• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fortification of Calcium and Tocopherol to Improve Nutritional Quality of Beef Emulsion Product

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fortification of Calcium and Tocopherol to Improve Nutritional Quality of Beef Emulsion Product"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

FORTIFIKASI KALSIUM DAN TOKOFEROL UNTUK

MENINGKATKAN MUTU GIZI PRODUK

EMULSI DAGING SAPI STERIL

NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fortifikasi Kalsium dan Tokoferol Untuk Meningkatkan Mutu Gizi Produk Emulsi Daging Sapi Steril adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Ni Nyoman Susi Ratna Dewanti

(4)

RINGKASAN

NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI. Fortifikasi Kalsium dan Tokoferol Untuk Meningkatkan Mutu Gizi Produk Emulsi Daging Sapi Steril. Dibimbing oleh MADE ASTAWAN dan JOKO HERMANIANTO.

Cara untuk meningkatkan konsumsi daging sapi adalah dengan meningkatkan kualitas produk olahan daging sapi terutama dari segi gizinya. Daging sapi dapat dikembangkan menjadi produk olahan yang dapat memberikan satu atau lebih efek fisiologis di luar fungsinya sebagai sumber protein (Murwani 2011). Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan ingredient fungsional, yaitu melalui fortifikasi zat gizi penting ke dalam produk olahan daging sapi (Toldra dan Reig 2011). Rendahnya kandungan kalsium dan tokoferol pada daging sapi dan produk olahannya memicu penelitian untuk melakukan fortifikasi kalsium dan tokoferol pada produk olahan daging sapi.

Penelitian dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah formulasi dasar produk emulsi daging sapi steril non-fortifikasi (PEDSNF) dan formulasi produk emulsi daging sapi steril fortifikasi (PEDSF). Penentuan PEDSF terbaik dilakukan melalui uji hedonik. Analisis yang dilakukan antara lain adalah sifat fisik (warna dan tingkat kekerasan) dan komposisi kimia (kadar air, lemak, protein, karbohidrat, kalsium, tokoferol total). Tahap kedua adalah uji in vivo

produk untuk menganalisis nilai biologis protein, daya serap dan retensi kalsium serta kadar MDA organ hati.

Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa penambahan fortifikan kalsium sitrat dan dl-a-tokoferol asetat tidak mempengaruhi kualitas sensori produk emulsi daging sapi steril. Panelis tetap menyukai produk emulsi daging sapi steril yang ditambahkan fortifikan kalsium dan tokoferol. PEDSF yang terbaik adalah produk emulsi daging sapi steril dengan penambahan Calcium citrate 3250 ppm dan dl-α -tocopheryl acetate 300 ppm. Hasil analisis warna menunjukkan bahwa PEDSF mempunyai mempunyai nilai L (tingkat kecerahan) dan nilai a (derajat kemerahan) yang lebih tinggi dibandingkan PEDSNF. Hasil analisis tingkat kekerasan menunjukkan bahwa tingkat kekerasan PEDSF lebih rendah dibandingkan PEDSNF. Hasil analisis kadar kalsium menunjukkan bahwa kadar kalsium produk emulsi daging sapi steril setelah ditambahkan kalsium meningkat sebesar 70%. Hasil analisis kadar tokoferol total menunjukkan bahwa kadar tokoferol total produk emulsi daging sapi steril setelah ditambahkan tokoferol meningkat sebesar 36%. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa PEDSF mempunyai kadar air, lemak, dan protein rendah sedangkan kadar karbohidratnya tinggi.

Hasil uji in vivo menunjukkan bahwa nilai True Digestibility (TD) dan Net Protein Utilization (NPU) PEDSF tinggi yaitu sebesar 93.0% dan 87.2. Hal ini menandakan bahwa nilai biologis protein PEDSF tinggi. Hasil analisis daya serap dan retensi kalsium menunjukkan bahwa asupan kalsium dari ransum PEDSF meningkatkan daya serap (66.8%) dan retensi kalsium (66.6%) di dalam tubuh. Kadar MDA kelompok tikus yang diberi ransum perlakuan PEDSF (67056.6 mmol/L) lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (19164.1 mmol/L). Hal ini mengartikan bahwa asupan tokoferol dari ransum PEDSF belum mampu menurunkan stress oksidatif tubuh.

(5)

SUMMARY

NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI. Fortification of Calcium and Tocopherol to Improve Nutritional Quality of Beef Emulsion Product. Supervised by MADE ASTAWAN and JOKO HERMANIANTO.

Way to increase the consumption of beef is by improving the quality of beef products, especially in terms of nutrition. Beef can be developed into processed beef products that can provide one or more physiological effects beyond its function as a protein source (Murwani 2011). This can be done by adding functional ingredients, that is through the fortification of essential nutrients in processed beef products (Toldra and Reig 2011). The low calcium and tocopherol content in beef and its processed products motivate to conduct on calcium and tocopherol fortification in processed beef products.

The study was conducted in two stages. The first stage was the basic formulation of processed beef product (PEDSNF) and formulation of fortified processed beef product (PEDSF). Determination the best PEDSF was done by hedonic test. The analysis which was conducted were physical properties (color and hardness) and chemical composition (moisture, fat, protein, carbohydrates, calcium, total tocopherol content). The second stage was in vivo test to analyze the protein biological value, calcium absorption and retention and liver MDA levels. The results of hedonic test showed that the addition of calcium and tocopherol did not affect the sensory quality of the product. Panelists still liked fortified processed beef product. The best PEDSF was beef emulsion product with the addition of 3250 ppm of Calcium citrate and 300 ppm of dl-α-Tocopheryl acetate. The results of color analysis indicated that PEDSF have L value (brightness) and a value (redness) higher than PEDSNF. Results of the texture analysis showed that the hardness of PEDSF was lower than PEDSNF. The level of calcium in beef emulsion product after adding calcium was increased by 70% and the level of total tocopherol of beef emulsion product after adding tocopherol was increased by 36%. The results of proximate analysis showed that the water, fat, protein contents of PEDSF were lower than PEDSNF while the carbohydrate level of PEDSF was higher than PEDSNF.

The results of in vivo test showed that True Digestibility (TD) and Net Protein Utilization (NPU) of PEDSF were 93.0% and 87.2% respectively. This indicated that the high protein biological value of PEDSF. The results of analysis of calcium absorption and retention showed that intake of PEDSF enhanced calcium absorption (66.8%) and retention (66.6%). MDA level of mice group of PEDSF (67056.6 mmol / L) was higher than control group (19164.1 mmol / L). This meant that the tocopherol intake from diet PEDSF did not sufficient to reduce body oxidative stress.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pangan

FORTIFIKASI KALSIUM DAN TOKOFEROL UNTUK

MENINGKATKAN MUTU GIZI PRODUK

EMULSI DAGING SAPI STERIL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(8)
(9)
(10)

Judul Tesis : Fortifikasi Kalsium dan Tokoferol Untuk Meningkatkan Mutu Gizi Produk Emulsi Daging Sapi Steril

Nama : Ni Nyoman Susi Ratna Dewanti NIM : F251100271

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Made Astawan, MS Ketua

Dr Ir Joko Hermanianto Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 sampai Maret 2013 ini ialah fortifikasi, dengan judul Fortifikasi Kalsium dan Tokoferol Untuk Meningkatkan Mutu Gizi Produk Emulsi Daging Sapi Steril.

Terima kasih penulis ucapkan kepada PT. So Good Food Indonesia yang telah memberikan beasiswa S2 kepada saya, Bapak Prof Dr Ir Made Astawan, MS dan Bapak Dr Ir Joko Hermanianto, MSc selaku komisi pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir Deddy Muchtadi, MS selaku penguji yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Denny Gumulya, ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungan moralnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

(12)

DAFTAR ISI

Bahan Penyusun Produk Emulsi Daging Sapi Steril 3

Fortifikasi 3

Fortifikasi Kalsium 4

Fortifikasi Tokoferol 4

Penyerapan, Metabolisme, dan Ekskresi Kalsium 5

Penyerapan, Metabolisme, dan Ekskresi Tokoferol 5

Interaksi Kalsium dan Tokoferol 6

Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein 6

3 METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Alat dan Bahan 6

Tahapan Penelitian 7

Perlakuan dan Rancangan Percobaan 10

Analisis Data 10

Metode Analisis 11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Uji Kualitas Sensori Produk Emulsi Daging Sapi Steril Fortifikasi (PEDSF)

16 Penentuan Formula Produk Emulsi Daging Sapi Steril Fortifikasi

(PEDSF) Terbaik

18

Analisis Sifat Fisik Produk 18

Analisis Komposisi Kimia Produk 20

Evaluasi Nilai Biologis Produk 21

(13)

