PROFIL PELAYANAN SWAMEDIKASI OLEH PETUGAS
APOTEK TERHADAP KASUS DIARE ANAK DI APOTEK
WILAYAH KOTA MEDAN
SKRIPSI
OLEH:
KHADIJAH
NIM 111501033
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PROFIL PELAYANAN SWAMEDIKASI OLEH PETUGAS
APOTEK TERHADAP KASUS DIARE ANAK DI APOTEK
WILAYAH KOTA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
KHADIJAH
NIM 111501033
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGESAHAN SKRIPSI
PROFIL PELAYANAN SWAMEDIKASI OLEH PETUGAS
APOTEK TERHADAP KASUS DIARE ANAK DI APOTEK
WILAYAH KOTA MEDAN
OLEH:KHADIJAH NIM 111501033
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal : 4 Agustus 2015 Disetujui oleh:
Pembimbing I, Panitia Penguji,
Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. Dr. Wiryanto, M.S., Apt. NIP 197802152008122001 NIP 195110251980021001
Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt
Pembimbing II, NIP 197802152008122001
Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 197803142005011002 NIP 195807101986012001
Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP 19780603200512004
Medan, Agustus 2015 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Wakil Dekan I,
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini, serta shalawat beriring salam untuk Rasulullah SAW sebagai suri tauladan dalam kehidupan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Profil Pelayanan Swamedikasi oleh
Petugas Apotek terhadap Kasus Diare Anak di Apotek Wilayah Kota Medan”.
v
kepada orang tua tercinta Ibunda Yenny Afrida Yanti, Ayahanda Za frullah Dikit, serta kakakku tercinta Rahmi, S.E.I., dan Chairunnisa, ST., juga kepada sahabat-sahabat tercinta Marta Puspita, Maulida, Nor Fasilla, Nurul dan teman-teman angkatan 2011 Fakultas Farmasi USU atas do‟a dan dukungannya kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak guna perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang farmasi.
Medan, Agustus 2015 Penulis
Khadijah
vi
PROFIL PELAYANAN SWAMEDIKASI OLEH PETUGAS APOTEK TERHADAP KASUS DIARE ANAK DI APOTEK WILAYAH KOTA
MEDAN ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Diare merupakan salah satu penyakit yang dapat ditangani dengan swamedikasi. Petugas apotek harus mampu melakukan patient a ssessment, penentuan rekomendasi, serta pemberian informasi obat dan non farmakologi yang tepat untuk menjamin kualitas layanan swamedikasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai profil patient assessment, rekomendasi, serta pemberian informasi obat dan non farmakologi yang dilakukan oleh petugas apotek pada klien yang melakukan swamedikasi dengan keluhan diare.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode simulasi pasien dimana peneliti bertindak sebagai klien apotek (pasien simulasi) mengunjungi 80 apotek di wilayah Medan yang dipilih secara acak dan menyebutkan akan membeli obat diare, sesuai dengan skenario. Profil pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh petugas apotek dicatat dalam lembar checklist dan pengolahan data dilakukan dengan Microsoft Excel.
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa profil patient assessment yang
paling banyak ditanyakan adalah “siapa yang sakit” (n=15; 18,75%), rekomendasi
yang paling banyak diberikan adalah berupa rekomendasi obat (n=80; 100%), yaitu jenis obat adsorben dengan bentuk sediaan suspensi (n=40; 50%). Informasi obat yang paling banyak diberikan yaitu dosis (n=75; 93,75%), serta pemberian informasi non farmakologi berupa makanan, intake cairan dan pola hidup masing-masing memiliki persentase yang samayaitu 2,50% (n=2).
Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa masih banyak profil pa tient a ssessment dan informasi obat serta informasi non farmakologi yang belum digali dan diberikan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi sehingga pelayanan kefarmasian petugas apotek di wilayah Medan terhadap pasien swamedikasi kasus diare anak masih perlu ditingkatkan.
vii
SELF-MEDICATION SERVICE PROFILE OF DIARRHEA IN
CHILDREN BY PHARMACIES’ EMPLOYEE AT PHARMACIES IN MEDAN
ABSTRACT
Background: Diarrhea remains a public health problem in developing countries such as Indonesia, since morbidity and mortality are still high. Diarrhea is one of the illnesses that can be relieved with self-medication. Pharmacies‟employee had to do patient assessment, determination of the recommendations, as well as provide medicinal and non-pharmacological information properly to guarantee the quality of self-medication service.
Purpose: This study aims to assess the profile of patient assessment, recommendations, as well as medicinal and non-pharmacological information given by pharmacy employee to a client who requested antidiarrhea medicines. Method: This study used a patient simulation method that researcher acted as observer visited 80 randomly selected pharmacies in Medan and requested antidiarrhea medicines. The observations were recorded in a checklist, then data were analysed using Microsoft Excel.
Results: The research shows that the profile of the patient assessment the most widely asked is "who is sick" (n = 15; 18.75%), most recommendations given are drug recommendation (n = 80; 100%) which is an adsorbent with suspension dosage forms (n = 40; 50%). Types of medicinal information mustly given were dosing (n = 75; 93,75%). Non-pharmacological information included food, liquid intake, and lifestyle each have the same percentage, which is 2.50% (n = 2). Conclusion: Based on the research results obtained that many profile patient assessment and drug information as well as non-pharmacological information
which had not been given by pharmacies‟ employee to self-medication patient, so that the performance of pharmacies‟ employee about pharmaceutical service for self-medication of diarrhea in children needed to be improved.
