• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Antibiotik Dan Penatalaksanaan Alergi Antibiotik Di Klinik Bedah Mulut Fkg Usu 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Antibiotik Dan Penatalaksanaan Alergi Antibiotik Di Klinik Bedah Mulut Fkg Usu 2015"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK

TERHADAP ANTIBIOTIK DAN PENATALAKSANAAN ALERGI

ANTIBIOTIK DI KLINIK BEDAH MULUT FKG USU 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

DIAN M P Br SITINJAK NIM: 100600112

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2015

Dian M P Br. Sitinjak

Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik terhadap antibiotik dan alergi antibiotik dan penatalaksanaan alergi antibiotik di klinik bedah mulut FKG USU 2015.

xi + 53 halaman

(3)

upaya untuk meningkatkan pengetahuan responden mengenai antibiotik dan penatalaksanaan alergi antibiotik.

(4)

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK

TERHADAP ANTIBIOTIK DAN PENATALAKSANAAN ALERGI

ANTIBIOTIK DI KLINIK BEDAH MULUT FKG USU 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

DIAN M P Br SITINJAK NIM: 100600112

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 11 April 2015

Pembimbing : Tanda Tangan

1. Olivia Avriyanti Hanafiah,drg., Sp.BM 1... NIP. 19730422 199802 2 001

(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan

di hadapan tim penguji pada tanggal 11 April 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Abdullah, drg

ANGGOTA : 1. Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM 2. Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga pada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Ir. Edison Sitinjak dan Ibunda Anivera Manullang SH atas segala pengorbanan, doa, dukungan, cinta dan kasih sayangnya kepada penulis. Terima kasih kepada adik tercinta Agnes Kartika Yunita Sitinjak dan Christian Galileo Sitinjak yang selalu memberikan semangat dan inspirasi bagi penulis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan dan saran-saran, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Eddy A.Ketaren., drg., Sp.BM selaku ketua Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, atas segala saran, dukungan dan bantuan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM selaku dosen pembimbing pertama yang telah banyak membantu meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak membantu meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Taqwa Dalimunthe, drg., Sp.KGA selaku penasehat akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

(8)

6. Anita Siregar SKG, Letario Sidabutar, Naftalia Paramita Barus SKG, Aryani Agiza, Natasya Claudia SKG, Santi Simbolon, Chintya Pratiwi Putri SKG, dan seluruh teman-teman angkatan 2010.

7. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Yolanda Sihombing SKG, Grace Sembiring SE, Alemmina Sembiring S.Ked, dan Devina NA Marbun yang telah banyak mendoakan, membantu dan memberi saran kepada penulis.

8. Teman-teman seperjuangan skripsi di Departemen Bedah Mulut 2015 atas bantuan dan semangatnya, adinda dan kakanda di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan skripsi ini dan penulis mengharapakan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Medan, 11 April 2015 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI ...

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotik ... 5

2.1.5 Indikasi Penggunaan Antibiotik di Bidang Kedokteran Gigi . 11

2.1.6 Efek Samping ... 13

2.2 Alergi Antibiotik ... 15

2.2.1 Patofisiologi Alergi ... 16

2.2.2 Tipe Hipersensitivitas Alergi Antibiotik ... 17

(10)

2.2.3.2 Tes Diagnostik ... 21

2.2.4 Manifestasi Klinis Alergi Antibiotik ... 21

2.2.4.1 Urtikaria dan Angioedema ... 22

2.2.4.2 Erupsi Eksemantosa ... 24

2.2.4.3 SSJ (sindrom Steven Johnson) ... 25

2.2.4.4 NET (nekrolisis epidermal toksik) ... 26

2.2.4.5 Syok Anafilaktik ... 26

2.3 Penatalaksanaan ... 27

2.3.1 Antihistamin ... 27

2.3.2 Kortikosteroid ... 28

2.3.3 Desensitisasi ... 28

2.3.5 Penatalaksanaan Syok Anafilaktik ... 29

2.4 Kerangka Konsep ... 31

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian... 32

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

3.3 Populasi dan Sampel ... 32

3.4 Variabel dan Definisi Operasional ... 32

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 37

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 37

3.7 Aspek Pengukuran ... 37

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden ... 39

4.2 Pengetahuan Responden tentang Antibiotik ... 39

4.3 Pengetahuan Responden tentang Penatalaksanaan Alergi Antibiotik ... 41

BAB 5 PEMBAHASAN ... 44

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 52

6.2 Saran ... 53

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Klasifikasi alergi obat antibiotik ... 15

2. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas obat ... 19

3. Antihistamin yang diindikasi dan biasa digunakan dalam perawatan urtikaria ... 28

4. Variabel dan definisi operasional ... 32

5. Kategori nilai pengetahuan antibiotik ... 38

6. Kategori nilai pengetahuan penatalaksanaan alergi antibiotik ... 38

7. Persentasi distribusi karakteristik responden ... 39

8. Distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang antibiotik (n=42) ... 40

9. Kategori pengetahuan responden tentang antibiotik (n=42) ... 41

10. Distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang alergi antibiotik dan penatalaksanaannya (n=42) ... 42

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tes kulit yang dilakukan pada pasien sebelum diberikan antibiotik ... 21

2. Urtikaria akibat penggunaan ampisilin ... 23

3. Urtikaria akibat penggunaan penisilin ... 23

4. Erupsi eksemantosa akibat penggunaan obat golongan sefalosporin ... 25

5. Sindrom Steven Johnson (SSJ) ... 26

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Daftar riwayat hidup 2. Kuesioner

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan munculnya obat-obat baru dalam upaya diagnosis dan tata laksana penyakit, maka akan terjadi juga peningkatan angka kejadian reaksi obat yang menyimpang (adverse drug reactions). Reaksi obat yang menyimpang adalah respon yang tidak diinginkan atau diharapkan pada pemberian obat dalam dosis terapi, diagnosis, atau profilaksis. Salah satu reaksi simpang obat adalah reaksi alergi obat, dimana diperkirakan sekitar 6-10% dari reaksi obat yang menyimpang merupakan reaksi alergi.1

Alergi ialah reaksi imunologis berlebihan dalam tubuh yang timbul segera atau dalam rentan waktu tertentu setelah eksposisi atau kontak dengan zat tertentu (alergen).Reaksi alergi obat yang paling umum adalah terhadap golongan antibiotik berupa penisilin, sulfonamid, sefalosporin, anestesi lokal, anestesi umum, golongan analgesik berupa asam asetilsalisilat (ASA) dan anti inflamasi non-steroid.2

Antibiotika, yang pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada tahun 1910, sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus penyakit infeksi. Pemakaiannya selama 5 dekade terakhir mengalami peningkatan yang luar biasa, tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga menjadi masalah di negara maju seperti Amerika Serikat. Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain.3

(15)

Dalam kedokteran gigi,untuk semua jenis pencabutan gigi yang dilakukan, protokol rutin antibiotik umumnya diresepkan oleh sebagian besar dokter, dimana penggunaannya mulai dari 24 jam pertama sampai 5 hari ke depan.5Bukti menunjukkan, meresepkan antibiotik setelah pencabutan gigi molar tiga yang impaksi dapat mengurangi keparahan nyeri paska operasi. Ada pula beberapa antibiotik yang digunakan dalam pembedahan gigi, biasanya bertujuan untuk mengurangi efek samping yang mungkin timbul setelah pembedahan. Dalam pemasangan implan pada gigi juga diperlukan pemberian antibiotik untuk mencegah adanya infeksi bakteri yang dapat mengakibatkan kegagalan implan. Dengan pemberian antibiotik, tingkat kegagalan pemasangan implan dapat berkurang. Antibiotik profilaksis untuk prosedur gigi terutama kasus yang menyebabkan perdarahan di rongga mulut, telah menjadi penggunaan umum diantara dokter gigi. Antibiotik digunakan sebagai tambahan dari obat yang lain, dan tidak akan memberikan efek apapun apabila tidak disertai dengan obat yang lain.4

Seperti kebanyakan reaksi alergi, reaksi alergi terhadap antibiotik terdiri dari berbagai derajat keparahan. Penisilin, diikuti oleh sefalosporin dan tetrasiklin, yang paling sering terlibat dalam reaksi ini. Perkiraan prevalensi alergi antibiotik bervariasi. Setiap organ bisa terkena, tetapi paling umum terjadi pada kulit.7Meskipun reaksi alergi terhadap antibiotik hanya sedikit, hal ini tetap menjadi penting karena berhubungan dengan angka kesakitan dan angka kematian serta perawatan kesehatan.6

(16)

Di fakultas kedokteran gigi farmakologi merupakan salah satu ilmu yang diberikan. Ilmu Farmakologi mencakup pengetahuan mengenai sifat-sifat obat, efek obat dan mekanisme terjadinya efek obat. Pengetahuan ini sangat penting sebagai dasar atau fondasi dalam pemakaian obat di klinik. Disamping itu farmakologi juga memberikan beberapa informasi yang terkait dengan pemakaian obat dalam klinik, misalnya: indikasi, dosis, efek toksik, efek samping dan sebagainya. Dengan mempelajari farmakologi di harapkan mahasiswa kedokteran gigi memahami obat-obatan yang digunakan untuk penyakit gigi dan mulut, termasuk efek samping dan interaksinya.7

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik khususnya di Departemen Bedah Mulut FKG USU mengenai antibiotik dan penatalaksaan alergi antibiotik yang sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi. Mahasiswa kepaniteraan klinik dipilih karena mahasiswa kepaniteraan klinik tengah melakukan praktik perawatan gigi langsung kepada pasien dan turut memberikan antibiotik setelah perawatan dilakukan.

