KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN
(Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat)
E. Oos Mukhamad Anwas
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemanfaatan Media dalam Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian (Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi mana pun. Bahan rujukan yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, November 2009
E. OOS MUKHAMAD ANWAS. Media Utilization in Developing Competency of Agricultural Extension Agents (The cases in Karawang and Garut Regency in West Java Province). Under direction of SUMARDJO, PANG S. ASNGARI, PRABOWO TJITROPRANOTO.
Alongside the community changes and demands, the competency of agricultural extension agents should be increased by means of learning process. This learning process is not merely taking place within formal education but also by means of the utilization of a variety of media whether they are mass media, programmed media, or environmental media. The present study was to analyze the intensity of media utilization, the degree of agricultural extension agents’ competency, the dominant factors influence their competency, and also to formulate the strategy for developing the competency of agricultural extension agents. The study used explanatory research method on 170 agricultural extension agents who work within paddy farmers area (Karawang) and within vegetable farmers area (Garut). Samples were taken by using random sampling technique. Then a data verification was conducted toward 204 farmers who were the clients of the agricultural extension agents. Data collection was conducted during February to April 2009. Data were analyzed using descriptive technique and path analysis. The result of the study showed that the extent of media utilization and the agricultural extension agents’ competency tended to be at a low level. The dominant factors influencing their competency were the intensity of independent innovation, training, meeting amongst agricultural extension agents, the age, learning conduciveness support, motivation, and the intensity of the utilization of magazines which were appropriate to extension and continual. The study also recommended several strategies to develop the agricultural extension agents’ competency based on media utilization.
E. OOS MUKHAMAD ANWAS. Pemanfaatan Media dalam Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian (Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Propinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan: SUMARDJO, PANG S. ASNGARI, PRABOWO TJITROPRANOTO
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berdampak pada perubahan segala aspek perilaku manusia. Dinamika masyarakat dalam sektor pertanian terus berubah seiring perkembangan zaman. Otonomi daerah dan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 menimbulkan keragaman penafsiran dan pelaksanaan penyuluhan di daerah-daerah. Di sisi lain era informasi melahirkan banyak pilihan media belajar yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan, namun kenyataannya kompetensi penyuluh masih rendah. Fenomena perubahan tersebut diperlukan kajian lebih mendalam.
Untuk memenuhi tuntutan perubahan zaman ini, penyuluh harus belajar melalui media belajar. Media belajar memiliki sifat variatif, dinamis, dan dapat dimanfaatkan secara pleksibel. Dengan cara tersebut penyuluh dapat belajar tanpa harus bergantung pada pendidikan formal atau pelatihan saja, akan tetapi dapat meningkatkan kemampuannya melalui media yang sesuai dengan kemampuan dan kesempatannya. Permasalahanya adalah media apa yang dominan mempengaruhi penyuluh, serta bagaimana strategi meningkatkan kompetensi penyuluh tersebut?
Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis intensitas pemanfaatan media dan faktor-faktor yang dominan mempengaruhi pemanfaatan media; (2) menganalisis tingkat kompetensi penyuluh dan faktor-faktor yang dominan mempengaruhi kompetensi penyuluh; dan (3) merumuskan strategi pengembangan kompetensi penyuluh berbasis pemanfaatan media.
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratory. Metode yang digunakan adalah
survei, yaitu cross sectional survey. Populasi adalah penyuluh pertanian Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang bertugas di daerah pertanian padi (kabupaten Karawang) dan sayuran (kabupaten Garut) Provinsi Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik acak (random), seluruhnya berjumlah 170 penyuluh. Untuk mendapatkan kelengkapan data akurat dilakukan verifikasi data kepada 204 orang petani yang menjadi klien dari penyuluh tersebut. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan April 2009. Pengumpulan data primer menggunakan kuesioner yang sebelumnya diuji validitas dan realiabilitasnya. Data ini juga didukung dengan metode wawancara
mendalam dan pengamatan (observasi) guna mempertajam analisis data kuantitatif.
Analisis data menggunakan: analisis deskriptif, analisis korelasi, analisis regresi berganda,
analisis jalur (path analisis), dan analisis uji beda. Analisis data menggunakan aplikasi
SPSS versi 14.
Intensitas pemanfaatan media massa dan media lingkungan rendah, sedangkan
pemanfaatan media terprogram dalam katagori sedang. Pemanfataan media ini
dipengaruhi oleh: tingkat pendidikan formal, kepemilikan media komunikasi dan informasi, motivasi penyuluh, dukungan anggota keluarga penyuluh, dan tuntutan klien.
Kompetensi penyuluh tergolong rendah, terutama dalam: pengelolaan
Faktor lain yang berpengaruh terhadap kompetensi ini adalah pendalaman inovasi mandiri, motivasi, pemanfaatan majalah, pertemuan antar penyuluh, dan umur penyuluh yang mendekati pensiun (tua).
Strategi pengembangan kompetensi penyuluh pertanian berbasis pemanfaatan media ditempuh melalui pemanfaatan media massa, media terprogram, dan media lingkungan secara terpadu dan saling melengkapi. Media massa yang digunakan yaitu majalah yang secara berkelanjutan substansinya sesuai dengan penyuluhan dan melalui saluran khusus Siaran Televisi Pembangunan Perdesaan yang mengudara selama 24 jam. Pemanfaatan media terprogram ditempuh melalui peningkatan: kualitas pendidikan formal serta peningkatan intensitas dan kualitas kegiatan pertemuan dan pelatihan. Pemanfaatan media lingkungan dilakukan dengan menggerakan penyuluh untuk kembali bertempat tinggal di desa binaannya sehingga dapat belajar dengan alam, memahami kebutuhan dan potensi lingkungan, serta menselaraskan inovasi atau hasil-hasil penelitian dan program-program pemerintah dengan kebutuhan masyarakat di sekitar tempat tugasnya. Untuk mencapai keberhasilan strategi ini perlu didukung oleh kebijakan pemerintah yang berpihak kepada peningkatan kompetensi penyuluh dalam memberdayakan petani dan dukungan partisipasi masyarakat.
(1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak mengindahkan kepentingan yang wajar IPB
KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN
(Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat)
E. Oos Mukhamad Anwas
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Provinsi Jawa Barat)
Nama : E. Oos Mukhamad Anwas
NIP : I. 362060041
Disetujui Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua
Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc. Prof. Dr. Pang S. Asngari
Anggota Anggota
Diketahui:
Koordinator Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini ialah media dalam peningkatan kompetensi, dengan judul ”Pemanfaatan
Media dalam Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian” (Kasus di Kabupaten
Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo M.S, selaku
ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Pang S. Asngari dan Dr. Prabowo Tjitropranoto,
M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran masukan
dalam penelitian ini. Penulis juga secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
(1) Rektor IPB beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan pelayanan
selama penulis mengikuti perkuliahan.
(2) Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB beserta jajarannya yang telah memberikan
pelayanan selama penulis mengikuti perkuliahan.
(3) Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB beserta
jajarannya yang telah memberikan pelayanan selama penulis mengikuti perkuliahaan.
(4) Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc atas
segala arahan dan bimbingannya.
(5) Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, M.Sc dan Dr. Ir. Sri Harijati, MA yang telah besedia
menjadi penguji Luar Komisi Pembimbing dalam Ujian Tertutup.
(6) Bapak Prof. Dr. Haryono Suyono, guru besar Universitas Airlangga dan mantan
Menkokesra yang telah bersedia menjadi penguji Luar Komisi Pembimbing dalam
Ujian Terbuka. Beliau juga telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan sejak
penulis menempuh pendidikan S2 di Universitas Indonesia hingga sekarang
melanjutkan pendidikan di Pascasarjana IPB.
(7) Bapak Prof. Dr. Margono Slamet yang telah bersedia menjadi penguji Luar Komisi
Pembimbing dalam Ujian Terbuka, serta memberikan bimbingan dan keteladanan
kepada penulis selama menempuh perkuliahan di pascasarjana IPB.
