DAFTAR PUSTAKA
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran HAM Berat Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo, Jakarta,
2005.
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Edisi Pertama-Cetakan Kedua), CV. Akademika Perssindo, 1989.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Revisi, cetakan ke empat, 2005.
Buergental, Thomas, International Human Rights, St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1995.
Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perpektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Pers, Jakarta, 2004.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya,
Alumni, Bandung, 2007.
Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005.
R. Wiyono, Pengadilan Hak asasi di Indonesia, Kencana, Jakarta,
Albert Hasibuan, Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP, makalah dalam diskusi ilmiah “Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP” yang diselenggarakan di Fakultas Hukum
Unpad, Bandung, 2 Juni 2007.
………....Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat, Elsam , Jakarta, 2005.
Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, ELSAM, Jakarta, 2005. Ifdhal Kasim, “Prinsip-prinsip van Boven” mengnai Korban Pelanggaran HAM Berat
Hak Asasi Manusia, dalam van Boven, Theo, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi, ELSAM, Jakarta, 2002. ...Dilema Simalakama: Amnesti Keadilan di Masa Transisi, ELSAM,
Jakarta, 2003.
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat
Undang-undang No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Undang-undang 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1999 Tentang
Pengadilan HAM
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan
Korban Pelanggaran HAM yang Berat
Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan
Declaration Universal of Universal Tahun 1948
International Convenant on Civil and Political Rights Tahun 1966.
Optional Protocol International Convenant on Civil and Political Rights Tahun 1976
restitusi dan rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya sebagai akibat dari palanggaran HAM yang berat. Hal ini dapat membantu
korban dalam menjamin hak-haknya untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi tanpa proses yang panjang seperti yang diatur dalam KUHAP.
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini mempunyai tugas dan
wewenang yang jelas. Berbeda dengan halnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK), yang dibentuk melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK sebagai
lembaga yang mandiri tidak cukup mengkoordinir kepentingan korban pelanggaran HAM
yang berat dalam hal pengajuan kompensasi dan restitusi.
Namun pada 7 Desember 2006, UU KKR telah dicabut oleh Mahkamah
Konstitusi dikarenakan Pasal 27 UU KKR tidak jelas. Pasal 27 tersebut dianggap telah
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dalam
memberikan hak kepada korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
BAB III
PRAKTIK PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI BAGI KORBAN DALAM KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA
A. Upaya-upaya Dalam Rangka Pemberian Kompensasi dan Restitusi bagi Korban Pelanggaran HAM Berat
Indonesia telah meratifikasi ICCPR, sebagai salah satu wujud komitmen negara
Indonesia untuk menjamin hak asasi warga negaranya. ICCPR merupakan instrumen
dideklarasikan didalam piagam PBB, dan DUHAM (Declarations Universal of Human Rights Tahun 1948).51 Ketentuan di dalam ICCPR seringkali dijadikan asas di dalam proses pengadilan bagi perlindungan hukum terhadap orang-orang yang terlibat di
dalamnya termasuk saksi dan korban. Hal yang sangat penting yang menyangkut korban
dalam ICCPR ini adalah Optsional Protokol-nya, karena protokol ini bertujuan untuk
mewujudkan tujuan dari ICCPR dengan cara menindak lanjuti perlindungan bagi korban
dari pelanggaran ketentuan ICCPR.52 Selain itu juga asas peradilan cepat, sederhana dan
biaya ringan, persamaan didepan hukum (equality before the law), asas ganti rugi dan rehabilitasi, bantuan hukum serta asas pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan
pengadilan merupakan asas di dalam hukum acara pidana yang berdimensi perlindungan
terhadap HAM, yang telah terakomodir dalam hukum positif Indonesia.53
Upaya yang saat ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka untuk
menjamin kepentingan korban dalam mengajukan permohonan kompensasi dan restitusi
adalah dengan menetapkan PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban sebagai aturan pelaksana dari UU
Perlindungan Saksi dan Korban. PP tersebut setidaknya telah mengatur jelas mengenai
jaminan perlindungan pada korban berupa pemberian kompensasi dan restitusi. Namun
ada beberapa hal yang masih harus dikritisi. Pertama, PP tersebut tidak disusun dengan perspektif korban sehingga memunculkan banyak ketentuan yang akan berpotensi
menghambat pemenuhan hak atas pemulihan bagi korban. Kedua, beberapa ketentuan
51
Mukadimah ICCPR
52
Mukadimah Opsional Protokol dari ICCPR. Opsional Protokol ICCPR tidak diratifikasinya oleh Pemerintah Indonesia yang menjadikan penegakan HAM di Indonesia menjadi timpang
53
dalam PP tersebut masih melanjutkan kesalahan konsep dari regulasi sebelumnya yang
seharusnya disinkronkan. Hal ini terkait dengan definisi dari kompensasi pada Pasal 1
ke-4 PP No. ke-4ke-4 Tahun 2008, yang berbunyi:
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Definisi dari kompensasi tersebut tidak mengalami perubahan seperti halnya pada definisi
kompensasi dalam UU Pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002. Kompensasi dalam
PP ini tidak memunculkan konsep tanggung jawab negara secara penuh dalam menjamin
kompensasi dan restitusi bagi korban khususnya korban pelanggaran HAM berat.
Prosedur mengenai syarat-syarat permohonan kompensasi dan bantuan oleh
korban akan berimplikasi pada gagalnya korban memperoleh hak-haknya. Dalam PP
tersebut dijelaskan bahwa korban dalam pengajuan permohonan kompensasi harus
memenuhi syarat sebagai berikut:54
(2) Permohonan Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri:
(1) a. identitas pemohon;
b. uraian tentang peristiwa pelanggaran hak asasi manusia
yang berat;
c. identitas pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang
berat;
d. uraian tentang kerugian yang nyata-nyata diderita; dan
e. bentuk Kompensasi yang diminta.
54
a. fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
b. bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau
Keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
c. bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau
pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang
melakukan perawatan atau pengobatan;
d. fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal
dunia;
e. surat keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
yang menunjukkan pemohon sebagai Korban atau
Keluarga Korban pelanggaran hak asasi manusia
yang berat;
f. fotokopi putusan pengadilan hak asasi manusia dalam hal
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah
diputuskan oleh pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
g. surat keterangan hubungan Keluarga, apabila
permohonan diajukan oleh Keluarga; dan
h. surat kuasa khusus, apabila permohonan Kompensasi diajukan oleh
Berbeda dengan pengajuan permohonan korban terhadap kompensasi dan restitusi
yang diatur dalam The Procedure and Evidence Statuta Roma, yang hanya mengandung hal-hal khusus mengenai identitas korban, deskripsi tentang kerugiannya, lokasi dan
tanggal terjadinya peristiwa, deskripsi tentang restitusi dan ganti rugi, tuntutan untuk
mendapat kompensasi, tuntutan untuk mendapat rehabilitasi, dan dokumentasi termasuk
nama dan alamat saksi. Prosedur tersebut memudahkan korban dalam mendapatkan
hak-haknya.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia memang sudah merujuk pada
standar hukum internasional yang termuat dalam Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar
Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan 1985. Dalam PP No.
44 Tahun 2008 juga sudah diatur mengenai prosedur pengajuan kompensasi dan restitusi
bagi korban, jangka waktu pengajuan dan pemberian kompensasi dan restitusi, tugas dan
wewenang dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan siapa yang berhak dalam
mengajukan kompensasi dan restitusi.Namun dalam PP tersebut perlunya
penyempurnaan dan penambahan atas aturan mengenai jumlah atau besaran kompensasi
yang harus diterima korban pelanggaran HAM berat dan pertimbangan putusan mengenai
kompensasi dan restitusi yang harus ada dalam amar putusan yang dapat menyebabkan
korban menunggu untuk waktu yang lama dalam memperoleh hak-haknya.