1.2 Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan permasalahan yang akan dibahas yaitu bagaimana pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU tentang antibiotik danpenatalaksanaan alergi antibiotik di Departemen Bedah Mulut FKG USU.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU terhadap antibiotik.

(17)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan akan digunakan :

1. Sebagai masukan bagi Departemen Bedah Mulut FKG USU terhadap pengetahuan tentang antibiotik.

2. Sebagai masukan bagi Departemen Bedah Mulut FKG USU dalam melakukan penatalaksanaan alergi antibiotik.

3. Sebagai tambahan referensi di Departemen Bedah Mulut FKG USU.

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik

Pada dasarnya, antibiotik diresepkan berdasarkan pengalaman dengan kata lain dokter gigi tidak mengetahui mikroorganisme apa yang menyebabkan terjadinya peradangan, karena kultur pus (nanah) atau eksudat tidak umum dibuat. Oleh karena itu, antibiotik spektrum luas yang umum diresepkan.8

Rongga mulut manusia mengandung berbagai mikroorganisme. Namun demikian, tidak semua mikroorganisme berpotensi patogen pada manusia, beberapa jenis bakteri yang berhubungan dengan peradangan oral di antaranya bakteri kokus, basil, organisme gram positif dan gram negatif, aerob dan anaerob.8

2.1.1 Definisi antibiotik

Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba atau jasad renik yang tidak termasuk parasit, khususnya mikroba yang merugikan manusia.9 Sedangkan antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme.10 Dalam praktek sehari – hari, antimikroba sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai antibiotik.9

(19)

2.1.2 Klasifikasi antibiotik

Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dibedakan atas beberapa kelompok

yaitu (1) Antibiotik β-laktam yang terdiri atas golongan penisilin dan derivatnya, sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam; (2) Antibiotik makrolida dan ketolida; (3) Linkosamida; (4) Metronidazole; (5) Tetrasiklin; (6) Glisilsiklin; (7) Golongan kuinolon/fluoro-kuinolon; (8) Golongan aminoglikosida; (9) Vankomisin; (10) Steptogramin; (11) Oksasolidinon; (12) Sulfonamida; (13) Kloramfenikol.11

Di praktik kedokteran gigi, tidak semua jenis antibiotik digunakan, hanya

beberapa jenis saja yang umum digunakan diataranya antibiotik golongan β-laktam (seperti amoksisilin, amoksisilin-asam klavulanat, ampisilin, sefadroksil, sefaleksin, sefazolin, dan penisilin), linkosamida(seperti klindamisin), makrolida (seperti azitromisin, eritromisin), kuinolon atau fluorokuinolon (seperti siprofloksasin), aminoglikosida (seperti gentamisin), dan metronidazole.8

2.1.2.1 Antibiotik β-laktam

Antibiotik β-laktam menjadi antibiotik yang banyak digunakan karena aktivitas spektrumnya luas dan toksisitasnya yang relatif kurang walaupun insiden terhadap alergi relatif tinggi. Antibiotik jenis ini terdiri dari lima kelompok yang memiliki

nukleus β-laktam berbeda yaitu penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam, dan karbasefem. Penisilin dan sefalosporin adalah antibiotik yang paling penting, diikuti dengan karbapenem, monobaktam, dan karbasefem yang menjadi cadangan pada kasus peradangan serius seperti peradangan nokosomial (yang didapat dari

rumah sakit). β-laktam memiliki aktivitas antibiotik dengan spektrum yang terluas, kecuali antibiotik dengan spektrum yang sangat sempit (seperti β-laktamase-resistant penicilin) dan spektrum yang sangat luas (seperti imipenem dan beberapa

sefalosporin).11

(20)

antara rantai peptidoglikan terganggu; lalu (3) terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.12

1. Penisilin

Penisilin adalah istilah generik untuk kelompok antibiotik yang sama-sama memiliki nukleus cincin β-laktam.11 Obat ini efektif melawan sebagian besar bakeri

gram positif tetapi tidak aktif jika cincin β-laktamnya di pecah oleh β-laktamase.13 Modifikasi penisilin dapat terjadi karena struktur dasarnya (asam 6-amminopenisilanat) memungkinkan untuk penambahan berbagai rantai β-laktam dan cincin tiazolidin. Atas dasar modifikasi ini, penisilin dapat dibagi menjadi penisilin G

dan derivatnya, penisilin resisten β-laktamase, penisilin spektrum yang diperluas (Extended-Spectrum Penicillin), dan penisilin spektrum yang diperluas ditambah

inhibitor β-laktamase (Extended-Spectrum Penicillin Plus β-laktamase Inhibitors)11 Penisilin memiliki efek bakterisid dengan menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Diantara semua penisilin, penisilin G mempunyai aktifitas terbaik terhadap mikroba Gram-positif yang sensitif. Walaupun kelompok ampisilin memiliki spektrum antibiotik yang lebar, tetapi aktivitasnya terhadap mikroba Gram-positif tidak sesuai penisilin G. Namun demikian kelompok ampisilin efektif terhadap beberapa mikroba Gram-negatif dan tahan asam, sehingga dapat diberikan per oral.12 Kombinasi penisilin dengan asam klavulanatmenjadi salah satu pilihan karena kerja antibiotiknya sangat lemah, tetapi dapat menghambat penisilinase dari steptokokus dan β-laktamase berbagai mikroba Gram-negatif dengan mengikat pusat aktif enzim tersebut. Karena itu asam klavulanat digunakan dalam kombinasi bersama antibiotik β-laktam yang tak

stabil terhadap β-laktamase.10

(21)

dengan ampisilin dan penisilin V yang 4 kali sehari), dan penyerapanya tidak dihalangi oleh makanan.14 Pemberian penisilin G secara parenteral digunakan untuk peradangan berat pada pasien atau situasi dimana pemberian melalui oral tidak dapat dilakukan (seperti pada sindrom malabsorpsi dan muntah).11Penisilin digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk semua peradangan yang mikrobanya peka dan selama tidak ada alergi terhadap penisilin karena toksisitasnya yang hampir tidak ada dan kerjanya bersifat bakterisidal.10

2. Sefalosporin

Sefalosporin berasal dari fungus Sefalosporin akremonium. Inti dasar Sefalosporin C ialah asam 7-amino-sefalosporanat (7-ACA:7-aminocephalosporanic acid) yang merupakan kompleks cincin dihidrotiazin dan cincin betalaktam.

Sefalosporin C resisten terhadap penisilinase, tetapi dapat dirusak oleh sefalosporinase. Hidrolisis asam sefalosporin C menghasilkan 7-ACA yang dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotik sefalosporin.12

Berdasarkan aktivitas antibiotiknya, Sefalosporindibagi menjadi 4 generasi yaitu generasi pertama, generasi kedua,generasi ketiga, dan generasi keempat. Sefalosporin memiliki aktifitas yang baik untuk melawan patogen orofasial, tetapi terbatas dalam melawan bakteri anaerob. Secara in vitro,Sefalosporin generasi pertama memperlihatkan spektrum antibiotik yang aktif terhadap bakteri Gram-positif. Keunggulannya dibanding penisilin adalah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar Stafilokokus aureusdan Streptokokustermasuk Streptokokus piogens, Streptokokus viridans, Streptkokuspneumoniae, Streptokokus anaerob, Klostridium perfringeus, Listeria monositogens, dan Korinebakterium dipteria.12 Sefadroksil, safaleksin, dan sefazolin merupakan antibiotik sefalosporin generasi pertama, sedangkan seftriakson termasuk generasi ketiga.12,15

2.1.2.2Antibiotik Makrolida

(22)

kerja yang diketahui yaitu antibiotik makrolida menghambat sintesis protein pada fase pemanjangan dengan mempengaruhi translokasi.10

Makrolida digunakan untuk peradangan yang disebabkan oleh mikroba gram-positif yang resisten terhadap penisilin atau tetrasiklin, dipakai juga pada pasien yang alergi terhadap penisilin.10 Yang termasuk dalam kelompok makrolida yaitu entromisin, azitromisin, dan sebagainya. Azitromisin memiliki aktivitas yang sangat baik dengan Klamidia. Kadar azitromisin yang tercapai dalam serum setelah pemberian oral relatif rendah, tetapi dijaringan dan sel fagosit menjadi sangat tinggi. Obat yang disimpan dalam jaringan ini kemudian dilepaskan berlahan-lahan sehingga dapat diperoleh masa paruh eliminasi sekitar 3 hari. Dengan demikian obat cukup diberikan sekali sehari dan lama pengobatan dapat dikurangi. Absorbsinya berlangsung cepat tetapi terganggu bila diberikan bersamaan dengan makanan.16

