• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tampilan Kekerasan Dalam Film (Studi Analisis Isi Tentang Kekerasan Fisik dan Psikologis Dalam Film“The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tampilan Kekerasan Dalam Film (Studi Analisis Isi Tentang Kekerasan Fisik dan Psikologis Dalam Film“The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu

Komunikasi

Disusun Oleh :

EZZY AUGUSTA MUTIARA 0809040104

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Ezzy Augusta Mutiara

NIM : 080904104

Judul Skripsi : Tampilan Kekerasan Dalam Film

(Studi Analisis Isi Tentang Kekerasan Fisik dan

Psikologis Dalam Film “The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)

Pembimbing Ketua Departemen

Yovita Sabarina Sitepu. M.Si Fatma Wardy Lubis, M.A

198011072006042002 196208281387012001

Dekan FISIP USU

Prof. Drs. Badaruddin, M.Si

(3)

Esa atas segala berkat dan karunianya yang telah diberikan kepada penulis,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tampilan Kekerasan

Dalam Film (Studi Analisis Isi Tentang Kekerasan Fisik dan Psikologis Dalam

Film “The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan

studi dan memperoleh gelar Sarjana di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orangtua yang telah

membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tak ternilai harganya, yaitu

Yudha Putra Bachri dan Binariyanti Sembiring, kakek dan nenek penulis, yaitu

Rasta Sembiring dan Rosanna Bangun, tunangan penulis, yaitu C. Tony Susanto,

dan semua orang yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam proses

penyelesaian skripsi ini.

Selama masa kuliah sampai penyelesaian skripsi ini, penulis juga banyak

mendapat dukungan, bimbingan, maupun bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu

penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Kepada Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi serta Ibu Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu

Komunikasi periode 2011-2016, atas segala bantuan yang berguna dan

bermanfaat bagi penulis.

3. Ibu Yovita Sabarina Sitepu, M.Si selaku Dosen Pembimbing skripsi yang

telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan

bantuan, bimbingan, dan pengarahan kepada penulis selama penyusunan

skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi pada

khususnya dan FISIP USU pada umumnya, atas ilmu yang telah diberikan

(4)

Cut. Terima kasih banyak atas bantuan dan informasi yang telah diberikan

kepada penulis dalam hal administrasi.

6. Kepada Mama Tua, Mami Tua, Bibi Uda, dan Pak Uda yang selalu

menyayangi, memberikan doa, perhatian, dukungan semangat kepada

penulis.

7. Kepada adik tercinta, Ribka Alexandra Siregar yang memberikan

semangat secara tidak langsung kepada penulis.

8. Keluarga Usukom FM yang selalu menjadi tempat curahan hati selama

penulis menjalani perkuliahan.

9. Sahabat-sahabat Geng Gong, Atul, Diah, Boti, Nunu, Ayu, Emon, Richie,

Martha, Tia, Dessy, Fajri, Safik, dan Indra. Terima kasih atas doa,

perhatian, dan semangat kepada penulis.

10.Sahabat-sahabat penulis stambuk 2007 hingga stambuk 2010 yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua yang telah

kalian berikan kepada penulis.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

penulis mengharapakn kritik dan saran yang membangun demi kebaikan

skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan

pembaca.

Medan, Mei 2013

(5)

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan

di bawah ini:

Nama : Ezzy Augusta Mutiara

NIM : 080904104

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas : Universitas Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Tampilan Kekerasan Dalam Film

(Studi Analisi Isi Tentang Kekerasan Fisik dan Psikologis Dalam Film “The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Nonekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih

media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak

Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di :

Pada Tanggal :

Yang Menyatakan

(6)

Film The Raid: Redemption adalah salah satu film yang disutradarai oleh Gareth Evans, salah seorang sutradara terkenal dari Amerika. Film ini bercerita mengenai penyerangan yang dilakukan oleh pasukan khusus polisi pada rumah perlindungan bagi penjahat. Penelitian ini memfokuskan pada penelitian isi media yakni film yang kuantitatif. Penelitian ini memakai paradigma positivistik sebagai pendekatan. Sedangkan pisau analisis atau instrumen analisa data, peneliti menggunakan teknis analisis isi yang dibuat oleh Holsti. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti bagaimana adegan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis ditampilkan dalam film The Raid: Redemption. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti objek penelitian yang diambil dari adegan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis film The Raid: Redemption. Sesuai dengan perumusan masalah yang akan diteliti yaitu “Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption dan mengetahui frekuensi kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption”. Adapun persentasi uji reliabilitas kekerasan fisik antar koder sebagai berikut: memukul 99%; menampar 67%; mencekik 93%; menendang 99%; melempar 93%; melukai 98%; menganiaya 89%; membunuh 95%. Sementara reliabilitas antar koder kekerasan psikologis menunjukkan angka sebagai berikut: berteriak-teriak 91%; menyumpah 98%; mengancam 90%; merendahkan 87%; mengatur 81%; melecehkan 96%; menguntit 80% dan memata-matai 100%.

Kata kunci:

(7)

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori ... 11

2.1.5 Teori Pembelajaran Sosial... 22

2.2 Kerangka Konsep ... 24

2.3 Defenisi Konseptual ... 25

2.4 Defenisi Operasional ... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian ... 29

3.2 Metode Penelitian ... 30

3.2.1 Analisis Isi (Content Analysis) ... 31

3.2.1.a Prinsip Dasar Analisis Isi …... 33

3.2.1.b Penggunaan Analisis Isi ... 33

3.2.1.c Kelebihan dan Kelemahan Analisis Isi ... 34

3.2.1.d Tahapan Penelitian Analisis Isi ... 35

3.3 Kerangka Analisis ... 35

3.4 Unit Analisis Penelitian ... 36

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.6 Teknik Analisis Data ... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Data ... 42

(8)

4.1.2a. Rekapitulasi antar koder 1 dan koder 2 kekerasan

psikologis ... 70

4.2 Uji Reliabilitas ... 71

4.3 Pembahasan ... 74

4.4 Kelemahan Penelitian ... 78

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan... 79

5.2 Saran ... 80

(9)

4.1 - Memukul ... ... 45

4.6 - Melukai Dengan Tangan Kosong Atau Dengan Alat/Senjata .. 52

4.6.1 - Penjelasan Gambar 4.6 ... 54

4.7 - Menganiaya ... 54

4.7.1 - Penjelasan Gambar 4.7 ... 55

4.8 - Membunuh ... 55

4.8.1 - Penjelasan Gambar 4.8 ... 56

4.9 - Perbandingan Koder 1 dan Koder 2 Mengenai Kekerasan Fisik 57 4.10 - Berteriak-teriak ... 58

4.18 - Perbandingan Koder 1 dan Koder 2 Mengenai Kekerasan Psikologis ... 70

4.19 - Total Kekerasan Fisik dan Kekerasan Psikologis ... 70

4.20 - Frekuensi Kekerasan Fisik Dan Kekerasan Psikologis Dalam Film The Raid: Redemption ... ... 72

(10)

1.1 Peringatan Peraturan Menonton ...9

2.1 Model Teoritis ...25

3.1 Kerangka Analisis ... 36

4.1 Adegan Memukul ... 46

4.2 Adegan Menampar ... 47

4.3 Adegan Mencekik ...49

4.4 Adegan Menendang ... 50

4.5 Adegan Melempar Barang Ke Tubuh... 52

4.6 Adegan Melukai Dengan Tangan Kosong Atau Dengan Alat/Senjata...53

4.7 Adegan Menganiaya ...55

4.8 Adegan Membunuh ... …....56

4.9 Adegan Berteriak-teriak ... …....58

4.10 Adegan Menyumpah ... …... 60

4.11 Adegan Mengancam ... 61

4.12 Adegan Merendahkan ... 63

4.13 Adegan Mengatur ... 64

4.14 Adegan Melecehkan ... 66

4.15 Adegan Menguntit ... 67

(11)

Film The Raid: Redemption adalah salah satu film yang disutradarai oleh Gareth Evans, salah seorang sutradara terkenal dari Amerika. Film ini bercerita mengenai penyerangan yang dilakukan oleh pasukan khusus polisi pada rumah perlindungan bagi penjahat. Penelitian ini memfokuskan pada penelitian isi media yakni film yang kuantitatif. Penelitian ini memakai paradigma positivistik sebagai pendekatan. Sedangkan pisau analisis atau instrumen analisa data, peneliti menggunakan teknis analisis isi yang dibuat oleh Holsti. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti bagaimana adegan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis ditampilkan dalam film The Raid: Redemption. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti objek penelitian yang diambil dari adegan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis film The Raid: Redemption. Sesuai dengan perumusan masalah yang akan diteliti yaitu “Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption dan mengetahui frekuensi kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption”. Adapun persentasi uji reliabilitas kekerasan fisik antar koder sebagai berikut: memukul 99%; menampar 67%; mencekik 93%; menendang 99%; melempar 93%; melukai 98%; menganiaya 89%; membunuh 95%. Sementara reliabilitas antar koder kekerasan psikologis menunjukkan angka sebagai berikut: berteriak-teriak 91%; menyumpah 98%; mengancam 90%; merendahkan 87%; mengatur 81%; melecehkan 96%; menguntit 80% dan memata-matai 100%.