(8) Bapak Prof. Dr. Djoko Susanto, Bapak Dr. Zaim Uchrowi, Bapak Dr. Pudji Muljono,
dan seluruh staf dosen yang telah membimbing penulis selama kuliah di Pascasarjana
KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN
(Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat)
E. Oos Mukhamad Anwas
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemanfaatan Media dalam Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian (Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi mana pun. Bahan rujukan yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, November 2009
E. OOS MUKHAMAD ANWAS. Media Utilization in Developing Competency of Agricultural Extension Agents (The cases in Karawang and Garut Regency in West Java Province). Under direction of SUMARDJO, PANG S. ASNGARI, PRABOWO TJITROPRANOTO.
Alongside the community changes and demands, the competency of agricultural extension agents should be increased by means of learning process. This learning process is not merely taking place within formal education but also by means of the utilization of a variety of media whether they are mass media, programmed media, or environmental media. The present study was to analyze the intensity of media utilization, the degree of agricultural extension agents’ competency, the dominant factors influence their competency, and also to formulate the strategy for developing the competency of agricultural extension agents. The study used explanatory research method on 170 agricultural extension agents who work within paddy farmers area (Karawang) and within vegetable farmers area (Garut). Samples were taken by using random sampling technique. Then a data verification was conducted toward 204 farmers who were the clients of the agricultural extension agents. Data collection was conducted during February to April 2009. Data were analyzed using descriptive technique and path analysis. The result of the study showed that the extent of media utilization and the agricultural extension agents’ competency tended to be at a low level. The dominant factors influencing their competency were the intensity of independent innovation, training, meeting amongst agricultural extension agents, the age, learning conduciveness support, motivation, and the intensity of the utilization of magazines which were appropriate to extension and continual. The study also recommended several strategies to develop the agricultural extension agents’ competency based on media utilization.
E. OOS MUKHAMAD ANWAS. Pemanfaatan Media dalam Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian (Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Propinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan: SUMARDJO, PANG S. ASNGARI, PRABOWO TJITROPRANOTO
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berdampak pada perubahan segala aspek perilaku manusia. Dinamika masyarakat dalam sektor pertanian terus berubah seiring perkembangan zaman. Otonomi daerah dan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 menimbulkan keragaman penafsiran dan pelaksanaan penyuluhan di daerah-daerah. Di sisi lain era informasi melahirkan banyak pilihan media belajar yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan, namun kenyataannya kompetensi penyuluh masih rendah. Fenomena perubahan tersebut diperlukan kajian lebih mendalam.
Untuk memenuhi tuntutan perubahan zaman ini, penyuluh harus belajar melalui media belajar. Media belajar memiliki sifat variatif, dinamis, dan dapat dimanfaatkan secara pleksibel. Dengan cara tersebut penyuluh dapat belajar tanpa harus bergantung pada pendidikan formal atau pelatihan saja, akan tetapi dapat meningkatkan kemampuannya melalui media yang sesuai dengan kemampuan dan kesempatannya. Permasalahanya adalah media apa yang dominan mempengaruhi penyuluh, serta bagaimana strategi meningkatkan kompetensi penyuluh tersebut?
Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis intensitas pemanfaatan media dan faktor-faktor yang dominan mempengaruhi pemanfaatan media; (2) menganalisis tingkat kompetensi penyuluh dan faktor-faktor yang dominan mempengaruhi kompetensi penyuluh; dan (3) merumuskan strategi pengembangan kompetensi penyuluh berbasis pemanfaatan media.
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratory. Metode yang digunakan adalah
survei, yaitu cross sectional survey. Populasi adalah penyuluh pertanian Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang bertugas di daerah pertanian padi (kabupaten Karawang) dan sayuran (kabupaten Garut) Provinsi Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik acak (random), seluruhnya berjumlah 170 penyuluh. Untuk mendapatkan kelengkapan data akurat dilakukan verifikasi data kepada 204 orang petani yang menjadi klien dari penyuluh tersebut. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan April 2009. Pengumpulan data primer menggunakan kuesioner yang sebelumnya diuji validitas dan realiabilitasnya. Data ini juga didukung dengan metode wawancara
mendalam dan pengamatan (observasi) guna mempertajam analisis data kuantitatif.
Analisis data menggunakan: analisis deskriptif, analisis korelasi, analisis regresi berganda,
analisis jalur (path analisis), dan analisis uji beda. Analisis data menggunakan aplikasi
SPSS versi 14.
Intensitas pemanfaatan media massa dan media lingkungan rendah, sedangkan
pemanfaatan media terprogram dalam katagori sedang. Pemanfataan media ini
dipengaruhi oleh: tingkat pendidikan formal, kepemilikan media komunikasi dan informasi, motivasi penyuluh, dukungan anggota keluarga penyuluh, dan tuntutan klien.
Kompetensi penyuluh tergolong rendah, terutama dalam: pengelolaan
Faktor lain yang berpengaruh terhadap kompetensi ini adalah pendalaman inovasi mandiri, motivasi, pemanfaatan majalah, pertemuan antar penyuluh, dan umur penyuluh yang mendekati pensiun (tua).
Strategi pengembangan kompetensi penyuluh pertanian berbasis pemanfaatan media ditempuh melalui pemanfaatan media massa, media terprogram, dan media lingkungan secara terpadu dan saling melengkapi. Media massa yang digunakan yaitu majalah yang secara berkelanjutan substansinya sesuai dengan penyuluhan dan melalui saluran khusus Siaran Televisi Pembangunan Perdesaan yang mengudara selama 24 jam. Pemanfaatan media terprogram ditempuh melalui peningkatan: kualitas pendidikan formal serta peningkatan intensitas dan kualitas kegiatan pertemuan dan pelatihan. Pemanfaatan media lingkungan dilakukan dengan menggerakan penyuluh untuk kembali bertempat tinggal di desa binaannya sehingga dapat belajar dengan alam, memahami kebutuhan dan potensi lingkungan, serta menselaraskan inovasi atau hasil-hasil penelitian dan program-program pemerintah dengan kebutuhan masyarakat di sekitar tempat tugasnya. Untuk mencapai keberhasilan strategi ini perlu didukung oleh kebijakan pemerintah yang berpihak kepada peningkatan kompetensi penyuluh dalam memberdayakan petani dan dukungan partisipasi masyarakat.
(1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak mengindahkan kepentingan yang wajar IPB
KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN
(Kasus di Kabupaten Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat)
E. Oos Mukhamad Anwas
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Provinsi Jawa Barat)
Nama : E. Oos Mukhamad Anwas
NIP : I. 362060041
Disetujui Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua
Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc. Prof. Dr. Pang S. Asngari
Anggota Anggota
Diketahui:
Koordinator Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini ialah media dalam peningkatan kompetensi, dengan judul ”Pemanfaatan
Media dalam Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian” (Kasus di Kabupaten
Karawang dan Garut Provinsi Jawa Barat).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo M.S, selaku
ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Pang S. Asngari dan Dr. Prabowo Tjitropranoto,
M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran masukan
dalam penelitian ini. Penulis juga secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
(1) Rektor IPB beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan pelayanan
selama penulis mengikuti perkuliahan.
(2) Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB beserta jajarannya yang telah memberikan
pelayanan selama penulis mengikuti perkuliahan.
(3) Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB beserta
jajarannya yang telah memberikan pelayanan selama penulis mengikuti perkuliahaan.
(4) Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc atas
segala arahan dan bimbingannya.
(5) Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, M.Sc dan Dr. Ir. Sri Harijati, MA yang telah besedia
menjadi penguji Luar Komisi Pembimbing dalam Ujian Tertutup.
(6) Bapak Prof. Dr. Haryono Suyono, guru besar Universitas Airlangga dan mantan
Menkokesra yang telah bersedia menjadi penguji Luar Komisi Pembimbing dalam
Ujian Terbuka. Beliau juga telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan sejak
penulis menempuh pendidikan S2 di Universitas Indonesia hingga sekarang
melanjutkan pendidikan di Pascasarjana IPB.
(7) Bapak Prof. Dr. Margono Slamet yang telah bersedia menjadi penguji Luar Komisi
Pembimbing dalam Ujian Terbuka, serta memberikan bimbingan dan keteladanan
kepada penulis selama menempuh perkuliahan di pascasarjana IPB.
(8) Bapak Prof. Dr. Djoko Susanto, Bapak Dr. Zaim Uchrowi, Bapak Dr. Pudji Muljono,
dan seluruh staf dosen yang telah membimbing penulis selama kuliah di Pascasarjana
tugas belajar dan beasiswa pendidikan pascasarjana.
