AGFI beberapa model persamaan struktural kerawanan
pangan...29
4. Hubungan faktor laten dengan indikator pada model 1 dengan 16
indikator...30
5. Kelayakan model kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa... 31
6. Penilaian validitas indikator pengukur faktor laten pada model 1... 34
7. Perbandingan koefisien kehandalan konstruk untuk model 1 dan model 2
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka model persamaan struktural kerawanan pangan...2
2. Diagram kotak garis (Box-plot) ...11
3. Ilustrasi model LISREL (Linear Structural Relationship)...15
4. Model persamaan struktural kerawanan pangan ... 23
5. Diagram alur penentuan model persamaan struktural kerawanan pangan ...24
6. Rata-rata produksi dan produksi/kapita beras, jagung, ubi kayu dan ub i jalar kabupaten di Jawa dan Luar Jawa ...26
7. Perbandingan beberapa indikator kerawanan pangan Jawa dan Luar Jawa ... 26
8. Diagram kotak garis produksi beras ...27
9. Diagram kotak garis persentase penduduk miskin ... 28
10. Diagram kotak garis % kepala rumah tangga bekerja < 15 jam/minggu .... 28
11. Model persamaan struktural kerawanan pangan nasional ... 31
12. Model persamaan struktural kerawanan pangan kabupaten di Jawa... 32
13. Model persamaan struktural kerawanan pangan kabupaten di Luar Jawa....33
14. Plot antara skor (a) SEDIA vs Katagori (b) AKSES vs Katagori (c) SERAP vs Katagori untuk model nasional... 36
15. Plot antara skor (a) SEDIA vs Katagori (b) AKSES vs Katagori (c) SERAP vs Katagori Kabupaten di Jawa ... 38
MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL
KERAWANAN PANGAN
SABARELLA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul : “MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL KERAWANAN PANGAN” adalah karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya
Bogor, Nopember 2005
ABSTRAK
SABARELLA. Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan. Dibimbing
oleh BAMBANG JUANDA dan TJUK EKO HARI BASUKI.
Penelitian ini membahas penerapan model persamaan struktural untuk mengkaji keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa. Data yang digunakan dalam penelitian mengacu pada indikator- indikator yang telah dipilih dalam pembuatan peta kerawanan pangan yang terdiri dari 3 dimensi/faktor kerawanan pangan, yaitu dimensi ketersediaan pangan (SEDIA), akses terhadap pangan dan pendapatan (AKSES) serta pemanfaatan dan penyerapan pangan (SERAP).
Model yang dibangun menghubungkan tiga faktor laten SEDIA-AKSES-SERAP sebagai pendekatan bagi keterkaitan antar indikator tersebut dengan menggunakan analisis LISREL (Linear Structure Relationship). Model pesamaan struktural kerawanan pangan nasional dan Jawa yang dihasilkan mengungkapkan bahwa ketersedian pangan berpengaruh positif dan nyata terhadap akses, dan akses berpengaruh positif terhadap penyerapan, namun pengaruh langsung dari ketersediaan terhadap penyerapan pangan negatif dan tidak nyata yang berarti ketersediaan pangan tidak diikuti oleh penyerapan yang baik, hal ini masih menunjukkan terjadinya rawan pangan. Sementara untuk model di Luar Jawa ketersediaan berpengaruh positif namun tidak nyata terhadap akses pangan dan pendapatan, yang berarti kabupaten di Luar Jawa pada umumnya belum mampu menopang kebutuhan pangan untuk wilayahnya, meskipun akses berpengaruh positif dan nyata terhadap penyerapan. Ketersediaan pangan yang cukup merupakan suatu persyaratan yang perlu untuk jaminan pangan, tetapi tidak cukup untuk menggaransi jaminan pangan di tingkat rumah tangga dan individu, karena masih sangat tergantung pada faktor akses dan penyerapan pangan, seperti yang terjadi di kabupaten Bondowoso, Probolinggo, Jember, OKI, Musi Banyu Asin, Tulang Bawang, Donggala , Sambas dan Landak. Hubungan antara skor SEDIA terhadap katagori kerawanan pangan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menunjukkan tidak berpengaruh dalam pengkatagorian tersebut untuk ketiga model nasional, Jawa dan Luar Jawa. Sementara hubungan skor AKSES dan SERAP terhadap katagori untuk model nasional dan kabupaten di Jawa dan di Luar Jawa menujukkan semakin mudah dalam mengakses dan menyerap pangan maka katagori rawan pangannya makin rendah atau semakin tahan pangan, kecuali untuk model di Luar Jawa pada skor AKSES tidak berpengaruh.
MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL
KERAWANAN PANGAN
SABARELLA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Statistika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan
Nama : Sabarella
NIM : G151024084
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. Dr. Ir. Tjuk Eko Haribasuki, M.St.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Statistika Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Budi Susetyo, M.S. Prof.Dr.Ir.Syafrida Manuwoto, M.Sc.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dibahas
dalam penelitian ini adalah model persamaan struktural, diterapkan untuk
memodelkan keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan
Luar Jawa.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda,
M.S. dan Dr. Ir. Tjuk Eko Haribasuki, M.St. selaku ketua komisi pembimbing dan
anggota yang telah banyak memberikan perhatian, saran dan bimbingan.
Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Ir. Iwan F Malonda,
M.Com. dari Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian yang telah
memberikan informasi dan masukan yang sangat berharga dalam penulisan karya
ilmiah ini.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak di Pusat Data
dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian, yang telah membantu baik materi
maupun moril selama studi penulis di Bogor. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada anak-anak tercinta, orang tua dan seluruh keluarga, atas
segala doa dan dukungannya. Akhirnya ucapan terima kasih disampaikan kepada
teman-teman, mas Heri dan semua pihak yang telah membantu demi kelancaran
penyelesaian studi penulis.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Nopember 2005
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 8 Mei 1967 sebagai anak ketiga
dari delapan bersaudara dari ayah H. Sulaeman (Alm) dan Ibu H. Futichah.
Tahun 1990 penulis lulus dari Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto. Pada tahun 2002,
penulis diterima di Program Studi Statistika pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Pusat Data dan Informasi
Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai fungsional Statistisi di Pusat Data dan Informasi
Pertanian, Departemen Pertanian sejak tahun 1992 sampai dengan sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Konsep Ketahanan Pangan ... 4
Eksplorasi Data ... 10
Pemodelan Persamaan Struktural ... 12
Validitas dan Kehandalan Indikator ... 18
METODE PENELITIAN ... 20
Sumber Data ... 20
Metode Analisis ... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
Gambaran Umum Data Indikator Kerawanan Pangan ... 25
Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan ... 29
Hubungan Skor SEDIA, AKSES dan SERAP Terhadap Katagori Kerawanan Pangan yang diidentifikasi Oleh Dewan Ketahan Pangan (DKP) ... 35
SIMPULAN DAN SARAN ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 43
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Klasifikasi kelompok indeks serta gradasi warna dalam peta kerawanan pangan...10
2. Faktor laten dan peubah manifes/indikator model persamaan struktural
kerawanan pangan ...21
3. Nilai GFI dan AGFI beberapa model persamaan struktural kerawanan
pangan...29
4. Hubungan faktor laten dengan indikator pada model 1 dengan 16
indikator...30
5. Kelayakan model kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa... 31
6. Penilaian validitas indikator pengukur faktor laten pada model 1... 34
7. Perbandingan koefisien kehandalan konstruk untuk model 1 dan model 2
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka model persamaan struktural kerawanan pangan...2
2. Diagram kotak garis (Box-plot) ...11
3. Ilustrasi model LISREL (Linear Structural Relationship)...15
4. Model persamaan struktural kerawanan pangan ... 23
5. Diagram alur penentuan model persamaan struktural kerawanan pangan ...24
6. Rata-rata produksi dan produksi/kapita beras, jagung, ubi kayu dan ub i jalar kabupaten di Jawa dan Luar Jawa ...26
7. Perbandingan beberapa indikator kerawanan pangan Jawa dan Luar Jawa ... 26
8. Diagram kotak garis produksi beras ...27
9. Diagram kotak garis persentase penduduk miskin ... 28
10. Diagram kotak garis % kepala rumah tangga bekerja < 15 jam/minggu .... 28
11. Model persamaan struktural kerawanan pangan nasional ... 31
12. Model persamaan struktural kerawanan pangan kabupaten di Jawa... 32
13. Model persamaan struktural kerawanan pangan kabupaten di Luar Jawa....33
14. Plot antara skor (a) SEDIA vs Katagori (b) AKSES vs Katagori (c) SERAP vs Katagori untuk model nasional... 36
15. Plot antara skor (a) SEDIA vs Katagori (b) AKSES vs Katagori (c) SERAP vs Katagori Kabupaten di Jawa ... 38
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Perubahan pada indikator kerawanan pangan kronis ... 44
2. Korelasi indikator kerawanan pangan ... 45
3. Analisis deskriptif indikator kerawanan pangan Jawa dan luar Jawa... 46
4. Diagran kotak garis indikator kerawanan pangan Jawa dan luar Jawa... 47
5. Model persamaan struktural kerawanan pangan dengan modifikasi indikator produksi perkapita untuk faktor laten SEDIA... 48
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan
pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Dewan Ketahanan Pangan 2002).