viii DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Hipotesis ... 4
1.4 Tujuan Penelitian ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 5
1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Tinjauan Umum Apotek ... 8
2.2 Pelayanan Swamedikasi ... 9
2.2.1 Patient assessment ... 9
ix
2.2.3 Informasi obat ... 11
2.2.4 Informasi non farmakologi ... 12
2.3 Obat ... 13
2.3.1 Definisi obat ... 13
2.3.2 Penggolongan obat ... 14
2.3.3 Penggunaan obat swamedikasi ... 17
2.4 Diare ... 18
2.4.1 Definisi diare ... 18
2.4.2 Manifestasi klinis ... 19
2.4.3 Penyebab diare ... 19
2.4.4 Klasifikasi diare ... 20
2.4.5 Terapi farmakologi ... 20
2.4.5.1 Opiat dan turunannya ... 21
2.4.5.2 Adsorben ... 21
2.4.5.3 Antisekresi ... 21
2.4.5.4 Produk lain ... 21
2.4.6 Terapi non farmakologi ... 22
2.4.6.1 Perubahan pola makan ... 22
2.4.6.2 Cairan dan elektrolit ... 22
BAB III METODE PENELITIAN ... 23
3.1 Jenis Penelitian ... 23
3.2 Populasi dan Sampel .. ... 23
3.2.1 Populasi penelitian ... 23
x
3.2.3 Sampel penelitian ... 24
3.3 Metode Pengambilan Sampel ... 25
3.3.1 Teknik sampling ... 25
3.3.2 Variabel penelitian ... 25
3.3.2.1 Patient assessment ... 26
3.3.2.2 Rekomendasi ... 27
3.3.2.3 Informasi obat ... 27
3.3.2.4 Informasi non farmakologi ... 28
3.3.3 Instrumen penelitian ... 28
3.3.4 Skenario ... 28
3.3.5 Checklist ... 29
3.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 30
3.5 Teknik Analisis Data ... 31
3.6 Alur Penelitian ... 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
4.1 Profil Pa tient Assessment ... 33
4.2 Profil Rekomendasi ... 37
4.2.1 Jenis obat yang direkomendasikan ... 38
4.2.2 Rentang harga obat yang direkomendasikan ... 43
4.2.3 Golongan obat yang direkomendasikan ... 45
4.3 Profil Informasi Obat ... 46
4.4 Profil Informasi Non Farmakologi ... 49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
xi
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Variabel Penelitian ... 26
Tabel 4.1 Distribusi Komponen Patient Assessment yang Ditanyakan oleh Petugas Apotek ... 34
Tabel 4.2 Rekomendasi yang Diberikan oleh Petugas Apotek ... 37
Tabel 4.3 Jenis Obat yang Direkomendasikan oleh Petugas Apotek ... 38
Tabel 4.4 Rentang Harga Obat yang Direkomendasikan ... 44
Tabel 4.5 Golongan Obat yang Direkomendasikan ... 45
Tabel 4.6 Distribusi Informasi Obat yang Diberikan oleh Petugas Apotek ... 47
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian ... 7 Gambar 3.1 Alur Penelitian ... 32 Gambar 4.1 Persentase Patient Assessment yang Ditanyakan oleh
Petugas Apotek ... 34 Gambar 4.2 Persentase Jenis Obat yang Direkomendasikan oleh
Petugas Apotek ... 41 Gambar 4.3 Persentase Rentang Harga Obat yang
Direkomendasikan oleh Petugas Apotek ... 44 Gambar 4.4 Persentase Golongan Obat yang Direkomendasikan oleh Petugas Apotek ... 46 Gambar 4.5 Persentase Informasi Obat yang Diberikan oleh
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PROFIL PELAYANAN SWAMEDIKASI OLEH PETUGAS APOTEK TERHADAP KASUS DIARE ANAK DI APOTEK WILAYAH KOTA
MEDAN ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Diare merupakan salah satu penyakit yang dapat ditangani dengan swamedikasi. Petugas apotek harus mampu melakukan patient a ssessment, penentuan rekomendasi, serta pemberian informasi obat dan non farmakologi yang tepat untuk menjamin kualitas layanan swamedikasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai profil patient assessment, rekomendasi, serta pemberian informasi obat dan non farmakologi yang dilakukan oleh petugas apotek pada klien yang melakukan swamedikasi dengan keluhan diare.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode simulasi pasien dimana peneliti bertindak sebagai klien apotek (pasien simulasi) mengunjungi 80 apotek di wilayah Medan yang dipilih secara acak dan menyebutkan akan membeli obat diare, sesuai dengan skenario. Profil pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh petugas apotek dicatat dalam lembar checklist dan pengolahan data dilakukan dengan Microsoft Excel.
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa profil patient assessment yang
paling banyak ditanyakan adalah “siapa yang sakit” (n=15; 18,75%), rekomendasi
yang paling banyak diberikan adalah berupa rekomendasi obat (n=80; 100%), yaitu jenis obat adsorben dengan bentuk sediaan suspensi (n=40; 50%). Informasi obat yang paling banyak diberikan yaitu dosis (n=75; 93,75%), serta pemberian informasi non farmakologi berupa makanan, intake cairan dan pola hidup masing-masing memiliki persentase yang samayaitu 2,50% (n=2).
Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa masih banyak profil pa tient a ssessment dan informasi obat serta informasi non farmakologi yang belum digali dan diberikan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi sehingga pelayanan kefarmasian petugas apotek di wilayah Medan terhadap pasien swamedikasi kasus diare anak masih perlu ditingkatkan.
vii
SELF-MEDICATION SERVICE PROFILE OF DIARRHEA IN
CHILDREN BY PHARMACIES’ EMPLOYEE AT PHARMACIES IN MEDAN
ABSTRACT
Background: Diarrhea remains a public health problem in developing countries such as Indonesia, since morbidity and mortality are still high. Diarrhea is one of the illnesses that can be relieved with self-medication. Pharmacies‟employee had to do patient assessment, determination of the recommendations, as well as provide medicinal and non-pharmacological information properly to guarantee the quality of self-medication service.
Purpose: This study aims to assess the profile of patient assessment, recommendations, as well as medicinal and non-pharmacological information given by pharmacy employee to a client who requested antidiarrhea medicines. Method: This study used a patient simulation method that researcher acted as observer visited 80 randomly selected pharmacies in Medan and requested antidiarrhea medicines. The observations were recorded in a checklist, then data were analysed using Microsoft Excel.
Results: The research shows that the profile of the patient assessment the most widely asked is "who is sick" (n = 15; 18.75%), most recommendations given are drug recommendation (n = 80; 100%) which is an adsorbent with suspension dosage forms (n = 40; 50%). Types of medicinal information mustly given were dosing (n = 75; 93,75%). Non-pharmacological information included food, liquid intake, and lifestyle each have the same percentage, which is 2.50% (n = 2). Conclusion: Based on the research results obtained that many profile patient assessment and drug information as well as non-pharmacological information
which had not been given by pharmacies‟ employee to self-medication patient, so that the performance of pharmacies‟ employee about pharmaceutical service for self-medication of diarrhea in children needed to be improved.
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan. Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Depkes RI, 2014). Pelayanan informasi terkait obat penting disampaikan agar masyarakat paham bagaimana menggunakan obat sesuai aturan dan tata cara yang tepat sehingga obat bisa mencapai efek terapi secara optimal.
Salah satu sarana pelayanan kefarmasian di masyarakat adalah apotek. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, apoteker dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (Menkes RI, 2009). Pelayanan kefarmasian yang dapat dijumpai di apotek adalah pelayanan dengan resep dan tanpa resep.
2
dokter terlebih dahulu (Menkes RI, 1993). Upaya pengobatan sendiri ini dapat berupa pengobatan dengan obat modern atau obat tradisional.
Fakta menunjukkan bahwa persentase pelayanan swamedikasi lebih banyak dibandingkan pelayanan resep, yaitu antara 20–70%. Tingginya kebutuhan masyarakat untuk melakukan swamedikasi menuntut pemerintah Indonesia meningkatkan sarana yang dapat mendukung tindakan swamedikasi secara tepat, aman dan rasional. Dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk melakukan swamedikasi, Menteri Kesehatan RI menerbitkan Surat Keputusan tentang pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas di apotek (Depkes RI, 2006; Rinukti, 2005).
3
mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini (Chua, dkk., 2006; Depkes RI, 2006).
Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan pelayanan kefarmasian tanpa resep dengan kasus diare pada anak di apotek wilayah Medan. Pertimbangannya adalah menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013, secara global diare adalah penyebab kematian kedua pada anak dibawah 5 tahun, setiap tahunnya sekitar 760.000 anak di bawah lima tahun meninggal karena diare.