(10) Keluarga besar Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Depdiknas, serta keluarga
besar Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) Jakarta dalam memberikan
dukungan selama penulis menempuh pendidikan di Pascasarjana IPB.
(11) Bapak/Ibu penyuluh pertanian, petani, dan pihak-pihak terkait di kabupaten Bogor,
kabupaten Karawang, dan kabupaten Garut yang telah berpartisipasi memberikan data
dan informasi yang sangat berharga dalam melakukan penelitian ini.
(12) Sdr. Ahmad Sihabudin, Kurnia Suci, Hatta Jamil, Tasril Bartin, Anna Fachiya,
Yohanes Kamagi, Dirlanudin, Nurul Huda, Ayat, Eko, dan teman-teman lainnya
dalam suka dan duka selama menempuh studi di sekolah Pascasarjana IPB.
(13) Bapak Yarub S. Hanafi dan Ibu Ai Ruchyati yang tidak henti memberikan dukungan
dan doa kepada penulis dalam mengikuti pendidikan di Pascasarjana IPB ini.
(14) Ayahanda H. Toha Anwas (alm) dan Ibunda Hj. Enoh (alm), A Maman, A Encu, A
Encin, Titi, Neni dan seluruh keluarga besar Bapak Anwas yang telah membimbing
dan menumbuhkan kecintaan kepada penulis untuk terus menuntut ilmu hingga
mampu menempuh pendidikan akademik tertinggi di Pascasarjana IPB Bogor.
(15) Istri tercinta, Hj. Ir. Yuni Sugiarti dan ketiga buah hati: Yasyifa Dewi Anwas, Ihsan
Maulana Anwas, dan Ilham Nur Awali Anwas atas segala kesabaran, pengorbanan,
dukungan, dan doa selama penulis mengikuti pendidikan di Pascasarjana IPB ini.
(16) Semua pihak yang tidak disebutkan namanya, atas segala bantuan dan doanya selama
penulis mengikuti perkulihaan di pascasarjana IPB.
Segala upaya telah penulis lakukan, namun ”Tidak ada Gading yang tak retak.”
Penulis yakin bahwa retak Gading itu menjadikan indahnya sebuah Gading. Oleh karena
itu saran dan kritikan sangat penulis harapkan dalam menyempurnakan disertasi ini.
Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, November 2009
Penulis dilahirkan di Majalengka Jawa Barat pada tanggal 21 Juli 1969 sebagai anak kesepuluh dari sepuluh bersaudara dari pasangan Bapak H. Toha Anwas (alm) dan Ibu Hj. Enoh (alm). Pendidikan Sarjana ditempuh pada Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung lulus tahun 1992. Pendidikan Magister ditempuh tahun 2001 di Program Studi Ilmu Komunikasi Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia (UI), lulus tahun 2003. Pendidikan doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Pascasarjana IPB tahun 2006, dengan dukungan beasiswa dari Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (Pustekkom), Departemen Pendidikan Nasional.
Penulis bekerja sebagai Peneliti di Pustekkom Depdiknas. Penulis juga aktif sebagai konsultan bidang Teknologi Komunikasi di Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) Jakarta, serta aktif sebagai Penulis Naskah dan Tim Kreatif di beberapa stasiun televisi dalam acara yang bermuatan Pemberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan. Dosen Program D4 Bidan Pendidik Politeknik Kesehatan Jakarta. Penulis juga aktif menulis artikel di beberapa media massa dan jurnal ilmiah. Beberapa karya ilmiah (pilihan) yang diterbitkan, antara lain:
1) Membangun Media Massa yang Mendidik Masyarakat. 2009. Jurnal Dikbud, Depdiknas. 2) Model Posdaya dalam Penuntasan Pendidikan Dasar 9 Tahun. 2009. Jurnal Dikbud. 3) Kampanye Pembangunan via Televisi. 2009. Majalah Gemari.
4) Studi Layanan Pendidikan Dasar pada Suku Baduy. 2009. Jurnal Dikbud, Depdiknas. 5) Masyarakat Peduli Buta Aksara. HU Suara Karya. 10 September 2007.
6) Difusi Inovasi e-Learning di Perguruan Tinggi. 2006. Jurnal Dikbud. Depdiknas. 7) Televisi Pendidikan; Peluang dan Tantangan. 2006. Jurnal Dikbud Depdiknas. 8) Televisi Pendidikan di Era Global. 2006. Buku, diterbitkan Pustekkom Depdiknas. 9) Masyarakat Peduli Siaran Televisi, 2006. Jurnal Teknodik. Pustekkom Depdiknas. 10) Pengembangan Model Mutligrade Teaching Audio di SD. 2002 Jurnal Dikbud 11) Gerakan Cinta Buku dan Minat Baca di Sekolah, 2001. Majalah Suara Guru, PGRI. 12) Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh di Era Otonomi Daerah,2001.Jurnal Tenodik. 13) Internet; Tantangan dan Peluang Pendidikan Nasional, 2000. Jurnal Teknodik. 14) Proses Komunikasi dalam Bingkai Reformasi Pendidikan, 1999. Jurnal, Teknodik. 15) Antara Televisi, Anak, dan Keluarga, 1998. Jurnal Teknodik, Depdiknas
Halaman
Penyuluhan dan Tuntutan Perubahan Zaman ... Perkembangan Penyuluhan Pertanian ... Hakekat Penyuluhan ... Penyuluh Pertanian ... Penyuluhan yang Partisipatif dan Memberdayakan Masyarakat ……… Hakekat Belajar ……….. Karakteristik Pribadi Penyuluh ... Dukungan Lingkungan ...
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir ... Hipotesis Penelitian ...
METODE PENELITIAN
Karakteristik Pribadi Penyuluh ... Dukungan Lingkungan Penyuluhan ... Pemanfaatan Media ... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensitas Pemanfaatan Media ... Kompetensi Penyuluh... Faktor-faktor yang Berpengaruh Nyata terhadap Kompetensi
Penyuluh Pertanian ... Model Pengembangan Kompetensi Penyuluh ... Strategi Pengembangan Kompetensi Penyuluh Berbasis
Pemanfaatan Media ...
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ...
106 110 113 127 132
138 150
165
177 178
181
No. Tabel Halaman
Pemikiran Model Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Belajar Penyuluh ………..
Paradigma Kompetensi Penyuluh yang Bermutu (Tinggi)
dan Kurang Bermutu (Rendah) ………
Indikator dan Parameter Karakteristik Pribadi Penyuluh ………...
Indikator dan Parameter Karakteristik Lingkungan Penyuluhan ………….
Indikator dan Parameter Intensitas Pemanfaatan Media Massa …………..
Indikator dan Parameter Intensitas Pemanfaatan Media Terprogram …….
Indikator dan Parameter Intensitas Pemanfaatan Media Lingkungan …….
Indikator dan Parameter Kompetensi Penyuluh Pertanian ………..
Sampel Penelitian Penyuluh Bertugas di daerah Pertanian Padi
(Karawang) dan Sayuran (Garut) ……….
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ………
Sebaran Presentase dan Rataan Karakteristik Pribadi Penyuluh …………
Sebaran Presentase dan Rataan Karakteristik Lingkungan Penyuluhan …
Sebaran Presentase dan Rataan Pemanfaatan Media Massa ………..
Sebaran Presentase Jenis Informasi dan Rataan Pemanfaatan
Media Massa ………
Sebaran Presentase dan Rataan Pemanfaatan Media Terprogram ………..
Sebaran Presentase dan Rataan Pemanfaatan Media Lingkungan ……….
Nilai Koefisien Korelasi Faktor yang Berhubungan dengan
Pemanfaatan Media ……….
Nilai Koefisien Regresi Faktor yang Berhubungan dengan
Pemanfaatan Media ……….
21
22
23
24
Sebaran Presentase dan Rataan Skor Kompetensi versi Penyuluh
dan Petani ……….
Nilai Koefisien Korelasi Faktor yang Berhubungan dengan
Kompetensi Penyuluh ……….
Faktor yang Langsung Mempengaruhi secara nyata terhadap
Kompetensi Penyuluh ……….
Koefisien Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung terhadap Kompetensi Penyuluh Berdasarkan Analisis Jalur ……….
137
139
140
No. Gambar Halaman
Kerucut Pengalaman E. Dale ………
Posisi Kompetensi Model Gunung Es dan Model Lingkaran ………....
