• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengembangan Ecovillage Secara Berkelanjutan Di Das Citarum Hulu, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Pengembangan Ecovillage Secara Berkelanjutan Di Das Citarum Hulu, Jawa Barat"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN ECOVILLAGE SECARA BERKELANJUTAN DI DAS CITARUM HULU, JAWA BARAT

NITA NILAWATI WALLA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan Ecovillage secara Berkelanjutan di DAS Citarum Hulu, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

(4)

RINGKASAN

NITA NILAWATI WALLA. Strategi Pengembangan Ecovillage secara Berkelanjutan di DAS Citarum Hulu, Jawa Barat. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan HIKMAT RAMDAN.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang merupakan DAS terbesar di Jawa Barat telah mengalami degradasi berat di sepanjang daerah aliran sungainya. Fenomena seperti meluasnya lahan kritis dan erosi yang kemudian menyebabkan meningkatnya frekuensi banjir terjadi akibat kurang efektifnya pengelolaan DAS oleh multisektor. Pengembangan ecovillage sebagai salah satu upaya pendekatan dalam gerakan Citarum BESTARI yang dicanangkan oleh Gubernur Jawa Barat (2014-2018) diharapkan dapat berdampak pada kualitas DAS.

Penelitian ini membahas analisis keberlanjutan dan formulasi kebijakan pengembangan ecovillage yang dilakukan di 54 desa DAS Citarum Hulu sejak tahun 2014 sebagai perbaikan untuk meningkatkan kinerja program ecovillage di masa mendatang. Penelitian dimulai dengan menentukan tipologi desa (urban dan agraria). Pengetahuan mengenai tipologi desa ini penting sebagai salah satu rujukan penyusunan kebijakan. Keberlanjutan pengelolaan ecovillage di 54 desa DAS Citarum Hulu kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Rapid Appraisal Ecovillage (RapVil) yang merupakan pengembangan dari pendekatan Multidimensional Scaling (MDS). Hasil analisis keberlanjutan ecovillage menunjukkan indeks sebesar 57,69 (cukup berlanjut) untuk dimensi ekologi, 58,43 (cukup berlanjut) untuk dimensi ekonomi, dan 74,66 (berlanjut baik) untuk dimensi sosial. Analisis sensitivitas terhadap indeks keberlanjutan pengembangan ecovillage di lokasi penelitian menunjukkan terdapat 4 (empat) faktor pengungkit untuk dimensi ekologi, 3 (tiga) faktor pengungkit untuk dimensi ekonomi dan 4 (empat) faktor pengungkit untuk dimensi sosial.

Sebelas faktor pengungkit dari ketiga dimensi kemudian digunakan sebagai faktor-faktor yang paling penting dalam penyusunan strategi pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis dilakukan oleh tujuh orang pakar yang memahami serta terlibat langsung dalam pengembangan ecovillage. Analisis prospektif menghasilkan berbagai macam kemungkinan skenario strategi di masa yang akan datang, namun penelitian ini dibatasi terhadap 3 (tiga) skenario pengembangan yaitu pesimis, moderat dan optimis. Skenario moderat merupakan skenario strategi yang direkomendasikan dengan fokus pada peningkatan dukungan aparat, komitmen bersama dalam perbaikan lingkungan, kelembagaan, tindakan konservasi dan partisipasi masyarakat dalam program lingkungan. Kajian lebih lanjut mengenai ketiga dimensi dengan berbagai faktor kuncinya diperlukan untuk lebih menyempurnakan strategi pengembangan ecovillage secara berkelanjutan dalam rangka mewujudkan Citarum BESTARI.

(5)

SUMMARY

NITA NILAWATI WALLA. Ecovillage Sustainability Development Strategy in Upper Watershed of Citarum River, West Java Province. Supervised by CECEP KUSMANA and HIKMAT RAMDAN.

As the biggest watershed in West Java Province, Citarum’s watershed has been severely contaminated. The addition of critical lands and erosions along the watershed area has increased flood frequency throughout the year. This phenomenon is possibly happen due to the lack of watershed’s management by multisectors. Ecovillage development as one of approaches in Gerakan Citarum BESTARI which established by the Governor (2014-2018) is expected to raise the environmental quality of Citarum’s watershed.

This research conducted to analyze sustainability and to formulate regulations for ecovillage development in 54 villages along upper watershed of Citarum River since 2014 as future’s recommendation. Research started by determining each village’s typology (urban and agrarian) as one of main factors for regulations arrangement. Research continued by analyzing ecovillage development sustainability through Rapid Appraisal Ecovillage (RapVil) method, which is one of Multidimensional Scaling (MDS)’ approach. Result shows that ecovillage’s sustainability index is 57,69 (sustainable enough) for ecological dimension, 58,43 (sustainable enough) for economics dimension, and 74,66 (sustainably good) for social dimension. Sensitivity analysis for sustainability index shows 4 leverage factors for ecological dimension, 3 leverage factors for economics dimension and 4 leverage factors for social dimension.

As the continuation of MDS analysis, prospective analysis has done towards these 11 leverage factors from each dimension to determine future’s ecovillage development in upper Citarum’s watershed. The analysis done by 7 experts whose well-versed and directly involved in ecovillage development. Prospective analysis results on lots of future’s scenario possibilities in ecovillage development. This research only focused on 3 scenarios to be studied further, they are pessimistic, moderate and optimist scenario. Moderate scenario was recommended for this research, which focused on government’s support enhancement, togetherness commitment in environmental remediation, empowerment of eco-friendly institution, conservation of upper watershed area and increasing society’s involvement in any environmental programs. Further research about the 3-dimensions and its leverage factors needed to enhance ecovillage’s sustainable development in order to objectify Citarum BESTARI. Keywords : citarum watershed, ecovillage, prospective analysis, sustainability,

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

STRATEGI PENGEMBANGAN ECOVILLAGE SECARA

BERKELANJUTAN DI DAS CITARUM HULU, JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini ialah Strategi Pengembangan Ecovillage Secara Berkelanjutan di Das Citarum Hulu, Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S dan Bapak Dr. Ir. Hikmat Ramdan, M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc selaku penguji. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala BPLHD Provinsi Jawa Barat, kepala Bidang KSDA dan Mitigasi Bencana serta seluruh staf Sub Bidang KSDA yang telah membantu selama proses penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda tercinta, suami tersayang serta seluruh keluarga besar, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pengelolaannya 6

Pengaruh Kegiatan Manusia Terhadap Kualitas Air Sungai 10 Ecovillage (Desa Berbudaya Lingkungan) 11

Tipologi/Karakteristik Desa 14

Analisis Keberlanjutan 15

Analisis Prospektif 16

3 LOKASI PENELITIAN 18

Gambaran Umum Daerah Penelitian 18

Pengembangan Ecovillage di DAS Citarum Hulu 25

4 METODOLOGI PENELITIAN 40

Lokasi dan Waktu Penelitian 40

Tahapan Penelitian 40

Jenis, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data 42

Teknik Penarikan Sampel 42

Bahan dan Alat 43

Analisis Data 44

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 48

Hasil 48

Pembahasan 73

6 SIMPULAN DAN SARAN 77

Simpulan 77

Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 83

(12)

DAFTAR TABEL

1 Matriks pengaruh dan ketergantungan faktor dalam pengembangan

ecovillage di DAS Citarum Hulu 17

2 Analisis pengaruh antar faktor 17

3 Elevasi setiap Sub DAS di DAS Citarum bagian hulu 20 4 Kelas lereng setiap Sub DAS di DAS Citarum bagian hulu 20 5 Luasan Fungsi kawasan setiap sub DAS di DAS Citarum bagian hulu 21 6 Klasifikasi iklim Schmidt & Fergusson di DAS Citarum bagian hulu 23

7 Sebaran jumlah penduduk di Das Citarum Hulu 24

8 Daftar fasilitator dan pendamping lokal pengembangan ecovillage di

DAS Citarum hulu Tahun 2014 27

9 Hasil kajian pemetaan DAA kelompok ecovillage 30

10 Hasil analisa musim kelompok ecovillage 34

11 Bentuk dukungan dan hubungan program multi pihak 35

12 Hasil analisa 5 (lima) Modal 37

13 Jenis, sumber data, dan teknik pengumpulan data 43

14 Nilai indeks dan status keberlanjutan 46

15 Matriks pengaruh dan ketergantungan faktor dalam pengembangan

ecovillage di DAS Citarum Hulu 47

16 Pedoman penilaian dengan skor antara 0-3 47

17 Desa agraria (pertanian) dan desa urban (industri) di lokasi penelitian 51 18 Luas lahan kritis di Kabupaten dan Kota di DAS Citarum Hulu 55

