• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER AYAT-AYAT ḤIWĀR AL-ĀBĀ` MA’A AL-ABNĀ` DALAM ALQURAN (Telaah Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER AYAT-AYAT ḤIWĀR AL-ĀBĀ` MA’A AL-ABNĀ` DALAM ALQURAN (Telaah Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab)"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

(Telaah Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab)

SKRIPSI

Oleh :

Budi Aditya Wardana NPM: 20110720257

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

(Telaah Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) Strata Satu

pada Progam Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah) Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh :

Budi Aditya Wardana NPM: 20110720257

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

(3)
(4)

َأ ْنِم َلَضْفَأ ٍلََْ ْنِم اًدَلَو ٌدِلاَو َلَََ اَم

ٍنَسَح ٍبَد

"Tidaklah ada pemberian yang lebih baik dari seorang ayah

kepada anaknya daripada akhlak yang baik"

(5)

Kakak, adik, saudara, serta semua orang yang telah memberiku semangat di dalam mengarungi kehidupan ini.

Tempat bernaungku, rumah keduaku, Pondok Pesantren Modern Imam Syuhodo Muhammadiyah cabang Blimbing, Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah & Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta yang telah menjadi tempatku untuk menimba dalamnya sumber ilmu.

Kepada teman-teman seperjuanganku, yang membuatku akan selalu teringat bahwa perjuangan belum berakhir.

Dan terakhir, kepada almamaterku tercinta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

(6)

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN NOTA DINAS... ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... xii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian... 9

E. Sistematika Pembahasan ... 9

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ... 11

A. Tinjauan Pustaka ... 11

B. Kerangka Teori... 14

BAB III : METODE PENELITIAN ... 28

A. Jenis Penelitian ... 28

B. Sumber Data ... 29

C. Teknik Pengumpulan Data ... 30

D. Teknik Analisis Data ... 31

(7)

Misbah ... 33

1. Latar Belakang Kehidupan ... 33

2. Latar Belakang Pendidikan ... 34

3. Karya-karya ... 37

4. Tafsir Al-Misbah, Metode dan Sistematika Penafsiran ... 39

B.Ayat-ayat dalam Alquran tentang Ḥiw r al- b ` ma’a al-Abn ` ... 44

C.Nilai-nilai Pendidikan Karakter yang Terdapat dalam Ayat Ḥiw r al- b ` ma’a al-Abn ` dalam Prespektif Tafsir Al-Misbah ... 81

D.Relevansi Peran Ayah Tentang Penanaman Nilai-nilai Pendidikan Karakter Terhadap Anak pada Masa Kini ... 99

BAB V : PENUTUP ... 108

A. Kesimpulan ... 108

B. Saran-saran ... 109

C. Penutup ... 110

(8)
(9)
(10)

yang menjelaskan tentang Ḥiw r al- b ` ma’a al-Abn `, (2) mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam ayat-ayat Ḥiw r al- b ` ma’a al

-Abn ` menurut tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, (3)mengetahui sejauh mana relevansi peran ayah dalam penanaman nilai-nilai pendidikan karakter terhadap anak pada zaman sekarang.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Pendekatan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Sumber data pada penelitian ini dibagi menjadi dua macam yaitu sumber primer dan sekunder. sumber primer dalam penelitian ini adalah Tafsīr al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab. Sedangkan sumber primer Educating for Character karya Thomas Lickona, Pendidikan Karakter Islam karya Marzuki dan buku-buku yang mendukung lainnya. Metode analisis data berupa analisa data dengan menggunakan analisis isi (content analysis).

Penelitian ini mendapatkan beberapa kesimpulan (1) Ayat-ayat dalam Alquran yang menjelaskan tentang Hiw r al- b ` ma’a al-Abn ` ada 17 tema dialog yaitu Q.S Al- Baqarah : 132-133, Al An’am : 74, Hud : 42-43, Yusuf : 4-5, 11-14, 16-18, 63-67, 81-87, 94-98, 99-100, Maryam : 23-26, 41-48, Al- Qasas : 11, 26, Luqman : 13-19 dan Ash-Shaffat : 102. (2) Nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam ayat-ayat Ḥiw r al- b ` ma’a al-Abn ` dalam prespektif tafsir Al-Misbah ada 12 nilai meliputi taat kepada allah, tawakkal, sabar, optimis, pemaaf, bekerja keras, sopan santun, kuat bekerja, dapat dipercaya (amanah),

berbakti kepada orang tua, mengajak berbuat baik (amar ma’ruf nahi mungkar),

rendah hati dan rela berkorban. (3) Peran ayah dalam penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dan pembentukan akhlak yang mulia terhadap anak pada masa kini merupakan suatu keniscayaan. Sehingga peran ayah sangat relevan dalam membentuk karakter dan akhlak anak.

(11)

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah untuk manusia. Sebagai agama samawi terakhir yang membawa misi rahmah lil ‘ālamīn (rahmat

bagi seluruh alam) (Q.S. Al-Anbiyā` (21): 107), Islam dilengkapi dengan seperangkat aturan (hukum) yang mampu menjangkau semua manusia di mana

pun dan kapan pun. Artinya risalah Islam menjangkau seluruh umat manusia di muka bumi ini hingga akhir zaman nanti. Oleh karena itu, Allah menjadikan agama Islam sebagai satu-satunya agama yang benar (Q.S. li „Imrān (3): 19 dan

85) dan berlaku hingga akhir zaman nanti. Islam juga Agama paling lengkap karena mencakup hubungan ibadah kepada Tuhan serta seluruh aspek manusia, seperti lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Prinsip-prinsip kehidupan

manusia dalam berbagai aspek tersebut sudah digariskan dalam sumber pokok Islam, yaitu Alquran dan sunnah Nabi (Marzuki, 2015: 64-65). Alquran adalah

sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap muslim. Alquran bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, namun juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta manusia

dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna, diperlukan pemahaman terhadap kandungan Alquran dan pengamalan dalam

(12)

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia -baik dalam rangka berhubungan dengan

Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, maupun lingkungan- yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama,

hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep ini karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education) (Amin, 1995: 62).

Pendidikan moral bukanlah sebuah gagasan baru, sebenarnya pendidikan

moral sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Sepanjang sejarah, di negara-negara di seluruh dunia, pendidikan memiliki dua tujuan besar: membuat anak

menjadi pintar dan membantu mereka menjadi baik. Menyadari bahwa pintar dan baik tidaklah sama, sejak zaman plato masyarakat yang bijak telah menjadikan pendidikan moral sebagi tujuan sekolah. Mereka telah memberikan pendidikan

karakter yang dibarengkan dengan pendidikan intelektual, kesusialaan dan literasi, serta budi pekerti dan pengetahuan. Melalui buku-bukunya Thomas Lickona juga

menyadarkan dunia barat akan pentingnya pendidikan karakter. Menurut lickona, pendidikan karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), menginginkan kebaikan (desiring the good) dan melakukan

kebaikan (doin the good) (Lickona, 1991: 51). Namun jauh sebelum itu, Nabi Muhammad saw, sudah menegaskan bahwa kehadirannya di muka bumi ini untuk

membangun karakter, agar semua manusia berkarakter mulia (makārim al-akhlāq) (Marzuki, 2015: 66).

Demikian juga di dalam sistem pendidikan Islam, pendidikan karakter

(13)

pendidikan Islam adalah pendidikan karakter yang semula dikenal dengan pendidikan akhlak. Pendidikan Islam sudah ada sejak Islam didakwahkan oleh

Nabi Muhammad Saw. kepada para sahabatnya. Seiring dengan penyebaran Islam, pendidikan karakter tidak pernah terabaikan karena Islam yang disebarkan

oleh Nabi adalah Islam dalam arti yang utuh, yaitu keutuhan dalam iman, amal saleh dan akhlak mulia. Dari sinilah dapat dipahami bahwa sebenarnya seorang muslim yang kafah adalah seorang muslim yang memiliki iman yang kuat, lalu

mengamalkan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta akhirnya memiliki sikap dan perilaku (akhlak) mulia sebagai konsekuensi dari iman dan

amal salehnya (Marzuki, 2015: 5-6).