Hubungan antar variabel Analisis Pengembangan Kompetensi Penyuluh Berbasis Pemanfaatan Media ……….
Diagram Kepemilikan Media Komunikasi dan Informasi ………
Nama Koran yang dibaca Penyuluh ………...
Nama Majalah yang dibaca Penyuluh ………..
Stasiun Radio yang diikuti Penyuluh ………
Stasiun Televisi yang diikuti Penyuluh ………
Model Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Media ……….
Model Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian Berbasis
Pemanfaatan Media ………
Strategi Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian Berbasis
No. Lampiran Halaman
1
2
3
4
5
Hasil Uji Beda (t-test) ………...
Hasil Uji Beda Kompetensi Penyuluh di Daerah Padi dan Sayuran ………..
Hasil Uji Beda Kompetensi Penyuluh Lulusan Negeri dan Swasta ……….
Hasil Uji Beda Kompetensi Penyuluh Versi Penyuluh dan Petani ………..
Hasil Uji Regresi ………...
193
194
195
196
Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MSc.
(Staf Pengajar FEMA Institut Pertanian Bogor) 2. Dr. Ir. Sri Harijati, MA.
(Staf Pengajar Universitas Terbuka)
Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Haryono Suyono
(Mantan Menkokesra, Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya) 2. Prof. Dr. Margono Slamet
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang cepat seiring tuntutan
perubahan zaman. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terutama
sejak munculnya teknologi internet telah menyebabkan perubahan besar dalam
masyarakat. Produk teknologi informasi yang relatif murah dan terjangkau
memudahkan akses informasi melampaui batas negara dan batas kultur/budaya.
Kondisi ini telah merambah kepada semua lapisan kehidupan manusia termasuk
para petani di pedesaan. Kini sebagian petani sudah terbiasa mengakses informasi
melalui koran, majalah, radio, televisi, internet, handphone, atau media lainnya.
Seiring perubahan zaman tersebut, masalah pertanian yang dihadapi para
petani juga semakin kompleks. Masalah tersebut dimulai dari meningkatkan
jumlah dan mutu produksi serta pemasaran, hingga akses informasi petani yang
terus berkembang. Kompetisi produk pertanian tidak hanya dalam tataran lokal
akan tetapi berubah menjadi global. Di sini para petani dituntut untuk bisa
menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Akibatnya petani yang bisa
mengikuti perkembangan zaman akan eksis. Sebaliknya, petani yang tidak bisa
menyesuaikan dengan perubahan semakin terpinggirkan. Oleh karena itu, peran
penyuluh menjadi penting sebagai fasilitator dalam mengembangkan potensi
petani. Sebagai konsekuensinya penyuluh dituntut untuk mampu menyesuaikan
dengan perubahan dan tuntutan masyarakat yang terus berkembang.
Hasil studi Sumardjo (1999) menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan
petani dalam mengelola usaha tani secara efisien dan kemampuan daya saing
berkaitan erat dengan masih lemahnya sistem penyuluhan yang telah diterapkan
untuk membangun kemandirian petani. Ini berarti bahwa untuk meningkatkan
mutu pertanian, salah satu aspeknya adalah perlu dibenahi sistem penyuluhan.
kebiasan lama yang kurang baik dengan perilaku yang lebih baik sesuai dengan
kebutuhan dan potensinya, serta sejalan dengan tututan perubahan zaman.
Perubahan dan kecenderungan yang terjadi dalam “dunia pertanian”
Indonesia dan perkembangan pesat di bidang pendidikan, telekomunikasi,
elektronika, media massa dan lain-lainnya perlu diantisipasi dengan strategi
penyuluhan pertanian yang tepat (Slamet, 1995). Oleh karena itu, seiring
perkembangan zaman, sistem penyuluhan pembangunan harus dinamis
menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Dalam hal ini
menurut Slamet (2003) paradigma baru penyuluhan pembangunan bukan untuk
mengubah prinsip-prinsip, tetapi diperlukan untuk merespon tantangan-tantangan
baru yang muncul dari situasi itu.
Semakin kompleksnya masalah-masalah sosial (termasuk pertanian)
merupakan tantangan sekaligus peluang bagi perkembangan ilmu penyuluhan
pembangunan. Kajian-kajian terhadap strategi penyuluhan perlu terus dilakukan
sesuai dengan tuntutan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Dinamika
masyarakat dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berimplikasi
pula pada perlunya perubahan sistem penyuluhan, terutama SDM penyuluh yang
handal sebagai ujung tombak pelaksanan penyuluhan di lapangan.
Di sisi lain perubahan pemerintahan khususnya otonomi daerah
memun-culkan perubahan-perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sistem
pemerintahan yang semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik,
berimplikasi pada munculnya berbagai permasalahan dalam pembangunan
pertanian termasuk dalam penyelenggaraan penyuluhan. Dalam hal ini Sumardjo
(2006) mengidentifikasi beberapa permasalahan penyuluhan di era otonomi
daerah di antaranya: (1) adanya kesalahan persepsi bagi para penyelenggara
penyuluhan di daerah, (2) citra penyuluhan dianggap masih kurang baik, (3)
apriori di kalangan masyarakat tertentu terhadap penyuluhan, (4) dimasa lalu
penyuluhan terwarnai oleh muatan politik organisasi politik tertentu, dan (5) di
era otonomi penyuluhan ditinggalkan oleh sebagian penguasa di daerah karena
Perkembangan baru penyuluhan di Indonesia juga ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Undang-undang ini menjadi kekuatan
hukum yang diharapkan bisa dijadikan payung hukum dalam penyelenggaraan
penyuluhan. Undang-undang ini menjadi sebuah momentum kebangkitan
penyuluhan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman
dalam upaya mensejahterakan masyarakat.
Tenaga penyuluh merupakan ujung tombak pelaksanaan penyuluhan,
karena berhadapan langsung dengan klien di lapangan. Oleh karena itu,
keberhasilan penyuluhan diduga berkorelasi positif dengan kualitas penyuluh di
lapangan. Menurut Sumardjo (2008a), kendala utama dalam menghadapi
tantangan penyuluhan saat ini adalah keterbatasan tenaga profesional di bidang
penyuluhan pembangunan.
Jumlah tenaga kompeten di bidang penyuluhan juga masih sangat terbatas
dibanding dengan kebutuhan di berbagai sektor pembangunan. Menurut Kepala
Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian Departemen Pertanian (HU. Kompas,
18-01-2009) bahwa awal tahun 2009 jumlah penyuluh pertanian yang berstatus
sebagai PNS baru 29.600 orang. Penyuluh pertanian lainnya, 16.600 orang
berstatus sebagai tenaga harian lepas dan 1.600 orang tenaga honorer. Jumlah itu
masih jauh dari ideal karena seharusnya satu desa memiliki satu penyuluh
(jumlah desa sekitar 70.000 desa). Di sisi lain hingga kini belum ada standar
kompetensi yang jelas bagi seorang penyuluh profesional dalam bidang
penyuluhan.
Kelemahan tenaga penyuluh tidak hanya dalam aspek kuantitas, tetapi
juga secara kualitas cukup menghawatirkan. Hasil-hasil penelitian yang terkait
dengan kompetensi penyuluh seperti dilakukan Marius (2007), Nuryanto (2008),
dan Mulyadi (2009) menunjukkan masih lemahnya kompetensi penyuluh
pertanian. Rendahnya mutu tenaga penyuluh juga ditegaskan oleh Slamet (2008)
bahwa idealnya penyuluh lapangan itu juga profesional yang mampu
berimprovisasi secara bertanggung jawab sesuai dengan situasi dan kondisi
pada saat ini belum cukup tersedia. Kondisi ini mengindikasikan perlunya
berbagai pihak untuk mengkaji bagaimana meningkatkan kualitas penyuluh.
Pergeseran pendekatan penyuluhan dari top down ke arah partisipatif
dengan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk aktif seluas-luasnya
dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi merupakan tantangan
tersendiri bagi penyuluh. Menumbuhkan partisipasi aktif masyarakat tidaklah
mudah. Setiap masyarakat memiliki kebutuhan, potensi, dan kebiasaan yang
berbeda. Keragaman masyarakat tersebut perlu diberdayakan agar mereka mau
dan mampu berpartisipasi secara sadar dalam pembangunan. Dalam hal ini
diperlukan sumber daya penyuluh yang kompeten dalam menganalisis perbedaan
dan mencari peluang untuk pemberdayakan petani.