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Pada skala nasional berdasarkan data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013, insiden diare berdasarkan gejala pada seluruh kelompok umur sebesar 3,5% dan insiden diare pada balita sebesar 6,7% (Depkes RI, 2007; Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan data Profil Kesehatan Kabupaten/Kota 2012, jumlah diare yang ditangani oleh puskesmas di kota Medan adalah sebanyak 30.440 atau 33,90% (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2012). Case Fatality Rate (CFR) akibat diare sebesar 2,67% dengan 2 penderita meninggal dari 75 kasus (Kemenkes RI, 2014).
4
mereka mudah terserang diare akibat bakteri atau virus (Chiller, dkk., 2006; Ruth, 2007).
Penelitian mengenai penggalian informasi dan rekomendasi pelayanan swamedikasi oleh petugas apotek terhadap kasus diare anak sebelumnya pernah dilakukan di Surabaya, oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui kualitas pelayanan kefarmasian swamedikasi oleh petugas apotek terhadap kasus diare anak di wilayah Medan. Pada pasien diare anak perlu penanganan khusus dalam pemberian obat maupun terapi non farmakologi, sehingga diharapkan petugas apotek dapat melakukan patient assessment, rekomendasi, dan pemberian informasi obat dan non farmakologi yang spesifik kepada pasien swamedikasi agar diperoleh hasil terapi yang optimal.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
a. Bagaimana profil patient assessment yang dilakukan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi kasus diare pada anak?
b. Bagaimana profil rekomendasi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi kasus diare pada anak?
c. Bagaimana profil informasi terkait obat dan non farmakologi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi kasus diare pada anak?
1.3 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
5
b. Petugas apotek memberikan rekomendasi berupa obat terhadap pasien swamedikasi yang datang dengan keluhan diare pada anak.
c. Petugas apotek memberikan informasi terkait obat dan non farmakologi terhadap pasien swamedikasi yang datang dengan keluhan diare pada anak. 1.4Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Profil patient assessment yang dilakukan petugas apotek terhadap pasien swamedikasi yang datang dengan keluhan diare pada anak.
b. Profil rekomendasi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi yang datang dengan keluhan diare pada anak.
c. Profil informasi terkait obat dan non farmakologi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi yang datang dengan keluhan diare pada anak.
1.5Manfaat Penelitian
Berdasarkan penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Memberikan masukan kepada apoteker agar bisa meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek, khususnya pelayanan kefarmasian swamedikasi.
6 1.6 Kerangka Pikir Penelitian
7 1. Siapa yang sakit diare? 2. Berapa usia yang sakit diare? 3. Apa gejala yang dialami
pasien?
4. Berapa lama pasien diare mengalami sakit? 5. Apa tindakan yang sudah
diperbuat selama mengalami gejala diare?
6. Apa obat-obat lain yang sedang digunakan?
Rekomendasi:
1. Apakah berupa rujukan ke dokter? 11. Cara perlakuan sisa obat 12. Identifikasi obat yang rusak
Informasi non farmakologi: 1. Makanan
2. Inta ke Cairan 3. Pola hidup
Parameter
Gambar 1.1 Skema Kerangka Pikir Penelitian Variabel
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh apoteker (Depkes RI, 2014). Apotek merupakan tempat
pengabdian dan praktek profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian
untuk membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Untuk menunjang fungsi tersebut apotek dituntut menyelenggarakan
pelayanan farmasi yang berkualitas (Hartini dan Sulasmono, 2006). Dalam
menjalani pekerjaan kefarmasian, apoteker dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian
yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan
Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (Menkes RI, 2009).
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Depkes
RI, 2014). Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan,
pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus
kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan
komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasin (Depkes RI, 2014). Pelayanan
kefarmasian yang dapat dijumpai di apotek adalah pelayanan dengan resep dan
9
2.2 Pelayanan Swamedikasi
Pelayanan swamedikasi merupakan pelayanan terhadap pasien atau klien
yang datang dengan keluhan gejala yang timbul atau dengan meminta suatu
produk obat tertentu tanpa resep dari dokter. Swamedikasi berarti mengobati
segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek
atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Indriyanti, 2009).
Pelayanan swamedikasi memiliki persentase yang lebih tinggi
dibandingkan pelayanan resep, yaitu antara 20–70%. Sekarang ini, masyarakat
akan berusaha mengatasi sendiri masalah kesehatannya yang sifatnya sederhana
dan umum diderita. Hal itu dilakukan karena pengobatan sendiri (swamedikasi)
dianggap lebih murah dan praktis. Kondisi seperti ini merupakan tantangan dan
kesempatan bagi pemerintah, para tenaga kesehatan dan institusi yang
menyediakan produk-produk untuk swamedikasi sehingga dapat mendukung
tindakan swamedikasi secara tepat, aman dan rasional (BPOM, 2004; Depkes RI,
2006; Rinukti, 2005).
Pada pelayanan swamedikasi terdapat beberapa profil pelayanan yang
diberikan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yang terdiri dari patient
assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi.
2.2.1 Patient assessment
Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasien yang penting dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan
identifikasi pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pengambilan tindakan oleh apoteker sebelum konseling
yang dijadikan referensi untuk rekomendasi adalah sejarah pengobatan, obat
10
pengobatan lain yang sedang digunakan, obat sejenis lainnya yang digunakan,
alergi obat, apakah pernah terjadi sakit seperti sebelumnya, gejala lain, dan
apakah sudah ke dokter (Chua, dkk., 2006).
Kemungkinan pertanyaan yang bisa ditanyakan oleh apoteker
diidentifikasi berdasarkan pada WWHAM (Who the patient?, What are the
symptoms?, How long have the symptoms been presents?, Action taken?, Medication being taken?), ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time symptoms, History, Other accompanying symptoms, Danger symptoms), SITDOWNSIR (Site/location, Intensity/severity, Tipe/nature, Duration, Onset, With other symptoms, Annoyed by, Spread/radiation, Incidence, Relieved by), ENCORE (Explore, No medication option, Care, Observe, Refer, Explain) (Blenkinsopp dan Paxton, 2002).
2.2.2 Rekomendasi
Rekomendasi merupakan saran menganjurkan yang diberikan oleh petugas
apotek kepada pasien swamedikasi yaitu dapat berupa rujukan ke dokter ataupun
rekomendasi obat. Petugas apotek harus dapat membedakan tingkat keseriusan
gejala penyakit yang timbul dan tindakan yang harus diambil sehingga dapat
memberikan saran berupa pemberian obat atau rujukan ke dokter. Rekomendasi
yang tepat dapat diberikan sesuai dengan patient assessment yang telah ditanyakan oleh petugas apotek. Apoteker dapat memberi rekomendasi rujukan ke
dokter jika gejala penyakitnya berat atau parah (Blenkinsopp dan Paxton, 2002;
Chua, dkk., 2006).
Pada kasus diare, rujukan ke dokter diperlukan jika (Spruill dan William, 2008):
a. Nyeri perut yang hebat dan kram.