Kata kunci:

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam UU nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan salah

satu media komunikasi massa audiovisual yang dibuat berdasarkan asas

sinematografi yang direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan

bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran

melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa

suara, yang dapat dipertunjukkan dan ditayangkan dengan sistem proyeksi

mekanik, elektronik, dan sistem lainnya

(http://kpi.go.id/index.php/2012-05-03-16-16-23/undang-undang). Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk terdapat gambar

negatif (yang akan dibuat potret) untuk tempat gambar positif (yang akan

dimainkan di bioskop) (Balai Pustaka,1990: 242).

Film hadir sebagai bagian dari kebudayaan massa, yang muncul seiring

dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri. Sebagai bagian dari

budaya massa yang populer, film adalah suatu seni yang dikemas untuk dijajakan

sebagai komoditi dagang. Film dikemas untuk dikonsumsi massa yang beribu,

bahkan berjuta jumlahnya. Film yang merupakan produk komersial akan lebih

menekankan kemampuan komunikasi produk-produk dan aktivitasnya daripada

penghargaan kritis khalayak ramai.

Menurut sejarah perfilman di Indonesia, film pertama di negeri ini

berjudul Lely van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh seorang yang bernama David. Kemudian disusul oleh Eulis Atjih produksi Krueger Corporation pada tahun 1927-1928. Sampai tahun 1930 masyarakat pada waktu itu telah disuguhkan film-film berikutnya yaitu Lutung Kasarung, Si Conat dan

(13)

yang merupakan karya orisinil berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia

yang dibintangi Roekiah dan R. Mochtar berjudul Terang Bulan. Setelah itu, film Indonesia berkembang pesat hingga sekarang (Effendi, 2002: 217).

Pada zaman pendudukan Jepang sampai era awal kemerdekaan tahun 1950 banyak bermunculan sineas-sineas film nasional yang berjasa menghidupkan idealism industri film nasional. Nama-nama seperti Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Usmar Ismail paling berpengaruh pada masa itu. Dari semua pembuat film idealis, Usmar Ismail menonjol sebagai pelopor film Indonesia dengan film pertamanya Darah dan Doa (1950). Ketika Jepang menduduki Indonesia, ia bekerja di bagian propaganda, menulis naskah dan materi lainnya. Setelah pindah ke Yogyakarta dengan Pemerintahan Republik dan selama empat tahun berjuang melawan kembalinya Belanda, ia pindah ke Jakarta pada tahun 1948, di mana ia menyutradarai dua film untuk perusahaan film Belanda SPCC. Darah dan Doa yang diakuinya sebagai film pertama, diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), sebuah perusahaan yang didirikannya bersama Rosihan Anwar. Ia terus membuat film di sepanjang tahun 1950-an, dan menjadi sosok penting dalam industri perfilman, baik dalam asosiasi produser (PPFI) maupun di Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), sebuah organisasi budaya yang didirikan untuk menandingi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang erat berhubungan dengan Partai Komunis

Indonesia (PKI)

Pada masa orde lama, film-film karya anak bangsa lebih bertemakan

perjuangan. Para pembuat film masih terbawa nuansa kemerdekaan Indonesia.

Efek dari kampanye anti-neolib dari Bung Karno juga banyak menginspirasi para

pembuat film. Setelah itu, melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan

No.59/KEP/MENPEN/1969 pemerintah orde baru membentuk Dewan Film

Nasional yang mengatur perfilman Indonesia. Sejak saat itu, perfilman Indonesia

dikendalikan oleh negara.

Pada masa orde baru sineas film nasional mengalami keterbatasan kreatifitas. Represi rezim Soeharto mengambil bentuk banyak hal, antara lain: (1) Kendali Negara atas proses produksi dalam bentuk aturan ketat siapa saja yang boleh jadi sutradara, yang telah ditampik sejak Garin Nugroho membuat

(14)

magang apa pun seperti yang ditetapkan Negara saat itu. (2) Kendali Negara atas isi film, terutama melalui mekanisme sensor dan tekanan lainnya. Bukan hanya sensor terhadap muatan seksual dan kekerasan, tapi terutama justru terhadap muatan yang bisa dianggap mengancam “kestabilan sosial” (dan kestabilan kekuasaan, tentunya). Kritik keras pada Negara, isu “keras” macam korupsi para pejabat, isu-isu SARA (Suku-Agama-Ras-Antargolongan –dengan perhatian pada “(Suku-Agama-Ras-Antargolongan”, yang sebetulnya terjemahan Orde Baru untuk masalah-masalah pertentangan kelas) praktis dibungkam. Negara juga menetapkan bahwa, misalnya, tak boleh ada penggambaran negatif atas polisi/militer dan film horor wajib menyertakan tokoh agama sebagai penyelesai masalah. (http://new.rumahfilm.org/artikel- feature/membaca-dekade-menyusun-peta-pengantar-untuk-daftar-33-film-indonesia-terpenting-2000-2009-pilihan-rumah-film/).

Masuk ke dalam era reformasi, perkembangan film Indonesia mulai

menunjukkan ke arah yang lebih baik. Kebebasan dalam penentuan tema dan

sudut pandang memberi ruang yang lebih besar kepada para pekerja film dalam

membuat karya yang baik. Era reformasi juga membuka kesempatan bagi industri

film kembali bergairah. Potensi penikmat film yang besar menarik banyak

pengusaha untuk terlibat dalam pembuatan film.

Industri film Indonesia bergairah dengan adanya kebebasan, pemilik

modal dan potensi pasar yang besar. Kebebasan dalam karya film membuat tema

film lebih bervariasi. Tema film tidak lagi disesuaikan dengan kehendak

pemerintah, namun disesuaikan dengan keinginan pasar. Pemilik modal

memandang film tidak lagi sebagai produk sejarah. Film berubah menjadi media

yang bisa menghasilkan laba. Iming-iming laba yang cukup besar, menguatkan

tekad pemilik modal untuk berinvestasi dalam film. Investasi tidak hanya

berkaitan dengan pekerja seni, teknologi untuk membuat film yang baik juga

didatangkan dari luar negeri. Dan pasar penonton film Indonesia bukan menjadi

perdebatan yang hangat. Di kampung-kampung, film layar tancap menjadi hiburan

yang paling digemari masyarakat Indonesia.

Pada masa ini bermunculan sineas-sineas muda Indonesia yang memberi

warna baru dalam kancah perfilman nasional. Para sineas semacam Rizal

Mantovani, Joko Anwar, Riri Riza, Rudi Soejarwo dan Nia Dinata mulai

(15)

dan genre yang bervariasi dengan teknik pembuatan film yang baik, sehingga

film-film Indonesia mulai mendapat apresiasi oleh kritikus film internasional dan

berjaya festival-festival film internasional. Salah satu film Indonesia yang

mengundang perhatian dunia adalah film The Raid: Redemption. Film bergenre

action dengan adegan-adegan kekerasan yang mengkombinasikan pencak silat dari berbagai aliran dengan senjata api dan pisau.

