• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT YUSUF AYAT 20-29 PADA TAFSIR AL-MISBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT YUSUF AYAT 20-29 PADA TAFSIR AL-MISBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB - Test Repository"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh :

TAUFIQURRAHMAN

NIM: 111-12-002

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi















...

Sesungguhnya pada kisah-kisah

mereka itu terdapat pengajaran bagi

orang-

orang yang mempunyai akal”

(Q.S Yusuf 111)

(7)

vii

1. Bapak Juremi yang senantiasa memberikan nasehat dan tidak lelah mendidik dari kecil sampai menikmati kuliah S1 di IAIN Salatiga ini, serta doa-doanya yang mampu menjadi penguat bagi anaknya. Kepada Ibu tercinta ibu Wiwit yang senantiasa saya rindukan dan selalu saya doakan semoga Syurga lah tempat yang tepat untuk ibu.

2. Kakak-kakak tersayang mas Ahmad Salam, mbak Siti Asiyah, mas Ahmad

Salman, dan mbak Umi Maghfiroh, keluarga dari bapak Muhammad Ma’arif, serta keluarga dari kakak-kakak, yang selalu memberikan tutur dan nasehat agar menjadi orang yang manfaat.

3. Ibu Dr. Supartinah Sp.THT, bapak Dr. Aulia Erick, ibu Dr. Duhita Yassi Sp.THT, terimakasih saya ucapkan, atas bantuan dan dukungannya sehingga dengan lancar saya dapat menuntut ilmu. Serta seluruh karyawan THT center, dan keluarga besar THT Syifaa Rohmani, saya ucapkan terimakasih.

4. Mas Halimin, mas Ikhwan, mas Faizin, mas Andri, Mbak Haroh, mbak

Kummi, mbak Nurul hidayah. Kepada banyak teman yang selalu mendukung dan dalam hal Skripsi.

5. Sodara-sodaraku keluarga PAI A, Keluarga PPL SMA MUHAMMADIYAH

(8)

viii

memberikan banyak rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW, yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafaatnya di hari kiamat kelak. Segala syukur penulis panjatkan sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN

AKHLAK SURAT YUSUF AYAT 20-29 PADA TAFSIR AL-MISBAH

KARYA M. QURAISH SHIHAB”

Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar S1 Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

(9)

ix

5. Bapak Drs. A. Bahrudin, M.Ag. selaku pembimbing akademik.

6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu

selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak, ibu, keluarga, dan seluruh pihak yang selalu mendorong dan

memberikan motivasi dalam menyelesaikan kuliah di IAIN Salatiga.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua orang pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat diperlukan dalam kesempurnaan skripsi ini.

Salatiga, 23 September 2016 Penulis

Taufiqurrahman

(10)

x

Institut Agama Islam Negeri Salatiga. 2016. Pembimbing: Tri Wahyu Hidayati, M.Ag.

Kata kunci: Nilai Pendidikan Akhlak

Latar belakang dari penelitian ini adalah: Banyaknya oarng-orang yang masih kurang faham dalam memahami Kitab Tafsir, sehingga nilai-nilai dalam kitab-kitab tafsir masih sulit untuk dicerna dalam kehidupannya, maka dari itu kajian tafsir sangat dibutuhkan untuk mencari nilai-nilai yang di kandungnya sehingga dapat dijadikan pengetahuan dan dapat di amalkan. Dalam kajian tafsir ini peneliti akan mengkaji Q.S Yusuf ayat 20-29 pada Tafsir Al-Misbah Karya M.Quraish Shihab. Bagaimana relevansi nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Q.S Yusuf ayat 20-29 pada Tafsir Al-Misbah Karya M.Quraish Shihab.

Penelitian ini adalah penelitian keperpustakaan atau library research.

Sumber data primer menggunakan kitab Tafsir AL-Misbah karya M. Quraish Shihab. Pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi dan analisi isi. dengan cara mengidentifikasi makna yang terkandung dalam Q.S Yusuf ayat 20-29 dengan menggunakan kitab Tafsir Al-Misbah dan untuk mengungkapkan nilai-nilai pendidikan akhlah dalam ayat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Q.S Yusuf ayat 20-29 dalam Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dan relevasninya terhadap pendidikan akhlak dalam konteks kekinian.

Hasil penelitian dapat menunjukkan bahwa: (1) Nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Q.S Yusuf ayat 20-29 dalam tafsit Al-Misbah karya M.Quraish Shihab, terdapat nilai-nilai akhlah sebagai berikut: Sabar khawatir melakukan

keburukan, kemandirian, rendah hati, ihsan, tanggungjawab, teguh

pendirian,menghindar dari berdua-duaan, jujur, tidak pendengam, bijaksana. (2) Nilai-nilai Akhlak dalam Q.S Yusuf memiliki relevansi terhadap pendidikan pada zaman sekarang.

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN BERLOGO ... ii

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian... 4

D. Metode Penelitian ... 5

E. Penegasan Istilah ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II BIOGRAFI M. QURAISH SHIHAB DAN BIOGRAFI TAFSIR AL-MISBAH ... 16

A. Biografi M. Quraish Shihab ... 16

B. Karya-karya M. Quraish Shihab ... 18

(12)

xii

BAB III DESKRIPSI PENELITIAN ... 24

A. Tafsir Al-Misbah Q.S Yusuf Ayat 20-29 ... 24

1. Tafsir Ayat 20 ... 24

2. Tafsir Ayat 21 ... 25

3. Tafsir Ayat 22 ... 28

4. Tafsir Ayat 23 ... 32

5. Tafsir Ayat 24 ... 37

6. Tafsir Ayat 25 ... 40

7. Tafsir Ayat 26-27 ... 43

8. Tafsir Ayat 28-29 ... 46

BAB IV PEMBAHASAN ... 49

A. Nilai-Nilai Akhlak Dalam Surat Yusuf Ayat 20-29 ... 49

B. Relevansi Nilai-Nilai Akhlak dalam Surat Yusuf Ayat 20-29 ... 60

BAB V PENUTUP ... 65

A. Kesimpulan... 65

B. Saran ... 66 DAFTAR PUSTAKA

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar SKK

2. Nota Pembimbing Skripsi

3. Lembar Konsultasi

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat

diturunkan atau diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Al-Qur’an kitab suci yang oleh umat Islam diyakini dan dipercaya sebagai petunjuk bagi semua manusia, Al-Qur’an juga yang menjadi sumber hukum yang pertama dalam Agama Islam. Al-Qur’an disebut Kalam Ilahi yang di dalam kandungannya banyak memuat hukum-hukum, perintah, larangan, petunjuk, dan hikmah.

Menurut Quraish Shihab (1994:40) ajaran yang terkandung dalam

Al-Qur’an diklasifikasikan menjadi tiga, pertama aspek akidah, yaitu ajaran

tentang keimanan akan keEsaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian

adanya hari pembalasan, kedua aspek syari’ah, yaitu ajaran tentang hubungan

manusia dengan Tuhan dan sesamanya, ketiga aspek akhlak, yaitu ajaran tentang norma-norma keagamaan dan sosial yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.

(15)

semaksimal mungkin untuk mencapai akhlak yang baik. Salah satunya dengan

mengkaji Al-Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Karena sumber dari pada pendidikan akhlak yang utama adalah Al-Qur’an dan

Al-Hadits.

Dalam mengkaji Al-Qur’an untuk diamalkan tidak semudah mengkaji

berbagai ilmu pengetahuan sebagaimana kita mudah memahami teori-teori yang telah dikemukakan oleh pakar ilmuan, akan tetapi dalam memahami

Al-Qur’an perlu dilakukan pengkajian ulang tentang kandungan isi Al-Qur’an

dengan menggunakan tafsir. Namun dalam kajian tafsir tidak menuntut kemungkinan manusia bias memahami tafsir beserta nilai-nilai yang ada dalam kandungan Al-Qur’an yang telah ditafsirkan. Karena banyak dari mufasir dalam menafsirkan dan menuliskan dalam kitab-kitab tafir tidak mengulas kandungan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, akan tetapi lebih fokus dalam penafsiran kandungan ayat berdasarkan kaidah bahasa dan berdasarkan asbabunnuzul (sebab-sebab diturunkan ayat). Maka dari itu perlu juga tafsir-tafsir tersebut dikaji lebih dalam untuk mendapatkan nilai yang tersembunyi guna pemahaman dan dapat di jadikan pelajaran serta dapat diamalkan.

