• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran kultur mikrobiologi pada pasien hidrosefalus dengan infeksi setelah tindakan CSF (Cerebrospinal Fluid) Shunts Di RSUP. H. Adam Malik Medan periode Januari 2013 – Desember 2015 Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran kultur mikrobiologi pada pasien hidrosefalus dengan infeksi setelah tindakan CSF (Cerebrospinal Fluid) Shunts Di RSUP. H. Adam Malik Medan periode Januari 2013 – Desember 2015 Chapter III VI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Nb.

: Hal yang diteliti : Hal yang tidak diteiti

BAB 3

KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Teori

(2)

3.2. Kerangka Konsep

Gambar 3.2. Skema Kerangka Konsep Penelitian

Data Rekam

Medik Pasien Bedah Saraf (+)

Hidrosefalus

Jenis Bakteri

Prevalensi Kasus Terapi

Antibiotik Infeksi setelah tindakan

(3)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitan yang digunakan adalah deskriptif, dimana peneliti akan memberikan gambaran kultur mikrobiologi pada pasien dengan infeksi setelah tindakan CSF shunts di RSUP. H. Adam Malik tahun 2015. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional (potong melintang) dimana setiap subyek penelitian diobservasi hanya untuk satu kali waktu pengukuran menurut keadaan atau status pada saat observasi.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2016.

4.2.2. Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Kota Medan, dengan pertimbangan bahwa RSUP. H. Adam Malik merupakan pusat rujukan tertinggi terutama dari wilayah Sumatera Utara untuk kasus darurat segera. Sehingga memiliki jumlah kasus infeksi setelah tindakan CSF shunts pada pasien hidrosefalus yang banyak.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini dipilih dari seluruh data rekam medik pasien hidrosefalus di RSUP. H. Adam Malik tahun 2015.

4.3.2. Sampel

(4)

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien hidrosefalus yang mendapatkan tindakan CSF shunts. b. Pasien yang didiagnosis infeksi pasca tindakan CSF shunts oleh dokter penanggungjawab, didukung dengan gejala klinis dan hasil kultur mikrobiologi yang lengkap.

2. Kriteria Eksklusi

a. Data kultur mikrobiologi pasien tidak lengkap.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan di dalam penelitian diperoleh secara sekunder, yaitu peneliti mengambilnya dari data rekam medik seluruh pasien RSUP. H. Adam Malik tahun 2015 yang berada di instalasi bedah saraf selama kurun waktu 1 tahun. Dari data tersebut, kemudian dipilah data pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi.

4.5. Definisi Operasional

Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan, dan model penelitian, maka definisi operasionalnya adalah sebagai berikut :

1. Tindakan CSF shunts adalah terapi standar yang paling banyak dilakukan untuk penatalaksanaan jangka panjang pada pasien hidrosefalus.

Cara Pengukuran : Analisa rekam medik pasien bedah saraf Alat Pengukuran : Catatan rekam medik pasien bedah saraf Hasil Pengukuran : Infeksi positif dan Infeksi negatif

Skala Pengukuran : Nominal

2. Gambaran jenis bakteri yang dimaksudkan adalah melihat bakteri-bakteri apa saja yang didapatkan dari hasil kultur dan mengurutkannya dimulai dari bakteri terbanyak penyebab infeksi setelah tindakan CSF shunts sampai urutan tersedikit.

(5)

Skala Pengukuran : Nominal

3. Pengobatan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pemberian terapi antibiotik empiris (sebelum diketahui kuman penyebab) dan antibiotik definitif (setelah diketahui kuman penyebab). Cara Pengukuran : Analisa rekam medik pasien bedah saraf Alat Pengukuran : Catatan rekam medik pasien bedah saraf Hasil Pengukuran : Nama obat

Skala Pengukuran : Nominal

4.6. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang telah di dapatkan kemudian akan dimasukkan dan diolah dengan menggunakan software pengolahan data Statistical Product and Service Solutions (SPSS) yang disesuaikan dengan tujuan penelitian.

4.7. Jadwal Penelitian

Perencanaan penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4.1. berikut ini.

Tabel 4.1. Jadwal Penelitian

No Kegiatan

Bulan

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Persiapan P P

2 Penelusuran kepustakaan P P P P P P P P P P

3 Pengumpulan sampel P P

4 Analisis data dan evaluasi hasil

penelitian P P P P

5

(6)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlangsung di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Km. 12 Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara dan merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No 335/Menkes/SK/VII/1990 dan SK Menkes No 502/Menkes/SK/IX/1991. Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan.

5.1.2 Deskripsi Data Penelitian

Data penelitian yang digunakan yaitu data sekunder, data yang diambil dari rekam medis pasien hidrosefalus yang mendapatkan infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt di RSUP H. Adam Malik Medan sejak tahun 2013. Data rekam medis yang diambil adalah jenis kelamin, umur, kuman penyebab infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt, tatalaksana antibiotik. Data diambil sejak tanggal September - Oktober 2016.

