PEMAHAMAN WARTAWAN TERHADAP KODE ETIK JURNALISTIK (Studi Fenomenologi Pemahaman Wartawan Waspada Online Tentang Kode
Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia)
Skripsi
Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Sarjana (S1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi
Diajukan Oleh Irwan Sitinjak
080904066
Program Studi Jurnalistik
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAKSI
Dewan pers melansir sampai pertengahan tahun 2011, terdapat sebanyak 70 % wartawan di Tanah Air belum profesional. Ketidakprofesionalan tersebut menciderai profesi wartawan yang merupakan bagian dari pilar ke empat dalam demokrasi Indonesia. Wartawan yang baik seharusnya selalu menyadari bahwa mereka selalu harus bertanggungjawab akan kebenaran berita atau laporan mereka. Seorang wartawan juga selalu belajar mengenai bagaimana cara mengkomunikasikan ide secara teliti dan efektif dan paham apa yang disebut berita yang disuguhkan secara jujur. Adalah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang merupakan landasan profesi wartawan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pelanggaran KEJ di lapangan ternyata masih tergolong sering terjadi. Ini merupakan salah satu indikator semakin banyaknya wartawan yang tidak profesional.
Penelitian yang berjudul Studi Fenomenologi Pemahaman Wartawan Tentang Kode Etik Jurnalistik ini bertujuan untuk member gambaran tentang sejauh mana pemahaman wartawan terhadap KEJ dan bagaimana para wartawan mengaplikasikan landasan profesi mereka. Adapun wartawan Waspada Online menjadi informan dalam penelitian ini. Terdapat delapan wartawan waspada online yang terdiri dari satu asisten pemimpin redaksi, dua redaktur, satu asisten redaktur, satu asisten redaktur pelaksana, dan tiga reporter. Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi yang memiliki paradigm konstruktivisme dimana dalam metode tersebut digunakan empat fase, yaitu fase epoche, reduksi fenomenologi, variasi imajinasi, dan sintesis makna dan esensi. Keempat proses tersebut dijadikan peneliti untuk merekam kondisi di lapangan atau pada saat penelitian. Lewat proses tersebut dapat diketahui bagaimana narasumber memberikan pemahaman tentang Kode Etik Jurnalistik berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, serta bagaimana wartawan Waspada Online menjalankan Kode Etik Jurnalistik tersebut. Penelitian dilakukan dengan melakukan depth interview, pengamatan di lapangan secara langsung, dan studi literatur.
Berdasarkan penelitian tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Wartawan Waspada Online memiliki motivasi yang berbeda-beda berprofesi sebagai seorang jurnalis. Namun, mereka mempunyai kesamaan pemahaman tentang tugas seorang jurnalis yaitu mencari, mengumpulkan informasi, dan menjadikannya sebagai sebuah berita yang sesuai dengan fakta tanpa adanya opini.
2. Sebagian besar wartawan Waspada Online hanya memahami Kode Etik Jurnalistik sebatas teori saja tanpa pelaksanaan yang benar. Berdasarkan track record mereka yang cukup lama sebagai jurnalis, para wartawan secara teori paham setiap isi yang terdapat dalam 11 pasal KEJ, namun realisasinya berbanding terbalik dengan pemahaman tersebut.
KATA PENGANTAR
Tiada pekerjaan yang dihasilkan dengan usaha sendiri. Penulis yakin dan
percaya setiap hasil yang dicapai merupakan berkat yang luar biasa dari Sang
Pencipta. Begitu juga dengan skripsi ini, yang merupakan hasil dari perjuangan dan
usaha yang sepenuhnya diberkati oleh Tuhan Yesus Kristus. Bahkan, selama penulis
menempah diri di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, kasih Tuhan Yesus
begitu memberkati dan melimpahkan banyak berkat kepada penulis.
Selama proses penelitian ini, penulis merasa sangat terbantu dengan
pertolongan dari banyak pihak. Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan
bersyukur, semoga Tuhan memberikati semua pihak yang telah membantu kelancaran
skripsi ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan terima
kasih tersebut kepada:
1. Keluarga terkasih, my mom “the amazing single parent”, yang selalu memberikan
yang terbaik kepada penulis. Kak Lusi yang sudah membawaku dalam doanya,
serta Bang Santo yang semakin diberkati Tuhan. Thank you for all the support,
it’s strengthen our family
2. Bapak selaku Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU
3. Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, Ibu Dra.Fatmawardy Lubis,
Terima kasih banyak buat semua kemudahan dan prinsip kelancaran dari
Departemen.
4. Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, Ibu Dra.Dayana
Manurung,M.Si yang turut membantu penulis dalam proses administrasi.
5. Ibu Dr.Nurbani, M.Si sebagai dosen pembimbing dalam proses skripsi ini. Penulis
menyampaikan banyak terima kasih atas bimbingan serta kesabaran yang Ibu
berikan. Terima kasih telah meluangkan banyak waktu kepada penulis sehingga
penulis mampu menyelesaikan penelitian ini.
6. Terima kasih kepada seluruh dosen Departemen Ilmu Komunikasi terkhusus
untuk Pak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, PhD yang sudah banyak membantu
penulis dalam memperoleh banyak ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi,
lewat diskusi-diskusi hangat. Kepada Ibu Dra.Mazdalifah,M.Si dan Kak
Yovita,M.Si yang bersedia membantu penulis untuk mengembangkan ide. Terima
kasih sebesar-besarnya.
7. Kepada seluruh staff administrasi FISIP USU dan Departemen Ilmu Komunikasi
USU, Kak Rose, Kak Maya, dan Kak Icut yang selalu ceria menyapa penulis
ketika mengurus administrasi dan berkas-berkas.
8. Kepada Kak Ilma Tamsil, asisten dosen yang banyak mengajari penulis lewat
paradigmanya sebagai seorang kakak. You are apart of my laugh everyday
9. Kepada Kakak-kakak staff LDIK dan Radio USU Kom. Kak Hanim, Kak Puan,
dan Kak Windi Siregar. Terima kasih kakak2 buat ilmu dan ketawa-ketawa kita
10.Untuk seluruh pengurus P2KM, Kak Emil, Bang Vinsen, Bang Iqbal, Bang Reza,
dan Vix Magazine team. Ayo tetap semangat buat proyek-proyek kreatif lainnya.
Penulis minta maaf atas minimnya kontrobusi yang penulis berikan.
11.Untuk sahabat-sahabat penulis, para musang – musang kampus, Perdana, Bang
Firman, Kak Nata, Kak Linda, Kak Bita, Kak Emma, Bang Anggi, Bang Inggit,
dan Bang Angga. Kalian tetap menjadi musang-musang terbaikku :p
12.My old friends TPP-Crew, how long I missed our story? Even so, I still love you
guys. Keep on fire ya kuliahnya, fighting guys!!
13.Untuk seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi Angkatan 2008, hey people, we are
communication army! Remember our first time?? It was amazing to know all of
you guys. Thanks for our eternal story.
14.Buat Kakak-kakak Kom angkatan 2007dan 2006 serta teman-teman Kom
angkatan 2009, 2010, dan 2011. Terima kasih banyak semuanya. Love our
almamater
15.Untuk seluruh pengurus IMAJINASI periode 2010/2011, perjuangan kita berhasil
and we did it!
16.Untuk seluruh informan penelitian ini, terima kasih buat waktu serta izinnya.
Let’s make a better Indonesia start from ourselves as journalists
17.Untuk teman-teman Beswan Djarum, khususnya Angkatan 26 DSO Medan! We
are the best one (beswan). Keep in touch my bestone!
18.For someone out there, we still live with our unspoken words but it will end soon,
19.Terimakasi untuk otak yang selalu bisa berkompromi mengerjakan skripsi ini,
tangan dan kaki yang saling bekerja sama serta seluruh bagian tubuh ini yang
mengerjakan skripsi ini dengan total. We made it!
20.Untuk semua orang yang tidak tersebutkan betapa berterimakasihnya penulis
kepada kalian semua. Tons of thanks for all of you
Penulis mengharapkan banyak saran dan kritikan yang bersifat membangun
bagi skripsi ini. Karena penulis menyadari skripsi ini butuh oksigen kesempurnaan.
Last but not the least, semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Medan, November 2011
Penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ……… i
KATA PENGANTAR ………. ii
DAFTAR ISI ………v
DAFTAR LAMPIRAN ………..vii
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang……….
I.2. Perumusan Masalah……….
I.3. Pembatasan Masalah………...