Pada kandungan Al-Qur’an aspek akhlak ini banyak disebutkan di dalamnya karena begitu pentingnya akhlak dalam peranannya bagi manusia

untuk menjalani kehidupannya di dunia. Kandungan Al-Qur’an tentang

(16)

yang berbicara tentang hukum. Hal ini memberikan isyarat bahwa Al-Qur’an sangat perhatian terhadap masalah kisah, yang memang di dalamnya banyak mengandung pelajaran (ibrah).

Selain itu akhlak dapat mendorong kita untuk menjalani sebaik mungkin umur yang terbatas dan hanya satu kali ini sesuai dengan rancangan Tuhan. Yaitu hidup suci dengan kesadaran penuh bahwa kita adalah bagian dari manusia universal, bagian dari seluruh umat manusia di muka bumi.(Nurcholis Madjit, 2006:111).

Oleh karena itu kisah dalam Al-Qur’an memiliki makna tersendiri bila dibandingkan isi kandungan yang lain. Maka perlu kiranya kita sebagai

umat Islam untuk mengetahui nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an sehingga

kita dapat mengambil pelajaran. Dalam hal ini peneliti bermaksud untuk mengkaji nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat pada Al-Qur’an surah Yusuf ayat 20-29 yang di dalamnya berisi kisah nabi Yusuf yang digoda oleh istri seorang pembesar Mesir. Berawal dari ditemukannya Yusuf dalam sumur oleh seorang kafilah Mesir dan Yusuf dijualnya untuk dijadikan budak, hingga Yusuf dibeli oleh seorang pembesar Mesir untuk dijadikan anak angkatnya.

Maka dari itu penulis kemudian ingin melakukan penelitian dengan

mengangkat judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK SURAT

(17)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka rumusan masalah yang dijadikan dasar penulisan skripsi ini adalah sebagai bedrikut :

1. Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Q.S

Yusuf ayat 20-29 tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihah?

2. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam

Q.S Yusuf ayat 20-29 tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari pokok pembahasan di atas, tujuan dari penelitian ini secara umum bertujuan sebagai berikut:

1. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk

a. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung

dalam Q.S Yusuf ayat 20-29 tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab.

b. Untuk mengungkapkan relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak yang

terkandung dalam Q.S Yusuf ayat 20-29 tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihah dengan realita saat ini.

2. Penelitian ini secara teoritris diharapkan dapat digunakan untuk:

a. Menambah wawasan keilmuan dalam bidang pendidikan agama Islam

(18)

b. Memberikan kontribusi positif dalam ilmu pendidikan agama Islam kususnya dalam pendidikan akhlak.

D. Metode Penelitia

1. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini penulis ingin mengungkapkan fokus penelitian sebagai berikut : Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Q.S Yusuf ayat 20-29 pendidikan akhlak pada tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab.

2. Sumber Data

a. Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah Q.S Yusuf ayat 20-29

yang difokuskanpada tafsir Al-Misbah Karya M.Quraish Shihab.

b. Sekunder

Dalam melakukan kajian tentang ayat, penulis menggunakan sumber yang berasal dari tafsir-tafsir Al-Qur’an yang terkait dengan pembahasan dalam penelitian. Penulis juga mengambil dari sumber lain yang relevan dengan penelitian, seperti mengambil sumber data dari buku-buku bacaan yang dapat mendukung dan sesuai dengan pembahasan skripsi.

3. Metode Pengumpulan Data

a. Penelitian perpustakaan (library research)

(19)

atau fondasi berfikir untuk membangun landasan teori serta mengembangkan aspek teoritis Maupun aspek manfaat praktis (Sukardi,2007:33) penelitian menggunakan penelitian keperpustakaan dikarenakan nilai-nilai akhlak yang diteliti terdapat pada tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Namun literatur yang digunakan tidak terbatas dengan kitab tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab saja melainkan dengan buku-buku, artikel, informasi dari internet dan dari media massa yang sekiranya mendukung dan relevan dengan penelitian.

b. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode penelitian yang

dilaksanakan dengan mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan transkip, buku, surat kabar, majalah prasasti, notulen rapat baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian, terdahulu dan sebagainya (Suharsimin, 2010:274). Skripsi ini menggunakan meteode dokumentasi dalam hal mengumpulkan materi dari buku-buku.

c. Metode Analisis Isi

(20)

tafsir Al-Misbah karya M.Quraish Shihab agar memperoleh nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Q.S Yusuf ayat 20-29.

E. Penegasan Istilah

1. Nilai

Nilai sebagaimana dalam kamus besar bahasa indonesia yaitu sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. (Tim Redaksi KBBI, 2007:783). Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia dan masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap baik, benar dan hal-hal yang dianggap buruk dan salah. (Mujib.1991:110). Dalam pembahasan ini, nilai yang dimaksudkan adalah mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Q.S Yusuf ayat 20-29 pada tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab.

2. Pendidikan

Pendidikan menurut Brubacher John.S (dalam Sumarno, 2006:20) pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan, dan kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, didukung dengan alat (media) yang disusun sedemikian rupa, sehingga pendidikan dapat digunakan untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah diteteapkan.

(21)

lainnya yang bernilai positif dalam masyarakat ditempat hidupnya; kedua, proses social dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khusus yang datang dari sekolah), sehingga orang tersebut bias mendapat atau mengalami perkembangan kemampuan social maupun kemampuan individu secara optimal.

3. Akhlak

Akhlak adalah jamak dari tunggal khuluq, sedangkan khuluq itu sendiri merupakan lawan dari khalq. Khuluq itu dapat dilihat dengan mata batin, sedangkan khalq dapat dilihat dengan mata lahir. Kedua kata tersebut berasal dari akar yang sama, yaitu berasal dari kata khalaqa.

Kemudian kata khuluq diartikan sebagai sesuatu yang telah tercipta atau terbentuk dari suatu proses. Kebiasaan merupakan tindakan yang tidak memerlukan pemikiran atau pertimbangan. Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akhlaq adalah kehendak dan tindakan yang sudah menyatu dengan pribadi seseorang dalam kehidupannya, sehingga tidak dapat dipisahkan dan tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran untuk menjalankannya (Nasirudin, 2010:31).

Selain dari pengertian di atas, akhlak mempunyai dua jenis yaitu:

a. Akhlakul Karimah atau Terpuji

(22)

akhlak yang baik adalah: “menahan amarah, hati-hati, sabar, tahan

banting, dermawan, berani, adil, berbuat sebaik-baiknya, serta berbagai sifat mulia dan kesempurnaan jiwa lainnya (Bakar,2005:247). Akhlak karimah bukan hanya ditandai oleh simbol pakaian luar, tetapi mengungkapkan lahir dan batin (Anwas,1986:57)

Amalan-amalan akhlak Karimah:

1) Taat kepada Allah dan tidak takut kepada sesama manusia.

2) Bakti kepada Allah lahir dan batin yang disertai dengan kesadaran. 3) Menjaga diri dari segala bentuk maksiat, baik maksiat lahir

maupun batin.

4) Bertingkah laku selaras dengan kehendak aturan Tuhan. Tidak

merasa diri besar dari yang lain. Tidak merasa diri amat berkuasa. 5) Merasa dirinya sebagai manusia biasa yang padanya dipikulkan

tanggungjawab berat, yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan hakim agung yang Maha Tinggi dan Maha Adil (Anwas,1986:57).

Dalam buku Pengantar Studi Akhlak karya Zahruddin dan Hasanuddin

(2004:158)Akhlak yang terpuji dibagi menjadi dua bagian:

1) Taat Lahir

Taat lahir berarti melakukan seluruh amal ibadah yang diwajibkan Tuhan, termasuk berbuat baik kepada sesama manusia dan lingkungan dan dikerjakan oleh anggota lahir. Beberapa perbuatan yang dikategorikan taat lahir adalah :

(a) Tobat

Menurut para sufi adalah fase awal perjalanan menuju Allah

(23)

sikap dan tingkah laku seseorang. Namun, sifat penyesalannya merupakan taat batin.

(b) Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar

Yaitu perbuatan yang dilakukan kepada manusia untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan.

(c) Syukur

Yaitu berterima kasih pada nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia dan seluruh makhluk-Nya.