B. Praktik Pemberian Kompensasi dan Restitusi di Indonesia 1. Pengadilan HAM Timor-Timur
Kasus Timor-Timur bermula dari kebijakan pemerintah Indonesia pada tanggal 27
adalah menerima atau menolak otonomi khusus.55
Usul beberapa negara agar Dewan keamanan PBB untuk membentuk badan
peradilan ad hoc seperti halnya kasus Yugoslavia dan Rwanda, berhasil digagalkan oleh
Indonesia. Indonesia menyatakan masih dapat mengadili pelakunya berdasarkan hukum
nasional Indonesia.
Kekerasan bermula setelah jajak
pendapat yang dimenangkan oleh kelompok pro-kemerdekaan. Masyarakat internasional
memandang kekerasan ini sebagai kejahatan HAM yang berat.
56
Berkaitan dengan diplomasi tersebut pada tanggal 15 September
1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264 (1999). Resolusi tersebut
mengutuk tindakan kekerasan sesuai jajak pendapat di Timor-Timur. Resolusi juga
mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili mereka yang bertanggung jawab atas
terjadinya kekerasan.57
Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur memeriksa dan mengadili 18 (delapan
belas) orang terdakwa yang dibagi menjadi 12 (dua belas) berkas perkara.
Atas dasar itulah pemerintah Indonesia mengundangkan UU Hak
Asasi Manusia dan UU Pengadilan HAM. Bulan Februari 2002, Pengadilan HAM ad hoc
ini mulai beroperasi mengadili kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Leste.
58
55
Bila menolak berarti rakyat Timor-Timur memilih untuk merdeka.
56
I wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, CV Yrama Widya, Bandung, 2004, hlm. 95.
57
Soedjono Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 234. dalam Sumaryo Suryokusumo, Pengadilan Ad hoc bagi Pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) di TimTim, Suara Pembaruan, Jakarta, 7 Maret 2002. Dalam Andrey Sujatmoko, op.cit., hlm. 10.
58
Yaitu Abilio Soares; Timbul Silaen; Herman Sedyono dkk (Liliek Koeshadianto, Gatot Subiyaktoro, Achmad Syamsudin dan Sugito); Eurico Guterres; Soedjarwo; Endar Priyanto; Adam Damiri; Hulman Gultom; M Noer Muis; Jajat Sudrajat; Tono Suratman dan Asep Kuswani dkk (Adios Salova, Leonito Martins).
Secara
keseluruhan para terdakwa didakwa dan dituntut telah melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang terjadi menjelang dan setelah jajak pendapat di tiga wilayah di
Dari 18 orang terdakwa ini, 12 orang dinyatakan bebas dan 6 orang lainnya
dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran HAM yang berat dan dijatuhi pidana.
Namun, putusan pengadilan, baik yang menyatakan bebas maupun bersalah, semuanya
mengakui bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat Timor-Timur telah mengakibatkan
jatuhnya korban penduduk sipil yang banyak, baik harta maupun nyawa, laki-laki dan
perempuan.
Namun, pada Proses Pengadilan HAM Timor-Timur ini, walaupun dinyatakan
telah jatuh korban, isu atau masalah hak-hak korban ini sama sekali tidak muncul.
Bahkan, tidak ada satupun putusan pengadilan, baik dalam pertimbangan maupun amar
putusannya yang membahas atau mencantumkan mengenai hak kompensasi dan restitusi.
Tidak dibahas atau dicantumkannya mengenai hak-hak korban ini sangat mengherankan,
mengingat pengadilan telah mengakui terjadinya pelanggaran HAM yang berat di
Timor-Timur menjelang dan setelah jajak pendapat 1999 dan jatuhnya korban dalam peristiwa
tersebut.
Tidak adanya pembahasan ataupun putusan mengenai kompensasi dan restitusi
bagi korban tersebut, kemungkinan besar disebabkan tidak adanya permohonan
kompensasi dan restitusi yang diajukan ke pengadilan sebagaimana yang ketentuan Pasal
35 UU Pengadilan HAM. Namun, terlepas dari tidak adanya permohonan dari penuntut
umum maupun korban, tidak diakuinya hak-hak korban dalam pengadilan ini merupakan
pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip internasional yang telah diakui oleh hukum
internasional.
Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok ini bermula dari ditahannya empat orang,
masing-masing bernama Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M.
Nur, yang diduga terlibat pembakaran sepeda motor Babinsa. Mereka ditangkap oleh
Polres Jakarta Utara, dan kemudian ditahan di Kodim Jakarta Utara. Atas kejadian
tersebut pada tanggal 12 September 1984, diadakan tabligh akbar di Jalan Sindang oleh
Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat, didalam ceramahnya menuntut
pada aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jemaah Musholla As Sa’adah
yang ditahan. Akan tetapi ke-empat orang tersebut tidak dibebaskan yang akhirnya Amir
Biki mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja. Massa yang
bergerak ke arah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu regu
Arhanud yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten
Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Situasi berkembang sampai terjadi
penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka
sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang.
Dari peristiwa di atas, Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran
HAM yang berat dalam kasus Tanjung Priok ini. Untuk itu dibentuklah Pengadilan HAM
ad hoc. Pembentukan ini sama dengan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc
Timor-Timur yang didasari oleh UU Pengadilan HAM.59
Dalam proses peradilan perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok ini
terdapat ishlah antara pihak korban dan tertuduh. Dalam dokumen piagam ishlah kasus Tanjung Priok jelas terlihat bahwa adanya perubahan persepsi dari korban kasus Tanjung
Priok dalam melihat permasalahan peristiwa Tanjung Priok. Perubahan cara pandang
59
juga terlihat dalam hal bagaimana seharusnya kasus Tanjung Priok ini akan diselesaikan.
Piagam ishlah tersebut berisikan, bahwa pilihan melakukan ishlah adalah pilihan yang didasarkan pada keyakinan agama dan kesadaran para pihak secara sukarela. Para korban
dan pelaku yang dalam piagam ishlah tersebut menyatakan perdamaian dan melakukan permaafan.60
Kasus ini ditangani oleh Komnas HAM pada tahun 2000. Komnas HAM
membentuk tim ad hoc dengan nama Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM untuk
KP3T (Kasus Tanjung Priok). Hasil penyelidikan dan pemeriksaan pelanggaran HAM
yang terjadi pada kasus Tanjung Priok kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Agung
yang kemudian meminta Komnas HAM untuk melengkapi hasil penyelidikan KP3T
mengenai beberapa hal yaitu:61
a. Pemastian jumlah korban 24 orang dengan melakukan kegiatan penggalian kuburan
dan pemeriksaan dokumen di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto.
b. Kelengkapan kesaksian dan bukti tentang jatuhnya korban sebanyak 9 (sembilan)
orang (keluarga Tan Keu Lim) oleh massa.
c. Nama-nama yang diduga pelaku dan nama penanggung jawab garis komando ketika
peristiwa itu terjadi.
d. Perumusan ulang rekomendasi.
60
Proses pemeriksaan kesaksian di Kejaksaaan Agung dilakukan sekitar bulan Februari 2001, sedangkan ishlah dilakukan pada tanggal 1 Maret 2001. Proses pemeriksaan di sidang pengadilan mengacu pada berkas acara pemeriksaan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung bulan Februari 2001 sebagaimana tertuang dalam BAP.