Kondisi sebaliknya disebut kerawanan pangan (Ketidaktahanan pangan), adalah
suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai
untuk hidup sehat dan beraktifitas dengan baik, baik secara sementara maupun
jangka panjang.
Makna makro ketahanan pangan terkait dengan penyediaan pangan di
seluruh wilayah setiap saat, sedangkan makna mikro terkait dengan kemampuan
rumah tangga dan individu dalam mengakses pangan dan gizi sesuai kebutuhan
dan pilihannya untuk tumbuh, hidup sehat dan produktif. Pada tataran mikro,
permasalahan pemantapan ketahanan pangan terkait dengan masih tingginya
proporsi masyarakat yang mengalami kerawanan pangan mendadak karena
sesuatu musibah, maupun kerawanan kronis karena kemiskinan. Kerawanan
pangan ini langsung berakibat pada rendahnya status gizi dan dalam keadaan yang
lebih parah dapat menurunkan kualitas fisik dan intelegensia kelompok
masyarakat yang bersangkutan.
Dewan Ketahanan Pangan (DKP), R.I. bekerja sama dengan Program
Pangan Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations World Food
Program) tahun 2004 telah melakukan analisis data sekunder untuk
parameter-parameter kerawanan pangan, melalui pembuatan peta kerawanan pangan di
Indonesia, yang dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi para pengambil
kebijakan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten untuk menyusun perencanaan
yang lebih baik dan tepat sasaran, efektif dan efesien dalam mengatasi
permasalahan kerawanan pangan. Pada pembuatan peta kerawanan pangan
tersebut telah dipilih indikator-indikator yang dapat menjelaskan 3 dimensi
pendapatan serta pema nfaatan dan penyerapan pangan. Namun demikian kajian
baru dilakukan pada pembuatan peta belum dilakukan analisis lebih lanjut
terhadap konsep kerawanan pangan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan
pemodelan tentang kerawanan pangan untuk melihat keterkaitan antar indikator
kerawanan pangan yang telah disusun, karena dengan pemodelan, validitas dan
kehandalan indikator dapat diukur.
Pengukuran terhadap objek yang diteliti seringkali tidak dapat dilakukan
secara langsung, tetapi melalui peubah penjelas yang merupakan refleksi atau
manifest dari suatu konsep, seperti konsep ”ketersediaan pangan ”, ” akses pangan
dan pendapatan, ”pemanfaatan dan penyerapan pangan ” merupakan faktor yang
tidak dapat diamati atau ber
sifat laten (unobservable variable), oleh karena itu diperlukan suatu teknik
statistik yang dapat menganalisis hubungan antara peubah laten dengan
peubah-peubah manifest-nya, dimana peubah manifest tersebut diasumsikan sebagai
pengukur (indikator) dari peubah laten yang dijelaskannya. Teknik analisis yang
dimaksud melalui pemodelan persamaan struktural (Structural Equation Model,
SEM) (Bollen 1989). Model hipotetik yang menghubungkan tiga dimensi
kerawanan pangan yaitu ketersediaan-akses-penyerapan. Adapun model hipotetik
yang dibangun adalah seperti terlihat dalam Gambar 1 berikut ini:
Gambar 1 Kerangka model persamaan struktural kerawanan pangan
Kerangka pemikiran model di atas menyatakan bahwa ketersediaan pangan
di suatu wilayah akan mempengaruhi akses terhadap pangan dan pendapatan,
yang selanjutnya akses pangan dan pendapatan akan berpengaruh terhadap
Ketersediaan pangan
Akses terhadap pangan dan pendapatan
penyerapan/pemanfaatan pangan yang ada. Penyerapan/pemanfaatan pangan
juga dipengaruhi secara langsung oleh ketersediaan pangan. Model tersebut
diasumsikan dapat mencerminkan terjadinya ketahanan pangan dan apabila terjadi
sebaliknya disebut dengan kerawanan pangan. Tentu saja masih banyak model
lain yang dapat diajukan, sehingga dalam hal ini kajian masih sangat terbuka
hanya saja pada penelitian ini dibatasi pada model hub ungan seperti tersebut di
atas. Sementara itu melihat setiap wilayah di Indonesia memiliki karakteristik
yang unik sehingga memunculkan banyak keragaman, oleh karena itu untuk
mengelompokkan keragaman tersebut, maka dalam pemodelan yang dibangun
dibedakan dalam 3 kelompok analisis yaitu Nasional, Jawa dan Luar Jawa yang
masing- masing hanya meliputi wilayah kabupaten (tidak termasuk kota) karena
keterbatasan data yang tersedia.
Tujuan
1. Menyusun model persamaan struktural kerawanan pangan berdasarkan
indikator yang telah ditetapkan
2. Mengkaji keterkaitan antar indikator kerawanan pangan nasional, Jawa dan
Luar Jawa
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Departemen
Pertanian khususnya dalam melakukan evaluasi terhadap konsep kerawanan
pangan yang telah disusun, antara lain :
1. Menghasilkan model yang menerangkan keterkaitan antar indikator
kerawanan pangan nasional, Jawa dan Luar Jawa.
2. Menghasilkan gugus indikator yang dapat digunakan untuk memonitor
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi pangan yang
terdiri atas subsistem penyediaan, distribusi dan konsumsi yang saling berinteraksi
secara berkesinambungan. Cakupan pembangunan subsistem tersebut antara lain:
1. Pembangunan subsistem penyediaan mencakup pengaturan kestabilan dan
kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam
negeri, cadangan, maupun impor.
2. Pembangunan subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk menjamin
aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan antar
wilayah, antar waktu serta stabilitas harga pangan strategis.
3. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan di tingkat
daerah maupun rumah tangga, untuk menjamin setiap individu memperoleh
pangan dalam jumlah, mutu gizi, keamanan, dan keragaman sesuai dengan
kebutuhan dan pilihannya.
Kondisi sebaliknya dari ketahanan pangan adalah kerawanan pangan,
Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara. Kerawanan pangan
kronis dapat disebabkan oleh satu atau beberapa faktor seperti ketidakmampuan
untuk mengakses pangan yang cukup seperti dari produksi swasembada,
pembelian di pasar, pinjaman atau bantuan. Kondisi ini juga dapat disebabkan
oleh ketidakmampuan untuk mengasimilasikan pangan ke dalam tubuh, cara
makan yang tidak benar, infrastruktur kesehatan dan sanitasi yang tidak memadai,
dan lain- lain. Kerawanan pangan sementara merupakan dampak dari menurunnya
ketersediaan pangan secara mendadak dan sementara yang umumnya disebabkan
oleh bencana alam.