Pembinaan akhlak atau karakter sebenarnya menjadi tanggung jawab setiap umat Islam yang dimulai dari tanggung jawab terhadap dirinya kemudian

keluarganya. Namun disadari bahwa tidak semua umat Islam mampu mengemban tanggung jawab tersebut, maka tanggung jawab untuk melakukannya berada pada

orang-orang (kaum muslim) yang memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Para guru (ustaz) dan para da`i memiliki tanggung jawab untuk pembinaan karakter umat Islam melalui pendidikan Islam, baik institusi formal maupun nonformal,

sementara keluarga (pemimpin keluarga) memiliki tanggung jawab pendidikan karakter dalam institusi pendidikan informal (Marzuki, 2015: 6).

Rumah keluarga muslim adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan Islam. Yang dimaksud dengan keluarga muslim adalah keluarga yang mendasarkan aktivitasnya pada pembentukan keluarga yang

(14)

diberikan oleh Allah Swt. kepada orang tuanya. Oleh karena itu hendaknya orang tua harus menjaga, memelihara, dan mendidik serta menyampaikan amanah itu

kepda yang berhak menerimanya. Disebabkan manusia adalah milik Allah Swt maka mereka harus mengantarkan anaknya untuk mengenal dan menghadapkan

diri kepada Allah. Dengan demikian, UU tentang sistem pendidikan Nasional

dalam bab IV, pasal 10 menyabutkan : “pendidikan keluarga merupakan bagian

dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan

memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan (Nata, 2003: 213-214) . Allah juga menyebutkan dalam firmannya :

ُةارااجِْْااو ُسانلا ااُدوُقاو اًراَ ْمُكيِلْاأاو ْمُكاسُفناأ اوُق اوُنامآ انيِذلا ااه ياأ اَ

ُلاعْفا ياو ْمُاراماأ اام اَا انوُصْعا ي َ ٌداادِش ٌظ اَِغ ٌةاكِئ اَام ااهْ يالاع

اام انو

انوُرامْؤُ ي

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Dalam perkawinan akan terjadi jalinan kerjasama di antara suami dan istri

untuk membina rumah tangga dan mengamban tanggung jawab. Keduanya saling menyempurnakan tugas. Istri (ibu) bekerja pada bidangnya sesuai dengan kodrat kewanitaannya, yaitu mengurus rumah dan mendidik anak. Sedangkan seorang

(15)

melindungi keluarganya dari berbagai bahaya dan musibah di setiap saat (Ulwan,

2013: 6).

Pendidikan karakter dalam keluarga menjadi tanggung jawab pemimpin keluarga. Seorang ayah sejak dini harus memerhatikan pendidikan anak-anaknya. Ketika anak mulai mengenal lingkungannya, sang ayah harus mengajarinya

dengan bicara yang baik dan sopan. Begitu juga ketika anak sudah mulai bisa dididik dan diajarkan berbagai ilmu pengetahuan, sang ayah harus memfasilitasi si

anak agar mendapatkan pendidikan yang memadai. Sang ayah harus memberikan modal pendidikan agama yang cukup bagi anak sehingga ketika memasuki masa

dewasa (baligh) si anak sudah siap melaksanakan seluruh kewajiban agamanya dengan baik. Hal ini juga tidak menutup peran sang ibu untuk melakukan

pendidikan yang sama (Marzuki, 2015: 6).

Selama ini banyak dianggap bahwa tugas mendidik anak adalah tugas seorang ibu yang berada di rumah. Hal ini dikuatkan lagi dengan syair Arab:

ُلا

م

ام ْد

ار اس

ٌة ِإ

اذ

اأ ا

اع اد

ْد ا ت

اه

اأ.ا

اع اد

ْد

ات

ُش ْع

ًب

اط ا

ِّي

اب

اَا

ْع ار

ِقا

Ibu adalah sebuah sekolah, Bila engkau persiapkan,

Maka berarti engkau telah siapkan Sebuah pohon yang baik akarnya.

Sehingga banyak disangka bahwa tugas mengajar di rumah adalah tugas

(16)

Dalam sebuah tesis di Universitas Ummul Qura Mekkah, dengan judul iwār al

-bā` ma’a al-Abnā`fī al-Qur`ān al-Karīm wa tatbīqātuh al-Tarbawiyah (dialog

antara ayah dan anak dalam Alquran al-Karim dan aplikasi pendidikannya) karya

Sarah binti Halīl bin dakhilullah al-Muththairi. Dalam penelitian ini disebutkan

bahwa di dalam Alquran ada 17 tema dialog antara orang tua dan anak yang tersebar dalam 9 surat. Dialog antara ayah dengan anaknya ada 14 kali, dialog antara ibu dan anaknya 2 kali, sedangkan yang satu lagi adalah dialog antara

orang tua tanpa nama dengan anaknya (Muththairi, 1429 H.: 89).

Terjadinya perubahan pada dunia kerja saat ini menuntut ayah jauh lebih

banyak waktu dari pekerjaannya. Kita tidak akan heran melihat seorang ayah sibuk bekerja, yang hanya pulang untuk tidur dan jarang bertatap muka dengan anak-anaknya. Hal ini seperti yang telah terjadi di dunia Barat. Urie

Bronfenbrener menuliskan sebuah penelitian seberapa lama para ayah dari kelas sosial-ekonomi menengah meluangkan waktu bermain dan berinteraksi dengan

anak-anak balita mereka dalam sebuah artikel yang berjudul “The Origins of

Alienation” dalam Scientific American edisi Agustus 1974. Pada awalnya peneliti

meminta sekelompok ayah untuk memperkirakan waktu yang diluangkan bagi

anak-anak mereka yang berusia setahun setiap harinya. Para peneliti memperoleh jawaban bahwa rata-rata para ayah menghabiskan waktu 15 hingga 20 menit

seharinya. Untuk menguji pernyataan mereka, peneliti menempelkan mikrofon di baju anak-anak tersebut. Pembicaraan dari para ayah dengan anaknya tersebut kemudian direkam. Hasilnya cukup mengejutkan. Ternyata waktu yang digunakan

(17)

setiap harinya. Interaksi mereka secara langsung adalah sebanyak 2,7 kali. Berarti setiap kali interaksi hanya berlangsung sekitar 10 hingga 15 detik (Elia, 2000:

105-106).

Pengamatan terhadap keluarga-keluarga di Indonesia umumnya menunjukkan bahwa tugas mendidik dan merawat anak menjadi urusan ibu. Buku

maupun majalah yang membahas mengenai pendidikan anak sebagian besar ditunjukkan pada kaum ibu. Bahkan secara ilmiah akademis pun ayah tidak masuk

hitungan dalam pengasuhan anak, hal ini terbukti dari sangat sedikitnya kajian ilmiah atau penelitian yang membahas mengenai peran ayah dalam pengasuhan

anak. Sebagai gambaran mengenai sedikitnya perhatian terhadap peran ayah dalam keluarga, terdapat survei kecil yang cukup menarik yang pernah diadakan

oleh majalah Ayahbunda sebagai berikut:

61 % responden menyatakan bahwa ayah sebaiknya menjadi pencari nafkah utama.

62 % responden menyatakan bahwa ayah hanya terlibat dalam urusan rumah tangga jika terpaksa.

33 % responden menyatakan bahwa ayah tidak perlu meluangkan

waktu tiap hari untuk anak.