DAFTAR TABEL

1 Kelompok perlakuan tikus percobaan 9

2 Formula dasar produk emulsi daging sapi steril (PEDSNF) 16 3 Hasil analisis warna produk emulsi daging sapi steril 19 4 Hasil analisis tingkat kekerasan produk emulsi daging sapi steril 19 5 Hasil analisis kadar kalsium produk emulsi daging sapi steril 20 6 Hasil analisis kadar tokoferol total produk emulsi daging sapi steril 21 7 Hasil analisis proksimat (% berat kering) produk emulsi daging sapi

steril

21 8 Hasil analisis proksimat bahan penyusun ransum tikus percobaan 22 9 Komposisi ransum (1 kg ransum) tikus percobaan 22 10 Hasil analisis proksimat ransum perlakuan tikus percobaan 23 11 Perbandingan nilai FCE PEDSNF dan PEDSF pada tikus percobaan 24 12 Kadar MDA hati tikus percobaan yang diberi ransum PEDSNF dan

PEDSF 2 Perbandingan nilai daya cerna protein PEDSNF dan PEDSF 26

3 Perbandingan nilai NPU PEDSNF dan PEDSF 26

4 Hasil analisis daya serap kalsium PEDSNF dan PEDSF 28 5 Hasil analisis retensi kalsium PEDSNF dan PEDSF 29

DAFTAR LAMPIRAN

1a Hasil analisis uji rating hedonic 36

1b Hasil analisis uji ranking hedonic 36

1c Hasil analisis Principal Component Analysis (PCA) 37

2a Rekapitulasi data analisis warna 38

2b Hasil uji t-test warna 38

3a Rekapitulasi data analisis tekstur 39

3b Hasil uji t-test tekstur 39

4a Rekapitulasi data analisis kadar kalsium 40

4b Hasil uji t-test kadar kalsium 40

5a Rekapitulasi data analisis kadar tokoferol total 41

5b Hasil uji t-test kadar tokoferol total 41

6a Rekapitulasi data analisis proksimat PEDSNF dan PEDSF 42 6b Hasil uji t-test kadar proksimat PEDSNF dan PEDSF 42

7a Perhitungan formulasi ransum PEDSF 43

7b Perhitungan formulasi ransum PEDSNF 44

7c Perhitungan formulasi ransum kasein 45

7d Perhitungan formulasi ransum non-protein 46

8 Rekapitulasi data analisis proksimat ransum tikus percobaan (%bk) 47 9 Rekapitulasi data rataan berat badan tikus percobaan 48

(14)

DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan)

11 Hasil analisis sidik ragam FCE 50

12 Rekapitulasi data PER 51

13 Hasil analisis sidik ragam PER 52

14 Rekapitulasi data NPR 53

15 Hasil analisis sidik ragam NPR 54

16 Rekapitulasi data TD, BV, dan NPU 55

17 Hasil analisis sidik ragam TD, BV, dan NPU 56

18 Hasil analisis kadar kalsium feses tikus percobaan 57 19 Hasil analisis kadar kalsium urin tikus percobaan 58 20 Hasil analisis kadar kalsium ransum tikus percobaan 59

21 Rekapitulasi daya serap dan retensi kalsium 60

22 Hasil analisis sidik ragam daya serap kalsium 61

23 Hasil analisis sidik ragam retensi kalsium 62

24 Hasil analisis kadar MDA organ hati tikus percobaan 63

(15)

Latar Belakang

Daging sapi mempunyai kandungan protein kasar sebesar 68.7% (USDA 2010). Daging sapi kaya akan asam amino dan vitamin B (tiamin, riboflavin, niasin, piridoksin, dan kobalamin). Daging sapi juga merupakan bahan pangan yang mengandung mineral besi dan fosfor. Namun, kandungan mineral kalsium dalam daging sapi relatif rendah (Linder 2006). Penelitian yang dilakukan Gebhardt dan Thomas (2002), menunjukkan kandungan kalsium produk olahan daging sapi seperti kornet (11 mg/100 g) dan sosis (12 mg/100 g) cenderung lebih rendah dibandingkan kandungan kalsium dairy product seperti keju (64 mg/100 g) dan susu (46 mg/100 g). Menurut USDA (2011), kandungan kalsium produk olahan daging sapi relatif rendah seperti kandungan kalsium pada beef steak

hanya sebesar 4.8 mg/100 g dan beef roast hanya sebesar 6.8 mg/100 g.

Beberapa tahun terakhir produksi dan konsumsi daging sapi mengalami tantangan berkaitan dengan citranya yang kurang baik dalam hubungannya dengan kesehatan. Data U. S Census Bureau (2011) menyebutkan bahwa produksi daging sapi di dunia menurun dari 58 juta ton pada 2008 menjadi 57 juta ton pada 2009. Di Indonesia, produksi daging sapi meningkat dari 409 308 ton pada tahun 2009 menjadi 435 299 ton pada tahun 2010 (BPS 2011). Konsumsi daging sapi di Indonesia dari tahun 2008 hingga 2012 sangat rendah yaitu hanya 0.365 kg/kapita/tahun pada 2008, 0.313 kg/kapita/tahun pada 2009, 0.365 kg/kapita/tahun pada 2010, 0.417 kg/kapita/tahun pada 2011 serta pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 0.365 kg/kapita/tahun (Deptan 2013).

Salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi daging sapi adalah dengan meningkatkan kualitas produk daging sapi terutama dari segi gizinya. Daging sapi dapat dikembangkan menjadi produk olahan yang dapat memberikan satu atau lebih efek fisiologis di luar fungsinya sebagai sumber protein (Murwani 2011). Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan ingredient fungsional, misalnya fortifikasi zat gizi penting ke dalam produk olahan daging sapi (Toldra dan Reig 2011). Fortifikasi pada produk olahan daging sapi dapat menjadi cara untuk mengatasi defisiensi zat gizi yang kemungkinan dapat disebabkan rusaknya vitamin dan mineral pada saat pengolahan.

(16)

dalam tubuh. Tokoferol bertindak sebagai penangkap radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh (Gropper et al. 2009).

Beberapa penelitian terkait yang melandasi fortifikasi kalsium pada penelitian ini antara lain adalah penelitian yang dilakukan Daengprok et al. (2002) tentang fortifikasi kalsium laktat komersial pada produk sosis fermentasi. Tingkat konsentrasi kalsium laktat komersial yang ditambahkan adalah 1500 ppm, 3000 ppm, dan 4500 ppm. Penelitian juga dilakukan oleh Caceres et al. (2006) tentang fortifikasi kalsium sitrat pada produk sosis sapi masak. Tingkat konsentrasi kalsium sitrat yang ditambahkan adalah 11500 ppm dan 14250 ppm. Penelitian Daengprok et al. (2002) menunjukkan hasil bahwa penambahan kalsium 1500 hingga 4500 ppm ke dalam produk olahan daging sapi tidak menurunkan kualitas sensori produk. Penelitian yang dilakukan Caceres et al. (2006) juga menunjukkan bahwa penambahan kalsium hingga 14000 ppm ke dalam produk olahan daging sapi tidak menurunkan kualitas sensori produk. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Daengprok et al. (2002) dan Caceres et al. (2006), pada penelitian ini dilakukan penambahan kalsium dalam bentuk kalsium sitrat ke dalam produk olahan daging sapi dengan tingkat konsentrasi kalsium sitrat yang ditambahkan adalah sebesar 2650 ppm dan 3250 ppm.

Penelitian tentang fortifikasi tokoferol yang melandasi penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Channon dan Trout (2002) tentang penambahan beberapa tingkat konsentrasi mixed tocopherol pada produk sosis daging babi. Tingkat konsentrasi tokoferol yang ditambahkan adalah 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm. Mengacu pada penelitian tersebut, pada penelitian ini dilakukan fortifikasi tokoferol dalam bentuk dl-a-tokoferol asetat ke dalam produk olahan daging sapi dengan tingkat konsentrasi tokoferol yang ditambahkan adalah 300 ppm dan 1000 ppm.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menemukan formula produk emulsi daging sapi steril yang bermutu gizi tinggi.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Menentukan formula yang tepat untuk produk emulsi daging sapi steril yang difortifikasi kalsium dan tokoferol.

2. Mengetahui penerimaan konsumen terhadap produk emulsi daging sapi steril yang difortifikasi kalsium dan tokoferol.

3. Mengetahui sifat fisik (tekstur dan warna) dan komposisi kimia (kadar air, lemak, protein, karbohidrat, kalsium, dan tokoferol) produk emulsi daging sapi steril yang difortifikasi kalsium dan tokoferol.

4. Mengetahui efek fortifikasi kalsium terhadap bioavailabilitas kalsium. 5. Mengetahui efek fortifikasi tokoferol terhadap kadar MDA organ hati.

(17)

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah terciptanya produk emulsi daging sapi steril yang sehat melalui fortifikasi kalsium dan tokoferol.

Hipotesis

1. Fortifikasi kalsium pada produk emulsi daging sapi steril dapat meningkatkan daya serap dan retensi kalsium.

2. Fortifikasi tokoferol ke dalam produk emulsi daging sapi steril dapat meningkatkan status antioksidatif tubuh.

3. Fortifikasi kalsium dan tokoferol tidak menurunkan nilai gizi protein secara in vivo produk emulsi daging sapi steril.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Penyusun Produk Emulsi Daging Sapi Steril

Bahan utama penyusun produk emulsi daging sapi steril adalah daging. Selain itu, terdapat juga bahan penyusun lainnya antara lain adalah lemak nabati, bahan pengikat dan pengisi, bumbu-bumbu, garam, Sodium Tripoliphospate

(STPP), karagenan, isolat protein kedelai, dan air es. Lemak nabati berperan dalam pembentukan emulsi bersama dengan air. Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan untuk membentuk tekstur yang padat dan dapat mengikat air. Bahan pengisi yang biasa digunakan adalah tepung (Anjarsari 2010).