Kerawanan pangan pada tingkat nasional dapat disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk menghasilkan pangan padi-padian secara cukup atau
akibat ketidakmampuan untuk mengimpor panga n yang memadai. Pada tingkat
propinsi, kerawanan pangan dapat disebabkan oleh oleh kurangnya produksi atau
terjangkau. Kerawanan pangan di tingkat rumah tangga umumnya disebabkan
oleh kurangnya kesempatan memperoleh nafkah yang mencukupi serta tingginya
harga pangan. Sementara itu di tingkat individu beberapa aspek seperti
ketidakwajaran akses pelayanan umum seperti kesehatan, air dan sanitasi,
pendidikan dan lainnya menimbulkan kerawanan pangan. Kerawanan pangan
individu bisa terjadi sejak janin yang mengalami kurang gizi, ini dapat
diindikasikan oleh bayi yang lahir dengan berat badan kurang, anak anak dan
orang dewasa yang mengalami kurang gizi. Jadi kerawanan pangan merupakan
manifestasi dari ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pendapatan,
pemanfaatan/penyerapan pangan, dimana inetraksi ketiga dimensi tersebut apakah
suatu wilayah atau individu mengalami kerawanan pangan.
Dewan ketahanan pangan bekerja sama dengan Program Pangan Dunia,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations Word Food Programme) telah
melakukan analisa data sekunder untuk indikator- indikator kerawanan pangan
yang sudah dipilih melalui pembuatan peta kerawanan pangan untuk
menunjukkan titik-titik kerawanan pangan di Indonesia dan dengan demikian
situasi kerawanan pangan di suatu wilayah dapat secara konstan dapat dipantau
dan dapat diperbaharui secara teratur. Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2004 telah
melakukan penentuan indikator-indikator kerawanan pangan suatu wilayah, yang
semula 14 indikator pada peta komposit kerawaan pangan, selanjutnya berubah
menjadi 10 indikator (Lampiran 1). Kesepuluh indikator kerawanan pangan kronis
tersebut tercakup dalam 3 dimensi kerawanan pangan antara lain :
1. Ketersediaan Pangan
(1) Perbandingan konsumsi normatif serealia terhadap ketersediaan lokal serealia
Ketersediaan pangan adalah suatu fungsi dari produksi pangan dan
perdagangan pangan, dimana ketersediaan pangan yang utama merupakan
fungsi dari produksi pangan. Produksi serealia menjadi perhatian utama
dalam memahami tingkat keswasembadaan pangan di suatu propinsi dan
kabupaten. Porsi utama dari kebutuhan kalori harian berasal dari tanaman
biji-bijian dan makanan berpati yang merupakan kelompok serealia. Serealia
utama yang dimaksud antara lain padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar.
dari produksi beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Produksi beras merupakan
konversi sebesar 63.2 % dari produksi padi, sedangkan produksi jagung
bersih adalah 60 % dari produksi jagung mengingat sebanyak 40 persen
jagung digunakan untuk pakan ternak. Data menunjukkan bahwa Indonesia
telah berswasembada dalam produksi serealia dan bila dipandang dari
ketersediaan serealia, Indonesia tergolong tahan pangan. Dalam penyusunan
peta kerawanan pangan ketersediaan yang dimaksud adalah ketersediaan
pangan serealia gr per kapita per hari, selanjutnya dihitung indeks
ketersediaan pangan yang dihitung dengan cara sebagai berikut :
F = Produksi serealia (beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar)
tpop x 365
IAV = C norm
F
Keterangan : F = ketersediaan pangan serealia gram per kapita per hari
tpop = Jumlah penduduk
IAV = Indeks ketersediaan pangan
C norm = Konsumsi normatif (300 gr serealia per kapita per hari)
Konsumsi normatif menunjukkan jumlah pangan biji-bijian yang harus
dikonsumsi oleh seseorang per hari untuk memperoleh kilo kalori energi dari
sereal. Pola konsumsi di Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata seseorang
memperoleh 50 % keperluan energi hariannya dari sereal (harus mengkonsumi
kurang lebih 300 gr sereal per hari. Standar kebutuhan kalori per hari per kapita
adalah 2,100 Kkal (DKP dan Program Pangan Dunia PBB , 2004). Nilai IAV > 1,
maka daerah tersebut defisit pangan serealia, atau kebutuhan konsumsi normatif
tidak bisa dipenuhi dari produksi daerah tersebut. Dan bila nilai IAV < 1, maka
daerah tersebut surplus pangan serealia.
2. Akses terhadap pangan dan penghidupan
Akses pangan tergantung pada daya beli rumah tangga yang merupakan fungsi
dari akses terhadap sumber nafkah. Ini berarti akses pangan terjamin seiring
terjaminnya pendapatan dalam jangka panjang. Indikator yang termasuk
(2) Persentase penduduk miskin
Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, menunjukkan
ketidak mampuan untuk mendapatkan kecukupan pangan, karena rendahnya
daya beli atau ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dll. Semakin besar jumlah orang
miskin, semakin rendah daya akses terhadap pangan dan semakin tinggi
derajat kerawanan pangan di wilayah tersebut.
(3) Persentase penduduk tanpa akses terhadap listrik
Tersedianya fasilitas listrik akan membuka peluang yang lebih besar untuk
akses pekerjaaan, sebagai indikasi kesejahteraan suatu wilayah atau rumah
tangga.
(4) Persentase desa tanpa akses jalan yang memadai
Akses jalan yang lebih baik akan mendukung perbaikan kondisi ekonomi di
suatu daerah, melalui peningkatan akses infrastruktur dasar seperti sekolah,
rumah sakit, pasar dan lain- lain yang sangat penting untuk memperbaiki
standar kehidupan. Daerah yang dihubungkan dengan baik oleh jalan
menerima bantuan infrastruktur lain yang dapat memperkuat mata
pencaharian masyarakat.
3. Kesehatan dan Gizi
Susunan bahan pangan yang seimbang, pengetahuan tentang gizi dan praktek
makan yang baik sangat penting. Penyerapan bahan pangan juga tergantung
pada keadaan kesehatan individu, pasokan air yang aman, sanitasi lingkungan
dan higiene. Hasil dari penyerapan bahan pangan yang tepat adalah
kehidupan individu yang panjang dan produktif di dalam masyarakat.
Indikator-indikator yang dapat menerangkan pemanfaatan atau penyerapan
pangan antara lain:
(5) Persentase rumah tangga berjarak > 5 km dari puskesmas
Manfaat kesehatan sangat penting untuk menurunkan angka kesakitan
penduduk, yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam
menyerap makanan. Akses yang dekat dengan fasilitas kesehatan
merupakan indikator bagaimana rumah tangga mendapatkan pelayanan
(6) Persentase rumah tangga tanpa akses air bersih
Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap air bersih,
merupakan persentase rumah tangga yang tidak menggunakan air PAM, air
pompa atau air sumur yang letaknya lebih dari 10 meter dari septiktank. Air
yang tidak bersih meningkatkan angka kesakitan dan menurunkan
penyerapan makanan.
(7) umur harapan hidup (tahun)
Umur harapan hidup waktu lahir, adalah lama hidup (tahun) yang
diharapkan dari bayi yang baru lahir di suatu daerah atau populasi tertentu.
(8) Persentase berat badan balita di bawah standar
Persentase balita kurang gizi, merupakan persentase balita yang tergolong
dalam golongan status gizi rendah dan menengah.
(9) Angka kematian bayi (per 1000 kelahiran hidup)
Angka kematian bayi, adalah jumlah kematian bayi (kematian pada tahun
pertama kehidupan) terhadap jumlah bayi yang lahir per 1000 kelahiran
hidup pada tahun yang sama. Kematian bayi dapat disebabkab oleh pola
asuh anak yang tidak layak, malnutrisi, tidak memadainya fasilitas
kesehatan.
(10) Persentase perempuan buta huruf.