Perhatian dan waktu yang sangat kurang dari para ayah menunjukkan

(18)

Maka berangkat dari hal itulah penyusun ingin meneliti bagaimana peran ayah dalam mendidik anak dalam Alquran, namun dalam hal ini penyusun

fokuskan pembahasanya pada nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam ayat-ayat iwār al- bā` ma’a al-Abnā`yang terdapat dalam Alquran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang peneliti kemukakan di atas, maka dapat di rumuskan beberapa masalah yrang selanjutnya diambil pokok masalahnya

yaitu:

1. Apa saja ayat-ayat dalam Alquran yang menjelaskan tentang iwār

al-bā` ma’a al-Abnā`?

2. Apa saja nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam ayat-ayat iwār al- bā` ma’a al-Abnā`dalam prespektif tafsir Al-Misbah ?

3. Sejauh mana relevansi peran ayah dalam penanaman nilai-nilai pendidikan karakter terhadap anak pada masa kini ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui arti dan ayat-ayat yang termasuk dalam ayat iwār

al- bā` ma’a al-Abnā`dalam Alquran.

2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidkan karakter yang terdapat dalam

(19)

3. Untuk mengetahui relevansi peran ayah tentang penanaman nilai-nilai pendidikan karakter terhadap anak pada masa sekarang.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Praktis

a. Secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam ayat-ayat iwār al- bā` ma’a al-Abnā`yang

terdapat dalam Alquran menurut tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab.

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dan bahan bacaan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Kegunaan teoritik

a. Dari segi teoritik penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangsih pemikiran bagi perkembangan penyusunan karya

ilmiah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

b. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan teori kependidikan dalam memperkaya pemikiran tentang nilai-nilai

pendidikan karakter di Indonesia.

E. Sistematika pembahasan

(20)

Bab pertama, diawali dengan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika

pembahasan. .

Bab kedua, dalam penelitian ini akan membahas tinjauan pustaka dan

kerangka teori yang relevan dan terkait dengan tema penelitian ini. Bab ketiga, memuat tentang metode penelitian.

Bab keempat, dalam bab inilah bahasan inti dalam penelitian ini. mulai

dari meneliti dan menganalisis tentang pendidikan karakter yang terdapat dalam ayat-ayat iwār al- bā` ma’a al-Abnā`yang ada dalam Alquran.

Bab kelima, akan ditampilkan bab penutup yang akan mengakhiri penelitian ini dan memberikan kesimpulan dari hasil analisa penyusun terhadap objek kajian. Di dalam bab ini terdapat saran-saran juga dilengkapi pula dengan

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka ini berguna untuk menunjang keaslian dari penelitian ini,

maka peneliti berusaha meninjau kembali beberapa penelitian yang relevan dengan masalah yang hendak diteliti. Berdasarkan penelusuran penyusun sampai

saat ini sudah banyak karya ilmiah yang membahas tentang pendidikan karakter. Adapun karya ilmiah yang mengkaji tentang pendidikan karakter diantaranya:

Penelitian Ratna Sari dalam skripsinya pada tahun 2012 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tentang pendidikan karakter dengan judul Kajian Materi Pendidikan Karakter dalam Film Animasi Upin dan Ipin. Penelitian ini

merupakan penelitian kepustakaan (library research), mengungkapkan penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan analisis isi (contentanalisys). Berdasarkan

penelitian tersebut dalam film animasi Upin dan Ipin terdapat materi pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya yaitu meliputi religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air,

menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.

Melihat penelitian tentang nilai nilai pendidikan akhlak yang dibuat oleh Rini Hajarwati yang berjudul Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral pada Universitas Muhammadiyah

(22)

menggunakan metode analisis datanya dengan analisis isi ini mengungkapkan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel tersebut. Nilai nilai

tersebut meliputi akhlak kepada Allah, b) akhlak kepada Rasulullah, c) akhlak kepada diri sendiri (pribadi) d) akhlak dalam keluarga, e) akhlak bermasyarakat,

dan f) akhlak bernegara. Selain itu dalam penelitian ini berhasil diungkapkan bahwa ada relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut dengan Pendidikan Agama Islam.

Menelaah penelitian yang dilakukan oleh Agus Firmansyah tentang pendidikan karakter dalam skripsi dengan judul Nilai-Nilai Pendidikan Karakter

Islami dalam Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2011. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hermeutika. Sedangkan dalam pengumpulan data

menggunakan metode dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis isi (Content Analisys). Hasil

penelitian menunjukkan : 1) ada pesan pendidikan karakter islami dalam novel Bumi Cinta yaitu pertama, karakter kepada Allah yang meliputi cinta kepada Allah, berdoa, taubat, ridha, tawakkal, syukur, dan shalat. Kedua, karakter

terhadap diri sendiri yang meliputi tanggung jawab, mandiri, disiplin, jujur, hormat, santun, percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah. Ketiga,

Karakter terhadap sesama masyarakat yang meliputi kasih sayang, peduli, menjenguk orang sakit, dan kerjasama. Keempat, karakter terhadap lingkungan yang meliputi memakmurkan masjid dan mengajarkan ilmu agama kepada

(23)

islami dengan pendidikan nasional. Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu menciptakan insan kamil yang cerdas dan berakhlak mulia.

Demikian pula penelitian Mukhlis Wahyudi tentang Nilai-Nilai pendidikan dalam Kasidah Burdah karya Imam Al-Bushiri tahun 2008 di UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam penelitian ini mendeskrepsikan dan menganalisis nilai-nilai pendidkan Islam yang terkandung dalam Kasidah burdah serta relevansinya terhadap pendidikan Islam pada masa sekarang. Penelitian ini

merupakan penelitian kepustakaan dengan mengambil latar syair karya Imam Al-Bushiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1). Syair-syair dalam kasidah

burdah sarat akan kandungan nilai-nilai pendidikan Islam yang meliputi nilai-nilai pendidikan akidah, syariah dan akhlak. 2). Relevansinya dengan pendidkan Islam terletak pada tujuan yang terkandung di dalamnya, yaitu ajaran untuk meneladani

Nabi serta mengkaji segala sesuatu yang berada dalam Al-Quran, supaya menjadi manusia yang berkepradian Muslim.

Juga penelitian Muhammad Abdul Muhith, tentang nilai pendidikan karakter Islami berbasis budaya Jawa pada tahun 2011 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul Nilai Pendidikan Islami Berbasis Budaya Jawa (Kajian

Terhadap buku Gusti Ora Sare 65 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa Karya

Pardi Suratno dan Henniy Astiyanto). Penelitian ini termasuk kepustakaan dan

menggunakan metode content analisis. Penelitian ini menghasilkan bahwa: karakter kepada Allah berupa, syukur, tawakal dan berdoa; 2) karakter terhadap diri sendiri berupa sabar, rendah hati, perwira, lapang dada, mawas diri; 3)

(24)

bermasyarakat berupa tolong menolong, tenggang rasa, rukun dan mendamaikan perselisihan.

Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka di atas, terdapat beberapa persamaan dengan penelitian ini diantaranya, tentang objeknya yang mengambil

tema pendidikan karakter. Selain itu ada persamaan pada metodologi penelitian dengan menggunakan penelitian kepustakaan dan menggunakan analisis isi dengan langkah-langkah: 1) menentukan arti langsung; 2) memperjelas arti-arti

yang implisit; 3) menentukan tema; 4) memperjelas arti-arti simbolik dalam teks. Sedangkan letak perbedaan dengan penelitian-penelitian di atas adalah pada

subjeknya. Di dalam penelitian ini subjeknya adalah ayat-ayat iwār al- bā`

ma’a al-Abnā` yang ada dalam Alquran. sejauh pengetahuan peneliti, penelitian

ini berada dalam posisi menambah dan memperkaya karya ilmiah dalam bidang

pendidikan karakter dari penelitian-penelitian yang sebelumnya. Karena pada penelitian sebelumnya tersebut berkisar pada kajian tentang pendidikan karakter

tentang buku dan novel maupun film, sedangkan yang fokus membahas secara rinci dan mendetail tentang pendidikan karakter yang terdapat dalam dalam ayat-ayat iwār al- bā` ma’a al-Abnā` yang ada dalam Alquran belum penyusun

dapati.