Tantangan penyuluh lainnya adalah substansi materi penyuluhan.
Perkembangan ilmu pengetahuan, global warning, persaingan globalisasi, atau
perubahan lingkungan baik lingkungan alam, sosial, dan budaya menuntut adanya
penyesuaian dalam substansi penyuluhan. Kondisi ini tidak ada upaya lain bagi
penyuluh kecuali harus belajar secara berkelanjutan. Menurut Mardikanto (1993),
terkait dengan hasil-hasil inovasi setiap penyuluh harus mempersiapkan diri
untuk selalu mau belajar. Tanpa kesediaan untuk belajar secara berkelanjutan
mustahil penyuluh dapat mengajarkan, menganalisis, dan sekaligus memberi
nasehat tentang penerapan inovasi yang disampaikannya dengan baik.
Kredibilitas penyuluhaan akan bisa didongkrak apabila para penyuluh
mampu menunjukkan kemampuannya sesuai tuntutan kebutuhan dan potensi
masyarakat. Di sini penyuluh dituntut untuk terus meningkatkan kualifikasinya.
Dengan kata lain penyuluh harus terus belajar memenuhi tuntutan masyarakat
yang terus berkembang yang diperlukan dalam penyuluhan. Sebaliknya, jika
penyuluh tidak bisa mengikuti perubahan tersebut, kredibilitasnya akan semakin
menurun dan ditinggalkan klien-nya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa hanya dengan melalui proses belajar,
penyuluh akan mampu menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan yang
terjadi di masyarakat. Menurut Susanto (2008), tidak ada cara yang lebih tepat
belajar kompetensi penyuluh dapat ditingkatkan. Belajar dalam hal ini tidak
hanya terbatas pada pendidikan formal, tetapi juga termasuk pendidikan
nonformal dan informal. Begitu pula media belajar sebagai wahana untuk
melakukan proses belajar sangat bervariasi. Para penyuluh dapat melakukan
proses belajar melalui berbagai media belajar baik yang dirancang secara khusus
(by design) maupun yang dapat dimanfatkan (by utilization) untuk keperluan
pembelajaran.
Di era informasi ini banyak media baik by design maupun by utilization
yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan belajar. Media yang dapat dimanfaatkan
penyuluh untuk belajar sangat banyak dan tidak perlu mengeluarkan biaya,
misalnya media lingkungan yang ada di sekitar tempat tugasnya. Media belajar
juga cenderung dinamis, berkembang seiring perubahan yang terjadi di
masyarakat. Melalui pemanfaatan media tersebut, penyuluh dapat belajar dalam
meningkatkan kemampuannya guna mengimbangi perubahan yang terjadi dalam
masyarakat.
Penyuluh dapat menggunakan media yang tepat sesuai dengan kebutuhan,
kesempatan, serta fasilitas yang tersedia. Begitu pula penyuluh dapat belajar
tanpa harus bergantung pada siapapun seperti dosen/instruktur, atau tanpa harus
menunggu perintah (tugas belajar). Dengan kata lain belajar melalui media dapat
dilakukan secara fleksibel, dimana saja dan kapan saja setiap ada kesempatan.
Dengan karakteristik media belajar yang jumlahnya relatif banyak,
variatif, dinamis, dan fleksibel tersebut kenyataanya kemampuan penyuluh masih
belum sesuai dengan harapan. Penyuluh masih belum bisa mengikuti tuntutan
klien/masyarakat sesuai dengan perubahan zaman. Oleh karena itu, menarik
untuk dilakukan pengkajian tentang bagaimana pemanfaatan media belajar,
faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta upaya meningkatkan kompetensi
Masalah Penelitian
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa seiring dengan perkembangan
zaman, penyuluh dituntut untuk terus meningkatkan kemampuannya melalui
belajar. Hanya penyuluh yang mau belajar saja yang dapat menyesuaikan dengan
tuntutan masyarakat. Sebaliknya penyuluh yang malas belajar akan sulit untuk
bisa memenuhi harapan dan dinamika masyarakat yang terus berkembang.
Belajar tidak harus dilakukan dalam pendidikan formal atau di ruang
kelas saja. Belajar dapat dilakukan di mana saja setiap ada kesempatan. Realitas
dalam lingkungan penyuluh tersedia relatif banyak pilihan media belajar.
Berdasarkan perpektif pemanfaatanya, secara umum media belajar dapat
digolongkan ke dalam tiga kelompok yaitu (1) media belajar umum atau media
massa yang bisa diakses bebas oleh siapapun, (2) media belajar yang diprogram
secara khusus untuk terciptanya proses belajar, dan (3) media di sekitar
lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk proses belajar. Oleh karena itu
melalui pemanfaatan ketiga media belajar tersebut diduga dapat terwujud
kemandirian belajar yang perlu dimiliki oleh penyuluh dalam meningkatkan
kompetensinya sesuai harapan klien (masyarakat).
Atas dasar pemikiran di atas, permasalahanya adalah bagaimana penyuluh
memanfaatkan media belajar, tingkat kompetensinya, serta faktor-faktor yang
mempengaruhi pemanfaatan media dan kompetensi penyuluh tersebut. Oleh
karena itu secara lebih rinci permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut:
(1) Bagaimana intensitas pemanfaatan media dan faktor-faktor yang dominan
mempengaruhi pemanfaatan media?
(2) Bagaimana tingkat kompetensi penyuluh dan faktor-faktor yang dominan
mempengaruhi kompetensi penyuluh?
(3) Bagaimana strategi pengembangan kompetensi penyuluh berbasis
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan penelitian, secara umum tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui media belajar yang dominan berpengaruh dalam
meningkatkan kompetensi penyuluh yang terus berkembang sebagai konsekuensi
tuntutan perkembangan zaman. Adapun secara lebih rinci tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
(1) Menganalisis intensitas pemanfaatan media dan faktor-faktor yang dominan
mempengaruhinya dalam pengembangan kompetensi penyuluh.
(2) Menganalisis tingkat kompetensi penyuluh dan faktor-faktor yang dominan
mempengaruhi kompetensi penyuluh.
(3) Merumuskan strategi pengembangan kompetensi penyuluh berbasis
pemanfaatan media.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik aspek teoritis/akademis
maupun aspek praktis. Aspek akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan dalam memperkaya keilmuan di bidang ilmu
penyuluhan pembangunan terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan media
baik yang dirancang secara khusus (by design) atau yang dapat dimanfaatkan (by
utilization) dalam pengembangan kompetensi penyuluh sesuai tuntutan
perubahan zaman. Penelitian terdahulu lebih banyak yang mengkaji pada media
terprogram, sedangkan pemanfaatan media massa dan media lingkungan belum
banyak dilakukan. Informasi ini sangat penting diketahui terutama media yang
dominan berpengaruh terhadap kompetensi di antara banyaknya pilihan media
yang berkembang di masyarakat seiring kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong peneliti lain
Secara lebih praktis, penelitian ini diharapkan berguna:
(1) Untuk mengimbangi tuntutan dinamika kompetensi penyuluh yang terus
berkembang, pemerintah pusat (Departemen Pertanian) dan pemerintah
daerah perlu mengambil kebijakan untuk menciptakan iklim belajar yang
kondusif bagi penyuluh melalui pemanfaatan berbagai media. Penelitian ini
diharapkan menghasilkan informasi tentang media yang dominan dapat
meningkatkan kompetensi penyuluh dan strategi pengembangan kompetensi
penyuluh berbasis pemanfaatan media sebagai bahan masukan dan
pertimbangan bagi pemerintah tersebut.
(2) Bagi lembaga yang mengembangkan media, seperti Pusat Teknologi
Informasi dan Komunikasi (Pustekkom) Depdiknas dan lembaga lainnya,
penelitian ini diharapkan menjadi masukan tentang dinamika masyarakat
terhadap pemanfaatan media, media-media yang berpotensi dominan untuk
mengubah perilaku di tengah-tengah pesatnya persaingan dan keragaman
media yang berkembang di masyarakat.