2.1.2.3 Linkomisin

Yang termasuk kelompok linkomisin adalah linkomisinyang diisolasi dari Streptomises linkolnesisdan senyawa sintesis parsial turunanya yaitu klindamisin. Kelompok linkomisin mempunyai spektrum kerja yang mirip antara yang satu dengan yang lain, mekanisme kerjanya sama dengan antibiotik makrolida, sedangkan kerja klindamisin 2-10 kali lebih besar dari intensitas kerja linkomisin. Yang penting adalah kemampuan difusinya yang baik dalam tulang. Linkomisin dan klindamisin digunakan untuk peradangan karena stafilokokus jika antibiotik lain tidak dapat digunakan dan berguna pada peradangan karena bakteri anaerob.10 Selain itu, klindamisin digunakan untuk pasien yang alergi dengan penisilin atau terjadi kegagalan pengobatan dengan penisilin.15

2.1.2.4 Antibiotik Aminoglikosida

(23)

bakterisidal. Gentamisin adalah senyawa yang didapat dari filtrat kultur jenis Mikromonospora, yang merupakan campuran dari tiga antibiotik spektrum luas gentamisin C1,C1a dan C2. Secara klinis gentamisin sangat berarti terutama karena peranannya terhadap mikroba Gram-negatif penyebab peradangan tersebut.10

2.1.2.5 Kuinolon

Kuinolon memiliki atom flour pada cincin kuinolon (karena itu dinamakan juga flourokuinolon). Golongan kuinolon secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kuinolon dan flourokuinolon. Kelompok kuinolon tidak mempunyai manfaat klinik untuk pengobatan peradangan sistematik karena kadarnya dalam darah terlalu rendah, daya antibakterinya lebih lemah, dan resistensi cepat timbul. Indikasinya terbatas sebagai antiseptik saluran kemih. Sedangkan kelompok flourokuinolon memiliki atom flour pada posisi 6 dalam struktur molekulnya. Daya antibiotik flourokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kelompok kuinolon lama. Kelompok obat ini diserap secara baik pada pemberian oral, dan derivatnya tersedia juga dalam bentuk parenteral yang digunakan untuk penanggulangan peradangan berat, khususnya yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif, sedangkan terhadap bakteri Gram-positif daya bakterinya relatif lemah. Yang termasuk golongan ini adalah siprofloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan sebagainya.17

2.1.2.6 Metronidazole

(24)

oraldiindikasikan untuk peradangan orofasial akut yang serius dan pada penatalaksanaan periodontitis agresif.11

2.1.3 Indikasi Penggunaan Antibiotik di bidang kedokteran gigi

Peradangan akut dan kronis pada pulpamerupakan penyebab sakit gigi paling banyak. Namun kebanyakan kasus peradangan lebih memerlukan perawatankonservatif daripada pemberian antibiotik. Selulitis fasial baik yang disertai disfagia ataupun tidak, harus diberikan antibiotik sesegera mungkin karena jika tidak diberikan, peradangan dapat meluas melalui limfe dan sirkulasi darah. Beberapa lesi oral terlokalisir yang diindikasikan pemberian antibiotik yaitu abses periodontal, gingivitis ulseratif nekrose akut, perikoronitis dan osteomielitis.11,19Selain itu, antibiotik juga digunakan sebagai profilaksis.14

Umumnya, antibiotik digunakan dikedokteran gigi untuk dua tujuan yaitu sebagai profilaksis antibiotik dan sebagai pengobatan kasus peradangan.8

1. Sebagai pengobatan atau terapi antibiotik

Pemberian antibiotik tidak terbatas pada kasus peradangan odontogenik saja, melainkan juga pada kasus non-odontogenik. Untuk kasus peradangan odontogenik sendiri, tidak ada kriteria tertentu dalam pemberian antibiotik. Pengobatan diberikan dalam beberapa situasi peradangan odontogenik akut yang berasal dari pulpa misalnya sebagai pendukung dalam perawatan saluran akar, gingivitis nekrotis ulseratif akut, abses periapikal, periodontitis agresif, abses periodontal, dan osteomyelitis.8,11 Pemberian antibiotik tidak disarankan pada kasus gingivitis.8 Perluasan inflamasi cepat dan berat sebaiknya dirawat dengan pemberian antibiotik, sementara inflamasi yang ringan dan terlokalisir dimana drainase dapat dilakukan, maka pemberian antibiotik tidak perlu.14

(25)

berasal dari pulpa atau periapikal, dimana seharusnya lebih agresif karena lebih cenderung meluas ke permukaan wajah. Terapi antibiotik untuk kasus abses periodontal diberikan dalam dosis tinggi dan durasi yang singkat. Perawatan osteomyelitis yaitu berupa terapi antibiotik dan pembedahan. Dikarenakan keanekaragaman bakteri penyebabnya, pembuatan kultur dan tes sensitivitas sesegera mungkin menjadi penting untuk mendapatkan terapi antibiotik yang paling tepat.11

Antibiotik turunan β-laktam dapat dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan, asalkan tidak ada alergi. Namun, hanya sedikit obat dari kelompok ini yang dapat diresepkan. Penisilin dan amoksisilin dapat menjadi pilihan pertama. Amoksisilin-klavulanat lebih disukai, karena spectrum kerja yang luas, sifat farmakokinetik, toleransi, dan dosis yang khas. Klindamisin juga menjadi obat pilihan karena penyerapannya yang baik, kemungkinan bakteri menjadi resistensi rendah, dan konsentrasi antibiotik yang dicapai dalam tulang lebih tinggi.8

Peradangan non-odontogenik yang termasuk peradangan spesifik dari rongga mulut (TBC, sifilis, lepra), dan peradangan nonspesifik membran mukosa, otot dan wajah, kelenjar ludah dan tulang. Proses ini membutuhkan perawatan yang panjang, dan obat yang digunakan biasanya termasuk klindamisin dan flurokuinolon (seperti siprofloksasin, nonfloksasin, dan moksifloksasin).8

2. Sebagai profilaksis antibiotik

(26)

yang menggunakan sendi buatan kurang dari dua tahun disertai defisiensi imun, maka pasien tersebut berisiko tinggi terhadap prosedur invasif dalam rongga mulut sehingga diperlukan pemberian profilaksis antibiotik.8

Profilaksis peradangan lokal digunakan untuk mencegah proliferasi dan penyebaran bakteri di dalam dan dari luka operasi itu sendiri. Penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien sehat hanya dianjurkan dalam kasus pencabutan gigi, impaksi, bedah periapikal, menyambung tulang dan operasi untuk tumor jinak. Pada pasien dengan faktor risiko berupa peradangan lokal atau sistematik termasuk pasien onkologi, pasien dengan kekebalan tubuh rendah, pasien dengan gangguan metabolik seperti diabetes, dan pasien yang telah menjalani splenektomi antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum melakukan prosedur invasif.8

Namun, profilaksis antibiotik tidak direkomendasikan pada prosedur dental atau keadaan berikut yaitu anestesi tropikal pada jaringan yang tidak meradang, pengambilan radiografi gigi, penggunaan gigi tiruan lepasan atau alat ortodonti, penyesuaian alat ortodonti, penempatan braket ortodonti, dan pencabutan gigidesidui serta perdarahan karena trauma dibibir dan mukosa.20

1.1.6 Efek samping

1. Reaksi Alergi

(27)

2. Reaksi toksik

Antibiotik pada umumnya bersifat toksisitas selektif, tetapi sifat ini relatif. Penisilin merupakan golongan antibiotik yang mungkin dianggap paling tidak toksik sampai saat ini. Dalam menimbulkan efek toksik, masing-masing antibiotik dapat menyerang organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes. Beberapa contoh reaksi toksik penggunaan antibiotik seperti pada golongan aminoglikosida pada umumnya bersifat toksik terutama terhadap nervus vestibulokoklear (N.VIII) golongan tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Dalam dosis besar, obat ini bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pielonefritis dan pada wanita hamil.9

3. Perubahan biologik dan metabolik

Pada tubuh hospes, baik yang sehat maupun yang meradang, terdapat populasi mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi mikroflora tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat patogen. Penggunaan antibiotik, terutama spektrum luas, dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora, sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen.9 Pada beberapa keadaan, perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi, yaitu suatu peradangan baru yang disebabkan oleh ploriferasi mikroba barbeda dari penyebab peradangan primer yang terjadi akibat terapi peradangan primer dengan suatu antibiotik.9,14 Mikroba penyebab superinfeksi biasanya jenis mikroba yang menjadi dominan pertumbuhanya akibat penggunaan antibiotik terutama spektrum luas, misalnya penggunaan tetrasiklin dapat menyebabkan kandidiasis.9