Isolat protein kedelai adalah salah satu jenis bahan pengikat yang biasa digunakan dalam pembuatan produk olahan daging sapi. Selain untuk memperkaya kandungan protein (Cengiz dan Gokoglu 2005), isolat protein kedelai sering digunakan untuk beberapa tujuan yaitu meningkatkan penampakan, tekstur, dan juiceness produk olahan daging sapi.

Bumbu-bumbu yang digunakan berperan dalam meningkatkan flavor produk olahan daging sapi (Essien 2003). Fosfat berperan untuk meningkatkan water holding capacity (Kuo-Wei Lin dan Shu-Ni Lin 2002). Karagenan berperan sebagai penstabil, bahan pengikat, dan pembentuk gel (Sinurat et al. 2007). Penelitian yang dilakukan Ruusunen et al. (2003) menunjukkan bahwa penambahan karagenan dan garam dapat menurunkan kekerasan tekstur produk olahan daging sapi. Menurut Pietrasik dan Jarmolouk (2003), penambahan karagenan dapat meningkatkan kekompakan matriks gel dan mengurangi struktur berongga.

Fortifikasi

(18)

tersebut yang sedikit dalam makanan (Buzina 1988). Menurut Lotfi et al. (1996), ada dua jenis fortifikasi, yaitu: single fortification (penambahan satu jenis zat gizi mikro ke dalam bahan pangan) dan multiple fortification (penambahan dua atau lebih zat gizi mikro ke dalam bahan pangan).

Beberapa pertimbangan dalam memilih zat gizi fortifikan, yaitu: bioavalabilitas zat gizi fortifikan, reaktivitas fortifikan (kemampuan dalam mengubah warna, flavor, penampakan, dan katalisator bagi reaksi lain yang tidak diinginkan), harga fortifikan, dan toksisitas fortifikan dalam tubuh manusia. Bioavailabilitas menunjukkan seberapa besar suatu zat gizi mampu diserap. Kriteria bioavailabilitas suatu zat gizi adalah: (1) zat gizi harus ada dalam bentuk yang mudah ditransportasi melalui mukosa usus atau dapat dicerna menjadi bentuk yang mudah ditransportasi melalui mukosa usus; (2) Bentuk yang terserap harus dapat terlibat dalam proses metabolisme (Lotfi et al. 1996)

Fortifikasi Kalsium

Bentuk sediaan kalsium yang biasa ditambahkan ke dalam makanan adalah kalsium laktat, kalsium sitrat, kalsium klorida, kalsium fosfat, dan kalsium glukonat. Penggunaan bentuk-bentuk kalsium tersebut sebagai fortifikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah bioavailabilitas, kelarutan, pengaruhnya terhadap flavor, interaksinya dengan ingredien lain dalam bahan pangan (Caceres et al. 2006).

Kalsium laktat dan kalsium sitrat mempunyai daya serap yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30%. Selain itu, bentuk garam kalsium sitrat dan kalsium laktat mempunyai tingkat kelarutan yang tinggi sehingga dapat menyatu dengan bahan pangan. Daengprok et al. (2002) melakukan penelitian tentang fortifikasi kalsium laktat komersial dan kalsium laktat dari cangkang telur pada sosis fermentasi daging babi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penambahan kalsium laktat cenderung meningkatkan pH sosis dan meningkatkan tingkat kecerahan warna sosis. Uji sensori secara keseluruhan menunjukkan bahwa sosis yang difortifikasi dengan kalsium laktat dapat diterima dengan baik oleh panelis.

Caceres et al. (2006) melakukan penelitian tentang fortifikasi kalsium pada sosis sapi masak. Fortifikan kalsium yang digunakan adalah kalsium sitrat, kalsium laktat, dan kalsium glukonat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fortifikasi kalsium tidak berpengaruh pada warna, aroma, dan flavor sosis. Namun, penambahan garam kalsium cenderung mempengaruhi tekstur sosis karena garam kalsium dapat menurunkan WHC (Water Holding Capacity).

Fortifikasi Tokoferol

(19)

melindungi molekul dari oksidasi (Decker dan Park 2010). Beberapa penelitian yang terkait dengan penambahan tokoferol antara lain adalah penelitian yang dilakukan Sullivan et al. (2002) tentang suplementasi tokoferol pada pakan babi yang kemudian dilakukan uji sensori terhadap warna daging babi segar. Penelitian yang dilakukan Fang Liu et al. (2010) adalah penambahan tokoferol pada produk

beef patties.

Penyerapan, Metabolisme, dan Ekskresi Kalsium

Jumlah kalsium yang diserap dari makanan tergantung pada : 1) proporsi relatif dari zat pengkelasi; 2) tingkat stimulasi vitamin D aktif terhadap alat-alat penyerap dalam mukosa intestin yang menentukan jumlah kalsium yang akan diambil. Hanya 30-50% kalsium dari makanan biasa diserap. Jumlah kalsium yang diekskresi dalam urin merupakan refleksi sejumlah kalsium yang berasal dari diet bukan menunjukkan total kalsium. Kalsium yang keluar dan masuk ke dalam saluran pencernaan diperkirakan sama dan hanya sedikit yang dapat diserap kembali (Linder 2006).

Kalsium dapat dapat berasal dari bahan pangan maupun dari dietary supplement. Absorpsi kalsium diawali dengan adanya ikatan kalsium dengan protein calbindin 9K. Protein tersebut berperan dalam transpor kalsium menuju sel tubuh. Penyerapan kalsium melalui sitoplasma usus, dimana di tempat tersebut kalsium berikatan dengan calbindin 9K. Kalsium juga berikatan dengan protein lain, yaitu calmodulin. Baik calbindin maupun calmodulin membantu transportasi kalsium melewati sitosol menuju membran. Kemudian ATPase memompa kalsium melewati membran menuju peredaran darah. Proses absorpsi kalsium ini adalah proses yang membutuhkan energi. Absorpsi kalsium yang lain adalah proses pasif yang tidak membutuhkan energi. Proses ini terjadi di jejunum dan ileum. Dalam proses pasif ini, konsentrasi kalsium di lumen usus lebih tinggi dibandingkan konsentrasi kalsium intraseluler sehingga terjadi perbedaan gradient (Gropper et al. 2009).

Penyerapan, Penyimpanan, dan Ekskresi Tokoferol

Di lumen usus, enzim pancreatic esterase dan duodenal mucosal esterase

menghidrolisis tokotrienol dan α-tokoferol untuk kemudian diabsorpsi. Tokoferol diabsorpsi di jejunum secara difusi pasif. Garam-garam empedu diperlukan untuk membentuk emulsifikasi dan meningkatkan kelarutan sehingga memudahkan tokoferol untuk berdifusi melewati membran enterocyte.

(20)

Interaksi Kalsium dan Tokoferol

Defisiensi kalsium dapat menurunkan Bone Mineral Density (BMD). Bone Mineral Density adalah jumlah (kandungan) mineral dalam tulang. Asupan tokoferol sebagai antioksidan juga dapat menyebabkan peningkatan BMD. Aktivitas tokoferol sebagai penangkal radikal bebas dapat mengurangi stres oksidatif sehingga dapat mencegah penurunan massa tulang (Wolf et al. 2005). Tokoferol dapat melawan peroksidasi lipid seluler di sel tulang. Suatu studi menunjukkan bahwa pada wanita yang menderita osteoporosis, konsentrasi tokoferol dalam plasma darahnya rendah (Maggio et al. 2003). Menurut penelitian Melhus et al. (1999), asupan tokoferol yang rendah cenderung menyebabkan patah pada bagian pinggang.

Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein

Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh. Terdapat dua faktor yang menentukan nilai gizi suatu protein, yaitu daya cerna dan kandungan asam amino esensialnya. Daya cerna menentukan ketersediaan asam-asam amino secara biologis atau dapat/tidaknya zat gizi tersebut digunakan oleh tubuh (Muchtadi 2010).

Terdapat dua macam metode evaluasi nilai gizi protein, yaitu metode in vitro (secara kimia, enzimatis, mikrobiologis) dan metode in vivo (secara biologis menggunakan hewan percobaan atau manusia). Metode biologis untuk evaluasi nilai gizi protein pada umumnya menggunakan tikus putih, mencit, hewan lain (kera ekor panjang) atau bahkan manusia. Parameter yang ditetapkan dalam evaluasi nilai gizi protein secara biologis antara lain PER (protein efficiency ratio), DC (daya cerna), BV (biological value), dan NPU (net protein utilization).