2) Taat Batin

Taat batin adalah segala sifat yang baik dan terpuji yang dilakukan oleh anggota batin (hati). Beberapa perbuatan yang dikategorikan taat batin adalah :

(a) Tawakal

Yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi, menanti atau menunggu hasil pekerjaan.

(b) Sabar

Dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu sabar dalam beribadah, sabar ketika dilanda malapetaka, sabar terhadap kehidupan dunia, sabar terhadap maksiat, sabar dalam perjuangan.

(c) Qanaah

(24)

b. Akhlakul Madzmumah

Akhlakul madzmumah adalah akhlah tercela atau akhlak yang tidak terpuji. Akhlakul madzmumah (tercela) ialah akhlak yang lahir dari sifat-sifat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah SWT dan RasulNya

(Badruzzaman,2004:41). Akhlak yang tercela: “Zalim, dengki, curang,

riya, ujub, lemas, dan malas. (Bakar, 2005:303).

Dalam buku Pengantar Studi Akhlak karta Zahruddin dan Hasanuddin

(2004:155)Akhlak yang tercela dibagi menjadi dua bagian:

1) Maksiat Lahir

Yaitu pelanggaran oleh orang yang berakal baligh (mukallaf), karena melakukan perbuatan yang dilarang dan meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan oleh syariat Islam. Maksiat lahir dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

(a) Maksiat mata. Seperti melihat aurat wanita yang bukan

mahromnya, melihat aurat laki-laki yang bukan mahromnya, melihat orang lain dengan gaya menghina dan melihat

kemungkaran tanpa beramar ma’ruf nahi mungkar.

(b) Maksiat telinga. Seperti mendengarkan pembicaraan orang lain,

(25)

(c) Maksiat lisan. Seperti berkata-kata yang tidak bermanfaat, berlebih-lebihan dalam percakapan, berbicara hal yang batil, berkata kotor, mencaci maki atau mengucapkan kata laknat baik kepada manusia, binatang, maupun kepada benda-benda lainnya, menghina, menertawakan, atau merendahkan orang lain, berkata dusta, dan lain sebagainya.

(d) Maksiat perut. Seperti memasukkan makanan yang haram dan syubhat, kekenyangan, makan dari harta milik orang lain yang belum jelas (yang diambil dari harta wakaf tanpa ada ketentuan untuk itu dari orang yang memberikan wakaf)

(e) Maksiat farji (kemaluan). Seperti tidak menjaga auratnya (kehormatan) dengan melakukan perbuatan yang haram, dan tidak menjaga kemaluannya.

(f) Maksiat tangan, Seperti menggunakan tangan untuk mencuri, merampok, mencopet, merampas, mengurangi timbangan, memukul sesama kaum muslim dan menulis sesuatu yang diharamkan membacanya.

(g) Maksiat kaki, Seperti kaki janlan sampai ke tempat-tempat yang haram.

2) Maksiat batin

(26)

a) Marah (ghadab) Dapat dikatakan seperti nyala api yang terpendam di dalam hati, sebagai salah satu hasil godaan setan pada manusia.

b) Dengki (hasad) Penyakit hati yang ditimbulkan kebencian, iri, dan ambisi.

c) Sombong (takabur) Perasaan yang terdapat di dalam hati

seseorang, bahwa dirinya hebat dan mempunyai kelebihan.

4. Pendidikan Akhlak

Pendidikan akhlak adalah perpaduan antara pendidikan dan akhlak. Pendidikan itu sendiri adalah proses pengembangan potensi, kemampuan, dan kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, atau keseluruhan proses mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya yang bernilai positif dalam masyarakat ditempat hidupnya (Sumarno, 2006:20). Sedangkan akhlak adalah kehendak dan tindakan yang sudah menyatu dengan pribadi seseorang dalam kehidupannya, sehingga tidak dapat dipisahkan dan tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran untuk menjalankannya (Nasirudin, 2010:31). Jika dilihat

dari tujuan pendidikan akhlak itu sendiri bahwa “Tujuan dari pendidikan

moral dan akhlak dalam Islam ialah untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan

(27)

Jadi dari pengertian di atas dapat diartikan pendidikan akhlak adalah proses pengembangan potensi, kemampuan, dan kebiasaan, kemudian disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, atau proses mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya yang bernilai positif untuk membawa anak didik ketingkat kedewasaan yang mampu membiasakan diri dengan sifat-sifat yang terpuji dan menghindar dari sifat-sifat yang tercela.

Kedewasaan ini meliputi aspek kesempurnaan jasmani dan kesempurnaan rohani yang patut dimiliki oleh setiap manusia, sehingga ia dapat membedakan mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Oleh sebab itu kedua perbuatan tersebut memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Kehidupan berakhlak tidak dapat dipisahkan dengan keyakinan beragama. Maka jelas bahwa inti dari pendidikan akhlak selain memberikan bimbingan mental dan jiwa manusia dalam berperilaku atau melakukan kebaikan juga untuk menguatkan mental manusia untuk kedekatannya kepada Tuhan.

5. Al-Qur’an

Al-Qur’an dari bahasa arab qara’a yang berarti menghimpun, dan

qira’ah menghimpun huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang

lain dengan satu ucapan yang rapi. Sedangkan qur’anah berarti bacaan, yaitu bacaan-bacaan yang terdiri dari beberapa huruf seperti terkandung

dalam Al-Qur’an. Dari segi penamaanya Al-Qur’an adalah kitab suci umat

(28)

Al-Qur’an ialah: ”kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Dalam bahasa arab setiap huruf memiliki nilai ibadah membacanya, memiliki mukjizat yang dimulai dari surat Al-Fatihah dan diahiri dengan surat An-Nas” (Harahab, 2003: 341-342). Al-Qur’an kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara mutawatir dalam bahasa arab dan jika orang membacanya dinilai ibadah, dan dimulai dari surat Al-fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.

F. Sitematika Penulisan Skripsi

Skripsi ini disusun dalam lima BAB yang secara sistematis penjabaranya sebagai berikut:

Bab I pendahuluan, pada bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II Biografi M.Quraish Shihab dan Biografi Tafsir Al-Misbah, seperti: riwayat pendidikan, riwayat organisasi, karya yang dihasilkan dan Biografi Kitab: Latar belakan penulisan Tafsir Al-Misbah.

Bab III, Dalam bab ini membahas tentang: Penjelasan tafsir surat Yusuf ayat 20-29 dalam tafsir Al-Misbah karya M.Quraish Shihab.

Bab IV, Analisa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Al-Qur’an surat yusuf ayat 20-29 pendidikan akhlak studi tafsir Al-Misbah karya M.Quraish Shihab.

(29)

BAB II

BIOGRAFI M. QURAISH SHIHAB DAN BIOGRAFI TAFSIR

AL-MISBAH

A. Biografi Quraish Shihab

Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944. Beliau adalah putra keempat dari seorang ulama besar almarhum Prof. H. Abd. Rahman Shihab, guru besar ilmu tafsir dan mantan Rektor UMI dan IAIN Alaudin Ujung Pandang, bahkan sebagai pendiri kedua Perguruan Tinggi tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, beliau melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, bersamaan dengan itu beliau nyantri di Pondok Darul-Hadits Al-Faqihiyyah. Pada tahun 1958, beliau ke Kairo, Mesir, dan diteriama di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar pada tahun 1967. Beliau meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis di Universitas Al-Azhar. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Qur’an dengan tesis berjudul Al-I’jaz Al

-Tasyri’iy li Al-Qur’an Al-Karim.

(30)

(Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti: Pembantu pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang, beliau juga sempat melakukan penelitian

dengan tema”Penerapan kerukunan beragama di Indonesia timur” (1975) dan

“ Masalah wakaf Sulawesi Selatan” (1978).

Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikan di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa’iy, tahqiq wa Dirasah, beliau berhasil meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu Al-Quar’an

dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtas

ma’a martabat al-syaraf al-‘ula).

