• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh self-control dan self-concept terhadap perilaku modeling pada remaja berkaitan dengan trend berbusana dari Korea

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh self-control dan self-concept terhadap perilaku modeling pada remaja berkaitan dengan trend berbusana dari Korea"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Oleh:

Pramudya Permana Johansyah NIM: 109070000044

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Oleh:

Pramudya Permana Johansyah

NIM : 109070000044

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Rachmat Mulyono, M.Si. Psi. Zulfa Indira Wahyuni, M. Psi. NIP. 196502201999031003 NIP. 1981050302009012021

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 11 September 2014

(5)

penulisan ini adalah untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat akademik dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Jurusan Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis mengambil judul: “Pengaruh Self-Control dan Self-Concept terhadap Perilaku Modeling Remaja Berkaitan dengan Tren Berbusana dari Korea.” Skripsi ini mencoba untuk membahas faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku modeling (meniru) remaja berkaitan dengan tren berbusana dari Korea.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan yang tidak disadari oleh penulis, baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, penulis meminta maaf apabila ada kata-kata yang tidak berkenan di hati pembaca.

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Mereka adalah:

1. Yth. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Abd. Rahman Shaleh, M.Si., selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik, Bapak Ikhwan Lutfi, M.Si., selaku Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum Fakultas Psikologi, Dra. Diana Mutiah, M.Si., selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Yth. Dra. Netty Hartati, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik kelas A angkatan 2009

(6)

Hidayatullah Jakarta yang banyak memberikan bimbingan dan inspirasi dalam pra penyusunan skripsi dan para Staff Administrasi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu kelancaran kuliah dan proses kelulusan saya.

5. Skripsi ini khusus penulis persembahkan kepada kedua orang tua yaitu ayahanda R. Johan Mulyadi dan mama Indriyani Nurmalasari yang telah memberikan dukungan moral dan doa yang tanpa hentinya diucapkan kepada penulis.

6. Reza Pramana Johansyah, terima kasih sudah menjadi kakak yang baik dan menjadi contoh yang baik bagi penulis.

7. Masyakarakat yang telah membantu penyelesaian skripsi ini dengan bantuannya dalam penelitian.

8. Teman-teman angkatan 2009 yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu-persatu, terima kasih banyak atas masukan pemikiran, inspirasi, dan penyemangat penulis saat menjalani perkuliahan hingga sampai pada penulisan skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, atas bantuannya semoga Allah SWT membukakan pintu rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan semoga Allah SWT membalas semua budi baik pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Jakarta, Juli 2014

(7)

B) July, 2014

C) Pramudya Permana Johansyah

D) ix+Pages

E) The Effect of Self-Control and Self-Concept towards Modeling Behavior on Adolescence in Regards of Clothing Trends from Korea.

F) This research was done to determine whether self-control and self-concept take effect towards modeling behavior on adolescence in regards of clothing trends from Korea. Researcher theorized that aspects of self-control and aspects of self-concept has effect on modeling behavior on adolescence.

This research used quantitative approach and used multiple regression analysis as the method of analysis. There are 174 samples included in this research taken by means of convenience sampling. Researcher used measuring instrument and its construct validity was tested by using confirmatory factor analysis (CFA).

The result suggested that self-control and self-concept take effect towards modeling behavior on adolescence. It was proven by p<0.05, or the independent variables have significant effect towards modeling behavior on adolescence. Minor hypothesis result suggested that there are five variables that have significant effect towards modeling behavior.

Researcher hopes that the implications of the result of this research can be reviewed and may be researched further, for example by adding variables that have greater effect on modeling behavior, or by using other measuring instruments.

(8)

C) Pramudya Permana Johansyah

D) Pengaruh Self-control dan Self-concept terhadap Perilaku Modeling Remaja Berkaitan dengan Trend Berbusana dari Korea

E) ix + Halaman + Lampiran

F) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah self-control dan self-concept berpengaruh terhadap perilaku modeling remaja berkaitan dengan tren berbusana dari Korea. Peneliti berteori bahwa behavioral control, cognitive control, decisional control, diri identitas, diri perilaku, diri penilai, diri fisik, diri pribadi, diri moral, diri sosial, dan diri keluarga berpengaruh terhadap perilaku modeling remaja.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 174 orang remaja yang diambil dengan teknik convinience sampling. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian dibuat oleh peneliti yang kemudian diuji validitasnya melalui uji CFA (Confirmatory Factor Analysis).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan self-control dan self-concept terhadap perilaku modeling remaja berkaitan dengan tren berbusana dari Korea. Ini dibuktikan dengan nilai taraf signifikansi atau nilai p < 0.05. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan bahwa dari sebelas aspek ada lima aspek yang berpengaruh signifikan terhadap perilaku modeling, yaitu cognitive control, diri identitas, diri perilaku, diri penilai, dan diri sosial.

Penulis berharap implikasi dari hasil penelitian ini dapat dikaji kembali dan dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya. Misalnya, dengan menambah variabel lain yang terkait dengan perilaku modeling yang dapat dianalisis sebagai IV yang mungkin memiliki pengaruh besar terhadap perilaku modeling remaja.

(9)
(10)

Tabel 3.3 Blueprint SkalaPerilakuModeling Tabel 3.4 MuatanFaktor Item Behavioral Control Tabel 3.5 MuatanFaktor Item Cognitive Control Tabel 3.6 MuatanFaktor Item Decisional Control Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Diri Identitas Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Diri Perilaku Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Diri Penilai Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Diri Fisik Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Diri Moral Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Diri Sosial Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Diri Keluarga Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Attention Process Tabel 3.15 MuatanFaktor Item Retention Process

Tabel 3.16 MuatanFaktor Item Motoric Reproduction Process Tabel 3.17 MuatanFaktor Item Motivational Process

Tabel 4.1 GambaranSubjekPenelitianBerdasarkanJenisKelamin Tabel 4.2 AnalisisDeskriptifSemuaVariabeldalamPenelitianIni Tabel 4.3 Kriteria Kategorisasi Variabel

Tabel 4.4 Kategorisasi Semua Variabel dalam Penelitian Tabel 4.5 Nilai Besarnya Pengaruh IV terhadap DV Tabel 4.6 Hasil ANOVA

Tabel 4.7 Nilai Koefisien Setiap Variabel dalam Penelitian Ini

(11)

KATA PENGANTAR... iv

ABSTRAK... vi

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR TABEL... ix

BAB 1 PENDAHULUAN... 1-11 1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Pembatasan Masalah... 7

1.3Perumusan Masalah... 8

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9

1.4.1 Tujuan Penelitian... 9

1.4.2 Manfaat Penelitian... 9

1.5Sistematika Penulisan... 10

BAB 2LANDASAN TEORI... 12-38 2.1 Perilaku Modeling... 12

2.1.1 Definisi Perilaku Modeling ... 12

2.1.2 Aspek-Aspek (Proses-Proses) dalam Perilaku Modeling... 15

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Modeling... 17

2.1.4 Pengukuran Perilaku Modeling... 19

2.2 Self-control... 20

2.2.1 Definisi Self-control... 20

2.2.2 Aspek-aspek Self-control... 22

2.2.3 Pengukuran Self-control... 24

2.3 Self-concept... 24

2.3.1 Definisi Self-concept... 24

2.3.2 Dimensi-Dimensi dalam Self-concept... 28

2.3.3 Pengukuran Self-concept... 31

2.4 Kerangka Berpikir... 32

2.5 Hipotesis... 37

BAB 3 METODE PENELITIAN... 39-58 3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian... 39