3 METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai Maret 2013. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan, Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Hewan Percobaan SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap pertama yaitu daging sapi beku dari Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan IPB, kemasan

(21)

pengikat (isolat protein kedelai), karagenan, air es, lemak nabati (minyak sawit), fortifikan calcium citrate, fortifikan dl-α-tocopheryl acetate serta bahan-bahan kimia untuk keperluan analisa kimia. Alat-alat yang digunakan pada penelitian tahap pertama adalah alat penggiling (food processor), penggiling daging, alat vakum, sealer, autoklaf, termometer, timbangan, wadah plastik (baskom), neraca analitik, spektrofotometer, chromameter, texture analyzer, oven, buret, dan peralatan gelas untuk analisis kimia.

Bahan-bahan yang diperlukan untuk penelitian tahap kedua antara lain adalah hewan percobaan dan bahan penyusun ransum. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus strain Sprague-Dawley berjenis kelamin jantan dan berusia 21-28 hari. Bahan penyusun ransum standar terdiri dari selulosa sebagai sumber serat, minyak jagung sebagai sumber lemak, kasein sebagai sumber protein, campuran mineral, campuran vitamin, dan pati jagung sebagai sumber pati. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian tahap kedua adalah timbangan analitik, drum dryer, ayakan 60 mesh, cawan aluminium, cawan porselen, mortar, oven, tanur, desikator, alat untuk membuat ransum, alat pemeliharaan tikus (kandang metabolik, wadah ransum, botol air minum, timbangan), peralatan bedah, spektrofotometer, AAS (spektrofotometer absorpsi atom), alat-alat gelas untuk keperluan analisis kimia.

Tahapan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama adalah formulasi produk emulsi daging sapi steril untuk menemukan formula produk emulsi daging sapi steril non-fortifikasi (PEDSNF) dan formula produk emulsi daging sapi steril fortifikasi (PEDSF) yang terbaik. Tahap kedua adalah uji biovailabilitas kalsium, MDA, dan nilai biologis protein secara in vivo.

Tahap Pertama

Tahap pertama adalah formulasi produk emulsi daging sapi steril yang difortifikasi kalsium dan tokoferol. Pembuatan PEDSF diawali dengan mempersiapkan daging sapi yang akan digunakan. Daging sapi dibersihkan dan kemudian dilakukan thawing. Daging sapi selanjutnya digiling menggunakan penggiling daging (meat grinder) untuk memotong serat-serat daging sapi. Setelah itu, dilakukan proses mixing dan chopping. Daging sapi yang telah digiling kemudian dicampur dengan STPP, MSG, garam, fortifikan kalsium sitrat serta diaduk menggunakan food proccessor. Proses pencampuran yang kedua adalah penambahan isolat protein kedelai, lemak nabati, dan air es yang kemudian diaduk menggunakan food proccessor. Proses ini dilakukan sampai suhu mencapai 110C untuk mencegah pecahnya sistem emulsi. Kemudian dimasukkan bumbu-bumbu, gula, karagenan, fortifikan tokoferol asetat, asam askorbat ke dalam adonan serta diaduk menggunakan food proccessor. Proses terakhir adalah pencampuran tepung tapioka ke dalam adonan dan kemudian diaduk menggunakan food proccessor.

(22)

dalam autoklaf pada suhu 1210C selama ± 15 menit (Cengiz dan Gokoglu 2005; Essien 2003; Hoogenkamp 2005 yang telah dimodifikasi).

Penentuan formula PEDSF terbaik dilakukan dengan uji organoleptik yaitu uji rating dan ranking hedonik. Pengujian selanjutnya yang dilakukan terhadap PEDSF terbaik yaitu meliputi uji sifat fisik (tekstur dan warna), uji kimia (kadar air, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, dan tokoferol), dan uji in vivo.

Tahap Kedua

Persiapan sampel

Sampel yang digunakan dalam uji in vivo ini meliputi sampel standar dan sampel uji. Sampel standar berupa kasein, sedangkan sampel uji berupa PEDSNF dan PEDSF. Agar sampel dapat dijadikan bahan penyusun ransum tikus percobaan, maka sampel-sampel tersebut harus dalam bentuk tepung. Dari sampel-sampel tersebut, terdapat dua sampel yang masih dalam bentuk selain tepung, yaitu PEDSNF dan PEDSF.

Kedua sampel tersebut, pertama-tama direduksi ukurannya menggunakan

food processor. Setelah direduksi ukurannya, kemudian sampel dibuat tepung dengan cara dikeringkan menggunakan drum dryer pada suhu ±700C. Setelah diperoleh bentuk lembaran tipis, kemudian digiling menggunakan disc mill

sehingga diperoleh sampel dalam bentuk tepung.

Sampel penyusun ransum tersebut dianalisis proksimat terlebih dahulu untuk kepentingan perhitungan komposisi ransum. Selama menunggu waktu analisis dan pemakaian sampel untuk pembuatan ransum, semua sampel dikemas dengan baik dalam kantong plastik polietilen, kemudian disimpan di dalam refrigerator. Hal ini bertujuan untuk menghindari kerusakan secara kimia, fisik, atau mikrobiologis.

Persiapan ransum

(23)

Pengelolaan tikus percobaan

Selama percobaan, tikus ditempatkan di dalam kandang metabolik yang terbuat dari stainless steel berlubang-lubang. Kandang berlokasi pada ruangan dengan suhu optimum 22-240C, kelembaban udara 50-60%, ventilasi yang cukup, serta bebas dari kebisingan, asap industri, dan polutan lainnya (Muchtadi 2010).

Pemeliharaan tikus percobaan diawali dengan proses adaptasi. Masa adaptasi tikus dilakukan selama lima hari. Selama masa adaptasi, semua tikus percobaan diberikan ransum protein kasein secara ad libitum. Semua tikus diberikan ransum sebanyak 10 gram pada hari pertama dan kedua masa adaptasi, sebanyak 15 gram pada hari ketiga dan keempat masa adaptasi serta sebanyak 20 gram pada hari kelima masa adaptasi.

Seleksi dan klasifikasi

Setelah melewati masa adaptasi, seleksi terhadap tikus percobaan dilakukan untuk mengetahui kondisi kesehatan tikus percobaan. Sekaligus dilakukan klasifikasi terhadap sejumlah 16 ekor tikus percobaan tersebut ke dalam empat kelompok perlakuan berdasarkan berat badan tikus. Klasifikasi tersebut dibedakan dengan perlakuan pemberian ransum protein (Tabel 1). Variasi berat badan antar tikus dalam satu kelompok tidak melebihi 10 gram dan variasi rataan berat badan antar kelompok tikus tidak melebihi 5 gram (Muchtadi 2010).

Tabel 1 Kelompok perlakuan tikus percobaan

Kelompok Tikus (4 ekor) Ransum Perlakuan

Kelompok A Ransum PEDSF

Kelompok B Ransum PEDSNF

Kelompok E Ransum protein kasein (standar)

Kelompok F Ransum non-protein

Masa percobaan

Percobaan dilakukan selama 28 hari. Pengamatan yang dilakukan meliputi perhitungan jumlah ransum yang dikonsumsi per hari dan penimbangan berat badan per dua hari. Ransum diberikan secara ad libitum, begitu juga keperluan minumnya. Selama masa percobaan, jumlah ransum yang diberikan ditingkatkan menjadi 20 gram pada hari ke-1 sampai hari ke-17 masa percobaan. Kemudian dinaikkan lagi menjadi 22 gram dari hari ke-18 hingga hari ke-28 masa percobaan dikarenakan nafsu makan tikus yang agak meningkat.

Pengumpulan feses dan urin

(24)

ditampung di dalam botol yang diberi ± 1 ml larutan H2SO4 5 % untuk mencegah

penguapan amoniak. Urin dan feses dikumpulkan terpisah untuk masing-masing tikus kemudian disimpan dalam refrigerator sambil menunggu akhir percobaan. Pengumpulan feses dan urin untuk keperluan perhitungan daya serap dan retensi kalsium dilakukan selama tujuh hari terakhir dan dilakukan setiap hari.

Pada akhir percobaan, dilakukan analisis kadar nitrogen menggunakan metode Kjeldahl serta analisis kadar kalsium dalam urin dan feses. Sejumlah feses yang akan dianalisis dikeringkan dalam oven dan digerus terlebih dahulu. Sementara itu, sejumlah urin yang akan dianalisis tidak dilakukan perlakuan sebelumnya. Untuk memperoleh jumlah nitrogen dari feses dan urin,maka perlu diketahui bobot feses kering dan volume urin sebelum analisis dilakukan. Jumlah nitrogen feses dan urin diperoleh dengan mengalikan angka kadar nitrogen feses dan urin dengan bobot feses dan volume urin.

Perlakuan dan Rancangan Percobaan

Penelitian tahap pertama terdiri dari 2 perlakuan, yaitu PEDSNF dan PEDSF. Masing-masing perlakuan dilakukan dua ulangan. Penelitian tahap kedua terdiri dari empat perlakuan, yaitu :

1. Kelompok ransum PEDSF, 4 ulangan 2. Kelompok ransum PEDSNF, 4 ulangan 3. Kelompok ransum kasein, 4 ulangan 4. Kelompok ransum non-protein, 4 ulangan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap pertama adalah Rancangan Acak Lengkap dengan dua kali ulangan. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap kedua adalah Rancangan Acak Lengkap dengan empat ulangan. Adapun model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut.