Setelah kembali ke Indonesia, sejak tahun 1984, Quraish Shihab ditugaskan di fakultas Ushuluddin dan Fakultas paska-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, beliau juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama sejak tahun 1989, dan Ketua Lembaga Pengembangan. Beliau juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi professional; antara

lain: Pengurus Penghimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah; Pengurus Konsorsium

(31)

Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis menulis. Di surat kabar pelita, pada

setiap hari rabu dan menulis dalam rubrik “Pelita Hati”. Beliau juga mengasuh

rubrik “Tafsir Al-Amanah” dalam majalah dua mingguan yang terbit di

Jakarta, Amanah. Selain itu beliau juga tercatat sebagai anggota Dewan

Redaksi majalah ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di

Jakarta. Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, dan sudah banyak karya beliau yang di terbitkan sampai saat ini (Shihab 1995:6).

B. Karya-karya yang telah di hasikan M. Quraish Shihab

Selain menjabat di berbagai istansi lembaga tertentu beliau juga mempunyai aktifitas dalam bidang menulis beliau mempunyai banyak karya. Meskipun dalam latar belakang keilmuanya beliau lebih dikenal ulama ahli tafsir akan tetapi dalam karyanya beliau mempunyai banyak karya yang bukan hanya fokus dalam bidang tafsir. Beliau juga berkarya menuliskan dalam hal keagamaan yang menyangkut ibadah keseharian, fenomena budaya dan sosial kemasyarakatan. Akan tetapi beliau tidak meninggslkan dari pendekatan dalam bidang Al-Qur’an. Dibawah ini adalah beberapa karya beliau yang telah dibukukan.

1. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN

Alauddin, 1984);

2. Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur'an

(Jakarta: Lentera Hati, 1998);

3. Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994);

4. Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat

(32)

5. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (15 Volume, Jakarta: Lentera Hati, 2003);

6. Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam Islam

(Jakarta: Lentera Hati, 2005);

7. Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006);

8. Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat

(Jakarta: Lentera Hati, 2006);

9. Sunnah - Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas Konsep

Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2007);

10.M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda

Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008);

11.M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut Anda

Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2010);

12.Membumikan al-Qur'ân Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan

(Jakarta: Lentera Hati, Februari 2011);

13.Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, dalam sorotan Al-Quran dan

Hadits Shahih (Jakarta: Lentera Hati, Juni 2011);

14.Tafîr Al-Lubâb; Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur'ân

(Boxset terdiri dari 4 buku) (Jakarta: Lentera Hati, Juli 2012).

C. Latar Belakang Penulisan Tafsir

1. Latar Belekang Penulisan Tsfsir

(33)

mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara langsung karena kendala bahasa.

Tafsir al-Misbah adalah karya monumental Muhammad Quraish Shihab dan diterbitkan oleh Lentera Hati. Tafsir al-Misbah diselesaikan selama kurang lebih empat tahun oleh penulisnya. M. Quraish Shihab

memulai menulis di Kairo, Mesir pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420

H/18 Juni 1999 M dan selesai di Jakarta Jum’at 8 Rajab 1423 H/5

September 2003.

Niat awal menulisnya secara sederhana bahkan merencanakan tidak lebih dari tiga volume, namun kenikmatan ruhani justru lebih dirasakan ketika ia semakin mengkaji, membaca dan menulis tafsirnya hingga tanpa terasa karya ini mencapai lima belas volume. Satu hal yang membuat hati Quraish Shihab tergugah dan membulatkan tekad dalam penyusunan kitab tafsirnya adalah ketika di Mesir ia menerima salah satu

surat yang ditulis oleh orang tak dikenal dan menyatakan bahwa: “Kami

menunggu karya ilmiah pak Quraish yang lebih serius.” (Shihab,

2003:Vol.15 h.penutup).

Tafsir al-Mishbah adalah sebuah tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz lengkap. Penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khazanah pemahaman dan penghayatan umat Islam terhadap rahasia makna ayat Allah swt.

(34)

1. Metode Al-Tahlili

Dilihat dari metode yang digunakan dalam tafsir Al-Misbah,

M.Quraish Shihab menafsirkan menggunakan metode Al-Tahlili.

Metode Al-Tahlili menurut istilah metode tafsir yang menjelaskan

ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya dan mengungkapkan

maksud-maksudnya secara terrinci sesuai urutan ayat dan surat

Al-Qur’an Mushhaf `Utsmani, (Budihardjo 2012:132).

Al-Tafsir al-tahlili adalah metode tafsir yang bermaksud

menjelaskan kandungan Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Didalam

tafsir tahlili, mufasir mengikuti urutan ayat dan surat sebagai mana yang telah disusun di dalam mushaf `Utsmani. Mufasir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata yang di ikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Mufasir juga mengemukakan

(35)

penafsiran dengan metode Al-Tahlili adalah menguraikan ayat dengan mengemukakan arti kosa kata yang diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Selanjutnya dikemukakan korelasi ayat-ayat dan menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut dati dengan yang lain, membahas latar belakang terunnya ayat jika ada, dan menyampaikan dalil-dalil dari hasist, atau dari sahabat, dan atau dari para tabiin dan segala segi yang dianggap penting.

2. Metode Bil Ma’sur

Jika dilihat dari cara penafiran M. Quraish Shihab dalam kitab tafsir Al-Misbah secara umum termasuk tafsir bil-ma’sur. Dalam penafsiranya M. Quraish Shihab menafsirkan ayat dengan pertimbangan ayat yang mendukung dan juga denagn menambahkan

penafsiran yang pernah di kemukakan oleh mufasir yang lain, sebagai

bahan penguat penafsiran dan banyak pula memasukan hadist yang mendukung konteks dalam ayat yang ditafsirkan, untuk membuktikan dan mempertimbangkan penafirannya.

Tafsir bil ma’sur sering juga disebut, ”bir-riwayah atau disebut juga tafsir bin-naql karena tafsir bul-ma’sur adalah penafsiran

Al-Qur’an atau hadist atau ucapan sahabat untuk menjelaskan kepada

sesuatu yang dikehendaki Allah SWT. Dan dalam tafsir bil-ma’sur

sendiri terbagi menjadi tiga. Adakalanya penafsiran Al-Qur’an dengan

ayat Al-Qur’an, penafsiran Al-Qur’an dengan Hasist Nabi, dan

(36)

2001:99-100). Jadi penafsiran bil-ma’sur adalah cara menafsirkan ayat

dengan ayat, penafsiran ayat Al-Qu’an sengan Hadis Nabi, dan

(37)

BAB III

DESKRIPSI PENELITIAN

A. Tafsir Al-Misbah Q.S Yusuf Ayat 20-29

1. Tafsir Ayat 20

Dan mereka menjualnya dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham yang dapat dihitung dan mereka bukanlah orang-orang yang tertarik hatinya.

(38)

penafsiran kata

(

سخب

)

bakhs/murah. Dalam tafsir Al-Misbah

karya Quraish Shihab (2012:41) pada mulanya berarti kekurangan akibat kecurangan, baik dalam bentuk mencela atau memperburuk, sehingga tidak disenanngi, atau penipu dalam nilai atau kecurangan dalam timbangan dan takaran dengan melebihkan atau mengurangi.

Dalam tafsir Nurul Quran (2005:463) dengan sendirinya ketika seseorang menjual sesuatu dengan cepat dia tidak bias memperoleh harga yang baik bagi barangnya. Dan di akhir ayat, Allah mengatakan dan mereka merasa tidak tertarik kepada Yusuf.

(39)

“Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya, "Berikanlah

kepadanya tempat yang baik, semoga dia bermanfaat kepada kita atau kita jadikan dia sebagai anak." dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi, dan agar Kami ajarkan kepadanya penakwilan peristiwa-peristiwa. dan Allah swt. berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.

Yang membeli yusuf sebenarnya sangat bergembira dengan anak yang dibelainya itu, baik penjualnya tidak senang atau pembelinya berpura-pura tidak senang. Betapa dia tidak senang, seorang anak lelaki yang tampan, yang ketampanannya dinilai telah menghimpun setengah dari seluruh ketampanan, telah berada bersama dia. Belum lagi dengan tutur bahasanya dan cahaya kesalehan kalau enggan berkata kenabian, yang memancar dari wajahnya. Kegembiraan itu lebih besar lagi jika ditambah dengan riwayat yang menyatakan bahwa dia (pembeli) itu tidak dikaruniai anak.

(40)

dan kami anugrahkan kepadanya banyak hal yang lain sehingga agar pada masanya nanti kami ajarkan kepadanya penakwilan peristiwa-peristiwa, yakni penafsiran tentang makna mimpi dan dampak peristiwa-peristiwa yang terjadi. Memang, ini suatu hal yang terlihat aneh karena bagaimana bias menjalani hidupnya yang penuh duka itu berahir. Tetapi tidak ada yang mustahil bagi Allah swt Tuhan pemilik dan pengatur alam raya, lagi Maha Berkehendak dan Allah swt. Berkuasa terhadap urusan yang dikehendaki-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui hakikat tersebut.