11
c. Dehidrasi (haus, mulut kering, lemas, urin berwarna pekat, jarang
buang air kecil, penurunan jumlah urin, kulit kering, nadi yang cepat,
napas cepat, kram otot, otot lemah).
d. Demam tinggi (lebih dari 38ºC).
e. Penurunan berat badan lebih dari 5% total berat badan.
f. Diare berlangsung lebih dari 48 jam.
2.2.3 Informasi obat
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi secara kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan
obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Depkes RI, 2014).
Informasi obat yang diberikan pada pasien sekurang-kurangnya meliputi:
cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas
serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Adapun
informasi yang perlu disampaikan terkait penggunaan obat bebas atau obat bebas
terbatas antara lain (Menkes RI, 2004; Depkes RI, 2006):
a. Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami pasien.
b. Kontraidikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontraindikasi
dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra
indikasi dimaksud.
c. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi
informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang
12
d. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada
pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup,
dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain.
e. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat
menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen
(sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat
menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
f. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan
jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan
tidur.
g. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan
kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan
karena penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan
dokter.
h. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya
pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu
bersamaan.
i. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat.
j. Cara penyimpanan obat yang baik.
k. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa.
l. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak.
2.2.4 Informasi non farmakologi
Dalam pengobatan diare selain informasi mengenai obat, informasi non
13
menunjang keberhasilan terapi. Beberapa informasi non farmakologi terhadap
kasus diare yang dapat diberikan antara lain (Depkes RI, 2006):
a. Minum banyak cairan (air, sari buah, sup bening). Hindari alkohol,
kopi/teh, susu.
b. Hindari makanan padat atau makanlah makanan yang tidak berasa (bubur,
roti, pisang) selama 1–2 hari.
c. Minum cairan rehidrasi oral-oralit/larutan gula garam.
d. Cucilah tangan dengan baik setiap habis buang air besar dan sebelum
menyiapkan makanan.
e. Tutuplah makanan untuk mencegah kontaminasi dari lalat, kecoa dan
tikus.
f. Simpanlah secara terpisah makanan mentah dan yang matang, simpanlah
sisa makanan di dalam kulkas.
g. Gunakan air bersih untuk memasak.
h. Air minum harus direbus terlebih dahulu.
i. Jaga kebersihan lingkungan.
2.3 Obat
2.3.1 Definisi obat
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelediki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Depkes RI,
14
2.3.2 Penggolongan obat
Obat dapat dibagi menjadi 6 golongan yaitu (Menkes RI, 1990; Menkes
RI, 1993; Menkes RI, 1999; Depkes RI, 2006) :
a. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah
lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh: parasetamol, vitamin.
b. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras
tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai
dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Selain tanda khusus obat bebas terbatas, terdapat pula tanda peringatan.
Tanda peringatan ini diberikan karena hanya dengan takaran dan kemasan
tertentu obat ini aman dipakai untuk pengobatan sendiri. Tanda peringatan
berupa empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam yang
15 Contoh: CTM, antimo
c. Obat Keras
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep
dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam
lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh: asam mefenamat, tetrasiklin, sefalosporin, dsb.
16
Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker
kepada pasien di apotek tanpa resep dokter.
Sampai saat ini terdapat tiga daftar obat yang diperbolehkan diserahkan
tanpa resep dokter. Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek
tercantum dalam :
1) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/MenKes/SK/VII/1990
tentang Obat Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1
2) Peraturan Menteri Kesehatan nomor 924/Menkes/Per/X/1993
tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2
3) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999
tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3
Contoh: Asam mefenamat, salep hidrokortison, salep kloramfenikol.
e. Obat Psikotropika
Obat psikotropika adalah obat keras alamiah maupun sintetis bukan
narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.
Contoh: diazepam, fenobarbital.
f. Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat keras yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
17 Contoh: morfin dan petidin.
2.3.2 Penggunaaan obat swamedikasi
Dalam penatalaksanaan swamedikasi, masyarakat memerlukan pedoman
yang terpadu agar tidak terjadi kesalahan pengobatan (medication error). Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai
pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi. Obat-obat yang dapat digunakan dalam swamedikasi adalah
obat-obat yang termasuk dalam golongan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan
obat-obat dalam Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) (Depkes RI, 1990; Depkes
RI, 2006).
Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus
diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman.
Informasi tersebut dapat diperoleh dari brosur dan etiket yang tertera pada
kemasan obat. Dalam menentukan jenis obat yang akan diberikan kepada pasien
swamedikasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu (Depkes RI, 2006):
a. Gejala atau keluhan penyakit.
b. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes
mellitus, dan lain-lain.
c. Riwayat alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu.
d. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada
interaksinya dengan obat yang sedang diminum.
Pada pasien swamedikasi terdapat cara penggunaan obat yang harus diperhatikan
antara lain sebagai berikut (Depkes RI, 2006):
18
b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur.
c. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,
hentikan penggunaan dan tanyakan kepada apoteker dan dokter.
d. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama.
e. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap,
tanyakan kepada apoteker.
2.4 Diare
2.4.1 Definisi diare
Diare (diarrheal disease) berasal dari kata diarroia (bahasa Yunani) yang berarti mengalir terus. Diare adalah suatu keadaan kehilangan banyak cairan dan
elektrolit melalui tinja, sehingga terjadi perubahan konsistensi tinja (lembek atau
cair). Diare juga dapat didefinisikan sebagai kondisi meningkatnya frekuensi
buang air besar (BAB) dan menurunnya konsistensi feses dibandingkan pada
individu dengan kondisi saluran pencernaan yang normal. Diare yang hanya
sekali-sekali tidak berbahaya dan biasanya sembuh sendiri, tetapi diare yang berat
bisa menyebabkan dehidrasi dan bisa membahayakan jiwa (Depkes RI, 2006;
Gishan, 2003; Spruill dan William, 2008).
Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak yang terjadi pada
bayi dan anak yang sebelumnya sehat dan berlangsung kurang dari 14 hari,
sedangkan diare kronis adalah diare yang berlangsung terus menerus selama lebih
dari 2 minggu. Diare secara umum terbagi atas tiga karakteristik yaitu: akut cair,
persisten dan disentri. Diare cair akut adalah diare yang berlangsung secara
tiba-tiba selama kurang dari 14 hari. Persisten diare apabila terjadi lebih dari 14 hari,
19
nutrisi, sedangkan disentri adalah diare disertai darah pada feses (Partawihardja,
1990; WHO, 2005).
2.4.2 Manifestasi klinis
Pada bayi atau anak terlihat tanda dan gejala berupa gelisah, mudah
menangis, suhu badan mungkin meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada,
kemudian timbul diare. Feses berbentuk cair, mungkin disertai lendir dan darah.
Warna feses dapat berubah kehijauan karena bercampur dengan empedu. Gejala
muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak
kehilangan cairan dan elektrolit maka terjadi gejala dehidrasi. Berat badan
penderita pun cenderung menurun, serta selaput lendir mulut dan bibir terlihat
kering (Ngastiyah, 2005).