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian………
I.4.1. Tujuan Penelitian………
I.4.2. Manfaat Penelitian………..
I.5. Kerangka Teori……….
I.5.1. Fenomenologi………
I.5.2. Pers………
I.5.3. Media Massa Online………..
I.7. Defenisi Operasional ………...
I.7.1. Epoche………..
I.7.2. Reduksi Fenomenologi……….
I.7.3. Variasi Imajinasi………..
I.7.4. Sintesis Makna dan Esensi………..
BAB II URAIAN TEORITIS
II.1. Fenomenologi………
II.1.1. Sejarah Perkembangan Fenomenologi………..
II.1.2. Fenomenologi sebagai Metode Penelitian………
II.2. Pers………..
II.3. Profesionalisme Wartawan……….
II.4. Sembilan Elemen Jurnalisme………..
II.5. Media Massa Online……….
II.6. Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia………..
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….
III.1.2. Segmentasi………..
III.1.3. Perkembangan Waspada Online………
III.2. Metode Penelitian………
III.3. Subjek Penelitian………..
III.4. Teknik Pengumpulan Data………
III.5. Teknik Analisis Data………
BAB IV HASIL DAN PEMBATASAN
IV.1. Analisis Fenomenologi………..
IV.1.1. Epoche………
IV.1.2. Reduksi Fenomenologi………..
IV.1.3. Variasi Imajinasi………
IV.1.4. Sintesis Makna dan Esensi………...
IV.2. Karakteristik Informan………..
IV.3. Analisis Informan 1……….
IV.4. Analisis Informan 2………..
IV.5. Analisis Informan 3………
IV.8. Analisis Informan 6………..
IV.9. Analisis Informan 7……….
IV.10. Analisis Informan 8……….
IV.11. Pemahaman Kode Etik Jurnalistik Pada Wartawan Waspada Online…………
IV.12. Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik Pada Wartawan Waspada Online…………
IV.12. Kesimpulan Pemahaman dan Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik Pada
WartawanWaspada Online ………..
BAB V PENUTUP
V.1. Kesimpulan………..
V.2. Saran-saran………
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN NARASUMBER
BIODATA NARASUMBER
SURAT PENELITIAN
SURAT BALASAN DARI WASPADA ONLINE
LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI
ABSTRAKSI
Dewan pers melansir sampai pertengahan tahun 2011, terdapat sebanyak 70 % wartawan di Tanah Air belum profesional. Ketidakprofesionalan tersebut menciderai profesi wartawan yang merupakan bagian dari pilar ke empat dalam demokrasi Indonesia. Wartawan yang baik seharusnya selalu menyadari bahwa mereka selalu harus bertanggungjawab akan kebenaran berita atau laporan mereka. Seorang wartawan juga selalu belajar mengenai bagaimana cara mengkomunikasikan ide secara teliti dan efektif dan paham apa yang disebut berita yang disuguhkan secara jujur. Adalah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang merupakan landasan profesi wartawan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pelanggaran KEJ di lapangan ternyata masih tergolong sering terjadi. Ini merupakan salah satu indikator semakin banyaknya wartawan yang tidak profesional.
Penelitian yang berjudul Studi Fenomenologi Pemahaman Wartawan Tentang Kode Etik Jurnalistik ini bertujuan untuk member gambaran tentang sejauh mana pemahaman wartawan terhadap KEJ dan bagaimana para wartawan mengaplikasikan landasan profesi mereka. Adapun wartawan Waspada Online menjadi informan dalam penelitian ini. Terdapat delapan wartawan waspada online yang terdiri dari satu asisten pemimpin redaksi, dua redaktur, satu asisten redaktur, satu asisten redaktur pelaksana, dan tiga reporter. Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi yang memiliki paradigm konstruktivisme dimana dalam metode tersebut digunakan empat fase, yaitu fase epoche, reduksi fenomenologi, variasi imajinasi, dan sintesis makna dan esensi. Keempat proses tersebut dijadikan peneliti untuk merekam kondisi di lapangan atau pada saat penelitian. Lewat proses tersebut dapat diketahui bagaimana narasumber memberikan pemahaman tentang Kode Etik Jurnalistik berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, serta bagaimana wartawan Waspada Online menjalankan Kode Etik Jurnalistik tersebut. Penelitian dilakukan dengan melakukan depth interview, pengamatan di lapangan secara langsung, dan studi literatur.