Kesuksesan The Raid: Redemption di kancah perfilman internasional mengundang kritikus film dunia untuk ikut memberikan komentar. Beberapa

kritikus pun membuat sedikit review untuk film garapan Gareth Evans tersebut. Pada sebuah situs berita, Matt Patches mengulas film dan memberikan pujian

terhadap The Raid: Redemption, khususnya pada aksi bela diri yang ditonjolkan pada film tersebut.

“Adrenalin akan terus naik dan tidak akan berhenti sampai menit terakhir The Raid: Redemption,” katanya (Hollywood.com).

Kritikus lainnya, Gary Goldstein, ikut mengulas The Raid: Redemption

dalam Los Angeles Times dengan tajuk The Raid: Redemption is an action bonanza. Goldstain mengungkapkan bahwa Gareth Evans berhasil menyuguhkan visualisasi pertarungan yang memukau dan mampu membuat penonton tak

mengalihkan perhatian selama film berlangsung. Sementara itu Lou Lumenick

kritikus film lainnya mengungkapkan melalui New York Post bahwa film The Raid: Redemption yang memacu adrenalin dan penuh dengan brutal ini, tidak disarankan bagi mereka yang memiliki jantung lemah atau perut yang bermasalah,

karena banyak adegan yang mungkin membuat sebagian orang akan muntah

melihatnya.

The Raid: Redemption memiliki beberapa plot twist yang rapi dan sedikit banyak karakterisasi dari yang Anda harapkan dari jenis film semacam ini. Film ini tidak diperuntukkan bagi mereka yang lemah jantung dan lemah perut, khususnya ketika sebuah lampu neon digunakan untuk senjata, katanya.” (http://sidomi.com/80132/the-raid-redemption-menuai-komentar-kritikus-film-dunia).

Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) merupakan satu-satunya stasiun

(16)

September 2012 pukul 22.00 WIB. Film ini meraih banyak penghargaan di luar

negeri. Salah satunya di “Toronto International Film Festival ke-36” beberapa waktu lalu saat film ini baru dirilis. The Raid: Redemption berhasil meraih The Cadillac People’s Choice Award untuk kategori Midnight Madness.

Selain itu, di “Jameson Dublin International Film Festival 2012”, The Raid: Redemption berhasil meraih gelar The Best Film sekaligus Audience Award. Kemudian “The Internet Movie Database (IMDb)” memasukkan The Raid: Redemption dalam 50 film laga sepanjang masa. The Raid: Redemption berada di urutan 45 dengan rating 8.0, sejajar dengan Star Trek, The Adventure of Robinhood, Avatar dan Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl

(http://www.cekricek.co/post/film/the-raid-tayang-di-rcti-9-september-1).

Berbagai pujian terhadap The Raid: Redemption tidak menutup kemungkinan film ini memiliki beberapa kekurangan. Pada majalah Total Film

edisi April 2012 menjelaskan bahwa kesederhanaan dalam film ini menghilangkan

sosok pemeran utama. Rama yang diperankan oleh Iko Uwais datang begitu saja

dalam film ini. Penonton tidak pernah tahu siapa dan darimana asal-usul Rama

dalam film ini. Adegan awal ketika Rama sedang sholat dan berdoa ketika istrinya

sedang tidur, hanya scene ini yang menceritakan asal usul Rama.

Selain itu, film ini juga secara vulgar menampilkan kekerasan. Kekerasan

pada film The Raid: Redemption mengkhawatirkan beberapa pengamat film, termasuk Iko Uwais sebagai pemeran Rama. Dalam sebuah wawancara dengan

situs berita beritasatu.com Iko Uwais membenarkan bahwa adegan kekerasan

dalam film ini tidak baik, khususnya untuk anak-anak.

“Nah itu, setidaknya kami bikin film tahu diri juga bahwa film ini adalah film dewasa. Kita enggak salahin anak-anak, ya tapi orang tuanya kenapa dikasih nonton” Ujar iko (Beritasatu.com).

Iko bahkan melarang keponakannya untuk menonton aksinya dalam film

The Raid: Redemption. Penolakan Iko disebabkan karena banyaknya adegan kekerasan dalam film ini.

(17)

Menurut Iko, intensitas kekerasan dalam film The Raid: Redemption jauh lebih tinggi dari film sebelumnya berjudul Merantau; dan bahkan sekuel

selanjutnya akan didominasi oleh adegan kekerasan lebih banyak.

“Dari Merantau ke The Raid perbandingan adegan kekerasan nya sampai 15 kali, begitu pula dari The Raid sekuelnya bisa sampai 10 sampai 15 kali” ujar Iko.

Pada awal tahun 90-an, dunia perfilman dipenuhi kecemasan mengenai

adegan-adegan kekerasan yang ditampilkan oleh film-film dan dengan mudahnya

dapat disaksikan melalui televisi maupun bioskop-bioskop. Film dengan banyak

adegan kekerasan memiliki dampak negatif bagi penontonnya. Seorang pengamat

film menuliskan tentang efek negatif dari film The Raid: Redemption dalam forum kompasiana.

Film ini juga memiliki beberapa efek negatif bagi bangsa Indonesia. Hal ini dituliskan oleh Syaripuddin Zufri pada forum Kompasiana.com berjudul “Plus Minus Film The Raid di Rusia”. Ada beberapa perhatian Zufri pada film ini antara lain: (1) Film ini penuh dengan kekerasan, sadis dan tak kenal perikemanusiaan. Nyawa manusia sepertinya tak ada harganya; (2) Dengan film ini menunjukkan bahwa orang Indonesia sadis dan sangar, kejam tanpa ampun; (3) Citra Indonesia semakin terpuruk, dengan film yang dibanggakan oleh pihak barat. Film dengan tema kekerasan yang ditunjukkan dalam film bisa terbawa ke benak orang Rusia, bahwa Indonesia penuh dengan kekejaman, kekerasan dan tidak berperikemanusiaan; (4) Darah dan Darah, hanya action dan kekerasan. Pemakaian senjata tajam pedang, palu, kapak, senjata laras panjang dan pistol ditonjolkan dalam film ini; dan (5) Jangan lupa, kalau nonton bioskop di Rusia, kita langsung ke Film dana hanya judul saja, setelah itu film langsung main, sedangkan nama pemain, sutradara dan produsernya diletakkan di akhir film” (www.kompasiana.com)

Tayangan kekerasan menjadi perhatian serius Komisi Nasional

Perlindungan Anak (Komnas PA), melalui ketua Arist Merdeka Sirait

menyebutkan bahwa mayoritas tayangan televisi kita berbahaya bagi anak-anak

karena mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang terjadi disebabkan oleh

beberapa faktor namun faktor paling dominan adalah kurangnya pengawasan

(18)

“Komnas PA menyebutkan bahwa berdasarkan penelitian dari tahun 2006 hingga akhir 2009, terungkap sebanyak 68 persen tayangan di 13 stasiun Televisi mayoritas mengandung kekerasan” Ujar Arist Merdeka Sirait (www.beritasatu.com)

Anak dalam sebuah keluarga merupakan pembawa bahagia, karena anak

memberi arti kehidupan bagi kedua orang tuanya. Arti kehidupan dalam keluarga

mengandung maksud memberikan isi, kepuasan, kebanggan dan rasa

penyempurnaan diri yang disebabkan keberhasilan orang tuanya yang telah

memiliki keturunan, yang akan melanjutkan cita-cita, harapan dan eksistensi

hidupnya. Augustinus yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi

anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak

mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang

disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita

kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang

diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa (Suryabrata, 2000: 23).

Dari pengertian di atas, dapat kita lihat bahwa anak-anak sangat rentan mencontoh

apa-apa saja yang dilihat dari lingkungan. Film di televisi maupun bioskop

merupakan salah satu lingkungan yang paling menarik bagi anak-anak. Hampir

setiap rumah memiliki televisi, hampir di setiap bioskop dengan berbagai macam

film selalu ada anak-anak sebagai penonton, dan orang tua tidak pernah

membatasi anak-anak untuk menonton apa yang boleh atau apa yang tidak boleh

ditonton.