B. Kerangka Teori

1. Nilai dan Pendidikan Karakter a. Nilai

Nilai dalam bahasa Inggris disebut value dari bahasa yunani valere

(25)

2002: 713). Sedangkan dalam bahasa Indonesia nilai berarti harga (taksiran, perbandingan), harga, derajat (pandangan), angka, mutu

(Badudu dan zain, 1994: 944). Sedangkan menurut istilah nilai adalah segala sesuatu yang dianggap berharga dan menjadi tujuan yang

hendak dicapai (Taher, 1976: 91).

Menurut brubacher nilai dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1) Nilai instrumental, yaitu nilai yang dianggap baik karena

bernilai untuk sesuatu yang lain. Nilai itu terletak pada konsekuensi-konsekuensi pelaksanaannya dalam mencapai

nilai yang lain.

2) Nilai intrinsik, yaitu nilai yang dianggap baik tidak untuk sesuatu yang lain, melainkan di dalam dan darinya sendiri

(Syam, 1986: 137). b. Pendidikan Karakter

Kata karakter berasal dari bahasa latin kharakter, kharassein, dan

kharak yang artinya tools for marking, to engrave dan pointed stake. Kata ini mulai banyak digunakan pada abad ke 14 dalam bahasa

perancis caratere, kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi

character, lalu masuk dalam bahasa Indonesia karakter (Elmubarok,

2008: 102). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Sedangkan Scerenko mendefinisikan

(26)

membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok atau bangsa (Samani dan Hariyanto, 2011:

42).

Maka dalam hal ini karakter dapat dipahami sebagai nilai dasar

yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam

kehidupan sehari-hari (Samani dan Hariyanto, 2011: 43). Menurut Thomas Lickona, karakter terbentuk dari tiga macam bagian yang

saling berkaitan yaitu pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri atas mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan dan melakukan kebaikan –kebiasaan pikiran,

kebiasaan hati, kebiasaan perbuatan. Ketiganya penting untuk menjalankan hidup yang bermoral (Lickona, 1991: 51).

Dalam pengertian sederhana pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai

pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia (good character) dari peserta didik dengan mempraktikkan dan mengajarkan

nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dalam hubungannya terhadap Tuhannya. Jadi dapat dipahami bahwa yang dimaksud

(27)

peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa (Samani dan

Hariyanto, 2011: 43-45).

Menurut Foerster, pencetus pendidikan karakter dan peadog

Jerman, terdapat empat ciri dasar dalam pendidikan karakter, yaitu: 1) Keteraturan interior yang setiap tindakan diukur berdasar herarki nilai. 2) Koherensi yang yang memberi keberanian, membuat seseorang

teguh pada prinsip, tidak mudah terombang ambing pada situasi baru atau takut akan resiko. 3) Otonomi yang dalam hal tersebut seseorang

menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. 4) Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan

kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih (Muslich, 2014: 127-128).

Pendidikan karakter disebut juga dengan pendidikan nilai. Dalam pelaksanaanya nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa menurut Kemendiknas adalah sebagai

berikut:

(28)

2. Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam

perkataan, tindakan dan pekerjaan.

3. Toleransi, sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya.

4. Disiplin, tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5. Kerja keras, perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif, berpikir dalam melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri, sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis, cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa ingin tahu, sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu

yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10. Semangat kebangsaan, cara berpikir, bertindak dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan

(29)

11. Cinta tanah air, yaitu cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang

tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan bangsa.

12. Menghargai prestasi, sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati keberhasilan

orang lain.

13. Bersahabat/komunikatif, tindakan yang memperlihatkan senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14. Cinta damai, yaitu sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas

kehadiran dirinya.

15. Gemar membaca, kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli lingkungan, sikap dan tindakan yang selalu ingin berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam disekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk

memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli sosial, sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang

(30)

18. Tanggung jawab, sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya

dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara dan Tuhan Yang Maha

Esa. (Samani dan Hariyanto, 2011: 52)

Kedelapan belas butir nilai karakter tersebut adalah butir nilai yang teridentifikasi oleh kemendiknas yang bersumber dari nilai

agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional. Dalam praktiknya, guru, sekolah atau lembaga pendidikan diperbolehkan

untuk menambah, mengurangi, atau menyesuaikan nilai-nilai karakter yang dibina di lembaganya (Sulistyowati, 2012: 32).

Selain kedelapan belas butir nilai tersebut, ada beberapa butir nilai

dari sumber lain yang bisa dijadikan acuan dalam melaksanakan pendidikan karakter. Antara lain dari direktorat Pendidikan Lanjutan

Pertama Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah menginventarisaasi Domain Budi Pekerti Islami sebagai nilai-nilai Karakter yang seharusnya dimiliki

dan ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga sekolah Islam dimana nilai tersebut terdiri dari budi pekerti terhadap Tuhan, terhadap

diri sendiri, terhadap keluarga, terhadap orang lain, terhadap masyarakat dan bangsa, serta terhadap alam lingkungan. Dari beberapa budi pekerti terhadap masing-masing domain tersebut terdapat

(31)

teridentifikasi dan beberapa nilai-nilai yang masih bisa digali lebih lanjut (Samani dan Hariyanto, 2011: 48-49).

c. Pendidikan Islam

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan karakter

sebenarnya merupakan inti dari pendidikan Islam. Oleh karena itu, kajian pendidikan karakter dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan Islam pada umumnya (Marzuki, 2015: 13).

Atiyah al-Abrasy berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam, bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala

macam ilmu yang belum mereka ketahui, akan tetapi mendidik akhlak dan jiwa mereka, lalu menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), kemudian membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi,

mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci ruhnya, ikhlas dan jujur. Jadi selain berupa ilmu pengetahuan, yang terpenting

adalah akhlak mulia dan rasa keutamaan (Nata, 2008: 15)

Untuk melengkapi pemahaman tentang pendidikan Islam, berikut ini akan dikemukakan beberapa karakteristik pendidikan Islam,

diantaranya :

1. Pendidikan Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan

(32)

2. Pendidikan Islam bertujuan menciptakan peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah, berbudi pekerti luhur,

serta memiliki pengetahuan yang cukup tentang sumber ajaran dan sendi-sendi Islam lainnya. Pada saat bersamaan,

pendidikan Islam dapat dijadikan bekal untuk mempelajari berbagai bidang ilmu lainnya sehingga akan memperkuat pembentukan karakter dan keilmuan.

3. Pendidikan Islam tidak hanya menitik beratkan pada penguasaanpada penguasaan kompetensi yang bersifat kognitif,

tetapi yang lebih penting adalah pencapaian pada aspek afektif (sikap) dan psikomotor (perilaku). Hasil dari pendidikan Islam adalah sikap dan perilaku (karakter) peserta didik sehari-hari

yang sejalan dengan ajaran Islam.

4. Pendidikan Islam dan seluruh ajaran Islam pada umumnya,

didasarkan pada dua sumber pokok ajaran Islam yaitu Alquran dan hadis. Sementara itu ulama mengembangakan prinsip-prinsip pendidikan Islam yang lebih terperinci dan detail dalam

bentuk fikih dan hasil ijtihad lainnya.

5. Prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam tertuang dalam tiga

kerangka dasar ajaran Islam, yaitu akidah, syariah dan akhlak. Jika pendidikan Islam seperti ini diimplementasikan dengan baik, dengan cara mendasari peserta didik dengan fondasi

(33)

semua ketentuan Allah dan Rasul-Nya (syariah) secara utuh. Dengan demikian akan terbentuk peserta didik yang memiliki

karakter (akhlak) mulia yang utuh, baik dalam hubungan kepada Tuhan maupun hubungan kepada manusia, serta

memiliki pengetahuan dan kreatifitas yang memadai.

6. Tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak mulia (manusia berkarakter).

Tujuan ini adalah tujuan yang sebenarnya dari misi diutusnya Nabi. Dengan demikian pendidikan akhlak (pendidikan

karakter) adalah jiwa dari pendidikan Islam (Marzuki, 2015: 13-14).

d. Pendidikan karakter dalam Islam

Seperti dijelaskan di atas bahwa karakter identik dengan akhlak. Dalam prespektif Islam, karakter atau akhlak mulia merupakan buah

yang dihasilkan dari proses penerapan syariah (ibadah dan muamalah) yang dilandasi oleh fondasi akidah yang kokoh. Jadi tidak mungkin karakter mulia akan terwujud pada diri seseorang jika tidak memiliki

akidah dan syariah yang benar.

Pendidikan karakter dalam Islam atau akhlak Islami pada

prinsipnya didasarkan pada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu Alquran dan sunnah Nabi. Dengan demikian, baik dan buruk dalam karakter Islam memiliki ukuran yang standar, yaitu menurut Alquran

(34)

umumnya. Sebab jika ukurannya adalah menurut akal manusia maka baik dan buruk itu bisa berbeda-beda. Pun demikian, Islam tidak

mengabaikan adanya standar atau ukuran lain selain Alquran dan sunnah Nabi untuk menentukan nilai-nilai karakter manusia. Standar

lain yang dimaksud adalah akal, nurani, serta pandangan umum (tradisi) yang disepakati nilainya oleh masyarakat(Marzuki, 2015: 29-31).

Secara umum kualitas karakter dalam prespektif Islam dibagi menjadi dua yaitu karakter mulia (al-akhlāq al-mahmūdah) dan

karakter tercela (al-akhlāq almadzmūmah). Sedangkan ruang lingkup pendidikan karakter dalam Islam dibagi menjadi dua bagian yaitu, karakter kepada khalik (yang selanjutnya disebut dangan istilah habl

mina-llāh) dan karakter terhadap makhluk (selain Allah). Karakter terhadap makhluk bisa dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti

karakter terhadap sesama manusia (yang selanjutnya disebut dengan istilah habl mina-nnās), karakter terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti hewan dan tumbuhan), serta terhadap benda mati

(lingkungan dan alam semesta). Di dalam Alquran banyak contoh mengenai karakter terhadap Allah yaitu mentuhidkan-Nya (QS.

Al-Ikhlas:1-4), menaati perintah Allah atau bertakwa (QS. li Imrān: 132.). Selain itu Alquran juga banyak mengaitkan akhlak kepada Allah dan kepada Rasulullah (QS. At-Taubah: 24), (An-Nisā`: 59). Islam

(35)

menjaga kesucian lahir dan batin (QS. At-Taubah:108), memelihara kerapian (QS. Al-A’rāf: 31). Selanjutnya setiap muslim juga harus

membangun karakter dalam lingkungan keluarganya. Seperti contoh berbakti kepada orang tua dan berkata lemah lembut kepada mereka

(QS. Al-Isrā’: 23). Dan masih banyak yang lain contoh di dalam Alquran tentang karakter yang mulia (Marzuki, 2015: 32-34).

e. Teori Pendidikan Ayah Terhadap Anak

Ayah memiliki kedudukan yang penting dan mulia dalam syariat Islam. Ayah adalah kepala keluarga yang memimpin ibu, anak-anak

dan pelayan. Ayah bertanggung jawab terhadap mereka dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah sebagaimana Rasulullah bersabda.

Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang suami (ayah) adalah pemimpin bagi anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dipimpinnya atas mereka (H.R. Muslim).

Berdasarkan atas tanggung jawab inilah, ayah memikul beban sebagai pembentuk generasi Islam yang saleh (Baharits, 2005: 54).

Pada hakikatnya kepribadian ayah akan berpengaruh terhadap strategi-strategi yang dipilih ayah dalam mendidik anaknya, salah

satunya adalah keteladanan. Keteladanan merupakan sarana pendidikan yang paling penting. Hal ini terjadi karena secara naluriah dalam diri anak ada potensi untuk meniru hal-hal yang ada di

(36)

terhadap kepribadian anak. Segala yang dilakukan oleh orang tua dianggapnya selalu benar dan paling baik. Maka secara otomatis anak

akan mudah menirunya (Baharits, 2005: 54). Menurut Ibnu Qayyim, tanggung jawab terhadap anak, terutama dalam hal pendidikannya,

berada di pundak orang tua dan pendidik, apalagi jika anak tersebut masih berada pada awal masa pertumbuhannya. Pada awal pertumbuhannya, anak kecil sangat membutuhkan pembimbing yang

selalu mengarahkan akhlak dan perilakunya karena anak belum mampu membina dan menata akhlaknya sendiri. Anak sangat

membutuhkan pembina dan qudwah (teladan) yang bisa dijadikan panutan baginya (Hijazy, 2001: 80).

Agama Islam mengajarkan bahwa ayah harus memperhatikan anak,

mendidik dan mendisiplinkannya dengan baik. Sebagaimana dalam hadis disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

Seseorang yang membina anaknya adalah lebih dari pada ia

bersedekah satu sha’ (H.R. At-Tirmidzi).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :

Tiada pemberian yang lebih utama yang diberikan ayah kepada anaknya kecuali kesopanan yang baik.(H.R. At-Tirmidzi).

Ada beberapa tanggung jawab pokok dari orangtua (terutama ayah) terhadap anaknya. Secara garis besar, tanggung jawab orang tua terhadap anaknya adalah 1) menerima kehadiran anak sebagai amanah

(37)

cinta dan kasih sayang kepada anak; 4) bersikap dermawan kepada anak; 5) tidak membeda-bedakan antara anak laki-laki dan anak

perempuan dalam hal kasih sayang dan pemberian harta; 6) mewaspadai segala sesuatu yang mungkin memengaruhi pembentukan

dan pembinaan anak; 7) tidak menyumpahi anak; 8) menanamkan akhlak mulia kepada anak (Marzuki, 2015: 75).

Ada empat nasihat Al-Ghazali terkait tentang pendidikan karakter

terhadap anak:

1. Hendaknya anak-anak dibiasakan dengan karakter yang terpuji

dan perbuatan yang baik (berani, sabar, rendah hati, hormat kepada orang yang lebih tua) serta dijauhkan dari perbuatan yang buruk dan rendah (perkataan kotor, congkak).

2. Hendaknya karakter dan perbuatan baik anak didorong untuk berkembang dan anak selalu dimotivasi untuk berbuat baik dan

berkarakter mulia.

3. Hendaknya jangan mencela anak dan mengumpatnya ketika ia berbuat kesalahan (dosa).

4. Kepada anak-anak yang sudah dewasa (baligh) hendaknya diajarkan hukum-hukum syariah dan masalah-masalah

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam hal ini adalah penelitian literer atau yang

bercorak penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku dan literatur-literatur (Hadi, 1995: 3). Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis. Deskriptif yaitu

menggambarkan sesuatu secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, dan untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu

gejala / frekuensi adanya hubungan tertentu antara satu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Sedangkan analisis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengedepankan pemerincian

terhadap obyek yang diteliti dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan

mengenai halnya (Sudarto, 1996: 47-59). Jenis pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam ayat-ayat iwār al- bā` ma’a al

-Abnā` yang ada dalam Alquran. Sedangkan tekhnik pembacaan yang

digunakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pembacaan

(39)

Riffatere yaitu pembacaan sesuai konvensi bahasa Indonesia kemudian diberikan tafsiran (Pradopo, 2009: 268).

B. Sumber Data

Data dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif yang dinyatakan

dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Sedangkan sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data diperoleh. Apabila peneliti

menggunakan dokumentasi, maka dokumen atau catatanlah yang menjadi sumber data, sedangkan isi catatan adalah obyek penelitian atau variabel penelitian (Arikunto, 2006: 129). Sumber data pada penelitian ini dibagi

menjadi dua macam yaitu sumber primer dan sekunder.