Berdasarkan penelitian tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Wartawan Waspada Online memiliki motivasi yang berbeda-beda berprofesi sebagai seorang jurnalis. Namun, mereka mempunyai kesamaan pemahaman tentang tugas seorang jurnalis yaitu mencari, mengumpulkan informasi, dan menjadikannya sebagai sebuah berita yang sesuai dengan fakta tanpa adanya opini.
2. Sebagian besar wartawan Waspada Online hanya memahami Kode Etik Jurnalistik sebatas teori saja tanpa pelaksanaan yang benar. Berdasarkan track record mereka yang cukup lama sebagai jurnalis, para wartawan secara teori paham setiap isi yang terdapat dalam 11 pasal KEJ, namun realisasinya berbanding terbalik dengan pemahaman tersebut.
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Media massa di Indonesia saat ini berkembang sangat pesat. Perkembangan
ini sejalan dengan kemajuan teknologi yang turut berperan dalam perubahan bentuk
media massa. Apalagi ditambah politik perizinan pendirian media tidak lagi
diberlakukan oleh pemerintah, hingga jumlah media massa baik cetak, elektronik,
maupun media online menjamur di Tanah Air. Tidak terkecuali dengan kelahiran teknologi baru yang berbentuk jaringan jagat raya internet. Dari internet inilah lahir
alternatif media baru, media online. Berkat media baru inilah, warga Indonesia di mana saja di pelosok Indonesia sepanjang akses internet bisa, bahkan di pelosok
dunia pun, mampu menyaksikan berita yang ada pada saat sama dengan biaya murah.
Dibandingkan dengan media biasa, sejumlah kekhasan media online yang mewarnai perkembangan pers antara lain penyajian yang real time seperti halnya radio dan untuk sebagian televisi, setiap berita bisa komprehensif dengan
disambungkan ke bank data, jangkauannya global dalam waktu sama dan
terdokumentasi.
Karakteristik media online seperti menjangkau pelanggan lebih dekat, alternatif promosi, kepuasan kepada pembaca karena mudah diakses, serta berita
aktual yang diperbaharui terus-menerus.
internet kian besar, media online sangat berpengaruh dan membuat setiap informasi bisa disajikan secara cepat dan akurat.
Pertumbuhan media online akan memacu jenis media lain melakukan perubahan mendasar atas visi pemberitaan. Artinya, peristiwa dan komentar plus
analisisnya bisa disajikan oleh media online dalam waktu tidak lama ketika peristiwa berlangsung. Sedangkan media cetak seperti surat kabar memerlukan waktu satu hari
dan majalah satu minggu untuk menguraikan dan menganalisis berita itu.
Kehadiran media online ini jelas telah mengubah paradigma baru pemberitaan, yakni event on the making. Maksudnya, berita yang muncul tidak disiarkan beberapa menit, jam, hari, atau minggu, tetapi begitu terjadi langsung
di-upload (dimasukkan) ke dalam situs web media online.
Namun, sejarah media massa memperlihatkan bahwa sebuah teknologi baru
tidak pernah menghilangkan teknologi lama, namun menjadi sebuah alternatif.
Menciptakan sebuah kerajaan dan khalayak baru. Seperti halnya pada saat kehadiran
televisi, meskipun televisi melemahkan radio, tetap tidak dapat secara total
mengeliminasinya. Maka cukup adil mengatakan bahwa media online tidak mungkin akan bisa menggantikan sepenuhnya bentuk-bentuk media lama. (Septiawan Santana,
2005:135)
kapan saja selama ada jaringan internet. Jurnalisme online ini merupakan perubahan baru dalam ilmu jurnalistik.1
. Koran Harian Nasional Waspada juga turut tenggelam terhadap perubahan
teknologi tersebut. Dengan mengkorvengensi diri ke medium baru yaitu internet,
Harian Waspada menghadirkan Waspada Online dengan alamat situs Laporan jurnalistik dengan menggunakan teknologi internet, disebut dengan
media online, yang menyajikan informasi dengan cepat dan mudah diakses di mana saja. Dengan kata lain, berita saat ini bisa di baca saat ini juga, di belahan bumi mana
saja.