Persentase perempuan buta huruf, pengetahuan perempuan dalam hal ini
ibu- ibu dalam menyediakan makanan dan pola asuh yang baik juga dapat
mempengaruhi tingkat kesehatan anak-anak dan keluarganya. Pada wilayah
yang persentase perempuan buta huruf tinggi, ditemukan insiden yang
tinggi pula untuk kasus anak kurang gizi.
Sementara bila dilihat dari Lampiran 1, untuk dimensi kedua yaitu akses
terhadap pangan dan pendapatan pada tahun 2004 terdapat beberapa indikator
selain yang telah tersebut di atas antara lain :
(a) Persentase kepala rumah tangga yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu
Tidak memiliki pekerjaan yang memadai merupakan cerminan tekanan
ekonomi, jika tidak ada sumber pendapatan yang memadai maka ketahanan
pangan di rumah tangga tersebut akan beresiko. Cerminan kondisi ekstrim
(b) Persentase kepala rumah tangga yang tidak tamat pendidikan dasar, ketidak
mampuan menyelesaikan pendidikan dasar dapat dikatakan sebagai akibat
dari kemiskinan. Isu kemiskinan dan ketidakmampuan unt uk memenuhi
biaya pendidikan merupakan alasan utama seseorang tidak menyelesaikan
pendidikan, selain jauhnya jarak sekolah ke perumahan, yang
menggambarkan fasilitas infrastruktur yang tidak memadai.
Sebagai tambahan indikator dimensi pendapatan dalam penelitian ini adalah:
(c) PDRB per kapita atas harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang
dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap
tahun.
(d) Pengeluaran riil per kapita menunjukkan standar hidup (paritas daya beli
dalam rupiah).
Dalam pembuatan peta kerawanan pangan oleh Dewan Ketahanan Pangan
(DKP), selanjutnya kesepuluh indikator kerawanan pangan tersebut dikonversi ke
dalam indeks, dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut :
Indeksχij =
min max
min
i i
i ij
χ χ
χ χ
− −
Keterangan : ?ij = nilai ke-j dari indikator ke- i
?imin = nilai minimum dari indikator ke-i
?imax = nilai maksimum dari indikator ke- i
Indeks komposit dihitung dari nilai rata-rata (terboboti) indeks semua
indikator kerawanan pangan, dimana indeks masing- masing indikator kerawanan
pangan dikalikan dengan bobot yang diperoleh dari Principal Component Analysis
(PCA) dengan persamaan sebagai berikut :
FSI = 1/10 x (0.955 ketersediaan + 0.858 jalan + 0.635 Penduduk miskin + 0.653
listrik + 0.862 perempuan buta huruf + 0.977 angka harapan hidup + 0.792
status gizi balita + 0.979 angka kematian bayi + 0.840 air bersih + 0.657
puskesmas)
Untuk indikator angka harapan hidup, agar pengertiannya searah dengan
indikator lainnya maka diinverskan terlebih dahulu sebelum diindeks.
Selanjutnya disusun peringkatnya berdasarkan nilai indeks komposit tersebut,
tinggi. Klasifikasi kelompok indeks komposit serta gradasi warna dalam
[image:31.596.111.519.173.375.2]pembuatan peta kerawanan pangan, adalah sebagai berikut :
Tabel 1 Klasifikasi kelompok indeks serta gradasi warna dalam peta kerawanan pangan
No. Kelompok
Indeks
Katagori Prioritas Gradasi warna
pada peta
Hasil identifikasi
1 0.00 - < 0.16 Sangat tahan
pangan (STP)
6 Hijau tua 65
kabupaten
2. 0.16 - < 0.32 Tahan pangan
(TP)
5 Hijau 50
kabupaten
3. 0.32 - < 0.48 Cukup tahan
pangan (CTP)
4 Hijau muda 50
kabupaten
4. 0.48 - < 0.64 Cukup rawan
pangan (CRP)
3 Merah muda 40
kabupaten
5. 0.64 - < 0.80 Rawan pangan
(RP)
2 Merah 30
kabupaten
6. = 0.80 Sangat rawan
pangan (SRP)
1 Merah tua 30
kabupaten
Eksplorasi Data
Analisa data yang bersifat eksploratif diawali dengan upaya penelusuran dan
pengungkapan struktur dan pola yang dimilki oleh data tanpa mengaitkan secara
kaku pada asumsi-asumsi tertentu (Aunuddin 1989). Penelusuran pola data
bertujuan untuk memeriksa bentuk atau pola sebaran data yaitu apakah cenderung
mengumpul di satu nilai tertentu atau pada beberapa nilai, atau apakah ada
beberapa nilai yang nampak agak jauh atau memencil dari kumpulannya. Tujuan
eksplorasi data semacam ini tidak hanya untuk memberi keyakinan bahwa data
tersebut dapat diwakili oleh suatu model, akan tetapi yang lebih penting adalah
dalam mengungkapkan adanya penyimpangan dari suatu model tertentu.
Variasi atau keberagaman nilai-nilai pengamatan dapat dilihat dari pola
sebaran datanya, pola ini sangat berguna pula dalam penentuan karakteristik data
tersebut. Pemeriksaan bentuk sebaran diantaranya dapat dilakukan dengan
membuat histogram, diagram dahan daun (steam and leaf plot) dan diagram kotak
ringkasan 5-angka yang disajikan dalam bentuk grafik. Adapun ilustrasi diagram
kotak garis dapat dilihat pada Gambar 2. berikut ini :
k Q1 Me Q3 b
Gambar 2 Diagram kotak–garis (Boxplot)
Terlihat dari Gambar 2, kumpulan data (yang sudah diurutkan) disekat-sekat
oleh lima nilai, yaitu nilai terkecil (k), kuartil pertama (Q1), Median (Me), kuartil
ketiga (Q3) dan nilai terbesar (b). Pola yang diharapkan adalah yang simetrik,
patokan kesimetrikan data kita pilih karena pemeriksaan kesimetrikan lebih
sederhana dibandingkan dengan pemeriksaan kenormalan data yang
membutuhkan pengertian hitung peluang.
Selain eksplorasi data melalui bentuk grafik, dalam setiap analisis data,
korelasi sering digunakan. Korelasi merupakan ukuran statistik untuk mengetahui
sejauh mana keeratan dua variabel. Besarnya keeratan tersebut dinyatakan dalam
suatu koefisien. Dalam analisis korelasi tidak mengenal variabel bebas maupun
tidak bebas, hubungan korelasi tersebut umumnya bersifat simetris (Bachrudin A
& Tobing 2003). Salah satu ukuran korelasi yang tertua yaitu korelasi Pearson,
dirumuskan :
( )( )
( )
[
]
[
( )
]
xx yyxy xy S S S y y n x x n y x xy n r = Σ − Σ Σ − Σ Σ Σ − Σ = 2 2 2 2 ...(1)
Untuk menguji, apakah ada hubungan korelasi antara dua variabel x dan y
digunakan statistik t-student :
2 1 2 xy xy r n r t − − = ...(2)
Statistik tersebut mengikuti distribusi t-student dengan derajat bebas n-2.
Dalam analisis peubah ganda, matriks korelasi sering digunakan sebagai
peragam (? ), hal ini dilakukan karena perbedaaan satuan pengukuran pada data
yang akan dianalisis, yang umumnya berimplikasi pada perbedaan keragaman
peubah. Penggunaan matriks korelasi bisa dipandang sebagai penggunaaan
matriks ragam peragam dengan terlebih dahulu membakukan setiap peubah xi
menjadi xi* melalui transformasi pembakuan:
σ µ −
= i
i
x
x* ...(3)
dimana µ dan s adalah rataan dan simpangan baku dari xi
Pemodelan Persamaan Struktural
Pemodelan persamaan struktural (Structural equation modeling, SEM)
adalah salah satu kajian statistika yang dapat digunakan untuk menganalisis
peubah indikator, peubah laten dan kekeliruan pengukuruannya. Dengan SEM
kita dapat menganalisis bagaimana hubungan antara peubah indikator dengan
peubah latennya dikenal sebagai persamaan pengukuran (measurement equation),
hubungan antara peubah laten yabg dikenal dengan persamaan struktural
(Structural equation) yang secara bersama-sama melibatkan kesalahan
pengukuran. Selain itu, SEM dapat menganalisis hubungan dua arah yang sering
terjadi dalam ilmu sosial. Dalam SEM dikenal juga dengan peubah laten eksogen
(independent latent variable) dan peubah laten endogen (dependent latent
variable) (Bachrudin A & Tobing 2003).
