Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh:
Pramudya Permana Johansyah NIM: 109070000044
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh:
Pramudya Permana Johansyah
NIM : 109070000044
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Rachmat Mulyono, M.Si. Psi. Zulfa Indira Wahyuni, M. Psi. NIP. 196502201999031003 NIP. 1981050302009012021
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 September 2014
penulisan ini adalah untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat akademik dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Jurusan Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis mengambil judul: “Pengaruh Self-Control dan Self-Concept terhadap Perilaku Modeling Remaja Berkaitan dengan Tren Berbusana dari Korea.” Skripsi ini mencoba untuk membahas faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku modeling (meniru) remaja berkaitan dengan tren berbusana dari Korea.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan yang tidak disadari oleh penulis, baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, penulis meminta maaf apabila ada kata-kata yang tidak berkenan di hati pembaca.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Mereka adalah:
1. Yth. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Abd. Rahman Shaleh, M.Si., selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik, Bapak Ikhwan Lutfi, M.Si., selaku Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum Fakultas Psikologi, Dra. Diana Mutiah, M.Si., selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Yth. Dra. Netty Hartati, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik kelas A angkatan 2009
Hidayatullah Jakarta yang banyak memberikan bimbingan dan inspirasi dalam pra penyusunan skripsi dan para Staff Administrasi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu kelancaran kuliah dan proses kelulusan saya.
5. Skripsi ini khusus penulis persembahkan kepada kedua orang tua yaitu ayahanda R. Johan Mulyadi dan mama Indriyani Nurmalasari yang telah memberikan dukungan moral dan doa yang tanpa hentinya diucapkan kepada penulis.
6. Reza Pramana Johansyah, terima kasih sudah menjadi kakak yang baik dan menjadi contoh yang baik bagi penulis.
7. Masyakarakat yang telah membantu penyelesaian skripsi ini dengan bantuannya dalam penelitian.
8. Teman-teman angkatan 2009 yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu-persatu, terima kasih banyak atas masukan pemikiran, inspirasi, dan penyemangat penulis saat menjalani perkuliahan hingga sampai pada penulisan skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, atas bantuannya semoga Allah SWT membukakan pintu rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan semoga Allah SWT membalas semua budi baik pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Jakarta, Juli 2014
B) July, 2014
C) Pramudya Permana Johansyah
D) ix+Pages
E) The Effect of Self-Control and Self-Concept towards Modeling Behavior on Adolescence in Regards of Clothing Trends from Korea.
F) This research was done to determine whether self-control and self-concept take effect towards modeling behavior on adolescence in regards of clothing trends from Korea. Researcher theorized that aspects of self-control and aspects of self-concept has effect on modeling behavior on adolescence.
This research used quantitative approach and used multiple regression analysis as the method of analysis. There are 174 samples included in this research taken by means of convenience sampling. Researcher used measuring instrument and its construct validity was tested by using confirmatory factor analysis (CFA).
The result suggested that self-control and self-concept take effect towards modeling behavior on adolescence. It was proven by p<0.05, or the independent variables have significant effect towards modeling behavior on adolescence. Minor hypothesis result suggested that there are five variables that have significant effect towards modeling behavior.
Researcher hopes that the implications of the result of this research can be reviewed and may be researched further, for example by adding variables that have greater effect on modeling behavior, or by using other measuring instruments.
C) Pramudya Permana Johansyah
D) Pengaruh Self-control dan Self-concept terhadap Perilaku Modeling Remaja Berkaitan dengan Trend Berbusana dari Korea
E) ix + Halaman + Lampiran
F) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah self-control dan self-concept berpengaruh terhadap perilaku modeling remaja berkaitan dengan tren berbusana dari Korea. Peneliti berteori bahwa behavioral control, cognitive control, decisional control, diri identitas, diri perilaku, diri penilai, diri fisik, diri pribadi, diri moral, diri sosial, dan diri keluarga berpengaruh terhadap perilaku modeling remaja.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 174 orang remaja yang diambil dengan teknik convinience sampling. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian dibuat oleh peneliti yang kemudian diuji validitasnya melalui uji CFA (Confirmatory Factor Analysis).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan self-control dan self-concept terhadap perilaku modeling remaja berkaitan dengan tren berbusana dari Korea. Ini dibuktikan dengan nilai taraf signifikansi atau nilai p < 0.05. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan bahwa dari sebelas aspek ada lima aspek yang berpengaruh signifikan terhadap perilaku modeling, yaitu cognitive control, diri identitas, diri perilaku, diri penilai, dan diri sosial.
Penulis berharap implikasi dari hasil penelitian ini dapat dikaji kembali dan dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya. Misalnya, dengan menambah variabel lain yang terkait dengan perilaku modeling yang dapat dianalisis sebagai IV yang mungkin memiliki pengaruh besar terhadap perilaku modeling remaja.
Tabel 3.3 Blueprint SkalaPerilakuModeling Tabel 3.4 MuatanFaktor Item Behavioral Control Tabel 3.5 MuatanFaktor Item Cognitive Control Tabel 3.6 MuatanFaktor Item Decisional Control Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Diri Identitas Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Diri Perilaku Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Diri Penilai Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Diri Fisik Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Diri Moral Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Diri Sosial Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Diri Keluarga Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Attention Process Tabel 3.15 MuatanFaktor Item Retention Process
Tabel 3.16 MuatanFaktor Item Motoric Reproduction Process Tabel 3.17 MuatanFaktor Item Motivational Process
Tabel 4.1 GambaranSubjekPenelitianBerdasarkanJenisKelamin Tabel 4.2 AnalisisDeskriptifSemuaVariabeldalamPenelitianIni Tabel 4.3 Kriteria Kategorisasi Variabel