(7)

5.1.2.1. Distribusi Kategori Usia pada Pasien Hidrosefalus dengan Infeksi Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

Dalam penelitian ini, jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi berjumlah 16 orang. Distribusi kategori usia pada sampel sebagai berikut:

Tabel 5.1 Distribusi Usia pada Pasien Hidrosefalus dengan Infeksi Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

Kategori Usia N %

Anak Dewasa

10 6

62.5 37.5

Total 16 100

Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa kategori usia anak - anak lebih banyak didiagnosis infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunts.

5.1.2.2. Distribusi Jenis Kelamin pada Pasien Hidrosefalus dengan Infeksi Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

Distribusi jenis kelamin yang didapatkan dari penelitian ini adalah:

Tabel 5.2 Distribusi Jenis Kelamin pada Pasien Hidrosefalus dengan Infeksi Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa jenis kelamin laki – laki lebih banyak didiagnosis infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt.

Jenis Kelamin N %

Laki – laki Perempuan

11 5

68.8 31.3

(8)

5.1.2.3. Distribusi Bakteri Penyebab Infeksi pada Pasien Hidrosefalus Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

Bakteri penyebab infeksi pada pasien hidrosefalus setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt yang ditemukan pada sampel penelitian ini adalah:

Tabel 5.3 Distribusi Bakteri Penyebab Infeksi pada Pasien Hidrosefalus Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

Bakteri

Kategori Usia Total

Anak - anak Dewasa

Streptococcus pyogenes 1 6.2%

0 0%

1 6.2%

Pseudomonas aeruginosa 1 6.2%

0 0%

1 6.2%

Staphylococcus aureus 2 12.5%

Staphylococcus saprophyticus 0 0%

2 12.5%

2 12.5%

Staphylococcus epidermidis 2 12.5%

1 6.2%

3 18.8%

Enterococcus faecalis 1 6.2%

0 0%

1 6.2%

Stenotrophomonas maltophilia 1 6.2%

(9)

Berdasarkan tabel 5.3, dapat dilihat bahwa bakteri penyebab infeksi pada pasien hidrosefalus setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt kategori usia anak adalah Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis sedangkan pada kategori dewasa adalah Staphylococcus aureus dan Staphylococcus saprophyticus.

5.1.2.4. Antibiotik yang Diberikan pada Pasien Hidrosefalus dengan Infeksi Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

Terapi antibiotik yang diberikan pada pasien hidrosefalus dengan infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.4 Distribusi Antibiotik yang Diberikan pada Pasien Hidrosefalus dengan Infeksi Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

Berdasarkan tabel 5.4, dapat dilihat bahwa antibiotik yang paling banyak digunakan adalah seftriakson dan meropenem.

(10)

5.2 Pembahasan

5.2.1 Analisis Distribusi Penelitian

5.2.1.1 Analisis Distribusi Kategori Usia pada Pasien Hidrosefalus dengan Infeksi Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

Pada penelitian ini didapatkan bahwa dari 16 sampel terdapat 10 pasien anak – anak dan 6 pasien dewasa. Hal ini membuktikan bahwa insidensi infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt lebih banyak terjadi pada anak – anak dibandingkan dewasa. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada 1015 pasien oleh G. Kesava, dkk (2014), terdapat 78,2 % pasien anak – anak dan 28,1 % pasien dewasa.20

Penelitian yang dilakukan oleh Lee JK, dkk (2012) juga menyatakan bahwa faktor resiko terjadinya infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt pada anak adalah umur dibawah 1 tahun, multiple shunts, status imunitas, lahir prematur dan etiologi dari hidrosefalus yang didapat.30

5.2.1.2 Analisis Distribusi Jenis Kelamin pada Pasien Hidrosefalus dengan Infeksi Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

Dalam hasil penelitian dapat dilihat bahwa pasien hidrosefalus dengan infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt paling banyak terjadi pada laki – laki daripada perempuan. Dari hasil yang didapat yaitu 68,8 % pada laki – laki dan 31,3 % pada perempuan. Belum ada hasil penelitian yang menjelaskan hal ini.