2.4.3 Penyebab diare
Penyebab diare berupa infeksi masih merupakan masalah yang cukup
serius di negara berkembang, dan dapat berupa infeksi parenteral (infeksi jalur
napas, saluran kencing dan infeksi sistemik) maupun infeksi enteral (bakteri,
virus, dan parasit). Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar
saluran pencernaan yang dapat menyebabkan diare seperti otitis media akut
(OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia, dsb. Bakteri merupakan penyebab
terbesar pada diare akut. Jenis bakteri yang umumnya menjadi penyebab diare
antara lain Shigella, Salmonella, Campylobacter, Staphylococcus, dan Escherichia
coli. Virus penyebab diare antara lain virus Norwalk dan rotavirus, sedangkan infeksi parasit yang menyebabkan diare antara lain ascaris, giardia lamblia, candida albicans, dll. (Hassan, 2005; Spruill dan William, 2008).
Malabsorpsi juga merupakan salah satu faktor penyebab diare, yaitu
20
protein, dan malabsorpsi lemak. Makanan basi, beracun atau mempunyai alergi
terhadap makanan tertentu juga dapat menjadi penyebab diare. Faktor psikologis
seperti rasa takut dan cemas walaupun jarang, dapat menimbulkan diare terutama
pada anak yang lebih besar. Penggunaan obat-obatan dapat menjadi penyebab
diare seperti obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang memiliki efek samping
berupa diare (Goodman dan Gilman, 2001; Hassan, 2005).
2.4.4 Klasifikasi diare
Klasifikasi diare berdasarkan mekanisme patofisiologinya, yaitu
(Sukandar, dkk., 2009):
a. Secretory diarrhea, terjadi ketika senyawa yang strukturnya mirip (contoh: Vasocative Intestinal Peptide (VIP) atau toksin bakteri) meningkatkan sekresi atau menurunkan absorpsi air dan elektrolit dalam jumlah besar.
b. Osmotic diarrhea, disebabkan oleh absorpsi zat-zat yang mempertahankan cairan intestinal.
c. Exudative diarrhea, disebabkan oleh penyakit infeksi saluran pencernaann yang mengeluarkan mukus, protein atau darah ke dalam saluran
pencernaan.
d. Motilitas usus dapat berubah dengan mengurangi waktu kontak di usus
halus, pengosongan usus besar yang prematur dan pertumbuhan bakteri
yang berlebihan.
2.4.5 Terapi farmakologi
Menurut Spruill dan William (2008), terapi farmakologi pada diare terdiri
dari antimotilitas, adsorben, antisekresi, antibiotik, enzim, dan probiotik.
21
Opiat dan turunannya berfungsi sebagai (a) menunda transit isi
intraluminal atau (b) meningkatkan kapasitas saluran cerna, memperpanjang
waktu kontak dan absorpsi. Keterbatasan penggunaan opiat adalah potensi
terjadinya adiksi dan memperburuk penyakit pada diare yang disebabkan oleh
infeksi (Spruill dan William, 2008). Contoh produk: Lopamid®, Imodium®,
Lodia®, Diasec®, dan lain-lain (MIMS, 2013).
2.4.5.2 Adsorben
Adsorben bekerja secara tidak spesifik dengan menyerap nutrisi, toksin,
maupun obat. Pemberian bersama dengan obat lain akan mengurangi
bioavailibilitasnya (Spruill dan William, 2008). Contoh produk: Biodiar®, New
Diatabs®, Entrostop®, dan lain-lain (MIMS, 2013).
2.4.5.3 Antisekresi
Bismut subsalisilat sering digunakan untuk pengobatan atau pencegahan
diare dan memliki efek antisekresi, antiinflamasi, dan antibakteri. Bismut
subsalisilat dapat meringankan keram perut dan mengontrol diare. Oktreotid
adalah antisekresi yang digunakan selama diare berat disebabkan kemoterapi
kanker, HIV, diabetes, gangguan lambung, dan tumor gastrointestinal (Spruill dan
William, 2008). Contoh produk: Stobiol® (MIMS, 2013).
2.4.5.4 Produk lain
Sediaan lactobacillus seperti Lactinex® adalah probiotik yang mengandung bakteri atau khamir (yeast) yang digunakan untuk menormalkan
fungsi pencernaan dan menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen pada
saluran pencernaan. Selain itu atropin juga dapat membantu memperpanjang
transit usus (Spruill dan William, 2008). Contoh produk: L-Bio®, Lacto-B®,
22
2.4.6 Terapi non farmakologi
Selain terapi farmakologi terdapat pula terapi non farmakolgi yang penting
dianjurkan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi sehingga hasil terapi
yang optimal dapat diperoleh. Menurut Spruill dan William (2008), terapi non
farmakologi pada diare terdiri dari perubahan pola makan dan pemberian cairan
dan elektrolit.
2.4.6.1 Perubahan pola makan
Kebanyakan klinisi menganjurkan untuk tidak mengonsumsi makanan
padat dan produk yang mengandung susu selama 24 jam. Bagi pasien diare yang
mengalami mual dan muntah dianjurkan mengonsumsi makanan yang bertekstur
lembut dan mudah dicerna selama 24 jam. Pemberian makanan harus tetap
diberikan kepada pasien anak dengan diare akut (Spruill dan William, 2008).
2.4.6.2 Cairan dan elektrolit
Pada pasien diare, rehidrasi dan penyeimbangan cairan dan elektrolit
merupakan tujuan terapi paling utama yang dilakukan hingga diare berhenti. Rute
parenteral dan enteral dapat digunakan untuk memberikan cairan dan elektrolit.
Cairan rehidrasi oral sangat direkomendasikan untuk mengatasi dehidrasi berat.
Pada negara berkembang, World Health Organization Oral Rehydration Solution
(WHO-ORS) berhasil menyelamatkan jutaan anak akibat diare setiap tahunnya
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif
merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi
mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya
pada saat penelitian dilakukan (Arikunto, 2010). Penelitian ini dimaksudkan untuk
memberikan deskripsi tentang pelayanan kefarmasian swamedikasi di apotek
wilayah Medan terhadap kasus diare pada anak. Penelitian ini menggunakan
metode simulasi pasien. Metode ini menggunakan seseorang yang dilatih untuk
mengunjungi apotek dan memerankan skenario tertentu. Tujuannya adalah untuk
menguji perilaku tertentu dari apoteker atau petugas apotek (Watson, 2006).
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini populasi yang digunakan cukup
besar, jumlah apotek di kota Medan menurut Binfar tahun 2013 yaitu 575 apotek
(Depkes RI, 2013). Jika diadakan pengamatan ke seluruh apotek di wilayah
Medan akan terkendala waktu yang panjang, dana yang banyak, dan juga tenaga.
Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, maka populasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah apotek-apotek di sepuluh kecamatan Medan (Medan Johor,
Medan Amplas, Medan Kota, Medan Area, Medan Maimun, Medan Polonia,
Medan Baru, Medan Barat, Medan Denai, dan Medan Petisah) yang dianggap
24
3.2.2 Kriteria inklusi dan eksklusi
Kriteria inklusi sampel penelitian adalah apotek-apotek di sepuluh
kecamatan kota Medan yang dianggap mewakili seluruh apotek di wilayah
Medan. Sedangkan kriteria eksklusinya yaitu apotek yang dikelola oleh rumah
sakit dan klinik.