Bollen (1989) mengidentifikasi 3 komponen yang dapat disajikan dalam
pemodelan persamaan struktural secara umum yaitu analisis jalur (path analysis),
penelusuran konsep dari peubah laten dan model pengukuran, serta prosedur
pendugaan secara umum. Dalam mengembangkan analisis jalur, penggunaan
diagram jalur akan sangat membantu dalam penelusuran hubungan langsung dan
tak langsung antar peubah-peubah laten eksogen dengan peubah laten endogen,
hubungan antara peubah laten dengan peubah-peubah manifesnya, serta
mengaitkan hubungan antara peuabh-peubah dengan parameter-parameter
1. Analisis LISREL
Analisis yang sering digunakan dalam pemodelan persamaan struk tural
adalah analisis LISREL (Linear Structural Relationship) atau analisis hubungan
struktural linier. Dalam Bollen (1989) disebutkan bahwa analisis LISREL
dikembangkan oleh Joreskog dan Wiley (1973), serta Keesing (1972). Model
LISREL terdiri dari dua model persamaan (Joreskog & Sorbom 1996), yaitu
model struktural dan model pengukuran. Model struktural menggambarkan
hubungaan antar peubah laten. Peubah laten adalah peubah yang tidak dapat
diukur secara langsung dan informasinya diperoleh dari indikator- indikator
penyusunnya. Model struktural pada model LISREL adalah :
? = B? + ? ? + ?...(4)
dimana :
? = vektor (mx1) peubah laten endogen
B = matriks(mxm) koefisien jalur antar peubah endogen
? = matriks(mxn) koefisien jalur antara peubah laten endogen dengan peubah laten
eksogen
? = vektor (nx1) peubah laten eksogen (bebas)
? = vektor (mx1) sisaan model struktural
Peubah-peubah laten ? dan ? tidak dapat diukur secara langsung, namun diukur
melalui peubah indikator dengan model pengukuran pada model LISREL adalah :
y = ? y ? + e ...(5)
x = ? x ? + d... ...(6)
dimana :
y = vektor (px1) peubah manifes dari peubah laten endogen
?y=matriks(pxm ) koefisien jalur antara peubah laten endogen dengan peubah
manifesnya
e = vektor(px1) sisaan model pengukuran antara peubah laten endogen dengan
peubah manifesnya
x = vektor(qx1) peubah manifes dari peubah laten eksogen
?x=matriks(qxn) koefisien jalur antara peubah laten eksogen dengan peubah
d = vektor(qx1) sisaan model pengukuran antara peubah laten eksogen dengan
peubah manifesnya.
Dengan asumsi :
? tidak berkorelasi dengan ? e tidak berkorelasi dengan ?
d tidak berkorelasi dengan ? ?, e, d tidak saling berkorelasi
matriks ragam peragam dalam pemodelan persamaan struktural adalah :
Cov (?) = ? n x n Cov (e) = Te(pxp)
Cov (?) = ? m x m Cov (d)= T d (q x q)
Matriks ragam peragam ? dari indikator- indikator x dan y dapat ditulis sebagai :
[image:35.596.109.502.96.409.2]∑
= ∑ ∑ ∑ ∑ xx xy yx yy =(
)
Θ
+
Λ′
Φ
Λ
Λ′
Α′
Γ′
Φ
Λ
Λ′
ΑΓΦ
Λ
Θ
+
Λ
Α′
+
Γ′
ΓΦ
Α
Λ
δ εψ
y x y x y t y y ...(7)dimana A = (I – B )-1
Berdasarkan persamaan di atas menunjukkan bahwa setiap unsur matriks ragam
peragam adalah fungsi dari satu atau lebih parameter model (?) yaitu ?y, ?x, B, ?,
? , ? , T e dan T d .
Gambar 3 berikut ini mengilustrasikan sebuah model LISREL yang terdiri dari
Gambar 3. Ilustrasi Model LISREL (Linear Structural Relationship)
Hubungan struktural diantara peubah laten diuraikan dalam persamaan sebagai
berikut :
? = B? + ? ? +?.
?1 = ?11 ?1 +?.1
?2 = ß21?1 + ?21 ? 1+ ?.2
Persamaan di atas bila ditulis dalam persamaan matriks sebagai berikut :
+ + = 2 1 2 1 21 1 21 11 2 1 0 0 0 ζ ζ η η β ξ γ γ n n ...(8)
Sedangkan model persamaan pengukuran di uraikan dalam persamaan
matriks berikut ini:
+ = 3 2 1 1 31 21 11 3 2 1 δ δ δ ξ λ λ λ x x x x x x ...(9) dan X1 X2 Y1 Y2 Y3 d2 ε2 ε3 d1 X3 d3 ξ1 ε1 Y4 Y5 Y6 ε5 ε6 η2 ε4 η1
?31(x)
?11(x)
?21(x)
?11(y)
?21(y)
?62(y)
?41(y)
?31(y)
?51(y)
= 6 5 4 3 2 1 y y y y y y + 6 5 4 3 2 1 2 1 62 52 42 31 21 11 0 0 0 0 0 0 ε ε ε ε ε ε η η λ λ λ λ λ λ y y y y y y ...(10)
2.Evaluasi kelayakan Model
Untuk dapat memilih model yang lebih baik, diperlukan suatu ukuran yang
dapat membedakan layak tidaknya suatu model dibandingkan model lainnya.
Ukuran-ukuran tersebut antara lain ?2, GFI, AGFI dan RMR (Joreskog & Sorbom
1996).
a. Statistik Khi-Kuadrat (?2), digunakan untuk menguji hipotesis.
Ho : ? = ? (?) (model layak) lawan
H1 : ? ? ? (?) (model tidak layak)
Dimana ? adalah matriks ragam peragam populasi dan ? (?) adalah matriks ragam
peragam yang dihasilkan vektor parameter yang mendefinisikan model hipotetik.
Untuk menguji hipotesis di atas, matriks ragam peragam contoh S digunakan
sebagai dugaan bagi ?, dan Σ^ digunakan sebagai dugaan ? (?). Dalam model
persamaan struktural diharapkan menerima Ho atau S =Σ^ (Sharma 1996). Dalam
Bachrudin A dan Tobing (2003), Statistik untuk menguji hipotesis tersebut adalah
?2 = (n-1) x F (?),
dimana n = ukuran contoh dan F (?) = fungsi pengepasan minimum untuk ? = ?
(sesuai metode estimasi). dengan derajat bebas
df = ½ (p + q) (p + q + 1) – t
dimana p, q = banyaknya peubah yang diamati dan t = banyaknya parameter
Pada taraf nyata 5 %, model dikatakan signifikan apabila ?2hit= ?2tabel0.05 atau P
value= 0.05. karena kisaran nilai p antara 0 sampai 1 maka model akan semakin
baik apabila nilai p mendekati 1.
Joreskog dan Sorbon (1996) menyatakan bahwa statistik ?2 sensitif terhadap
ukuran contoh dan penyimpangan terhadap kenormalan dari peubah-peubah
b. Goodness of Fit Index (GFI) dan AGFI (Adjusted GFI)
GFI mempresentasikan persen keragaman S yang dapat diterangkan oleh
model (? ). Interpretasi nilai GFI dengan demikian analog dengan R2 pada
model regresi, nilai GFI adalah :
Σ − Σ − = ∧ − ∧ − 2 1 2 1 . . 1 S tr I S tr GFI ...(12)
Kelayakan sebuah model adalah nilai GFI hendaknya lebih besar dari 0.90
(Sharma 1996). Sedangkan AGFI memperbaiki GFI melalui derajat bebas
relatif model terhadap jumlah kuadrat. AGFI diperoleh dari rumus berikut :
(
)
[
GFI]
df p p
AGFI −
+ − = 1 2 1 1 ...(13)
dimana p adalah banyaknya indikator, dan df adalah derajat bebas. AGFI
analog dengan Adjusted R2 pada model regresi. Disarankan banyak peneliti
untuk menerima sebuah model adalah nilai AGFI = 0.80 (Sharma 1996).