3.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel... 39

3.2.1 Populasi... 39

3.2.2 Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 39

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 39

3.3.1 Variabel Penelitian... 39

(12)

3.5.1.3 UjiValiditasAspek Decisional Control... 48

3.5.2 Uji Validitas Skala Self-concept... 48

3.5.2.1 Dimensi Internal... 48

3.5.2.1.1 Diri Identitas... 48

3.5.2.1.2 Diri Perilaku... 49

3.5.2.1.3 Diri Penilai... 50

3.5.2.2 Dimensi Eksternal... 51

3.5.2.2.1 Diri Fisik... 51

3.5.2.2.2 Diri Pribadi... 51

3.5.2.2.3 Diri Moral... 52

3.5.2.2.4 Diri Sosial... 52

3.5.2.2.5 Diri Keluarga... 53

3.5.3 Uji Validitas Skala Perilaku Modeling... 54

3.5.3.1 Attention Process... 54

3.5.3.2 Retention Process... 55

3.5.3.3 Motoric Reproduction Process... 56

3.5.3.4 Motivational Process... 56

3.6 Teknik Analisa Data... 57

3.7 Prosedur Penelitian... 58

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 59-69 4.1 Gambaran Subjek Penelitian... 59

4.2 Hasil Analisis Deskriptif Penelitian... 59

4.3 Hasil Uji Hipotesis... 62

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN... 70-74 5.1 Kesimpulan... 70

5.2 Diskusi... 70

5.3 Saran... 73

DAFTAR PUSTAKA... 75

(13)

1

1.1. Latar Belakang Masalah

Trend adalah mode yang sedang diikuti atau digandrungi pada saat tertentu dan

merupakan sesuatu kebiasaan dari apa yang diikuti masyarakat. Trend bersifat

tidak permanen atau hanya terjadi untuk sementara. Seiring dengan berjalannya

waktu, trend yang terjadi di masyarakat akan berubah (Suryawati & Susesty,

komunikasi pribadi, 11 Desember 2014). Informasi-informasi mengenai trend

dapat diakses melalui dunia maya oleh siapa saja, tanpa melihat golongan usia,

terutama di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Apalagi anak dan remaja zaman

sekarang sering sekali mengakses internet melalui gadget seperti telepon selular,

PC (Personal Computer), dan melalui warnet (warung internet). Di antara begitu

banyaknya informasi tentang trend yang bisa didapatkan, terdapat informasi

mengenai Hallyu atau demam Korea.

Hallyu atau dikenal juga dengan istilah Korean Fever (demam

Korea) mulai merajalela di Indonesia. Salah satunya akibat dari demam Korea

tersebut adalah musik K-pop yang saat ini menjadi favorit masyarakat Indonesia.

Bukan hanya musik K-pop-nya saja yang para remaja Indonesia gemari,

(14)

Semakin berkembangnya Korean Wave di Indonesia menjadikan

kemungkinan plagiatisme atau peniruan semakin besar. Selain itu kegiatan

plagiatisme juga memberikan dampak negatif bagi plagiatnya. Mereka menjadi

tidak kreatif dan tidak bisa berkreasi sendiri, hal ini dapat menjadikan seorang

plagiat menjadi orang yang malas. Sedangkan dapat kita lihat pada kenyataan

yang terjadi di Indonesia, banyak boyband dan juga girlband yang banyak

bermunculan di layar kaca. Jika hal ini terus berlanjut, aliran musik Indonesia

dapat berganti menjadi seperti musik Korea dan dapat melunturkan musik asli

Indonesia (Aldeafara, 2013).

Dampak-dampak yang dibawa oleh Korean Fever ini antara lain model

rambut. Rambut remaja Korea yang dominan lurus terlihat apik ketika ditata

dengan aneka model rambut, misalnya model rambut poni atau bob (Soekirno,

2014).

Dampak lain dari Korean Fever di Indonesia adalah gaya berpakaian

wanita. Contohnya adalah rok mini, blouse unik, gaun, hingga aksesoris ala Korea

(Rema, 2012).

Contoh-contoh lain busana yang sering dipakai oleh artis-artis dari Korea

adalah blus berlengan panjang dengan motif kulit macan dan dipadukan dengan

celana pendek berpalet hijau terang, dress bermotif floral dengan dipadukan

cardigan, celana pendek, kaus, serta blazer, blouse tanpa lengan berpalet putih,

(15)

Kawan sebaya bagi remaja memang sering menjadi faktor penekan untuk

kita mengikuti tren mode (Soekirno, 2014). Menurut Sari (dalam Soekirno, 2014),

seorang konsultan mode, boleh saja kita mengikuti tren mode, tetapi jangan

membabi buta. Anak muda semestinya bisa menjadi pencipta tren, dengan berani

menjadi dirinya sendiri. Kalaupun ingin mengikuti tren yang ada, individu harus

mempertimbangkan bentuk tubuh, warna kulit, usia, dan keperluan. Jika individu

hanya sekedar mengikuti tren, malah bisa memunculkan penilaian negatif dari

orang lain (Sari, dalam Soekirno, 2014). Sebagai contoh, celana model skinny

(ketat) hanya bagus untuk pemilik tubuh dengan paha dan betis kecil, tetapi

kurang bagus untuk pemilik tubuh dengan paha besar. Dari artikel ini bisa

disimpulkan bahwa banyak remaja yang tidak percaya diri untuk menjadi pencipta

tren, dengan berani menjadi dirinya sendiri. Malahan, remaja hanya sekedar

mengikuti arus tren yang ada, tanpa ada keinginan untuk melakukan improvisasi

sehingga bisa menjadi lebih percaya diri.

Dari berbagai sumber yang telah disebut di atas, bisa disimpulkan bahwa

sudah banyak sekali remaja yang mengikuti gaya berpakaian seperti artis Korea,

tanpa memperhitungkan apakah gaya berpakaian tersebut cocok untuknya atau

tidak. Tidak ada salahnya bagi remaja untuk mengikuti gaya berpakaian terbaru

yang ada, tapi sebaiknya remaja juga bisa mengembangkan kreativitasnya supaya

tercipta tren yang baru, tren yang khas buatan remaja Indonesia. Namun, dari

berbagai sumber tersebut, terlihat bahwa remaja kebanyakan hanya sekedar

(16)

Menurut penulis, self-control berpengaruh dalam fenomena ini. Bandura

(1971) mengemukakan bahwa untuk berperilaku secara efektif, seseorang harus

bisa mengantisipasi akibat yang mungkin muncul dalam peristiwa yang

berbeda-beda dan mengatur perilakunya sesuai dengan akibat tersebut. Tanpa kemampuan

tersebut, seseorang akan bertindak secara tidak produktif, atau beresiko. Informasi

mengenai akibat yang mungkin muncul didapat dari stimuli lingkungan, misalnya

lampu lalu lintas, komunikasi verbal, pesan gambar, tempat yang mencolok,

orang, atau benda, atau perilaku orang lain.