Berita dan Informasi Medan, Sumut, Aceh”. Waspada Online hadir dengan
menyuguhkan peristiwa di Sumatera Utara dengan pengaruh kuat di medan dan
eksistensi luas di Aceh.
Memiliki kesamaan dengan media online kebanyakan, Waspada Online juga menerapkan kecepatan sebagai keunggulannya. Informasi yang diperoleh reporter di
lapangan harus dengan segera sampai ke redaktur dan dipublish. Bahkan dalam
hitungan detik sebuah peristiwa bisa tersaji ke situs Waspada Online.
Tidak berbeda dengan media elektronik dan media cetak, wartawan media
online juga ditutuntut harus memiliki kemampuan. Yancheff menilik ukuran
profesionalisme wartawan membutuhkan multi-kompetensi. Karakteristik
performanya menekankan kekuatan penulisan dan oral, ketekunan kerja , dan
pemilikan dasar pengetahuan yang mengkombinasikan aplikasi lintas disiplin
(Septiawan Santana, 2005:207). Untuk itu, ia mengajukan sepuluh kemampuan
wartawan professional yang terdiri dari :
1. Writing Competencies, yaitu kapasitas untuk melaporkan secara akurat, jelas, kredibel, dan reliable.
2. Oral Performance Competencies, ialah kemampuan menyampaikan pengertian, respon yang baik secara percaya diri dan bertanggung jawab.
3. Research and Investigative Competencies, yaitu kemampuan menyiapkan berbagai bahan, pengembangan, akurasi kisah atau mengidentifikasi
topik-topik potensial
4. Broad-based Knowledge Competencies, ialah kemampuan memiliki pengetahuan dasar. Dunia kewartawanan mensyaratkan proses belajar seumur
hidup dan keluasan lintas disiplin.
5. Web-based Competencies ialah kemampuan menguasai internet.
6. Audio Visual Competencies, yaitu kemampuan menggunakan peralatan seperti kamera, kamera video, serta tape recorder.
7. Skill-based Computer Application Competencies, ialah kemampuan mengaplikasikan komputer dalam kegiatan melaporkan pemberitaan.
8. Ethics Competencies, yaitu kemampuan memahami tanggung jawab profesi seperti kode etik.
10.Career Competencies, ialah kemampuan memahami dunia karir professional di dalam jurnalisme. Kemampuan bekerja di dalam manajemen pers, dan
bersikap positif di dalam dunia kerja peliputan.
Tuntutan jurnalisme terhadap para wartawan temasuk wartawan media online
bukan hanya berupa ketekunan bekerja dan penguasaan atas pengetahuan, melainkan
juga upaya mencapai standar integritas sesuai dengan tanggung jawab yang
dibebankan kepada mereka. Para wartawan dituntut bukan hanya menyajikan fakta,
melainkan juga kebenaran tentang fakta tersebut.
Kovach & Rosenstiel menulis tentang loyalitas wartawan dalam Sembilan
Elemen Jurnalisme. Salah satu elemen tersebut adalah tanggung jawab wartawan.
Jawaban elemen itu di antaranya menyetir pertanyaan who journalist work for?
Kepada siapa wartawan bekerja? Perusahaan, pembaca atau kepada masyarakat?
Pertanyaan ini menjadi sangat penting karena banyak wartawan yang sejak
tahun 1980-an merangkap sebagai pedagang. Maksudnya adalah terkait dengan
urusan manajemen media yang ingin melahap laba sebanyak-banyaknya ketimbang
membuat berita yang bagus. Ruang redaksi menjadi rapat memilah berita yang bisa
menangguk iklan sebanyak-banyaknya dan jurnalisme menjadi lahan bisnis yang diisi
oleh para manajer yang ketat menghitung pendapatan dari iklan. (Septiawan
Sanatana, 2005:209)
Namun, persoalan di atas menurut Septiawan Santana dalam “Jurnalisme
wartawan yang pertama ialah kepada masyarakat. Komitmen ini harus dimiliki
seorang wartawan bukan sekedar egoisme profesi. Loyalitas kepada masyarakat
sudah menyatu dengan tugas kewartawanan. Isi liputannya bukan didasari oleh
kepentingan pribadi, media, ataupun kawan melainkan akurasi pada segala fakta.