Tabel 4.4 Kategorisasi Semua Variabel dalam Penelitian Tabel 4.5 Nilai Besarnya Pengaruh IV terhadap DV Tabel 4.6 Hasil ANOVA
Tabel 4.7 Nilai Koefisien Setiap Variabel dalam Penelitian Ini
KATA PENGANTAR... iv
ABSTRAK... vi
DAFTAR GAMBAR... viii
DAFTAR TABEL... ix
BAB 1 PENDAHULUAN... 1-11 1.1Latar Belakang Masalah... 1
1.2Pembatasan Masalah... 7
1.3Perumusan Masalah... 8
1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9
1.4.1 Tujuan Penelitian... 9
1.4.2 Manfaat Penelitian... 9
1.5Sistematika Penulisan... 10
BAB 2LANDASAN TEORI... 12-38 2.1 Perilaku Modeling... 12
2.1.1 Definisi Perilaku Modeling ... 12
2.1.2 Aspek-Aspek (Proses-Proses) dalam Perilaku Modeling... 15
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Modeling... 17
2.1.4 Pengukuran Perilaku Modeling... 19
2.2 Self-control... 20
2.2.1 Definisi Self-control... 20
2.2.2 Aspek-aspek Self-control... 22
2.2.3 Pengukuran Self-control... 24
2.3 Self-concept... 24
2.3.1 Definisi Self-concept... 24
2.3.2 Dimensi-Dimensi dalam Self-concept... 28
2.3.3 Pengukuran Self-concept... 31
2.4 Kerangka Berpikir... 32
2.5 Hipotesis... 37
BAB 3 METODE PENELITIAN... 39-58 3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian... 39
3.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel... 39
3.2.1 Populasi... 39
3.2.2 Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 39
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 39
3.3.1 Variabel Penelitian... 39
3.5.1.3 UjiValiditasAspek Decisional Control... 48
3.5.2 Uji Validitas Skala Self-concept... 48
3.5.2.1 Dimensi Internal... 48
3.5.2.1.1 Diri Identitas... 48
3.5.2.1.2 Diri Perilaku... 49
3.5.2.1.3 Diri Penilai... 50
3.5.2.2 Dimensi Eksternal... 51
3.5.2.2.1 Diri Fisik... 51
3.5.2.2.2 Diri Pribadi... 51
3.5.2.2.3 Diri Moral... 52
3.5.2.2.4 Diri Sosial... 52
3.5.2.2.5 Diri Keluarga... 53
3.5.3 Uji Validitas Skala Perilaku Modeling... 54
3.5.3.1 Attention Process... 54
3.5.3.2 Retention Process... 55
3.5.3.3 Motoric Reproduction Process... 56
3.5.3.4 Motivational Process... 56
3.6 Teknik Analisa Data... 57
3.7 Prosedur Penelitian... 58
BAB 4 HASIL PENELITIAN... 59-69 4.1 Gambaran Subjek Penelitian... 59
4.2 Hasil Analisis Deskriptif Penelitian... 59
4.3 Hasil Uji Hipotesis... 62
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN... 70-74 5.1 Kesimpulan... 70
5.2 Diskusi... 70
5.3 Saran... 73
DAFTAR PUSTAKA... 75
1
1.1. Latar Belakang Masalah
Trend adalah mode yang sedang diikuti atau digandrungi pada saat tertentu dan
merupakan sesuatu kebiasaan dari apa yang diikuti masyarakat. Trend bersifat
tidak permanen atau hanya terjadi untuk sementara. Seiring dengan berjalannya
waktu, trend yang terjadi di masyarakat akan berubah (Suryawati & Susesty,
komunikasi pribadi, 11 Desember 2014). Informasi-informasi mengenai trend
dapat diakses melalui dunia maya oleh siapa saja, tanpa melihat golongan usia,
terutama di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Apalagi anak dan remaja zaman
sekarang sering sekali mengakses internet melalui gadget seperti telepon selular,
PC (Personal Computer), dan melalui warnet (warung internet). Di antara begitu
banyaknya informasi tentang trend yang bisa didapatkan, terdapat informasi
mengenai Hallyu atau demam Korea.
Hallyu atau dikenal juga dengan istilah Korean Fever (demam
Korea) mulai merajalela di Indonesia. Salah satunya akibat dari demam Korea
tersebut adalah musik K-pop yang saat ini menjadi favorit masyarakat Indonesia.
Bukan hanya musik K-pop-nya saja yang para remaja Indonesia gemari,
Semakin berkembangnya Korean Wave di Indonesia menjadikan
kemungkinan plagiatisme atau peniruan semakin besar. Selain itu kegiatan
plagiatisme juga memberikan dampak negatif bagi plagiatnya. Mereka menjadi
tidak kreatif dan tidak bisa berkreasi sendiri, hal ini dapat menjadikan seorang
plagiat menjadi orang yang malas. Sedangkan dapat kita lihat pada kenyataan
yang terjadi di Indonesia, banyak boyband dan juga girlband yang banyak
bermunculan di layar kaca. Jika hal ini terus berlanjut, aliran musik Indonesia
dapat berganti menjadi seperti musik Korea dan dapat melunturkan musik asli
Indonesia (Aldeafara, 2013).
Dampak-dampak yang dibawa oleh Korean Fever ini antara lain model
rambut. Rambut remaja Korea yang dominan lurus terlihat apik ketika ditata
dengan aneka model rambut, misalnya model rambut poni atau bob (Soekirno,
2014).
Dampak lain dari Korean Fever di Indonesia adalah gaya berpakaian
wanita. Contohnya adalah rok mini, blouse unik, gaun, hingga aksesoris ala Korea
(Rema, 2012).
Contoh-contoh lain busana yang sering dipakai oleh artis-artis dari Korea
adalah blus berlengan panjang dengan motif kulit macan dan dipadukan dengan
celana pendek berpalet hijau terang, dress bermotif floral dengan dipadukan
cardigan, celana pendek, kaus, serta blazer, blouse tanpa lengan berpalet putih,
Kawan sebaya bagi remaja memang sering menjadi faktor penekan untuk
kita mengikuti tren mode (Soekirno, 2014). Menurut Sari (dalam Soekirno, 2014),
seorang konsultan mode, boleh saja kita mengikuti tren mode, tetapi jangan
membabi buta. Anak muda semestinya bisa menjadi pencipta tren, dengan berani
menjadi dirinya sendiri. Kalaupun ingin mengikuti tren yang ada, individu harus
mempertimbangkan bentuk tubuh, warna kulit, usia, dan keperluan. Jika individu
hanya sekedar mengikuti tren, malah bisa memunculkan penilaian negatif dari
orang lain (Sari, dalam Soekirno, 2014). Sebagai contoh, celana model skinny
(ketat) hanya bagus untuk pemilik tubuh dengan paha dan betis kecil, tetapi
kurang bagus untuk pemilik tubuh dengan paha besar. Dari artikel ini bisa
disimpulkan bahwa banyak remaja yang tidak percaya diri untuk menjadi pencipta
tren, dengan berani menjadi dirinya sendiri. Malahan, remaja hanya sekedar
mengikuti arus tren yang ada, tanpa ada keinginan untuk melakukan improvisasi
sehingga bisa menjadi lebih percaya diri.
Dari berbagai sumber yang telah disebut di atas, bisa disimpulkan bahwa
sudah banyak sekali remaja yang mengikuti gaya berpakaian seperti artis Korea,
tanpa memperhitungkan apakah gaya berpakaian tersebut cocok untuknya atau
tidak. Tidak ada salahnya bagi remaja untuk mengikuti gaya berpakaian terbaru
yang ada, tapi sebaiknya remaja juga bisa mengembangkan kreativitasnya supaya
tercipta tren yang baru, tren yang khas buatan remaja Indonesia. Namun, dari
berbagai sumber tersebut, terlihat bahwa remaja kebanyakan hanya sekedar
Menurut penulis, self-control berpengaruh dalam fenomena ini. Bandura
(1971) mengemukakan bahwa untuk berperilaku secara efektif, seseorang harus
bisa mengantisipasi akibat yang mungkin muncul dalam peristiwa yang
berbeda-beda dan mengatur perilakunya sesuai dengan akibat tersebut. Tanpa kemampuan
tersebut, seseorang akan bertindak secara tidak produktif, atau beresiko. Informasi
mengenai akibat yang mungkin muncul didapat dari stimuli lingkungan, misalnya
lampu lalu lintas, komunikasi verbal, pesan gambar, tempat yang mencolok,
orang, atau benda, atau perilaku orang lain.