Penelitian yang dilakukan oleh Junhui Chen, dkk (2016) terdapat 10 pasien laki – laki dan 5 pasien perempuan dari 15 pasien dengan infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt.31

5.2.1.3 Analisis Bakteri Penyebab Infeksi pada Pasien Hidrosefalus dengan Infeksi Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

(11)

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wallace, dkk (2013) bahwa infeksi yang terjadi 6 bulan setelah pemasangan shunt terjadi kontaminasi dengan flora normal yaitu Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis. Hal tersebut menyebabkan kuman yang paling banyak menginfeksi sekitar 62 – 90 % infeksi yang ada.25,30,31

Pada pasien dewasa, bakteri yang paling banyak menyebabkan infeksi infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt adalah Staphylococcus aureus dan Staphylococcus saprophyticus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Diana L. Wells, dkk (2013) yang mendapatkan bakteri penyebab infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt adalah coagulase – negative staphylococci dan Staphylococcus aureus. Infeksi yang diakibatkan dari patogen

tersebut sekitar 50 % dan 33 % dari semua shunt yang terinfeksi.6

Pada pasien anak – anak bakteri penyebab terbanyak adalah

Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis dibandingkan bakteri gram negatif lainnya seperti Pseudomonas aeruginosa, Shigella, dan Stenotrophomonas maltophilia. Hal ini sesuai dengan penelitian Wallace, dkk (2013) bahwa bakteri penyebab infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt pada anak – anak adalah Staphylococcus aureus dan coagulase – negative staphylococci sekitar 62-90% dan bakteri lainnya yaitu gram-negative bacilli dari 6-20% kasus infeksi yang terjadi.24

5.2.1.4 Analisis Antibiotik yang diberikan pada Pasien Hidrosefalus dengan Infeksi Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt

Dalam hasil penelitian didapatkan bahwa antibiotik yang digunakan adalah seftriakson dan meropenem. Seftriakson adalah antibiotik yang digunakan untuk infeksi yang hasil kultur merupakan bakteri gram negatif.9

(12)

adalah vankomisin dan pada bakteri gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa diberikan seftazidim, meropenem, atau sefepim.6

(13)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang diperoleh, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Total kejadian infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt di RSUP. H. Adam Malik Medan periode bulan Januari 2013 – Desember 2015 adalah 16 kasus dengan populasi 613. Rasio prevalensi yang didapatkan adalah 0,026.

2. Bakteri penyebab infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt terbanyak pada 16 sampel adalah Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis.

3. Dari hasil penelitian terdapat perbedaan pada bakteri penyebab infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt pada anak – anak dan dewasa. Pada anak – anak, bakter penyebab terbanyak adalah Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis. Dan bakteri penyebab terbanyak pada dewasa adalah Staphylococcus aureus dan Staphylococcus saprophyticus.

4. Sebagian besar terapi antibiotik yang diberikan pada pasien hidrosefalus dengan infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt adalah seftriakson dan meropenem. Selain itu, ada gentamisin, amikasin, sulfametoksazol, ampisilin, kotrimoksazol, dan ceftazidine.

(14)

6.2 Saran

1. Pendataan rekam medis di RSUP H. Adam Malik Medan lebih disentralisasi, agar pengumpulan data untuk kepentingan penelitian selanjutnya dapat lebih maksimal.

2. Jumlah data penelitian mengenai infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt diharapkan lebih lengkap, agar gambaran kejadian infeksi setelah tindakan cerebrospinal fluid shunt di RSUP H. Adam Malik Medan lebih representatif dari kondisi sebenarnya.

Gambar

Gambar 3.1. Skema Kerangka Teori Penelitian
Gambar 3.2. Skema Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 4.1. Jadwal Penelitian
Tabel 5.1 Distribusi Usia pada Pasien Hidrosefalus dengan Infeksi Setelah Tindakan Cerebrospinal Fluid Shunt
+3

Referensi

Dokumen terkait

[r]

1 Pengadaan media pengujian kimia 67.870.000 Pengadaan Langsung LPPMHP Semarang PADA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI JAWA TENGAH. RENCANA UMUM PENGADAAN BARANG/JASA

1 Sistem informasi perikanan budidaya, 1 paket 200.000.000 Seleksi Sederhana Kota Semarang. VII Kegiatan Peningkatan Pelayanan Mutu Usaha

Sejatinya, kedua kalimat tersebut memiliki koherensi yang kuat dimana hak perdata dari seorang ayah hanya dapat diterima oleh anak sah atau anak yang lahir sebagai akibat

Hasil persentase bobot sisa gel pengharum ruangan pada suhu kamar yang diberi kipas dapat disimpulkan bahwa formula terbaik adalah F4 yaitu formula dengan konsentrasi minyak apel

No Judul Skripsi Total Kalimat Jumlah Kalimat Benar Jumlah Kalimat Salah Persentase Ketepatan.. Aplikasi Remote Control Untuk Mengatur Kecepatan Motor Dc 7 7

Pengaruh Minyak Nilam (Oleum Pogostemon) Terhadap Ketahanan Wangi Minyak Lavender (Oleum Lavandulae) Dalam Sediaan Gel Pengharum Ruangan Memakai Basis Gel Campuran Agar Agar Dan

Kesimpulan setelah dilakukan analisis dengan uji beda berpasangan terhadap tingkat keluhan sebelum dan sesudah perlakuan dapat disimpulkan bahwa pelatihan patient