Arist menyebut ada beberapa kasus kekerasan yang dilakukan oleh

anak-anak, didasarkan pada apa yang dilihatnya di televisi. Salah satu contoh kasus

yang ditangani oleh Komnas PA adalah kasus bunuh diri seorang balita. Balita

tersebut menyayat tangannya dengan benda tajam karena keinginannya tidak

dipenuhi oleh orang tua. Namun setelah menanyakan kepada orang tua korban

yang menjalani konseling di Komnas PA tentang kebiasaan hidup anaknya

sehari-hari, ternyata sebagian besar dari mereka sering menonton tayangan kekerasan di

televisi lewat sinetron, berita atau rekonstruksi (reka ulang) dari kasus

(19)

Beberapa penelitian juga menunjukkan efek dari tayangan kekerasan. Pada Tahun 1956 sebuah penelitian dilakukan untuk melihat tingkat kebiasaan di antara 24 anak-anak yang menonton televisi. Mereka dibagi dalam dua kelompok, satu kelompok menyaksikan film kartu Woody Woodpecker yang mengandung kekerasan dan yang lainnya menonton film The Little Red Hen.

Setelah menyaksikan tayangan masing-masing, ternyata anak-anak yang tadinya menonton film Woody Wodpecker lebih cenderung melakukan kekerasan kepada teman bermain mereka yang lain dan lebih sering merusak mainan. Enam tahun kemudian, 1963, Profesor A. Badura, D. Ross dan S.A Ross melakukan studi terhadap efek dari hubungan antara kekerasan

real di dunia nyata, kekerasan di televisi dan kekerasan di film-film kartun. Mereka membuat empat kelompok dari 100 anak-anak prasekolah. Grup pertama menyaksikan adegan memaki dan memukul boneka dengan kayu, grup kedua menyaksikan peristiwa yang sama namun ditayangkan di televisi, grup ketiga menyaksikan adegan yang sama dalam film kartun, sementara grup terakhir tidak menyaksikan apa-apa. Hasilnya, dalam keadaan tertekan ketiga kelompok yang menyaksikan peristiwa kekerasan tersebut lebih agresif dibandingkan kelompok keempat, bahwa yang menyaksikan adegan kekerasan dalam film juga akan memiliki tingkat keagresifitas yang hampir sama dengan mereka yang menyaksikan langsung, dan kelompok pertama dan kedua jauh lebih agresif dibandingkan dengan kelompok yang hanya menyaksikan adegan kekerasan melalui film kartun (www.kompasiana.com).

Novi Ariyani, seorang Komisionaris Komisi Penyiaran Indonesia Daerah

Jambi mengatakan bahwa terdapat sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga

Kristen, Christian Science Monitor pada tahun 2006 terhadap 1209 orang tua tentang kekuatan kekerasan yang ada dalam tayangan kekerasan mempengaruhi

anak-anak, 56 % responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya 26%

menjawab mempengaruhi, 5% menjawab cukup mempengaruhi dan 11%

menjawab tidak mempengaruhi. Penelitian ini didasarkan pada peningkatan

kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Prof. dr. Fawzia Aswin Hadits dari

fakultas Psikologi UI menyebutkan anak adalah imitator ulung. Anak-anak akan

meniru adegan yang ditontonnya.

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dalam pasal 46

menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban mematuhi ketentuan tentang

(20)

4 golongan, yaitu: (1) SU = Semua Umur; (2) 17+ = Untuk umur di atas 17

tahun; (3) R = Remaja; (4) BO = Bimbingan Orangtua. Lemahnya pengawasan

dari pihak bioskop-bioskop yang menayangkan film The Raid: Redemption, serta kurangnya kesadaran dari masyarakat bahwa film ini termasuk kategori 17+

dalam penggolongan usia penonton film, menyebabkan banyaknya anak di bawah

umur yang dengan mudahnya menonton film The Raid: Redemption di dalam bioskop (www.lsf.go.id).

Gambar 1.1

Peringatan Peraturan Menonton

Peringatan di atas sebenarnya bisa kita lihat di hampir seluruh gedung

bioskop di Indonesia. Peringatan penting ini adalah peringatan yang melindungi

hak penonton dari sebuah film. Secara rasional pemilik gedung bioskop hanya

menyediakan tayangan hiburan untuk memperoleh keuntungan. Kewajiban

penonton adalah melindungi hiburannya dari pengaruh negatif dari sebuah

tayangan.

Maka berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti persoalan

bagaimana Tampilan Kekerasan dalam Film (Studi Analisis Isi tentang kekerasan

fisik dan psikologis dalam Film “The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan konteks masalah di atas, maka peneliti mengajukan fokus

masalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan fisik dan psikologis yang

(21)

2. Mengetahui frekuensi kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat

dalam film The Raid: Redemption.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui bentuk kekerasan fisik dan psikologis seperti apa

yang ditampilkan dalam film The Raid: Redemption.

2. Untuk mengetahui berapa frekuensi kekerasan fisik dan psikologis

yang ditampilkan dalam film The Raid: Redemption.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis: Menambah pengetahuan dan wawasan tentang bentuk

dan frekuensi dari adegan kekerasan serta hasil dari penelitian dapat

memberikan wacana mengenai adegan-adegan kekerasan fisik dan

psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption dengan

menggunakan metode analisis isi.

2. Manfaat Praktis: Diharapkan dapat dijadikan referensi mengenai analisis

isi, tentang film dan kekerasan kepada siapapun pemerhati kajian ilmu

(22)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji tentang film yang termasuk dalam

kajian objektif. Peneliti menggunakan defenisi Barelson (1952), analisis isi adalah

suatu teknik penelitian yang dilakukan secara objektif, sistematis dan deskripsi

kuantitatif dari isi komunikasi yang tampak (manifest) (Eriyanto,2011: 15). Salah satu ciri penting dari analisis isi adalah objektif. Penelitian dilakukan

untuk mendapatkan gambaran dari suatu isi secara apa adanya, tanpa adanya

campur tangan dari peneliti. Peneliti menghilangkan bias, keberpihakan, atau

kecenderungan tertentu dari peneliti. Ada dua aspek penting dari objektifitas,

yakni validitas dan reliabilitas (Eriyanto, 2011: 16).

Kriyantono (2007: 45) menyatakan bahwa fungsi teori dalam riset adalah

membantu periset menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang

menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi

dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan

menjabarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala

tersebut. Adapun teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah:

2.1.1 Komunikasi Massa

Komunikasi massa menurut pendapat Tan dan Wright merupakan bentuk

komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan

komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal

yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu (Ardianto

& Erdinaya, 2005: 3). Definisi lain komunikasi massa yang dikemukakan Michael

W Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) yang akan semakin memperjelas apa itu

komunikasi massa. Menurut mereka sesuatu bisa didefinisikan sebagai

(23)

1. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula antara lain surat kabar, majalah, televisi, film atau gabungan diantara media tersebut.

2. Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya bermaksud mencoba berbagai pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu sama lain.

3. Pesan adalah publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Karena itu, diartikan milik publik.

4. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti jaringan, ikatan atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya tidak berasal dari seseorang, tetapi lembaga. Lembaga inipun biasanya berorientasi pada keuntungan bukan organisasi suka rela atau nirlaba.

5. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (pentapis informasi). Artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa. Ini berbeda dengan komunikasi antar pribadi, kelompok atau publik dimana yang mengontrol tidak oleh sejumlah individu. Beberapa individu dalam komunikasi massa ikut berperan dalam membatasi, memperluas pesan yang disiarkan.

6. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Kalau dalam jenis komunikasi lain, umpan balik bisa bersifat langsung (Nurudin, 2004: 7-8).

Dengan demikian komunikasi massa adalah alat dalam komunikasi yang

dapat menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audiens yang luas dan

heterogen. Kelebihan dari komunikasi massa adalah dapat mengatasi hambatan

ruang dan waktu bahkan mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu

yang tak terbatas.

Komunikasi massa juga berkaitan dengan media massa karena komunikasi

massa merupakan komunikasi yang menggunakan media massa sebagai alat

penyabarannya. Media massa yang digunakan dalam proses penyampaian pesan

(24)

Media elektronik diantaranya, radio siaran dan televisi. Media cetak diantaranya,

surat kabar dan majalah. Media film adalah film sebagai media komunikasi massa

dalam hal ini adalah film bioskop (Ardianto, 2007: 14).