Kemampuan untuk mendapatkan kendali atas impuls-impuls (Ainslie;
Einsberg; Fujita & Han, dalam Hagger, Wood, Stiff, & Chatzisarantis, 2010) dan
menjauhkan diri dari memuaskan kebutuhan dan keinginan (Metcalfe & Mischel;
Mischel, Shoda, & Rodriguez, dalam Hagger, Wood, Stiff, & Chatzisarantis,
2010) sangatlah adaptif dan membuat orang bisa melakukan perilaku untuk
memenuhi tujuan supaya ia bisa menghasilkan hasil yang diinginkan dalam
jangka panjang (Baumeister; Fishbach & Labroo; Logue, dalam Hagger, Wood,
Stiff, & Chatzisarantis, 2010). Jika orang tidak bisa mengatur perilakunya, hidup
akan menjadi rangkaian tindakan impulsif yang tidak bisa dihentikan untuk
melayani dorongan, keinginan, dan emosi. Perilaku yang mengarah pada tujuan
dan pencapaian hasil jangka panjang akan menjadi tidak mungkin karena orang
tidak akan bisa melakukan usaha yang disiplin dan terpusat (Loewenstein, dalam
Self-concept mencerminkan tendensi seseorang terhadap berbagai aspek
dari tindakannya baik secara positif maupun negatif. Dalam pendekatan Social
Learning Theory, self-concept negatif didefinisikan dalam kaitannya dengan
banyaknya self-reinforcement negatif. Sebaliknya, self-concept positif
didefinisikan dalam kaitannya dengan banyaknya self-reinforcement positif
(Bandura, 1971).
Dalam Social Learning Theory, self-reinforcement adalah pengendali
tindakan seseorang. Disfungsi pada sistem self-reinforcement bisa mengakibatkan
self-punishment yang berlebihan dan kondisi yang tidak menguntungkan yang
bisa mempertahankan perilaku yang merusak. Banyak individu yang mengalami
stress karena standar yang mereka buat terlalu tinggi, karena perilaku mereka
tidak sebanding dengan role-model yang memiliki prestasi tinggi (Bandura,
1971).
Tindakan role-model yang memiliki status lebih besar kemungkinannya
untuk berhasil dan memiliki nilai fungsional yang lebih besar bagi pengamatnya
daripada role-model yang memiliki kemampuan intelektual, kejuruan, dan sosial
yang lebih rendah. Dalam situasi dimana orang tidak yakin dengan pemahaman
tentang tindakan yang ditiru, mereka mengandalkan karakteristik role-model dan
simbol yang menunjukkan status (misalnya gaya berpakaian) yang menunjukkan
penanda nyata kesuksesan di masa lalu (Bandura, 1971).
Fitts (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa self-concept
merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Fitts juga mengatakan bahwa self-concept berpengaruh kuat terhadap
tingkah laku seseorang. dengan mengetahui self-concept seseorang, kita akan
lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Meltzoff (1990), ditunjukkan bahwa
tiga aspek dari imitasi, yaitu social mirroring, social modeling, dan imitation as
self-practice, relevan dengan perkembangan teori self. Dalam eksperimennya,
orang dewasa menjadi social mirror (analogi dari cermin) yang mencerminkan
perilaku yang dilakukan oleh balita. Ternyata balita lebih menyukai orang dewasa
yang meniru perilaku yang dilakukan juga oleh balita itu sendiri. Balita tersebut
juga memeriksa orang dewasa, kemungkinan untuk memeriksa di mana perbedaan
antara identitas diri dengan yang aspek lainnya.
Efek dari social mirroring ini tidak sepenuhnya merupakan fenomena di
laboratorium. Balita senang pada fakta bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan
orang dewasa mencerminkan diri balita itu sendiri. Ini juga membantu balita
dalam mengembangkan dirinya, karena ini adalah salah satu cara alami balita
untuk mengenali seperti apa tindakan yang telah ia lakukan. Dengan interaksi
seperti ini, balita bisa melihat dirinya dari orang lain (Lacan; Winnicott, dalam
Meltzoff, 1990).
Remaja yang mengikuti trend berbusana dari Korea merupakan suatu
fenomena yang menarik perhatian peneliti. Berdasarkan artikel-artikel tersebut,
maka penulis tertarik untuk menulis skripsi berjudul “Pengaruh Self-control dan
Self-concept terhadap Perilaku Modeling Remaja tentang Trend Berbusana dari
Korea.”
1.2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian terfokus pada topik yang hendak dibahas, maka penulis
membuat pembatasan masalah. Penelitian ini hanya terbatas pada perilaku
modeling, self-control, self-concept, dan remaja. Penjelasan atas masing-masing
aspek dijelaskan sebagai berikut.
1. Perilaku Modeling
Perilaku modeling adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu
melalui pengamatan terhadap perilaku yang ditunjukkan objek yang lain
selain dirinya. Dari pengamatan tersebut, individu akan memperoleh
pengetahuan baru mengenai suatu perilaku yang diamatinya dan individu
akan mencoba untuk mereproduksi perilaku tersebut. Maka perilaku
modeling yang berkaitan dengan tren berbusana dari Korea bisa
didefinisikan sebagai suatu bentuk perilaku modeling berupa mengamati
orang-orang yang berpakaian ala Korea dan perilaku tersebut direproduksi
oleh individu yang melakukan perilaku modeling.
2. Self-Control
Self-control adalah kemampuan seseorang untuk membimbing dirinya dan
menekan impuls-impuls yang muncul di dalam dirinya secara disengaja
adalah behavioral control, cognitive control, dan decisional control
(Averill, dalam Wahid, 2007)
3. Self-Concept
Self-concept adalah kemampuan individu untuk mengenali, memahami,
merasakan, dan mengevaluasi diri sendiri. Self-concept juga berpengaruh
besar terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri
seseorang, kita akan lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah
laku orang tersebut. Aspek-aspek self-concept yang diteliti dalam
penelitian ini adalah diri identitas, diri perilaku, diri penilai, diri fisik, diri
pribadi, diri moral, diri sosial, dan diri keluarga (Fitts, dalam Agustiani,
2006).
4. Remaja
Masa remaja adalah masa transisi individu yang ditandai oleh perubahan
pada aspek fisik, kognisi, dan psikis. Remaja mampu berpikir apa saja
yang mungkin terjadi, tidak hanya membatasi diri pada hal-hal yang nyata
saja, mampu berpikir secara abstrak, mampu melakukan introspeksi diri
dan memiliki kesadaran diri, mampu berpikir secara multidimensional,
tidak terpusat pada satu masalah saja, dan melihat hal-hal sebagai relatif,
tidak absolut.
1.3. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang ingin dibahas oleh penulis adalah
1. Apakah self-control dan self-concept memiliki pengaruh signifikan
terhadap perilaku modeling remaja terhadap tren berbusana dari Korea?
2. Seberapa besar pengaruh self-control dan self-concept terhadap perilaku
modeling terhadap tren berbusana ini?
1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar pengaruh
self-control dan self-concept remaja terhadap perilaku modeling terhadap tren
berbusana dari Korea.