Bollen (1989) mengungkapkan beberapa hasil simulasi oleh peneliti lain
bahwa nilai harapan GFI dan AGFI cenderung meningkat seiring dengan
peningkatan ukuran contoh. Nilai harapan GFI dan AGFI akan menurun
dengan semakin sedikitnya indikator setiap faktor laten, khususnya pada data
yang berukuran kecil.
c. RMR (Root Mean square Residual)
RMR merupakan ukuran rata-rata selisih antara matriks ragam peragam contoh
(S) dengan matriks ragam peragam dugaan (Σ^) yang dikaitkan dengan
banyaknya peubah indikator.
RMR =
(
)(
)
2 / 1 2 1 1 1 2 + + + − Σ Σ ∧ = + = q p q pdimana :
p adalah banyaknya indikator bagi peubah laten endogenous
q adalah banyaknya indikator bagi peubah laten eksogenous
sij adalah unsur matriks S
sij adalah unsur matriks
^ Σ
RMR digunakan untuk membandingkan dua model dari data yang sama. Model
yang mempunyai RMR yang lebih kecil dikatakan model yang lebih baik
(Joreskog & Sorbom 1996). Sementara itu Raykov & Marcoulides (2000)
menyebutkan nilai RMR kurang dari atau sama dengan 0.05 dikatakan model
diterima.
Validitas dan Kehandalan Indikator
Indikator sebagai suatu alat ukur harus mampu mengukur dengan tepat apa
yang sebenarnya ingin diukur. Validitas dan kehandalan suatu indikator dengan
demikian menjadi syarat yang harus dipenuhi. Validitas mengacu kepada
kemampuan suatu indikator dalam mengukur apa yang sebenarnya ingin diukur,
sedangkan kehandalan terkait dengan tingkat kekonsistenan indikator tersebut
sehingga membuat kita percaya terhadap apa yang ditunjukkan olehnya. Sartono
B (2001) memberikan ilustrasi menarik tentang validitas dan kehandalan ini pada
pengukuran panjang jalan. Jengkal tangan merupakan pengukuran yang valid,
karena jengkal tangan memang bisa digunakan untuk itu, namun alat ini tidak
handal karena tidak konsisten dari waktu ke waktu.
Validit as indikator- indikator dalam mengukur peubah laten tertentu dinilai
dengan cara menguji apakah semua koefisien jalur/loading-nya nyata yaitu
memiliki nilai-t lebih besar dari 1.96 (H0 : ?ij = 0 versus H1: ?ij ? 0 pada taraf
nyata 0.05). Sedangkan untuk me ngukur kehandalan indikator digunakan
komunalitas atau kehandalan individu. Indikator- indikator yang secara
bersama-sama mengukur suatu faktor laten tertentu dapat diukur kehandalannya dengan
kehandalan konstruk. Werts, Linn, dan Joreskog (1974) dalam Sharma (1996)
merekomendasikan untuk mengukur kehandalan bagi indikator- indikator dari
R2ij =
∑
∑
∑
+
k
i i
k i ij
k i ij
V ( )
) (
2
2
δ λ
λ
...(16)
dimana: k adalah banyaknya indikator yang mengukur faktor laten ke-j
?ij adalah koefisien jalur dari indikator ke- i yang mengukur faktor ke-j
V (di) adalah ragam galat pengukuran dari indikator ke –i
Semakin besar nilai ini, menunjukkan bahwa indikator- indikator penyusun
bagi suatu faktor merupakan indikator-indikator yang handal dalam mengukur
faktor tersebut. Nilai kehandalan konstruk yang disarankan Sharma (1996) adalah
METODE PENELITIAN
Sumber DataData yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan
mengacu pada indikator-indikator yang digunakan dalam pembuatan peta
kerawanan pangan Indonesia yang disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan R.I.
dan Program Pangan Dunia (WFP), PBB (Dewan Ketahanan Pangan 2004).
Indikator-indikator dalam peta kerawanan pangan tersebut tercakup dalam 3
aspek/dimensi kerawanan pangan kronis yaitu ketersediaan pangan, akses
terhadap pangan dan pendapatan (tambahan indikator PDRB per kapita dan
pendapatan riil per kapita ) dan dimensi penyerapan pangan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahun 2003 dengan
jumlah kabupaten (tidak termasuk kota) yang dianalisis sebanyak 265 kabupaten
(82 Kabupaten di Jawa dan 183 kabupaten di Luar Jawa). Data bersumber dari
Badan Ketahanan Pangan-Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS)
sebagian hasil Susenas tahun 2003, Propinsi Dalam Angka 2004, PDRB
Kabupaten di Indonesia tahun 2003. Secara rinci dimensi/faktor laten dan
manifes/indikator model persamaan struktural kerawanan pangan yang dibangun
dapat dilihat dalam Tabel 1.
Metode Analisis
Pengolahan data dengan menggunakan program Minitab versi 13.20 dan
LISREL versi 8.30 . Secara garis besar, tahapan analisis data pada penelitian ini
adalah :
1. Eksplorasi data : tahap eksplorasi ini meliputi (1) pemilihan indikator,
dimana indikator yang merupakan fungsi dari indikator lain disisihkan
dalam penyusunan model karena satu indikator dapat mewakili indikator
yang lain. Hal ini ditemukan pada indikator ”angka harapan hidup” yang
memiliki korelasi negatif cukup besar yaitu -0,92 dengan ”angka kematian
bayi waktu lahir”, maka digunakan salah satu indikator dari keduanya yaitu
umur harapan hidup menggunakan data populasi penduduk dan angka
kematian. (2) pemeriksaan data dilakukan untuk mendapatkan gambaran
mengenai data yang digunakan dalam model secara umum dengan
menggunakan analisis deskriptif dari indikator yang digunakan dan diagram
kotak garis untuk melihat kesimetrikan data atau kenormalan, serta
mendeteksi adanya pencilan dengan Minitab versi 13.20
Tabel 2 Faktor laten dan peubah manifes/indikator model persamaan struktural kerawanan pangan
No. Faktor Laten Indikator/Peubah Manifes
1. Ketersedian Pangan (SEDIA) 1. Produksi beras dan produksi beras/kapita
2. Produksi jagung dan produksi jagung/kapita 3. Produksi ubikayu dan produksi ubikayu/kapita 4. Produksi ubi jalar dan produksi ubijalar/kapita
2. Akses terhadap Pangan dan
Pendapatan (AKSES)
5. % penduduk miskin
6. % kepala rumah tangga yang bekerja < 15 jam per minggu
7. % kepala rumah tangga yang tidak tamat SD 8. % rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas
listrik
9. % desa yang tidak memiliki akses jalan 10. PDRB per kapita atas dasar harga berlaku 11.Pengeluaran riil perkapita
3. Pemanfaatan /penyerapan
pangan (SERAP)
12. Umur harapan hidup waktu lahir (Tahun)
13. % rumah tangga tanpa akses ke air bersih 14. % rumah tangga yang tinggal > 5 km dari
fasilitas kesehatan 15. % Balita kurang gizi 16. % perempuan buta huruf
17. Angka kematian bayi waktu lahir
2. Penyusunan model persamaan struktural meliputi (1) Perumusan spesifikasi
model Lisrel berdasarkan kosep teori yang ada. Adapun model persamaan
struktural kerawanan pangan yang disusun seperti terlihat dalam Gambar 4
di bawah ini. (2) Entry data dengan menggunakan PRELIS Data 2.30 dalam
LISREL 8.30 (3) Membuat diagram jalur seperti hasil spesifikasi model
(4) Menduga koefisien jalur pada model struktural dan model pengukuran
terbaik artinya model tersebut cukup baik dalam mengepas data yang ada
melalui :
a. Sebanyak 16 indikator diikutkan dalam model, selajutnya dievaluasi
kelayakan model dengan melihat GFI dan AGFI (GFI menunjukkan
persen keragaman S yang dapat diterangkan oleh model dan AGFI
memperbaiki GFI melalui derajat bebas relatif model terhadap jumlah
kuadrat). Menurut Sharma (1996) model layak apabila nilai GFI
mendekati 0.90 dan AGFI lebih besar 0.80.