Kemampuan untuk mendapatkan kendali atas impuls-impuls (Ainslie;

Einsberg; Fujita & Han, dalam Hagger, Wood, Stiff, & Chatzisarantis, 2010) dan

menjauhkan diri dari memuaskan kebutuhan dan keinginan (Metcalfe & Mischel;

Mischel, Shoda, & Rodriguez, dalam Hagger, Wood, Stiff, & Chatzisarantis,

2010) sangatlah adaptif dan membuat orang bisa melakukan perilaku untuk

memenuhi tujuan supaya ia bisa menghasilkan hasil yang diinginkan dalam

jangka panjang (Baumeister; Fishbach & Labroo; Logue, dalam Hagger, Wood,

Stiff, & Chatzisarantis, 2010). Jika orang tidak bisa mengatur perilakunya, hidup

akan menjadi rangkaian tindakan impulsif yang tidak bisa dihentikan untuk

melayani dorongan, keinginan, dan emosi. Perilaku yang mengarah pada tujuan

dan pencapaian hasil jangka panjang akan menjadi tidak mungkin karena orang

tidak akan bisa melakukan usaha yang disiplin dan terpusat (Loewenstein, dalam

(17)

Self-concept mencerminkan tendensi seseorang terhadap berbagai aspek

dari tindakannya baik secara positif maupun negatif. Dalam pendekatan Social

Learning Theory, self-concept negatif didefinisikan dalam kaitannya dengan

banyaknya self-reinforcement negatif. Sebaliknya, self-concept positif

didefinisikan dalam kaitannya dengan banyaknya self-reinforcement positif

(Bandura, 1971).

Dalam Social Learning Theory, self-reinforcement adalah pengendali

tindakan seseorang. Disfungsi pada sistem self-reinforcement bisa mengakibatkan

self-punishment yang berlebihan dan kondisi yang tidak menguntungkan yang

bisa mempertahankan perilaku yang merusak. Banyak individu yang mengalami

stress karena standar yang mereka buat terlalu tinggi, karena perilaku mereka

tidak sebanding dengan role-model yang memiliki prestasi tinggi (Bandura,

1971).

Tindakan role-model yang memiliki status lebih besar kemungkinannya

untuk berhasil dan memiliki nilai fungsional yang lebih besar bagi pengamatnya

daripada role-model yang memiliki kemampuan intelektual, kejuruan, dan sosial

yang lebih rendah. Dalam situasi dimana orang tidak yakin dengan pemahaman

tentang tindakan yang ditiru, mereka mengandalkan karakteristik role-model dan

simbol yang menunjukkan status (misalnya gaya berpakaian) yang menunjukkan

penanda nyata kesuksesan di masa lalu (Bandura, 1971).

Fitts (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa self-concept

(18)

merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan

lingkungan. Fitts juga mengatakan bahwa self-concept berpengaruh kuat terhadap

tingkah laku seseorang. dengan mengetahui self-concept seseorang, kita akan

lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Meltzoff (1990), ditunjukkan bahwa

tiga aspek dari imitasi, yaitu social mirroring, social modeling, dan imitation as

self-practice, relevan dengan perkembangan teori self. Dalam eksperimennya,

orang dewasa menjadi social mirror (analogi dari cermin) yang mencerminkan

perilaku yang dilakukan oleh balita. Ternyata balita lebih menyukai orang dewasa

yang meniru perilaku yang dilakukan juga oleh balita itu sendiri. Balita tersebut

juga memeriksa orang dewasa, kemungkinan untuk memeriksa di mana perbedaan

antara identitas diri dengan yang aspek lainnya.

Efek dari social mirroring ini tidak sepenuhnya merupakan fenomena di

laboratorium. Balita senang pada fakta bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan

orang dewasa mencerminkan diri balita itu sendiri. Ini juga membantu balita

dalam mengembangkan dirinya, karena ini adalah salah satu cara alami balita

untuk mengenali seperti apa tindakan yang telah ia lakukan. Dengan interaksi

seperti ini, balita bisa melihat dirinya dari orang lain (Lacan; Winnicott, dalam

Meltzoff, 1990).

Remaja yang mengikuti trend berbusana dari Korea merupakan suatu

fenomena yang menarik perhatian peneliti. Berdasarkan artikel-artikel tersebut,

(19)

maka penulis tertarik untuk menulis skripsi berjudul “Pengaruh Self-control dan

Self-concept terhadap Perilaku Modeling Remaja tentang Trend Berbusana dari

Korea.”

1.2. Pembatasan Masalah

Agar penelitian terfokus pada topik yang hendak dibahas, maka penulis

membuat pembatasan masalah. Penelitian ini hanya terbatas pada perilaku

modeling, self-control, self-concept, dan remaja. Penjelasan atas masing-masing

aspek dijelaskan sebagai berikut.

1. Perilaku Modeling

Perilaku modeling adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu

melalui pengamatan terhadap perilaku yang ditunjukkan objek yang lain

selain dirinya. Dari pengamatan tersebut, individu akan memperoleh

pengetahuan baru mengenai suatu perilaku yang diamatinya dan individu

akan mencoba untuk mereproduksi perilaku tersebut. Maka perilaku

modeling yang berkaitan dengan tren berbusana dari Korea bisa

didefinisikan sebagai suatu bentuk perilaku modeling berupa mengamati

orang-orang yang berpakaian ala Korea dan perilaku tersebut direproduksi

oleh individu yang melakukan perilaku modeling.

2. Self-Control

Self-control adalah kemampuan seseorang untuk membimbing dirinya dan

menekan impuls-impuls yang muncul di dalam dirinya secara disengaja

(20)

adalah behavioral control, cognitive control, dan decisional control

(Averill, dalam Wahid, 2007)

3. Self-Concept

Self-concept adalah kemampuan individu untuk mengenali, memahami,

merasakan, dan mengevaluasi diri sendiri. Self-concept juga berpengaruh

besar terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri

seseorang, kita akan lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah

laku orang tersebut. Aspek-aspek self-concept yang diteliti dalam

penelitian ini adalah diri identitas, diri perilaku, diri penilai, diri fisik, diri

pribadi, diri moral, diri sosial, dan diri keluarga (Fitts, dalam Agustiani,

2006).

4. Remaja

Masa remaja adalah masa transisi individu yang ditandai oleh perubahan

pada aspek fisik, kognisi, dan psikis. Remaja mampu berpikir apa saja

yang mungkin terjadi, tidak hanya membatasi diri pada hal-hal yang nyata

saja, mampu berpikir secara abstrak, mampu melakukan introspeksi diri

dan memiliki kesadaran diri, mampu berpikir secara multidimensional,

tidak terpusat pada satu masalah saja, dan melihat hal-hal sebagai relatif,

tidak absolut.

1.3. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang ingin dibahas oleh penulis adalah

(21)

1. Apakah self-control dan self-concept memiliki pengaruh signifikan

terhadap perilaku modeling remaja terhadap tren berbusana dari Korea?

2. Seberapa besar pengaruh self-control dan self-concept terhadap perilaku

modeling terhadap tren berbusana ini?

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar pengaruh

self-control dan self-concept remaja terhadap perilaku modeling terhadap tren

berbusana dari Korea.

1.4.2. Manfaat penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Secara teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

perkembangan ilmu psikologi, terutama dalam pengembangan ilmu

psikologi perkembangan.

b. Secara praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi

keluarga terutama kaum remaja dan orang tua yang memiliki anak remaja.

Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan rujukan untuk

(22)

1.5. Sistematika Penulisan

Penulis menggunakan pedoman penyusunan penulisan skripsi Fakultas

Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Hasil penelitian ini disusun menjadi lima Bab, dengan sistematika

penulisan sebagai berikut :

a) Bab 1 Pendahuluan

Bagian ini menjelaskan latar belakang masalah, identifikasi masalah,

pembatasan masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

b) Bab 2 Kajian Pustaka

Bagian ini menjelaskan pengertian perilaku modeling, aspek-aspek

dari perilaku modeling, definisi self-control, aspek-aspek self-control,

definisi self-concept, aspek-aspek self-concept, pengertian remaja,

tugas-tugas perkembangan remaja, penjelasan mengenai tren

berbusana dari Korea, kerangka berpikir, dan hipotesis.

c) Bab 3Metodologi Penelitian

Bagian ini menjelaskan pendekatan dan metode penelitian, populasi

dan sampel, teknik pengambilan sampel, instrumen pengumpulan data,

teknik pengolahan dan analisa data, prosedur penelitian.

d) Bab 4 Hasil Penelitian

Bagian ini menjelaskan gambaran umum subyek penelitian dan hasil

penelitian.

(23)

Bagian ini menjelaskan kesimpulan, diskusi dan saran.

f) Daftar pustaka

(24)

12

2.1 Perilaku Modeling Remaja Berkaitan dengan Trend Berbusana dari Korea

2.1.1. Definisi perilaku modeling

Modeling (Steinberg, 2001) adalah “The process of learning by watching others; a

therapeutic technique used to effect behavioral change.” Suatu proses belajar

dengan cara mengamati orang lain; sebuah teknik terapeutik yang digunakan

untuk mempengaruhi perubahan perilaku. Perilaku modeling adalah bagian dari

teori social learning yang dikemukakan oleh Albert Bandura.

Bandura sependapat dengan Skinner bahwa perilaku kita lebih banyak

dipelajari melalui pengkondisian operan, tetap Bandura melihat pengaruh utama

terhadap perilaku adalah hasil dari meniru perilaku model (Jarvis, 2010).

Kebanyakan perilaku yang ditampilkan orang dipelajari, baik secara

disengaja ataupun tidak, dari pengaruh contoh. Ada beberapa alasan kenapa

modeling mempengaruhi pembelajaran manusia dalam kehidupan sehari-hari. Saat

kesalahan bisa menjadi berbahaya dan beresiko, respon-respon baru bisa dibentuk

tanpa melakukan kesalahan yang tidak diperlukan dengan cara menampilkan

model yang bisa mendemonstrasikan bagaimana suatu aktivitas tertentu dilakukan

dengan benar. Beberapa perilaku rumit hanya bisa dilakukan melalui pengaruh

(25)

mendengarkan pembicaraan, akan menjadi mustahil untuk mengajarkan kepada

mereka kemampuan linguistik yang membentuk bahasa. Modeling adalah aspek

dalam pembelajaran yang tidak bisa dipisahkan. Proses pembelajaran perilaku

baru bisa disingkat dengan cara menyediakan model yang sesuai. Dalam

kebanyakan situasi, contoh yang baik merupakan guru yang jauh lebih baik

ketimbang resiko dari tindakan yang tidak terarah (Bandura, 1971).

Menurut Miller dan Dollard (dalam Bandura, 1971), supaya proses belajar

dengan meniru terjadi, pengamat harus termotivasi untuk bertindak, harus

ditampilkan kepada mereka contoh dari perilaku yang ingin dipelajari, harus

melakukan respon yang cocok dengan contohnya, dan perilaku meniru mereka

harus diperkuat secara positif.

Teori belajar sosial atau disebut juga observational learning adalah sebuah

teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar

lainnya. Berbeda dengan penganut behaviorisme lainnya, Bandura memandang

perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond),

melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan

dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini,

bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi

melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini

juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan

punishment, seorang individu akan berpikir dan memutuskan perilaku sosial mana

(26)

Belajar mengobservasi telah memberikan dampak yang cukup kuat

terhadap tingkah laku sosial-antisosial anak atau remaja. Dalam hal ini, Bandura

telah merancang tiga dampak utama dari pengamatan terhadap tingkah laku

individu yang dijadikan model yaitu (1) remaja memperoleh pola-pola respons

baru, ketika dia berfungsi sebagai pengamat, (2) pengamatan terhadap tingkah

laku model dapat memperkuat atau memperlemah respons-respons yang tidak

diharapkan (yang ditolak), dan (3) mengamati tingkah laku yang lain dapat

mendorong remaja/anak untuk melakukan kegiatan yang sama (Yusuf, 2011).

Dalam kaitannya dengan ketiga dampak di atas, interaksi sosial remaja

dalam kelompok sebaya dapat merangsang/menstimulasi pola – pola respons baru

melalui belajar dengan cara mengamati (observational learning). Di sini

kelompok sebaya telah memberikan kesempatan belajar kepada remaja untuk

mengimitasi berbagai tingkah laku para anggota kelompok lainnya. Pengaruh

teman sebaya yang menjadi model dapat mencegah atau membolehkan pola –

pola tingkah laku yang relatif tidak pasti (kebiasaan) dalam seting yang

terstruktur. Walaupun begitu, pengalaman – pengalaman baru dapat mencegah

atau memperkuat dampaknya terhadap kegiatan moral atau sosial (Yusuf, 2011).

Dari beberapa definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa perilaku

modeling adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu melalui

pengamatan terhadap perilaku yang ditunjukkan objek yang lain selain dirinya.

Dari pengamatan tersebut, individu akan memperoleh pengetahuan baru mengenai

(27)

perilaku tersebut. Selain itu, supaya perilaku modeling ini bisa muncul, individu

harus termotivasi untuk bertindak dan tindakannya diperkuat secara positif. Maka

perilaku modeling yang berkaitan dengan tren berbusana dari Korea bisa

didefinisikan sebagai suatu bentuk perilaku modeling berupa mengamati

orang-orang yang berpakaian ala Korea dan perilaku tersebut direproduksi oleh individu

yang melakukan perilaku modeling. Dalam penelitian ini, perilaku modeling yang

ingin diteliti adalah perilaku modeling remaja berkaitan dengan trend berbusana

dari Korea.

2.1.2. Aspek-Aspek (Proses-Proses) dalam Perilaku Modeling

Perilaku modeling dipengaruhi oleh empat proses (Bandura, 1971):

1. Attentional process

Seseorang tidak bisa banyak belajar dengan observasi jika dia tidak

memperhatikan, atau mengenali, fitur-fitur penting dari perilaku model.

Hanya sekedar menampilkan model kepada seseorang bukan berarti orang

tersebut akan memperhatikan modelnya, mereka akan memilih

karakteristik-karakteristik model yang paling relevan, atau mereka akan

merasakan secara akurat aspek-aspek yang kebetulan saja mereka sadari.

Beberapa bentuk modeling secara intinsik menguatkan sampai mereka bisa

mempertahankan perhatian orang dari semua usia dalam waktu yang luas.

Contoh yang paling baik untuk menggambarkan ini adalah modeling dari

televisi. Model-model yang ditampilkan di televisi sangat efektif dalam

(28)

perilaku yang ditunjukkan tanpa diberikan penguatan untuk melakukannya

(Bandura, Grusec, & Menlove, dalam Bandura, 1971).

2. Retention process

Seseorang tidak bisa dipengaruhi oleh pengamatan perilaku model jika ia

tidak mengingatnya. Fungsi besar kedua dalam perilaku modeling meliputi

ingatan jangka panjang mengenai aktivitas yang telah ditunjukkan pada

suatu waktu. Jika seseorang ingin mereproduksi perilaku model saat

modelnya sendiri sudah tidak ada untuk bertindak sebagai pemandu, pola

respon harus direpresentasikan dalam memori dalam bentuk simbolis.