1.4.2. Manfaat penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Secara teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu psikologi, terutama dalam pengembangan ilmu
psikologi perkembangan.
b. Secara praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
keluarga terutama kaum remaja dan orang tua yang memiliki anak remaja.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan rujukan untuk
1.5. Sistematika Penulisan
Penulis menggunakan pedoman penyusunan penulisan skripsi Fakultas
Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hasil penelitian ini disusun menjadi lima Bab, dengan sistematika
penulisan sebagai berikut :
a) Bab 1 Pendahuluan
Bagian ini menjelaskan latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
b) Bab 2 Kajian Pustaka
Bagian ini menjelaskan pengertian perilaku modeling, aspek-aspek
dari perilaku modeling, definisi self-control, aspek-aspek self-control,
definisi self-concept, aspek-aspek self-concept, pengertian remaja,
tugas-tugas perkembangan remaja, penjelasan mengenai tren
berbusana dari Korea, kerangka berpikir, dan hipotesis.
c) Bab 3Metodologi Penelitian
Bagian ini menjelaskan pendekatan dan metode penelitian, populasi
dan sampel, teknik pengambilan sampel, instrumen pengumpulan data,
teknik pengolahan dan analisa data, prosedur penelitian.
d) Bab 4 Hasil Penelitian
Bagian ini menjelaskan gambaran umum subyek penelitian dan hasil
penelitian.
Bagian ini menjelaskan kesimpulan, diskusi dan saran.
f) Daftar pustaka
12
2.1 Perilaku Modeling Remaja Berkaitan dengan Trend Berbusana dari Korea
2.1.1. Definisi perilaku modeling
Modeling (Steinberg, 2001) adalah “The process of learning by watching others; a
therapeutic technique used to effect behavioral change.” Suatu proses belajar
dengan cara mengamati orang lain; sebuah teknik terapeutik yang digunakan
untuk mempengaruhi perubahan perilaku. Perilaku modeling adalah bagian dari
teori social learning yang dikemukakan oleh Albert Bandura.
Bandura sependapat dengan Skinner bahwa perilaku kita lebih banyak
dipelajari melalui pengkondisian operan, tetap Bandura melihat pengaruh utama
terhadap perilaku adalah hasil dari meniru perilaku model (Jarvis, 2010).
Kebanyakan perilaku yang ditampilkan orang dipelajari, baik secara
disengaja ataupun tidak, dari pengaruh contoh. Ada beberapa alasan kenapa
modeling mempengaruhi pembelajaran manusia dalam kehidupan sehari-hari. Saat
kesalahan bisa menjadi berbahaya dan beresiko, respon-respon baru bisa dibentuk
tanpa melakukan kesalahan yang tidak diperlukan dengan cara menampilkan
model yang bisa mendemonstrasikan bagaimana suatu aktivitas tertentu dilakukan
dengan benar. Beberapa perilaku rumit hanya bisa dilakukan melalui pengaruh
mendengarkan pembicaraan, akan menjadi mustahil untuk mengajarkan kepada
mereka kemampuan linguistik yang membentuk bahasa. Modeling adalah aspek
dalam pembelajaran yang tidak bisa dipisahkan. Proses pembelajaran perilaku
baru bisa disingkat dengan cara menyediakan model yang sesuai. Dalam
kebanyakan situasi, contoh yang baik merupakan guru yang jauh lebih baik
ketimbang resiko dari tindakan yang tidak terarah (Bandura, 1971).
Menurut Miller dan Dollard (dalam Bandura, 1971), supaya proses belajar
dengan meniru terjadi, pengamat harus termotivasi untuk bertindak, harus
ditampilkan kepada mereka contoh dari perilaku yang ingin dipelajari, harus
melakukan respon yang cocok dengan contohnya, dan perilaku meniru mereka
harus diperkuat secara positif.
Teori belajar sosial atau disebut juga observational learning adalah sebuah
teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar
lainnya. Berbeda dengan penganut behaviorisme lainnya, Bandura memandang
perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond),
melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan
dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini,
bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini
juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan
punishment, seorang individu akan berpikir dan memutuskan perilaku sosial mana
Belajar mengobservasi telah memberikan dampak yang cukup kuat
terhadap tingkah laku sosial-antisosial anak atau remaja. Dalam hal ini, Bandura
telah merancang tiga dampak utama dari pengamatan terhadap tingkah laku
individu yang dijadikan model yaitu (1) remaja memperoleh pola-pola respons
baru, ketika dia berfungsi sebagai pengamat, (2) pengamatan terhadap tingkah
laku model dapat memperkuat atau memperlemah respons-respons yang tidak
diharapkan (yang ditolak), dan (3) mengamati tingkah laku yang lain dapat
mendorong remaja/anak untuk melakukan kegiatan yang sama (Yusuf, 2011).
Dalam kaitannya dengan ketiga dampak di atas, interaksi sosial remaja
dalam kelompok sebaya dapat merangsang/menstimulasi pola – pola respons baru
melalui belajar dengan cara mengamati (observational learning). Di sini
kelompok sebaya telah memberikan kesempatan belajar kepada remaja untuk
mengimitasi berbagai tingkah laku para anggota kelompok lainnya. Pengaruh
teman sebaya yang menjadi model dapat mencegah atau membolehkan pola –
pola tingkah laku yang relatif tidak pasti (kebiasaan) dalam seting yang
terstruktur. Walaupun begitu, pengalaman – pengalaman baru dapat mencegah
atau memperkuat dampaknya terhadap kegiatan moral atau sosial (Yusuf, 2011).
Dari beberapa definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa perilaku
modeling adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu melalui
pengamatan terhadap perilaku yang ditunjukkan objek yang lain selain dirinya.
Dari pengamatan tersebut, individu akan memperoleh pengetahuan baru mengenai
perilaku tersebut. Selain itu, supaya perilaku modeling ini bisa muncul, individu
harus termotivasi untuk bertindak dan tindakannya diperkuat secara positif. Maka
perilaku modeling yang berkaitan dengan tren berbusana dari Korea bisa
didefinisikan sebagai suatu bentuk perilaku modeling berupa mengamati
orang-orang yang berpakaian ala Korea dan perilaku tersebut direproduksi oleh individu
yang melakukan perilaku modeling. Dalam penelitian ini, perilaku modeling yang
ingin diteliti adalah perilaku modeling remaja berkaitan dengan trend berbusana
dari Korea.
2.1.2. Aspek-Aspek (Proses-Proses) dalam Perilaku Modeling
Perilaku modeling dipengaruhi oleh empat proses (Bandura, 1971):
1. Attentional process
Seseorang tidak bisa banyak belajar dengan observasi jika dia tidak
memperhatikan, atau mengenali, fitur-fitur penting dari perilaku model.
Hanya sekedar menampilkan model kepada seseorang bukan berarti orang
tersebut akan memperhatikan modelnya, mereka akan memilih
karakteristik-karakteristik model yang paling relevan, atau mereka akan
merasakan secara akurat aspek-aspek yang kebetulan saja mereka sadari.
Beberapa bentuk modeling secara intinsik menguatkan sampai mereka bisa
mempertahankan perhatian orang dari semua usia dalam waktu yang luas.