Selanjutnya Vivian (2008: 450) menyatakan bahwa komunikasi massa

dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah medium massa untuk

mengirim pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi informasi,

menghibur atau membujuk. Karakteristik komunikasi massa adalah sebagai

berikut:

1. Komunikator terlembagakan

Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Komunikasi massa melibatkan lembaga, dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks.

2. Pesan bersifat umum

Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu.

3. Komunikannya anonim dan heterogen

Komunikan pada komunikasi massa bersifat anonim dan heterogen. Komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Disamping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi.

4. Media massa menimbulkan keserempakan

Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak adalah komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

5. Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan

(25)

6. Komunikasi massa bersifat satu arah

Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah.

7. Stimulasi alat indra terbatas

Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, kita menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

8. Umpan balik tertunda (delayed)

Komponen umpan balik atau yang lebih populer dengan sebutan feedback merupakan faktor penting dalam bentuk komunikasi apapun. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan (Ardianto, 2005: 3).

2.1.2 Film

Film merupakan media komunikasi yang muncul pada abad ke-20, film

sendiri merupakan perkembangan dari fotografi yang ditemukan oleh Joseph

Nicephore Niepce dari Perancis pada tahun 1826. Penyempurnaan dari fotografi

yang berlanjut akhirnya mendorong rintisan penciptaan film itu sendiri.

Nama-nama penting dalam sejarah penemuan film ialah Thomas Alva Edison dan

Lumiere Bersaudara ( Sumarno, 1996 : 2 ).

Dari awal pemunculan film sampai sekarang banyak bermunculan

sineas-sineas yang makin terampil dalam membuat, meramu segala unsur untuk

membentuk sebuah film. Dari berbagai pemikiran seorang pembuat film yang

dituangkan dalam karyanya maka film dapat digolongkan menjadi film cerita dan

non cerita. Film cerita sendiri memiliki berbagai genre atau jenis film dengan

durasi waktu yang berbeda beda pula, ada yang berdurasi 10 menit hingga

beberapa jam. Genre sendiri dapat diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh

gaya, bentuk atau isi film itu sendiri. Ada yang menyebutkan film drama, film

horor, film klasikal, film laga atau action, film fiksi ilmiah, dan lain-lain

(26)

Film cerita agar tetap diminati penonton harus tanggap terhadap

perkembangan zaman, artinya ceritanya harus lebih baik, penggarapannya yang

profesional dengan teknik penyuntingan yang semakin canggih sehingga penonton

tidak merasa dibohongi dengan trik-trik tertentu bahkan seolah-olah justru

penonton yang menjadi aktor/aktris di film tersebut.. Dalam pembuatan film cerita

diperlukan proses pemikiran dan proses teknis, yaitu berupa pencarian ide,

gagasan atau cerita yang digarap, sedangkan proses teknis berupa keterampilan

artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap

ditonton.

Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa

visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di

bioskop, film televisi dan film video laser setiap minggunya. Di Amerika Serikat

dan Kanada lebih dari satu juta tiket film terjual setiap tahun (Ardianto &

Erdinaya, 2005: 134).

Film Amerika kebanyakan diproduksi di Hollywood. Film yang dibuat di

sini selalu membanjiri pasar global dan memengaruhi sikap, perilaku dan harapan

orang-orang di belahan dunia. Film lebih dahulu menjadi media hiburan

dibanding radio siaran dan televisi. Menonton film ke bioskop ini menjadi

aktivitas populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an sampai 1950-an.

Dominick mengungkapkan bahwa industri film adalah industri bisnis.

Predikat ini telah menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film

adalah karya seni, yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi

orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Meskipun

pada kenyataannya adalah bentuk karya seni, industri film adalah bisnis yang

memberikan keuntungan, kadang-kadang menjadi mesin uang yang seringkali,

demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri (Ardianto & Erdinaya, 2005:

134).

Industri gambar gerak atau film, karena hubungannya yang unik dengan

pasar massal budaya industri, sejak awal berkembang dengan berbagai

karakteristik yang dimiliki industri penerbitan dan penyiaran. Teknik produksi dan

produknya serba standar, kebijakannya berorientasi ke massa, dan semuanya

(27)

pendapatan utama adalah para penonton.

Film pertama ditayangkan di Amerika Serikat pada tanggal 23 April 1896

di kota New York. Thomas Edison, setelah menyempurnakan teknik pertunjukkan

gambar gerak atau kinetoscope¸ meninggalkan rencana awalnya mengeksploitasi peluang komersial film karena ia merasa penayangan film layar lebar kepada

banyak penonton sekaligus akan segera menghabiskan pasar. Namun keberhasilan

penayangan pertama itu mengubah film dari seni menjadi bisnis dan para

pengusaha menggantikan posisi para penemu untuk mencari laba

sebesar-besarnya. Praktik produksi, distribusi dan penayangan massal menjadi ciri industri

film hingga setengah abad kemudian (Rivers, 2008: 197-198).

2.1.2.a Fungsi Film

Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama

adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung

fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan

misi perfilman nasional sejak tahun 1970, bahwa selain sebagai media hiburan,

film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi

muda dalam rangka nation and character building (Effendy, 1981: 212).

Sesungguhnya, film dapat mewakili keempat unsur tersebut. Akan tetapi

masyarakat Indonesia lebih banyak mengekspetasikan bahwa film sebagai alat

hiburan, walaupun tidak semua film menampilkan unsur hiburan ketimbang tiga

unsur lainnya.

Film bukan semata-mata barang dagangan tetapi juga merupakan alat pendidikan yang mempunyai daya pengaruh

sangat besar terhadap masyarakat

(http://www.layarperak.com/print.php?newsid=1122991411, diakses tanggal 28 Februari 2013).

Film sebagai fungsi hiburan melupakan sejenak penonton pada masalah

kehidupan. Sementara film-film tertentu bisa mengundang hasrat penonton untuk

melakukan seperti adegan dalam film.

Salah satu media komunikasi yang dengan signifikasi menjadi konsumsi

(28)

dalam pikiran yang seakan menjadi nyata dengan aktor-aktor yang ada

didalamnya, lalu disajikan kepada masyarakat sebagai konsumsi untuk dinikmati.

Film hadir tidak hanya untuk sekedar dinikmati namun juga dapat mempengaruhi

cara pikir masyarakat.

Dalam sejarah perkembangan film telah muncul tiga tema besar. Tema

pertama ialah pemanfaatan film sebagai alat propaganda. Tema ini penting

terutama dalam kaitannya dengan upaya pencapaian tujuan nasional dan

masyarakat. Hal tersebut berkenaan dengan pandangan yang menilai bahwa film

memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional dan popularitas yang hebat.

Salah satu film yang sukses menjadi alat propaganda berjudul G 30 S/PKI yang menceritakan tentang kudeta tahun 1965.

Kedua tema yang lain dalam sejarah film ialah munculnya beberapa

aliran seni film dan lahirnya film dokumentasi sosial. Kedua kecenderungan

tersebut merupakan suatu penyimpangan dalam pengertian bahwa keduanya

hanya menjangkau minoritas penduduk dan berorientasi ke realisme. Terlepas dari

hal itu keduanya mempunyai kaitan dengan tema “film sebagai alat propaganda”

(McQuail, 1994: 14).

2.1.2.b Struktur Film

Ada beberapa unsur dalam suatu film yang membentuk suatu kesatuan

sehingga menjadi satu film yang utuh, unsur-unsur tersebut adalah:

1. Shot

Shot adalah proses potretnya sebuah subyek, saat tombol kamera dipijit dan dilepaskan, sebagaimana yang ditentukan dalam skenario dengan durasi bebas. Satu shot berakhir ketika tombol kamera dilepas.

2. Scene

(29)

3. Sequence

Sequence adalah kumpulan dari scene. Sequence bisa mengandung satu atau lebih scene. Dalam satu sequence bisa mengandung berbagai lokasi, asalkan scene tersebut masih berkesinambungan. Sequence berakhir ketika ada pergantian karakter atau cerita yang sudah tidak berkesinambungan (http://ceaefilm.blogspot.com/2012/10/ struktur-film.html)

Shot dalam adegan direkam dalam beberapa detik. Dalam sebuah shot

biasanya terjadi dialog antar pemeran. Kumpulan beberapa shot menjadi sebuah

scene. Scene menceritakan beberapa shot secara berkesinambungan sehingga menjadi sebuah cerita. Beberapa buah scene menghasilkan sequence. Dalam penelitian ini shot, scene dan sequence tidak tergantung pada lokasi melainkan kesinambungan dari cerita.