Setelah aktivitas yang telah ditunjukkan diubah menjadi

gambaran-gambaran dan simbol verbal yang bisa digunakan, kode-kode memori ini

bertindak sebagai panduan untuk mereproduksi respon yang cocok secara

berurutan.

Selain pengkodean simbolis, repetisi juga membantu memperkuat ingatan.

Orang yang secara mental merepetisi atau benar-benar melakukan

peniruan perilaku cenderung sulit melupakan perilaku tersebut

dibandingkan dengan orang yang tidak memikirkan atau melatih apa yang

mereka lihat.

3. Motoric reproduction process

Proses ketiga meliputi proses dimana representasi simbolis bertindak

sebagai panduan dalam tindakan terang-terangan. Untuk bisa

mereproduksi perilaku, seseorang harus menggabungkan serangkaian

(29)

simbolis dari perilaku yang telah ditampilkan telah didapat dan diingat,

seseorang mungkin masih tidak bisa mereproduksi perilaku tersebut

karena keterbatasan fisik. Seorang anak bisa belajar melalui pengamatan

tentang perilaku mengendarai mobil, tapi jika ia terlalu pendek untuk

mengoperasikan kemudinya ia tidak akan bisa mengendarai kendaraan

tersebut.

4. Motivational process

Seseorang bisa mendapatkan, mengingat, dan memiliki kemampuan untuk

melakukan perilaku yang ditampilkan, tapi perilaku itu mungkin tidak

keluar jika perilaku tersebut tidak disangsikan secara positif dan tidak

diterima dengan baik.

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku modeling

Faktor-faktor yang mempengaruhi individu untuk melakukan perilaku modeling

antara lain sebagai berikut (Bandura, 1971).

1. Self-control

Untuk berperilaku secara efektif, seseorang harus bisa mengantisipasi

akibat yang mungkin muncul dalam peristiwa yang berbeda-beda dan

mengatur perilakunya sesuai dengan akibat dari peristiwa tersebut. Tanpa

kemampuan tersebut, seseorang akan bertindak secara tidak produktif, atau

beresiko. Informasi mengenai akibat yang mungkin muncul didapat dari

stimuli lingkungan, misalnya lampu lalu lintas, komunikasi verbal, pesan

(30)

lain. Self-control yang dimaksud bukan hanya dalam segi perilaku saja,

tapi juga dari segi kognitif dan juga emosinya.

2. Self-concept

Tindakan role-model yang memiliki status lebih besar kemungkinannya

untuk berhasil dan memiliki nilai fungsional yang lebih besar bagi

pengamatnya daripada role-model yang memiliki kemampuan intelektual,

kejuruan, dan sosial yang lebih rendah. Dalam situasi dimana orang tidak

yakin dengan pemahaman tentang tindakan yang ditiru, mereka

mengandalkan karakteristik role-model dan simbol yang menunjukkan

status (misalnya gaya berpakaian) yang menunjukkan penanda nyata

kesuksesan di masa lalu (Bandura, 1971). Dalam hal ini, artis-artis dari

Korea adalah role-model yang tepat bagi remaja untuk mempelajari dan

meniru gaya berpakaian ini, karena mereka terkenal dan memiliki prestasi

dalam bidangnya.

3. Lingkungan

Hampir semua proses pembelajaran yang didapat dari pengalaman

langsung bisa dipelajari melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain.

Kemampuan manusia untuk belajar melalui observasi membantu dia untuk

mendapatkan berbagai macam perilaku tanpa harus membentuk pola

perilaku melalui proses trial and error (coba-coba). Begitu juga dengan

respon emosional bisa didapatkan melalui observasi terhadap reaksi afektif

orang lain saat mereka menghadapi pengalaman yang menyenangkan atau

(31)

menampilkan contoh yang menjelaskan bagaimana cara suatu kegiatan

dilakukan dengan cara yang benar. Contohnya, remaja paling banyak

dipengaruhi oleh internet, seperti video di situs-situs, film Korea,

pertunjukkan konser artis Korea di Indonesia. Dari berbagai media

tersebut remaja bisa mengetahui bagaimana cara berpakaian dan

berpenampilan seperti artis Korea.

4. Adanya reinforcement (penguatan)

Proses pembelajaran yang berasal dari pengalaman langsung sebagian

besar dipengaruhi oleh reward atau punishment yang mengikuti setiap

tindakan. Melalui reward ataupun punishment yang akan diterima dari

setiap tindakan yang dilakukan, individu bisa membuat dugaan-dugaan

tentang perilaku seperti apa yang akan menghasilkan hasil yang

menguntungkan bagi individu yang bersangkutan. Selain itu,

reinforcement bisa berfungsi sebagai motivator individu dalam kegiatan

yang dilakukan di masa depan.

2.1.3. Pengukuran perilaku modeling

Dalam penelitian ini, pengukuran perilaku modeling dilakukan dengan

menggunakan skala perilaku modeling yang dibuat berdasarkan aspek-aspek

perilaku modeling yang dikemukakan Bandura (1971), yaitu attentional process,

(32)

2.2 Self – Control

2.2.1. Definisi self-control

Menurut Chaplin (2006), self-control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls – impuls

atau tingkah laku impulsif. Self-control bisa dikonseptualisasikan sebagai

kemampuan yang dikembangkan dari waktu ke waktu dan membuat orang

menginvestasikan secara aktif usaha yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan

atau hasil (Carver & Scheier; Wills & Dishion, dalam Hagger dkk, 2010).

Self – control adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses

menekan atau menghambat perilaku atau respon seseorang secara disengaja dan

sadar (Vohs & Baumeister, 2004).

Ada beberapa model proses self – control yang telah ditemukan ahli – ahli

sebelumnya (Vohs & Baumeister, 2004), antara lain:

a. Cybernetic Model

Carver dan Scheier mengembangkan model ini untuk self – control saat mereka mengemukakan proses self – control terjadi pada

test-operate-test-exit (TOTE) loop. Orang – orang memasuki TOTE saat mereka

membentuk tujuan. Tindakan pertama, test, merujuk pada perbandingan

keadaan sekarang dengan keadaan tujuan. Menduga ada kesenjangan

antara keadaan sekarang dengan keadaan yang diinginkan, orang

(33)

melakukan test lagi, dan tergantung apakah tujuannya tercapai atau tidak,

orang mungkin harus melakukan lebih banyak pekerjaan untuk mencapai

tujuannya lagi, orang bisa kembali ke fase operate atau exit.

Satu gagasan penting dalam TOTE loop ini adalah bahwasanya emosi

merefleksikan proses seseorang untuk mencapai tujuannya; afeksi positif

seringkali menjadi tanda bahwa orang mendekati tujuannya, dan afeksi

negatif seringkali menandakan orang menjauhi tujuannya.

b. Regulatory Resource Model

Regulatory Resource Model mengemukakan bahwa kemampuan untuk

mengendalikan diri sendiri dikuasai oleh sumber – sumber terbatas yang

dimiliki oleh semua bagian self – control. Tiap satu kali tindakan self –

control dilakukan akan membuat orang itu kurang berhasil dalam

melakukan self – control yang berikutnya (dalam waktu yang terbatas)

karena kurangnya sumber daya untuk melakukan self – control yang

berikutnya. Ini dikenal sebagai keadaan kekurangan ego, yang

menggambarkan ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan

self – control yang spesifik. Baumeister, Vohs, dan rekan – rekannya

mengemukakan bahwa respon – respon yang meliputi regulasi emosi,

kendali mental, intervensi impuls, dan pengarahan perilaku semuanya

memakai sumber daya tersebut, dan sebagai akibatnya, banyaknya sumber

daya tersebut akan berkurang tiap kali kegiatan self – control dilakukan.