Dalam tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab ayat ke 21 dijelaskan tentang kebahagiaan seseoranga yang membeli Yusuf karena melihat dari tutur kata Yusuy dan cahaya kesalehan. Dan disebutkan seseorang yang membeli Yusuf. Dalam perjanjian lama (kejadian,39:1)

”disebutkan bahwa pembelinya adalah kepala pengawal Raja, namanya

Potifar.” Dan seorang istri yang disebut oleh ayat ini dalam kitab-kitab

berbahasa Arab bernama

(

اخيلز

)

Zalikha.”( Quraish Shihab 2012: 42 )

Dalam tafsir Jalalain karya jalalud-din al-Mahalli dan Jalalud-din as-Suyuthi (1990:952) disebutkan bahwa orang Mesir yang membeli Yusuf, dia bernama Qithfir Al Aziz, dan istrinya bernama Zulaiha.

(41)

tidak bias bertugas mengurus budak belina. Katanya kepada istrinya,

“berikanlah kepadanya tempat dan layanan yang baik agar dia betah dan

senang tinggal bersama kita. (M Quraish shihab 2012:41).

Keterangan dari tafsir-tafsir yang lain juga mendukung penafsiran Quraish Shihab yang menerangkan kebahagiaan seorang yang membeli Yusuf. Sebagaimana dalam tafsir Maragi karya Ahmad Mustafa Al-Maragi (1974:248) Semoga dia bermanfaat bagi kita dalam urusan-urusan pribadi, bila ia telah melatih mengurus atau mengetahui sumber-sumber atau cara-cara pengeluarannya, atau dalam urusan-urusan Negara pada umumnya, tampak adanya tanda-tanda kecerdasan dan kecerdikan, atau dia kita angkat dan kita dudukan sebagai anak, sehingga ia menjadi pemandangan yang menyenangkan di samping harta dan kemuliaan kita, apa bila telah dewasa dan telah tampak akalnya.

Dalam tafsir Ibnu Katsir (1989:844) orang mesir itu melihat tanda-tanda baik dan kemaslahatan pada diri Yusuf. Dia berkata kepada

istrinya,”berikanlah kepadanya tempat yang baik. Mudah-mudahan dia

bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak. 3. Tafsir Ayat 22

Dan tatkala dia mencapai dewasa, Kami anugrahkan kepadanya Hukum dan ilmu. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada al-muhsinin.

(42)

saudara-saudaranya, dilempar ke sumur di kala kecilnya, dipishkan dari keluarganya, dijual sebagai hamba sahaya, tetapi justru dalam status dianggap hamba itulah Allah swt, mengantarnya ketangga pertama kesuksesan yang direncanakan Allah untuknya. Allah swt yang Kuasa melaksanakan apa yang Dia kehendaki. Dan tatkala dia mencapai puncak kedewasaannya, yakni kesempurnaan pertumbuhan jasmani serta perkembangan akal dan jiwanya, Kami anugrahkan kepadanya hukum, yakni kenabian atau hikmah dan ilmu tentang apa yang dibutuhkan untuk kesuksesan tugas-tugasnya. Demikianlah Kami memberi balasan kepada

al-muhsinin, yaitu orang-orang yang mantap dalam melaksanakan aneka kebajikan.

Kata

(

امكح

)

hukuma ada yang mempermasalahkanya dengan

hikmah. Kata ini diambil dari akar kata

(

مكح

)

hakama. Kata yang menggunakan huruf-huruf ba’, kaf, dan mim berkisar maknanya pada

“menghalangai”, seperti hukum, yang berfungsi menghalangi terjadinya

(43)

liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai bijaksana atau hakim.

Ada pun makna hukum dan ilmu yang dimaksud oleh ayat ini, pastilah ia merupakan sesuatu yang mantap dan benar, tidak disertai oleh kerguan, atau kekeruhan akibat nafsu atau godaan kerena keduanya adalah anugrah Allah swt.

Kata

(

هّذشأ

)

assyuddahu terambil dari kata

(

ّذشأ

)

asyudd yang oleh

sementara pakar dinilai sebagai bentuk jamak dari kata

(

ةّذش

)

saiddah atau

keras atau

(

ّذش

)

syadd. Kata tersebut dipahami dalam arti kesempurnaan kekuatan. Berbeda ulama tentang usia kesempurnaan manusia. Ada nyang menyatakan 20 tahun, tetapi kebanyakan menilai dari usia 33 tahun atau

35 tahun. Thabathaba’I memahami antara usia pemuda tanpa menentukan

tahun sampai dengan usia 40 tahun. Usia 40 tahun, menurutnya, adalah puncak kesempurnaan kekuatan tetapi sebelum usia tersebut seseorang telah mencapai kesempurnaan kekuatan. itu sebabnya, tulisannya, Allah berfirman:

“sehiingga apabila dia telah mencapai asyudahu (kesempurnaan

kekuatan), dan mencapai empat puluh tahun” (QS. Al-Ahqaf [46]:15)

pengulangan kata

(

غلب

)

balagha atau mencapai, menurutnya menunjukkan

bahwa usia empat puluh tahun adalah puncak kesempurnaan.”seandainya

pencapaian kesempurnaan baru pada usia empat puluh, tidak perlu ada

(44)

Thabathaba’i mengaitkan ayat ini dengan ayat yang akan datang

yang berbicara tentang rayu wanita, istri orang Mesit itu. Menurutnya tidak kah tetap menentukan rayuan dan godaan wanita itu terjadi pada usia 33 tahun apalagi 40 tahun dan menjelang usia tua baru wanita itu tergoda dan merayunya.

Alasan kedua Thabathaba’i, ini tidak dapat diterima jika kita

memahami bahwa ayat 22 ini tidak berhubungan dengan ayat yang akan datang, sebagaimana penulis pahami. Ayat 22 ini berhubungan dengan ayat yang dulu yang berbicara tentang kesudahan anugrah Allah swt, kepada nabi Yisuf as.

Sayyid Quthub, sebagaimana disinggung sebelum ini,

(45)

Sayyid Quthub. Berapa pun usia wanita itu, yang jelas dia menggoda Yusuf as, sebagaimana akan terbaca pada ayat berikutnya.

Kata

(

ني

ن

س

ح

ملا

)

al-muhsinin adalah jamak

(

ن

س

ح

ملا

)

al-muhsin. Ia

terambil dari kata

(

نا

س

ح

ا

)

ihsan. Menurutal-harrali, sebagaimana di kutip

al-Biqa’i, ada puncak kebaikan amal perbuatan. Terhadap hamba ihsan

tercapai saat seseorang memandang dirinya dari orang lain sehingga dia memberi untuknya apa yang seharusnya dia beri untuk diriya. Sedangkan

ihsan antara hamba dengan Allah swt, Adalah leburnay diri sehingga dia

hanya “melihat” Allah swt. Karena itu pula ihsan antara hamba denagan

sesama manusia adalah bahwa dia tidak melihat lagi dirinya hanya melihat orang lain dan tidak melihat dirinya pada saat beribadah kepada Allah, dia itulah yang dinamai muhsin, dan ketika itu dia telah mencapai puncak

Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.

(46)

akhlaknya, kegagahan dan ketampanan wajah pun semakin menonjol. Ia ketika itu belum mencapai tiga puluhan. Apapun yang terjadi, dan berapapun usianya, yang jelas istri seorang Mesir itu yang konon bernama Zalikha atau Zulaikha, atau Ra’il melihat dan meperhatikan dari hari ke hari pertumbuhan jasmani dan perkembangan jiwa Yusuf tidak mustahil dia mengamati keindahan parasnya, kejernihan matanya, serta kehalusan budinya. Tidak mustahil dia tidak bosan duduk bersamanya menayakan ihwal hidupnya. Dari hari ke hari, perhatian itu semakin bertambah, sejalan dengan pertumbuhan Yusuf as, dan suatu ketika, entah bagaimana, sang istri sadar bahwa dia telah jatuh cinta kepada yusuf as.