61
Untuk itu Komnas HAM dalam rapat paripurna 12 Juli 2000 telah memutuskan
untuk membentuk Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T. Dalam kesimpulan akhirnya tim
lanjutan menyatakan antara lain:
1. Tentang Jumlah Korban
a) Pemastian jumlah korban pembunuhan secara kilat sebanyak 24 orang dilakukan
dengan penggalian kuburan, pemeriksaan dokumen RSPAD Gatot Subroto, dan
usaha mencari saksi-saksi tambahan. Dari hasil penggalian di Tempat Pemakaman
Umum Mengkok, Sukapura dan Pemakaman Kramat Ganceng, Pondok Ranggon
dan TPU Gedong, Condet sebanyak 24 orang kemungkinan besar benar adanya,
walaupun ada selisih jumlahnya korban yang dimakamkan di Pondok Ranggon.
b) Korban terbakar
Keluarga Tan Keu Lim 9 (Sembilan) orang meninggal terbakar di rumah
tempat tinggal korban. Kebakaran ini diduga keras sengaja dilakukan oleh
rombongan massa yang bergerak ke arah markas Kepolisian Sektor Koja.
Pengadilan HAM Tanjung Priok memeriksa dan mengadili 14 orang terdakwa
yang diduga bertanggungjawab dalam peristiwa pelanggaran HAM Tanjung Priok yang
terjadi pada 1984. Dari 14 orang terdakwa tersebut, 12 orang dinyatakan terbukti bersalah
melakukan pelanggaran HAM yang berat dan dijatuhi hukuman, dan 2 orang terdakwa
lainnya dinyatakan tidak terbukti bersalah.62
Dalam Pengadilan HAM Tanjung Priok praktik mengenai kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi tersebut diterapkan secara progresif oleh pengadilan, terutama dalam
62
putusan Sutrisno Mascung, dimana dalam amar putusan pengadilan yang secara tegas
mencantumkan mengenai pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban
pelanggaran HAM berat Tanjung Priok.63
1. Terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana oleh pengadilan. Signifikansi diakuinya hak-hak
korban tersebut dapat dilihat dalam pertimbangan yang dikemukakan majelis hakim
dalam memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban, yakni :
2. Oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka secara
otomatis, akibat dari peristiwa (yang dilakukan terdakwa), korban berhak
mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
3. Adanya pengajuan permohonan secara tertulis dari korban dan atau ahli waris
korban kepada ketua majelis hakim yang memeriksa perkara.
4. Korban (pemohon) belum pernah mendapatkan bantuan apapun, berupa
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dari pihak manapun (baik terdakwa/pelaku
maupun dari pihak lainnya).
Namun, ada satu kekurangan mendasar dari putusan kompensasi dan restitusi
yang diputuskan pengadilan HAM Tanjung Priok tersebut, Pengadilan tidak
menerangkan bagaimana metode penghitungan ganti kerugian yang menghasilkan
nominal yang ditetapkan pengadilan. Majelis hakim hanya mempertimbangkan kerugian
63
materiil dan imateriil yang dialami korban. Kerugian materiil dimaksud adalah hilangnya
harta benda, hilangnya pekerjaan, dan biaya pengobatan. Sedangkan kerugian imateriil
berupa stigmatisasi dan pengungkapan kebenaran selama 20 tahun.64
Majelis hakim juga tidak merinci tata cara pemberian dan kapan korban dapat
mendapatkan kompensasi yang diterimanya. Majelis hakim secara sumir hanya
menyatakan bahwa “kompensasi diberikan melalui mekanisme dan tata cara pelaksanaan
yang telah diatur oleh PP No. 3 Tahun 2002, serta dilaksanakan secara tepat, cepat dan
layak”.
Korban yang
diwakili oleh pendampingnya dari Kontras, telah menyampaikan metode penghitungan
ganti kerugian untuk korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok ini. Dalam suratnya
tertanggal 30 Juni 2004, yang ditujukan kepada Jaksa Agung, korban dan Kontras
mengajukan metode penghitungan ganti kerugian bagi korban pelanggaran HAM berat
Tanjung Priok. Metode yang diajukan tersebut dilakukan bersifat gabungan antara yang
individualis dan kolektif, yang berarti ada penghitungan yang didasari atas kerugian yang
dialami per pribadi dan ada kompensasi yang ingin diterima dan diperoleh secara
bersama.
Disamping itu, karakteristik korban dan tipologi kerugian yang dialami korban
pun menjadi acuan untuk melakukan penghitungan terhadap kerugian yang dialami
korban ini. Adapun cara untuk menghitung
kerugian materiilnya, metode yang diajukan korban adalah dengan menghitung nilai
kerugian (NK) x harga emas pada tahun 2004 : harga emas tahun (n) x 0,5. kemudian
setelah diketahui hasilnya ditambah dengan 6% dari hasil tersebut.
64
Hal ini tentunya akan menimbulkan kesulitan instansi terkait yang akan
mengeksekusi putusan mengenai kompensasi tersebut, karena tidak jelas siapa yang harus
menginisiasinya serta kapan kompensasi tersebut
harus diberikan kepada korban. Dan sampai sekarang, ketiga belas orang korban yang
disebutkan dalam amar putusan tersebut, tidak satupun dari mereka yang telah menerima
kompensasi sebagaimana yang diputuskan pengadilan, walaupun mereka telah berjuang
kemana-mana untuk mendapatkan haknya tersebut.65
Bahkan, dalam perkembangan terakhir, korban melalui kuasa hukumnya dari
Kontras telah mengajukan permohonan penetapan eksekusi atas putusan Pengadilan
HAM ad hoc pada 20 Agustus 2004 yang memutuskan negara harus memberikan
kompensasi kepada 13 (tiga belas) orang korban Tanjung Priok berupa kompensasi
materil sejumlah Rp.658.000.000,- dan imateriil sejumlah Rp.357.500.000, yang tidak
kunjung dipenuhi.66
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 28 Februari 2007 tersebut
seolah mengirim pesan kepada masyarakat bangsa Indonesia bahwa keadilan buat korban Permohonan korban tersebut kemudian ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Dalam penetapannya hakim tunggal, Ny. Martini Marjan, S.H merujuk pada
putusan Mahkamah Agung yang membebaskan para terdakwa peristiwa Tanjung Priok.
Berdasarkan pertimbangan tersebut hakim menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi
negara untuk memenuhi apa yang dimohonkan para korban.
65
Surat dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) No. 250/SK-Kontras/VI/2004 yang ditujukan kepada Jaksa Agung RI; Kompas, 26 Mei 2004, 18 Juni 2004, 24 Juni 2004, 7 Agustus 2004, 21 Agustus 2004, 6 September 2004, dan 10 September 2004.
66
peristiwa Tanjung Priok telah berakhir. Tidak ada lagi upaya yang dapat dilakukan
korban dan keluarganya untuk memperoleh hak dan keadilan yang selama puluhan tahun
diperjuangkan.
Rekomendasi dari Komnas HAM:
a. Para pelaku dan penanggung jawab yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM
yang berat harus dimintakan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku
b. Untuk mewujudkan tanggung jawab negara, khususnya pemerintah, terhadap korban
pelanggaran HAM, maka:
- Pemerintah meminta maaf kepada korban/keluarga dan masyarakat luas atas
terjadinya Peristiwa Tanjung Priok
- Merehabilitasi nama baik korban
- Memberikan kompensasi yang layak kepada korban/keluarga korban
Korban yang sampai sekarang belum berhasil ditemukan harus tetap dinyatakan sebagai
orang hilang. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab negara untuk menemukan korban
dan mengembalikan kepada keluarga yang bersangkutan
BAB IV
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan terhadap permasalahan hukum
yang berkenaan dengan kompensasi dan restitusi bagi korban dalam pelanggaran HAM
yang dihubungkan dengan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dan Statuta Roma, maka penulis menarik kesimpulan dan kemudian memberikan
saran-saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. Pengakuan atas hak-hak korban kejahatan telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Hal ini terlihat dari pengaturan hak “ganti
rugi” kepada korban dalam KUHAP, UU Pengadilan HAM, dan UU Perlindungan
Saksi dan Korban. Namun, adanya berbagai peraturan tersebut di atas
mengakibatkan adanya kerancuan dalam penggunaan istilah kompensasi dan
restitusi, yang apabila tidak diselaraskan akan berimplikasi pada benturan regulasi
dan menyebabkan ketidakjelasan dalam implementasinya. Dalam UU Pengadilan
HAM disebutkan bahwa korban pelanggaran HAM mempunyai hak atas
kompensasi dan restitusi, yang juga diatur dalam peraturan pelaksanaannya yakni
PP No. 3 Tahun 2002. Namun demikian, sampai saat ini belum ada satupun
korban pelanggaran HAM yang berat mendapatkan hak atas kompensasi dan
restitusi. Hal ini diakibatkan karena adanya kelemahan baik mengenai konsep
kompensasi dan restitusi maupun mengenai prosedur pemenuhannya.
Kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilihat dari serangkaian praktek penerapan ketentuan
tentang kompensasi dan restitusi dalam pengadilan HAM, dan dikomparasikan
dengan ketentuan dalam hukum internasional. Bahwa sejak tahun 2006 telah
korban pelanggaran HAM atas kompensasi dan hak korban atas restitusi. Namun,
pengaturan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut ternyata tidak
memberikan pengertian yang memadai tentang maksud dari kompensasi dan
restitusi. Dalam UU tersebut hanya dinyatakan bahwa pengaturan tentang
pemberiaan kompensasi dan restitusi akan diatur dalam peraturan pemerintah. Hal
ini berarti UU Perlindungan Saksi dan Korban mengulangi kesalahan konsep
kompensasi dan restitusi, ketidakjelasan prosedur dan kegagalan dalam penerapan
hak-hak tersebut. Akibatnya korban akan semakin jauh dalam mendapatkan atas
pemulihan yang efektif sebagaimana dipersyaratkan dalam berbagai instrumen
internasional. Statuta Roma 1998 sebagai salah satu instrumen hukum
internasional, telah jelas mengatur mengenai mekanisme pemberian kompensasi
dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat. Hal ini sesuai dengan apa yang
telah ditentukan hukum internasional dalam menjamin hak-hak korban khususnya
korban pelanggaran HAM berat, seperti pengaturan khusus tentang ganti
kerugian, bentuk ganti kerugian, dan siapa saja yang menjamin mengenai ganti
kerugian bagi korban. Dengan dibentuknya Unit Saksi dan Korban oleh Panitera
yang mempunyai tugas dan wewenang yang jelas seperti yang ditentukan dalam
Statuta Roma beserta hukum acaranya, dapat memudahkan korban untuk meminta
hak-haknya dalam mendapatkan kompensasi dan restitusi.
2. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal pemenuhan hak korban berupa
kompensasi dan restitusi sudah dilakukan dengan dikeluarkannya PP No. 44
Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada
Korban. PP tersebut telah menjelaskan bagaimana korban dalam mengajukan
permohonan kompensasi dan restitusi dan yang terpenting adalah tugas dan
wewenang dari LPSK sebagai lembaga mandiri yang bertanggung jawab untuk
menangani pemberian bantuan pada Saksi dan Korban.
B. Saran
1. Bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi harus juga dirumuskan secara jelas sebagai
panduan oleh korban maupun penegak hukum lainnya dalam menentukan bentuk
kompensasi dan restitusi. Termasuk disini adalah besaran ganti kerugian dalam
bentuk uang harus juga ada panduan dan rumusan yang jelas. Dalam hal ini
kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian yang secara ekonomis
dapat diperkirakan nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran HAM, seperti: kerugian
fisik dan mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan yang hilang
(lost opportunity), misalnya pendidikan dan pekerjaan; hilangnya mata pencaharian dan kemampuan mencari nafkah; biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk
akal; kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang;
kerugian terhadap reputasi atau martabat; biaya-biaya lain yang masuk akal
dikeluarkan untuk memperoleh pemulihan.
2. Perlunya pengkajian kembali mengenai definisi kompensasi agar timbul tanggung
jawab negara secara penuh dalam pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM
BAB II
ANALISIS PENGATURAN KOMPENSASI DAN
RESTITUSI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A. Pengaturan Kompensasi dan Restitusi terhadap korban pelanggaran HAM Berat
UU Perlindungan Saksi dan Korban membuka kembali diskursus tentang
pemulihan (reparasi)30 kepada korban, termasuk korban pelanggaran HAM yang berat.31
Undang-undang ini mengatur tentang hak korban untuk mendapatkan kompensasi dan
restitusi. Kompensasi diberikan kepada korban pelanggaran HAM yang berat, sementara
restitusi merupakan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.32
Pengaturan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban sedikit berbeda dengan UU
Pengadilan HAM yang juga memberikan pengaturan atas hak kompensasi dan restitusi
kepada korban pelanggaran HAM yang berat. Untuk implementasi hak- hak korban
tersebut, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang
Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat.
Terdapat 3 (tiga) peraturan pokok dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia dalam konteks untuk menganalisa regulasi tentang kompensasi dan restitusi.
Untuk memperkuat analisa atas regulasi tersebut, penulis akan menganalisa
praktik-praktik penerapan hak atas kompensasi dan restitusi di pengadilan HAM.
30
Yang dimaksud pemulihan (reparation) dalam tulisan ini adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun immaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Dalam hal ini pemulihan merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada korban, yang diantaranya mencakup kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
31
Pelanggaran HAM yang berat berdasarkan Undang-undang No. 26 tahun 2000 adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lihat pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
32
Table 1:
Regulasi Nasional tentang Korban
No Regulasi Tentang Keterangan
1 UU No. 8 Tahun 2. Perkara pidana yang menimbulkan kerugian pembayaran ganti kerugian yang dikabulkan pengadilan.
3 Keputusan Menteri Keuangan RI No.
Ganti kerugian adalah ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 KUHAP.
4 UU No. 26 Tahun 2000
Ham yang Berat 2. Mengatur tentang bentuk dan besaran KRR.
3. Mengatur tentang pihak yang wajib
Sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, istilah kompensasi dan restitusi
kepada korban kejahatan hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah “ganti kerugian”.
Pada awalnya ganti kerugian kepada korban kejahatan, dapat dilihat dalam KUHAP yang
dibebankan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHAP juga dikenal hak untuk
memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Ganti
kerugian bagi tersangka, terdakwa atau terpidana ini ditujukan bagi pihak yang
mengalami kesalahan prosedur dalam proses peradilan pidana. Sementara rahabilitasi
diberikan kepada terdakwa yang dibebaskan atau dilepaskan dalam putusan pengadilan.
Pasal 1 angka 22 KUHAP:
Pasal 2 angka 23 KUHAP:
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini.”
KUHAP mengatur tiga hak hukum yang dapat digunakan oleh korban oleh korban
kejahatan dalam proses peradilan pidana. Pertama, hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum, yaitu hak untuk mengajukan keberatan terhadap
tindakan penghentian penyidikan dan/atau penghentian penuntutan dalam kapasitasnya
sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 77 jo 80 KUHAP). Kedua, hak korban kejahatan yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi, yaitu hak untuk
mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168 KUHAP) dan hak bagi keluarga korban,
dalam hal korban meninggal dunia, untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi
untuk melakukan otopsi (Pasal 134-136 KUHAP). Ketiga, hak untuk menuntut ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita akibat kejahatan (Pasal 98-101 KUHAP).
Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana adalah berupa
mempercepat proses untuk memperbaiki ganti kerugian yang diderita oleh korban
kejahatan sebagai akibat perbuatan terdakwa dengan cara menggabungkan perkara
pidananya dengan perkara ganti kerugian yang pada hakikatnya merupakan perkara
perdata.
Bila mengacu pada sistem pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban,
KUHAP lebih dekat dengan sistem bahwa kompensasi bersifat keperdataan, diberikan
melalui proses pidana. Hal ini dapat terlihat dalam ketentuan penggabungan perkara
“Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.”