19 Nilai stress dan R2 dari tiap dimensi 62

20 Selisih Nilai MDS dengan Montecarlo sebagai error disetiap Dimensi 63

21 Faktor pengungkit masing-masing dimensi 65

22 Nilai pengaruh dan ketergantungan setiap faktor 66 23 Nilai kekuatan global tertimbang untuk masing-masing faktor 67 24 Faktor-faktor penting hasil analisis prospektif 68 25 Kondisi (state) yang mungkin terjadi di masa mendatang pada

masing-masing faktor kunci 70

26 Kombinasi kondisi (state) antar faktor yang tidak mungkin terjadi pada

saat bersamaan 71

27 Pemetaan keadaan faktor-faktor penentu pengembangan ecovillage 72 28 Skenario strategi kebijakan pengembangan ecovillage di DAS Citarum

Hulu 73

29 Nilai indeks keberlanjutan sebelum dan sesudah ada pengembangan ecovillage pada tipologi desa industri 74 30 Nilai indeks keberlanjutan sebelum dan sesudah ada pengembangan

(13)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 5

2 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem 18

3 Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu 41

4 Skema Tahapan Analisis Tipologi Desa 44

5 Diagram layang nilai keberlanjutan setiap dimensi 46 6 Peta sebaran penduduk di 54 desa DAS Citarum Hulu 48 7 Peta tutupan lahan di 5 kecamatan DAS Citarum Hulu 49 8 Peta tipologi desa di 54 desa DAS Citarum Hulu 50

9 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi 53

10 Peta status keberlanjutan dimensi ekologi 54

11 Faktor pengungkit dimensi ekologi 54

12 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi 56

13 Peta status keberlanjutan dimensi ekonomi 57

14 Faktor pengungkit dimensi ekonomi 57

15 Indeks keberlanjutan dimensi sosial 58

16 Peta status keberlanjutan dimensi sosial 59

17 Faktor pengungkit dimensi sosial 60

18 Diagram layang indeks keberlanjutan pengembangan ecovillage

multidiemensi 63

19 Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada 66 20 Diagram layang indeks keberlanjutan sebelum dan sesudah

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk di 54

Desa DAS Citarum Hulu 83

2 Data mayoritas mata pencaharian penduduk di 54 desa DAS Citarum

Hulu 85

3 Peta tutupan lahan tahun 2005 di 5 kecamatan DAS Citarum Hulu 87 4 Atribut dan kriteria dimensi ekologi dalam analisis MDS 88 5 Atribut dan kriteria dimensi ekonomi dalam analisis MDS 89 6 Atribut dan kriteria dimensi sosial dalam analisis MDS 90 7 Hasil isian skor sesuai atribut pada dimensi Ekologi analisis MDS 91 8 Hasil isian skor sesuai atribut pada dimensi Ekonomi analisis MDS 93 9 Hasil isian skor sesuai atribut pada dimensi Sosial analisis MDS 95 10 hasil monte carlo dimensi ekologi pada analisis RapVil 97 11 hasil monte carlo dimensi ekonomi pada analisis RapVil 98 12 hasil monte carlo dimensi sosial pada analisis RapVil 99

13 Format Kuisionel analisis prospektif 100

14 Hasil isian skor oleh rensponden 1 pada analisis prospektif 101 15 Hasil isian skor oleh rensponden 2 pada analisis prospektif 102 16 Hasil isian skor oleh rensponden 3 pada analisis prospektif 103 17 Hasil isian skor oleh rensponden 4 pada analisis prospektif 104 18 Hasil isian skor oleh rensponden 3 pada analisis prospektif 105 19 Hasil isian skor oleh rensponden 3 pada analisis prospektif 106 20 Hasil isian skor oleh rensponden 3 pada analisis prospektif 107 21 Nilai rata-rata dan jumlah total isian skor dari 7 rensponden pada

analisis prospektif 108

(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat, dengan panjang 269 km dan memiliki luas 7061.77 km2. Sungai Citarum dan anak-anak sungainya menurut peruntukan air dan baku air di Jawa Barat (Surat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 39 Tahun 2000) adalah sebagai sumber air untuk irigasi/pertanian, air baku air minum, perikanan, air baku industri, pengendali banjir dan pembangkit listrik tenaga air. Berdasarkan hal tersebut, maka kuantitas dan kualitas air Sungai Citarum harus tetap terjaga. Tetapi sampai saat ini kondisi sumber daya alam dan lingkungan di Jawa Barat memperlihatkan adanya kecenderungan over eksploitasi. Bagian hulu DAS Citarum mengalami degradasi fungsi konservasi sumber daya air seperti luas lahan kritis mencapai 26022.47 ha, yang mengakibatkan run off aliran permukaan sebesar 3632.50 juta m3/tahun serta sedimentasi sebesar 7898.59 ton/ha (KLH, 2015). Hal ini merupakan dampak dari pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan. Misalnya tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di kawasan DAS Citarum yaitu pada angka 3% per tahun menyebabkan terjadinya peningkatan lahan kritis akibat perubahan tata guna lahan dan penggundulan lahan yang memicu bencana banjir dan kekeringan.

Kerusakan yang terjadi di bagian hulu Sungai Citarum didominasi oleh rendahnya kepedulian masyarakat dan pemerintah sekitar terhadap kelestarian alam. Adrionita (2011) meyebutkan bahwa perubahan tata guna lahan di DAS Citarum Hulu menunjukkan terjadinya penurunan luas hutan sebesar 41.7% dari tahun 1994 sampai dengan 2005. Penurunan luas hutan ini diperkirakan bertambah pada 2010-2025, tetapi wilayah pemukiman, praktik pertanian dan perkebunan diestimasikan bertambah secara signifikan. Di samping itu praktek budidaya hortikultura seperti tanaman kentang, daun bawang yang berada di hulu Sungai Citarum serta perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali mengarah pada kondisi yang kurang diinginkan, yaitu peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan produktivitas lahan, dan percepatan degradasi lahan (Dirjen RLPS 2009).

Penurunan kualitas air Sungai Citarum Hulu juga disebabkan oleh sumber-sumber pencemar yang berasal dari limbah domestik, air limbah yang berasal dari permukiman, pertanian, peternakan, dan industri (Wangsaatmaja 2004). Bukit dan Yusuf (2002) memperkirakan bahwa Sungai Citarum setiap harinya mendapatkan limbah organik dari pemukiman sekitar 77330 ton BOD, sedangkan menurut Marganingrum et al. 2013, Konsentrasi Zn di bagian hulu Wangisagara, Majalaya Kabupaten Bandung semakin meningkat ke bagian hilir Nanjung, Kabupten Bandung Barat. Adanya kecenderungan peningkatan konsentrasi seng dari hulu ke hilir, dimana Seng merupakan salah satu kontaminan yang bersifat konservatif atau tidak terurai dan Zn akan terakumulasi pada wilayah tersebut. Hal ini merupakan ancaman bagi Waduk Saguling sebagai infrastruktur sumberdaya air yang bersifat strategis nasional.

(16)

2

DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transport sedimen serta material terlarut lainnya atau non-point pollution (Marwah 2006).

Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan DAS merupakan alternatif dalam memahami dan mengusahakan terwujudnya pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam yang berkelanjutan (Asdak 2007). Pendekatan menyeluruh dan terpadu sangat diperlukan yakni pendekatan yang menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin berlangsungnya proses koordinasi antara lembaga atau instansi terkait, memandang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Alam 2007). Pendekatan baru yang telah dicanangkan oleh Gubernur Jawa Barat dalam penanganan dan penyelesaian permasalahan DAS Citarum dilakukan melalui Gerakan Citarum Bersih, Sehat, Lestari dan Indah (BESTARI) 2014-2018. Salah satu upaya pendekatan penyelesaian masalah DAS Citarum dalam gerakan Citarum BESTARI yaitu melalui pengembangan ecovillage (desa berbudaya lingkungan).