(28)

2.2 Alergi antibiotik

Ada dua jenis reaksi obat yang merugikan, yaitu reaksi yang dapat diprediksi dan reaksi yang tidak dapat diprediksi. Reaksi yang dapat diprediksi adalah over dosis dan efek samping dan reaksi yang tidak dapat diprediksi adalah alergi. Antibiotik adalah salah satu obat yang paling sering menyebabkan alergi baik dalam kasus orang dewasa maupun anak-anak. Diantara semua jenis antibiotik, antibiotik beta laktam (penisilin dan sefalosofrin) adalah penyebab alergi yang paling sering terjadi. Selain penisilin, antibiotik sulfonamid juga dapat menyebabkan alergi yaitu sindrom Steven Johnson atau nekrolisis epidermal toksik.21

Reaksi yang paling umum paling terjadi pada alergi antibiotik adalah erupsi kulit makulopapular, urtikaria, dan pruritus. Beberapa antibiotik juga dapat mengenai organ selain kulit. Contohnya, kombinasi dari amoksisilin dan asam klavulanik dapat menyebabkan luka pada hati. Reaksi yang parah seperti anafilaksis juga dapat terjadi.6Organ dalam yang seringkali terlibat pada alergi antibiotik adalah hati, ginjal, serta paru-paru.1

Tabel 1. Klasifikasi alergi obat antibiotik22 Tipe A (farmakologi

85-90%)

1. Efek samping 2. Interaksi obat 3. Lain-lain

Tipe B (hipersensitifitas) Mekanisme nonspesifik 1. Enzim yang rusak atau tidak

2. Ketidakseimbangan sitokin

3. Ketidakseimbangan mediasi inflamasi

(29)

Reaksi imun spesifik (alergi)

Tipe 1: Ig-E Tipe 2: Ig-G

Tipe 3: desposisi imun kompleks

Tipe 4: sel termediasi

2.2.1 Patofisiologi alergi

Pasien yang mengalami alergi antibiotik memiliki sel limfosit T yang teraktivasi dalam sirkulasinya. Sel limfosit T yang spesifik terstimulasi dengan konsep p-i (pharmacological interaction with immune receptors) menghasilkan interleukin 5 (IL-5) dan interferon gamma (IFN-g). Interleukin 5 merupakan faktor kunci dalam pengaturan pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi eosinofil. Sementara itu IFN-g memiliki peran dalam up regulation major histocompatibility complex (MHC) kelasII pada keratinosit. Aktivasi MHC kelas II tersebut selanjutnya akan mempresentasikan obat ke sel T CD4+.1

Konsep p-i menjelaskan bahwa obat memiliki kesesuaianterhadap protein atau enzim tertentu sehingga mempengaruhikerjanya. Beberapa jenis obat dapat langsung berikatan dengan reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan selT akan mengaktifkan respon imun. Oleh karena itu terkadangreaksi yang timbul tidak mengikuti kaidah respon imun yangada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan pertama tanpamemerlukan proses sensitisasi sebelumnya.Penjelasan lain adalah pada reaksi eksantema makulopapular,reaksi yang berperan didominasi oleh aktivasi selT helper 2 (Th2) (reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang terkaitdengan sekresi IL-4, IL-5,

serta IL-13. Selain itu juga terdapathubungan dengan reaksi alergi tipe I, yaitu sekresi IL-4 danIL-13 akan meningkatkan produksi IgE.1

(30)

adanya demam, edema pada wajah,limfadenopati, monositosis, mononukleosis, serta hepatitisyang konsisten dengan gambaran infeksi virus. PenelitianPicard et al memperlihatkan bahwa sebesar 76% pasienalergi antibiotik mengalami reaktivasi terhadap EBV, HHV-6, dan HHV-7. Limfosit T CD8 akan meningkat jumlahnya di dalam darahserta jaringan yang terlibat seperti kulit, hati, maupun paru.Selain itu limfosit T CD8 meningkatkan sekresi sitokin yaituTNF-a, IL-2, dan IFN-g. Tingginya produksi sitokin tersebutterkait dengan gangguan organ dalam yang lebih berat.1

Peningkatan kadar berbagai mediator inflamasi tersebut bertahan selama kurang lebih 3 bulan. Hal tersebut mungkinmenjelaskan memanjangnya periode gejala klinis yang dialamipasien alergi antibiotik meskipun obat pencetus telah dihentikan. Keterlibatan paru serta hipereosinofilia yang terjadi dikaitkandengan peningkatan transkripsi IL-17. Peningkatan aktivitastranskripsi IL-17 tersebut sedikit berbeda dengan penelitilain yang memperlihatkan bahwa IL-5 lebih berperan dalamterjadinya hipereosinofilia.1

2.2.2 Tipe hipersensitivitas alergi antibiotik

Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan alergi obat.Menurut waktuinterval timbulnya reaksi, alergi obat terdiri dari reaksi yang timbul segera, dipercepat dan tertunda. Reaksi yang timbul segera (IgE-mediated)terjadi hingga 1 jam setelah terpapar alergen. Reaksi tidak langsung atau yang dipercepatberlangsung selama 1-72 jam dan reaksi yang tertunda lebih dari 72jam. Reaksi yang timbul segera contohnya adalah anafilaksis,urtikaria, angioedema dan bronkospasme. Reaksi yang dipercepat ataupun reaksi yang tertunda contoh manifestasinya adalahserum sickness,nefritis interstitial, anemia hemolitik, morbiliformisletusan dan sindrom Stevens Johnson.23

2.2.2.1 Tipe 1 (Reaksi Anafilaksis)

(31)

sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulkan syok.24

Pada kontak pertama, alergen diinternalisasi oleh sel B yang hadir bersama sel TH2 (T helper 2). Sel B kemudian berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang melepaskan imunoglobulin E (IgE). IgE mengikat sel mast dan basofil. Pada kontak berikutnya, antigen telah mengikat sel mast IgE. Karena rilis cepat sebagian besar vasoaktif mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien dan platelet activating factor (PAF), reaksi langsung (anafilaksis) terjadi dalam hitungan detik

atau menit yang dapat disebut juga reaksi hipersensitivitas langsung. Efek vasodilatasi dari reaksi jenis ini dapat menimbulkan syok anafilaksis.25

2.2.2.2 Tipe II (Reaksi Autotoksis)

Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.24Pada reaksi tipe II, sistem kekebalan tubuh terutama menyerang sel dengan sifat antigenik. Hal ini dapat disebabkan oleh transfusi eritrosit dari golongan darah yang salah atau pengikatan hapten (misalnya, obat-obatan) untuk sel endogen. Pengikatan hapten ke trombosit juga dapat menjadi penyebab, misalnya mengakibatkan trombositopenia.25

2.2.2.3 Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

(32)

Reaksi ini disebabkan oleh antigen antibodi kompleks. Jika antigen antibodi yang tersedia berlebih, kompleks antigen-antibodi akan larut dan beredar di darah untuk waktu yang lama dan menetap terutama di kapiler, sehingga subjek dinding kapilari diserang oleh sistem komplemen. Hal ini menyebabkan perkembangan serum sickness terutama gejala nyeri sendi dan demam.25

2.2.2.4Tipe IV (Reaksi Alergi Tipe Lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.24

Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut . Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksiimun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgE-mediated).Perlu diingat bahwa dapat saja terjadialergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.24

Tabel 2. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas obat24

Reaksi imun Mekanisme Klinis Waktu reaksi Tipe I

(diperantarai Ig-E)

Kompleks Ig-E obat berikatan dengan sel mast melepaskan

(33)

mediator lain

kompleks imun )

Deposit jaringan

1-3 minggu setelah paparan

2-7 hari setelah paparan

2.2.3 Diagnosa alergi antibiotik

Setiap obat yang diberikan harus dipertimbangkan secara bijaksana maka itu diperlukan pemeriksaan untuk mendiagnosa apakah antibiotik dapat diberikan pada pasien. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi anamnesa atau menanyakan riwayat klinis dan tes kulit pada pasien.26

2.2.3.1 Riwayat klinis

(34)

bersamaan dengan penyakit dan obat-obatan, dan hasilnya harus segera didapatkan, didokumentasikan, dan diberikan kepada spesialis imunologis atau alergi.26