Yang dimaksud dengan “orang lain” adalah pihak korban kejahatan, yakni
perbuatan terdakwa yang merupakan suatu tindak pidana menimbulkan kerugian bagi
orang tersebut. Kata “dapat” mengandung arti bahwa hakim ketua sidang berwenang
untuk menerima atau menolak permohonan untuk menggabungkan perkara ganti
kerugian dengan perkara pidananya. Dengan demikian diberikan keleluasaan bagi hakim
ketua sidang untuk menentukan kebijakan apakah digabungkan atau diajukan secara
perdata. Hal ini berhubungan dengan permintaan penggabungan perkara perdata yang
menyangkut orang lain yang tidak terlibat dengan perbuatan pidana yang didakwakan
kepada terdakwa. Jika hal ini terjadi, maka hakim ketua sidang kemungkinan akan
menolak untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian tersebut. Hal ini
berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01. PW. 07.03 Tahun 1982
tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan, antara lain
dirumuskan:
“…..gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata digabungkan pada perkara pidananya, dang anti rugi tersebut dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana…”
Jika turut dipertanggungjawabkan kepada pihak lain, maka hakim ketua sidang
tidak salah apabila menolak penggabungan ganti kerugian tersebut. Sedangkan jika hanya
beralasan untuk menolak penggabungan perkara tersebut. Permintaan penggabungan
perkara ganti kerugian hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut
umum mengajukan tuntutan pidana, atau jika penuntut umum tidak hadir maka
permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.33
1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
Mengenai yang dapat dimintakan ganti kerugian diatur dalam Pasal 99 KUHAP,
yang berbunyi:
2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
Berdasarkan Pasal 99 ayat (2) KUHAP, ganti kerugian yang dapat diputus hanya
terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan,
sehingga tuntutan lain daripada itu harus dinyatakan tidak dapat diterima dan harus
diajukan sebagai perkara perdata biasa.
Jika pada amar putusan dimuat “tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai
perkara perdata biasa”, maka pengajuan perkara perdata yang dimaksud, bukan
merupakan perkara ne bis in idem. Tetapi jika amar putusan hanya memuat “tidak dapat diterima” maka akan menimbulkan masalah ne bis in idem.34
33
Pasal 98 KUHAP.
34
Amar putusan suatu penggabungan perkara memuat putusan tentang perkara
pidana dan perdata. Keterkaitan putusan perdata dan putusan pidana, dimuat dalam Pasal
99 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi:
“Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.”
Hal yang dirumuskan pada Pasal 99 ayat (3) tersebut merupakan konsekuensi
logis karena tuntutan ganti kerugian mengikuti perkara pidana karena timbulnya suatu
tuntutan perdata tersebut sebagai akibat pidana yang terjadi. Pada Pasal 100 KUHAP,
lebih jelas memperlihatkan keterkaitan putusan perdata dan putusan pidana, yang
dirumuskan sebagai berikut:
1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.
2) Apabila terjadi suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Dengan demikian, jika terdakwa/tergugat telah menerima putusan pengadilan
negeri maka pemohon ganti kerugian/penggugat tidak dapat mengajukan banding. Hal ini
diperjelas lagi pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01. PW. 07.03 Tahun 1982
tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan (Bab IV),
yang memuat:
Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP dan keputusan menteri kehakiman tersebut
dapat diketahui masalah pokok adalah perkara pidana sedangkan perkara gugatan ganti
kerugian merupakan tambahan (asseoir), yang tidak dapat dipisahkan dengan perkara pokok. Maka jika perkara pidananya telah bekekuatan hukum tetap, pihak penggugat
ganti kerugian tidak dapat mengajukan upaya hukum. Namun jika terdakwa mengajukan
banding dalam perkara pidananya maka dibuka kesempatan bagi pihak penggugat untuk
mengajukan banding.
Mengenai pelaksanaan eksekusi dari hakim ini, secara khusus tidak diatur dalam
KUHAP akan tetapi dalam Pasal 101 KUHAP dijelaskan bahwa ketentuan dari aturan
hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam KUHAP tidak
diatur lain, dengan cara demikian maka eksekusi perkara gugatan ganti kerugian
dilakukan secara perdata.
Mengenai eksekusi tersebut selanjutnya dijelaskan dalam Lampiran Surat
Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 14. PW. 07.03 Tahun 1983 butir 15, sebagai
berikut:
a. Gugatan perdatanya tidak diberi nomor tersendiri;
b. Pelaksanan putusan ganti kerugian yang digabungkan tersebut, dilakukan
menurut tata cara putusan perdata;
c. Pelaksanaan putusan ganti kerugian tersebut tidak dibebankan kepada
Maka eksekusi putusan ganti kerugian ini dapat dilaksanakan jika putusan perkara
pidananya telah berkekuatan hukum tetap. Apabila terpidana yang dibebani kewajiban
dalam amar putusan untuk membayar ganti kerugian akan tetapi tidak secara sukarela
memenuhi kewajibannya, maka penggugat dapat mengajukan permintaan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang memutus perkara agar putusan tersebut dieksekusi. Permintaan
tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tertulis. Berdasarkan permintaan eksekusi
tersebut maka Ketua Pengadilan Negeri atau hakim yang memutus perkata tersebut,
memerintahkan kepada terpidana (tergugat) untuk selambat-lambatnya dalam waktu 8
hari agar memenuhi putusan tersebut. Apabila setelah lewat watu 8 hari terpidana belum
memenuhi kewajibannya, maka hakim akan menerbitkan surat perintah untuk menyita
barang bergerak milik terpidana yang diperkirakan senilai dengan kewajiban yang
diputuskan untuk dipenuhi. Jika barang bergerak tersebut tidak mencukupi, maka barang
yang tidak bergerak ikut disita. Penyitaan ini dinamakan penyitaan eksekutorial yang dilakukan oleh Panitera dibantu dengan 2 orang saksi.35
Pada prakteknya gugatan ganti kerugian yang ditempuh melalui prosedur
penggabungan perkara pidana dan perdata, mengalami beberapa kendala antara lain:36
1. Tanggung jawab mengganti kerugian bersifat individual, yakni ditujukan
kepada pelaku tindak pidana saja dan tidak bisa dilimpahkan kepada pihak
lain. Hal ini mengakibatkan tidak memungkinkan bagi korban untuk
mendapatkan jaminan dilaksanakannya putusan ganti rugi akibat
ketidakmampuan pelaku;
35
Ibid, hlm. 96.
36
2. Memerlukan tindakan aktif korban kejahatan, yaitu harus mengajukan
permohonan sebelum jaksa mengajukan tuntutan sedangkan banyak dari
korban kejahatan yang pada umumnya tidak mengetahui mengenai prosedur
hukum tentang ganti kerugian;
3. Perkara gugatan ganti kerugian merupakan tambahan (accesoir), yang tidak dapat dipisahkan dengan perkara pokok (perkara pidananya), maka jika
perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap, pihak penggugat tidak
dapat mengajukan upaya hukum.
Dengan demikian, pengaturan dalam KUHAP mengenai perlindungan terhadap
korban atas hak-haknya belum mendapat cukup pengaturan jika dibandingkan
perlindungan kepada hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana.37
37
Beberapa dekade yang lalu telah dikeluhkan bahwa kepedulian pada tersangka/terdakwa sudah sedemikian tingginya, sehingga menimbulkan persepsi bahwa ‘the pendulum has swung too far.’ Oleh karenanya sudah tiba saatnya perhatian yang lebih besar diberikan pula pada pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi --termasuk saksi korban. Lihat Naskah Akademis RUU Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana, disusun oleh Sentra HAM UI dan Indonesia Corruption Watch.