Adapun Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Wartawan Indonesia yang tertuang
dalam Peraturan Dewan Pers tentang kode etik jurnalistik, landasan moral
dan
dan menegakkan integritas, serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia
menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Lewat kode etik tersebut, wartawan
baik dari media cetak, elektronik, bahkan online yang mengedepankan konsep kecepatan diharuskan memahami kode etik seperti yang tertuang dalam point ke delapan yaitu Ethics Competencies yang menjadi bagian dari sepuluh kemampuan wartawan profesional menurut Yancheff di atas.
Sedangkan fakta yang disuguhkan dalam dokumen lembaga kantor berita
nasional Antara dan PWI, sekitar 40.000-an wartawan Indonesia saat ini hanya 20%
yang paham tentang kode etik jurnalistik wartawan Indonesia. Ini menunjukkan ada
80% dari seluruh wartawan di Indonesia yang masih gamang dan acuh terhadap kode
etik yang menjadi landasan profesinya.2
Banyaknya wartawan yang tidak memahami kode etik dampak dari kebebasan
pers yang dianggap sebagai kebebasan sebebas-bebasnya. Dalam hal jurnalisme tak
lebih dari sekedar kepanjangan tangan kotor birokrasi yang korup. Selain itu,
2
kebebasan formal yang tertuang dalam UU Pers No.40 tahun 1999 tidak jarang
dijadikan sebagai alat kepentingan sesaat.
Sementara itu, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP melalui staf ahli bidang
kemasyarakatan dan SDM Agus Salim mengatakan, berdasarkan data yang dilansir
dewan pers sebanyak 70 persen wartawan di Tanah Air belum atau tidak profesional.
Selain itu, hasil penelitian juga menyebutkan perusahaan pers yang terbit dan
berkembang terbilang cukup menggembirakan. Sayangnya yang benar-benar sehat,
redaksional dan usaha hanya 30 persen.3
Wartawan yang baik selalu menyadari bahwa mereka selalu harus
bertanggungjawab akan kebenaran berita atau laporan mereka. Seorang wartawan
juga selalu belajar mengenai bagaimana cara mengkomunikasikan ide secara teliti Dalam persepsi diri wartawan sendiri, istilah “profesional” memiliki tiga arti.
Pertama, professional adalah kebalikan dari amatir, kedua, ialah sifat pekerjaan
wartawan menurut pelatihan khusus, dan yang terakhir adalah norma-norma yang
mengatur perilakunya dititikberatkan pada kepentingan khalayak pembacanya.
Kemudian terdapat dua norma yaitu norma teknis yang mengharuskan untuk
menghimpun berita dengan cepat dan menyuntingnya. Dan norma yang kedua adalah
norma etis yaitu kewajiban kepada pembaca serta nilai-nilai seperti tanggung jawab,
sikap tidak memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif, dan yang lainnya yang
dan efektif dan paham apa yang disebut berita yang disuguhkan secara jujur (Djen
Amar, 1984:42).
Profesional akan menimbulkan sikap menghormati martabat individual dan
hak – hak pribadi dan personal masyarakat dalam diri seorang wartawan dalam
peliputannya. Demikian pula, ia akan dapat menjaga martabatnya sendiri karena
hanya dengan cara itu ia akan mendapat kepercayaan masyarakat dalam menjalankan
tugasnya sebagai wartawan yang profesional.
Urusan pertanggungjawaban sosial sebagai tanggung jawab pers akhirnya
menjadi catatan-catatan dari diskusi-diskusi akademis, buku-buku dan
terbitan-terbitan periodic, dan pertemuan – pertemuan asosiasi kewartawanan. Seperti dilaporkan oleh Royal Commision on the Press (1949), di Inggris dan A Free and Responsible Press (1947) yang disusun Commision on the Freedom of the Press di Amerika, keduanya mengevaluasi dengan kritis sepak terjang wartawan dalam
praktik (Septiawan Santana, 2005:206).
Contoh nyata pelanggaran KEJ adalah keputusan Dewan Pers beberapa waktu
lalu yang menyatakan adanya pelanggaran kode etik jurnalistik dalam kasus sejumlah
wartawan membeli saham perdana PT. Krakatau Steel. Ketika jurnalis sebagai peliput
bursa saham ikut terlibat memperjualbelikan saham perdana perusahaan-perusahaan
yang terdaftar (listing) di pasar modal telah mencerahkan publik tentang munculnya potensi konflik kepentingan.4
Inilah yang menarik bagi penulis, bagaimana sebuah media online seperti Waspada Online yang memiliki konsep “kecepatan” dalam penyajian informasi
4
menerapkan cek dan ricek dalam proses pemberitaan. Apakah akibat kecepatan
tersebut, para wartawan Waspada Online melupakan etika dalam proses pemberitaan.