Yij = µ + πi+ ∑ij

Yij = nilai parameter pengamatan dari perlakuan ke-i, ulangan ke-j µ = nilai tengah populasi (rata-rata yang sesungguhnya)

πi = pengaruh perlakuan ke-i

∑ij = pengaruh kesalahan percobaan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j

Analisis Data

Data yang diperoleh dari masing-masing parameter yang diukur, diolah menggunakan program SPSS 17.0. Data tersebut dianalisa dengan analisa keragaman (ANOVA) dan uji t-test. Hasil yang signifikan berdasarkan analisa keragaman (ANOVA) dilakukan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95% untuk mengetahui perlakuan-perlakuan mana yang berbeda nyata. Khusus untuk data uji ranking hedonik dianalisa menggunakan friedman rank test dan untuk mengetahui perlakuan-perlakuan mana yang berbeda nyata, dilakukan uji lanjut

(25)

Metode Analisis

Uji Fisik

Tekstur

Pengukuran tekstur dilakukan menggunakan Texture Analyzer. Alat ini menggunakan probe 35 mm, pre test speed 2 mm/s, test speed 2 mm/s, post test 2 mm/s, dan strain 75%. Sampel diletakkan di bawah probe, pena bergerak membawa probe dan memasuki sampel. Selama proses penusukan tersebut pada chart paper akan menghasilkan grafik dengan ketinggian peak tertentu.

Warna

Pengukuran dilakukan menggunakan Chromameter type CR-300. Sampel diukur pada dua titik yang berbeda. Pengukuran warna dilakukan untuk mendapatkan nilai kecerahan (L) dan kemerahan atau kebiruan (a). Nilai L menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (hitam)-100 (putih). Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah dan hijau dengan 0-100 untuk merah dan 0-(-80) untuk warna hijau.

Uji Kimia

Kadar air (AOAC 1995)

Kadar air ditentukan secara langsung menggunakan oven bersuhu 1000C. Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, dan selanjutnya ditimbang. Sejumlah sampel disimpan pada cawan tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 6 jam. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh bobot yang konstan. Berikut rumus menghitung kadar air:

Kadar air (%) = a-b x 100 % c

dimana: a = berat cawan dan sampel awal (g) b = berat cawan dan sampel kering (g)

c = berat sampel awal (g)

Kadar protein (AOAC 1995)

Sampel sebanyak 100-250 mg dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO dan 3.8±0.1 ml H2SO4 pekat

serta tambahkan batu didih. Sampel didestruksi sampai berwarna jernih. Setelah dingin, isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml, kemudian ditambahkan 8-10 ml campuran larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Labu tersebut disambungkan dengan alat destilasi dan

(26)

ml yang berisi larutan 5 ml H3BO3. Destilasi dilakukan sampai diperoleh volume

destilat sebanyak 15 ml. Destilat dalam labu Erlenmeyer dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai larutan berubah warna dari hijau menjadi biru. Indikator yang digunakan dalam titrasi ini adalah campuran dua bagian 0.2% metil merah dalam etanol dan satu bagian 0.2% metilen biru dalam etanol. Sebelum digunakan, HCl terlebih dahulu distandardisasi menggunakan NaOH dengan indikator fenolftalein. NaOH sebelumnya distandardisasi menggunakan larutan kaliumhidrogenftalat (KHP) dengan indikator fenolftalein. Kadar protein contoh dapat dihitung dengan persamaan:

Total Nitrogen (%) = (ml HCl contoh–ml HCl blanko)x[HCl]x0.014 x 100 %

gram sampel

Kadar protein (%) = Total Nitrogen (%) x Faktor konversi (6.25)

Kadar Lemak (AOAC 1995)

Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet

dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-1100C selama 15 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Sebanyak 5 g sampel dibungkus dengan kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas wol yang bebas lemak. Kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi Soxhlet, kemudian dipasang alat kondensor diatasnya dan labu lemak di bawahnya.

Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran yang digunakan. Selanjutnya dilakukan refluks minimum 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Kemudian labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap.

Kadar lemak (%) = Berat lemak (g) x 100 % Berat sampel (g)

Kadar Abu (AOAC 1995)

Cawan yang dipersiapkan untuk pengabuan contoh dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sejumlah sampel dengan bobot tertentu dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-6000C selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar abu (%) = berat abu x 100 % berat sampel

Kadar Karbohidrat by difference (Apriyantono et al. 1989)

(27)

Kadar Serat Kasar (AOAC 1995)

Sampel yang telah bebas lemak dengan metode Soxhlet sebanyak ±2 gram ditempatkan dalam labu Erlenmeyer 600 ml lalu ditambahkan 0.5 g asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes zat anti buih. Selanjutnya ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih kemudian direfluks selama 30 menit. Suspensi yang diperoleh

disaring menggunakan kertas saring dan residunya dicuci sampai tidak bersifat asam lagi. Residu kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu

Erlenmeyer lalu ditambah 200 ml NaOH dan direfluks kembali selama 30 menit sambil sesekali digoyang-goyangkan. Suspensi yang diperoleh disaring menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%, residunya dicuci dengan air mendidih dan alkohol 95% sebanyak

±15 ml. Kertas saring beserta isinya dikeringkan dalam oven 1100C sampai bobotnya konstan (1-2 jam), didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Kadar serat kasar dapat diperoleh dengan persamaan berikut:

Kadar serat kasar (%) = bobot residu x 100 % bobot sampel awal

Kadar Kalsium (Apriyantono et al. 1989)

Penetapan kadar kalsium dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode AAS. Pereaksi yang digunakan adalah H2SO4 pekat, HNO3 pekat, dan

HClO4, air demineralisasi, larutan stock standar (1000 mg/L) kalsium yang

diencerkan menggunakan air demineralisasi.

Persiapan sampel dilakukan dengan pengabuan basah menggunakan H2SO4

pekat, HNO3 pekat, dan HClO4. Pertama-tama sampel ditimbang tepat dan

dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Kemudian ditambahkan 4 ml asam perklorat, beberapa butir batu didih, dan HNO3 secukupnya. Ditambahkan juga H2SO4

sambil diaduk perlahan. Dipanaskan perlahan-lahan dengan api kecil selama 5-10 menit sampai timbul asap tebal. Hentikan pemanasan dan biarkan larutan menjadi dingin. Larutan kemudian dipanaskan lagi dengan api kecil selama 5-10 menit sampai timbul asap putih tebal. Besarkan api dan lanjutkan pemanasan selama 1-2 menit. Kemudian tambahkan 1-2 ml HNO3 dan panaskan. Kemudian larutan

didinginkan dan disaring menggunakan kertas saring Whatman. Kemudian diencerkan sampai volume 100 ml dengan menggunakan air demineralisasi. Hasil pengabuan basah ini selanjutnya siap dianalisis menggunakan AAS.

Kadar Tokoferol Total (Apriyantono et al. 1989)

Pereaksi yang digunakan dalam pengukuran kadar tokoferol total adalah larutan 2,2 bipiridin, pelarut toluen, larutan FeCl3.6H2O 0.2% dalam etanol 95%,

larutan 2,2 bipiridin 0.7% (b/v) dalam etanol 95%, dan larutan standar tokoferol.

Pembuatan kurva standar tokoferol. Sebanyak 50 mg tokoferol standar ditimbang dalam 50 ml larutan toluen. Kemudian dipipet 0.5, 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, 5.0 ml larutan tokoferol standar 40µg/ml ke dalam labu takar 10 ml. Kemudian ditambahkan 3.5 ml larutan 2,2 bipiridin 0.7% (b/v) dan 0.5 larutan FeCl3.6H2O

(28)

Analisis larutan sampel. Sebanyak 210 mg sampel ditimbang kemudian ditambahkan 5 ml toluena. Ditambahkan 3.5 ml larutan 2,2 bipiridin 0.7% (b/v) dan 0.5 larutan FeCl3.6H2O 0.2% (b/v). Tepatkan dengan etanol 95% sampai

volume total 10 ml. Diamkan 1 menit dalam ruang gelap. Kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm.

Total tokoferol (µg/g) = Konsentrasi tokoferol dari kurva standar (µg) Berat sampel (g)

Uji Organoleptik (Meilgaard et al. 1999)

Uji organoleptik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji rating ranking hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap warna, rasa, aroma, tekstur, juiceness serta uji ranking hedonik untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap penampakan produk secara umum (overall). Panelis yang digunakan sebanyak 30 panelis semi terlatih. Uji rating hedonik dilakukan menggunakan skala penilaian hedonik 1-7, dimana 1 = amat sangat tidak suka, 2 = sangat tidak suka, 3 = tidak suka, 4 = agak suka, 5 = suka, 6 = sangat suka, 7 = amat sangat suka. Uji ranking hedonik menggunakan skala penilaian 1-5, yaitu dari mutu tertinggi (paling disukai) sampai mutu terendah (paling tidak disukai).