Pengakuan hak-hak korban dikuatkan dan diakui dalam sistem hukum nasional
dengan diundangkannya UU Pengadilan HAM walaupun untuk hukum acaranya masih
memakai mekanisme dari KUHAP. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam UU
Pengadilan HAM adalah hak khusus yang diberikan kepada korban pelanggaran HAM
yang berat.
Pasal 35 ayat (1) UU Pengadilan HAM menyatakan :
Namun, kompensasi dan restitusi korban pelanggaran HAM yang berat ini
diletakkan dalam kerangka “ganti kerugian”. Hal ini terlihat dalam definisi tentang
kompensasi dan restitusi dalam UU Pengadilan HAM maupun dalam PP No. 3 Tahun
2002. Pasal 1 PP No. 3 Tahun 2002:
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.”
“Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.”
Berdasarkan ketentuan di atas, ganti kerugian kepada korban pelanggaran HAM
yang berat dibebankan kepada dua pihak yakni pelaku kejahatan dan negara. Pelaku
kejahatan atau pihak ketiga dibebankan untuk mengganti kerugian korban, dan inilah
yang didefinisikan dengan “restitusi”. Sementara dalam kompensasi, pembebanan biaya
ganti kerugian kepada korban dilakukan oleh pemerintah ketika pelaku atau
pihak ketiga tidak mampu membayar ganti kerugian secara penuh kepada korban.
Dengan ketentuan ini, muncul konsep tanggung jawab negara terhadap korban kejahatan
(pelanggaran HAM yang berat).
Namun dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak dijelaskan bagaimana kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi dimohonkan, hanya disebutkan harus dilaksanakan secara tepat,
cepat dan layak.38
Karena dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak diatur mengenai tata cara pengajuan
permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi maka tata cara pengajuan kompensasi,
38
restitusi, dan rehabilitasi dalam Pengadilan HAM dilakukan sesuai dengan tata cara ganti
kerugian dan rehabilitasi dalam KUHAP.39
1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
Kelemahan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam KUHAP secara otomatis
juga menjadi kelemahan dalam pengaturan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam
PP No. 3 Tahun 2002.
Selain kelemahan di atas, terdapat permasalahan lain dalam PP No. 3 Tahun 2002,
yaitu mengenai siapa yang berhak mengajukan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Dalam Pasal 1 ayat (3) PP No. 33 Tahun 2002 memang dijelaskan siapa korban, tetapi
tidak dijelaskan apakah mereka dapat mengajukan gugatan tersebut dengan cara
perwakilan seperti diwakilkan oleh Komnas HAM atau lembaga non pemerintah. Hal ini
penting untuk dijelaskan mengingat pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime dengan jumlah korban yang biasanya tidak sedikit dan antara lokasi tempat kejadian dengan dilakukannya persidangan yang sangat jauh sehingga dapat
mengakibatkan ketidaktahuan para korban tentang perkara dengan terdakwa yang telah
merugikan mereka dan para korban dapat kehilangan haknya untuk mendapatkan
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Hak atas kompensasi dan restitusi kembali diatur dalam UU Perlindungan Saksi
dan Korban. Dalam Pasal 7, ganti kerugian kepada korban kejahatan menggunakan istilah
kompensasi dan restitusi. Namun, tidak ada penjelasan tentang maksud dari kompensasi
dan restitusi. Pasal 7 UU Perlindungan Saksi dan Korban:
a) Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat;
39
b) Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
Terjadi pembedaan dalam menentukan tanggung jawab pemenuhan hak-hak
korban khususnya berkaitan dengan restitusi. Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban,
restitusi dapat diberikan kepada semua korban tindak pidana yang terjadi, dan tidak
terbatas pada korban pelanggaran HAM yang berat sebagaimana hak atas kompensasi.
Kedua, restitusi hanya menjadi tanggung jawab pelaku dan tidak menyertakan kewajiban
bagi pihak ketiga, sebagaimana pengertian restitusi dalam UU Pengadilan HAM.
B. Mekanisme Kompensasi dan Restitusi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat
Dengan demikian, ada dua pengaturan dan pendefinisian yang sedikit berbeda
tentang kompensasi dan restitusi, yakni yang diatur dalam UU Pengadilan HAM dan UU
Perlindungan Saksi dan Korban (Lihat tabel 2).
Tabel 2:
Hak-hak kepada korban atas Kompensasi dan Restitusi
No Regulasi Hak-hak korban Keterangan
1. UU No. 8 Tahun kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
3. UU No. 13 Tahun 2006
Kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat
Restitusi bagi korban tindak pidana
Disamping perbedaan definisi, bentuk ganti kerugian kepada korban dalam
KUHAP, UU Pengadilan HAM dan UU Perlindungan Saksi dan Korban juga mempunyai
pengaturan yang berbeda. Ganti kerugian kepada korban dalam KUHAP tidak
menjelaskan secara terperinci mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban.
Hal ini terlihat bahwa pengaturan tentang adanya ganti kerugian korban dalam KUHAP
hanya “ditempelkan” pada pengaturan tentang penggabungan gugatan dalam perkara
pidana. Namun, dipahami bahwa kerugian korban kejahatan dalam KUHAP yang dapat
dimintakan gugatan untuk penggantian hanya pada kerugian materiil dan tidak mencakup
pada kerugian imateriil.
Sementara, UU Pengadilan HAM mengatur lebih rinci tentang bentuk-bentuk
ganti kerugian kepada korban. Bentuk-bentuk ganti kerugian ini dapat dilihat dalam Restitusi :
Restitusi adalah ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa:
1. pengembalian harta milik; 2. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;
3. atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
definisi mengenai restitusi yang merupakan ganti rugi kepada korban atau keluarganya
yang mencakup:
a. pengembalian hak milik;
b. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau
c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu.40
Bentuk-bentuk ganti kerugian tersebut, jika dibebankan kepada negara maka
terminologi yang digunakan bukan lagi “restitusi” tetapi “kompensasi”. Artinya, bahwa
bentuk-bentuk ganti rugi untuk korban dalam UU Pengadilan HAM adalah sama, baik
untuk restitusi maupun kompensasi.
UU Perlindungan Saksi dan Korban justru tidak memberikan pengaturan tentang
bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi kepada korban. Penjelasan undang-undang
tersebut juga tidak ditemukan definisi dan penjelasan mengenai bentuk-bentuk ganti
kerugian kepada korban. Tidak dijelaskannya bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi
dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, kemungkinan akan diatur kemudian dalam
Peraturan Pemerintah. Pemahaman ini dapat dilihat dari ketentuan dalam pasal 7 ayat (2)
dan (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban:
(2) Keputusan mengenenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan regulasi dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) diatas, terdapat tiga hal.
Pertama, dalam Peraturan Pemerintah yang akan dibentuk juga akan mengatur tentang
40
pengertian “kompensasi” dan “restitusi” termasuk bentuk-bentuk ganti kerugiannya.
Kedua, dari Peraturan Pemerintah tersebut, hakim dapat menetapkan dalam keputusannya bentuk ganti kerugian kepada korban. Ketiga, hakim mempunyai keleluasaaan untuk menetapkan bentuk ganti kerugian kepada korban dalam hal tidak ada regulasi yang
mengatur tentang bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi.
Pemenuhan hak atas kompensasi dan restitusi sebagaiman diatur dalam UU
Pengadilan HAM telah dipraktekkan dalam pengadilan HAM. Hukum acara pengadilan
HAM yang digunakan, selama tidak diatur khusus, mengacu pada ketentuan dalam
KUHAP.41
Perlu ditambahkan disini bahwa dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Saksi
dan Korban menyebutkan bahwa korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) berhak mengajukan ke pengadilan hak atas kompensasi atau restitusi.