2.1.2c Karakteristik Film

Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar

lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis yaitu:

1. Layar yang luas/ lebar

Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran luas. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi, layar film di bioskop-bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak.

2. Pengambilan gambar

(30)

3. Konsentrasi penuh

Dari pengalaman kita masing-masing, disaat kita menonton film di bioskop, bila tempat duduk sudah penuh atau waktu main sudah tiba, pintu-pintu ditutup, lampu dimatikan, nampak di depan kita layar luas dengan gambar-gambar cerita film tersebut.

4. Identifikasi psikologis

Suasana di gedung bioskop telah membuat penghayatan kita semakin mendalam dan seringkali secara tidak sadar kita mengidentifikasikan pribadi kita dengan salah seorang pemeran dalam film itu, seolah-olah kitalah yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis (Ardianto & Erdinaya, 2005: 136).

Menonton film di bioskop menghadirkan nuansa berbeda tentang sebuah

film. Film bioskop tidak hanya ditayangkan pada layar yang lebih besar, namun

bioskop juga menghadirkan pengalaman berbeda dalam film. Gedung bioskop

memberi ruang sosial bagi penonton, penonton datang dan berinteraksi dengan

banyak orang yang memiliki tujuan yang sama yakni menikmati film. Suasana

gedung bioskop menghasilkan konsentrasi penuh terhadap film, suara dan layar

ditampilkan dengan apik.

2.1.3 Kekerasan

Menurut Wignyosoebroto (1997) kekerasan adalah suatu tindakan yang

dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat atau yang

tengah merasa kuat terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih

lemah atau yang tengah dipandang berada dalam keadaan lebih lemah,

berdasarkan kekuatan fisiknya yang superior, dengan kesenjangan untuk dapat

ditimbulkannya rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan itu.

Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini terjadi sebagai bagian dari tindakan

manusia untuk tak lain daripada melampiaskan rasa amarah yang sudah tak

tertahan lagi olehnya.

Menurut Santoso (2002: 24) kekerasan juga bisa diartikan dengan

serangan memukul (assault and battery) merupakan kategori hukum yang

mengacu pada tindakan ilegal yang melibatkan ancaman dan aplikasi aktual

(31)

secara resmi dipandang sebagai tindakan individu meskipun tindakan tersebut

dipengaruhi oleh tindakan kolektif. Jadi, tindakan individu-individu ini terjadi

dalam konteks suatu kelompok, sebagaimana kekerasan kolektif. Kekerasan

kolektif muncul dari situasi konkrit yang sebelumnya didahului oleh sharing

gagasan, nilai, tujuan dan masalah bersama dalam periode waktu yang lebih lama.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan

suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang

merasa dirinya kuat kepada seseorang atau sekelompok orang yang dianggapnya

lemah, dimana dapat dilakukan dengan cara memukul, membacok dan menyiksa

(http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2196538-pengertian-

kekerasan).

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.

Menurut World Health Organization (2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,

perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau

kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis,

kelainan perkembangan.

Dilihat dari bentuknya, ada dua jenis kekerasan yang sering terjadi yaitu:

1) kekerasan fisik dan 2) kekerasan psikologis. Dalam kekerasan fisik tubuh

manusia disakiti secara jasmani berupa siksaan, penganiayaan, hingga

pembunuhan. Sedang kekerasan secara psikologis mewujud dalam bentuk

pengurangan kemampuan mental atau otak (rohani) karena perlakuan-perlakuan

repsesif tertentu, misalnya ancaman, indoktrinasi dan sebagainya. Dililhat dari

efeknya, kekerasan berpengaruh secara posistif atau negatif ini tampak dalam

mekanisme reward-punishment. Dalam sistem imbalan dan hukuman ini terdapat pengendalian secara manipulative dari si pemberi imbalan terhadap kebebasan si penerima.

(32)

dengan kewenangannya, yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan (http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan)

2.1.4 Studi Tayangan Kekerasan

Perkembangan aliran kritis dalam kajian ilmu komunikasi berpendapat

bahwa media tidak lagi berpengaruh penuh terhadap penontonnya. Aliran kritis ini

banyak mengkritik hukum positif dalam ilmu komunikasi, dimana media

berpengaruh penuh terhadap khalayak. Bagi banyak pemikir yakin bahwa efek

media massa tidak lagi sekuat di era 1930 an, ketika bullet theory diyakini sebagai kebenaran. Namun tidak bagi pemikir kultivasi, mereka beranggapan bahwa efek

media tidak secara langsung mempengaruhi penontonnya. Efek media tanpa

disadari masuk ke dalam pikiran dan menjadi kebiasaan bagi penontonnya.

Fenomena ini yang menjadi perhatian serius pemikir dampak tayangan media,

khususnya dampak kekerasan media massa.

Merebaknya unsur kekerasan dalam dunia hiburan, khususnya dalam tontonan televisi menarik perhatian Steinfeld (1973) yang menyatakan bahwa sepanjang sejarah pertelevisian, keprihatinan utamanya adalah kemungkinan dampak tayangan kekerasan di televisi. Analisis isi menunjukkan bahwa televisi menghidangkan menu tayangan kekerasan yang banyak sekali. Serangkaian angka menunjukkan bahwa menjelang usia 12 tahun, rata-rata anak telah akan menyaksikan 101.000 episode kekerasan di televisi, termasuk 13.400 kematian.

(33)

Stimulation hypothesis menunjukkan gejala yang lebih dominan dari

catharsis hypothesis. Peliputan berita tentang bentrok unjuk rasa tidak menyurutkan orang untuk tidak bertindak replicabel dari apa yang dilihatnya. Hampir setiap hari media massa menampilkan bentrokan dalam aksi unjuk rasa.

Kondisi ini menjadi ‘pembenaran’ terhadap aksi kekerasan dalam menyampaikan pendapat.

Sebuah hipotesis yang sedikit berbeda adalah hipotesis kehilangan kendali

diri (disinhibition hypothesis) yang menyatakan bahwa televisi menurunkan rasa segan orang untuk berperilaku agresif terhadap orang lain. Apabila hipotesis ini

benar, maka tayangan kekerasan di televisi mungkin mengajarkan norma umum

bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk berhubungan dengan

orang lain.

Dalam ratusan penelitian yang menyelidiki dampak tayangan kekerasan di

televisi, hanya sedikit yang mendukung hipotesis katarsis. Lebih banyak lagi

penelitian mendukung dua hipotesis rangsangan yaitu menirukan dan kehilangan

kendali diri. Salah satu yang paling jelas dari penelitian-penelitian ini adalah

eksperimen Llewellyn Thomas (1963). Penelitian ini menemukan bukti bahwa

para subjek yang melihat segmen film keras (adegan perkelahian dengan senjata)

mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk meningkatkan tingkat setrum

listrik yang akan mereka berikan pada orang lain daripada subjek yang melihat

segmen film yang tidak melibatkan kekerasan (remaja yang terlibat dengan

keterampilan). Penemuan ini mendukung hipotesis kehilangan kendali diri, karena

jenis perilaku bermusuhan yang dilibatkan tidak sama dengan yang digambarkan

dalam film (Severin & James, 2005: 339).

2.1.5 Teori Pembelajaran Sosial

Bandura menyebutkan bahwa sebuah teori dari bidang psikologi yang

berguna dalam mempelajari dampak media massa adalah teori pembelajaran sosial

(social learning theory) (Severin & James, 2005: 330-331). Teori yang menyatakan bahwa terjadi banyak pembelajaran melalui pengamatan pada

perilaku orang lain. Teori ini terutama berharga dalam menganalisis kemungkinan

(34)

teori pembelajaran umum yang dapat diaplikasikan pada bidang-bidang dampak

media massa yang lain.