2.2.3.2 Tes diagnostik

Tes diagnostik bertujuan untuk mendeteksi atau memperkirakan kemungkinan alergi obat. Salah satunya adalah tes kulit. Tesi kulit merupakan tes untuk mengetahui adanya Ig-E spesifik terhadap obat tertentu. Tes kulit dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Apabila ingin melakukan tes kulit pasien harus dirujuk ke ahli alergi. Tes kulit dilakukan dengan pemberian penicilloyl polylysine dan beberapa determinan baik penisilin G diencerkan 10.000 U per mililiter atau campuran 10-2 M benzil penicilloate, benzil penilloate, dan benzil-n-propylamine. Tes kulit dengan bahan penuh dilakukan terlebih dahulu, dan jika tes ini negatif pada 15 menit, maka diikuti oleh pengujian intrakutan. Peningkatan diameter minimal 3 mm (dibandingkan dengan hasil negatif sebelumnya) kehadiran eritema merupakan tanda hasil yang positif. Kurang dari 20 persen pasien yang melaporkan riwayat alergi penisilin terdeteksi antibodi IgE-penisilin tertentu pada saat pengujian kulit. Hasil negatif menunjukkan bahwa reaksi sebelumnya tidak dimediasioleh IgE atau antibodi tidak hadir; baik kasus, penisilin dapat diberikan lagi denganrisiko minimal reaksi langsung.6

Gambar 1. Tes kulit yang dilakukan pada pasien sebelum diberikan antibiotik.1

2.2.4 Manifestasi klinis alergi antibiotik

(35)

dapat mengancam hidup.Manifestasi alergi antibiotik dapat terjadi begitu cepat (dalam beberapa menit setelah pemberian obat) atau lambat (beberapa hari setelah pemberian obat). Sekitar setengah dari semua reaksi alergi terjadi satu minggu setelah pemberian obat dan kebanyakan simptom hilang dalam tiga sampai lima hari setelah penghentian obat. Reaksi yang timbul dalam setengah jam diperkirakan lebih berbahaya, sementara itu reaksi yang timbul pada hari berikutnya biasanya relatif ringan.6

Berbagai manifestasi alergi antibiotik dapat terjadi, dipengaruhi oleh obat yang diberikan, frekuensi penggunaannya, dan jenis mekanisme imun yang terlibat. Reaksi alergi dapat mempengaruhi banyak sistem organ yaitu kulit, paru, liver, ginjal dan pembuluh darah. Manifestasinya mulai dari gatal lokal ringan, reaksi pada kulit ( urtikaria atau angioedema, erupsi eksemantosa, Sindrom Steven Johnson, Nekrolisis Epidermal Toksik) sampai syok anafilaktik fatal yang mengancam hidup.24

2.2.4.1 Urtikaria atau angioedema

Urtikaria adalah gangguan umum yang terjadi secara berulang seperti pruritus (gatal), edema kemerahan (bengkak), lesi yang pucat (bercak). Lesi memiliki berbagai ukuran dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, dan bersifat sementara, yang berlangsung selama kurang dari 48 jam [1-4].27

Sekitar 40% pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema (pembengkakan yang terjadi di bawah kulit). Dikatakan angioedema apabila dermis bagian dalam mengalami edema. Angioedema yang timbul biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu 1-2 jam tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu respon yang cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya.27

(36)

mudah dikelola dan berhubungan dengan prognosis yang baik, kronis, urtikaria berat sering dikaitkan dengan morbiditas yang signifikan dan kurangnya kualitas hidup. Urtikaria fisik juga cenderung lebih berat dan tahan lama, dan seringkali sulit untuk diobati. Angioedema memiliki evaluasi dan manajemen penatalaksanaan yang sama dengan urtikaria.27

Gambar 2. Urtikaria akibat penggunaan ampisilin26

(37)

1. Urtikaria akut

Penyebab paling umum dari urtikaria akut (dengan atau tanpa angioedema) adalah obat-obat, makanan, infeksi virus, infeksi parasit, racun serangga, dan alergen kontak, terutama hipersensitivitas lateks. Obat diketahui sering menyebabkan urtikaria ± angioedema meliputi antibiotik (terutama penisilin, dan sulfonamid)27

2. Urtikaria kronis

Urtikaria kronis lebih sering terjadi pada orang dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Secara umum, urtikaria kronis diklasifikasikan sebagai urtikaria autoimun kronis atau urtikaria idiopatik kronis. Pasien dengan urtikaria idiopatik kronis tidak memiliki autoimun. Dalam bentuk urtikaria, tampaknya ada aktivasi terus menerus dari sel mast, tetapi pemicu mekanisme sel mast tidak diketahui. Meskipun jarang, urtikaria kronis juga dapat merupakan manifestasi dari penyakit sistemik.27

2.2.4.2 Erupsi eksemantosa

Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksemantosa. Erupsi yang muncul dapat berbentuk mobiliformis atau makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ditanai dengan perubahan kulit dari merah terang ke warna cokelat kemerahan, yang disertai dengan adanya deskuamasi kulit.24

(38)

Gambar4.Erupsi eksemantosa akibat penggunaan obat golongan sefalosoprin.24

2.2.4.3 SSJ ( Sindrom Steven Johnson )

(39)

Gambar 5. Sindrom Steven Johnson (SSJ)26

2.2.4.4 NET ( Nekrolisis Epidermal Toksik )

NET adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lendir di orifisum genetalia eksterna dan mata. Umumnya TEN terjadi pada orang dewasa. TEN merupakan penyakit berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis.24

2.2.4.5 Syok Anafilaktik

Jenis reaksi ini biasanya sangat keras, sering terjadi tanpa peringatan dalam beberapa detik sampai menit setelah pemberian obat-obatan seperti vaksin, toksoid, globulin imun, antitoksins, tes tuberkulin kulit, antibiotik (seperti penisilin), serbuk sari atau ekstrak alergi lainnya, atau setelah disengat oleh serangga berbisa.24

Tanda-tanda atau gejalanya yaitu dapat berkembang dengan cepat dan dramatis: menimbulkan rasa takut, gatal-gatal, kemerahan dari wajah, gatal substernal, stridorous atau sesak nafas, sianosis, penurunan tekanan darah, dan kehilangan kesadaran. Kematian dapat terjadi segera apabila terjadi kesulitan penanganan pada tanda pertama, atau pasien mungkin pulih dari tanda-tanda dan gejala awal namun dalam 30-60 menit berikutnya terjadi urtikaria, angioedema, coriza akut, spasme bronkus, usus dan rahim kolik dan diare.28

(40)

2.3 Penatalaksanaan

Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat antibiotik adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh. Epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dilakukan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya diharuskan untuk memilih antara risiko alergi obat atau manfaat dari obat tersebut karena keduanya memiliki efek yang sama besar.24

Secara umum penatalaksanaan alergi obat antibiotik adalah dengan menghentikan pemberian obat tersebut, menjaga kondisi pasien dari kemungkinan terjadinya erupsi yang lebih parah, menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuh seperti infus misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Dan apabila terapi tidak mengalami kemajuan, dapat dilakukan transfusi darah.24

Setelah pemakaian antibiotik yang diduga menyebabkan alergi dihentikan, dapat diberikan antibiotik pengganti seperti pemberian antibiotik vankomisin atau fluorokuinolon pada pasien yang alergi terhadap penisilin atau pemberian antibiotik siprofloksasin pada pasien yang alergi terhadap antibiotik amoksisilin.24

2.3.1 Antihistamin

(41)

Tabel 3. Antihistamin yang diindikasi dan biasa digunakan dalam perawatan urtikaria27

Antihistamin Dosis dewasa

Generasi kedua antihistamin resepetor H1

Cetirizin 10-40 mg perhari

Desloratadin 5-20 mg perhari

Feksofenadin 120-480 mg perhari

Loratadin 10-40 g perhari

2.3.2 Kortikosteroid

Untuk beberapa pasien yang menderita urtikaria berat dan tidak berhasil menggunakan antihistamin, dapat menggunakan kortikosteroid oral seperti prednison dengan dosis 40 mg perhari selama 7 hari. Penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang harus dihindari karena akan timbul efek samping yang tidak baik bagi tubuh.27

Kortikosteroid juga diberikan pada reaksi alergi Sindrom SSJ atau NET yang ringan yaitu prednison dengan dosis 30-40mg/hari. Sedangkan pada SSJ atau NET yang berat digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6x5 mg/hari. Apabila kondisi mulai membaik dosis diturunkan secara cepat sebanyak 5 mg sehari lalu diganti dengan prednison dengan dosis 20 mg/ hari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 10mg. Total lama pengobatan SSJ atau NET kurang lebih adalah 10 hari.29

2.3.3 Desensitisasi

(42)

memerlukan waktu yang lama, mahal, mempunyai resiko terjadinyasyok anafilaktik, dan hanya dilakukan pada indikasi kuat.27

Desensitisasi harus dipertimbangkan pada pasien yang pernah mengalami reaksi yang diperantarai Ig-E terhadap penisilin dan memerlukan penisilin untuk terapi infeksi yang berat seperti endokarditis bakterial dan meningitis. Desensitisasi harus dikerjakan dengan pengawasan khusus dari seorang spesialis. Pemberian secara oral untuk desensitisasi lebih sering dilakukan karena hanya memiliki kemungkinan kecil untuk terjadi reaksi yang mengancam nyawa. Desensitisasi dapat dilakukan untuk pasien yang terkena reaksi alergi sulfonamid dan sefalosoprin.24

2.3.4 Penatalaksanaan syok anafilaktik

Apabila komplikasi syok anafilaktik terjadi segera setelah menerima obat maka tindakan yang perlu dilakukan adalah:

a. Baringkan pasien pada posisi horizontal dengan kaki dinaikkan

b. Lakukan penilaian A,B,C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu airway, breathing support, dan circulation support.

c. Berikan injeksi larutan adrenalin (epinefrin) 1:1000 dengan perlahan-lahan sebanyak 0,3-0,4 ml. Pemberian dapat diulangi sampai beberapa kali tiap 5 sampai 10 menit apabila tekanan darah sistolik belum mencapai 90mmHg.

d. Berikan injeksi hidrokortison suksinat 200mg untuk menekan reaksi alergi selanjutnya.

e. Berikan injeksi klorpeniramin maleat (piriton) 10-20 mg untuk mengurangi pelepasan histamin yang lebih banyak.

f. Berikan oksigen untuk memperbaiki jalan nafas akibat edema laring dan bronkospasme.