Pengembangan ecovillage merupakan suatu kegiatan berbasis masyarakat, dimana pengelolaan lingkungan dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat. Pengembangan ecovillage bertujuan untuk mewujudkan desa berbudaya lingkungan (ecovillage) yang diharapkan akan berdampak pada perbaikan kualitas DAS, khususnya DAS Citarum dengan melakukan fasilitasi, pembinaan dan koordinasi pengembangan ecovillage pada hulu Sungai Citarum yang meliputi 5 kecamatan yaitu: Kecamatan Kertasari, Kecamatan Paseh, Kecamatan Pacet, Kecamatan Majalaya, dan Kecamatan Ibun dengan melibatkan 5 Camat dan 54 Kepala Desa (BPLHD Provinsi Jawa Barat 2014). Pengembangan Ecovillage diterapkan di level desa dengan pertimbangan desa merupakan wilayah otonomi yang memiliki peran strategis dalam memelihara sumberdaya alam, lingkungan, peninggalan bersejarah, pengembangan ekonomi masyarakat, dan sosial budaya. Sebagaimana Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014, Pasal 1, “desa merupakan wilayah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Hal ini berarti, potensi desa perlu dikelola secara bijak agar dapat memberikan dukungan terhadap kehidupan secara berkelanjutan.

(17)

3 sosial. Dukungan perguruan tinggi dan dunia usaha dapat mendorong usaha masyarakat dalam mewujudkan ecovillage. Pemeliharaan lingkungan melalui peran serta masyarakat dan pengembangan usaha produktif di tingkat rumah tangga dapat dilakukan melalui peran kepemimpinan dan partisipasi masyarakat (Kusharto et al. 2012).

Pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu yang dilaksanakan sejak tahun 2014 merupakan salahsatu pendekatan pemulihan ekosistem DAS Citarum, sehingga implementasi keberlanjutannya perlu dikaji melalui studi tentang analisis keberlanjutan dan formulasi kebijakan pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu. Hasil dari studi ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja program pengembangan ecovillage di masa yang akan datang.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana tipologi desa berbudaya lingkungan (ecovillage) di DAS Citarum Hulu?

2. Bagaimana performance keberlanjutan pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu?

3. Bagaimana formulasi kebijakan pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu secara berkelanjutan?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah membuat formulasi kebijakan pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu secara berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan itu dilakukan beberapa tahapan khusus diantaranya:

1. Mengkaji tipologi desa berbudaya lingkungan (ecovillage) di DAS Citarum Hulu.

2. Menilai tingkat performance keberlanjutan pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu saat ini.

3. Memformulasikan kebijakan pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu secara berkelanjutan sesuai dengan tipologi desa.

Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna:

1. Bagi Pemerintah, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dasar bagi pengelolaan dan pengembangan ecovillage secara berkelanjutan. 2. Bagi Praktisi, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi

implementasi program dan kegiatan pengelolaan ecovillage yang terpadu. 3. Bagi pengembangan Ipteks, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya

(18)

4

Kerangka Pemikiran

Pengelolaan DAS merupakan upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya. Pengelolaan DAS tersebut dilakukan untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan pemanfaatan kawasan DAS di Indonesia perlu pemahaman yang mendalam dengan pendekatan yang menekankan pada keseimbangan aspek ekologi dan sosial-ekonomi. Upaya perbaikan DAS yang ada pada saat ini lebih banyak pada penanganan fisik sementara penanganan sikap dan perilaku masyarakat di lingkungan DAS Citarumnya itu sendiri belum dilakukan secara intensif, padahal perilaku manusia menjadi penyebab utama dari kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan alam seperti lahan gundul, tanah kritis, banjir, erosi pada lereng-lereng curam, baik oleh pemanfaatan pertanian, peternakan, dan permukiman maupun pencemaran air oleh kegiatan domestik dan industri.

Pendekatan menyeluruh dan terpadu dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan. Pendekatan yang dimaksud menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin berlangsungnya proses koordinasi antara lembaga atau instansi terkait, memandang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS (Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Alam 2007). Pendekatan baru dalam penanganan dan penyelesaian permasalahan DAS Citarum yang telah dicanangkan oleh Gubernur Jawa Barat dilakukan melalui Gerakan Citarum BESTARI (Bersih, Sehat, Lestari dan Indah) 2014-2018. Salah satu upaya pendekatan penyelesaian masalah DAS Citarum dalam gerakan Citarum BESTARI yaitu melalui pengembangan ecovillage (desa berbudaya lingkungan). Pengembangan ecovillage merupakan suatu kegiatan berbasis masyarakat, dimana pengelolaan lingkungan dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat. Tujuan program pengembangan ecovillage adalah untuk mewujudkan desa berbudaya lingkungan (ecovillage) yang diharapkan akan berdampak pada perbaikan kualitas DAS, khususnya DAS Citarum.

(19)

5 dilihat secara menyeluruh (holistik) dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) yang ada di dalamnya.

Hasil dari analisis keberlanjutan serta formulasi kebijakan pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja program pengembangan ecovillage di masa yang akan datang guna mendukung Gerakan Citarum BESTARI. Secara skematis uraian kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup wilayah penelitian adalah DAS Citarum wilayah hulu yang pada tahun 2014 telah dilakukan pengembangan ecovillage oleh BPLHD Provinsi Jawa Barat dalam rangka perbaikan lingkungan melalui perubahan prilaku di 54 desa pada 5 kecamatan, Kabupaten Bandung. Secara fungsi DAS wilayah hulu merupakan wilayah konservasi. Hulu Das Citarum secara de facto lahan di daerah hulu didominasi oleh wilayah perhutani dan perkebunan serta kawasan lindung.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu

Degradasi Ekosistem DAS : 1. Lahan kritis

2. Pencemaran air oleh limbah industri dan domestik

3. Sedimentasi 4. Banjir

Tipologi Desa Agraria Tipologi Desa Industri

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Ecovillage Di DAS Citarum Hulu

Gerakan Citarum

Analisis Prospektif

Pengelolaan DAS yang belum optimal

Metode Multi Dimensional Scalling (MDS) Pengembangan ecovillage di 55 desa

di DAS Citarum Hulu

DAS Citarum yang BESTARI Strategi Pengembangan Ecovillage di 55 desa

di DAS Citarum Hulu

(20)

6

Namun secara fakta dilapangan hulu DAS Citarum dimanfaatkan oleh kegiatan pertanian kentang, daun bawang/hortikultur.

Aspek yang menjadi kajian dalam pengembangan ecovillage dilakukan dengan menganalisis proses/tahapan pengembangan ecovillage hingga tersusunnya rencana aksi kelompok. Dari hasil kajian tersebut didapatkan data sebagai dasar untuk menyusun atribut-atribut pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Aspek-aspek tersebut dianalisis untuk melihat performance keberlanjutan ecovillage dengan menggunakan metode multidimensional scaling (MDS) yang kemudian dari analisis tersebut didapatkan faktor-faktor pengungkit. Faktor pengungkit ini akan menjadi faktor penting dalam penyusunan formulasi kebijakan pengembangan ecovillage secara berkelanjutan. Formulasi kebijakan pengembangan ecovillage secara berkelanjutan dibangun dengan skenario deskriptif kualitatif dengan menggunakan analisis prospektif.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pengelolaannya

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai-sungai utama (Asdak 1995). DAS merupakan suatu sistem, sehingga dalam pengembangannya, DAS harus diperlakukan sebagai suatu sistem. Pengembangan DAS bertujuan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan. Sasaran pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri yang baik sebagai berikut (Agus et al. 2007):

1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Setiap bidang lahan harus memberikan produktivitas yang cukup tinggi sehingga dapat mendukung kehidupan yang layak bagi petani yang mengusahakannnya. 2. Mampu mewujudkan, pemerataan produktivitas di seluruh DAS. 3. Dapat menjamin kelestarian sumberdaya air.