(3) Lebih khusus bagi penyuluh, hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai
masukan tentang perlunya terus meningkatkan kompetensi sebagai tuntutan
profesi penyuluh melalui pemanfaatan berbagai media baik media massa,
media terprogram, dan media lingkungan.
(4) Bagi masyarakat, sebagai bahan masukan dalam menyikapi era informasi
untuk terus belajar dalam mengikuti perubahan zaman melalui pemanfaatan
TINJAUAN PUSTAKA
Penyuluhan dan Tuntutan Perubahan Zaman
Futurolog Toffler (1980) membagi sejarah manusia dalam empat
gelombang yaitu: (1) dimulai dari masyarakat berburu dan pengumpul, (2)
masyarakat petani, (3) masyarakat industri, dan (4) sekarang era masyarakat
informasi (post industrial). Masyarakat informasi ditandai adanya terpaan
(exposure) media massa dan komunikasi global, masyarakat yang sadar
informasi, mendapatkan penerangan cukup, serta ditunjang oleh prasarana jalan
raya informasi dan dukungan teknologi (Dahlan, 1997).
Pengaruh masyarakat informasi tidak selalu menimbulkan perubahan
positif bagi manusia bahkan menurut Fukuyama (2000) menimbulkan kekacauan
besar (great distruption) dalam tatanan nilai-nilai sosial. Kondisi sosial yang
cenderung memburuk ditandai adanya kejahatan dan kekacauan makin
meningkat, kekerabatan makin menurun, kepercayaan kepada pemerintah
menurun, tingkat keterlibatan dalam masyarakat menurun, serta menurunya
tatanan sosial lainnya. Kondisi ini perlu disadari oleh manusia untuk melakukan
berbagai upaya dalam membangun kembali tatanan sosial tersebut.
Masyarakat informasi juga telah melenggangkan globalisasi dan pasar
bebas. Globalisasi melahirkan tingkat persaingan yang semakin ketat. Persaingan
sangat berhubungan dengan mutu atau kualitas. Hanya dengan bermutu inilah
individu akan mampu menjadi pemenang dalam ketatnya persaingan di era
globalisasi atau era informasi ini. Menurut Slamet (2007), individu yang bermutu
adalah individu yang lebih baik dari hari sebelumnya. Dengan kata lain individu
atau produk yang bermutu adalah hari ini lebih baik dari hari kemarin. Oleh
karena itu untuk bisa meningkatkan mutu adalah bagaimana meningkatkan
kualitas diri secara terus menerus sesuai tuntutan perubahan zaman. Di sini kata
Bidang penyuluhan sebagai salah satu aspek penting dalam pembangunan
pertanian tidak lepas dari globalisasi dan tuntutan perubahan era informasi.
Tuntutan petani sebagai subjek penyuluhan semakin komplek. Mereka
dimungkinkan untuk mendapatkan teknologi atau inovasi baru dari berbagai
sumber informasi. Di sisi lain persaingan pasar hasil produksi pertanian tidak
hanya dalam tataran lokal, tetapi meningkat pada level nasional, regional, bahkan
global. Desentralisasi dan otonomi daerah juga memberikan warna dalam
menetukan arah kebijakan pembangunan pertanian di setiap daerah.
Hakekat pembangunan adalah pengubahan secara sadar atau terencana
untuk mencapai perubahan yang lebih baik. Dalam konsep pembangunan yang
berpusat pada manusia, salah satu ukuran penting keberhasilan pembangunan
adalah seberapa besar masyarakat yang ikut berpartisipasi secara aktif (Suyono,
2003). Penyuluhan pembangunan pada dasarnya berupaya meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka tantangannya adalah
bagaimana menciptakan, mengembangkan, dan melaksanakan partisipasi rakyat
secara partisipatif (Sumardjo, 2007). Oleh karena itu di era globalisasi dan
informasi ini tantangan yang paling mendasar dalam penyuluhan adalah
bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas
kehidupan yang lebih baik. Begitu pula dalam ilmu penyuluhan pembangunan
tantanganya adalah bagaimana mengembangkan konsep atau model baru
penyuluhan yang partisipatif dalam setiap sektor pembangunan.
Menurut Sumardjo (2007), kendala utama dalam menghadapi tantangan
tersebut adalah keterbatasan tenaga profesional di bidang penyuluhan
pembangunan. Jumlah tenaga kompeten di bidang penyuluhan pembangunan
masih sangat terbatas dibanding dengan kebutuhan di berbagai sektor
pembangunan. Di sisi lain standar kompetensi penyuluh masih belum ada.
Secara lebih rinci Sumardjo menjelaskan kasus-kasus yang terjadi dalam
penyuluhan pertanian sebagai akibat kurangnya pemahaman terhadap filosofi dan
prinsip-prinsip penyuluhan identik dengan : (1) penerangan, (2) proses yang non
proses yang dogmatis (6) proses menggurui, (7) proses rekayasa sosial oleh
pihak luar, dan (8) hanya berorientasi target pemerintah.
Kasus-kasus di atas merupakan tantangan bagi para pakar dan praktisi
penyuluhan dalam mewujudkan penyuluhan yang bermutu. Lahirnya
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan merupakan kekuatan hukum dalam mengembangkan ilmu
penyuluhan pembangunan. Ini adalah tantangan dan peluang bagi para pakar dan
praktisi penyuluhan dalam memajukan dunia penyuluhan di Indonesia. Kemajuan
zaman dan semakin kompleknya permasalahan yang dihadapi masyarakat
membutuhkan penyuluhan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat.Tantangan ini
akan berhasil diatasi apabila semua pihak terkait terutama pakar dan praktisi
penyuluhan pembangunan terus belajar, meningkatkan kemampuannya.
Perkembangan Penyuluhan Pertanian
Sejarah lahirnya istilah penyuluhan di mulai dari universitas yaitu
extension university atau extention of the university di Inggris tahun 1840-an.
Sekitar tahun 1867-1968, James Stuart dari Trinity College (Cambridge) untuk
pertama kalinya memberikan ceramah kepada perkumpulan wanita dan
perkumpulan pekerja pria di Inggris Utara. Stuart selanjutnya dianggap sebagai
bapak penyuluhan. Kemudian tahun 1873 Universitas Cambridge secara resmi
menerapkan sistem penyuluhan, yang kemudian diikuti oleh Universitas London
(1876) dan Universitas Oxford (1878). Menjelang tahun 1880 kegiatan ini telah
menjadi gerakan penyuluhan tempat perguruan tinggi melebarkan sayapnya ke
luar kampus (Amanah, 2008).
Sejarah penyuluhan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah bangsa
Indonesia yaitu dapat digolongkan pada zaman Belanda, zaman Jepang dan
zaman kemerdekaan. Zaman Belanda dengan didirikannya Kebun Raya Bogor
(1817) merupakan tonggak sejarah penyuluhan. Pada waktu itu mulai
diperkenalkan banyak jenis tanaman baru walaupun masih dilakukan dengan
(penguasaha lokal yang menangani daerah jajahan Belanda). Kemudian tahun
1905 dibentuk Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan didirikan yang
tugasnya antara lain melaksanakan kegiatan penyuluhan.
Pada zaman Jepang (1942 s.d. 1945), pengembangan pertanian ditempuh
dengan target-target dan cara paksaan yang dikenal petani sebelum tahun 1921
terulang lagi. Yang lebih parah adalah tentara Jepang menutup Koperasi
Pertanian dan diganti dengan Kumiai (koperasi) Pengumpul Padi untuk keperluan
perang (Reksohadiprodjo, 1963).
Zaman awal kemerdekaan yang mana pemerintahan dipegang oleh
pribumi juga terjadi dinamika penyuluhan pertanian. Menurut Reksohadiprodjo
(1963) di awal kemerdekaan sejarah penyuluhan dapat dikelompokkan menjadi 3
periode yaitu:
(1) Periode 1945 s.d. 1950 yang menonjol adalah terbentuknya Balai
Pen-didikan Masyarakat Desa (BPMD) dengan tujuan pokok dipersingkatnya
waktu mengunjungi petani dari yang diurus menjadi yang mengurus, dari
objek menjadi subjek.
(2) 1950 s.d. 1960, dikenal sebagai periode Komando Operasi Gerakan Makmur
(KOGM) dalam melaksanakan program intensifikasi pertanian.