Contoh yang paling baik untuk menggambarkan ini adalah modeling dari
televisi. Model-model yang ditampilkan di televisi sangat efektif dalam
perilaku yang ditunjukkan tanpa diberikan penguatan untuk melakukannya
(Bandura, Grusec, & Menlove, dalam Bandura, 1971).
2. Retention process
Seseorang tidak bisa dipengaruhi oleh pengamatan perilaku model jika ia
tidak mengingatnya. Fungsi besar kedua dalam perilaku modeling meliputi
ingatan jangka panjang mengenai aktivitas yang telah ditunjukkan pada
suatu waktu. Jika seseorang ingin mereproduksi perilaku model saat
modelnya sendiri sudah tidak ada untuk bertindak sebagai pemandu, pola
respon harus direpresentasikan dalam memori dalam bentuk simbolis.
Setelah aktivitas yang telah ditunjukkan diubah menjadi
gambaran-gambaran dan simbol verbal yang bisa digunakan, kode-kode memori ini
bertindak sebagai panduan untuk mereproduksi respon yang cocok secara
berurutan.
Selain pengkodean simbolis, repetisi juga membantu memperkuat ingatan.
Orang yang secara mental merepetisi atau benar-benar melakukan
peniruan perilaku cenderung sulit melupakan perilaku tersebut
dibandingkan dengan orang yang tidak memikirkan atau melatih apa yang
mereka lihat.
3. Motoric reproduction process
Proses ketiga meliputi proses dimana representasi simbolis bertindak
sebagai panduan dalam tindakan terang-terangan. Untuk bisa
mereproduksi perilaku, seseorang harus menggabungkan serangkaian
simbolis dari perilaku yang telah ditampilkan telah didapat dan diingat,
seseorang mungkin masih tidak bisa mereproduksi perilaku tersebut
karena keterbatasan fisik. Seorang anak bisa belajar melalui pengamatan
tentang perilaku mengendarai mobil, tapi jika ia terlalu pendek untuk
mengoperasikan kemudinya ia tidak akan bisa mengendarai kendaraan
tersebut.
4. Motivational process
Seseorang bisa mendapatkan, mengingat, dan memiliki kemampuan untuk
melakukan perilaku yang ditampilkan, tapi perilaku itu mungkin tidak
keluar jika perilaku tersebut tidak disangsikan secara positif dan tidak
diterima dengan baik.
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku modeling
Faktor-faktor yang mempengaruhi individu untuk melakukan perilaku modeling
antara lain sebagai berikut (Bandura, 1971).
1. Self-control
Untuk berperilaku secara efektif, seseorang harus bisa mengantisipasi
akibat yang mungkin muncul dalam peristiwa yang berbeda-beda dan
mengatur perilakunya sesuai dengan akibat dari peristiwa tersebut. Tanpa
kemampuan tersebut, seseorang akan bertindak secara tidak produktif, atau
beresiko. Informasi mengenai akibat yang mungkin muncul didapat dari
stimuli lingkungan, misalnya lampu lalu lintas, komunikasi verbal, pesan
lain. Self-control yang dimaksud bukan hanya dalam segi perilaku saja,
tapi juga dari segi kognitif dan juga emosinya.
2. Self-concept
Tindakan role-model yang memiliki status lebih besar kemungkinannya
untuk berhasil dan memiliki nilai fungsional yang lebih besar bagi
pengamatnya daripada role-model yang memiliki kemampuan intelektual,
kejuruan, dan sosial yang lebih rendah. Dalam situasi dimana orang tidak
yakin dengan pemahaman tentang tindakan yang ditiru, mereka
mengandalkan karakteristik role-model dan simbol yang menunjukkan
status (misalnya gaya berpakaian) yang menunjukkan penanda nyata
kesuksesan di masa lalu (Bandura, 1971). Dalam hal ini, artis-artis dari
Korea adalah role-model yang tepat bagi remaja untuk mempelajari dan
meniru gaya berpakaian ini, karena mereka terkenal dan memiliki prestasi
dalam bidangnya.
3. Lingkungan
Hampir semua proses pembelajaran yang didapat dari pengalaman
langsung bisa dipelajari melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain.
Kemampuan manusia untuk belajar melalui observasi membantu dia untuk
mendapatkan berbagai macam perilaku tanpa harus membentuk pola
perilaku melalui proses trial and error (coba-coba). Begitu juga dengan
respon emosional bisa didapatkan melalui observasi terhadap reaksi afektif
orang lain saat mereka menghadapi pengalaman yang menyenangkan atau
menampilkan contoh yang menjelaskan bagaimana cara suatu kegiatan
dilakukan dengan cara yang benar. Contohnya, remaja paling banyak
dipengaruhi oleh internet, seperti video di situs-situs, film Korea,
pertunjukkan konser artis Korea di Indonesia. Dari berbagai media
tersebut remaja bisa mengetahui bagaimana cara berpakaian dan
berpenampilan seperti artis Korea.
4. Adanya reinforcement (penguatan)
Proses pembelajaran yang berasal dari pengalaman langsung sebagian
besar dipengaruhi oleh reward atau punishment yang mengikuti setiap
tindakan. Melalui reward ataupun punishment yang akan diterima dari
setiap tindakan yang dilakukan, individu bisa membuat dugaan-dugaan
tentang perilaku seperti apa yang akan menghasilkan hasil yang
menguntungkan bagi individu yang bersangkutan. Selain itu,
reinforcement bisa berfungsi sebagai motivator individu dalam kegiatan
yang dilakukan di masa depan.
2.1.3. Pengukuran perilaku modeling
Dalam penelitian ini, pengukuran perilaku modeling dilakukan dengan
menggunakan skala perilaku modeling yang dibuat berdasarkan aspek-aspek
perilaku modeling yang dikemukakan Bandura (1971), yaitu attentional process,
2.2 Self – Control
2.2.1. Definisi self-control
Menurut Chaplin (2006), self-control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls – impuls
atau tingkah laku impulsif. Self-control bisa dikonseptualisasikan sebagai
kemampuan yang dikembangkan dari waktu ke waktu dan membuat orang
menginvestasikan secara aktif usaha yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan
atau hasil (Carver & Scheier; Wills & Dishion, dalam Hagger dkk, 2010).
Self – control adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses
menekan atau menghambat perilaku atau respon seseorang secara disengaja dan
sadar (Vohs & Baumeister, 2004).
Ada beberapa model proses self – control yang telah ditemukan ahli – ahli
sebelumnya (Vohs & Baumeister, 2004), antara lain:
a. Cybernetic Model
Carver dan Scheier mengembangkan model ini untuk self – control saat mereka mengemukakan proses self – control terjadi pada
test-operate-test-exit (TOTE) loop. Orang – orang memasuki TOTE saat mereka
membentuk tujuan. Tindakan pertama, test, merujuk pada perbandingan
keadaan sekarang dengan keadaan tujuan. Menduga ada kesenjangan
antara keadaan sekarang dengan keadaan yang diinginkan, orang
melakukan test lagi, dan tergantung apakah tujuannya tercapai atau tidak,
orang mungkin harus melakukan lebih banyak pekerjaan untuk mencapai
tujuannya lagi, orang bisa kembali ke fase operate atau exit.