Uji Nilai Biologis

Daya Serap dan Retensi Kalsium (Haiyan Gao et al. 2008)

Urin dan feses yang dikumpulkan selama 7 hari terakhir percobaan dianalisis kadar kalsiumnya menggunakan metode AAS. Ransum perlakuan uji (PODNF dan PODF) dan ransum perlakuan standar (kasein) juga dianalisis kadar kalsiumnya menggunakan metode AAS. Kadar kalsium yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam rumus perhitungan berikut.

Daya serap kalsium = Kalsiumintake– Kalsiumfeses X 100 % Kalsiumintake

Retensi kalsium = Kalsiumintake– Kalsiumfeses - Kalsiumurin X 100 % Kalsiumintake

Pengukuran Kadar MDA (Singh et al. 2002)

Pengambilan dan preparasi organ hati. Tikus yang telah dimatikan selanjutnya dibedah. Pada proses pembedahan, diambil organ hati untuk digunakan dalam analisis MDA dan SOD. Selanjutnya dilakukan preparasi sampel dari organ hati mengikuti metode Singh et al. (2002). Sebanyak 1.25 g hati dicacah dalam kondisi dingin dalam 5 ml larutan PBS (phosphate buffer saline) yang mengandung 11.5 g/L KCl. Homogenat yang dihasilkan kemudian disentrifugasi pada 1074 g (4000 rpm) hingga diperoleh supernatan jernih.

(29)

selama 1 jam. Setelah dingin, campuran disentrifugasi pada 822 g (3500 rpm) selama 10 menit. Absorbansi supernatan diukur pada 532 nm. Sebagai larutan standar digunakan TEP (tetraetoksipropana).

Penentuan Mutu Protein (Muchtadi 2010)

Beberapa parameter yang ingin diketahui pada penelitian ini adalah Feed Conversion Efficiency (FCE), Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein Ratio

(NPR), True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU).

Feed Conversion Efficiency

Penentuan nilai FCE yaitu dengan pengujian selama 28 hari. Nilai FCE diperlukan untuk semua kelompok tikus percobaan. Perhitungan FCE dilakukan menggunakan rumus berikut.

FCE (%) = Pertambahan berat badan (g) X 100 % Jumlah ransum yang dikonsumsi (g)

Protein Efficiency Ratio

Penentuan nilai PER yaitu dengan pengujian selama 28 hari, menggunakan kasein sebagai protein referensi. Perhitungan dilakukan untuk setiap ekor tikus dan nilai rata-rata dihitung untuk tiap grup. Perhitungan PER tidak berlaku untuk kelompok tikus non-protein. Perhitungan PER dilakukan menggunakan rumus berikut.

PER = pertambahan berat badan (g) jumlah protein yang dikonsumsi (g) Nilai PER yang diperoleh dari percobaan dikoreksi sebagai berikut.

PER sampel terkoreksi = PER sampel X 2.5 PER kasein

Net Protein Ratio

Perhitungan nilai NPR dilakukan sama seperti persyaratan PER. Akan tetapi, NPR memerlukan waktu percobaan selama 10 hari dan diikutsertakan satu grup tikus yang diberi ransum non-protein untuk memperhitungkan jumlah protein yang digunakan untuk pemeliharaan tubuh. Penurunan berat badan tikus grup non-protein diperlukan dalam perhitungan ini. Penurunan berat badan dihitung sebagai rata-rata dari grup tikus non-protein. NPR dihitung untuk tiap ekor tikus dan nilainya dirata-ratakan untuk tiap grup. NPR dihitung berdasarkan rumus berikut.

NPR =

pertambahan berat badan tikus grup protein uji +

(30)

True Digestibility, Biological Value, dan Net Protein Utilization

Penetapan nilai TD, BV, dan NPU memerlukan data feses dan urin masing-masing tikus percobaan selama percobaan berlangsung 10 hari. Berikut rumus untuk menentukan nilai-nilai tersebut.

TD (%) = N yang dikonsumsi – (N feses – N metabolik) X 100

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Kualitas Sensori PEDSF

Produk emulsi daging sapi steril pada penelitian ini dibuat dengan bahan dasar daging sapi dicampur dengan garam, MSG, STPP, isolat protein kedelai sebagai bahan pengikat, lemak nabati, air es, bumbu-bumbu, gula, karagenan, dan tepung tapioka sebagai bahan pengisi. Formula dasar produk yang tidak ditambahkan fortifikan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Formula dasar produk emulsi daging sapi steril (PEDSNF)

Bahan Jumlah (%)

Isolat protein kedelai 2.00(a)

(31)

yang berbeda-beda pada formula dasar produk emulsi daging sapi steril (Tabel 2). Penentuan formula PEDSF yang terbaik dilakukan melalui uji rating dan ranking hedonik. Uji rating hedonik bertujuan untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap atribut mutu yang ditetapkan yaitu warna, aroma, rasa, juiceness, dan tekstur. Uji ranking hedonik bertujuan untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan produk secara keseluruhan (overall). Uji rating hedonik menggunakan tujuh skala yaitu 1 = amat sangat tidak suka, 2 = sangat tidak suka, 3 = tidak suka, 4 = agak suka, 5 = suka, 6 = sangat suka, 7 = amat sangat suka. Uji ranking hedonik menggunakan skala 1 = paling disukai hingga skala 5 = paling tidak disukai. Sampel yang diujikan adalah sebagai berikut.

1. Sampel PEDSNF (tanpa penambahan fortifikan α-tocopheryl acetate dan

Calcium citrate)

2. Sampel PEDSF 1 (α-tocopheryl acetate 300 ppm + Calcium citrate 2650 ppm) 3. Sampel PEDSF 2 (α-tocopheryl acetate 1000 ppm + Calcium citrate 2650 ppm) 4. Sampel PEDSF 3 (α-tocopheryl acetate 300 ppm + Calcium citrate 3250 ppm) 5. Sampel PEDSF 4 (α-tocopheryl acetate 1000 ppm + Calcium citrate 3250 ppm)

Hasil analisis sidik ragam seperti tersaji pada Lampiran 1a menunjukkan bahwa parameter warna, aroma, rasa, juiceness, dan tekstur pada sampel PEDSNF, PEDSF 1, PEDSF 2, PEDSF 3, dan PEDSF 4 tidak berbeda nyata (p>0.05). Lebih lanjut pada pengujian rataan ranking (friedman test) seperti tersaji pada Lampiran 1b diperoleh hasil bahwa penampakan produk secara keseluruhan pada sampel PEDSNF, PEDSF 1, PEDSF 2, PEDSF 3, dan PEDSF 4 berbeda sangat nyata (p<0.01). Uji lanjut duncan menunjukkan bahwa penerimaan panelis terhadap penampakan sampel PEDSF 1, PEDSF 2, PEDSF 3, dan PEDSF 4 secara keseluruhan tidak berbeda nyata dengan PEDSNF. Penerimaan panelis terhadap penampakan keseluruhan sampel PEDSF 1 tidak berbeda nyata dengan PEDSF 2 dan PEDSF 4, tetapi berbeda nyata dengan PEDSF 3. Penerimaan panelis terhadap penampakan keseluruhan sampel PEDSF 3 tidak berbeda nyata dengan PEDSF 4, tetapi berbeda nyata dengan PEDSF 1 dan PEDSF 2 (Gambar 1).

2.7ab

PEDSNF PEDSF 1 PEDSF 2 PEDSF 3 PEDSF 4

(32)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan kalsium dan tokoferol tidak menurunkan penerimaan panelis terhadap atribut mutu warna, aroma, rasa,

juiceness, tekstur, dan penampakan produk secara keseluruhan. Sejalan dengan penelitian Daengprok et al. (2002) yang menunjukkan bahwa penambahan fortifikan kalsium 1.5-4.5 gram/kg tidak menurunkan kualitas sensori produk sosis. Penelitian Caceres et al. (2006) yang menunjukkan bahwa penambahan fortifikan kalsium sampai 14 gram/kg pada produk sosis sapi masak tidak menurunkan kualitas sensori produk.

Penentuan Formula PEDSF Terbaik

Penentuan formula PEDSF diawali dengan menentukan atribut-atribut yang paling dominan pengaruhnya terhadap penerimaan panelis. Menurut Apriyantono

et al. (2010), penentuan atribut-atribut yan paling dominan dilakukan melalui analisis Principal Component Analysis (PCA). Analisis PCA dilakukan dengan cara menjumlahkan skor atribut warna, aroma, rasa, juiceness, dan tekstur pada uji rating hedonik. Jumlah skor atribut-atribut tersebut dianalisis Dimension Reduction Factor menggunakan program SPS 17.0, kemudian pada menu

extraction dipilih metode Principal Component. Hasil analisis PCA, seperti tersaji pada Lampiran 1c menunjukkan bahwa terbentuk dua komponen yang mempunyai eigenvalues lebih dari 1. Pada rotated component matrix, atribut yang termasuk komponen pertama adalah rasa, juiceness, dan tekstur. Atribut yang termasuk komponen kedua adalah warna dan aroma. Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa komponen pertama mempunyai persentase varians yang paling besar yaitu 68.2%. Persentase varians ini menunjukkan bahwa atribut-atribut mutu pada komponen pertama (rasa, juiceness, dan tekstur) adalah atribut-atribut mutu yang paling dominan pengaruhnya terhadap penerimaan panelis.