3.2.3 Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah sebagian objek yang diambil dari keseluruhan
objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010).
Dari sepuluh kecamatan yang terpilih terdapat 327 apotek yang dianggap
mewakili seluruh apotek di wilayah Medan karena telah melebihi dari 50% jumlah
seluruh apotek di wilayah Medan. Selanjutnya dilakukan perhitungan besar
sampel dengan rumus Slovin (Umar, 2004) sebagai berikut:
n =
Keterangan :
n = jumlah sampel
N = besarnya populasi
e = nilai kritis atau batas ketelitian yang diinginkan (persen kelonggaran
ketidaktelitian karena kesalahan penarikan sampel)
n =
n =
n =
n =
25
Berdasarkan rumus diatas, dengan tingkat ketepatan 10%, didapatkan jumlah
sampel sebanyak 76,58 apotek atau dibulatkan menjadi 80 apotek.
3.3 Metode Pengambilan Sampel 3.3.1 Teknik sampling
Dalam penentuan sampel, digunakan simple random sampling. Teknik simple random sampling yaitu dilakukan secara acak tanpa memperhatikan adanya strata (Notoatmodjo, 2010). Dasar memilih teknik ini karena anggota
populasi dianggap sama/homogen. Homogen di sini maksudnya adalah tidak ada
kriteria-kriteria tertentu untuk digunakan sampel, sebab tujuan penelitian ini untuk
mengetahui profil pelayanan kefarmasian di apotek tanpa mempertimbangkan
apotek itu besar atau kecil, terkenal atau tidak, tempatnya di mana, dan yang
memberi informasi apoteker atau bukan. Sarana acak yang digunakan dalam
penentuan sampel adalah menggunakan Microsoft Excel, yaitu dengan
memasukkan rumus random pada daftar apotek sehingga didapatkan
nomor-nomor acak sebanyak 80 buah.
3.3.2 Variabel penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang
maupun objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
26
Tabel 3.1 Variabel Penelitian
Variabel Parameter
Patient assessment Siapa yang sakit diare? Berapa usia yang sakit diare? Apa gejala yang dialami pasien?
Berapa lama pasien diare mengalami sakit? Apa tindakan yang sudah diperbuat selama mengalami gejala diare?
Pengobatan lain yang sedang digunakan?
Rekomendasi Apakah berupa rujukan ke dokter?
Apakah berupa rekomendasi obat?
Informasi non farmakologi Makanan
Intake cairan Pola hidup
3.3.2.1 Patient assessment
Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasien
yang penting dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan
identifikasi pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi. Kemungkinan
pertanyaan yang bisa ditanyakan oleh apoteker diidentifikasi berdasarkan pada
WWHAM (Who the patient?, What are the symptoms?, How long have the
symptoms been presents?, Action taken?, Medication being taken?), ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time
27
SITDOWNSIR (Site/location, Intensity/severity, Tipe/nature, Duration, Onset,
With other symptoms, Annoyed by, Spread/radiation, Incidence, Relieved by), ENCORE (Explore, No medication option, Care, Observe, Refer, Explain)
(Blenkinsopp dan Paxton, 2002). Patient assessment dalam penelitian ini merujuk
pada WWHAM.
3.3.2.2 Rekomendasi
Pada variabel rekomendasi terdapat dua komponen yaitu berupa rujukan
ke dokter dan rekomendasi obat. Rekomendasi yang tepat dapat diberikan sesuai
dengan patient assessment yang telah ditanyakan oleh petugas apotek, sehingga patient assessment adalah komponen yang mendasari untuk memberikan rekomendasi selanjutnya.
3.3.2.3 Informasi obat
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan
obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Menkes RI, 2014).
Informasi yang perlu disampaikan oleh Apoteker pada masyarakat dalam
penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain khasiat obat,
kontraindikasi, efek samping, cara pemakaian, dosis, waktu pemakaian, lama
penggunaan obat, hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, hal
apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat, cara penyimpanan obat yang
baik, cara memperlakukan obat yang masih tersisa, dan cara membedakan obat
28
3.3.2.4 Informasi non farmakologi
Informasi non farmakologi dalam penelitian ini terdiri dari tiga indikator
yaitu makanan, intake cairan, dan pola hidup. Informasi non farmakologi berfungsi sebagai penunjang akan keberhasilan terapi.
3.3.3 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian merupakan suatu alat ukur dalam penelitian, yaitu
suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang
diamati (Sugiyono, 2012). Instrumen dalam penelitian ini adalah skenario dan
checklist. Sebelum melakukan simulasi pasien di apotek, peneliti harus sudah menyiapkan dahulu skenario yang digunakan dan lembar checklist yang berisi poin-poin yang ingin didapatkan sebagai data pengamatan.
3.3.4 Skenario
Skenario yang digunakan berisi informasi mengenai pasien dan hal-hal
yang harus dilakukan pada saat simulasi pasien untuk memperlancar jalannya
pengamatan. Skenario disiapkan untuk menghindari kecurigaan dari petugas
apotek terhadap simulasi pasien yang dijalankan sehingga pengamatan yang
dilakukan dapat optimal.
Skenario kasus diare pada anak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Peneliti datang ke apotek untuk membeli obat diare.
2. Jika petugas apotek melakukan patient assessment, maka skenario yang digunakan peneliti adalah :
Pasien : Alif
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 4 tahun
29
Alamat : Jln. Teladan No. 47
Gejala yang dikeluhkan : Buang air besar 5x sehari, konsistensi lembek.
Lama gejala yang dialami sampai sekarang : 1 hari
Tindakan yang sudah diperbuat : Belum ada
Obat lain yang sedang digunakan : Tidak ada
Makanan yang dikonsumsi kemarin : Makan makanan pedas.
Alasan ke apotek : Sedang lewat daerah tersebut dari rumah teman.
3. Jika tidak ada informasi obat yang diberikan maka peneliti bertanya : “Berapa
banyak obat yang diminum?”
4. Pencatatan dilakukan di luar apotek tanpa sepengetahuan petugas apotek.
3.3.5 Checklist
Checklist adalah suatu daftar pengecek, berisi nama subjek dan beberapa gejala/identitas lainnya dari sasaran pengamatan (Notoatmodjo, 2010). Pada
penelitian ini, pengumpulan data menggunakan observasi dalam bentuk checklist.
Dalam observasi, bentuk checklist data yang digunakan yaitu daftar variabel yang
akan dikumpulkan datanya. Dalam hal ini peneliti hanya akan memberikan tanda
check (√) jika kriteria yang dimaksud dalam format observasi ditunjukkan oleh
petugas apotek.
Lembar checklist yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari penelitian terdahulu (Leksono, 2011). Isi lembar checklist adalah patient assessment, rekomendasi, dan informasi terkait obat maupun non farmakologi sebagai pelayanan yang diberikan apotek kepada klien diare pada anak. Lembar
30
3.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Uji validitas isi (content validity) digunakan untuk menilai validitas dari
skenario dan lembar checklist. Kedua instrumen tersebut dapat dikatakan valid karena isi dari kedua instrumen tersebut mewakili variabel yang akan diteliti yang
diperoleh dari pustaka dan sudah pernah digunakan pada penelitian terdahulu.