(47)

Setelah itu, dia menemui Yusuf seraya berkata dengan penuh harap dan rayu. ”marilah ke sini, laksanakan, laksanakan apa yang kuperintahkan,

”atau” Inilah aku siap untuk memenuhi keinginan-mu.” Sungguh Yusuf

tidak menduga situasi akan menjadi demikan. Kekasihnya, yakni Allah swt. Yang tidak pernah luput dari ingatannya, kini tampil begitu jelas, Anugerah-Nya yang sedemikian banyak pun muncul seketika dalam benaknya. Boleh jadi, tampak juga di pelupuk matanya kebaikan dan jasa tuan rumah, suami wanita yang mengajaknya itu. Dan seketika itu Yusuf

berkata singkat,” perlindungan Allah (maksudnya: Aku memohon

perlindungan Allah Yang Mahakuasa dari godaan dan rayuanmu). Sungguh Dia adalah Tuhanku yang menciptakan aku, Dia yang membimbing dan berbuat baik kepadaku dalam segala hal. Dia telah memperlakukan aku dengan baik sejak dari kecil, ketika aku dibuang ke dalam sumur, kemudian menganugerahkan kepada aku tempat yang sangat agung di hati suamimu, sehingga dia menugaskan kepadaku apa yang dia miliki dan mengamanahkannya untuk kupelihara. Bila aku melanggar perintah Tuhanku dengan mengkhianati orang yang mempercayaiku, pastilah aku berlaku zalim.”Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada

akan beruntung memperoleh apa yang diharapkannya.”

Tafsir kata (

هتدوار

) rawadathu terambil dari kata (

دوار

) yang

asalnya adalah

(

دار

)

rada. Ia adalah upaya meminta sesuatu dengan lemah

(48)

upaya berulang-ulang. Pengulangan itu terjadi karena langkah pertama ditolak sehingga diulangi lagi, demikian seterusnya (M.Quraiah Shihab 2012:53).

Dalam tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maragi

(1992:252) kata (

هتدوار

) ditambah kalimat (

ةدر

م

ر

م

لا

ى

ل

ع

) ‘ala-amri

Muradatan, (

ةد

رمرملا ىلع

هتدوار

) Rawadathu ‘ala-amri Muradatan,

meminta kepada Allah dengan cara meniru (membujuk) dalam tuntutannya ia merayu-rayu bagai seorang penipu yang sangat berkeinginan.

Tafsir Kata (

تقلغ

) ghallaqat terambil dari kata (

قلغ

) ghalaqo yang

berarti menutup. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna menutup dengan berulang-ulang sehingga sulit dibuka. (M.Quraiah Shihab 2012:54). Dan dalam tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maragi

(1992:255) kata (

با و بلآ ا ت قَّل غ و

) “ Wanita menutup pintu-pintu dengan

rapi yaitu, pintu perangkap, tempat kedua orang itu berada; dan pintu ruang tamu yang ada didepan kamar-kamar pada rumah pembesar, atau pintu-pintu luar rumah, atau barangkali masih banyak pintu lainnya.”

Kata (

تيه

) haita, dari segi bahasa, juga mempunyai banyak arti.

Cara membacanya pun berbeda-beda. Di samping yang disebut di atas, ada juga yang membacanya hiyat atau hiitu dan haitu. Yang maknanya kehendak agar mengikuti perintah. Ia dapat berarti berteriak memanggil

(M.Quraiah Shihab 2012:54). Dan kata (

كل

) laka yang disebut setelah kata

(49)

kesiapn khusus itu diperuntukkan semata-mata untuk mitra bicara dalam hal ini adalah Yusuf as (M.Quraiah Shihab 2012:55). Dalam tafsir

Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maragi (1992:253) kata (

كل تيه

)

haita laka, kemarilahdatingsegera.

Thabathaba’i mengomentari dalam Tafsir Al-Misbah karya

M.Quraiah Shihab (2012:55) tentang kata (

الله ذاعم

) Ma’adza Allah, inilah

adalah tauhid yang murni yang dihasilkan oleh cinta ilahi sehingga menjadikan dia lupa segala sesuatu bahkan melupakan dirinya sendiri, sampai dia tidak berkata: Aku berlindung dari rayuanmu atau makna

semacamnya. Tetapi dia hanya berkata: “Ma’adza Allah/Perlindungan

Allah”.

Dalam pandangan penulis jika dilihat dari tafsir yang berbeda

mengenai kata (

هتدوار

) rawadathu tersebut menunjukan bahwa seseorang

wanita yang merayu Yusuf sangat berharap dengan Yusuf dan merayunya dengan lemah lembut. Sebagaimana menurut tafsir Al-Kasysyas dalam tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maragi (1992:255)



“wanita itu menipu Yusuf agar dia mau tunduk padanya.

Wanita itu melakukan perbuatan munipu terhadap korbannya, tentang sesuatu yang tak ingin dia lepaskan dari tangannya. Namun penipu itu

berdaya upaya supaya dapat merampas barang itu dari korbannya.”

(50)

tersebut Yusuf menjawab

(

الله ذاعم

)

Yusuf memohon perlindungan dari

Allah, dan melihat dari tafsiran di atas bahwa Yusuf meletakkan cintanya kepada Allah, bukan kepada selainnya. Bahkan Yusuf secara langsung meminta perlindungan kepada Allah.

Menurut Sayid Sabiq (1997:301) sikap Yusuf bahwa yusuf inin tetap memelihara kehormatan dirinya, enggan melakukan kemaksiayan dan menghindarkan dari perbuatan dari perbuatan hina, maka wanita itu hendak melakukan kekerasan, seperti memukul atau menyakitinya.

Dalam ayat ke 23 di atas menceritakan peristiwa seorang yang bernama Zulaiha menggoda Yusuf agar Yusuf tunduk dihadapanya untuk menjalankan ajakannya dan agar Yusuf bersedia melayaninya untuk tidur dengan wanita itu, dan wanita itu menjebak Yusuf dan menutup pintu-pintu serta jendela-jendela dengan rapat agar Yusuf tidak dapat keluar dari ruangan tersebut. Dan menggoda Yusuf serta memangilnya. Sedangka Yusuf menolak dengan perlindungan kepada Allah, dan Yusuf menyebut tuannya bahwa tuannya telah memperlakukan dengan baik maka Yusuf tidak akan menghiyanatinya, dan Yusuf menyatakan orang-orang yang zalim tidak akan beruntung. Pernayaan dalam ayat tersenut tidak akan tergambar dalam fikiran kita bahwa Yusuf mempunyai maksud atau keinginan melakukan keburukan dan kenistaan apalagi yang berbentuk perbuatan zina. Yusuf justru menguatkan diri dari untuk tidak berbuatan buruk.

(51)



bermaksud dengannya andai kata dia tidak melihat bukti Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang

terpilih.”

Banyak sekali faktor lahiriah yang seharusnya menghantar Yusuf as menerima ajakan wanita itu. Dia seorang pemuda yang belum nikah yang mengajaknya adalah seorang wanita cantik lagi berkuasa. Kebaikan wanita itu terhadap Yusuf as pasti banyak, dan perintahnya sebelum peristiwa ini dan juga sesudahnya selalu diikuti Yusuf as. Wanita itu pasti sudah berhias dan memakai wewangian, suasana istana pasti nyaman. Pintu-pintu pun telah ditutup rapat. Gorden dan tabir pun telah ditarik. Rayuan dilakukan berkali-kali bahkan dengan tipu daya sampai dengan memaksa, yang mengakibatkan bajunya sobek. Boleh jadi Yusuf as. sebagai seorang yang mengetahui seluk-beluk rumah dan kepribadian wanita itu tahu bahwa kalaupun ternyata ketahuan oleh suaminya, sang istri yang lihai itu akan dapat mengelak. Apalagi suaminya amat cinta padanya. Namun, sekali lagi, semua faktor pendukung terjadinya kedurhakaan tidak mengantar Yusuf tunduk pada nafsu dan rayuan setan.

(52)

dengan penuh tekad melakukan kedurhakaan dengannya karena tiada akal, tiada pula moral atau agama yang membendungnya, hasratnya pun meluap-luap, dan dia pun, yakni Yusuf as., anak muda yang tampan lagi sehat bugar itu telah bermaksud juga melakukan sesuatu dengannya andaikata dia tidak melihat bukti dari Tuhannya, yaitu hikmah dan ilmu yang dianugerahkan kepadanya. Bukti yang bersumber dari Tuhannya itulah yang menghalangi dia melakukan kehendak hatinya itu. Demikianlah, yakni seperti itulah, Kami lakukan agar Kami memalingkan dirinya dari kemunkaran zina dan kekejian yakni kedurhakaan. Sesungguhnya dia, yakni Yusuf as., termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih sehingga setan tidak berhasil menundukkannya, (Shihab 2012:57-58).