1. Sumber primer adalah suatu referensi yang dijadikan sumber utama

acuan penelitian. Dalam hal ini, sumber primer dalam penelitian ini yang kami gunakan adalah Tafsīr al-Misbah. karya Prof. Dr.

Muhammad Quraish Shihab.

2. Sumber sekunder adalah referensi-referensi pendukung dan pelengkap bagi sumber primer. Adapun sumber sekunder dalam penelitian ini

yakni berupa buku, tulisan maupun artikel yang mendukung penelitian ini, diantaranya adalah

a. Buku Educating for Character karya Thomas Lickona. b. Buku Pendidikan Karakter Islam karya Marzuki.

(40)

d. Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan karya Zubaedi.

e. Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter Wawasan, Startegi dan Langkah Praktis karya Saptono.

f. Pendidikan Karakter, Menjawab Tantangan Krisis

Multidimensional karya Mansur Muslich. g. Buku Ilmu Pendidikan Islam, karya Ramayulis.

h. Strategi Mendidik Anak di Zaman Global karya Doni Koesoema A. Serta sumber-sumber sekunder lain yang memiliki substansi isi

berkaitan dengan masalah penelitian ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, berupa pengumpulan data dari sumber primer dan sekunder.

Setelah data terkumpul kemudian dipaparkan, dan dikaji sesuai dengan bahasan penelitian (Surahmad, 1989: 131). Dalam penelitian ini penyusun mengawali dengan mengumpulkan referensi-referensi tentang pendidikan

karakter, lalu menganalisa, meneliti serta mencari nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam ayat-ayat iwār al- bā` ma’a al-Abnā`. Kemudian langkah terakhir adalah menyimpulkan untuk menjawab rumusan

(41)

D. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah serangkaian upaya sederhana tentang bagaimana

data penelitian pada gilirannya dikembangkan dan diolah kedalam kerangka kerja sederhana (Zed, 2004: 94).

Metode yang digunakan dalam menganalisa data-data yang terkumpul

adalah dengan metode Analisis isi (content analysis), yaitu teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemui karakteristik pesan, yang dilakukan secara objektif dan sistematis (Moleong, 2011: 163).

Adapun teknik analisis data-data tersebut adalah:

a. Teks perlu diproses dengan aturan dan prosedur yang telah

direncanakan.

b. Teks diproses secara sistematis, mana yang termasuk dalam suatu

kategori, dan mana yang tidak termasuk ditetapkan berdasar aturan yang sudah ditetapkan.

c. Proses menganalisis teks tersebut haruslah mengarah ke pemberian

sumbangan pada teori; ada relevansi teoritiknya.

(42)

E. Metode Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode induktif. Yakni, menarik kesimpulan atas dasar

data-data yang bersifat teoritis untuk suatu kesimpulan yang bersifat khusus atau menarik kesimpulan dengan mengamati dan meneliti data-data secara keseluruhan sehingga didapatkan kesimpulan khusus, utuh dan valid

(43)

A. Gambaran Umum Biografi M. Quraish Shihab dan Tafsir Al-Misbah 1. Latar Belakang Kehidupan

Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan,

pada tanggal 16 Februari 1944 (Shihab, 2004: 6). Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Shihab merupakan nama keluarganya

(ayahnya) seperti lazimnya yang digunakan di wilayah timur (anak benua India dan termasuk Indonesia). Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986) merupakan sosok yang banyak membentuk kepribadian bahkan

keilmuan Quraish Shihab kelak. Beliau adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir yang menamatkan pendidikannya di Jam’iyyat

al-Khair Jakarta, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.

Abdurrahman Shihab adalah seorang guru besar di bidang tafsir dan pernah menjabat sebagi Rektor IAIN Alauddin Ujung Pandang dan juga

sebagai pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujung Pandang (Shihab, 1999: v).

Menurut Quraish Shihab, minat ayahnya terhadap ilmu memang cukup besar. Nampaknya kecintaan sang ayah terhadap inilah yang kemudian memotivasi Quraish Shihab dalam studinya, bahkan minatnya

(44)

sang ayah mengajar al-Qur’an. Pada saat-saat seperti ini, selain menyuruh ngaji, sang ayah juga menjelaskan sepintas kisah-kisah dalam

al-Qur’an. Dari sinilah benih kecintaan Quraish Shihab terhadap studi al

-Qur’an mulai tumbuh (Ghofur, 2008: 14).

Di samping ayahnya, peranan seorang ibu juga tidak kalah pentingnya. Ibunya selalu memberikan dorongan kepada anak-anaknya untuk giat belajar terutama masalah agama. Dorongan sang ibu inilah

yang menjadi motivasi ketekunannya dalam menuntut ilmu agama sampai membentuk kepribadian yang kuat terhadap basis keislaman.

Dengan melihat latar belakang keluarga yang sangat kuat dan disiplin, maka wajarlah jika kepribadian keagamaan, dan kecintaan serta minat terhadap ilmu-ilmu agama dan studi Alquran yang digeluti oleh M.

Quraish Shihab sejak kecil hingga kemudian di dukung latar pendidikan yang dilaluinya mengantarkannya menjadi seorang mufasir (Asrul, 2013:

26).

2. Latar Belakang Pendidikan

Muhammad Quraish Shihab mengawali pendidikannya di

rumahnya dengan bimbingan ayahnya. Adapaun sekolah formalnya dimulai Sekolah Dasar di kampung halamannya di Ujung Pandang.

Kemudian melanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Malang tepatnya di Pondok Pesantren Dārul Hadīṡ Al-Fiqhiyyah (Shihab, 2004: 14). Pada tahun 1958, M. Quraish Shihab berangkat ke Kairo, Mesir

(45)

Tsanawiyah. Selanjutnya pada tahun 1967 dia meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis Universitas Al-Azhar.

Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, sehingga pada tahun 1969 memperoleh gelar MA jurusan Tafsir

Al-Qur’an dengan tesis yang berjudul Al-I’jaz Al-Tasyri’iy li Al-Qur’an Al

-Kariīm(Shihab, 2004: 6).

Setelah menyelesaikan pendidikan strata dua, ia kembali ke Ujung

Pandang dan dipercaya untuk menjabat wakil Rektor bidang akademik dan kemahasiswaan di IAIN Alauddin Ujung Pandang. Selain itu, ia juga

menduduki jabatan-jabatan lain, baik dalam kampus maupun luar kampus. Seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta wilayah VII Indonesia bagian Timur dan Pembantu pimpinan kepolisian Indonesia

Timur bidang pembinaan mental. M. Quraish Shihab sempat melakukan berbagai penelitian dengan tema Penerapan Kerukuan Hidup Beragama

di Indonesia Timur tahun 1975 serta Masalah Wakaf Sulawesi Selatan di tahun 1978 (Shihab, 2004: 6).

Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Kairo dalam

melanjutkan studinya di Almamater yang lama, di Universitas al Azhar. Kegiatan ini selesai relatif singkat yakni sekitar dua tahun, dan di tahun

1982 berhasil meraih gelar doktor dalam bidang tafsir, setelah mempertahankan Disertasinya dengan Judul Nazhm Durar li

Al-Baqa’iy, Tahqiqi Wa Dirasah. gelar tersebut diraih dengan yudisium

(46)

ma’a martabat al-syaraf al-‘ula). Dengan demikian, ia tercatat sebagai

orang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut (Shihab,

2004: 5).

Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan

di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), Anggota Lajnah Pentashih

al-Qur’an Departemen Agama (sejak 1989), Anggota Badan Pertimbangan

Pendidikan Nasional (Sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga benyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium

Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) (Shihab,

2004: 6).

Pada tahun 1998, tepatnya di akhir pemerintahan Orde Baru, ia pernah dipercaya sebagai Menteri Agama oleh Presiden Soeharto.