Dalam penelitian ini digunakan validitas rupa yang didasarkan pada
penilaian format tampilan dari alat ukur yang ada (Nisfiannoor, 2009). Validitas
ini dianggap terpenuhi apabila penampilan alat ukur atau tes telah meyakinkan
dan memberi kesan mampu mengungkapkan apa yang hendak diukur
(Nisfiannoor, 2009). Metode simulasi pasien memiliki validitas rupa bila penyedia
layanan kesehatan tidak mengetahui adanya simulasi pasien (Watson et al., 2004).
Untuk dapat melakukan validitas rupa (face validity) dan validitas isi
(content validity) terhadap peneliti yang berperan sebagai pasien atau keluarga
pasien dilakukan kunjungan uji coba langsung ke apotek (pilot visit), kunjungan ini dilakukan sebanyak lima kali.
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan
sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua
kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang
sama (Notoatmodjo, 2010). Agar data yang diperoleh reliabel maka dilakukan
kunjungan uji coba langsung ke apotek (pilot visit). Dikatakan reliabel ketika peneliti mampu menjalankan skenario dan menangkap semua informasi yang
31
Skenario dan lembar checklist telah memenuhi uji validitas isi (content validity) karena isi dari kedua instrumen tersebut telah mewakili variabel yang akan diteliti yang diperoleh dari pustaka dan sudah pernah digunakan pada
penelitian terdahulu (Leksono, 2011). Metode simulasi pasien yang digunakan
telah memenuhi uji validitas rupa karena setelah dilakukan pilot visit sebanyak lima kali menunjukkan bahwa petugas apotek tidak mengetahui adanya simulasi
pasien. Data yang dikumpulkan dinyatakan reliabel karena peneliti mampu
menjalankan skenario dan menangkap semua informasi yang didapat saat
melakukan pilot visit.
3.5 Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini digunakan statistik deskriptif yaitu statistik yang
digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud
membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum/generalisasi (Sugiyono, 2012).
32
3.6 Alur Penelitian
Gambar 3.1 Alur Penelitian
Penyusunan Instrumen
Pengujian Instrumen Studi Pustaka
Pengumpulan Data
Pencatatan Data
Pengolahan Data
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini telah mendapatkan izin etik dari Komisi Etik Penelitian
Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan
Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) yang bernomor persetujuan etik
24/KOMET/FK USU/2015 (Lampiran 3). Penelitian dilakukan di 80 apotek yang
berada di sepuluh kecamatan kota Medan yaitu kecamatan Medan Johor, Medan
Amplas, Medan Kota, Medan Area, Medan Maimun, Medan Polonia, Medan
Baru, Medan Barat, Medan Denai, dan Medan Petisah.
4.1 Profil Patient Assessment
Patient assessment merupakan penilaian terhadap keadaan pasien yang terdiri dari beberapa pertanyaan meliputi siapa yang sakit, berapa usia yang sakit,
apa gejala yang dialami pasien, berapa lama pasien mengalami sakit, apa tindakan
yang sudah dilakukan untuk menangani gejala, dan apa obat lain yang sedang
digunakan. Patient assessment dalam penelitian ini merujuk pada WWHAM (Who
the patient?, What are the symptoms?, How long have the symptoms been presents?, Action taken?, Medication being taken?) (Blenkinsopp dan Paxton, 2002).
Komponen patient assessment tersebut sudah cukup memberikan petunjuk
kepada petugas apotek terhadap kasus swamedikasi diare pada anak dalam
melakukan tindakan selanjutnya, yaitu rekomendasi serta pemberian informasi
obat dan non farmakologi. Data lengkap mengenai profil patient assessment yang
34
Tabel 4.1 Distribusi Komponen Patient Assessment yang Ditanyakan oleh Petugas Apotek
Indikator Ya, n (%) Tidak, n (%)
Siapa yang sakit/ mengalami gejala-gejala diare 15 (18,75) 65 (81,25)
Berapa usia yang sakit diare 14 (17,50) 66 (82,50)
Gejala 12 (15,00) 68 (85,00)
Berapa lama pasien diare mengalami sakit 5 (6,25) 75 (93,75)
Apa tindakan yang sudah diperbuat selama 2 (2,50) 78 (97,50)
mengalami gejala diare
Apa obat-obatan lain yang sedang digunakan 2 (2,50) 78 (97,50)
Gambar 4.1 Persentase Patient Assessment yang Ditanyakan oleh Petugas Apotek
Berdasarkan hasil penelitian dari 80 apotek yang dikunjungi, diperoleh
hasil yaitu hanya sebanyak 15 apotek (18,75%) yang melakukan penggalian
informasi mengenai untuk siapa pengobatan diminta. Informasi mengenai siapa
yang akan mendapatkan pengobatan sangat penting untuk diketahui oleh petugas
apotek karena belum tentu yang datang ke apotek adalah sang pasien sendiri,
sehingga perlu dipastikan untuk siapa pengobatan diminta. 18,75%
Persentase
Patient Assessment
yang Ditanyakan
35
Menurut Hasanah, dkk. (2011) penggalian informasi yang terbanyak
dilakukan oleh petugas apotek adalah usia pasien yaitu sebanyak 36 petugas
apotek atau sebesar 38,90%. Sedangkan pada penelitian ini, informasi mengenai
usia pasien hanya ditanyakan oleh 14 petugas apotek (17,50%). Komponen
patient assessment ini penting untuk diketahui karena diare yang terjadi pada bayi dan anak-anak di bawah lima tahun atau lansia sangat berpotensi terjadi dehidrasi
(Depkes RI, 2006). Dehidrasi pada anak terjadi karena proporsi tubuh anak yang
sebagian besar terdiri atas cairan. Pada kondisi dehidrasi, tubuh tidak hanya
kehilangan banyak cairan tetapi juga kehilangan elektrolit seperti Natrium dan
Kalium. Hilangnya elektrolit ini dapat menyebabkan penurunan pH darah
(asidosis). Kehilangan cairan dan elektrolit akan meningkat apabila penderita
mengalami muntah selama diare (Nathan, 2010).
Gejala merupakan pengindikasian keberadaan sesuatu penyakit atau
gangguan kesehatan yang tidak diinginkan, berbentuk tanda-tanda atau ciri-ciri
penyakit yang dapat dirasakan. Pengenalan gejala perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi tingkat keparahan penyakit diare tersebut, apakah perlu dirujuk
ke dokter atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 12 petugas
apotek (15,00%) yang menanyakan patient assessment berupa gejala yang dialami
pasien dimana 3 petugas apotek yang hanya menanyakan gejala frekwensi BAB
(Buang Air Besar) yang tidak normal, 4 petugas apotek yang hanya menanyakan
gejala berupa konsistensi feses pasien, dan 5 petugas apotek yang menanyakan
kedua gejala tersebut sekaligus. Komponen patien assessment yang tidak ditanyakan sama sekali oleh petugas apotek adalah nyeri perut dan perut
36
Komponen patient assessment berupa berapa lama pasien mengalami sakit
hanya ditanyakan oleh 5 petugas apotek (6,25%). Komponen ini penting untuk
diketahui karena dapat dijadikan sebagai pedoman jenis diare apa yang sedang
dialami pasien (diare akut atau kronik) sehingga dapat diketahui apakah penyakit
diare yang dialami pasien dapat diobati dengan swamedikasi atau perlu dirujuk ke
dokter. Pada umumnya diare akut didefinisikan sebagai diare dengan durasi
kurang dari 14 hari, diare persisten adalah diare yang berlangsung lebih dari 14
hari dan diare kronik adalah diare yang terjadi lebih dari 30 hari (Spruill dan
William, 2008). Selanjutnya informasi ini sangat bermanfaat untuk menentukan
rekomendasi yang sesuai.