Fungsi hutan dalam ekosistem DAS dipandang dari tiga aspek, yaitu pohon, tanah, dan lanskap (landscape). Vegetasi hutan berfungsi mengintersepsi air hujan, akan tetapi laju transpirasi yang tinggi menyebabkan perbandingan dengan jenis vegetasi non-irigasi lainnya. Tanah hutan memiliki lapisan seresah yang tebal, kandungan bahan organik tanah, dan jumlah makro porositas yang cukup tinggi sehingga laju infiltrasi air lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian. Dari sisi lanskap, hutan tidak peka terhadap erosi karena memiliki filter berupa serasah pada lapisan tanahnya. Hutan dengan karakteristik tersebut di atas sering disebut mampu meredam tingginya debit sungai pada saat musim hujan dan menjaga kestabilan aliran air pada musim kemarau. Akan tetapi prasyarat penting untuk memiliki sifat tersebut adalah jika tanah hutan cukup dalam. Dalam kondisi ini hutan akan mampu berpengaruh secara efektif terhadap berbagai aspek tata air (Agus et al. 2007).

(21)

7 partikel-partikel yang terlarut di dalamnya. Hal ini dimungkinkan karena perjalanan air dalam tanah sangat lambat dan oleh karenanya memerlukan waktu yang relatif lama. Pada keadaan normal, aliran air tanah langsung masuk ke sungai yang terdekat (Asdak 1995).

Tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS berakibat pada berkurangnya infiltrasi air ke tanah, sehingga menyebabkan pengisian kembali air di bawah tanah (ground water) berkurang yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau. Dengan demikian terlihat bahwa peristiwa banjir dan kekeringan merupakan fenomena yang tidak terpisahkan dari peristiwa erosi. Bersama dengan sedimen, unsur-unsur hara terutama N dan P serta bahan organikpun banyak yang ikut terbawa masuk ke dalam waduk atau danau (Agus et al. 2007).

Ekosistem DAS dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. DAS bagian hulu merupakan daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan kata lain ekosistem DAS di bagian hulu berfungsi sebagai pelindung terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan tersebut antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi perhatian utama mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir memiliki keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Permadi 2011).

Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu:

1) DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan.

2) DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. 3) DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang

dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.

(22)

8

Keberlanjutan pemanfaatan dan pencagaran sumberdaya alam merupakan suatu proses perubahan di mana terdapat kesinambungan pemanfaatan dan pencagaran sumberdaya alam, arah investasi pemanfaatan sumberdaya alam dan perubahan kelembagaan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam konsisten dengan sasaran saat ini dan di masa datang (Asdak 2007). Pengelolaan Daerah aliran Sungai (DAS) diharapkan dapat memberikan kerangka kerja ke arah tercapainya pembangunan yang berkelanjutan.

Pengelolaan DAS merupakan upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dan manusia dengan segala aktifitasnya di dalam DAS. Tujuan pengelolaan DAS adalah untuk membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Untuk tercapainya pembangunan DAS yang berkelanjutan, maka harus tercipta keselarasan antara kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Dalam hal ini membutuhkan penyatuan kedua sisi pandang tersebut secara realistis melalui penyesuaian kegiatan pengelolaan DAS dan konservasi daerah hulu ke dalam bidang ekonomi dan sosial. Apabila tujuan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan ingin diwujudkan, maka formulasi kebijakan tersebut harus dituntaskan.

Pengelolaan DAS dalam menjaga fungsi hidrologi berarti pengelolaan sumberdaya alam yang dapat pulih kembali dalam suatu DAS, seperti vegetasi, tanah, dan air. Untuk itu, pengelolaan DAS bertujuan melakukan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) secara rasional agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan dan diperoleh kondisi tata air yang berkualitas.

Menurut Asdak (1995) dan Arsyad (2000), ada 5 (lima) indikator yang dapat digunakan dalam menilai interaksi dan keterpaduan tata air yang berkualitas di dalam DAS, yaitu:

1. Kuantitas air. Kondisi kuantitas air sangat berkaitan dengan kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan, maka dapat dikatakan perubahan kuantitas air akan terjadi. Untuk itu, kegiatan yang menimbulkan pengurangan tutupan lahan pada suatu tempat selayaknya dapat dilakukan dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat pada besarnya air limpasan permukaan maupun debit air sungai;

2. Kualitas air. Disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi lahan, juga dipengaruhi oleh limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertanian dan perkebunan, serta pola tanam (pencemaran), dan erosi. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari kodisi kualitas air dan limpasan serta air sungai maupun air sumur; 3. Perbandingan debit maksimum dan minimum. Perbandingan antara debit

puncak maksimum dengan debit pincak minimum sungai utama (di titik outlet DAS), berarti kemampuan lahan untuk menyimpan air. Bila kemampuan lahan menyimpan air masih baik, maka fluktuasi debit air pada musim hujan dan musim kemarau adalah kecil. Oleh karena itu, kemampuan lahan menyimpan air tergantung pada kondisi permukaan lahan, seperti kondisi vegetasi, dan tanah;

(23)

9 5. Tinggi permukaan air tanah berfluktuasi secara ekstrim. Hal ini tergantung pada besarnya air masuk dalam tanah dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Hal ini juga dipengaruhi oleh vegetasi, kelerengan, dan kondisi tanah itu sendiri.

Pengelolaan DAS secara terpadu harus bertujuan jelas dan tepat serta konsisten dalam pelaksanaannya di lapangan, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan DAS tersebut dapat dikembangkan. Alikodra (2000) berpendapat bahwa ada beberapa tujuan pembangunan DAS terpadu, yaitu:

1. Mempersiapkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dan institusi dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah;

2. Mendorong dan membantu daerah dalam mempersiapkan kebijakan, strategi, dan merencanakan program penataan ruang, database dan sistem informasi, pengembangan institusi dan SDM serta koordinasi dengan berbagai stakeholders yang terkait;

3. Menggunakan sumberdaya air dan sumberdaya alam lainnya untuk memenuhi kebutuhan manusia dan untuk memperhatikan kualitas hidup manusia, baik generasi kini maupun mendatang;

4. Melindungi air dari berbagai pencemaran dan mempertahankan debit air sungai sesuai dengan daya dukung secara optimal;

5. Mempertahankan keanekaragaman biota perairan sungai;

6. Meningkatkan kesadaran para pengusaha untuk menerapkan pola produksi bersih; dan

7. Mempertahankan kawasan-kawasan lindung yang penting fungsinya sebagai daerah resapan air.

Pada prinsipnya, pengelolaan DAS merupakan pengaturan tata guna lahan atau pengoptimalan penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktik lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas, dan kontinuitas aliran sungai pada titik pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS adalah adanya keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi. Karena sifatnya sebagai kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu ke hilir, maka pengelolaan DAS harus terpadu sebagai satu kesatuan ekosistem dan tidak dibatasi oleh batas-batas administratif.

Pengelolaan DAS wajib dijalankan berdasar prinsip kelestarian yang memadukan keseimbangan antara produktivitas dan konservasi untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan DAS sebagai berikut: (1) meningkatkan stabilitas tata air; (2) meningkatkan stabilitas tanah, termasuk mengendalikan proses degradasi lahan; (3) meningkatkan pendapatan petani; dan (4) meningkatkan perilaku masyarakat ke arah konservasi yang mengendalikan aliran permukaan dan banjir (Wulandari 2007). Jadi, pengelolaan DAS harus memenuhi aspek-aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Pengelolaan DAS dimaksudkan untuk memberikan manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya bagi manusia, terutama bagi masyarakat lokal dan warga miskin dengan tidak mengabaikan kelestarian lingkungan serta mewujudkan masyarakat mandiri yang partisipatif. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengelolaan DAS harus terpadu dari hulu ke hilir dan antar pemangku kepentingan. Tujuan pengelolaan sumberdaya alam DAS dirumuskan bersama dan dilakukan sinkronisasi program-program sektoral untuk mencapai keberlanjutan ekosistem DAS. Dengan kata lain pengelolaan DAS merupakan satu manajemen yang lebih dikenal dengan ‘One watershed, one plan, one

(24)

10

Sinkronisasi dan kesinambungan sulit tercapai di dalam pengelolaan ekosistem DAS, apabila terjadi ketidakterpaduan kegiatan, baik antar sektor, antar wilayah, maupun antar lembaga. Keterpaduan penting dilakukan untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah, dan air. Apabila ketidakterpaduan pengelolaan DAS tidak dapat tercipta, maka akan menimbulkan akibat buruk terhadap ekosistem alami, yakni akan terjadi kerusakan. Kerusakan tersebut sangat dipengaruhi oleh gerak langkah dari tindakan utama manusia yang menghuni dan gerak langkah yang terlibat dalam kegiatan kehidupan ekosistem DAS. Oleh karena itu, pengelolaan DAS terpadu sangat mendesak untuk dilakukan agar dapat diformulasikan ke dalam pengembangan kebijakan ke depan.