b. Apabila dihasilkan model dengan nilai GFI dan AGFI yang masih jauh
dari nilai yang disarankan tersebut maka dilakukan modifikasi model
untuk meningkatkan kinerja model dengan menghilangkan jalur bagi
koefisien jalur yang tidak nyata berdasarkan nilai uji-t pada taraf nyata
5% (nilai t < 1,96). Selanjutnya indikator yang tidak nyata tersebut
tidak digunakan lagi dalam proses pemodelan berikutnya.
c. Proses pemodelan selajutnya kembali ke tahap (2), (3), (4) dan (5)
sampai dihasilkan model yang cukup layak dengan melihat nilai ?2 hit
= ?2 tabel atau Pvalue = 0.05, GFI= 0.90, AGFI= 0.80 dan RMR = 0.05.
Model yang mempunyai RMR yang lebih kecil dikatakan model yang
lebih baik (Joreskog & Sorbom 1996).
d. Model yang mendekati syarat ideal kelayakan model tersebut yang
selajutnya dipilih sebagai model persamaan struktural kerawanan
pangan dalam penelitian ini. Proses seperti ini dilakukan untuk
pemodelan kerawanan pangan baik secara nasional, Jawa dan Luar
Jawa.
e. Model yang telah terpilih selanjutnya dilakukan analisis untuk menilai
validitas dan kehandalan dari indikator- indikator yang menyusunnya,
serta dianalisis lebih lanjut hubungan dengan hasil identifikasi
Gambar 4 Model persamaan struktural kerawanan pangan e6 e7 e10 e11 e5 e14 e8 e12 e13 e15 e17 Beras Jagung < 15 jam <SD Tlistrk Tdjln PDRB e2 e9 e1 Ubkayu Ubijalar e4 e3 Pnluara n Hrphdp tairbrsh Faskes <gizi Bthrf Kmtbay i Ketersedia an Pangan Akses terhdp pangan dan pendapatan Penyerapan/ Pemanfaatan Pangan Miskin ?12 ?2 ?4
?1 ?11
Secara rinci diagram alur penentuan model persamaan struktural kerawanan
pangan dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini :
(1) Mulai
(2) Spesifikasi model berdasarkan konsep Kerawanan Pangan
(3) Entry dan Eksplorasi Data dengan Program PRELIS dan Minitab 13.2
(4) Penyusunan Diagram Jalur dan Model Kerawanan Pangan
(5) Analisis Model dengan Program LISREL 8.3
(8) Modifikasi Model
(6) Evaluasi Kelayakan Model
tidak
Apakah Model Layak ?
ya (7)
Pilih Model terbaik (secara Emperis)
[image:45.596.159.395.133.629.2]
Selesai
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model persamaan struktural kerawanan pangan dalam penelitian ini selain
analisis model nasional juga dilakukan pemodelan kerawanan pangan Jawa dan
Luar Jawa. Hal ini mengingat Jawa dan Luar Jawa bila dilihat kondisi
kependudukan dan ketersediaan sumber daya alam yang unik. Menurut Badan
Pusat Statistik, angka estimasi penduduk kondisi bulan Juni 2003 menunjukkan
bahwa 59.22 persen penduduk Indonesia tinggal di Jawa atau 127.433 juta orang
dari 215.276 juta orang penduduk Indonesia dengan kepadatan penduduk per km2
di Jawa sebesar 997 orang, sedangkan di Luar Jawa kepadatan penduduk sebesar
84 orang per km2. Selain itu Pulau Jawa juga merupakan penghasil padi terbesar
yakni tahun 2003 sekitar 54 persen produksi padi berasal dari Pulau Jawa atau
sebesar 28.167 juta ton. Sementara Luar Jawa sebagian besar wilayahnya berupa
hutan sekitar 97 persen dari total luas hutan di Indonesia berada di Luar Jawa
(BPS 2004).
Gambaran Umum Data Indikator Kerawanan Pangan
Korelasi antara indikator dan perbandingan deskriptif indikator yang
digunakan dalam penyusunan model kerawanan pangan dapat dilihat pada
Lampiran 2 dan 3. Dari Lampiran 2 terlihat di antara indikator yang digunakan
dalam penyusunan model kerawanan pangan terdapat korelasi negatif yang cukup
besar antara indikator harapan hidup dengan kematian bayi sebesar -0,92, hal ini
berarti semakin besar harapan hidup waktu lahir maka semakin kecil tingkat
kematian bayi, sehingga dalam analisis selanjutnya hanya digunakan salah satu
indikator yaitu harapan hidup, hal ini mengingat dalam perhitungan umur harapan
hidup waktu lahir digunakan angka kematian bayi dan jumlah penduduk.
Sementara indikator jumlah penduduk miskin berkorelasi nyata dengan semua
indikator kerawanan pangan lainnya secara positif kecuali untuk indikator
produksi beras, PDRB per kapita, Pengeluaran riil per kapita dan harapan hidup
berkorelasi negatif. Matriks korelasi ini digunakan dalam analisis lebih lanjut
dilakukan karena perbedaaan satuan pengukuran pada data yang dianalisis, yang
umumnya berimplikasi pada perbedaan keragaman peubah.
Analisis deskriptif indikator kerawanan pangan secara rinci disajikan pada
Lampiran 3, terlihat indikator penyusun faktor ketersediaan pangan adalah
produksi per kabupaten dalam ton dan produksi per kapita dalam kg beras, jagung,
ubi kayu dan ubi jalar secara umum menunjukkan pola yang hampir sama yaitu
rata-rata kabupaten di Jawa lebih tinggi dibandingkan di Luar Jawa, kecuali
ketersediaan per kapita beras dan ubi jalar kabupaten di Luar Jawa lebih tinggi
dibandingkan kabupaten di Jawa seperti yang terlihat pada Gambar 6.
-50.000 100.000 150.000 200.000 250.000
Beras Jagung Ubi kayu Ubi jalar
Indikator
Ton
Rata-Rata Jawa Rata-Rata Luar Jawa
0,00 50,00 100,00 150,00 200,00 250,00
Beras/kapita Jagung/kapita Ubi kayu/kapita Ubi jalar/kapita Indikator
Kg/kapita
[image:47.596.120.509.272.395.2]Rata-Rata Jawa Rata-Rata Luar Jawa
Gambar 6 Rata-rata produksi dan produksi/kapita beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar kabupaten di Jawa dan Luar Jawa
Sementara bila dilihat pada Gambar 7, menunjukkan persentase indikator lainnya
di Jawa menunjukkan lebih rendah dibandingkan di Luar Jawa kecuali persentase
penduduk bekerja kurang dari 15 jam per minggu dan persentase perempuan buta
huruf lebih tinggi kabupaten di Jawa masing- masing sebesar 6.49 persen dan
20.45 persen. Hal ini mengindikasikan pada umumnya akses terhadap sarana
prasarana lebih mudah kabupaten di Jawa dibandingkan kabupaten di Luar Jawa.