Parameter yang dapat mempengaruhi rasa, juiceness, dan tekstur produk adalah nilai pH. Menurut Heinz dan Hautzinger (2007), nilai pH adonan 5.2-5.8 menyebabkan penurunan tekstur dan flavor produk. Nilai pH adonan lebih dari 6.0 adalah nilai pH yang dapat menghasilkan tekstur dan flavor produk yang baik. Nilai pH adonan yang tinggi dapat meningkatkan Water Holding Capacity (WHC) produk. Hasil pengamatan nilai pH menunjukkan bahwa sampel PEDSF 3 mempunyai nilai pH yang paling tinggi (6.19) dibandingkan nilai pH PEDSF 1 (5.90), PEDSF 2 (5.84), dan PEDSF 4 (6.00). Oleh karena itu, PEDSF 3 dipilih sebagai PEDSF yang terbaik karena memiliki nilai pH yang lebih dari 6.0 sehingga menyebabkan rasa, juiceness, dan teksturnya paling baik dibandingkan sampel PEDSF lainnya.

Analisis Sifat Fisik Produk

Analisis Warna PEDSNF dan PEDSF

(33)

dan b PEDSNF dan PEDSF berbeda sangat nyata (p<0.01). PEDSF mempunyai nilai L (58.7) yang lebih tinggi dibandingkan PEDSNF. PEDSF juga mempunyai nilai a (derajat kemerahan) yang lebih tinggi dibandingkan PEDSNF yaitu 6.3. Namun, PEDSF mempunyai nilai b (derajat kekuningan) yang lebih rendah dibandingkan PEDSNF yaitu 16.4 (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil analisis warna produk emulsi daging sapi steril

Sampel L a B

PEDSNF 58.1±1.8 6.0±0.7 17.8±1.0

PEDSF 58.7±2.3 6.3±0.2 16.4±0.2

Hasil penelitian menunjukkan penambahan fortifikan menyebabkan peningkatan kecerahan warna produk emulsi daging sapi steril. Penambahan kalsium diduga dapat meningkatkan kecerahan warna produk emulsi daging sapi steril. Warna putih garam kalsium dapat memodifikasi tingkat kecerahan produk (Caceres et al. 2006). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Daengprok et al. (2002) yang menunjukkan bahwa tingkat kecerahan sosis daging babi meningkat setelah ditambahkan fortifikan kalsium laktat. Peningkatan tingkat kecerahan produk juga diduga dapat disebabkan oleh penambahan tokoferol. Sejalan dengan penelitian Fang Liu et al. (2010) menunjukkan bahwa nilai L produk beef patties yang ditambahkan tokoferol lebih tinggi dibandingkan kontrol, yaitu 45.09.

Tingginya nilai a pada PEDSF dimungkinkan karena penambahan tokoferol. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fang Liu et al. (2010) yang menunjukkan bahwa produk beef patties yang ditambahkan tokoferol mempunyai nilai a yang tinggi. Penelitian yang dilakukan McCarthy et al. (2001) tentang penambahan tokoferol pada produk pork patties mentah dan masak, hasilnya juga menunjukkan bahwa nilai a pada produk yang ditambahkan tokoferol lebih tinggi dibandingkan kontrol.

Analisis Tingkat Kekerasan PEDSNF dan PEDSF

Kekerasan pada penelitian ini dinyatakan dalam besarnya gaya (force) yang dikeluarkan untuk menekan atau memotong produk. Rekapitulasi data hasil analisis tingkat kekerasan disajikan pada Lampiran 3a. Hasil uji t-test (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa nilai force PEDSF dan PEDSNF berbeda nyata (p<0.05). Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai force PEDSF lebih rendah dibandingkan PEDSNF. Hal ini menandakan bahwa PEDSF mempunyai tingkat kekerasan yang lebih rendah dibandingkan PEDSNF.

Tabel 4 Hasil analisis tingkat kekerasan produk emulsi daging sapi steril

Sampel Force (g) Waktu (s)

PEDSNF 9502.2±399.9 7.6±0.0

(34)

Penurunan force pada PEDSF dimungkinkan karena penambahan kalsium. Penelitian yang dilakukan Daengprok et al. (2002) menunjukkan bahwa penambahan kalsium pada sosis daging babi mengganggu interaksi protein-protein dan menurunkan kelarutan protein-protein sehingga mengakibatkan penurunan

shear force produk. Ikatan kovalen kalsium dengan muatan negatif protein dapat menyebabkan terbentuknya gel sehingga menyebabkan tekstur produk menjadi tidak terlalu keras (Fennema 1996).

Analisis Komposisi Kimia Produk

Analisis Kadar Kalsium PEDSNF dan PEDSF

Kalsium adalah salah satu zat gizi yang penting bagi manusia karena perannya dalam fungsi fisiologis dan reaksi enzimatis dalam tubuh manusia. Produk olahan daging sapi mengandung kalsium dalam jumlah kecil. Untuk meningkatkan asupan kalsium dari produk olahan daging sapi, maka diperlukan pengkayaan atau penambahan zat gizi kalsium dalam produk olahan daging sapi (Ruusunen dan Poulane 2005). Pada penelitian ini dilakukan penambahan fortifikan berupa kalsium sitrat ke dalam produk olahan daging sapi. Menurut (Caceres et al. 2006), kalsium sitrat adalah salah satu bentuk kalsium yang dapat digunakan untuk memperkaya kalsium dalam produk olahan daging sapi. Bentuk garam kalsium sitrat mempunyai kelarutan dan daya serap yang tinggi (sekitar 30%).

Tabel 5 Hasil analisis kadar kalsium produk emulsi daging sapi steril

Sampel Kadar Kalsium (ppm)

PEDSNF 250.0±70.7

PEDSF 842.0±14.1

Rekapitulasi data hasil analisis kalsium disajikan pada Lampiran 4a. Hasil analisis dengan uji t-test (Lampiran 4b) menunjukkan bahwa kadar kalsium PEDSF dan PEDSNF berbeda nyata (p<0.05). Kadar kalsium produk emulsi daging sapi steril setelah ditambahkan kalsium sitrat meningkat dari 250 ppm menjadi 842 ppm (Tabel 5). Sejalan dengan penelitian Caceres et al. (2006) yang menunjukkan bahwa penambahan kalsium sebesar 14 gram/kg pada sosis masak menyebabkan peningkatan kadar kalsium produk sekitar 90%. Penelitian Selgas et al. (2009) juga menunjukkan bahwa penambahan 4.5 gram/kg kalsium ke dalam adonan sosis fermentasi menghasilkan kandungan kalsium dalam sosis fermentasi sebesar 198 mg/100 gram produk.

Analisis Kadar Tokoferol PEDSNF dan PEDSF

(35)

Hasil analisis dengan uji t-test (Lampiran 5b) menunjukkan kadar tokoferol total PEDSF dan PEDSNF berbeda sangat nyata (p<0.01). Kadar tokoferol total produk emulsi daging sapi steril setelah ditambahkan α-tocopheryl acetate meningkat dari 80.1 mg/kg menjadi 124.2 mg/kg (Tabel 6).

Tabel 6 Hasil analisis kadar tokoferol total produk emulsi daging sapi steril

Sampel Kadar Tokoferol total (mg/kg)

PEDSF 124.2±20.5

PEDSNF 80.1±3.5

Antioksidan sering ditambahkan ke dalam produk olahan daging sapi, salah satunya adalah dalam bentuk tokoferol. Beberapa studi yang terkait dengan penambahan antioksidan termasuk tokoferol pada produk olahan daging sapi antara lain adalah penelitian yang dilakukan Fang Liu et al. (2010), yaitu menambahkan tokoferol ke dalam produk beef patties. Penelitian Lee et al. (2005), yang melakukan penambahan tokoferol pada produk ground beef patties. Penelitian yang dilakukan oleh Forell et al. (2010), tentang fortifikasi antioksidan berupa fitosterol pada beef burger.

Analisis Proksimat PEDSNF dan PEDSF

Rekapitulasi data hasil analisis proksimat PEDSNF dan PEDSF dapat dilihat pada Lampiran 6a. Hasil uji t-test (Lampiran 6b) menunjukkan bahwa kadar air, lemak, protein, dan karbohidrat PEDSNF dan PEDSF berbeda sangat nyata (p<0.01). Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar air, kadar lemak, dan kadar protein PEDSF lebih rendah dibandingkan PEDSNF. Kadar karbohidrat PEDSF lebih tinggi dibandingkan PEDSNF. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Caceres et al. (2006) yang menunjukkan bahwa kadar protein dan kadar lemak produk olahan daging berupa sosis sapi masak yang difortifikasi kalsium mengalami penurunan, sedangkan kadar karbohidrat produk meningkat.