(43)

Gambar 6. Skema penatalaksanaan syok anafilaktik24

(44)

KERANGKA KONSEP

Pengetahuan antibiotik dan penatalaksanaan alergi antibiotik

• Antibiotik

- Definisi antibiotik - Klasifikasi antibiotik

- Indikasi penggunaan antibiotik di bidang kedokteran gigi

- Efek samping • Alergi antibiotik

- Patofisiologi alergi

- Tipe hipersensitivitas alergi antibiotik

- Diagnosa alergi antibiotik

- Manifestasi klinis alergi antibiotik • Penatalaksanaan

- Antihistamin - Kortikosteroid - Teknik Desensitisasi

(45)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan mahasiswa terhadap antibiotik danpenatalaksanaan alergi antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU Tahun 2015 secara objektif.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Mulut FKG USU yang bertempat di Jl. Alumni No.2 USU, Medan. Waktu penelitian berlangsung dari bulan Desember 2014 sampai dengan Maret 2015.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU Tahun 2015 periode November 2014 sampai Febuari 2015. Seluruh populasi dijadikan sampel (total sampling). Sehingga jumlah sampel keseluruhan sebanyak 42orang.

3.4 Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 4. Variabel dan Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional

1 Pengetahuan terhadap antibiotik

(46)

2.

a. Definisi antibiotik

b. Klasifikasiantibiotik

c. Indikasi antibiotik di kedokteran gigi.

d. Efek samping

Pengetahuan terhadap penatalaksanaan alergi antibiotik.

penggunaannya.

Zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme. Pembagian antibiotik berdasarkan strukstur kimianya yaitu (1) Antibiotik β-laktam yang terdiri atas golongan penisilin dan derivatnya, sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam; (2) Antibiotik makrolida dan ketolida; (3) Linkosamida; (4) Metronidazol; (5) Tetrasiklin; (6) Glisilsiklin; (7) Golongan kuinolon/fluoro-kuinolon; (8) Golongan aminoglikosida; (9) Vankomisin; (10) Steptogramin; (11) Oksasolidinon; (12) Sulfonamida; (13) Kloramfenikol.

Adalah penggunaan antibiotik dalam dunia kedokteran gigi adalah sebagai pengobatan atau terapi antibiotik dan sebagai profilaksis antibiotik, Adalah suatu dampak atau pengaruh yang tidak diinginkan dari antibiotik. Efek samping yang terjadi pada antibiotik meliputi reaksi alergi, reaksi toksik, dan perubahan biologik dan metabolik.

(47)

a. Alergi antibiotik

b. Patofisiologi alergi

c. Tipe hipersensitivitas

d.Diagnosa alergi antibiotik

e. Manifestasi klinis

Adalah reaksi imunologis berlebihan dalam tubuh yang timbul segera atau dalam rentan waktu tertentu setelah eksposisi atau kontak dengan antibiotik.

Adalah permulaan dan perjalanan proses alergi dalam tubuh yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada seseorang.

Adalah klasifikasi alergi obat menurut waktu interval terjadi yaitu tipe satu ( anafilaksis ), tipe dua ( autotoksik ), tipe 3 ( reaksi imun kompleks ), dan tipe empat ( reaksi alergi tipe lambat ).

Adalah pemeriksaan untuk mendiagnosa apakah antibiotik dapat diberikan kepada pasien karena setiap pemberian obat harus diberikan secara bijaksana. Tes diagnosa yang biasanya dilakukan adalah anamnesa atau menanyakan riwayat klinis pasien dan melakukan tes kulit pada pasien.

Adalah gejala klinis yang tampak pada tubuh dan disebabkan oleh suatu penyakit. Manifestasi klinis yang biasanya terjadi pada antibiotik adalah urtikaria atau angioedema, erupsi eksemantosa, SSJ, NET, dan syok anafilaktik.

1. Urtikaria dan angioedema

(48)

f. Penatalaksanaan

(bercak).Sementara angioedema terjadi disertai dengan urtikaria dengan tambahan mengalami pembengkakan dibawah kulit.

2. Erupsi eksemantosa

Adalah berbentuk mobiliformis atau makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus.

3. SSJ (sindrom Steven Johnson)

Adalah suatu sindroma (kumpulan gejala) yang mengenai kulit, selaput sendiri di orifisum dan mata dengan keadaan umum yang beravariasi dari ringan sampai berat dapat menyebabkan kematian.

4. NET (nekrolisis epidermal toksik)

Adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lender di orifisum genetalia eksterna dan mata

(49)

Adalah obat andalan untuk reaksi alergi urtikaria. Antihistamin sangat baik dalam mengobati urtikaria akut maupun kronis. Antihistamin yang sering digunakan adalah seperti feksofenadin, desloratadin, loratadin, cetirizin.

2. Kortikosteroid

Untuk beberapa pasien yang menderita urtikaria berat dan tidak berhasil menggunakan antihistamin, dapat menggunakan kortikosteroid oral seperti prednison dengan dosis 40 mg perhari selama 7 hari. Namun penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang harus dihindari karena akan timbul efek samping yang tidak baik bagi tubuh. 3. Teknik Desensitisasi

Adalah terapi yang dilakukan dengan cara memberikan alergen sedikit demi sedikit untuk membangkitkan pembentukan Ig-G yang disebut blockingantibody.

4. Penatalaksanaan syok anafilaktik

a. Baringkan pasien pada posisi horizontal dengan kaki dinaikkan

b. Lakukan penilaian A,B,C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu airway, breathing support, dan circulation support.

(50)

tekanan darah sistolik belum mencapai 90mmHg.

d. Berikan injeksi hidrokortison suksinat 200mg untuk menekan reaksi alergi selanjutnya.

e. Berikan injeksi klorpeniramin maleat (piriton) 10-20 mg untuk mengurangi pelepasan histamin yang lebih banyak.

f. Berikan oksigen untuk memperbaiki jalan nafas akibat edema laring dan bronkospasme. g. Minta bantuan medis atau ambulans.

Pertolongan medis harus diperoleh dan pasien harus dipindahkan ke rumah sakit secepat mungkin untuk observasi atau perawatan lebih lanjut jika diperlukan.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara penyebaran kuesioner, dimana kuesioner diberikan secara langsung kepada responden dan diisi langsung oleh responden. Kuesioner yang diberikan meliputi pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan tentang antibiotik danpenatalaksanaan alergi antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh akan diolah secara komputerisasi dan dihitung dalam bentuk persentase.

3.7 Aspek Pengukuran

(51)

maka nilainya 0. Sehingga nilai tertinggi dari 18 pertanyaan yang diberikan adalah 18. Selanjutnya nilai tersebut dikategorikan atas pengetahuan baik, cukup, dan kurang. Kategori baik apabila nilai jawaban responden ≥80% dari total pertanyaan, kategori cukup apabila nilai jawaban responden 60%-79% dari total pertanyaan, dan kategori kurang jika nilai jawaban responden <60% dari total pertanyaan.

Tabel 5. Kategori Nilai Pengetahuan Antibiotik

Alat Ukur Hasil Ukur Kategori Penilaian Skor Kuesioner

(18 pertanyaan)

Jawaban salah = 0 Jawaban benar = 1

Baik: ≥80% dari total pertanyaan 14-18 Cukup: 60%-79% dari total pertanyaan

10-13 Kurang: <60% dari total pertanyaan

<10

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik mengenaipenatalaksanaan alergi antibiotik diukur melalui 28 pertanyaan. Pertanyaan dengan jawaban benar, nilainya 1; jika jawabannya salah maka nilainya 0. Sehingga nilai tertinggi dari 28 pertanyaan yang diberikan adalah 28. Selanjutnya nilai tersebut dikategorikan atas pengetahuan baik, cukup, dan kurang. Kategori baik apabila nilai jawaban responden ≥80% dari total pertanyaam, kategori cukup apabila nilai jawaban responden 60%-79% dari total pertanyaan, dan kategori kurang jika nilai jawaban responden <60% dari total pertanyaan.