Dalam tafsir ayat 24 banyak ulama dan riwayat yang membahas tentang

ayat ini (

هّبر ناهرب

) Burhana Rabbihi/bukti dari Tuhannya. Dari pendapat

(53)

berpendapat serupa. ”Wanita itu berkehendak melakukan suatu perbuatan

nyata, sedang Yusuf berkehendak dalam bentuk kehendak hati.”

Dalam Tafsir Al-Maragi karya tafsir Ahmad Mustafa Al-Maragi

(1992:253). Kalimat (

هّبر ناهرب

) Burhanu Rabihi: bias jadi berupa

kenabian yang dating sesudah datangnya hukum dan ilmu yang telah diberikan Allah kepadanya setelah Yusuf mencapai umur dewasa. Bias

juga berupa pengawasan dari Allah ta’ala, sedang dia melihat Tuhannya

tampak padanya dan dia memandang kepadanya.

Riwayat-riwayat ini muncul antara lain karena memahami kata (

هّناه رب ىأر

) ra’a burhana Rabbihi atau melihat bukti dari Tuhannya

dalam arti sesuatu yang bersifat material suprasional. Padahal ia tidak harus dipahami demikian, bahkan kata melihat tidak harus dengan mata kepala, tetapi dapat juga dengan mata hati dan, dengan demikian, ia berarti menyadari atau mengetahui.

Kata (

ءاشحفلا

) al-fahsya’ adalah perbuatan yang sangat keji. Kata

ini digunakan al-Qur’an dalam konteks hubungan dua lawan jenis yang

tidak sah, dan dipahami dalam arti zina. Kalimat

… (

اندابع نم هّنإ

نيصلخملا

) innahu min ibadina al mukhlasi, Sesungguhnya dia termasuk

hamba-hamba Kami yang terpilih merupakan pernyataan dari Allah swt. menyangkut Yusuf as, sekaligus bukti bahwa setan tidak akan berhasil memengaruhinya karena, seperti diketahui, iblis sendiri mengakui

(54)

semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu al-Mukhlasin yang terpilih” (QS.Shad [38]:82-83). Di atas telah dinyatakan bahwa Yusuf as, adalah salah seorang hamba Allah SWT yang terpilih (Shihab, 2012:61).

6. Tafsir Ayat 25

Dan keduanya bersungguh-sungguh berlomba menuju pintu, dan wanita itu mengoyak bajunya dari belakang, dan keduanya secara tidak terduga

menemukan tuan wanita itu di depan pintu. Dia berkata,”Apakah

pembalasan terhadap orang yang bermaksud buruk terhadap istrimu, selain

dipenjarakan atau siksa yang pedih?”

(55)

dan Yusuf dalam keadaan yang sungguh memalukan itu. Dia, yakin wanita itu tanpa ditanya, tanpa malu dan ragu, segera melemparkan tuduhan

kepada Yusuf dengan berkata, “Apakah pembalasan terhadap orang yang

bermaksud buruk, yakni melakukan hal yang tidak wajar, walaupun tidak sampai berzina, terhadap istrimu selain dipenjarakan beberapa lama dengan kesalahannya atau kalau tidak dipenjara, maka dihukum dengan siksa yang pedih?

Kata

(

تدق

)

qaddat terambil dari kata

(

دق

)

qadda dalam arti memotong secara memanjang. Yakni saat wanita itu merayu dan ditolak Yusuf, sambil membelakanginya. Nah ketika itu dia memaksa dan menarik bajunya dari belakang.

Dalam Al-Misbah karya M.Quraish Shihab (2012: 63) Kata

(

ايفلأ

)

al-faya adalah bentuk tungal dari kata

(

ىفلأ

)

alfa yaitu pertemuan dalam keadaan khusus, tanpa diusahakan. Pada umumnya digunakan untuk menggambarkan pertemuan secara tiba-tiba atau terjadi tanpa mengetahiu

asal usulnya. Thahir Ibn ‘Asyur dalam tafsir Al-Misbah karya M.Quraish Shihab (2012: 63) memahami firman Nya:

(

اهدّيس ايفلأو

)

wa al-faya sayyidaha, dan keduanya secara tidak terduga menemukan tuannya (yakni suami wanita itu) sebagai satu isyarat yang sangat teliti dari redaksi

ai-Qur’an menyangkut sejarah. Kata

(

ذّيس

)

sayyid tidak digunakan oleh orang-orang arab dalam arti suami.

Dalam tafsir Al-Maragi karya Ahmad Mustafa Al-Maragi (1992:252) menafsirkan kalimat

(

بابلا

ادلا

اهدّيس ايفل

وا

)

wa al-faya sayyidaha ladalbab:“dan mereka berdua berpapasan dengan suami wanita

itu di sisi pintu.”

Dari tafsir dan dari sudut pandang tafsir yang berbeda maka dapat di simpulkan bahwa ketika Yusuf menolak permintaan Zulaiha dan ketika Yusuf Mulai membelakangi Zulaiha, Zulaiha menarik bajunya hingga

robek, sebagaiman “Kata

(

تدق

)

qaddat terambil dari kata

(

دق

)

qadda

(56)

dan ditolak Yusuf, sambil membelakanginya. Nah ketika itu dia memaksa dan menarik bajunya dari belakang, (Shihab 2012:62). Dan segera Yusuf dan Zulaihah berlomba-lomba berlari menuju pintu dengan tujuan yang berbeda, Yusuf berlalri untuk membebaskan diri dari godaan Zulaiha. Sedangkan Zulaiha berlari untuk menahan Yusuf agar tidak bias keluar, dan ketika Yusuf sudah berusaha membuka pintu dengan kesulitannya, dan Yusuf mendapati suami Zulaiha, sehingga Zulaiha melindungi dirinya dengan cara menuduh Yusuf, dan mengancam agar di hukum.

Dia berkata, “dia menggodaku untuk memundukkab diriku (kepadanya).” Dan seorang saksi dari keluaraga wanita itu memberikan kesaksian,” Jika

bajunya robek di muka, maka dia benar dan Yusuf termasuk para pendusta. Dan jika bajunya robek di belakang, maka wanita itu yang telah berdusta, dan yusuf termasuk orang-orang yang benar.

Tafsir di atas terbaca bahwa wanita itu segera menuduh Yusuf as. Dan mengusulkan agar dia dijatuhi hukuman berat. Ketika pertama kali mereka ditemukan oleh suami wanita itu, Yusuf as, terdiam, dia menguasai emosinya, dia tidak menuduh atau menjelekkan wanita itu demi menghormati suaminya. Tetapi setelah Yusuf as dituduh, barulah

(57)

bermaksud buruk kepadanya, justru aku menghormatinya, tetapi justru dia yang bermaksud buruk, dia menggodaku untuk menundukkan diriku

kepadanya.”

Demikian suami wanita itu dihadapkan kepada dua orang yang saling menuduh, pertama istri tercinta, dan kedua pemuda tampan yang dianggap anak dan yang selama ini dikenal dan dipercaya sepenuh hati. Kali ini, dia benar-benar bingung. Boleh jadi sepintas dia dapat memberatkan wanita itu karena, seandainya Yusuf as. yang bermaksud buruk, tentulah dia tidak ditemukan di pintu, tetapi ditempat lain, katakanlah di pembaringan wanita itu, atau di tempat dimana wanita itu biasa berada. Dan dalam kebingungan itu, tampil seorang saksi dari

keluarga wanita itu memberikan kesaksian. dia berkata. “jika engkau

melihat baju robek dimuka, maka dia (yaitu wanita itu) telah berkata

benar.” Karena benarnya ucapan seseorang belum tentu membuktikan

kesalahan yang lain, segera saksi itu meneruskan,” dan jika demikian itu

halnya, maka Yusuf as. berbohong bahkan dia termasuk kelompok para

pendusta.” Ini demikian karena sobeknya baju dari depan menunjukkan

bahwa Yusuf as, berhadapan untuk melecehkan wanita itu, tetapi wanita

itu menolaknya sehingga merobek bajunya.“dan jika engkau melihat

(58)

memegangnya dengan kuat sehingga koyak bajunya memanjang ke bawah, bukan kesamping.