Pengaruh Kegiatan Manusia Terhadap Kualitas Air Sungai

Kualitas sungai merupakan indikator kondisi sungai dalam keadaan baik atau tercemar. Pencemaran sungai didefinisikan sebagai perubahan kualitas suatu perairan akibat kegiatan manusia, yang pada gilirannya akan mengganggu kehidupan manusia itu sendiri ataupun makhluk hidup lainnya (Kupchella and Hyland 1993). Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh senyawa yang masuk ke aliran sungai yang bergerak ke hilir bersama aliran air atau tersimpan di dasar, berakumulasi (khususnya pada endapan) dan suatu saat dapat juga terjadi pencucian atau pengenceran. Senyawa tersebut (utamanya yang beracun) berakumulasi dan menjadi suatu konsentrasi tertentu yang berbahaya bagi mata rantai kehidupan (Haslam 1992).

Menurut Miller (1991) dalam Edwardsyah (2008) terdapat 2 bentuk sumber pencemar, yaitu:

a. Point sources; merupakan sumber pencemar yang membuang efluent (limbah cair) melalui pipa, selokan atau saluran air kotor ke dalam badan air pada lokasi tetentu. Misalnya pabrik, tempat-tempat pengolahan limbah cair (yang menghilangkan sebagian tapi tidak seluruh zat pencemar), dan tempat-tempat pertambangan yang aktif karena lokasinya yang spesifik, sumber-sumber ini relatif lebih mudah diidentifikasi, dimonitor, dan dikenakan peraturan-peraturan.

b. Non-point sources; terdiri dari banyak sumber yang tersebar yang membuang efluent, baik ke badan air maupun air tanah pada suatu daerah yang luas. Contohnya adalah limpasan air dari ladang-ladang pertanian, peternakan, lokasi pembangunan, tempat parkir, dan jalan raya. Pengendalian sumber pencemar ini cukup sulit dan membutuhkan biaya yang tinggi untuk mengidentifikasi sumber-sumber pencemar yang tersebar tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pendekatan terpadu dengan penekanan pada pencegahan pencemaran. Pencegahan tersebut dapat dilakukan salah satunya melalui penataan ruang yang baik.

Beberapa jenis kegiatan utama yang menimbulkan pencemaran sungai antara lain (Haslam 1992):

(25)

11 juga berupa senyawa anorganik, logam, dan garam-garaman (seperti deterjen) yang cukup berbahaya karena bersifat patogen.

2. Kegiatan industri, mempunyai banyak sekali variasi, bisa berupa efluent organik (dari pabrik makanan dan dapat juga dari industri minyak dan petrokimia). Adapun efluent anorganik dihasilkan oleh pabrik-pabrik baja, mobil, atau industri berat lainnya; partikel dan debu dapat dihasilkan oleh kegiatan industri pertambangan. Selain itu juga berupa pencemaran panas, misalnya dari pembangkit tenaga listrik.

3. Kegiatan pertanian, terutama akibat penambahan pupuk dan pembasmi hama, dimana senyawa-senyawa yang terdapat di dalamnya tidak mudah terurai walaupun dalam jumlah yang sedikit, tetapi justru aktif pada konsentrasi yang rendah. Selain itu, sedimen termasuk pencemaran yang cukup besar ketika terjadi penebangan pohon-pohonan, pembuatan parit-parit, dan perambahan hutan. Belum lagi, efluent organik yang dihasilkan oleh peternakan dapat menyebabkan pencemaran yang cukup serius.

Menurut Haslam (1992) dan Hayward (1992), zat pencemar sungai dapat dibagi dalam 8 (delapan) jenis utama, yaitu:

1. Organisme pathogen (bakteri, virus, dan protozoa);

2. Limbah organik biodegradable (limbah cair domestik, limbah pertanian, limbah peternakan, limbah rumah potong hewan, limbah industri);

3. Bahan anorganik yang larut dalam air (asam, garam, logam berat dan senyawa-senyawanya, anion seperti sulfida, sulfit, dan sianida);

4. Zat hara tanaman (garam-garam nitrat dan fosfat yang larut dalam air), yang penguraian limbah organik seperti limbah cair atau pelepasan pupuk nitrat, yang jika berlebihan dapat mengakibatkan eutrofikasi;

5. Bahan-bahan kimia yang larut dan tidak larut (minyak, plastik, pestisida, pelarut, PCB, fenol, dan formaldehida). Zat-zat tersebut merupakan polutan yang sangat beracun bahkan pada konsentrasi rendah (<1 ppm);

6. Sedimen (suspended solid), merupakan partikel yang tidak larut atau terlalu besar untuk dapat segera larut. Kecenderungan sedimen untuk tinggal di dasar air tergantung pada ukurannnya, rasio aliran (flow rate), dan besarnya turbulensi yang ada pada suatu badan air. Partikel diantara 1 µm dan 1 ηm tetap dapat “melayang” dalam air, yang disebut colloidal solid dan air yang banyak mengandung colloidal solid terlihat seperti air susu. Jumlah sedimen mempengaruhi turbiditas air, dan kualitasnya mempengaruhi warna;

7. Zat-zat/bahan radioaktif;

8. Pencemaran termal, biasanya dalam bentuk limbah air panas yang berasal dari kegiatan suatu pembangkit tenaga. Pencemaran ini dapat mengakibatkan naiknya temperatur air, meningkatkan rasio dekomposisi dari limbah organik yang biodegradable, dan mengurangi kapasitas air untuk menahan oksigen.

Ecovillage (Desa Berbudaya Lingkungan)

(26)

12

dibuat terkait ecovillage dengan beragam sudut pandang yang dipakai. Adapun definisi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Menurut Global Ecovillage Network (GEN), ecovillage merupakan gerakan dari masyarakat di kota ataupun di desa yang berusaha untuk mengintegrasikan kehidupan sosial dengan gaya hidup yang minim dampak. Untuk mencapai konsep ini dipadukan aspek disain ekologi, permakultur, bangunan ekologi, produksi ramah lingkungan, energi alternatif, latihan penguatan komunitas dan banyak lagi.

b. Gilman (1991) menyatakan bahwa ecovillage menggambarkan pemukiman yang dibangun manusia dengan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam (fitur-fitur yang lengkap). Dalam hal ini kegiatan manusia terhadap alam tidak destruktif guna mendukung pembangunan manusia yang sehat dan lestari di masa depan.

c. Ecovillage adalah entitas suatu komunitas yang secara sengaja ingin hidup bersama dalam suatu wadah secara fisik yang anggotanya biasanya disatukan dengan adanya penggunaan bersama nilai-nilai yang terkait dengan ekologi, sosial, atau spiritual (Gilman 1991).

d. Dari penelitian yang dilakukan oleh Steyerberg (GEN 1998) di sejumlah desa-desa di Eropa, ditemukan bahwa ecovillage merupakan pola hidup komunitas yang peduli bumi, baik dalam daerah pedesaan atau perkotaan. Komunitas ini memandang ecovillage sebagai sebuah pola hidup.

e. Ecovillage merupakan suatu cara hidup yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam bahwa segala sesuatu dan semua makhluk saling berhubungan. Secara filosofi ecovillage dibangun dari berbagai macam kombinasi dari ketiga prinsip dasar yaitu ekologi, komunitas dan spiritual (Benson & Roe 2000). f. Prinsip ecovillage tersebut dapat diaplikasikan di perkotaan maupun perdesaan

untuk pengembangan dan pengelolaan serta solusi kebutuhan manusia dan pada saat yang sama dapat memberikan perlindungan kepada lingkungan dan peningkatan kualitas hidup untuk semua pihak (Capra 2003).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ecovillage merupakan gerakan berbasis masyarakat yang berusaha untuk mengintegrasikan kehidupan sosial dengan gaya hidup yang minim dampak dengan melibatkan peran serta semua pemangku kepentingan (masyarakat, pelaku usaha, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, aparat pemerintah, dan sebagainya) yang dapat diterapkan di perkotaan maupun perdesaan untuk pengembangan dan pengelolaan serta solusi kebutuhan manusia dan pada saat yang sama dapat memberikan perlindungan kepada lingkungan dan peningkatan kualitas hidup untuk semua pihak. Dengan demikian, ecovillage setidaknya harus terdiri atas dua hal berikut:

1. Cara hidup yang dianut oleh suatu komunitas baik di desa maupun di kota dimana mereka berusaha untuk mengintegrasikan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dengan perlindungan lingkungan dan peningkatan kualitas hidup semua pihak karena makhluk hidup dengan segala sesuatu akan saling berhubungan.