Ketentuan ini memunculkan mekanisme baru dalam prosedur pengajuan hak atas
kompensasi atau restitusi yakni terlibatnya LPSK dalam prosedur pengajuan. Pengaturan
tersebut menunjukkan dua penafsiran, yakni; Pertama, bahwa tuntutan ganti kerugian (kompensasi dan restitusi) hanya bisa diajukan oleh korban melalui LPSK. Kedua, korban dapat mengajukan ganti kerugian melalui LPSK, dan dapat juga mengajukan ganti
kerugian dengan prosedur yang lainnya misalnya KUHAP. Untuk memastikan prosedur
baku, perlu keselarasan dengan regulasi yang lainnya misalnya dengan KUHAP dan PP
No. 3 Tahun 2002. Jika tidak ada keselarasan dalam prosedur pengajuan hak atas
kompensasi dan restitusi ini maka kemungkinan akan menimbulkan kebingungan bagi Akibatnya, prosedur pengajukan kompensasi dan restitusi juga mengacu pada
ketentuan dalam KUHAP.
41
korban, tentang mekanisme yang akan digunakan dalam mengajukan tuntutan
kompensasi dan restitusi.
Sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas, hak atas kompensasi dan restitusi
baik dalam UU Pengadilan HAM merupakan hak dari korban pelanggaran HAM yang
berat. Sementara dalam UU Pengadilan HAM, hak atas kompensasi hanya ditujukan pada
korban pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM yang berat sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 7 UU Pengadilan HAM adalah kejahatan Genosida dan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.
Merujuk pada hukum internasional, setidaknya terdapat dua ketidaksesuaian
dengan hukum internasional yakni mengenai mengenai penggunaan istilah, yakni
perbedaan dalam penggunaan kata “kompensasi” dan “restitusi”. Penggunaan terminologi
kompensasi dan restitusi dalam hukum nasional memiliki definisi yang sangat terbatas.
UU Pengadilan HAM maupun UU Perlindungan Saksi dan Korban hanya mengenal
bentuk-bentuk pemulihan, tetapi tidak mengenai hak atas pemulihannya itu sendiri. Hak
atas pemulihan yang dimaksud disini adalah hak menunjuk pada semua tipe pemulihan
baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran HAM berat. Pemulihan
itu dikenal dengan istilah kompenasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemulihan tersebut
merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada para korban. Dengan
demikian, maksud dari pemulihan ini adalah usaha memperbaiki masa lalu dan
menetapkan norma-norma untuk masa depan. Meskipun telah mengakui hak-hak korban
pelanggaran HAM yang berat, perlu untuk meletakkan kembali dan menyesuaikan
Pasal 1 ayat (4) PP No. 3 tahun 2002, menyebutkan bahwa kompensasi adalah
ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti
kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Definisi ini sama dengan definisi
yang terdapat dalam Pasal 35 UU Pengadilan HAM. Kemudian konsep kompensasi ini
dimasukkan juga menjadi salah satu hak korban dalam Pasal 7 UU Perlindungan Saksi
dan Korban.
Dari pengertian ini, “kompensasi” dapat ditafsirkan bahwa ganti kerugian kepada
korban diambil alih oleh negara dari kewajiban pelaku atau pihak ketiga untuk membayar
ganti kerugian. Sehingga harus dibaca
bahwa untuk adanya kompensasi, harus terlebih dahulu ada pelaku yang dinyatakan
bersalah dan dipidana serta diperintahkan untuk membayar ganti kerugian kepada korban.
Tetapi, karena pelaku tidak mampu membayarnya, yang bisa disebabkan karena
korbannya terlalu banyak atau jumlahnya ganti kerugian yang terlalu besar, maka negara
akan mengambil alih tanggungjawab pelaku ini. Pengertian inilah yang tampak
dalam praktek di pengadilan HAM Indonesia.
Definisi kompensasi seperti ini menyempitkan makna kompensasi, terutama yang
terkait dengan tanggung jawab negara atas pemulihan terhadap korban. Dan tentunya
sangat berbeda jauh dengan prinsip-prinsip hukum HAM internasional, dimana
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kompensasi adalah kewajiban yang harus
dilakukan negara terhadap korban pelanggaran HAM yang berat untuk melakukan
pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan
kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah.42
42
Jadi, pengertian dari kompensasi itu diberikan kepada korban bukan karena
pelaku tidak mampu, tetapi sudah menjadi kewajiban negara (state obligation) untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran HAM yang berat dan mengakibatkan adanya
korban.
Hasilnya dapat dilihat dari tiga Pengadilan HAM yang sudah dilaksanakan di
Indonesia. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi. Pengalaman
Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur
menunjukkan bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah
terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan ada korban sebagai akibat pelanggaran
HAM tersebut tetapi karena pelaku tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, secara
otomatis tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak-hak korban atas kompensasi
dan restitusi digantungkan dengan adanya kesalahan pelaku. Dalam arti, korban baru
akan mendapatkan kompensasi dan restitusi apabila pelakunya dinyatakan bersalah oleh
pengadilan. Apabila peristiwa pelanggaran HAM-nya terbukti dan pelaku dinyatakan
bersalah, maka korban berhak atas kompensasi. Apabila tidak terbukti, maka korban tidak
berhak mendapatkan kompensasi (dan atau restitusi).
Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok telah secara nyata menerapkan dan
mengadopsi kekeliruan dalam memahami konsep kompensasi dan restitusi. Hal ini
tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban mendapatkan kompensasi
dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya pelaku.43
Salah satu masalah mendasar berkaitan dengan pemberian kompensasi dan
restitusi adalah adanya klausul yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi harus dalam amar putusan pengadilan.
Padahal, sudah menjadi
prinsip hukum HAM internasional bahwa korban pelanggaran HAM berhak mendapatkan
kompensasi (dan restitusi) tanpa harus menunggu apakah pelakunya dipidana atau tidak.
Disamping kekeliruan pengadopsian konsep hak atas pemulihan korban, UU
Pengadilan HAM juga menimbulkan sejumlah permasalahan, terutama yang berkaitan
dengan prosedur dalam pemenuhan hak-hak korban. Hal ini terkait dengan adanya
klausul yang menyatakan bahwa korban dapat memperoleh hak-haknya melalui proses
pengadilan. Padahal prosedur yang tersedia di pengadilan tersebut tidak disiapkan secara
jelas dan lengkap. Akibatnya, prosedur yang tersedia tersebut semakin menjauhkan hak
korban atas kompensasi dan restitusi.
44
Ketentuan ini tentunya sangat kontradiktif dengan tujuan kompensasi ini, yakni
untuk memulihkan korban ke keadaan semula (restitutio in integrum) dan prinsip dalam Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa korban baru akan mendapatkan
kompensasi dan restitusi ketika sudah ada putusan Pengadilan HAM yang berkekuatan
tetap, yakni ketika tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh atau semua upaya
hukum sudah ditempuh, mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali, sehingga
putusan kompensasi tidak bisa segera dieksekusi atau dilaksanakan. Akibatnya korban
tidak dapat segera melakukan pemulihan, dan semakin panjang pula jalan yang harus
ditempuh oleh korban untuk mendapatkan hak-haknya.
43
Putusan No. 01/Pid. HAM/Ad Hoc/2003/PN.JKT.PST atas nama Sutrisno Mascung, dkk, 20 Agustus 2004,
44
PP No. 3 tahun 2002 yang menyatakan bahwa pemberian kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak.45
Untuk pengadilan HAM Timor-Timur, isu kompensasi dan restitusi sama sekali
tidak muncul dalam persidangan, baik dari pihak korban, jaksa penuntut umum maupun
hakim. Hal ini disebabkan karena PP No. 3 Tahun 2002 dikeluarkan setelah
berlangsungnya persidangan.
Dapat dibayangkan berapa lama waktu yang harus dilalui korban untuk
memperoleh hak-haknya, mulai dari terjadinya pelanggaran HAM yang berat;
penyelidikan oleh Komnas HAM; penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan Agung;
proses PN tingkat pertama, banding dan kasasi dan peninjuan kembali (PK).