Analisis Proksimat Bahan Penyusun Ransum Tikus Percobaan

(36)

Tabel 8 Hasil analisis proksimat bahan penyusun ransum tikus percobaan

Terdapat tiga hal mencolok yang berdasarkan data pada Tabel 8. Pertama, kasein mempunyai kadar protein yang jauh lebih tinggi dibandingkan tepung PEDSF dan PEDSNF. Sekitar 80% kandungan protein dalam susu sapi ada dalam bentuk kasein (Sindayikengera dan Wen-shui Xia 2006). Kedua, kadar lemak kasein jauh lebih rendah dibandingkan tepung PEDSF dan PEDSNF. Bahan dasar utama tepung PEDSF dan PEDSNF adalah daging sapi. Daging sapi merupakan komoditi yang memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi. Ketiga, kadar serat kasar tepung PEDSF dan PEDSNF lebih tinggi dibandingkan kasein. Hal ini dimungkinkan karena adanya kandungan karagenan pada tepung PEDSF dan PEDSNF. Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang berasal dari rumput laut Euchema cottoni. Rumput laut Euchema cottoni mempunyai kadar serat pangan mencapai 65.07% yang terdiri dari 39.47% serat pangan yang tidak larut air dan 25.70% serat pangan yang larut air (Kurniawan et al. 2012).

Formulasi dan Analisis Proksimat Ransum Tikus Percobaan

Hasil analisis proksimat bahan penyusun ransum, kemudian dijadikan dasar untuk menyusun ransum yang mengacu pada standar AOAC. Perhitungan komposisi ransum dapat dilihat pada Lampiran 7a, 7b, 7c, dan 7d.

Tabel 9 Komposisi ransum (1 kg ransum) tikus percobaan Ransum

(37)

Tabel 10 Hasil analisis proksimat ransum perlakuan tikus percobaan standar AOAC (10%). Pada intinya, ransum tersebut sudah menunjukkan kondisi isoprotein. Namun, ransum kasein mempunyai kadar protein yang relatif jauh dengan standar AOAC. Hal ini dimungkinkan karena kadar protein kasein yang tinggi yaitu 82.1% sedangkan kadar lemaknya sangat rendah yaitu hanya 0.1%. Kadar serat kasar pada sejumlah ransum tersebut menunjukkan relatif dekat dengan standar AOAC yaitu 1% (Tabel 10). Data kadar lemak ransum PEDSF dan PEDSNF lebih tinggi dibandingkan standar AOAC (8%). Hal ini dikarenakan kadar lemak tepung PEDSF dan PEDSNF yang tinggi yaitu 19.1% dan 21.9%. Data pada Tabel 10 juga menunjukkan kadar air semua sampel ransum yang terlalu tinggi. Berdasarkan standar AOAC, kadar air ransum tikus percobaan seharusnya sebesar 5%. Hal ini dimungkinkan karena penyimpanan sampel ransum yang tidak tepat pada saat pra-analisis.

Perkembangan Berat Badan dan Feed Conversion Efficiency (FCE)

Hasil pengamatan rataan berat badan tikus selama masa percobaan disajikan pada Lampiran 9. Setiap kelompok tikus percobaan mempunyai profil perkembangan berat badan masing-masing. Kelompok tikus yang mengalami peningkatan berat badan paling tinggi yaitu kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum kasein, selanjutnya diikuti oleh kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum PEDSNF dan PEDSF. Sementara itu, kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum non-protein mengalami penurunan berat badan (Tabel 11).

(38)

Tabel 11 Perbandingan nilai FCE PEDSNF dan PEDSF pada tikus percobaan

Kelompok ∑ Ransum yang

dikonsumsi (g) (p<0.01) dengan uji jarak Duncan

Jumlah konsumsi ransum kelompok tikus yang diberikan perlakuan kasein relatif tidak terlalu berbeda dengan jumlah konsumsi ransum kelompok tikus yang diberikan perlakuan PEDSF dan PEDSNF sehingga nilai FCE ketiga kelompok perlakuan tersebut tidak berbeda. Konsumsi tikus percobaan terhadap ransum perlakuan yang diberikan dipengaruhi oleh kerja sistem saraf sensori yang dimilikinya. Tikus merupakan hewan yang mempunyai olfactory system yang dapat mempengaruhi perilaku tikus percobaan dalam menerima stimulus berupa ransum makanan (Munger et al. 2010). Tikus mempunyai Corticotropin Releasing Factor receptor (CRF2) yang disintesis di hipotalamus dan berperan

dalam pengaturan nafsu makan tikus (Kamdi et al. 2009).

Kelompok tikus yang diberikan ransum non-protein mengalami penurunan berat badan yang drastis. Hal ini disebabkan oleh jumlah konsumsi ransum kelompok non-protein sangat rendah. Kelompok tikus non-protein mengalami kekurangan asupan protein sehingga menyebabkan massa otot tidak bertambah. Jadi makanan yang dikonsumsi hanya berfungsi untuk mempertahankan hidup (Muchtadi 2010).

Protein Efficiency Ratio (PER) dan Net Protein Ratio (NPR)

(39)

Semua nilai PER sampel uji dilakukan koreksi dengan alasan sampel kasein yang dijadikan sebagai sampel protein standar pada penelitian ini bukan merupakan kasein ANRC (Animal Nutrition Research Council). Nilai PER terkoreksi PEDSF dan PEDSNF adalah sebesar 2.6.

Nilai NPR memecahkan masalah-masalah teoritis yang terdapat dalam metode PER. Dalam PER, semua protein yang dikonsumsi dianggap hanya digunakan untuk pertumbuhan. Padahal, protein yang dikonsumsi tersebut sebagian ada yang digunakan untuk pemeliharaan tubuh (Muchtadi 2010). Pada penentuan parameter NPR diperlukan data penurunan berat badan yang dihitung sebagai rata-rata dari grup tikus yang menerima ransum non-protein. NPR dihitung untuk tiap ekor tikus dan nilainya dirata-ratakan untuk tiap grup. Rekapitulasi data NPR disajikan pada Lampiran 14.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 15) menunjukkan bahwa nilai NPR kelompok tikus yang diberikan ransum kasein (1.5), PEDSF (1.4), dan PEDSNF (1.0) tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketersediaan protein pada ransum PEDSF, PEDSNF, dan kasein dapat digunakan untuk pemeliharaan tubuh. Jika dikaitkan antara nilai PER dan NPR, maka dapat dikatakan bahwa ketersediaan protein pada ransum PEDSF, PEDSNF, dan kasein tidak hanya baik untuk pertumbuhan. Namun, ketersediaan protein pada ransum PEDSF, PEDSNF, dan kasein juga baik digunakan untuk pemeliharaan tubuh. Nilai NPR menunjukkan bahwa asupan protein digunakan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh (Rossi et al. 2009).

True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU)

Nilai True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU) diperoleh dengan cara mengumpulkan volume urin dan berat feses yang telah dikeringkan dari masing-masing kelompok tikus percobaan (Lampiran 16). Daya cerna protein adalah jumlah fraksi nitrogen dari bahan makanan yang dapat diserap oleh tubuh. Tidak semua protein dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi asam-asam amino. Daya cerna berarti kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim protease. Daya cerna dapat menentukan ketersediaan asam amino secara biologis (Muchtadi 2010). Gambar 2 menjelaskan perbandingan nilai daya cerna protein pada percobaan ini.

Gambar

Tabel 9  Komposisi ransum (1 kg ransum) tikus percobaan
Gambar 2  Perbandingan nilai daya cerna protein PEDSNF dan PEDSF.
Gambar 5  Hasil analisis retensi kalsium PEDSNF dan PEDSF. Nilai yang diikuti

Referensi

Dokumen terkait

Pipa PVC DIA 2&#34; vinilon / 4 meter Pipa PVC DIA 3&#34; vinilon / 4 meter Pipa PVC DIA 4&#34; vinilon / 4 meter Pipa PVC DIA 1/2&#34; wavin / 4 meter Pipa PVC DIA 3/4&#34; wavin

Uji kadar alkali sabun mandi padat ekstrak etanol daun bidara ( Ziziphus mauritiana Lamk.) adalah perhitungan persen kadar alkali bebas yang terdapat pada

Hasil penelitian menyatakan bahwa lingkungan kerja berpengaruh terhadap kinerja, motivasi tidak berpengaruh terhadap kinerja, dan secara bersama-sama lingkungan kerja dan motivasi

Ansari (2010 : 87) berpendapat bahwa berkomunikasi atau dialog antar siswa maupun dengan guru dapat meningkatkan pemahaman. Berdasarkan hasil observasi yang telah

[r]

Hotel Ibis Solo (sumber:http://www.google.co.id,2012) Hotel Ibis Solo terletak di pusat Kota Solo,dimana akses untuk menikmati keramaian kota Solo sangat midah di

Definisi Perlindungan Varietas Tanaman Perlindungan Varietas Tanaman menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman adalah

Lombok, Nusa Tenggara Barat sebagai strategi peningkatan investasi asing bidang kepariwisataan berupa insentif keringanan pajak sebesar 25 %, pemangkasan izin