(3) 1960 s.d. 1969, yang menonjol tahun 1963/1964 beberapa dosen dan
mahasiswa IPB melaksanakan demontrasi Panca Usaha Tani Massal
(Demas) di areal sawah 1004 Ha di kabupaten Karawang Jawa Barat. Hasil
uji coba ini sungguh luar biasa yang mampu meningkatkan produksi pada
dua kali lipat. Keberhasilan ini menjadi dasar pemerintah tahun 1965
mencanangkan program Bimbingan Massal (Bimas).
Zaman Pembangunan Jangka Panjang, (1969-1998) pembangunan
pertanian maju pesat, termasuk dalam hal penyuluhan. Organisasi-organisasi
penyuluhan dibentuk untuk membantu masyarakat petani mengembangkan
usahanya. Efektivitas program penyuluhan pada era ini menurut Sumardjo
(2008a) sangat tinggi yang ditandai dengan Swa Sembada Beras tahun 1984.
Berbagai penghargaan dunia (PBB) diterima bangsa Indonesia terkait dengan
di era itu adalah topdown dan sentralistis serta dikelola secara sangat serius
dengan komitmen yang sangat tinggi dari pemerintah pusat. Pada waktu itu
kemampuan petani masih relatif rendah, sehingga strategi percepatan
pembangunan pertanian dengan cara top down melalui penanaman inovasi/
teknologi baru dinilai cukup berhasil. Kemampuan dan produktivitas petani
meningkat, begitupun target pencapaian produksi meningkat. Seiring
perkembangan masyarakat, prinsip-prinsip penyuluhan yang demokratis dan
partisipatif kurang dikembangkan. Menurut Sumardjo (2008a), sebenarnya di era
orde baru mulai diperkenalkan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
(SLPHT). SLPHT ini menerapkan prinsip-prinsip partisipatif, problem solving,
dan asas manfaat, dengan pendekatan yang demokratis. Namun kelemahanya dari
perspektif penyuluhan adalah adanya dana transport bagi petani untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan rutin program tersebut. Hal ini menyebabkan petani selalu
mempertanyakan kenapa program penyuluhan tidak memberikan dana serupa?
Zaman Otonomi Daerah, yang dimulai tahun 1998 s.d. 2006 ditandai
dengan eforia reformasi dan perebutan kekuasaan. Penyuluhan pertanian
diserahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah. Pada masa ini peran
dan struktur organisasi lembaga penyuluhan mengalami transformasi dan
bergantung kepada kebijakan masing-masing pemerintah daerah. Akibatnya
penyuluhan pertanian mengalami kemunduran, bahkan mencapai titik terendah
(titik nadir).
Tahun 2006 merupakan era baru dalam penyuluhan di Indonesia. Pada
tahun ini lahir Undang-undang No 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Undang-undang ini merupakan bukti
kepastian hukum dalam sistem penyuluhan. Hingga awal tahun 2009 Peraturan
Pemerintah masih belum terbit, akibatnya respon pemerintah daerah sangat
beragam. Beberapa daerah yang memiliki komitmen kuat terhadap penyuluhan
sudah membentuk kelembagan penyuluhan sesuai undang-undang tersebut. Mulai
tahun 2006 diharapkan menjadi Era Transformasi dan Kebangkitan Penyuluhan
(Sumardjo, 2008a). Ini adalah era penyuluhan untuk kembali berjaya dalam
Hakekat Penyuluhan
Konsep Penyuluhan
Ilmu Penyuluhan Pembangunan sebagai suatu disiplin ilmu yang
mempelajari tentang pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana
perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan
kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat kualitas
kehidupan orang yang bersangkutan menjadi lebih baik (Slamet, 1992).
Penyuluhan merupakan sistem pendidikan non formal untuk mengubah perilaku
klien sesuai dengan yang dikehendaki atau direncanakan (Asngari, 2001).
Menurut van den Ban dan Hawkins (1999), penyuluhan merupakan
keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar
dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa
membuat keputusan yang benar. Menurut UU No. 16 tahun 2006, penyuluhan
pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar
mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam
mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya,
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan,
dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Pelaku utama adalah petani, sedangkan pelaku usaha adalah
individu yang mengelola usaha pertanian.
Mengacu kepada beberapa kajian di atas penyuluhan dapat didefinisikan
sebagai sistem pendidikan non formal dalam mengubah perilaku manusia yang
didasarkan pada kebutuhan dan potensi klien dalam meningkatkan kehidupannya
ke arah yang lebih baik.
Falsafah Penyuluhan
Dalam melaksanakan penyuluhan, penyuluh perlu menghayati falsafah
penyuluhan. Falsafah ini menjadi nilai dasar sebagai landasan dalam melakukan
kegiatan penyuluhan. Falsafah penyuluhan menurut Kelsey dan Hearne
mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia. Penyuluh harus
bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya bekerja untuk masyarakat.
Penyuluhan tidak menciptakan ketergantungan tetapi harus mampu mendorong
terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakat. Penyuluhan harus selalu
mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Falsafah dasar penyuluhan menurut Slamet (Sumardjo, 1999) bahwa: (1)
penyuluhan adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi,
dan (3) penyuluhan adalah proses kontinyu. Oleh karena itu, falsafah penyuluhan
bermakna menolong orang agar orang tersebut menolong dirinya sendiri, melalui
pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraanya.
Hakekat dari penyuluhan adalah proses pendidikan yang bersifat non
formal. Oleh karena itu menurut Asngari (2001) dalam melaksanakan penyuluhan
perlu memegang falsafah pendidikan antara lain: falsafah pentingnya individu,
falsafah mendidik, berlangsung secara kontinyu, bekerjasama, serta menerapkan
prinsip-prinsip demokratis agar klien mampu hidup lebih baik. Menurut Mudjiyo
(Mardikanto, 1993), perlunya mengkaitkan falsafah penyuluhan dengan
pendidikan yang memiliki falsafah idealism, realism, dan pragmatism. Artinya
penyuluhan harus mampu menumbuhkan cita-cita yang melandasi untuk selalu
berpikir kreatif dan dinamis. Di sisi lain penyuluh harus mengacu kepada
kenyataan-kenyataan atau menyesuaikan dengan keadaan yang ditemukan dan
terjadi di lapangan.
Sebagai proses pendidikan formal, penyuluhan harus membawa
perubahan yang positif baik aspek pengetahuan sikap dan keterampilan.
Penyuluhan juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki
klien. Klien atau sasaran adalah subjek penyuluhan. Proses penyuluhan juga perlu
didasarkan pada suasana demokratis, terhindar dari unsur paksaan, dialogis,
saling tukar pikiran dan pengalaman dalam memecahkan masalah yang dihadapi
klien. Penyuluhan memerlukan pendekatan interdisiplin yang terkait dengan
masalah yang dihadapi klien. Yang tidak kalah pentingnya adalah penyuluhan
perlu dilakukan secara berkelanjutan (kontinyu) karena manusia selama hidupnya
Prinsip Penyuluhan
Istilah prinsip lebih mengarah kepada konsep yang lebih kongkrit
dibandingkan falsafah. Menurut Mathwes (Mardikanto, 1993), prinsip adalah
pernyataan tentang kebijaksanaan yang dijadikan pedoman dalam mengambil
keputusan dan melaksanakan kegiatan secara konsisten. Prinsip penyuluhan
berarti pedoman atau pegangan penyuluh yang lebih operasional dalam
melaksanakan penyuluhan.
Menurut Dahama dan Bhatnagar (1980), ada 12 prinsip penyuluhan,
sebagai berikut:
(1) Penyuluhan akan efektif kalau mengacu pada minat dan kebutuhan
masyarakat(principles of interest and needs)
(2) Penyuluhan harus mampu menyentuh organisasi masyarakat sasaran,
keluarga/kerabatnya(grass-roots principle of organization)
(3) Penyuluhan harus menyadari adanya keragaman budaya memerlukan
keragaman pendekatan (principle of cultural difference).
(4) Kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan dengan bijak karena akan
menimbulkan perubahan budaya (principle of cultural change).
(5) Penyuluhan harus menggerakan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama
dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan (principle of
cooperation and participation).
(6) Penyuluhan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakat
sasaran untuk ikut memutuskan tujuan, alternatif pemecahan masalah dan
metode apa yang digunakan dalam penyuluhan (principle of applied sciance
and democratic approach).