Sebaiknya pengajuan kompensasi ini tidak harus menunggu sampai putusan
berkekuatan hukum tetap. Pengajuan dapat dilakukan sesaat setelah korban dipanggil
Komnas HAM sebagai saksi (korban) dalam pelanggaran HAM yang berat. Karena sejak
penyelidikan, Komnas HAM sudah dapat mengidentifikasi siapa-siapa yang menjadi
saksi dan atau korban. Jadi, prosesnya tidak harus menunggu putusan yang berkekuatan
hukum tetap.
Salah satu masalah penting yang luput dari perhatian pembuat UU berkaitan
dengan masalah kompensasi dan restitusi adalah tidak diatur dan tidak ditentukannya
jangka waktu pengajuan permohonan kompensasi dan restitusi.
46
45
Lihat Pasal 2 ayat (2) PP No. 3 Tahun 2002.
46
PP No. 3 tahun 2002 dikeluarkan pada tanggal 13 Desember 2002. Sedangkan proses persidangan telah dilangsungkan sejak Februari 2002.
Sehingga, para pihak yang berkepentingan, dalam hal ini
korban, jaksa penuntut umum dan hakim, tidak dapat langsung memahami dan
penuntut umum, terutama jaksa penuntut umum tidak mampu memaknai signifikansi dan
pentingnya hak-hak pemulihan bagi korban.47
Secara umum PP No. 3 Tahun 2002 hanya menetapkan pihak yang berhak
mendapatkan kompensasi dan restitusi serta instansi pemerintah terkait yang berwenang
melakukan pembayaran, namun tidak menyinggung jumlah atau besaran kompensasi dan
restitusi yang dapat diajukan atau diklaim oleh korban. Akibatnya, sebagaimana terjadi di
Pengadilan HAM Tanjung Priok, korban dan keluarganya melakukan penghitungan Dalam kasus Tanjung Priok dan Abepura, para korban mengajukan permohonan
secara langsung ke pengadilan pada saat mereka diperiksa sebagai saksi di pengadilan.
Mekanisme ini sebenarnya cukup baik, mengingat korban dapat secara langsung meminta
apa yang diinginkan kepada majelis hakim yang memeriksa perkaranya.
Permasalahannya adalah hanya para korban yang dipanggil pengadilan saja yang dapat
mengajukan permohonan atas kompensasi dan restitusi, sedangkan korban yang tidak
dipanggil untuk menjadi saksi di pengadilan tidak memiliki peluang untuk mengajukan
permohonan tersebut.
Disamping pengajuan secara langsung ke pengadilan, korban juga menyampaikan
permohonannya melalui jaksa penuntut umum. Ini dilakukan korban dengan harapan
pada saat jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan, akan disertakan permohonan
kompensasi dan restitusi yang dimohonkan para korban. Berbagai cara yang ditempuh
korban ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan Pasal 35 UU Pengadilan HAM jo PP
No. 3 Tahun 2000 yang menentukan bahwa kompensasi dan restitusi harus dicantumkan
dalam amar putusan.
47
sendiri terhadap jumlah kerugian yang dialami, baik kerugian materiil maupun imateriil.
Kerugian materiil adalah kerugian yang bisa dihitung dengan uang yang mencakup
kerugian harta benda, pekerjaan, pengobatan, dan transportasi. Sedangkan kerugian
immateriil atau kerugian yang tidak bisa dihitung dengan uang mencakup stigmatisasi,
pengungkapan kebenaran, dan trauma psikologis.48
Sedangkan untuk peristiwa Abepura, metode yang digunakan dalam menghitung
kerugian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kerugian yang secara riil dialami
serta biaya-biaya lain yang dikeluarkan, misalnya pembunuhan secara kilat; penyiksaan;
meninggal dalam tawanan polisi; mereka yang mengalami cacat tetap, dan mereka yang
harta miliknya dirusak. Kerugian kerusakan dan penderitaan yang dialami ini kemudian Menurut pihak korban, acuan untuk menghitung formulasi penghitungan kerugian
materiil didasari pada Keputusan Mahkamah Agung Nomor 74 K/FIP/1969 pada 14 Juni
1969 mengenai Penilaian Uang Dilakukan Dengan Harga Emas. Lalu, didasari pula
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 63 K/PDT/1987 pada 15 Agustus 1988 mengenai
Pembayaran Ganti Kerugian Yang Didasari Pada 6 Persen Per Tahun. Sehingga muncul
sebuah rumus yakni nilai kerugian dikalikan harga emas tahun 2004 dibagi harga emas
tahun N (tahun peristiwa terjadi-red), hasilnya dikali 0,5. Setelah diketahui hasilnya,
ditambah enam persen dari hasil tersebut. Sehingga, rumus ditambah enam persen dari
rumus menghasilkan nilai kerugian secara total.
Metode penghitungan kerugian ini kemudian diserahkan korban, melalui Kontras
kepada Kejaksaan Agung untuk dijadikan bahan pertimbangan ketika menyusun tuntutan
hukum (requisitor) mengenai kompensasi dan restitusi.
48
dinyatakan dalam jumlah uang yang dituntut. Beberapa dari jumlah ini adalah jumlah
aktual biaya yang dikeluarkan oleh korban yaitu biaya rumah sakit dan biaya kerusakan
harta benda. Jumlah lain adalah jumlah simbolis, yang kebanyakan merupakan hitungan
adat, termasuk dalam hal ini adalah kerugian karena nafkah tidak lagi dapat diusahakan
karena cacat tetap dan biaya perdamaian. Kesemuanya ini dihitung secara persis sesuai
dengan yang dialami.
Berbagai metode penghitungan kerugian muncul sebagai dampak langsung dari
tidak jelasnya pengaturan mengenai kompensasi dan restitusi sebagaimana terdapat
dalam PP No. 3 Tahun 2002.
Sebenarnya pada tanggal 6 Oktober 2004, pemerintah yang saat itu dikepalai oleh
Megawati Soekarnoputri, telah mengeluarkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang selanjutnya akan disebut UU KKR. Undang-undang
ini dibentuk untuk mengungkap kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk
budaya menghargai HAM sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional
demi kepentingan para korban dan/atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya
untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi. UU KKR merupakan
implikasi dari Pasal 47 UU Pengadilan HAM yang menerangkan bahwa:
1) Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Dalam UU KKR, definisi tentang kompensasi dan restitusi mempunyai arti yang
berbeda seperti yang ditemukan dalam UU Pengadilan HAM jo PP No. 3 Tahun 2002,
yang menerangkan bahwa:49
Dilihat dari tugas dan wewenang komisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
komisi tersebut mempunyai kewenangan yang penuh dalam membantu pemerintah untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, mulai dari menerima laporan dari pelaku,
korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya; melakukan penyelidikan dan
klarifikasi mengenai pelanggaran HAM berat; memberikan rekomendasi kepada Presiden
dalam permohonan amnesti, menyampaikan rekomendasi pada pemerintah dalam hal
pemberian kompensasi dan/atau rehabilitasi.
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sesuai dengan kemampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental.
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
Dapat dilihat perbedaan antara definisi kompensasi dalam UU KKR ini dengan
UU pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002. Dalam UU KKR, kompensasi
memunculkan tanggung jawab negara mengenai ganti kerugian bagi korban secara
penuh, bukan karena pelaku tidak mampu seperti arti kompensasi dalam UU Pengadilan
HAM dan PP No. 3 Tahun 2002.
50
Salah satu alat kelengkapan komisi tersebut adalah subkomisi yang mana
mempunyai tugas memberikan pertimbangan hukum dalam pemberian kompensasi, Keuntungan dari terbentuknya komisi
tersebut adalah terjaminnya hak-hak korban.
49
Pasal 1 ke-6 dan 7 UU KKR.
50