2. Bentuk interaksi manusia terhadap lingkungan untuk mencapai kehidupan yang berkelanjutan dan lestari.

(27)

13 pribadi berhubungan dengan bumi, menikmati interaksi keseharian dengan tanah, air, angin, tanaman, dan satwa. Ecovillage menyediakan kebutuhan sehari-hari seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, sekaligus menghargai siklus alam. Secara ekologis, penerapan ecovillage dapat berupa:

1. Menumbuhkan tanaman sebanyak mungkin berdasarkan bioregion dari komunitas

2. Mendukung pertanian organik

3. Mendirikan bangunan dengan material lokal

4. Memanfaatkan desa berdasarkan sistem energi yang terbarukan 5. Menjaga keanekaragaman hayati

6. Membantu pengembangan prinsip bisnis ekologis

7. Menilai daur kehidupan semua produk yang digunakan dalam ecovillage dari segi sosial dan spiritual sebagaimana halnya dari sudut pandang ekologi

8. Menjaga tanah, air, dan udara tetap sehat melalui pengelolaan energi dan pengelolaan buangan (sampah)

9. Menjaga area-area yang masih alami dan berfungsi sebagai penyangga

Secara sosial, ecovillage menunjuk kepada konsep komunitas bermakna bahwa setiap orang mendapatkan dukungan serta bertanggung jawab terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Mereka memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap kelompoknya. Kelompok kecil yang setiap anggotanya dapat merasa aman, berdaya, diperhatikan, dan didengar, serta terbuka. Komunitas yang memiliki akses untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang menentukan kehidupan mereka sendiri. Dari segi komunitas, penerapan ecovillage dapat berupa:

1. Mengenal dan berhubungan dengan orang lain 2. Berbagi sumber daya publik dan saling membantu 3. Mengembangkan kesehatan menyeluruh

4. Menyediakan pekerjaan yang bermakna dan berkelanjutan untuk seluruh anggotanya

5. Merangkul kelompok-kelompok marjinal 6. Mempromosikan pembelajaran tanpa akhir

7. Memperkuat persatuan melalui penghargaan terhadap perbedaan 8. Membantu pengembangan ekspresi budaya

Pada dimensi budaya dan spiritual, konsep ecovillage dicapai dengan menghormati dan mendukung bumi dan segala sesuatu yang hidup di atasnya. Hal ini mencakup pengayaan budaya dan ekspresi seni serta keanekaragaman spiritual. Beberapa bentuk nyatanya adalah:

1. Menguatkan budaya dan spiritual

2. Berbagi kreativitas, ekspresi seni, kegiatan kebudayaan, ritual, dan perayaan 3. Mengembangkan perasaan kesatuan komunitas dan saling dukung

4. Menghargai dan mendukung perwujudan spiritual dengan berbagai jalan

5. Berbagi visi dan persetujuan yang mengekspresikan komitmen, warisan budaya dan keunikan dari setiap komunitas

6. Fleksibel dan peka apabila terjadi suatu kesulitan

7. Memahami keterhubungan dan kesalingtergantungan antara elemen kehidupan dan tempat komunitas berada dan keseluruhan hubungannya

8. Menciptakan kehidupan yang damai, penuh cinta, dan berkelanjutan

(28)

14

1. Menjaga uang tetap dalam komunitas

2. Perputaran uang melalui sebanyak mungkin orang

3. Memperoleh, membelanjakan, dan menginvestasikan uang dalam bisnis barang dan jasa yang dimiliki anggotanya

4. Menyimpan uang dalam rumah yang terus tumbuh institusi finansialnya

Suatu ecovillage menyerupai sebuah ekosistem alami, karena keduanya merupakan interaksi timbal balik antara komunitas suatu organisme dengan lingkungannya. Ecovillage terbentuk dalam cara yang sama dengan suatu ekosistem yang merupakan komponen dasar, baik yang hidup maupun tidak, butuh untuk dipelihara siklusnya agar dapat berkelanjutan untuk waktu yang tidak terbatas.

Menurut Gallent and Show (2007) dalam Kusharto, CM. et al. (2012), untuk menanggulangi kemiskinan perlu pengaturan jumlah penduduk, karena kemiskinan akan cenderung bertambah dengan bertambahnya jumlah dalam keluarga terutama apabila kurangnya pendidikan. Masyarakat dalam ecovillage mendapatkan energi dari sumber non fosil, memproduksi makanan seimbang dengan kebutuhan kalori dari penduduk, mendapatkan material bangunan dan membelanjakan uangnya di lokal sebanyak mungkin, berinteraksi positif dengan penduduk lokal sekitarnya dan lingkungan alam serta mendaur ulang air, limbah cair dan produk limbah lainnya selama memungkinkan, sehingga mereka dapat menjadi sumberdaya untuk bagian lain dari komunitas.

Kanaley (2000) menyebutkan ada sejumlah elemen/variabel ecovillage di beberapa negara Eropa, yaitu: 1) kepemilikan rumah milik pribadi dibandingkan rumah milik kelompok; 2) inklusi sosial antara perumahan yang disediakan oleh pemerintah dengan perumahan yang disewakan; 3) dimensi spiritual; 4) jumlah populasi; 5) tingkat dukungan pemerintah; dan 6) tingkat partisipasi dalam konsep, perencanaan, desain, dan konstruksi. Selanjutnya Kanaley (2000) juga menyebutkan bahwa ecovillage memerlukan manajamen perencanaan yang disetujui oleh pemerintah daerah, meliputi: 1) rencana konsep; 2) rencana energi; 3) rencana desain atau pedoman rumah; 4) rencana lanskep; 5) rencana pergerakan pejalan kaki; 6) rencana pengelolaan siklus air; dan 7) kontrak sosial atau rencana pengelolaan sosial.

Tipologi/Karakteristik Desa

Menurut UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa yang dimaksud dengan desa adalah “Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(29)

15 desa yang bersangkutan dalam melaksanakan pembangunan, yang terdiri dari potensi alam, potensi penduduk, dan lokasi/letak desa terhadap pusat fasilitas. Potensi dasar yang diolah dan dikembangkan oleh masyarakat serta menjadi sumber penghasilan sebagian besar masyarakat.

Tipologi dan klasifikasi tingkat perkembangan desa meliputi empat bagian, keempat bagian tersebut merupakan suatu kesatuan dan mempunyai hubungan erat satu sama lain. Keempat bagian tersebut meliputi: 1) Potensi dasar, yaitu potensi dasar suatu desa merupakan modal dasar dari desa yang bersangkutan dalam melaksanakan pembangunan yang terdiri dari potensi alam, potensi penduduk dan lokasi/letak desa terhadap pusat fasilitas. Potensi dasar yang diolah dan dikembangkan oleh masyarakat serta menjadi sumber penghasilan sebagian besar masyarakat; 2) Tipe desa, ditentukan berdasarkan pendekatan potensi dominan yang diolah dan dikembangkan serta telah menjadi sumber penghasilan sebagian besar masyarakat desa; 3) Indikator tingkat perkembangan desa, yaitu keadaan yang memberikan petunjuk (dapat diukur) sejauh mana hasil proses suatu kegiatan/program dalam pembangunan desa telah dapat dicapai dalam kurun waktu terentu; dan 4) Tingkat perkembangan desa.

Tipologi dari masyarakat desa dapat dilihat dari kegiatan pokok yang ditekuni masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selain itu juga tipologi desa bisa dilihat dari segi pemukiman maupun dari tingkat perkembangan masyarakat desa itu sendiri, serta dilihat dari segi mata pencaharian pokok yang dikerjakan. Tipologi masyarakat Desa terbagi dua yaitu desa pertanian dan desa industri.