Tabel 6. Kategori Nilai PengetahuanPenatalaksanaan Alergi Antibiotik

Alat Ukur Hasil Ukur Kategori penilaian Skor Kuesioner (28 Kurang: <60% dari total

pertanyaan

(52)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Responden

Dari 42 responden pada penelitian ini, sejumlah besar responden adalah wanita yaitu sebanyak 76%,sedangkan pria sebanyak 24%. Dalam kategori umur sebanyak 80,9% responden berumur 21 dan 22 tahun, 9,5% responden berumur 24 dan 25 tahun, 7,1% responden berumur 23 dan 24 tahun dan 2,3% responden berumur 25 dan 26 tahun.(Tabel 7).

Tabel 7. Persentase distribusi karakteristik responden (n=42)

Karakteristik responden n %

Jenis kelamin

4.2 Pengetahuan Responden tentang Antibiotik

(53)

kategori kurang (<60%) dalam hal jenis antibiotik golongan β-laktam, antibiotik

pilihan dari golongan β-laktam, antibiotik linkomisin, penisilin sebagai penyebab terbanyak reaksi alergi, antibiotik kuinolon, antibiotik aminoglikosida, antibiotik metronidazol, dan antibiotik makrolida (Tabel 8).

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Antibiotik (n=42)

Pengetahuan responden

Tahu Tidak Tahu

n % n %

Keadaan patologis dengan indikasi antibiotik 40 95,2 2 4,8 Antibiotik profilaksis di kedokteran gigi 37 88 5 12 Definisi antibiotik profilaksis 37 88 5 12

Efek samping antibiotik 36 85,7 6 14,3

Keunggulan antibiotik sefalosporin 35 83,3 7 16,7

Definisi antibiotik 33 78,5 9 21,4

Bakteri pada antibiotik penisilin 32 76,1 10 23,8 Antibiotik yang digunakan di kedokteran gigi 31 73,8 11 26,2 Kontraindikasi antibiotik profilaksis 31 73,8 11 26,2 Reaksi alergi akibat penisilin 26 61,9 16 38,1

Jenis antibiotik golongan β-laktam 23 54,8 19 45,2

Antibiotik pilihan dari golongan β-laktam 23 54,8 19 45,2

Antibiotik linkomisin 22 52,4 20 47,6

Penisilin sebagai penyebab terbanyak reaksi alergi

22 52,4 20 47,6

Antibiotik kuinolon 18 42,9 24 57,1

Antibiotik aminoglikosida 17 40,4 25 59,6

Antibiotik metronidazol 12 28,6 30 71,4

Antibiotik makrolida 7 16,7 35 83,3

(54)

21,4% responden termasuk kategori berpengetahuan kurang dan 19% responden termasuk kategori berpengetahuan baik (Tabel 9).

Tabel 9. Kategori Pengetahuan Responden tentang Antibiotik (n=42)

Kategori n %

4.3 Pengetahuan Responden tentangPenatalaksanaan Alergi Antibiotik

Pengetahuan responden tentangpenatalaksanaan alergi antibiotik termasuk kategori baik (≥80%) dalam hal tahap pertama dalam penatalaksanaan syok anafilaktik, antihistamin untuk mengatasi alergi antibiotik, kortikosteroid untuk mengatasi alergi antibiotik, jenis kortikosteroid untuk mengatasi reaksi alergi antibiotik, dan tahap pertama dalam penatalaksanaan reaksi alergi antibiotik. Pengetahuan responden tentangpenatalaksanaan alergi antibiotik termasuk kategori cukup (60%-79%) dalam hal tipe hipersensitivitas reaksi alergi antibiotik, SSJ/NET sebagai reaksi alergi antibiotik yang berat, ciri reaksi syok anafilaktik, kekurangan teknik desensitisasi untuk reaksi alergi antibiotik, sel limfosit T dalam patofisiologi alergi antibiotik, tes diagnostik alergi antibiotik, manifestasi klinis alergi antibiotik, syok anafilaktik sebagai reaksi alergi antibiotik yang berbahaya dan terjadi secara tiba-tiba, jenis antihistamin untuk reaksi alergi antibiotik, reaksi alergi pada antibiotik, reaksi alergi pada hipersensitivitas tipe I, dan tahap kedua dalam penatalaksanaan syok anafilaktik.

(55)

penatalaksanaan alergi antibiotik, organ tubuh yang berperan dalam reaksi alergi antibiotik, ciri reaksi alergi SSJ dan ciri reaksi alergi NET (Tabel 10).

Tabel 10. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Penatalaksanaan Alergi Antibiotik (n=42)

Pengetahuan Responden

Tahu Tidak Tahu

n % n %

Tahap pertama dalam penatalaksanaan syok anafilaktik

40 95,2 2 4,8

Antihistamin untuk mengatasi alergi antibiotik 36 85,7 6 23,8 Kortikosteroid untuk mengatasi alergi

antibiotik

36 85,7 6 23,8

Jenis kortikosteroid untuk mengatasi reaksi alergi antibiotik

36 85,7 6 23,8

Tahap pertama dalam penatalaksanaan reaksi alergi antibiotik

35 83,3 7 16,7

Tipe hipersensitivitas reaksi alergi antibiotik 33 78,6 9 21,4 SSJ/NET sebagai reaksi alergi antibiotik yang

berat

33 78,6 9 21,4

Ciri reaksi syok anafilaktik 33 78,6 9 21,4 Kekurangan teknik desensitisasi untuk reaksi

alergi antibiotik

33 78,6 9 21,4

Sel limfosit T dalam patofisiologi alergi antibiotic

31 73,8 11 26,2 Tes diagnostik alergi antibiotik 30 71,4 12 28,6 Manifestasi klinis alergi antibiotik 29 69 13 31 Syok anafilaktik sebagai reaksi alergi

antibiotik yang berbahaya dan terjadi secara tiba-tiba

29 69 13 31

Jenis antihistamin untuk reaksi alergi antibiotik 29 69 13 31 Reaksi alergi pada antibiotik 28 66,7 14 33,3 Reaksi alergi pada hipersensitivitas tipe I 28 66,7 14 33,3 Tahap kedua dalam penatalaksanaan syok

anafilaktik

28 66,7 14 33,3 Reaksi alergi urtikaria yang disertai

angioedema

(56)

Pengetahuan responden

Tahu Tidak tahu

n % n %

Ciri reaksi alergi urtikaria 24 57,1 18 42,8 Definisi teknik desensitisasi untuk reaksi alergi

antibiotik

23 54,8 19 45,2 Ciri reaksi alergi erupsi eksemantosa 21 50 21 50 Antibodi hipersensitivitas tipe I 20 47,6 22 52,4 Tahap lanjut dalam penatalaksanaan syok

anafilaktik

19 45,2 23 54,8 Eruspsi eksemantosa sebagai salah satu reaksi

alergi antibiotik

16 38,1 26 61,9 Hal penting dalam penatalaksanaan syok

anafilaktik

16 38,1 26 61,9 Organ tubuh yang berperan dalam reaksi alergi

antibiotic

14 33,3 28 66,7 Ciri reaksi alergi SSJ (sindrom Steven

Johnson)

14 33,3 28 66,7 Ciri reaksi alergi NET (nekrolisis epidermal

toksis)

14 33,3 28 66,7

Hasil penelitian tentang pengetahuanpenatalaksanaan alergi antibiotik didapat persentase tertinggi pada kategori cukup yaitu 42,8%. Sebanyak 35,7% responden termasuk kategori baik dan 21,4% responden termasuk kategori kurang (Tabel 11).

Tabel 11. Kategori Pengetahuan Responden tentangPenatalaksanaan Alergi Antibiotik (n=42)

(57)

BAB 5

PEMBAHASAN

Hasil pengetahuan responden yang baik dalam hal keadaan patologis rongga mulut dengan indikasi antibiotik, antibiotik profilaksis di kedokteran, definisi antibiotik profilaksis, efek samping antibiotik, dan keunggulan antibiotik sefalosoprin (Tabel 7). Pengetahuan tentang keadaan patologis rongga mulut dengan indikasi antibiotik menunjukkan 95,2% responden mengetahui bahwa abses periodontal terutama disertai keadaan sistemik merupakan contoh kasus diindikasi antibiotik. Hal ini mungkin disebabkan karena pengetahuan mahasiswa yang baik tentang abses periodontal dan antibiotik sebagai obatnya. Pasien yang datang ke klinik Bedah Mulut dengan abses periodontal cukup banyak dan diindikasi antibiotik sebelum dilakukan perawatan. Sebanyak 88% responden mengetahui definisi dan penggunaan profilaksis dengan baik yaitu selain untuk pengobatan dan terapi, antibiotik juga digunakan untuk profilaksis. Termasuk kategori baik karena sebagai mahasiswa kepaniteraan klinik, responden sudah harus mengetahui tujuan utama pemberian antibiotik kepada pasien. Namun masih terdapat responden yang mengetahui antibiotik sebagai penatalaksanaan peradangan saja.Pengetahuan responden mengenai efek samping antibiotik yaitu 85,7%. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak jarang antibiotik menimbulkan efek samping yaitu reaksi alergi seperti urtikaria atau angioedema, erupsi eksemantosa, SSJ, NET, dan syok anafilaktik. Hasil penelitian juga menunjukkan 83,3% responden mengetahui bahwa sefalosporin lebih unggul dibandingkan penisilin karena sefalosporin memiliki aktivitas terhadap bakteri penghasil penisilinase. Karena itu, penggunaan penisilin yang menyebabkan alergi dapat digantikan dengan sefalosporin karena sekitar 90% dari pengguna penisilin yang terkena alergi dapat menggunakan sefalosporin tanpa terjadi reaksi alergi.31