Teori penguatan, salah satu rumusan awal teori pembelajaran, menyatakan

bahwa pembelajaran terjadi ketika sebuah perilaku dikuatkan dengan suatu

penghargaan. Seandainya ini merupakan satu-satunya cara terjadinya

pembelajaran, orang akan mencoba sendiri segala jenis perilaku dan kemudian

menjaga perilaku yang dihargai dan meninggalkan perilaku yang menyebabkan

hukuman. Teori pembelajaran sosial mengakui bahwa orang mungkin

menghindari pendekatan pembelajaran yang tidak efisien ini dan mungkin

memperoleh suatu perilaku hanya dengan pengamatan dan menyimpan

pengamatan itu sebagai petunjuk untuk perilaku kedepan.

Teori pembelajaran sosial mengakui bahwa manusia mampu menyadari

atau berpikir dan bahwa mereka dapat mengambil manfaat dari pengamatan dan

pengalaman. Teori pembelajaran sosial mengakui bahwa banyak pembelajaran

manusia terjadi dengan menyaksikan orang lain yang menampilkan perilaku yang

beraneka ragam.

Teori Bandura berdasarkan tiga asumsi, yaitu:

1. Bahwa individu melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungannya, terutama perilaku-perilaku orang lain.

2. Terdapat hubungan yang erat antara proses belajar dengan lingkungannya. Pembelajaran terjadi dalam keterkaitan antara tiga pihak yaitu lingkungan, perilaku dan faktor-faktor pribadi.

3. Bahwa hasil pembelajaran adalah berupa kode perilaku visual dan verbal yang diwujudkan dalam lingkungan sehari-hari (Syah, 2003: 216)

Perilaku orang lain yang ditiru disebut sebagai perilaku model atau

perilaku contoh. Apabila peniruan memperoleh penguatan, maka perilaku yang

ditiru akan menjadi perilaku dirinya. Proses pembelajaran sosial menurut proses

kognitif individu dan kecakapan dalam membuat keputusan sangat ditentukan

oleh keadaan lingkungan pada saat itu, perilaku yang menjadi nilai dalam diri dan

faktor-faktor pengalaman lain yang saling berkaitan. Teori ini juga meyakini

bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan;

(35)

Bandura (1994) menyatakan bahwa banyak dari dampak media massa

mungkin terjadi melalui proses pembelajaran sosial. Pembelajaran sosial terutama

efektif dengan media massa seperti televisi, dimana mendapatkan kekuatan yang

berlipat ganda dari model tunggal yang mengirimkan cara-cara berpikir dan

berperilaku baru bagi banyak orang di lokasi yang berlainan (Severin & James,

2005: 330-331).

Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh (Kard,1997: 14) ada dua jenis

pembelajaran melalui pengamatan (observational learning). Pertama, pembelajaran sosial melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang

dialami oleh orang lain atau vicarious conditioning. Contohnya, seorang pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia

kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji

oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang

dialami orang lain atau (vicarious reinforcement). Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model meskipun model itu tidak mendapatkan

penguatan atau pelemahan pada saat pengamat itu sedang memperhatikan model

itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan

mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas

apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan secara langsung, tetapi kita

dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model.

2.2 Kerangka Konsep

Dalam penelitian, seorang peneliti menggunakan istilah yang khusus untuk

menggambarkan secara tepat fenomena yang ditelitinya. Inilah yang disebut

konsep, yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara

abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian

ilmu sosial. Melalui konsep, peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan

pemikirannya dengan menggunakan istilah untuk beberapa kejadian yang

berkaitan satu dengan yang lainnya (Singarimbun,2011: 32).

Merujuk pada Budd, Thorp dan Donohew (1971), desain proses penelitian

(36)

Gambar 2.1

Model Teoritis

(Birowo, 2004: 129 dan dimodifikasi oleh penulis)

2.2.1 Defenisi Konseptual

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Peneliti meneliti tampilan

kekerasan dalam Film The Raid: Redemption. Tampilan kekerasan tersebut akan dibentuk dalam potongan gambar yang akan dikaji menjadi objek penelitian.

Definisi konseptual merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan

secara abstrak dari kejadian-kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu

(Effendi, 1989: 33).

Definisi konseptual dalam penelitian ini adalah:

a. Adegan adalah penghadiran tokoh pada suatu pertunjukan yang disertai dengan penggunaan karakter sifat dan sikap (Kamus Umum Bahasa Indonesia: 16).

b. Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang menyebabkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis atau finansial baik yang dialami individu maupun kelompok (Huraerah, 2007: 47).

c. Kekerasan fisik adalah perilaku kekerasan yang menimbulkan rasa sakit dan ditujukan pada organ fisik yang dilakukan secara kolektif atau individu baik yang dilakukan dengan menggunakan alat maupun bagian anggota tubuh.

d. Kekerasan psikologis adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban dengan cara berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntut dan memata-mata dan tindakan-tindakan lain yang menumbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman dekat, dan lain sebagainya).

(37)

Kekerasan dalam adegan film The Raid: Redemption adalah fokus utama dalam penelitian ini. Kekerasan merupakan tindakan merugikan orang lain,

menyakiti baik secara fisik maupun psikologis. Kekerasan fisik menimbulkan rasa

sakit inderawi ditujukan menyakiti anggota tubuh. Sementara kekerasan

psikologis menimbulkan rasa sakit di dalam jiwa orang lain. Individu yang

menjadi korban kekerasan psikologis tidak merasakan sakit pada organ tubuh

melainkan pada jiwanya.

2.3 Defenisi Operasional

Merupakan unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya

untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain definisi operasional adalah suatu

informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan

variabel yang sama (Singarimbun, 2011: 46). Definisi operasional merupakan cara

penulisan taktis agar konsep bisa berhubungan dengan praktek, kenyataan dan

fakta. Definisi operasional dalam penelitian ini mencakup bentuk dari

perilaku-perilaku kekerasan fisik dan psikologis.

a. Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap

korban dengan berbagai cara, antara lain :

- Memukul adalah tindakan menyakiti tubuh dengan menggunakan

kepalan tangan atau menggunakan benda-benda kasar/berat/tumpul

seperti kayu, tongkat, besi dan benda-benda sejenisnya.

- Menampar adalah tindakan menyakiti tubuh yang secara langsung

dilakukan dengan menggunakan telapak tangan kepada wajah

seseorang.

- Mencekik adalah tindak kekerasan yang dilakukan dengan cara

meremas leher seseorang atau makhluk hidup dengan

menggunakan tangan.

- Menendang adalah tindakan yang dilakukan seseorang melalui

ayunan kaki yang di ayunkan dengan keras kearah tubuh makhluk

(38)

- Melempar barang ke tubuh adalah tindakan melempari

benda-benda kasar/tajam contohnya kayu, batu, pisau, kaleng dan

sejenisnya kearah organ tubuh dimana terdapat jarak antara objek

satu dengan objek yang lain dalam tindakannya.

- Melukai dengan tangan kosong atau dengan alat/senjata adalah

tindakan yang dilakukan dengan cara menancapkan benda runcing

atau benda tajam ke dalam tubuh makhluk hidup.

- Menganiaya adalah bentuk kekerasan yang dilakukan kepada

makhluk hidup ketika mereka berada dalam posisi lemah namun

tetap dilakukan suatu tindak kekerasan dengan tujuan untuk

kepuasan individu atau kelompok.

- Dan membunuh adalah tindakan yang dilakukan seseorang yang

mengakibatkan hilangnya nyawa mahkluk hidup (Wijaya, 2011:

28-30).

b. Kekerasan psikologis adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku

terhadap mental korban dengan cara berteriak-teriak, menyumpah,

mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit dan

memata-mata dan tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut

(termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya

keluarga, anak, suami, teman dekat, dan lain sebagainya)

- Berteriak-teriak adalah berseru dengan suara keras berkali-kali.

- Menyumpah adalah mengeluarkan kata-kata kotor (kutuk dan

sebagainya).

- Mengancam adalah menyatakan maksud (niat, rencana) untuk

melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan

atau mencelakakan pihak lain.

- Merendahkan adalah memandang rendah (hina) orang lain;

menghinakan.

- Mengatur adalah membuat (menyusun) sesuatu menjadi teratur

(rapi); menata menjadi sesuai yang kita inginkan.