Analisis Keberlanjutan

Evaluasi keberlanjutan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode analisis Rapid Appraisal Ecovillage yang disingkat menjadi RapVil. RapVil adalah hasil metode dari The Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) dimana atribut-atributnya disesuaikan dengan kondisi lingkungan di desa ecovillage. Adapun dimensi dan atribut yang dikaji merupakan penterjemah secara harfiah dari metode RAPFISH yang secara umum digunakan di berbagai negara (Pitcher and Preikshot 2001). RAPFISH pertama kali diperkenalkan oleh Fisheries Center, University of Columbia di tahun 1999. Perangkat lunak RAPFISH ini merupakan pengembangan dari Multidimensional Scaling (MDS) yang ada di dalam perangkat lunak SPSS untuk proses rotasi, kebalikan posisi (flipping), dan beberapa analisis sensitivitas telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak.

(30)

16

Analisis Prospektif

Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang. Analisis ini akan didapatkan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategi apa saja yang berperan dalam pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu sesuai dengan kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat dalam program ini. Selanjutnya faktor kunci tersebut akan digunakan untuk mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu terintegrasi dan berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sangat penting dan sepenuhnya merupakan pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli di dalam pengelolaan DAS dan pengembangan ecovillage. Pendapat tersebut diperoleh melalui bantuan kuesioner dan wawancara langsung di lokasi penelitian. Menurut Bourgeois (2004), analisis prospektif digunakan untuk mempersiapkan tindakan strategis dan melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan. Tiga langkah yang perlu dilakukan dalam analisis prospektif partisipatif, yaitu: 1) mengidentifikasi faktor penentu di masa depan; 2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan 3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan.

Menurut Hartrisari (2002), tahapan dalam melakukan analisis prospektif adalah sebagai berikut:

1. Menentukan faktor kunci untuk masa depan dari sistem yang dikaji. Pada tahap ini dilakukan identifikasi seluruh faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor variabel, menganalisis pengaruh dari ketergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor ke dalam 4 (empat) kuadran utama, sebagaimana disajikan pada Gambar 2; 2. Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama;

3. Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan, pada tahapan ini dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan dan menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap program.

Untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam program, yang dilakukan pada tahap pertama analisis prosfektif digunakan matriks, sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Hasil identifikasi kriteria, diperoleh beberapa faktor yang akan dilihat hubungannya secara timbal balik (mutual) berdasarkan tabel matriks analisis pengaruh antar faktor yang akan diisikan dengan skor antara 0-3 (Tabel 2) dengan pedoman pengisian sebagai berikut:

1) Dilihat dahulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika tidak ada pengaruh beri nilai 0.

(31)

17 3) Jika ada pengaruh, baru dilihat apakah pengaruhnya kecil = 1, atau

berpengaruh sedang = 2

Tabel 1 Matriks pengaruh dan ketergantungan faktor dalam pengembangan ecovillage di DAS Citarum Hulu

DARI THDP

A B C D E F G H I J Total

Pengaruh

A B C D E F G H I J

A-J= Faktor penting dalam program

Bourgeois 2004

Tabel 2 Analisis pengaruh antar faktor

Skor Keterangan

0 Tidak ada pengaruh 1 Berpengaruh kecil 2 Berpengaruh sedang 3 Berpengaruh sangat kuat

Bourgeois 2004 dan Hardjomidjojo (2002)

(32)

18

merupakan variabel kuat, dan akan dipilih sebagai variabel penentu dalam analisis selanjutnya.

Ketergantungan

3

LOKASI PENELITIAN

Gambaran Umum Daerah Penelitian

Wilayah DAS Citarum memiliki luasan 1,448,654.50 Ha (±12,000 km2) yang berada di wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat yaitu di 3 (tiga) kota (Bandung, Bekasi dan Cimahi) dan 9 (sembilan) Kabupaten (Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu, Karawang, Purwakarta, Subang, Sumedang). Adapun secara geografis lokasi tersebut berada pada 106°51’36” - 107°51’ BT dan 7°19’ - 6°24’ LS.

Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yaitu 7061.77 km2 dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar kurang lebih mencapai 25 Juta terdiri dari jumlah penduduk Jawa Barat 15 Juta dan penduduk DKI 10 Juta. Berdasarkan data BPS (2009) penduduk yang ada di sepanjang sungai tersebut mencapai 15,303,758 yang dimana 50% nya adalah masyarakat Urban DAS Ciatrum memiliki 3 (tiga) waduk buatan yaitu Saguling yang didirikan pada tahun 1986 dengan kapasitas mencapai 982 juta m3, Waduk Cirata yang didirikan pada tahun 1988 dengan kapasitas mencapai 2,165 juta m3 dan Waduk Jatiluhur yang didirikan pada tahun 1963 dengan kapasitas 3,000 juta m3. Ketiga waduk tersebut menghasilkan pembangkit listrik tenaga air sebesar 1,400 MW.

Di bagian hulu DAS Citarum (0-20 KM) terdapat beberapa Sub DAS dan salah satunya adalah Sub DAS Cirasea. Sub DAS tersebut memiliki luas 65.81 km2 merupakan Sub DAS yang terletak di Gunung Wayang Windu. Secara fisiografis Sub DAS Cirasea mempunyai bentuk lahan atau fisiografi yang banyak didominasi oleh daerah perbukitan sampai pegunungan yang mempunyai ketinggian terendah sekitar 700-752 mdpl dan titik tertinggi sekitar 2,145-2,226 m dpl. Kelerengan Sub

Pengaruh

Factor penentu INPUT

Factor penghubung STAKE

Factor Bebas UNUSET

Factor penentu Terikat OUTPUT

Gambar 2 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem

Sumber : Bourgeois 2004 Ketergantungan

Kuandran II Kuandran I

(33)

19 DAS Cirasea bagian hilir berkisar antara 1.15-3.7% dan lereng yang berada Sub DAS Cirasea bagian tengah berkisar antara 6.63-13.8% dan lereng yang Sub DAS Cirasea bagian hulu berkisar antara 20.25-37.64%.

1. Morfologi

Daerah Aliran Sungai Citarum bagian hulu memiliki morfologi yang diklasifikasikan ke dalam dua satuan utama, yaitu satuan vulkanik dan struktural. Satuan vulkanik sebagian besar terletak di bagian Utara, sedangkan satuan struktural terletak di bagian Selatan. Satuan vulkanik terdiri atas cone vulkanik, lereng, dan vulkanik-tektonik (Dataran Lembang). Relief dari unit geomorfologi vulkanik berkisar dari sangat datar (Dataran Lembang) hingga lereng sangat curam. Unit ini sebagian besar tersusun dari tuff, lava, breccia, dan lapilli. Satuan struktural merupakan areal yang terbentuk dari pertahanan normal Lembang, yang tersebar dari arah Timur hingga Barat. Kondisi topografi DAS Citarum sangat bergelombang, terutama di daerah hulu dan tengah. Gradien sungai terbagi dalam tiga bagian, yaitu bagian hulu sepanjang ± 25 km merupakan bagian yang paling terjal dengan kemiringan sungai rata-rata 1:30. Bagian tengah sepanjang ± 150 km, mulai dari Daerah Cekungan Bandung ke hilir, kemiringan sungai cukup terjal yaitu rata-rata 1:300. Fisiografi lahan DAS Citarum bagian hulu nampak seperti cekungan raksasa, yang lebih dikenal sebagai cekungan Bandung. DAS Citarum bagian hulu dikelilingi oleh daerah pegunungan dan perbukitan, diantaranya dari bagian Utara terdapat Gn. Tangkuban Perahu; sebelah Timur terdapat Gn. Munggang, Gn. Mandalawangi; sebelah selatan terdapat Gn. Malabar, Puncak Besar, Puntang, Haruman, Gn. Tilu, Gn. Tikukur, Gn. Guha dan punggung-punggung gunung yang tidak beraturan di bagian Barat. Bentuk sistem lahan gunung berapi, punggung gunung dan punggung bukit lebih mendominasi daerah ini. Pada umumnya daerah ini memiliki kelas lereng dari sedang sampai sangat curam dengan proporsi luasnya ± 33.7% dari luas daerah tangkapan air Waduk Saguling tanpa tubuh air. Sekitar 86,659 ha di bagian tengah daerah tangkapan air Waduk Saguling merupakan daerah dataran (lereng kurang dari 8%). Berdasarkan bentuk sistem lahan di bagian tengah ini merupakan aliran lava basa atau sedang yang agak tertoreh di bagian Utara dan di bagian Selatan lebih didominasi dataran lakustrin yang tertoreh ringan. Elevasi DAS Citarum bagian hulu berkisar antara 625-2,600 m dpl. Daerah tertinggi terdapat di bagian hulu Citarum, di sekitar Gn. Guha dekat Pegunungan Kendal. Elevasi terendah berada di sekitar Waduk Saguling. Perincian elevasi setiap sub DAS di DAS Citarum bagian hulu ditunjukkan pada Tabel 3. Untuk perincian kelas lereng setiap Sub DAS disajikan pada Tabel 4.