Berdasarkan hasil penelitian hanya 2 apotek (2,50%) yang menanyakan
apa tindakan yang diperbuat dan apa obat-obat yang sudah digunakan selama
mengalami gejala diare. Penggalian informasi ini penting untuk diketahui agar
petugas apotek dapat memastikan bahwa diare yang dialami pasien bukan
merupakan efek samping obat yang sedang dikonsumsi, hal ini karena ada
beberapa obat yang dapat menyebabkan gangguan saluran pencernaan seperti
diare. Selain itu, informasi mengenai obat yang sedang digunakan bermanfaat
untuk pengaturan waktu penggunaan obat yang akan direkomendasikan. Obat
diare yang termasuk golongan adsorben yang dapat menyerap zat-zat yang
terdapat di saluran pencernaan secara tidak spesifik, oleh karena itu jika pasien
sedang menggunakan obat lain maka penggunaannya juga harus diatur agar obat
yang sedang digunakan tetap efektif.
Penggalian profil patient assessment yang dilakukan oleh petugas apotek terhadap kasus diare anak di wilayah Medan masih dinilai kurang maksimal
37
terdapat komponen patient assessment yang tidak ditanyakan sama sekali oleh petugas apotek.
3.2 Profil Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian dari 80 apotek yang dikunjungi, diperoleh
bahwa seluruh petugas apotek memberikan rekomendasi berupa rekomendasi obat
(100,00%). Data lengkap mengenai profil rekomendasi yang diberikan oleh
petugas apotek dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2 Rekomendasi yang Diberikan oleh Petugas Apotek
Rekomendasi Ya, n (%) Tidak, n (%)
Berupa rujukan ke dokter 0 (0,00) 80 (100,00)
Berupa rekomendasi obat 80 (100,00) 0 (0,00)
Pada variabel rekomendasi terdapat dua komponen, yaitu berupa rujukan
ke dokter dan rekomendasi obat. Rekomendasi yang tepat dapat diberikan sesuai
dengan patien assessment yang telah ditanyakan oleh petugas apotek, sehingga patient assessment adalah komponen yang mendasari untuk memberikan rekomendasi selanjutnya.
Beberapa kondisi yang menyebabkan pasien diare harus dirujuk ke dokter,
yaitu:
Muntah terus-menerus sehingga diperkirakan tidak bisa memberikan
cairan pengganti melalui minum.
Diare terus-menerus dan semakin sering atau tidak membaik dalam tiga
hari.
38
Diare disertai adanya darah dalam tinja, demam maupun kejang
(Kusdwiyono, 2014).
Dari hasil penelitian tidak ada satu pun petugas apotek yang memberikan
rujukan ke dokter secara langsung, tetapi ada satu petugas apotek yang
menyarankan dirujuk ke dokter jika hari berikutnya pasien masih mengalami diare
setelah pemberian obat. Berdasarkan skenario kasus diare yang dibuat pada
penelitian ini, yaitu lama gejala diare yang terjadi adalah 1 hari dan tidak
ditemukan gejala lain yang menyertai diare sehingga rekomendasi berupa obat
yang diberikan oleh seluruh petugas apotek dinilai sudah tepat.
4.2.1 Jenis obat yang direkomendasikan
Berdasarkan hasil penelitian jenis obat yang paling banyak
direkomendasikan adalah adsorben (61,25%) diikuti herbal (23,75%), adsorben +
antibiotik (8,75%), probiotik (2,50%), jenis obat lain-lain (2,50%) termasuk zinc sulphate dan oralit, serta rekomendasi obat yang paling sedikit diberikan yaitu antibiotik (1,25%). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.3 di bawah ini.
Tabel 4.3 Jenis Obat yang Direkomendasikan oleh Petugas Apotek
Jenis Obat Kandungan Bahan Aktif Nama Obat n (%)
Adsorben (61,25%)
Kaolin 700 mg, pektin 66 mg (tiap 15 ml)
Neo Kaolana (suspensi)
4 (5,00)
Kaolin 985 mg, pektin 22 mg (tiap 5 ml)
Kaotin (suspensi) 6 (7,50)
Kaolin 986,67 mg, pektin 22 mg (tiap 5 ml)
Omegdiar (suspensi)
14 (17,50)
Kaolin 986 mg, pektin 40 mg (tiap 5 ml)
Guanistrep (suspensi)
14 (17,50)
Kaolin 2958 mg, pektin 66 mg (tiap 15 ml)
Kaolimec (suspensi)
1 (1,25)
Kaolin 700 mg, pektin 66 mg (tiap 15 ml)
Neo Kaominal (suspensi)
39
Entrostop (tablet) 2 (2,50)
Attapulgite aktif 600 mg Diatabs (tablet) 6 (7,50)
Attapulgite 42%, karbon aktif
Kaolin 986 mg & pektin 40 mg (tiap 5 ml) + trimetoprim 40 mg & sulfametoksazol 200 mg
Novadiar (suspensi) + Infatrim (suspensi)
1 (1,25)
Kaolin 986,67 mg, pektin 22 mg (tiap 5 ml) + trimetoprim 40 mg & sulfametoksazol 200 mg
Kaolin 986,67 mg, pektin 22 mg (tiap 5 ml) + trimetoprim 40 mg & sulfametoksazol 200 mg
Omegdiar (suspensi) + Infatrim (suspensi)
2 (2,50)
Kaolin 700 mg, pektin 66 mg (tiap 15 ml) + trimetoprim 40 mg & sulfametoksazol 200
Kaolin 986 mg, pektin 40 mg (tiap 5 ml) + trimetoprim 40
Furazolidone 50 mg (tiap 5 ml) + trimetoprim 40 mg &
40
Ekstrak psidii folium 240 mg, ekstrak mg, Radix angelicae D. 56,25 mg, Semen Arecae 168,75 mg, Rhizoma Atractylodis M 45 mg, Fructus Citri 112,50 mg, Herba Asari 202,50 mg, Herba Pogostemonis 326,25 mg, Oleum Menthae 2,25 mg, Radix Glycyrrhizae 360 mg, Fructus Chaenomelis 157,50 mg, Fructus Amomi 213,75 mg, Herba Menthae 2,25 mg, Radix Aucklandiae 258,75
Glycyrrhizae 450 mg, Fruit of Camphortree 450 mg, Flos
Seng sulfat monohidrat 20mg Binomic (tablet) 1 (1,25)