(7) Prinsip belajar sambil bekerja (principle of learning by doing)
(8) Penyuluh harus orang terlatih dan benar-benar menguasai sesuatu yang
sesuai dengan fungsi seorang penyuluh (principle of trained specialist)
(9) Penyuluhan harus diterapkan dengan metode yang disesuaikan dengan
kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan sosial budaya) spesifik
sasaran (adaptability principle in the use of extention teaching method)
(11) Penyuluh harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit
sosial (whole family principle).
(12) Penyuluhan dimaksudkan untuk mewujudkan tercapainya kepuasan sasaran
(principle of satisfaction).
Penyuluh Pertanian
Sesuai dengan perkembangan ilmu penyuluhan dan kompleksnya masalah
dalam masyarakat, istilah penyuluh berkembang dalam berbagai sektor
pembangunan. Dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2006 dikenal istilah
penyuluh Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya.
Penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan
organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan
kegiatan penyuluhan. Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia
usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan.
Penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga
masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi
penyuluh.
Menurut Permen Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
Per/02/Menpan/2/2008 bahwa penyuluh pertanian PNS merupakan jabatan
fungsional penyuluhan pertanian yang digolongkan ke dalam dua tingkatan yaitu:
(1) Penyuluh Pertanian Terampil, berbasis pendidikan non sarjana (SLTA atau
Akademi), dan (2) Penyuluh Pertanian Ahli, berbasis pendidikan sarjana
pertanian atau sarjana lainnya yang sesuai dengan tugas pokok penyuluhan.
Secara lebih khusus dalam Permen Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor: Per/02/Menpan/2/2008 dijelaskan bahwa tugas pokok Penyuluh
Pertanian adalah
(1) Melakukan kegiatan persiapan penyuluhan pertanian, meliputi: identifikasi
programa penyuluhan pertanian, dan penyusunan rencana kerja tahunan
penyuluh pertanian.
(2) Melaksanakan penyuluhan pertanian, meliputi: penyusunan materi,
perencanaan penerapan metode penyuluhan pertanian, dan
menumbuhkan/mengembangkan kelembagaan petani.
(3) Evaluasi dan pelaporan, meliputi: evaluasi pelaksanaan penyuluhan
pertanian, dan evaluasi dampak pelaksanaan penyuluhan pertanian.
(4) Pengembangan penyuluhan pertanian, meliputi: penyusunan pedoman/
juklak/juknis penyuluhan pertanian, kajian kebijakan pengembangan
penyuluhan pertanian, dan pengembangan metode/sistem kerja penyuluhan
pertanian.
(5) Pengembangan profesi, meliputi: pembuatan karya tulis ilmiah di bidang
pertanian, penerjemahan/penyaduran buku dan bahan-bahan lain di bidang
pertanian, dan pemberian konsultasi di bidang pertanian yang bersifat
konsep kepada institusi dan/atau perorangan.
(6) Penunjang tugas Penyuluh Pertanian, meliputi: peran serta dalam seminar/
lokakarya/konferensi, keanggotaan dalam Tim Penilai Jabatan Fungsional
Penyuluh Pertanian, keanggotaan dalam dewan redaksi penerbitan di bidang
pertanian, perolehan penghargaan/tanda jasa, pengajaran/pelatihan pada
pendidikan dan pelatihan, keanggotaan dalam organisasi profesi, dan
perolehan gelar kesarjanaan lainnya.
Tugas-tugas tersebut harus dijabarkan dan disesuaikan dengan kebutuhan
dan potensi masyarakat serta tuntutan perkembangan zaman. Di sisi lain tuntutan
dan kebutuhan masyarakat yang kompleks dan terus berkembang ini menuntut
adanya kedinamisan dan fleksibel penyuluh. Oleh karena itu untuk dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik penyuluh dituntut untuk terus meningkatkan
Penyuluhan yang Partisipatif dan Memberdayakan Masyarakat
Pembangunan (development) secara umum identik dengan proses
perubahan terencana, perbaikan kondisi yang lebih baik. Kata kunci dari konsep
pembangunan adalah perubahan, pertumbuhan, pemenuhan kebutuhan,
peningkatan martabat dan harga diri (Susanto, 2008). Menurut Misra (1981),
pembangunan adalah meningkatkan pencapaian sasaran akan nilai budayanya
yang menghasilkan kehidupan yang lebih bermutu. Ini menunjukkan bahwa
pembangunan bukan saja pada pertumbuhan ekonomi saja, namun yang lebih
penting adalah perbaikan kualitas kehidupan diri dan sosial meningkat lebih baik.
Hakekat penyuluhan adalah pendidikan non formal dalam mengubah
perilaku sasaran baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor ke arah yang
lebih baik sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Dalam penyuluhan, klien
atau sasaran merupakan subjek, bukan sebaliknya menjadi objek. Menurut
Sumardjo (1999), filosofi dan prinsip-prinsip penyuluhan dalam arti yang
sebenarnya adalah partisipatif, dialogis, konvergen, dan demokratis, sehingga
memberdayakan, dan bukannya praktek-praktek penyuluhan yang bersifat top
down, linier dan bertentangan dengan filosofi pembangunan manusia.
Penyuluhan harus mampu menciptakan kondisi masyarakat yang aktif
dan berdaya dalam meningkatkan kualitas kehidupannya. Inti dari tujuan
penyuluhan pembangunan adalah munculnya partisipasi aktif masyarakat dalam
program atau gerakan pembangunan untuk mengatasi masalah sosial yang
mereka hadapi (Slamet, 2009). Oleh karena itu salah satu alat ukur keberhasilan
penyuluhan dapat dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat.
Partisipasi memiliki makna keterlibatan. Dalam hal ini Asngari (2006)
merumuskan makna partisipasi sebagai berikut: (1) keterlibatan dalam
pengambilan keputusan, (2) keterlibatan dalam pengawasan, (3) keterlibatan
dimana masyarakat mendapatkan manfaat dan penghargaan, (4) partisipasi
sebagai proses pemberdayaan (empowerment), partisipasi bermakna kerja
stecholder menyangkut pengambilan keputusan, pengawasan, dan penggunaan
resourceyang bermanfaat bagi mereka.
Alasan perlunya petani berpartisipasi pengambilan keputusan dalam
program penyuluhan, menurut van den Ban dan Hawkins (1996) adalah: (1)
petani memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program, (2)
petani akan termotivasi untuk bekerjasama dalam program penyuluhan jika
dilibatkan, (3) rakyat berhak terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai
tujuan, (4) banyak masalah-masalah pembangunan yang bersifat kompleks dan
dan perlu dipecahkan bersama.
Dengan partisipasi, petani terlibat langsung baik secara fisik maupun
psikis dalam kegiatan penyuluhan. Partisipasi akan meningkatkan motivasi untuk
mencapai tujuan penyuluhan. Pada akhirnya partisipasi akan memberikan makna
dan manfaat yang signifikan bagi masyarakat. Permasalahan yang mendasar
adalah bagaimana penyuluh mampu memberikan kesadaran dan sekaligus
menggerakan kepada masyarakat untuk mau aktif atas kesadaranya untuk mau
berubah, memperbaiki kemampuannya dalam meningkatkan kualitas
kehidupannya.
Prasyarat untuk terjadinya partisipasi dalam pembangunan menurut
Slamet (2003a) adalah (1) adanya kesempatan untuk membangun kesempatan
dalam pembangunan, (2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan,
dan (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi dari masyarakat tersebut. Ketiga
prasyarat itu saling terkait sehingga lemah di salah satu aspek menjadikan lemah
pula tingkat partisipasinya. Di samping itu Slamet juga menegaskan bahwa
partisipasi harus dilandasi oleh tujuan memperoleh manfaat bagi dirinya, dan
bukan sekedar dilandasi oleh kesediaan berkorban.
Menumbukan partisipasi masyarakat tidak mudah, apalagi setiap
masyarakat memiliki karakteristik dan budaya yang beragam. Menurut selamat
(2009) menumbuhkan partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan
analisis ilmiah yang tepat agar berhasil efektif. Secara operasional, Asngari
(2001) menegaskan bahwa pada dasarnya orang mau berperanserta dalam