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00
%miskin <15jam <SD Tdlistrk Tdjalan Airbrsh Faskes <gizi Wntbthrf
Indikator Persen
Rata-Rata Jawa Rata-Rata Luar Jawa
[image:47.596.117.505.572.697.2]Uji kenormalan Anderson-Darling, pada nilai alpha 0.05, P-value uji
kenormalan pada Lampiran 3 menunjukkan pada beberapa indikator kerawanan
pangan memiliki P-value lebih kecil dari 0.05 yang artinya menolak Ho atau
menyatakan bahwa sebaran data indikator tersebut tidak noemal, kecuali untuk
indikator % penduduk miskin, % kepala rumah tangga bekerja < 15 jam/minggu,
% rumah tangga tanpa air bersih, % rumah tangga tinggal > 5 km dari fasilitas
kesehatan , % perempuan buta huruf dan umur harapan hidup untuk data
kabupaten di Jawa, sedangkan untuk kabupaten di Luar Jawa pada indikator %
kepala rumah tangga tidak tamat SD dan % balita kurang gizi. Sejalan dengan
hal tersebut diagram kotak garis pada beberapa indikator kerawanan pangan
dihasilkan gambaran berikut ini :
1. Produksi Beras
Produksi beras di Jawa lebih tinggi dibandingkan di Luar Jawa, hal ini terlihat
pada Gambar 8 di bawah ini. Diagram kotak garis produksi beras di Jawa dan
Luar Jawa menjulur ke atas, yang berarti tidak menyebar normal (P-value=0.000).
Kemenjuluran tersebut dipengaruhi adanya beberapa kabupaten yang produksinya
cukup jauh dari rata-rata seperti kabupaten Karawang di Jawa, kabupaten Deli
Serdang, Simalungun, Bone, Wajo, Muba, OKI, Lampung Tengah di Luar Jawa.
Produksi beras sekitar 100.000 ton merupakan kuartil ke-3 bagi wilayah Luar
Jawa dan merupakan kuartil pertama bagi wilayah Jawa, mengindikasikan sekitar
75 persen kabupaten di Luar Jawa produksi beras kurang dari 100.000 ton,
sebaliknya 75 persen kabupaten di Jawa produksi beras lebih dari 100.000 ton.
2. Persentase penduduk miskin
Gambar 9 Diagram kotak garis persentase penduduk miskin
Terlihat pada Gambar 9 diatas bahwa sebaran persentase penduduk miskin di
Luar Jawa menjulur ke atas, sementara di Jawa cenderung simetrik sesuai dengan
nilai P-value uji kenormalan Anderson-Darling sebesar 0.308 (Lampiran 3).
3. Persentase kepala rumah tangga bekerja < 15 jam per minggu
Gambar 10 Diagram kotak garis kepala rumah tangga bekerja < 15 jam/ minggu
Sebaran persen kepala rumah tangga bekerja kurang dari 15 jam per minggu
di Jawa lebih simetrik (p-value=0.157) dibandingkan di Luar Jawa dengan adanya
pencilan antara lain di kabupaten Tanah Toraja, Paniai, Enrekang, Sinjai dan
Gowa meskipun rata-rata persentase rumah tangga bekerja kurang dari 15 jam
lebih tinggi di Jawa.
Sementara diagram kotak garis untuk indikator lainnya dapat dilihat pada
Lampiran 4, yang menunjukkan umumnya di Luar Jawa sarana infra struktur lebih
rendah dibandingkan di Jawa, seperti % desa yang tidak dapat dilalui kendaraan
roda empat, % rumah tangga tanpa akses air bersih, % rumah tangga tinggal > 5
Ja wa L Jawa
50
40
30
20
10
0
[image:49.596.114.342.378.521.2]km dari fasilitas kesehatan, % rumah tangga tanpa akses listrik. Selanjutnya
sekitar 50 persen kabupaten di Luar Jawa me miliki balita kurang gizi lebih besar
dari 28 persen, sedangkan 75 persen kabupaten di Jawa memiliki balita kurang
gizi dibawah 28 persen.
Model Persamaan Struktural Kerawanan Pangan
Hasil analisis model LISREL dari indikator- indikator penyusun faktor laten
dalam model persamaan struktural kerawanan pangan pada tahap pertama
pemodelan diikutsertakan sebanyak 16 indikator dengan model 1 untuk faktor
laten SEDIA dengan indikator produksi, sedangkan model 2 indikator produksi
per kapita. Hasil evaluasi kelayakan model dengan 16 indikator belum
memenuhi kelayakan model baik untuk model nasional, Jawa dan Luar Jawa
artinya model tersebut ditolak karena tidak ada dukungan data. Hal ini dapat
dilihat dari nilai GFI dan AGFI masing- masing model disajikan pada Tabel 3.
Nilai GFI menunjukkan persen keragaman S yang dapat diterangkan oleh model
tersebut, dan AGFI memperbaiki GFI melalui derajat bebas relatif model terhadap
[image:50.596.112.506.486.610.2]jumlah kuadrat.
Tabel 3 Nilai GFI dan AGFI beberapa model persamaan struktural kerawanan pangan
Jumlah Indikator
Uraian Nasional
n = 265
Jawa n=82
Luar Jawa n=183
1 2 1 2 1 2
16 indikator GFI
AGFI 0.78 0.70 0.77 0.69 0.63 0.51 0.64 0.52 0.80 0.73 0.78 0.70
13 indikator GFI
AGFI 0.84 0.76 0.84 0.77 0.71 0.58 0.69 0.54 0.87 0.82 0.83 0.75
12 indikator GFI
AGFI 0.87 0.80 0.85 0.77 0.72 0.58 0.72 0.57 0.81 0.74 0.77 0.64
Terlihat pada Tabel 3, model dengan 16 indikator menunjukkan nilai GFI
dan AGFI yang masih dibawah yang disarankan dalam Sharma (1996) yaitu
masing- masing sebesar 0.90 dan 0.80, dimana model 1 memiliki nilai GFI dan
AGFI yang cenderung lebih besar dibandingkan model 2, serta dengan beberapa
model yang telah dicoba sehingga model 1 dipilih sebagai model dalam penelitian
koefisien jalur yang tidak nyata pada taraf alp ha 5 persen seperti disajikan pada
Tabel 4 untuk model 1 ( faktor laten SEDIA adalah data produksi). Dari Tabel 4
menunjukkan indikator produksi ubi jalar bukan merupakan pengukur faktor laten
SEDIA yang baik pada ketiga model tersebut, selain itu % kepala rumah tangga
bekerja kurang dari 15 jam untuk faktor laten AKSES dan % perempuan buta
huruf untuk faktor laten SERAP pada model nasional dan luar Jawa, PDRB per
kapita untuk faktor laten AKSES pada model nasional dan Jawa, serta % rumah
[image:51.596.115.503.283.516.2]tangga tanpa air bersih untuk faktor laten SERAP di Jawa.
Tabel 4 Hubungan faktor laten dengan indikator pada model dengan 16 indikator
Indikator Nasional Jawa Luar Jawa
Faktor
Laten Koefisien Nilai-t Koefisien Koefisien Nilai-t SEDIA Beras
Jagung Ubi kayu Ubi jalar 0.79 0.39 0.21 -0.11 8.47** 5.37** 2.86** -1.50 0.17 -0.17 -0.92 -0.05 0.39 0.84 0.53 -.003 4.59** 6.38** 5.60** -0.37 AKSES %miskin
%tdkSD %<15jam %tdlistrik %tdjalan PDRB Pnluaran -0.51 -0.35 -0.08 -0.92 -0.65 0.05 0.67 -7.18** -5.08** -1.25 -10.48** -8.63** 0.76 8.81** -0.35 -0.62 -0.39 -0.74 -0.51 0.22 0.42 -0.70 -0.35 -0.16 -0.84 -0.58 0.22 0.58 -9.65** -4.13** -1.89 -12.46** -7.45** 2.74** 7.45** SERAP Hrphidup
%tdairbrsh %>5kmfaskes %<gizi %wntbthrf 0.40 -0.53 -0.55 -0.41 -0.03 3.79** -4.70** -4.20** -3.85** -0.41 0.27 -0.07 -0.37 -0.14 -0.24 0.31 -0.42 -0.34 -0.24 -0.