- Melecehkan adalah tindak perkataan berupa meremehkan

(39)

tidak dilakukan di depan orang yang bersangkutan bentuknya

dapat berupa penertawaan dan senyuman sinis (lebih pada

meragukan kemampuan atau kekuatan seseorang.

- Menguntit adalah mengikuti terus-menerus.

- Dan tindakan memata-matai yang menimbulkan rasa takut adalah

tindak perkataan yang menakut-nakuti dan menekan seseorang

yang menimbulkan rasa khawatir dan rasa takut atas keselamatan

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Film The Raid: Redemption bukan film pertama Gareth Evans yang bercerita tentang Pencak Silat. Pada tahun 2009, Evans membuat film Merantau

yang menampilkan adegan laga pencak silat. Film ini sendiri melambungkan

nama pemeran utamanya Iko Uwais. Iko Uwais sendiri adalah seorang ahli pencak

silat, bersama Yayan Ruhian (Mad Dog) yang merupakan guru silatnya, Iko beradu akting dalam film ini. Sebelum adanya film Merantau, silat yang merupakan olahraga khas Indonesia belum pernah ditampilkan dalam film.

“Bahkan Barry Prima yang dulu banyak memainkan film laga, lebih banyak menggunakan jurus-jurus KungFu dalam filmnya” ujar Iko (Total Film, April 2012).

Kesuksesan film ini yang menginspirasi Gareth Evans untuk membuat film

selanjutnya yang berjudul The Raid: Redemption. Film ini bercerita tentang kisah sederhana tentang bagaimana sekelompok tim SWAT menyergap sarang mafia di

gedung yang ternyata dihuni banyak kriminal. Gedung itu seketika menjadi medan

pertempuran dahsyat. Para kriminal dalam gedung itu memberi perlawanan sengit

kepada para penyerang.

Tim SWAT (Special Weapon and Tactics) atau pasukan khusus tiba di sebuah blok apartemen yang tidak terurus dengan misi menangkap pemiliknya,

raja bandar narkotika bernama Tama. Blok ini tidak pernah digrebek oleh polisi

sebelumnya. Sebagai tempat yang tidak terjangkau oleh pihak berwajib, gedung

ini menjadi tempat berlindung para pembunuh, anggota geng, pemerkosa dan

pencuri yang mencari tempat tinggal aman.

Tokoh utama film ini adalah Rama yang diperankan Iko Uwais sebagai

pemimpin tim SWAT. Rama ingin menangkap Tama (Ray Sahetapy) pemimpin

mafia yang memberikan perlindungan bagi banyak penjahat di gedung berlantai 5

(41)

Film The Raid: Redemption mengundang banyak pujian dikarenakan aksi silatnya yang sangat orisinil. Yayan (Mad Dog) menyebutkan bahwa aksi adegan film ini murni berdasarkan silat. Silat sendiri merupakan salah satu kesenian khas

Indonesia.

“Istilah yang ada di kita itu silat adalah ‘silaturahmi’, yaitu persaudaraan. Pencak silat baru bisa dikatakan pencak silat kalau ada 4 unsur: olahraga, seni, bela diri, mental/spiritual. Di Indonesia sendiri ada 1000 perguruan silat dengan berbagai macam aliran” Ujar Yayan (Total Film, April 2012).

Konsep koreografer film ini menampilkan silat sesungguhnya. Gareth

Evans berusaha meminimalkan unsur sadis dalam film ini. Evans tidak

memunculkan adegan langsung kena bacok atau kena tusuk, namun sebelumnya

akan ada proses pertarungan terlebih dahulu. Banyaknya adegan laga dalam film

ini membutuhkan banyak pemeran pengganti. Film ini menggunakan jasa 130

pemeran pengganti.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi

deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Analisis isi dapat dilakukan untuk

menganalisis semua bentuk komunikasi baik surat kabar, berita radio, iklan

televisi, film, maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain.

Krippendorf (1980) membagi unit analisis dalam 5 variasi, yaitu: physical, syntactical, refential, proposional dan thematic units (Birowo,2004:152). Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti secara syntactical units terdiri dari simbol-simbol yang muncul, dalam penelitian ini adalah simbol-simbol kekerasan.

Unit sintaksis berupa kata atau simbol, penghitungannya adalah frekuensi

kata atau simbol kekerasan. Misalnya, berapa jumlah adegan kekerasan dalam

film. Peneliti dalam penelitian ini ingin melihat frekuensi kekerasan fisik dan

kekerasan non fisik yang ditampilkan dalam film The Raid: Redemption.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan menggunakan tabel

frekuensi. Untuk uji penelitiannya terancang secermat mungkin sebelum

penelitian dilakukan serta kesimpulan melalui generalitas. Jenis penelitian

(42)

mendeskripsikan hasil penelusuran informasi ke fakta yang diolah menjadi data.

Tujuan penggunaan jenis penelitian ini adalah menggambarkan sistematika fakta

atau karakteristik secara faktual dan seksama. Secara keseluruhan, penelitian ini

bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi dalam sebuah media

dengan menggunakan teknik symbol coding yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis kemudian diberi interpretasi. (Rakhmat, 1998: 24).

Teknik yang digunakan oleh peneliti yaitu dengan teknik analisis isi.

Analisis isi (content analysis) adalah analisis yang dirancang untuk menghasilkan penghitungan yang objektif, terukur, dan teruji atas isi pesan yang nyata (manifest content of messages). Analisis ini menganalisis tatanan pertandaan yang bersifat denotatif. Analisis ini berfungsi paling baik dalam skala besar dimana semakin

banyak yang dianalisis, maka semakin akurat analisisnya. Analisis ini berjalan

melalui identifikasi dan penghitungan unit-unit terpilih dalam sebuah sistem

komunikasi. Analisis isi harus non-selektif, analisisnya mencakup keseluruhan

pesan, atau sistem pesan, atau secara tepat pada sampel atau objek penelitian yang

tersedia. Sehingga analisis ini diklaim memiliki objektivitas ilmiah (Fiske, 1990:

188-189).

3.2.1 Analisis Isi (Content Analysis)

Analisis isi ini memiliki sifat penelitian yang kuantitatif, dimana penelitian

kuantitatif adalah suatu kegiatan pengumpulan data kuantitatif, sedangkan data

kuantitatif merupakan data yang menunjukkan besaran, ukuran, frekuensi dan

wujudnya berupa angka. Sehingga sesuai dengan sifat, tujuan dan definisi analisis

isi dimana ini adalah teknik penelitian untuk uraian yang objektif, sistematis dan

kuantitatif, sehingga peneliti betul-betul dibatasi dalam proses penelitiannyan

karena ia tidak menggunakan subyektifitas dalam proses meneliti. Jadi, sifat dan

tujuan analisis isi kuantitatif secara ringkas dapat di simpulkan sebagai berikut:

1. Analisis isi kuantitatif hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifes (nyata).

Gambar

Gambar 2.1 Model Teoritis
Gambar 3.1 Kerangka Analisis
Tabel 3.1
Tabel 4.1 Memukul
+7

Referensi

Dokumen terkait

Segala bentuk kekerasan berbasis gender yang berakibat menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan; termasuk ancaman dari tindakan

Kekerasan fisik ada yang menggunakan alat atau senjata, ada juga yang tidak. menggunakan senjata

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa adegan kekerasan yang banyak dilakukan pada film ini adalah terhadap anak-anak, kemudia terhadap laki-laki, terhadap perempuan dan

Komunikasi secara langsung merupakan komunikasi yang terjadi saat dua individu atau lebih bertemu dan melakukan dialog ataupun percakapan baik secara verbal maupun secara non

Alasan peneliti disini ingin menganalisis isi tentang kekerasan verbal dan non verbal secara mendalam yang ada dalam film “The Night Comes For Us” dan dalam film ini juga

Scott sebagai bentuk perlawanan yang dapat dilakukan secara ‘halus”, dengan verbal ataupun non verbal, tidak begitu dramatis dan tidak terlihat seperti

Hasil dan Pembahasan Berdasarkan data yang ditemukan, maka dapat dipaparkan analisis makna kekerasan fisik terhadap tokoh Shuuhei dan Akiko yang terdapat dalam film Mother dengan