Selanjutnya pada tanggal 17 Pebruari 1999, ia mendapat amanah sebagai Duta Besar Indonesia di Mesir. Walaupun berbagai kesibukan sebagai

konsekwensi jabatan yang diembannya, M. Quraish Shihab tetap menyempatkan diri dalam berbagai kegiatan ilmiah baik dalam maupun luar negri. Juga tetap aktif dalam kegiatan tulis menulis di berbagai

(47)

dengan persoalan agama (Ghofur, 2008: 238). Di harian Pelita, ia

mengasuh rubrik “Tafsir Amanah” selain itu juga menjadi anggota dewan

redaksi majalah Ulum al-Quran dan Mimbar Ulama di Jakarta. Aktivitas utamanya sekarang adalah Dosen (Guru Besar) Pascasarjana Universitas

Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Direktur Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta (Shihab, 2007: 297).

3. Karya-karya

Sebagai mufasir kontemporer dan penulis yang produktif, M. Quraish Shihab telah menghasilkan berbagai karya yang telah banyak

diterbitkan dan dipublikasikan. Di antara karya-karya yang telah dihasilkan oleh Quraish Shihab adalah:

1. Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang:

IAIN Alaudin, 1984).

2. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Depag, 1987).

3. Mahkota Tuntutan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma 1988).

4. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992).

5. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994).

6. Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996).

7. Wawasan Al-Qur’an:Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,

(48)

8. Tafsir Atas Surah-Surah Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu,

(Bandung: Pustaka Hidayah, 1997).

9. Untain Permata Buat Anakku, (Bandung: Mizan, 1998). 10.Mukjizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998).

11.Menyingkap Tabir Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 1998).

12.Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah Mahdhah, (Bandung: Mizan, 1998). 13.Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat, (Jakarta: Lentera

Hati, 1999).

14.Pengantin al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 1999).

15.Haji Bersama M. Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1999). 16.Sahur Bersama M. Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1999).

17.Fatwa-Fatwa Seputar Al-Quran dan Hadits, (Bandung: Mizan, 1999).

18.Hidangan Ilahi: Tafsir Ayat-Ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 1999). 19.Panduan Puasa Bersama M. Quraish Shihab, (Jakarta: Republika,

2000).

20.Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 2000).

21.Tafsir Al-Misbah, 15 jilid (Jakarta: Lentera hati, 2003).

22.Dia Di Mana-Mana: Tangan Tuhan Dibalik Setiap Fenomena,

(Jakarta: Lentera Hati, 2004).

(49)

24.Panduan Shalat Bersama M. Quraish Shihab, (Jakarta: Republika, 2004).

25.Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan Di balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004).

26.Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005). 27.Logika Agama, (Jakarta: Lentera Hati, 2005).

28. Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritik Atas Tafsir Al Manar, (Jakarta:

Lentera Hati, 2006).

29. Menabur Pesan Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 2006).

30.Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an (Jakarta: Lentera

Hati, 2013).

4. Tafsir Al-Misbah, Metode dan Sistematika Penafsiran a. Sejarah Penulisan

Penulisan awal Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab ini dilaksanakan di Kairo Mesir, yaitu hari Jumat 4 Rabiul Awal 1420 H atau bertepatan dengan 18 Juni 1999 M dan diselesaikan di Jakarta

pada hari jumat 8 Rajab 1423 H bertepatan dengan 5 September 2003 (Shihab, 2002: x).

Pada dasarnya upaya untuk memahami dengan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran telah berjalan sejak nabi Muhammad Saw yang kemudian diikuti oleh generasi berikutnya. Penafsiran

(50)

yang terus berubah dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, setiap generasi harus melahirkan corak penafsiran guna merespon persoalan

yang belum muncul di generasi sebelumnya (Asrul, 2013: 34-35). M. Quraish Shihab melihat masyarakat Islam di zamannya,

senang dan mengagumi Alquran. Hanya saja di antara masyarakat yang senang terhadap Alquran tersebut, hanya kagum pada irama lantunannya saat dibaca dengan suara yang merdu. Kenyataan ini,

seolah-olah mengindikasikan bahwa Alquran diturunkan sekedar untuk dibaca saja (Shihab, 2002: . vi).

Adapun tujuan M. Quraish Shihab dalam menulis Tafsir Al-Misbah yang telah menjadi salah satu rujukan peminat studi Alquran adalah:

Pertama, memberikan kemudahan kepada umat Islam untuk memahami isi atau pesan yang ada dalam Alquran dengan cara

menjelaskan secara rinci tujuan dan tema-tema pokok yang ada dalam surat Alquran. Kedua, terjadinya kekeliruan pemahaman umat Islam terhadap surat-surat dan ayat tertentu, seperti tradisi membaca surat

Yasin, al-Rahman, al-Waqi’ah dan lain sebagainya. Mereka mampu membaca berkali-kali ayat dan surat tersebut, tetapi belum mampu

memahami apa yang dibacanya. Kerancuan ini juga terlihat ketika mereka hanya membaca buku-buku yang menjelaskan tentang fadhilah surat-surat Alquran tertentu atas dasar hadis-hadis yang

(51)

selanjutnya. Oleh karenanya diperlukan penjelasan tema-tema pokok Alquran yang ada dalam ayat-ayat dari surat itu. Ketiga, M. Quraish

Shihab juga mendapatkan kekeliruan tidak hanya ditingkat masyarakat awam, namun di kalangan masyarakat terpelajar yang juga

berkecimpung dalam studi Alquran, masih terdapat kerancuan sistematikapenyusunan ayat-ayat dan surat Alquran. Apalagi mereka hanya membandingkan dengan karya ilmiah. Banyak di antara mereka

tidak mengetahui bahwa sistematika penyusunan ayat-ayat dan surat-surat yang sangat unik itu mengandung unsur pendidikan yang sangat

menyentuh. Keempat, adanya dorongan dari orang-orang dan umat Islam di Indonesia khususnya yang menggugah hati dan membulatkan tekad M. Quraish Shihab untuk menulis karya tafsir (Shihab, 2002: .

vii-x).

Berbagai permasalahan yang telah dipaparkan di atas, yang

melatar belakangi M. Quraish Shihab untuk menulis Tafsir Al-Misbah karena baginya kesalahan dan kekeliruan umat Islam dalam memahami kandungan atau pesan yang terdapat pada surat tertentu

dalam Alquran perlu sekali diluruskan. Dengan cara menghidangkan tema-tema pokok surat Alquran akan menunjukkan betapa serasinya

(52)

b. Pendekatan dan Metode Penafsiran

Pendekatan khususnya dalam kajian tafsir Alquran, sering

diistilahkan dengan al-Ittijāh al-Tafsiri, yaitu dasar-dasar atau prinsip pemikiran yang terkait oleh suatu cara pandang mengarah pada suatu

tujuan tertentu (Hanafi, 2007: 17-18). Atau dengan istilah yang lebih umum disebut sebagai al-Ittijāh al-Fikr, yaitu pola pikir yang dipergunakan dalam membahas suatu masalah, yaitu tafsir (Munawir,

2005: 138).

Menurut Ibrahim Syarif, pendekatan tafsir dibagi menjadi tiga

bagian yaitu; pertama, al-Ittijāh al-Hidāi, yaitu upaya penafsiran dengan tujuan untuk memberikan hidayah bagi pembacanya. Kedua,

al-Ittijāh al-Adābi, penafsiran yang penyampainnya dilakukan dengan

bahasa dan ungkapan yang indah, dengan membuktikan kemukjizatan

balāghah al-Qur`an. Ketiga, al-Ittijāh al-Ilmi, yaitu penafsiran yang

dilakukan dengan lebih menekankan pendekatan ilmiah (Syarif, 1952: 310).