(58)

responden mengetahui bahwa penisilin efektif menangani bakteri gram positif. Namun tidak efektif jika cincin β-laktamnya di pecah oleh β-laktamase.13 Sebanyak 74% responden mengetahui bahwa antibiotik dari golongan β-laktam merupakan antibiotik yang paling sering digunakan didalam kedokteran gigi. Sepertiamoksisilin, amoksisilin-asam klavulanat, ampisilin, sefadroksil, sefaleksin, sefazolin, dan penisilin.11Pengetahuan responden tentang definisi antibiotik, keefektifan penisilin

terhadap bakteri gram positif, dan antibiotik golongan β-laktam terbilang cukup. Hal ini mungkin disebabkan karena responden jarang mengulangi tentang materi farmakologi khususnya tentang antibiotik. Sebanyak 74% responden mengetahui bahwa antibiotik profilaksis tidak dianjurkan pada pasien dengan kasus penggunaan gigi tiruan lepasan atau alat ortodonti. Selain itu antibiotik profilaksis juga tidak dianjurkan untuk pasien pada prosedur dental atau keadaan berikut yaitu anestesi topikal pada jaringan yang tidak meradang, pengambilan radiografi gigi, penyesuaian alat ortodonti, penempatan braket ortodonti, dan pencabutan gigi desidui serta perdarahan karena trauma dibibir dan mukosa.20Sebanyak 62% responden mengetahui bahwa reaksi alergi yang paling sering ditimbulkan oleh antibiotik penisilin adalah urtikaria dan angioedema. Reaksi alergi pada kulit merupakan reaksi alergi yang paling umum terjadi pada alergi obat32, dengan urtikaria sebagai salah satu jenis yang paling umum. Urtikaria terjadi hampir selalu disertai dengan angioedema yaitu sekitar 40%.6

Sementara pengetahuan responden tentang jenis-jenis antibiotik β-laktam dan

jenis antibiotik β-laktam yang paling sering digunakan termasuk kategori

kurang.Sebanyak 54,8% responden mengetahui bahwa jenis antibiotik yang termasuk

golongan β-laktam adalah karbapenem, sefalosporin dan penisilin G diikuti dengan monobaktam, dan karbasefem. Sebanyak 54,8% responden mengetahui jenis

(59)

Pengetahuan responden tentang antibiotik linkomisin, antibiotik kuinolon, antibiotik aminoglikosida, antibiotik metronidazol, antibiotik makrolida, secara umum termasuk dalam kategori kurang. Sebanyak 52,4% responden mengetahui bahwa antibiotik linkomisin digunakan untuk peradangan karena staphylokokus jika antibiotik lain tidak dapat digunakan. Sebanyak 43% responden mengetahui bahwa antibiotik kuinolon sangat baik untuk peradangan yang disebabkan oleh gram negatif. Sebanyak 40,4% responden mengetahui bahwa antibiotik aminoglikosida digunakan untuk peradangan yang disebabkan oleh mikroba gram negatif. Sebanyak 28,6% responden mengetahui bahwa antibiotik metronidazol digunakan untuk peradangan yang disebabkan oleh protozoa. Sebanyak 16,7% responden mengetahui bahwa antibiotik makrolida digunakan untuk peradangan yang disebabkan oleh mikroba gram negatif yang resisten terhadap penisilin dan tetrasiklin. Hal ini mungkin disebabkan karena mahasiswa kepaniteraan klinik jarang menggunakan antibiotik

selain dari antibiotik golongan β-laktam dan responden jarang mengulang pelajaran farmakologi. Farmakalogi sangat penting untuk dipahami oleh dokter gigi karena mempelajari tentang obat-obatan dan dampak baik dan buruk dari obat tersebut.7

(60)

Dari segi pengetahuan terhadappenatalaksanaan alergi antibiotik sebanyak 95,2% responden mengetahui bahwa tahap pertama dalam penatalaksanaan syok anafilaktik adalah dengan melakukan penilaian ABC yaitu airway, breathing, dan circulation.Pengetahuan responden termasuk kategori baik mungkin disebabkan

karena materi penatalaksanaan kegawatdaruratan telah dipelajari dalam mata kuliah kedokteran gigi. Syok anafilaktik sendiri merupakan reaksi alergi yang timbul mendadak dan memerlukan penatalaksanaan kegawatdaruratan.24Sebanyak 85,7% responden mengetahui bahwa antihistamin merupakan obat yang diberikan dalam upaya penatalaksanaan alergi antibiotik.Antihistamin merupakan obat andalan dan sangat baik untuk mengobati reaksi alergi urtikaria akut maupun kronis.27Sebanyak 85,7% responden mengetahui bahwa selain antihistamin, dalam upaya penatalaksanaan alergi antibiotik, kortikosteroid juga dapat diberikan terutama apabila antihistamin tidak bekerja dengan baik atau reaksi alergi yang ditimbulkan lebih berat, seperti SSJ atau NET.29Sebanyak 83,3% responden mengetahui bahwa hal yang pertama kali dilakukan setelah mengetahui pasien terkena reaksi alergi adalah dengan melakukan penghentian obat yang bersangkutan. Pengetahuan responden dalam upaya penatalaksanaan alergi termasuk kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa responden yaitu mahasiswa kepaniteraan klinik telah mengerti bagaimana penatalaksanaan alergi secara umum, dan obat yang harus diberikan.Penatalaksanaan alergi pada obat-obatan harus diketahui dan dilaksanakan oleh dokter gigi terutama apabila sewaktu-waktu terjadi kegawatdaruratan pada pasien di klinik.1

(61)

karena SSJ/NET masih termasuk reaksi alergi yang jarang terjadi dan belum pernah terjadi pada pasien klinik sebelumnya. Sebanyak 78,6% responden mengetahui bahwa ciri-ciri syok anafilaktik adalah seperti rasa takut, gatal-gatal, kemerahan dari wajah, gatal substernal, sesak nafas, sianosis, dan hilang kesadaran. Pengetahuan responden termasuk kategori cukup. Hal ini mungkin disebabkan karena responden masih cukup mengetahui tentang syok anafilaktik. Sebanyak 78,6% responden mengetahui bahwa teknik desensitisasi pada reaksi alergi antibiotik memiliki kekurangan yaitu memerlukan waktu yang lama, mahal dan memiliki resiko syok anafilaktik. Hal ini mungkin disebabkan karena responden memahami tentang teknik desensitisasi sebagai penatalaksanaan alergi antibiotik dengan cukup. Sebanyak 73,8% responden mengetahui bahwa dalam patofisiologi alergi antibiotik yang paling berperan adalah sel limfosit T yang menjadi aktif selama proses patofisiologi alergi antibiotik. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang patofisiologi alergi antibiotik masih termasuk kategori cukup. Sebanyak 71,4% responden mengetahui bahwa pemeriksaan atau tes diagnostik pada reaksi alergi antibiotik adalah anamnesa dan tes uji kulit. Tes uji kulit dilakukan oleh ahlinya atau orang yang bekerja dalam spesialis alergi. Karena itu mungkin jumlah responden yang mengetahui tentang tes diagnostik masih dalam kategori cukup.6

Gambar

Tabel
Tabel 1. Klasifikasi alergi obat antibiotik22
Tabel 2. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas obat24
Gambar 1. Tes kulit yang dilakukan pada pasien sebelum diberikan antibiotik.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tingginya mobilitas di kota-kota besar, seperti Jakarta dan keterbatasan waktu belajar di ruang kelas yang dimiliki oleh Mahasiswa maupun Pengajar menyebabkan Mahasiswa

[r]

Web yang berisi informasi mengenai pendakian gunung, pengarungan sungai, dan pemanjatan tebing, pengetahuan dasar berpetulang, lokasi outdoor yang ada di Indonesia beserta peta

4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadan Barang/Jasa Pemerintah, pasal 83 ayat 1 huruf h, yang berbunyi:. “K elompok

[r]

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran, Kelompok Kerja 1 Unit Layanan Pengadaan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menetapkan

​ Conclusion: ​ Obesity and prolonged shock were risk factors of dengue hemorrhagic fever death in children.. Improve education to parents about high risk of shock syndrome