2. Geologi

(34)

20

breksi tufaan dan aglomerat. Sedangkan endapan danau berupa lempung tufaan, batupasir tufaan, kerikil tufaan dan konglomerat tufaan. Aluvium terdiri dari lempung, lanau, pasir dan kerikil. Dan pada umumnya tersusun oleh sedimen tersier dan hasil erupsi gunung api tua.

Batuan sedimen terdiri dari batu pasir tufaan, napal batu lempung, batu pasir, andesit. Breksi bersifat andesit dan basal, lava. Sedangkan gunung api tua tersusun atas batupasir tufaan dan konglomerat, breksi, lahar dan lava, napal dan batu lempung napalan. Citarum bagian hilir pada umumnya tersusun oleh sedimen tersier dan hasil erupsi gunung api tua.

Tabel 3 Elevasi setiap Sub DAS di DAS Citarum bagian hulu Catchment

Elevasi (m)

Minimum Maksimum Rata-rata Standar

deviasi

Cikapundung-Cipamokolan 662 2,200 1,430 444

Cikeruh 662 1,962 1,310 374

Cisangkuy 662 2,337 1,500 484

Citarik 662 1,731 1,191 306

Cirasea 662 2,600 1,629 558

Ciwidey 662 2,437 1,548 512

Ciminyak 625 1,512 1,068 256

Cihaur 637 2,075 1,356 416

Sumber : BPDASCC 2010

Tabel 4 Kelas lereng setiap Sub DAS di DAS Citarum bagian hulu

Sub DAS Kelas slope (%) Jumlah

(ha) 0 -8 8-15 15-25 25-40 >40

Cikapundung-Cipamokolan 18,800 3,918 4,845 2,648 260 30,472

Cikeruh 10,799 3,354 2,880 1,799 197 19,029

Cisangkuy 14,831 7,388 6,997 4,200 742 34,159

Citarik 12,418 4,035 4,288 2,090 120 22,951

Cirasea 15,436 7,723 8,817 5,610 525 38,111

Ciwidey 6,696 4,950 6,881 3,385 258 22,169

Ciminyak 10,631 7,230 8,960 5,423 332 32,575

Cihaur 17,942 4,708 3,479 1,689 162 27,981

Jumlah (ha) 107,553 43,307 47,147 26,844 2,596 227,446

Jumlah (%) 47.29 19.04 20.37 11.80 1.14 100.00

Sumber : BPDASCC 2010

Menurut Silitonga et al (1973) kondisi geologi di DAS Citarum hulu dapat dibagi ke dalam empat kategori:

1) Hasil gunung api tua yang tidak dapat dibedakan, tersusun atas pasir tuffaceous, lapilli, lava yang berlapis berseling. Unit-unit ini tersebar, menutup hampir 65% DAS Citarum hulu dari mulai bagian Utara hingga Selatan.

(35)

21 3) Pumiceous Tuff, terdiri stsd tuffsceous sand, lapilli, scoriaceous lava, letusan A Gunung Tangkuban Perahu. Unit-unit ini tersebar, mencakup hampir 5% area, di sepanjang lembah sungai.

4) Sandy tuff, terdiri dari sandy tuff yang berasal dari letusan C Gunung Tangkuban Perahu, sandy tuff berwarna kecoklatan, sangat poros, terdiri atas kristal-kristal hornblende yang kasar, juga lahar red-weathered, lapisan-lapisan lapilli dan breccia. Area ini tersebar mencakup hampir 20% area, di bagian tengah hulu DAS.

Jenis batuan Alluvium mendominasi Wilayah Sungai Citarum. Jenis batuan ini terdiri dari pasir, lumpur, kerikil dan kerakal. Batuan alluvium tersebar di dataran pantai Jakarta. Formasi Batuan Alluvium menyerupai depresi median yang merupakan ciri khas daerah pantai. Batuan ini adalah batuan sedimen marineneogen yang tertutup lapisan alluvial dan terlipat sangat lemah. Pada bagian bawah dari formasi ini terdiri dari batuan gowake dan napal,breksi,volkan,koglomerat dan sisipan dolomite, sedangkan pada bagian atas terdiri dari lapisan batuan konglomerat, batu pasir, batuan debu, sisipan batu bara dan batu kapur tulis. Dan selanjutnya di dominasi oleh batuan Gunungapi tua dan sedimen Plio-Plistosen. Batuan tersebut tersebar daerah perbukitan.

3. FungsiKawasan

Berdasarkan peta fungsi kawasan yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Departemen Kehutanan skala 1:250,000, DAS Citarum bagian hulu terbagi menjadi dalam kawasan hutan yang termasuk wilayah KPH Bandung Selatan dan KPH Bandung Utara, yang harus dikelompokkan menjadi hutan lindung dengan aktivitas pemanfaatan yang terbatas, dan sisanya merupakan area luar kawasan hutan yang terdiri dari lahan hak milik dan areal perkebunan teh, kina, karet yang dikelola oleh pemerintah dan swasta, serta lahan milik masyarakat yang digunakan untuk keperluan budidaya lahan kering, sawah, dan sayuran. Perincian fungsi kawasan di setiap Sub DAS disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Luasan Fungsi kawasan setiap sub DAS di DAS Citarum bagian hulu

Sub DAS Kawasan hutan Luar kawasan hutan Luas (ha)

Luas (ha) Luas (%) Luas (ha) Luas (%)

Cikapundung-Cipamokolan 5,320 17.46 25,152 82.54 30,472

Cikeruh 2,806 14.74 16,224 85.26 19,029

Cisangkuy 10,632 31.12 23,527 68.88 34,159

Citarik 4,735 20.63 18,217 79.37 22,951

Cirasea 14,508 38.07 23,602 61.93 38,110

Ciwidey 8,958 40.41 13,211 59.59 22,169

Ciminyak 9,336 28.66 23,239 71.34 32,575

Cihaur 4,541 16.23 23,440 83.77 27,981

Jumlah 60,835 26.75 166,611 73.25 227,446

Sumber : BPDASCC 2010

Gambar

Tabel 1 Matriks pengaruh dan ketergantungan faktor dalam pengembangan
Gambar 2 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem
Tabel 7 Sebaran jumlah penduduk di Das Citarum Hulu
Tabel 10  Hasil analisa musim kelompok ecovillage
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi dan analisis perubahan penutupan lahan khususnya hutan yang terjadi di DAS Citarum Hulu, Jawa Barat pada tahun 2001,

yaitu sekitar 24,3 % dari wilayah penelitian sehingga perlu perubahan penggunaan lahan atau perbaikan teknik konservasi.. Jenis perubahan penggunaan lahan dan teknik konservasi

Penelitian yang dilakukan di kawasan konservasi di Hulu DAS Citarum bertujuan untuk: (1) mengevaluasi pelaksanaan konservasi lahan di Hulu DAS Citarum (2) menganalisis

[r]

Faktor-faktor yang berhubungan positif sangat nyata dengan tingkat partisipasi ibu rumah tangga dalam kegiatan kelompok peduli lingkungan adalah pengetahuan IRT, struktur

(5) Beberapa aspek kelembagaan yang penting dikembangkan untuk mendukung peran lembaga SAIL dalam perbaikan lingkungan hidup adalah : (a) Penegakan sistem hukum

Hasil Analisis Muitinominal Logit Tahap Evaluasi : Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Terhadap Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan HKm pada Kawasan Hutan

Faktor-faktor yang berhubungan positif sangat nyata dengan tingkat partisipasi ibu rumah tangga dalam kegiatan kelompok peduli lingkungan adalah pengetahuan IRT, struktur