Berdasarkan pada berbagai pendekatan di atas, M. Quraish

Shihab dalam karyanya Tafsir Al-Misbah lebih cenderung menerapkan pendekatan al-Ittijāh al-Hidāi. Hal ini terlihat seperti

(53)

Metode Penafsiran yang dipergunakan Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an adalah menggunakan metode

at-Ta līlī. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan

susunannya yang terdapat dalam mushaf. Kemudian Quraish Shihab menuliskan ayat secara berurut dan tematis, artinya, menggabungkan beberapa ayat yang dianggap berbicara suatu tema tertentu.

Selanjutnya, Quraish Shihab menerjemahkan ayat satu persatu, dan menafsirkannya dengan menggunakan analisis korelasi antar ayat atau

surat, analisis kebahasaan, riyawat-riwayat yang bersangkutan, dan pendapat-pendapat ulama telah terdahulu.

Adapun corak yang dipergunakan dalam tafsir al-Misbah adalah

corak al-Adābī al-Ijtimā’ī (sastra budaya kemasyarakatan), sebab uraian-uraiannya mengarah kepada masalah-masalah yang berlaku

atau terjadi di masyarakat. Adapun yang dimaksud Corak tafsir

Al-adābī al-Ijtimā’ī adalah corak tafsir yang menjelaskan

petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan

masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-maslah mereka berdasarkan

petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar (Shihab, 2004: 108).

(54)

Adapun sistematika penafsiran dalam tafsir al-Misbah dapat kita ketahui ketika memperhatikan penafsiran-penafsiran yang

dilakukan oleh Quraish Shihab terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Di antaranya dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Menekankan aspek korelasi atau munasabah ayat. Karena menurut beliau suatu ayat akan dipahami dengan baik jika dikaitkan dengan ayat baik sebelum maupun sesudahnya, bahkan satu kata baru dapat

dipahami dengan benar jika dibandingkan dan ditimbang dengan kata lain dalam ayat yang sama.

2. Pada setiap awal penulisan surat yang akan ditafsirkan diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok

kajian dalam surat, dan nama lain dari surat.

3. Penulisan ayat dalam tafsir ini dikelompokkan dalam tema-tema

tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahnya. 4. Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti

dengan beberapa pendapat para mufasir lain dan menukil hadis

Nabi SAW yang berkaitan dengan ayat yang sedang dibahas (Shihab, 2002: 6).

B. Ayat-Ayat dalam Alquran tentang Hiw r al-Ab ` ma’a al-Abn `

Kata iwār (

راَوِح

) dalam bahasa Arab berasal dari fi’il āwara-
(55)

Sedangkan kata iwār sendiri adalah bentuk ism mashdar (gerund) yang berarti jawaban, tanya jawab, perdebatan dan percakapan (Munawwir,

1997: 306-307).

Kata al-ābā` (

ءََآا

) dalam bahasa Arab berasal dari fi’il (kata kerja)

abā-ya` yang berarti memelihara, mendidik dan menjadi ayah. Kata al

-ābā` adalah ism jama’ (kata benda bentuk banyak) dari kata al-ab yang

berarti bapak atau ayah (Munawwir, 1997: 4). Namun kata al-ābā` dapat

berarti juga orang tua secara umum. Seperti halnya kata al-abawāni

(

ِِفاَوَػبَأا

) yang diartikan dengan “ayah dan ibu”, bukan diartikan sebagai

“dua orang ayah”. Sebagaimana firman Allah

ُِاَوَػبَأ

ِ

َُِثِرَوَو

(dan ia diwarisi

oleh ibu-bapanya saja) (Dhaif, 2011: 3). Sedangkan kata al-abnā` (

ءا بأا

)

adalah bentuk jama’ dari kata al-ibn yang artinya anak (Munawwir, 1997:

112). Maka dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan ayat-ayat iwār

al-ābā` ma’a al-abnā` disini adalah ayat ayat yang menyebutkan tentang

percakapan antara orang tua secara umum baik ayah maupun ibu dengan anaknya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan.

Dalam Alquran ada 17 tema dialog antara orang tua dan anak yang

(56)

dialog antara ibu dan anaknya 2 kali, sedangkan yang satu lagi adalah dialog antara orang tua tanpa nama dengan anaknya (Al-Muththairi, 1429

H.: 89). Berikut ini adalah ayat-ayat tentang percakapan antara orang tua dan anak dalam Alquran:

1. Q.S Al- Baqarah : 132-133

ِ ىصَوَو

ِ

ِ ىَفَطْصاََِاِفِإِ َِِبََُِِبوُقْعَػيَوِِيَِبُِميِاَرْػبِإِاَِِ

ِ

ُِمُكَل

[َِفوُمِلْسُمِْمُتْػنَأَوَِِإِنُتوََُِ َََفَِنيِّدلا

ٖٕٔ

]

َِءاَدَهُشِْمُتْػُكِْـَأ

ُِقْعَػيَِرَضَحِْذِإ

ِيِدْعَػبِْنِمَِفوُدُبْعَػتِاَمِِيَِبِلَِؿاَقِْذِإُِتْوَمْلاَِبو

َِ َلِإُِدُبْعَػنِاوُلاَق

ِ َلِإَوِ َ

ًِ َلِإِ َؽاَحْسِإَوَِليِعاَِْْإَوَِميِاَرْػبِإِ َ ِئََآَِ

ِا

[َِفوُمِلْسُمَُِلُِنَََْوِاًدِحاَو

ٖٖٔ

]

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama

Islam” (132). Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya"(133).

Di dalam tafsir Al-Misbah, kedua ayat di atas masuk dalam kelompok ayat VIII yaitu surat Al-Baqarah dimulai ayat 124 sampai 141. Kelompok ayat-ayat ini berbicara tentang Nabi Ibrahim as. yang

merupakan salah seorang putra Adam as. yang paling utama, serta leluhur Banī Isrāil. Nabi Ibrahim digelari dengan khalīlullah (kekasih

(57)

dan ra īm yang berarti penuh kasih. Beliau adalah ayah yang penuh kasih. Beliau baru memperoleh anugerah anak di usia tua dan setelah

menantikannya sedemikian lama (Shihab, 2002: 315-316).

Faktor yang menjadikan beliau mendapat kedudukan tinggi di

sisi Allah itu, serta ajaran yang dianutnya, kemudian diteruskan kepada generasi sesudahnya. Inilah yang diuraikan oleh ayat ini dengan firman-Nya: Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu

yakni millat (agama), atau prinsip ajaran itu, kepada anak-anaknya

yakni Ismail, Ishaq dan saudara-saudara mereka, demikian pula

Ya'qub yang merupakan anak Nabi Ishaq putra Nabi Ibrahim as. Dia juga mewasiatkannya kepada anak-anaknya, yakni para leluhur Banī

Isrāil yang hidup pada masa Nabi Muhammad sa

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan(library research), Pengumpulan datanya menggunakan metode ijmali yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan

[r]

membentak keduanya menyangkut apapun yang mereka lakukan, apalagi melakukan yang lebih buruk dari membentak dan ucapkanlah kepada keduanya dalam setiap percakapannya perkataan

Tafsir Ibnu Katsir Q.S Luqman ayat 12-19 , Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Q.S Luqman ayat 12-19 dan

Relevansi dari surah Luqman ayat 12-19 dengan Dasadarma Pramuka adalah keduanya mengandung nilai pendidikan karakter, sikap hormat (sopan) yang dilandasi sifat bijak

Dengan demikian, penjelasan diatas berdasarkan telaah dari tafsir al-misbah yang penulis gunakan dalam penelitian ini, maka Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk

80 Kesimpulan Berdasarkan uraian penulis dalam Penelitian ini tentang nilai-nilai pendidikan islam antara anak dan ayah dalam surat Al Mumtahanah ayat 4 dapat disimpulkan, nilai-Nilai

Nilai-nilai pendidikan dalam surat Al-Baqarah ayat 30-33 adalah mengenai materi pendidikan, juga dinamika yang kompleks dari kehidupan Adam yang ada pada saat itu dari tidak tahu menjdi