Satu gagasan penting dalam TOTE loop ini adalah bahwasanya emosi
merefleksikan proses seseorang untuk mencapai tujuannya; afeksi positif
seringkali menjadi tanda bahwa orang mendekati tujuannya, dan afeksi
negatif seringkali menandakan orang menjauhi tujuannya.
b. Regulatory Resource Model
Regulatory Resource Model mengemukakan bahwa kemampuan untuk
mengendalikan diri sendiri dikuasai oleh sumber – sumber terbatas yang
dimiliki oleh semua bagian self – control. Tiap satu kali tindakan self –
control dilakukan akan membuat orang itu kurang berhasil dalam
melakukan self – control yang berikutnya (dalam waktu yang terbatas)
karena kurangnya sumber daya untuk melakukan self – control yang
berikutnya. Ini dikenal sebagai keadaan kekurangan ego, yang
menggambarkan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan
self – control yang spesifik. Baumeister, Vohs, dan rekan – rekannya
mengemukakan bahwa respon – respon yang meliputi regulasi emosi,
kendali mental, intervensi impuls, dan pengarahan perilaku semuanya
memakai sumber daya tersebut, dan sebagai akibatnya, banyaknya sumber
daya tersebut akan berkurang tiap kali kegiatan self – control dilakukan.
Model ketiga berpusat pada kemampuan untuk menunda gratifikasi.
Selama lebih dari 40 tahun, penelitian yang dilakukan oleh Mischel dkk
telah menerangi pentingnya mengekang frustasi, melumpuhkan respon
yang tidak diinginkan, dan mengatasi godaan – godaan untuk mencapai
tujuan, perkembangan psikologis, dan kesejahteraan. Penelitian –
penelitian khas untuk menguji perspektif penundaan gratifikasi berfokus
pada anak – anak usia 3 – 4 tahun, yang duduk di depan meja yang di
atasnya terdapat makanan yang menggoda. Si anak diberitahu jika dia
tidak makan makanan yang ada di depannya (misalnya permen), maka ia
akan diberikan makanan yang lebih besar (misalnya dua permen) nantinya.
Penundaan gratifikasi diukur dari seberapa lama anak itu menunggu dan
tidak makan makanan yang telah tersedia.
Berdasarkan definisi – definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
self-control adalah kemampuan seseorang yang dikembangkan dari waktu ke
waktu untuk membimbing dirinya dan menekan impuls – impuls yang muncul di
dalam dirinya secara disengaja dan sadar.
2.2.2. Aspek – aspek self-control
Menurut Averill (dalam Wahid, 2007) terdapat 3 jenis kemampuan mengontrol
diri, yaitu:
a. Behavioral Control
Behavioral control merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon
keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini
diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated
administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus
modifiability).
Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu
untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya
sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang kemampuan mengontrol
dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan
kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan
sumber eksternal.
Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui
bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi
stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang
sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir,
dan membatasi intensitasnya.
b. Cognitive Control
Cognitive control merupakan kemampuan individu dalam mengolah
informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai,
atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif
sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Aspek ini
terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain)
Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan
yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut
dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu
berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan
cara memperhatikan segi – segi positif secara subjektif.
c. Decisional Control
Decisional control merupakan kemampuan untuk memilih hasil atau suatu
tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.
Self-control dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya
suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk
memilih berbagai kemungkinan tindakan.
2.2.3. Pengukuran self-control
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala self-control yang dibuat
sendiri berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Averill, yaitu behavioral
control, cognitive control, dan decisional control.
2.3 Self – Concept
2.3.1 Definisi self-concept
Menurut Chaplin (2006), self-concept adalah evaluasi individu mengenai diri
sendiri, penilaian atau penaksiran mengenali diri sendiri oleh individu yang
Menurut Steinberg (2001), pengertian self – concept adalah “The way in
which one perceives oneself”. Cara seseorang merasakan dirinya.
Menurut Hurlock (1980), ada beberapa kondisi yang mempengaruhi
self-concept remaja, yaitu:
a. Usia kematangan
Remaja yang matang lebih awal, yang diperlakukan seperti orang yang
hampir dewasa, mengembangkan self-concept yang menyenangkan
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang matang
terlambat, yang diperlakukan seperti anak – anak, merasa salah
dimengerti dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku
kurang dapat menyesuaikan diri.
b. Penampilan diri
Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri
meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat
fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan
perasaan rendah diri. Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan
penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah
dukungan sosial.
c. Kepatutan seks
Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku membantu
membuat remaja sadar diri dan hal ini memberi akibat buruk pada
perilakunya.
d. Nama dan julukan
Remaja peka dan merasa malu bila teman – teman sekelompok menilai
namanya buruk atau bila mereka memberi nama julukan yang bernada
cemoohan.
e. Hubungan keluarga
Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang
anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang ini dan
ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini
sesama jenis, remaja akan tertolong untuk mengembangkan
self-concept yang layak untuk jenis seksnya.
f. Teman – teman sebaya
Teman – teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam
dua cara. Pertama, self-concept remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman – teman tentang dirinya dan kedua, ia
berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri – ciri kepribadian
yang diakui oleh kelompok
g. Kreativitas
Remaja yang semasa kanak – kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam tugas – tugas akademis, mengembangkan perasaan
individualitas dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada
kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang
mempunya perasaan identitas dan individualitas.
h. Cita – cita
Bila remaja mempunya cita – cita yang tidak realistik, ia akan
mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak
mampu dan reaksi – reaksi bertahan di mana ia menyalahkan orang
atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuannya lebih
banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan. Ini akan
menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar
yang memberikan self-concept yang lebih baik.
Rogers (dalam Jarvis, 2010) meyakini bahwa kita memiliki citra diri
dalam pikiran kita seperti keadaan kita sekarang, sekaligus citra diri kita yang
ideal (ideal self), yaitu citra diri yang kita inginkan. Jika kedua citra itu kongruen
(artinya sama), kita akan mengembangkan harga diri yang baik. Perkembangan
kongruen dan harga diri bergantung pada penghargaan positif tak bersyarat
(unconditional positive regard) dari orang lain – berupa penerimaan, cinta, dan
kasih sayang.
Fitts (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa self-concept
merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena self-concept seseorang
merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Fitts juga mengatakan bahwa self-concept berpengaruh kuat terhadap
tingkah laku seseorang. dengan mengetahui self-concept seseorang, kita akan
Self-concept seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai
berikut (Fitts, dalam Agustiani, 2006):
a. Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal, yang memunculkan
perasaan positif dan perasaan berharga
b. Kompetensi dalam area yang dihargai individu dan orang lain
c. Aktualisasi diri, atau implementasi dan realisasi dari potensi pribadi yang
sebenarnya.
Dari definisi-definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa self-concept
adalah kemampuan individu untuk mengenali, memahami, merasakan, dan
mengevaluasi diri sendiri. Self-concept juga berpengaruh besar terhadap tingkah
laku seseorang. Dengan mengetahui self-concept seseorang, kita akan lebih
mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut.
2.3.2 Dimensi-dimensi dalam self-concept
Fitts (dalam Agustiani, 2006) membagi self-concept dalam dua dimensi pokok,
yaitu sebagai berikut:
1) Dimensi Internal
Dimensi internal atau disebut juga kerangka acuan internal (internal frame
of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya
sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi ini terdiri dari tiga
bentuk.
Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada
self-concept dan mengacu pada pertanyaan, “Siapakah saya?” Dalam
pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang
diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan
untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya “Saya Ita”. kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan
lingkungannya, pengetahuan individu tentang dirinya juga bertambah,
sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan
hal-hal yang lebih kompleks, seperti “Saya pintar tetapi terlalu gemuk”
dan sebagainya.
b. Diri Perilaku (Behavioral Self)
Diri perilaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh
diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri
yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri
identitas dengan diri perilakunya, sehingga ia dapat mengenali dan
menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku.
kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.
c. Diri Penerimaan/Penilai (Judging Self)
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan
evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara
Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang
dipersepsikannya. Oleh karena itu, label – label yang dikenakan pada
dirinya bukanlah semata – mata menggambarkan dirinya, tetapi juga
sarat dengan nilai – nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan
dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya.
Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atau
seberapa jauh seseorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah
akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan akan
mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar pada dirinya.
sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi,
kesadaran dirinya lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan
individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan
memfokuskan energy serta perhatiannya ke luar diri, dan pada
akhirnya dapat berfungsi lebih konstruktif.
2) Dimensi Eksternal
a. Diri Fisik (Physical Self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya
secara fisik. dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai
kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak
menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).
b. Diri Etik-Moral (Moral-Ethic Self)
Bagian ini merupakan pesepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari
persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan
seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai – nilai moral yang
dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.
c. Diri Pribadi
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang
keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau
hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana
individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa
dirinya sebagai pribadi yang tepat.
d. Diri Keluarga (Family Self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam
kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan
seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai
anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang
dijalankannya sebagai anggota suatu keluarga.
e. Diri Sosial (Social Self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya
dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.
2.3.3. Pengukuran self-concept
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala self-concept yang dibuat sendiri
berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Fitts, yang mencakup dimensi
internal (diri identitas, diri perilaku, dan diri penilaian) dan dimensi eksternal (diri
2.4. Kerangka Berpikir
Bagi remaja, yang sedang dalam masa pencarian jati diri, media merupakan alat
utama bagi mereka untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Remaja akan selalu
mencari dan tertarik pada trend terbaru. Salah satunya adalah dalam hal
berpakaian. Dalam hal ini, gaya berpakaian yang dimaksud adalah gaya
berpakaian yang berasal dari Korea.
Artis-artis dari Korea yang penampilannya menarik bisa menjadi role
model bagi remaja lainnya dalam hal berpakaian. Dari sinilah perilaku modeling
itu muncul. Dengan berpenampilan menarik seperti artis yang menjadi
role-model-nya, remaja mengharapkan pujian dari teman-teman sebayanya.
Belajar mengobservasi telah memberikan dampak yang cukup kuat
terhadap tingkah laku sosial-antisosial anak atau remaja. Dalam hal ini, Bandura
telah merancang tiga dampak utama dari pengamatan terhadap tingkah laku
individu yang dijadikan model yaitu (1) remaja memperoleh pola-pola respons
baru, ketika dia berfungsi sebagai pengamat, (2) pengamatan terhadap tingkah
laku model dapat memperkuat atau memperlemah respons-respons yang tidak
diharapkan (yang ditolak), dan (3) mengamati tingkah laku yang lain dapat
mendorong remaja/anak untuk melakukan kegiatan yang sama (Yusuf, 2011).
Dalam kaitannya dengan ketiga dampak di atas, interaksi sosial remaja
dalam kelompok sebaya dapat merangsang/menstimulasi pola-pola respons baru
melalui belajar dengan cara mengamati (observational learning). Di sini
mengimitasi berbagai tingkah laku para anggota kelompok lainnya. Pengaruh
teman sebaya yang menjadi model dapat mencegah atau membolehkan pola-pola
tingkah laku yang relatif tidak pasti (kebiasaan) dalam seting yang terstruktur.
Walaupun begitu, pengalaman-pengalaman baru dapat mencegah atau
memperkuat dampaknya terhadap kegiatan moral atau sosial (Yusuf, 2011).
Menurut penulis, self-control berpengaruh dalam fenomena ini. Bandura
(1971) mengemukakan bahwa untuk berperilaku secara efektif, seseorang harus
bisa mengantisipasi akibat yang mungkin muncul dalam peristiwa yang
berbeda-beda dan mengatur perilakunya sesuai dengan akibat tersebut. Tanpa kemampuan
tersebut, seseorang akan bertindak secara tidak produktif, atau beresiko. Informasi
mengenai akibat yang mungkin muncul didapat dari stimuli lingkungan, misalnya
lampu lalu lintas, komunikasi verbal, pesan gambar, tempat yang mencolok,
orang, atau benda, atau perilaku orang lain.
Sesuai dengan pendapat Bandura (1971), seseorang harus bisa
memperhitungkan akibat dari setiap tindakan yang diambilnya. Dalam fenomena
tren berpakaian dari Korea ini, individu yang ingin mengikutinya harus bisa
memperhitungkan akibat dari tindakannya dalam meniru gaya berpakaian
tersebut. Contohnya, apakah perilaku meniru ini berdampak pada aspek-aspek
hidup individu (seperti interaksi sosial, keuangan, moral, dsb) yang melakukannya
atau tidak adalah sesuatu yang harus diperhitungkan.
Self-concept mencerminkan tendensi seseorang terhadap berbagai aspek
dari tindakannya baik secara positif maupun negatif. Dalam pendekatan Social
banyaknya self-reinforcement negatif. Sebaliknya, self-concept positif
didefinisikan dalam kaitannya dengan banyaknya self-reinforcement positif
(Bandura, 1971).
Dalam Social Learning Theory, self-reinforcement adalah pengendali
tindakan seseorang. Disfungsi pada sistem self-reinforcement bisa mengakibatkan
self-punishment yang berlebihan dan kondisi yang tidak menguntungkan yang
bisa mempertahankan perilaku yang merusak. Banyak individu yang mengalami
stress karena standar yang mereka buat terlalu tinggi, karena perilaku mereka
tidak sebanding dengan role-model yang memiliki prestasi tinggi (Bandura,
1971).
Tindakan role-model yang memiliki status lebih besar kemungkinannya
untuk berhasil dan memiliki nilai fungsional yang lebih besar bagi pengamatnya
daripada role-model yang memiliki kemampuan intelektual, kejuruan, dan sosial
yang lebih rendah. Dalam situasi dimana orang tidak yakin dengan pemahaman
tentang tindakan yang ditiru, mereka mengandalkan karakteristik role-model dan
simbol yang menunjukkan status (misalnya gaya berpakaian) yang menunjukkan
penanda nyata kesuksesan di masa lalu (Bandura, 1971). Dalam hal ini, artis-artis
dari Korea adalah role-model yang tepat bagi remaja untuk mempelajari dan
meniru gaya berpakaian ini, karena mereka terkenal dan memiliki prestasi dalam
bidangnya.
Fitts (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa self-concept
merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena self-concept seseorang
lingkungan. Fitts juga mengatakan bahwa self-concept berpengaruh kuat terhadap
tingkah laku seseorang. dengan mengetahui self-concept seseorang, kita akan
lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut.
Remaja yang melihat cara berpakaian artis-artis dari Korea akan
mempelajari hal tersebut dan akan dijadikan kerangka acuan (frame of reference)
dalam hal berpakaian. Kerangka acuan tersebut akan dijadikan landasan baginya
untuk menentukan pakaian seperti apa yang akan dia pakai di masa depan. Sesuai
dengan pendapat Bandura (1971), remaja yang menjadikan artis Korea sebagai
role-model dalam berpakaian akan membuat standar mengenai bagaimana cara
berpakaian ala Korea.
Dalam penelitian ini, penulis hendak melihat apakah ada pengaruh
signifikan antara self-control dan self-concept terhadap perilaku modeling remaja
tentang tren berbusana dari Korea. Adapun variabel-variabel self-control yang
akan digunakan adalah berdasarkan aspek-aspek self-control menurut Averill
(dalam Wahid, 2007), yaitu behavioral control, cognitive control, dan decisional
control. Variabel-variabel self-concept yang akan digunakan adalah berdasarkan
dimensi eksternal dari aspek self-concept yang dikemukakan oleh Fitts (dalam
Agustiani, 2006), yang terdiri dari diri fisik, diri pribadi, diri keluarga, diri moral,
dan diri sosial. Semua variabel tersebut akan dilihat apakah mempengaruhi
perilaku modeling secara signifikan.
Gambaran hubungan antar variabel self-control, self-concept, dan perilaku
aspek-aspek yang hendak diukur dan dicari pengaruhnya digambarkan oleh
[image:48.595.105.529.189.648.2]peneliti seperti pada gambar 2.1.
Gambar 2.1.
Pengaruh antara self-control dan self-concept terhadap perilaku modeling Self-Control
Self-concept
Perilaku Modeling pada Remaja terhadap Trend Berbusana dari
Korea Behavioral Control
Cognitive Control
Decisional Control
2.5. Hipotesis
Berdasarkan teori-teori dan kerangka berpikir yang telah dijelaskan, peneliti
menyusun hipotesis menjadi dua bagian, yaitu hipotesis mayor dan hipotesis
minor. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Hipotesis Mayor
Ada pengaruh signifikan variabel-variabel self-control (behavioral
control, cognitive control, dan decisional control) dan variabel-variabel
self-concept (diri identitas, diri perilaku, diri penilai, diri fisik, diri pribadi,
diri moral, diri sosial, dan diri keluarga) terhadap perilaku modeling
remaja berkaitan dengan trend berbusana dari Korea.
2. Hipotesis Minor
Ha1 : Ada pengaruh behavioral control terhadap perilaku modeling
tentang trend berbusana dari Korea.
Ha2 : Ada pengaruh cognitive control terhadap perilaku modeling
tentang trend berbusana dari Korea.
Ha3 : Ada pengaruh decisional control terhadap perilaku modeling
tentang trend berbusana dari Korea.
Ha4 : Ada pengaruh diri fisik terhadap perilaku modeling tentang
trend berbusana dari Korea.
Ha5 : Ada pengaruh diri pribadi terhadap perilaku modeling tentang
Ha6 : Ada pengaruh diri keluarga terhadap perilaku modeling tentang
trend berbusana dari Korea.
Ha7 : Ada pengaruh diri sosial terhadap perilaku modeling tentang
trend berbusana dari Korea.
Ha8 : Ada pengaruh diri moral terhadap perilaku modeling tentang
trend berbusana dari Korea.
Ha9 : Ada pengaruh diri identitas terhadap perilaku modeling tentang
trend berbusana dari Korea.
Ha10 : Ada pengaruh diri perilaku terhadap perilaku modeling tentang
trend berbusana dari Korea.
Ha11 : Ada pengaruh diri penilaian terhadap perilaku modeling tentang
39
3. 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif dan jenis penelitian ini adalah penelitian regresi, karena tujuan dari
penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar pengaruh antara variabel satu
dengan variabel lainnya.
3.2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 3.2.1. Populasi
Populasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh remaja di Provinsi DKI
Jakarta.
3.2.2. Sampel dan teknik pengambilan sampel
Dalam penelitian ini, peneliti menentukan sampel sebanyak 174 orang. Adapun
teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah convinience sampling, dimana
sampel diambil karena alasan kemudahan.
3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.3.1. Variabel penelitian
Pada penelitian ini, variabel-variabel yang akan diteliti adalah sebagai berikut.
Variabel terikat (DV) : perilaku modeling remaja terhadap trend berbusana dari
Korea
3.3.2. Definisi operasional
Adapun definisi operasional dari tiap variabel tersebut adalah sebagai berikut.
a. Self-control adalah kemampuan yang dikembangkan seseorang dari waktu
ke waktu untuk membimbing dirinya dan menekan impuls-impuls di
dalam dirinya secara disengaja dan sadar. Adapun definisi operasionalnya
adalah skor yang diperoleh dari skala self-control setelah diujikan kepada
sampel yang bersangkutan.
b. Self-concept adalah kemampuan individu untuk mengenali, memahami,
merasakan, dan mengevaluasi diri sendiri. Self-concept juga berpengaruh
besar terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri
seseorang, kita akan lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah
laku orang tersebut. Adapun definisi operasionalnya adalah skor yang
diperoleh dari skala self-concept setelah diujikan kepada sampel yang
bersangkutan.
c. Perilaku modeling adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu
melalui pengamatan terhadap perilaku yang ditunjukkan objek yang lain
selain dirinya. Dari pengamatan tersebut, individu akan memperoleh
pengetahuan baru mengenai suatu perilaku yang diamatinya dan individu
akan mencoba untuk mereproduksi perilaku tersebut. Adapun definisi
operasionalnya adalah skor yang diperoleh dari skala perilaku modeling
3.4. Instrumen Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan prosedur sistematis untuk memperoleh data, data
yang terkumpul harus valid dan reliabel, oleh sebab itu dibuat alat ukur
masing-masing variabel yang diuji-cobakan terlebih dahulu agar menjadi alat ukur yang
valid dan reliabel. Alat ukur pada penelitian ini berupa skala psikologi yaitu
berupa pernyataan atau pertanyaan dalam bentuk item-item yang kemudian akan
direspon atau diisi oleh sampel.
Format skala yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan
format skala model Likert. Skala model ini memiliki empat faktor alternatif
pilihan jawaban yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS
(Sangat Tidak Setuju). Item-item di-skor berdasaran jawaban yang dipilih dari
jenis pernyataan, favorable atau unfavorable. Untuk jawaban favorable skornya
bergerak dari kanan ke kiri (SS→S→TS→STS) dengan nilai (4→3→2→1).
Sedangkan untuk unfavorable cara skoringn