(34)

Model ketiga berpusat pada kemampuan untuk menunda gratifikasi.

Selama lebih dari 40 tahun, penelitian yang dilakukan oleh Mischel dkk

telah menerangi pentingnya mengekang frustasi, melumpuhkan respon

yang tidak diinginkan, dan mengatasi godaan – godaan untuk mencapai

tujuan, perkembangan psikologis, dan kesejahteraan. Penelitian –

penelitian khas untuk menguji perspektif penundaan gratifikasi berfokus

pada anak – anak usia 3 – 4 tahun, yang duduk di depan meja yang di

atasnya terdapat makanan yang menggoda. Si anak diberitahu jika dia

tidak makan makanan yang ada di depannya (misalnya permen), maka ia

akan diberikan makanan yang lebih besar (misalnya dua permen) nantinya.

Penundaan gratifikasi diukur dari seberapa lama anak itu menunggu dan

tidak makan makanan yang telah tersedia.

Berdasarkan definisi – definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

self-control adalah kemampuan seseorang yang dikembangkan dari waktu ke

waktu untuk membimbing dirinya dan menekan impuls – impuls yang muncul di

dalam dirinya secara disengaja dan sadar.

2.2.2. Aspek – aspek self-control

Menurut Averill (dalam Wahid, 2007) terdapat 3 jenis kemampuan mengontrol

diri, yaitu:

a. Behavioral Control

Behavioral control merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon

(35)

keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini

diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated

administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus

modifiability).

Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu

untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya

sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang kemampuan mengontrol

dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan

kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan

sumber eksternal.

Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui

bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi

stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang

sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir,

dan membatasi intensitasnya.

b. Cognitive Control

Cognitive control merupakan kemampuan individu dalam mengolah

informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai,

atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif

sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Aspek ini

terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain)

(36)

Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan

yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut

dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu

berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan

cara memperhatikan segi – segi positif secara subjektif.

c. Decisional Control

Decisional control merupakan kemampuan untuk memilih hasil atau suatu

tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.

Self-control dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya

suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk

memilih berbagai kemungkinan tindakan.

2.2.3. Pengukuran self-control

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala self-control yang dibuat

sendiri berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Averill, yaitu behavioral

control, cognitive control, dan decisional control.

2.3 Self – Concept

2.3.1 Definisi self-concept

Menurut Chaplin (2006), self-concept adalah evaluasi individu mengenai diri

sendiri, penilaian atau penaksiran mengenali diri sendiri oleh individu yang

(37)

Menurut Steinberg (2001), pengertian self – concept adalah “The way in

which one perceives oneself”. Cara seseorang merasakan dirinya.

Menurut Hurlock (1980), ada beberapa kondisi yang mempengaruhi

self-concept remaja, yaitu:

a. Usia kematangan

Remaja yang matang lebih awal, yang diperlakukan seperti orang yang

hampir dewasa, mengembangkan self-concept yang menyenangkan

sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang matang

terlambat, yang diperlakukan seperti anak – anak, merasa salah

dimengerti dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku

kurang dapat menyesuaikan diri.

b. Penampilan diri

Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri

meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat

fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan

perasaan rendah diri. Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan

penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah

dukungan sosial.

c. Kepatutan seks

Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku membantu

(38)

membuat remaja sadar diri dan hal ini memberi akibat buruk pada

perilakunya.

d. Nama dan julukan

Remaja peka dan merasa malu bila teman – teman sekelompok menilai

namanya buruk atau bila mereka memberi nama julukan yang bernada

cemoohan.

e. Hubungan keluarga

Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang

anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang ini dan

ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini

sesama jenis, remaja akan tertolong untuk mengembangkan

self-concept yang layak untuk jenis seksnya.

f. Teman – teman sebaya

Teman – teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam

dua cara. Pertama, self-concept remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman – teman tentang dirinya dan kedua, ia

berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri – ciri kepribadian

yang diakui oleh kelompok

g. Kreativitas

Remaja yang semasa kanak – kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam tugas – tugas akademis, mengembangkan perasaan

individualitas dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada

(39)

kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang

mempunya perasaan identitas dan individualitas.

h. Cita – cita

Bila remaja mempunya cita – cita yang tidak realistik, ia akan

mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak

mampu dan reaksi – reaksi bertahan di mana ia menyalahkan orang

atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuannya lebih

banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan. Ini akan

menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar

yang memberikan self-concept yang lebih baik.

Rogers (dalam Jarvis, 2010) meyakini bahwa kita memiliki citra diri

dalam pikiran kita seperti keadaan kita sekarang, sekaligus citra diri kita yang

ideal (ideal self), yaitu citra diri yang kita inginkan. Jika kedua citra itu kongruen

(artinya sama), kita akan mengembangkan harga diri yang baik. Perkembangan

kongruen dan harga diri bergantung pada penghargaan positif tak bersyarat

(unconditional positive regard) dari orang lain – berupa penerimaan, cinta, dan

kasih sayang.

Fitts (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa self-concept

merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena self-concept seseorang

merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan

lingkungan. Fitts juga mengatakan bahwa self-concept berpengaruh kuat terhadap

tingkah laku seseorang. dengan mengetahui self-concept seseorang, kita akan

(40)

Self-concept seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai

berikut (Fitts, dalam Agustiani, 2006):

a. Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal, yang memunculkan

perasaan positif dan perasaan berharga

b. Kompetensi dalam area yang dihargai individu dan orang lain

c. Aktualisasi diri, atau implementasi dan realisasi dari potensi pribadi yang

sebenarnya.

Dari definisi-definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa self-concept

adalah kemampuan individu untuk mengenali, memahami, merasakan, dan

mengevaluasi diri sendiri. Self-concept juga berpengaruh besar terhadap tingkah

laku seseorang. Dengan mengetahui self-concept seseorang, kita akan lebih

mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut.

2.3.2 Dimensi-dimensi dalam self-concept

Fitts (dalam Agustiani, 2006) membagi self-concept dalam dua dimensi pokok,

yaitu sebagai berikut:

1) Dimensi Internal

Dimensi internal atau disebut juga kerangka acuan internal (internal frame

of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya

sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi ini terdiri dari tiga

bentuk.

(41)

Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada

self-concept dan mengacu pada pertanyaan, “Siapakah saya?” Dalam

pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang

diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan

untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya “Saya Ita”. kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan

lingkungannya, pengetahuan individu tentang dirinya juga bertambah,

sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan

hal-hal yang lebih kompleks, seperti “Saya pintar tetapi terlalu gemuk”

dan sebagainya.

b. Diri Perilaku (Behavioral Self)

Diri perilaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh

diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri

yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri

identitas dengan diri perilakunya, sehingga ia dapat mengenali dan

menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku.

kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.

c. Diri Penerimaan/Penilai (Judging Self)

Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan

evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara

(42)

Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang

dipersepsikannya. Oleh karena itu, label – label yang dikenakan pada

dirinya bukanlah semata – mata menggambarkan dirinya, tetapi juga

sarat dengan nilai – nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan

dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya.

Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atau

seberapa jauh seseorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah

akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan akan

mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar pada dirinya.

sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi,

kesadaran dirinya lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan

individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan

memfokuskan energy serta perhatiannya ke luar diri, dan pada

akhirnya dapat berfungsi lebih konstruktif.

2) Dimensi Eksternal

a. Diri Fisik (Physical Self)

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya

secara fisik. dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai

kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak

menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).

b. Diri Etik-Moral (Moral-Ethic Self)

Bagian ini merupakan pesepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari

(43)

persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan

seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai – nilai moral yang

dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.

c. Diri Pribadi

Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang

keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau

hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana

individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa

dirinya sebagai pribadi yang tepat.

d. Diri Keluarga (Family Self)

Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam

kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan

seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai

anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang

dijalankannya sebagai anggota suatu keluarga.

e. Diri Sosial (Social Self)

Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya

dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.

2.3.3. Pengukuran self-concept

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala self-concept yang dibuat sendiri

berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Fitts, yang mencakup dimensi

internal (diri identitas, diri perilaku, dan diri penilaian) dan dimensi eksternal (diri

(44)

2.4. Kerangka Berpikir

Bagi remaja, yang sedang dalam masa pencarian jati diri, media merupakan alat

utama bagi mereka untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Remaja akan selalu

mencari dan tertarik pada trend terbaru. Salah satunya adalah dalam hal

berpakaian. Dalam hal ini, gaya berpakaian yang dimaksud adalah gaya

berpakaian yang berasal dari Korea.

Artis-artis dari Korea yang penampilannya menarik bisa menjadi role

model bagi remaja lainnya dalam hal berpakaian. Dari sinilah perilaku modeling

itu muncul. Dengan berpenampilan menarik seperti artis yang menjadi

role-model-nya, remaja mengharapkan pujian dari teman-teman sebayanya.

Belajar mengobservasi telah memberikan dampak yang cukup kuat

terhadap tingkah laku sosial-antisosial anak atau remaja. Dalam hal ini, Bandura

telah merancang tiga dampak utama dari pengamatan terhadap tingkah laku

individu yang dijadikan model yaitu (1) remaja memperoleh pola-pola respons

baru, ketika dia berfungsi sebagai pengamat, (2) pengamatan terhadap tingkah

laku model dapat memperkuat atau memperlemah respons-respons yang tidak

diharapkan (yang ditolak), dan (3) mengamati tingkah laku yang lain dapat

mendorong remaja/anak untuk melakukan kegiatan yang sama (Yusuf, 2011).

Dalam kaitannya dengan ketiga dampak di atas, interaksi sosial remaja

dalam kelompok sebaya dapat merangsang/menstimulasi pola-pola respons baru

melalui belajar dengan cara mengamati (observational learning). Di sini

(45)

mengimitasi berbagai tingkah laku para anggota kelompok lainnya. Pengaruh

teman sebaya yang menjadi model dapat mencegah atau membolehkan pola-pola

tingkah laku yang relatif tidak pasti (kebiasaan) dalam seting yang terstruktur.

Walaupun begitu, pengalaman-pengalaman baru dapat mencegah atau

memperkuat dampaknya terhadap kegiatan moral atau sosial (Yusuf, 2011).

Menurut penulis, self-control berpengaruh dalam fenomena ini. Bandura

(1971) mengemukakan bahwa untuk berperilaku secara efektif, seseorang harus

bisa mengantisipasi akibat yang mungkin muncul dalam peristiwa yang

berbeda-beda dan mengatur perilakunya sesuai dengan akibat tersebut. Tanpa kemampuan

tersebut, seseorang akan bertindak secara tidak produktif, atau beresiko. Informasi

mengenai akibat yang mungkin muncul didapat dari stimuli lingkungan, misalnya

lampu lalu lintas, komunikasi verbal, pesan gambar, tempat yang mencolok,

orang, atau benda, atau perilaku orang lain.

Sesuai dengan pendapat Bandura (1971), seseorang harus bisa

memperhitungkan akibat dari setiap tindakan yang diambilnya. Dalam fenomena

tren berpakaian dari Korea ini, individu yang ingin mengikutinya harus bisa

memperhitungkan akibat dari tindakannya dalam meniru gaya berpakaian

tersebut. Contohnya, apakah perilaku meniru ini berdampak pada aspek-aspek

hidup individu (seperti interaksi sosial, keuangan, moral, dsb) yang melakukannya

atau tidak adalah sesuatu yang harus diperhitungkan.

Self-concept mencerminkan tendensi seseorang terhadap berbagai aspek

dari tindakannya baik secara positif maupun negatif. Dalam pendekatan Social

(46)

banyaknya self-reinforcement negatif. Sebaliknya, self-concept positif

didefinisikan dalam kaitannya dengan banyaknya self-reinforcement positif

(Bandura, 1971).

Dalam Social Learning Theory, self-reinforcement adalah pengendali

tindakan seseorang. Disfungsi pada sistem self-reinforcement bisa mengakibatkan

self-punishment yang berlebihan dan kondisi yang tidak menguntungkan yang

bisa mempertahankan perilaku yang merusak. Banyak individu yang mengalami

stress karena standar yang mereka buat terlalu tinggi, karena perilaku mereka

tidak sebanding dengan role-model yang memiliki prestasi tinggi (Bandura,

1971).

Tindakan role-model yang memiliki status lebih besar kemungkinannya

untuk berhasil dan memiliki nilai fungsional yang lebih besar bagi pengamatnya

daripada role-model yang memiliki kemampuan intelektual, kejuruan, dan sosial

yang lebih rendah. Dalam situasi dimana orang tidak yakin dengan pemahaman

tentang tindakan yang ditiru, mereka mengandalkan karakteristik role-model dan

simbol yang menunjukkan status (misalnya gaya berpakaian) yang menunjukkan

penanda nyata kesuksesan di masa lalu (Bandura, 1971). Dalam hal ini, artis-artis

dari Korea adalah role-model yang tepat bagi remaja untuk mempelajari dan

meniru gaya berpakaian ini, karena mereka terkenal dan memiliki prestasi dalam

bidangnya.

Fitts (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa self-concept

merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena self-concept seseorang

(47)

lingkungan. Fitts juga mengatakan bahwa self-concept berpengaruh kuat terhadap

tingkah laku seseorang. dengan mengetahui self-concept seseorang, kita akan

lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut.

Remaja yang melihat cara berpakaian artis-artis dari Korea akan

mempelajari hal tersebut dan akan dijadikan kerangka acuan (frame of reference)

dalam hal berpakaian. Kerangka acuan tersebut akan dijadikan landasan baginya

untuk menentukan pakaian seperti apa yang akan dia pakai di masa depan. Sesuai

dengan pendapat Bandura (1971), remaja yang menjadikan artis Korea sebagai

role-model dalam berpakaian akan membuat standar mengenai bagaimana cara

berpakaian ala Korea.

Dalam penelitian ini, penulis hendak melihat apakah ada pengaruh

signifikan antara self-control dan self-concept terhadap perilaku modeling remaja

tentang tren berbusana dari Korea. Adapun variabel-variabel self-control yang

akan digunakan adalah berdasarkan aspek-aspek self-control menurut Averill

(dalam Wahid, 2007), yaitu behavioral control, cognitive control, dan decisional

control. Variabel-variabel self-concept yang akan digunakan adalah berdasarkan

dimensi eksternal dari aspek self-concept yang dikemukakan oleh Fitts (dalam

Agustiani, 2006), yang terdiri dari diri fisik, diri pribadi, diri keluarga, diri moral,

dan diri sosial. Semua variabel tersebut akan dilihat apakah mempengaruhi

perilaku modeling secara signifikan.