Firman-Nya:

(

اهلهأ نم دهاش دهش

)

syahida syahidun min ahlihal

seorang saksi dari keluarga wanita itu memberi kesaksian diperselisihan oleh ulama siapa dia dan bagaimana dia hadir. Ada yang melukiskannya dengan hal-hal yang bersifat aneh, seperti pendapat yang menyatak bahwa dia adalah anak pamannya yang masih dalam buaian. Dalam

ringkasan tarsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa’i

(1999:849) Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubung dengan

firman Allah Ta’ala,”dan seseorang saksi dari keluarga wanita itu

memberikan kesaksian”, saksi itu adalah seorang anak kecil yang masih

ada dalam buaian. Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, Hilal bin Yasaf, al-Hasan, Said bin Jabir, adh-Dhahak bun Muzahim bahwa saksi itu adalah anak kecil yang berada dalam rumah pendapat ini dipilih oleh

Ibnu Jarir. Sehubung dengan ini di dukung oleh hadis marfu’. Mak Ibnu

Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw. (614),

ف س و ي د ها ش م ه ف ر ك ذ ف ٌرا غ ص م ه و ٌة ع ب ر أ مَّل ك ت

Ada empat anak kecil yang dapat berbicara. Kemudaian beliau menyebut diantara mereka ialah saksi Yusuf.

Ada lagi yang berpendapat bahwa dia adalah seorang tua

bijaksana. Thabathaba’i menulis bahwa yang perlu diperhatikan di sini

(59)

yang selanjutnya mengantar menuju pusat. Dan di sini menurut ulama itu, apa yang disaksikan oleh saksi itu sepintas tidak wajar dinama

syahadah/ kesaksian karena kesaksian biasanya berdasarkan indra dan semacamnya, atau paling tidak ia tidak berdasarkan pemikiran atau

pembuktian logika. Atas dasar itu, Thabathaba’i menilai bahwa tidak

mustahil kesaksian yang dimaksud adalah isyarat tentang suatu ucapan yang lahir sepontan tanpa pemikiran dan, dengan demikian, ia dinamai

syahadah. Bukankah yang dinamai syahadah adalah yang tidak

berlandaskan pemikiran dan logika, demikian Thabathaba’i

menampilkan, penamaan pengucapan itu dengan syahid mendukung

riwayat yang menyatakan bahwa saksi yang dimaksud adalah bayi yang masih dalam buaian. Dan ini merupakan semacam mukjizat yang mengukuhkan Yusuf as, (Shihab, 2012:65).

Tafsir di atas dapat di simpulkan bahwa dalam pembahasan tafsir pada ayat 26-27 membadahas tentang kesaksian, dan seseorang yang bersaksi dalam tuduhanya, meski dalam hal seseorang yang menyaksikan tidak diketahui secara pasti, akan tetapi dalam hal kesaksiannya yang nenyatakan kebenaran sebagaimana yang terjadi, dan seseorang yang bersaksi dari keluarga istri mengatakan sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya “Dan seorang saksi dari keluaraga

wanita itu memberikan kesaksian,” Jika bajunya robek di muka, maka

(60)

belakang, maka wanita itu yang telah berdusta, dan yusuf termasuk orang-orang yang benar.”

8. Tafsir Ayat 28-29 sesengguhnya itu adalah bagian tipu daya kamu, sesunggauhnay tipu

daya kamu adalah besar.’ Yusuf, berpaling dari ini dan (engkau, hai

wanita )mohonlah ampun atas sodamu karena sesungguhnya engakau

termasuk orang-orang yang berdosa.”

Setelah mendengar ucapan saksi itu, sang suami memeriksa baju Yusuf as, Maka, tatkala dia melihat bajunya robek memanjang di

belakang, berkatalah dia tanpa ragu, walau tanpa marah

besar,”sesungguhnya itu, yakin peristiwa yang terjadi ini, dan tuduhan

yang dituduhkan itu adalah bagian tipu daya kamu, wahai wanita, dan sesungguhnya tipu daya kamu, khususnya dalam bidang rayu-merayu

adalah besar,”

Anda lihat cinta yang bersemi di hati suami terhadap istrinya yang menodai kesucian rumah tangga itu masih demikian besar. Amarahnya atas kesalahan istrinya itu tidak tampak dakam ucapannya,

bahkan dia tidak menuduhnya secara pribadi. …. Boleh jadi itu dinilai

oleh sang istri sebagai alasan pembenaran.

(61)

kata-katanya. Dia tidak memanggilnya dengan kata “hai” yang mengesankan kejauhan, dia memanggilnya denagn nama “Yusuf, berpalinglah dari ini,

yakni jangan hiraukan peristiwa ini. Anggap tidak pernah ada. Hubungan kita tetep baik karena akau telah mengetahui bahwa engkau tidak bersalah sedikitpun. Atau jangan ceritakan peristiwa ini kepada

siapapun.” Sikap ini harus diambil suami, karena nama baik keluarga

harus tetap terpelihara.

Selanjutnya, dia berpaling sekali lagi kepada istrinya sambil

berkata,”dan engkau, hai wanita, mohon ampunlah atas dosamu itu.

Semoga dengan permohonanmu itu engkau tidak terkena sanksi dari Tuhan dan diriku. Mohon ampunlah karena sesungguhnya engkau termasuk kelompok orang-orang berdosa yang wajar dijatuhi sanksi karena dosa yang engkau lakukan bukan lahir karena kekhilafan, tetapi engkau melakukannya dengan sengaja dan berencana lagi, tahu bahwa itu adalah dosa.

Kata (نئيطاخلا) al-khatbi’in adalah bentuk jamak yang

menunjukkan kepada pria yang tunggalnya adalah (ئىطاخلا) al-khathi. Ini berbeda dengan kata (ئىطخملا) al-mukhthi yang berarti melakukan kekhilafan tanpa sengaja atau karena tidak tahu. Dalam keadaan demikian, seseorang tidak dinilai dosa. Adapun al-khathi’, ia adalah yang melakukan kesalahan denagn sengaja dan direncanakan sebelumnya.

(62)

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Nilai-Nilai Akhlak Dalam Surat Yusuf Ayat 20

Berdasarkan hasil analisis peneliti mendapatkan beberapa nilai akhlak yang terkandung dalam Q.S Yusuf ayat 20-29 antara lain :

1. Nilai Akhlak Q.S Yusuf ayat 20

a. Sabar

Pada ayat 20 mengandung nilai akhlak sabar. Sabar kaitannya dalam ayat ini adalah sabar akan ujian yang Allah berikan kepadanya.

Yusuf adalah anak dari nabi Ya’qub, atau bias dikatakan seorang

merdeka dari keluarga terhormat atau bukanlah seorang budak, akan tetapi setelah peristiwa yang telah diterangkan bahwa Yusuf di buang saudara-saudaranya ke dalam sumur sebagaimana ayat ke 15 “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam

sumur)”, sampai setelah ditemukanlah oleh para kafilah, maka Yusuf

setelah itu di jual untuk di jadikan budak, dan Yusuf tetap sabar dalam ujian tersebut. Itulah kesabaran Yusuf dalam menghadapi cobaan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari latar belakang diatas, studi ini akan meneliti: Berapa besar komposisi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah di Indonesia, berapa besar pengaruh komposisi

Dari hasil perencanaan RTH (Ruang Terbuka Hijau) Perumahan Galmas Residence yang telah diuraikan pada bab – bab tersebut, maka diperoleh hasil sebagai berikut : (1) RTH I, dengan

Kemudian dari hasil uji kinerja kompor yang dilakukan dengan memvariasikan rasio udara yang dilengkapi dengan blower maka efisiensi termal yang paling baik dihasilkan

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, yaitu mengukur self-efficacy, motivasi belajar, dan kemandirian belajar menggunakan metode survey yang

As mentioned in the orders example in “Tip #1: Duplicate data for speed, reference data for integrity” on page 1 , you don’t actually want the information in the order to change if

Perangkat kaidah itulah yang disebut dengan kode etik profesi (bisa disingkat kode etik), yang dapat tertulis maupun tidak tertulis yang diterapkan secara formal

[r]

Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman