SISTEM SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KAWASAN SEKITAR
HUTAN ( Studi kasus di Desa Gambiran Kecamatan Pagerwojo
Kabupaten Tulungagung )
Oleh: Lia Verliana Anjaswati ( 03720049 )
Agribisnis
Dibuat: 2008-06-20 , dengan 3 file(s).
Keywords: Sosial Ekonomi Masyarakat
Permasalahan tentang hutan dan masyarakat yang ada di sekitar hutan merupakan suatu hal yang menarik untuk dipikirkan. Masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu permasalahan
kesejahteraan sosial di Indonesia yang memerlukan perhatian semua pihak. Dimana
masyarakatnya masih hidup dalam tingkat kehidupan yang masih rendah secara ekonomi, namun memiliki kebiasan atau kebudayaan yang menjadi ciri khas dalam kehidupannya. Jumlah mereka masih cukup besar, tersebar di lokasi yang relatif sulit di jangkau, dan pada umumnya jauh tertinggal secara ekonomis maupun sosial budaya di bandingkan warga negara lainnya. Hutan
Indonesia sudah „dikepung‟ dengan paling sedikit 6000 desa hutan yang dihuni paling sedikit 3
juta jiwa, tersebar di semua kawasan hutan Indonesia. Masyarakat hutan hampir sama sekali tidak mendapat sentuhan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi. Persoalannya adalah pengambilan kebijakan di Negara ini belum memahami secara komprehensif apa sebenarnya akar permasalahan kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Tingkat sosial-ekonomi yang rendah merupakan ciri umum kehidupan masyarakat sekitar hutan dimanapun berada.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan sistem sosial masyarakat (interaksi sosial masyarakat, kepercayaan/adat yang diyakini masyarakat, dan pendidikan. Untuk memaparkan kondisi ekonomi (mata pencaharian dan pendapatan, dan lembaga ekonomi) yang mempengaruhi ekonomi kesejahteraan masyarakat.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Daerah penelitian ditentukan secara sengaja atau (purposive) yaitu di Desa Gambiran Kecamatan Pagerwojo Kabupaten Tulungagung. Penetuan lokasi
tersebut berdasarkan pada pertimbangan bahwa masyarakat desa gambiran masih sangat terbatas dalam akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik. Sumber informasi dalam penelitian ini diperoleh dari kepala desa, 2 kepala dusun, 1 aparat desa yang menjadi key informan tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian digolongkan menjadi dua jenis data yaitu data primer dan sekunder.
Hasil penelitian di Desa Gambiran sebagai berikut: Interaksi sosial masyarakat yang ada di Desa Gambiran adanya kegiatan yang yang ruti dilakukan posyandu, PKK, arisan dan yasinan. Selain itu juga ada kegiatan yang guyup rukun seperti gotong royong membangun rumah, mempunyai
hajatan “mantu”, dan kematian. Komunikasi bahasa dan elektronik, masyarakat gambiran dalam berkomunikasi dengan warga yang lain menggunakan “boso jowo ngoko” dalam kehidupan
sehari-hari. Media elektronik yang ada di dalam masyarakat yaitu televise, radio dan Hp. Sebagian besar masyarakat memeluk agama Islam. Di dalam masyarakat tidak ada ketua adat atau kiai dan tidak ada adat istiadat yang mengikat secara kaku, serta tidak ada hari yang dikeramatkan. Adat yang masih dilakukan oleh masyarakat sampai sekarang yaitu selamatan mendirikan rumah, selamatan pitonan, dan malam 17 Agustus. Dalam masyarakat gambiran ada
mempercayai dukun dalam pengobatan penyakit. Pendidikan masyarakat gambiran masih banyak yang lulusan SD. Sarana pendidikan yang ada hanya TK dan SD. Apabila ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi harus sekolah keluar Desa Gambiran. Masyarakat gambiran sebagian besar bekerja sebagai petani dan mempunyai pekerjaan sampingan sebagai peternak sapi perah, pedagang kios, dan warung. Lembaga ekonomi yang ada di dalam masyarakat gambiran yaitu koperasi simpan pinjam, kios, warung dan tidak mempunyai pasar.
Problem about forest and society in forest region is one interesting object to think. Society in forest region is one of social wealth problem in Indonesia which need attention from every parties. The society still lived in low civilization level in economic, but they has trait or culture which become special character in life. Their amount is large, spread in hard-reached location, and generally left whether in economic or socio-culture compared with another society.
Indonesian forest has „surrounded‟ with 6000 forest-village which occupied by at least 3 million,
spread in every region of Indonesian forest. Forest society almost didn‟t get the touch of
economic development. The problem is policy taking in this country still hasn‟t comprehensively
understand the root of people‟s poverty problem around the forest. Low Socio-economic level is
the main character of society‟s life wherever they were.
This research aimed to describe the society system (interaction of society, belief / custom of society, and education). To explain about economic condition (work and income, and economic
institution) which influenced people‟s economic wealth.
The research is a qualitative descriptive research, qualitative is a procedure which created descriptive data, consisted of written words from people and behavior which could be observed. Research location is stated purposively at Gambiran village, Pagerwojo sub-district Tulungagung Residence. Location based on consideration that Gambiran villagers still had limited access in social service, economic, and politic. Information source in this research is collected from chief of village, 2 small-village leader, and 1 village officers which became the key informer. Data used in the research was grouped into primary and secondary data.
The result of Gambiran village was : There was a routine social interaction like Posyandu, PKK, social gathering (arisan) and yasinan. Beside, there also gathering work like building house together, having son / daughter in-law, and death ceremony. Communication was done by
language and electronic. Gambiran people in communicating with another villagers used ”Boso Jowo Ngoko” in their daily life. Electronic media existed in society were television, radio, and
cellular phone. Most of the people were Islam. In society, there was no chief or Kiai and there was no strict custom, there was no sacred day. The custom which still has done until now were
building house celebration, ‟pitonan‟ celebration, and August 17th night. In society, there still a sacred place called ”Danyangan Panjang”. People still belief in shaman (‟dukun‟) in medication.