Gambaran hubungan antar variabel self-control, self-concept, dan perilaku

(48)

aspek-aspek yang hendak diukur dan dicari pengaruhnya digambarkan oleh

[image:48.595.105.529.189.648.2]

peneliti seperti pada gambar 2.1.

Gambar 2.1.

Pengaruh antara self-control dan self-concept terhadap perilaku modeling Self-Control

Self-concept

Perilaku Modeling pada Remaja terhadap Trend Berbusana dari

Korea Behavioral Control

Cognitive Control

Decisional Control

(49)

2.5. Hipotesis

Berdasarkan teori-teori dan kerangka berpikir yang telah dijelaskan, peneliti

menyusun hipotesis menjadi dua bagian, yaitu hipotesis mayor dan hipotesis

minor. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

1. Hipotesis Mayor

Ada pengaruh signifikan variabel-variabel self-control (behavioral

control, cognitive control, dan decisional control) dan variabel-variabel

self-concept (diri identitas, diri perilaku, diri penilai, diri fisik, diri pribadi,

diri moral, diri sosial, dan diri keluarga) terhadap perilaku modeling

remaja berkaitan dengan trend berbusana dari Korea.

2. Hipotesis Minor

Ha1 : Ada pengaruh behavioral control terhadap perilaku modeling

tentang trend berbusana dari Korea.

Ha2 : Ada pengaruh cognitive control terhadap perilaku modeling

tentang trend berbusana dari Korea.

Ha3 : Ada pengaruh decisional control terhadap perilaku modeling

tentang trend berbusana dari Korea.

Ha4 : Ada pengaruh diri fisik terhadap perilaku modeling tentang

trend berbusana dari Korea.

Ha5 : Ada pengaruh diri pribadi terhadap perilaku modeling tentang

(50)

Ha6 : Ada pengaruh diri keluarga terhadap perilaku modeling tentang

trend berbusana dari Korea.

Ha7 : Ada pengaruh diri sosial terhadap perilaku modeling tentang

trend berbusana dari Korea.

Ha8 : Ada pengaruh diri moral terhadap perilaku modeling tentang

trend berbusana dari Korea.

Ha9 : Ada pengaruh diri identitas terhadap perilaku modeling tentang

trend berbusana dari Korea.

Ha10 : Ada pengaruh diri perilaku terhadap perilaku modeling tentang

trend berbusana dari Korea.

Ha11 : Ada pengaruh diri penilaian terhadap perilaku modeling tentang

(51)

39

3. 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kuantitatif dan jenis penelitian ini adalah penelitian regresi, karena tujuan dari

penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar pengaruh antara variabel satu

dengan variabel lainnya.

3.2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 3.2.1. Populasi

Populasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh remaja di Provinsi DKI

Jakarta.

3.2.2. Sampel dan teknik pengambilan sampel

Dalam penelitian ini, peneliti menentukan sampel sebanyak 174 orang. Adapun

teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah convinience sampling, dimana

sampel diambil karena alasan kemudahan.

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.3.1. Variabel penelitian

Pada penelitian ini, variabel-variabel yang akan diteliti adalah sebagai berikut.

(52)

Variabel terikat (DV) : perilaku modeling remaja terhadap trend berbusana dari

Korea

3.3.2. Definisi operasional

Adapun definisi operasional dari tiap variabel tersebut adalah sebagai berikut.

a. Self-control adalah kemampuan yang dikembangkan seseorang dari waktu

ke waktu untuk membimbing dirinya dan menekan impuls-impuls di

dalam dirinya secara disengaja dan sadar. Adapun definisi operasionalnya

adalah skor yang diperoleh dari skala self-control setelah diujikan kepada

sampel yang bersangkutan.

b. Self-concept adalah kemampuan individu untuk mengenali, memahami,

merasakan, dan mengevaluasi diri sendiri. Self-concept juga berpengaruh

besar terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri

seseorang, kita akan lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah

laku orang tersebut. Adapun definisi operasionalnya adalah skor yang

diperoleh dari skala self-concept setelah diujikan kepada sampel yang

bersangkutan.

c. Perilaku modeling adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu

melalui pengamatan terhadap perilaku yang ditunjukkan objek yang lain

selain dirinya. Dari pengamatan tersebut, individu akan memperoleh

pengetahuan baru mengenai suatu perilaku yang diamatinya dan individu

akan mencoba untuk mereproduksi perilaku tersebut. Adapun definisi

operasionalnya adalah skor yang diperoleh dari skala perilaku modeling

(53)

3.4. Instrumen Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan prosedur sistematis untuk memperoleh data, data

yang terkumpul harus valid dan reliabel, oleh sebab itu dibuat alat ukur

masing-masing variabel yang diuji-cobakan terlebih dahulu agar menjadi alat ukur yang

valid dan reliabel. Alat ukur pada penelitian ini berupa skala psikologi yaitu

berupa pernyataan atau pertanyaan dalam bentuk item-item yang kemudian akan

direspon atau diisi oleh sampel.

Format skala yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan

format skala model Likert. Skala model ini memiliki empat faktor alternatif

pilihan jawaban yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS

(Sangat Tidak Setuju). Item-item di-skor berdasaran jawaban yang dipilih dari

jenis pernyataan, favorable atau unfavorable. Untuk jawaban favorable skornya

bergerak dari kanan ke kiri (SS→S→TS→STS) dengan nilai (4→3→2→1).

Sedangkan untuk unfavorable cara skoringn

Gambar

GAMBAR 2.1 Hubungan antara Self-control dan Self-concept terhadap Perilaku
gambaran dan simbol verbal yang bisa digunakan, kode-kode memori ini
gambar, tempat yang mencolok, orang, atau benda, atau perilaku orang
Gambar 2.1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini kemungkinan disebabkan karena jumlah untuk setiap kali pemberian dan waktu pemberian pakan yang dilakukan sesuai dengan waktu lobster merasa lapar yaitu selama

• Semua informan mewakili lembaga-lembaga yang diteliti, yaitu dari PG Gempolkrep, perwakilan petani tebu rakyat (PTR), perwakilan koperasi, perwakilan APTR, Disbun

Sehubungan dengan hasil evaluasi penawaran saudara, perihal penawaran Pekerjaan Peningkatan Jalan Persemaian - Tempekong Nunukan Barat , dimana perusahaan saudara

D alam ragam non formal terkadang terjadi “penyisipan” unsur bahasa lain, di samping itu topik pem-bicaraan non ilmiah (percakapan sehari-hari) menciptakan

Dari hasil yang analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ke - cerdasan interpersonal antara subjek laki-laki yang memiliki orangtua lengkap dengan sub-

yang berasal dari etnis madura dan tidak terkecuali pemukiman sekitarnya juga merupakan. warga etnis

Dan diperoleh hasil bahwa dengan identifikasi pola data serta penggunaan data demand yang sesungguhnya dapat meningkatkan akurasi peramalan, dengan metode yang

I nstrumen dapat dikatakan reliabel jika niliai koefisien alpha tersebut melebihi 0,6.. Kriteria dikatakan