Atau bagaimana mereka memandang setiap etika yang menjadi landasan profesi
mereka yaitu Kode Etik Jurnalistik. Apakah label “wartawan profesional” dan
memiliki integritas ada dalam media online tersebut. Sebab, wartawan yang profesional sudah pasti paham Kode Etik Jurnalistik yang mengarahkan seorang
wartawan untuk tetap independen.
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
“Bagaimanakah pemahaman wartawan Waspada Online tentang Kode Etik Jurnalistik
Wartawan Indonesia?”
I.3. Pembatasan Masalah
Tujuan dari pembatasan masalah adalah untuk menghindari ruang lingkup
penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian. Adapun
pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:
1. Penelitian ini hanya akan dilakukan pada wartawan Waspada Online
2. Fokus penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pemahaman wartawa
Waspada Online terhadap Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia
3. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif jenis fenomenologi dengan
I.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 .Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk memberi gambaran tentang pemahaman wartawan Waspada
Online tentang Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana wartawan Waspada Online menjalankan
Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia
I.4.2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penulis dapat menerapkan ilmu yang sudah diperoleh
selama menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU, sekaligus
memperkaya wawasan penulis mengenai wartawan dan Kode Etik
Jurnalistik Wartawan Indonesia.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian
penelitian ilmu komunikasi khususnya mengenai wartawan dan
sebagai sumber bacaan.
3. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pembaca bahkan bagi wartawan Waspada Online dan pihak – pihak
yang membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan penelitian ini.
Setiap penelitian mempunyai titik tolak atau landasan berpikir dalam
memecahkan atau menyoroti sebuah masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori
yang memuat pokok – pokok pikiran yang mengambarkan diri dari sudut mana
masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995:39).
Teori adalah himpunan konstruk atau konsep, definisi dan proposisi yang
mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di
antara variable, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat,
2006:6)
Dalam penelitian ini, teori – teori yang digunakan adalah :
I.5.1. Fenomenologi
Fenomenologi pada dasarnya adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan
untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan oleh
Littlejohn (2008:37) bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi
pengalaman manusia. Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami
dunia di sekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif
menginterpretasikan pengalaman tersebut.
Fenomenologi diartikan sebagai pengalaman subjektif atau pengalaman
fenomenologikal serta suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari
seseorang. Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada
fokus pengalaman–pengalaman subjektif manusia dan interpretasi–interpretasi dunia.
Penelitian dalan pandangan fenomenologi berusaha memahami arti peristiwa
dan kaitan–kaitannya terhadap orang–orang yang berada dalam situasi–situasi
tertentu. Inkuiri fenomenologi memulai dengan diam yang merupakan tindakan untuk
menangkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Inilah yang disebut sebagai fase
Ephoce, yang merupakan penundaan perkiraan dan asumsi, penilaian dan interpretasi. Setelah itu mulai berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang diteliti
secara sedemikian rupa sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana suatu
pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya
sehari – hari. Ini merupakan fase reduksi fenomenologi dan fase variasi imajinatif
(Moleong, 2006:16).
Teori atau preposisi yang dihasilkan dari studi fenomenologi adalah key learning atau pelajaran/hikmah penting apa yang muncul dari fenomena yang diteliti. Fenomenologi berbeda dengan etnometodologi atau cultural studies yang secara lebih serius menyorot peristiwa-peristiwa, sikap dan perilaku hingga makna simbol-simbol
budaya yang berkembang di masyarakat. Fenomenologi umumnya berkaitan dengan
fenomena perilaku manusia.
Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan
pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh
karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu
yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif,
yakni tindakan menuju pemaknaan (Littlejohn, 2008:38). Metode fenomenologi
metode lain, fenomenologi lebih memberikan fleksibilitas dan kemudahan untuk
membangun konstruksi sosial realitas dan memberikan informasi yang kaya atas
realita yang diteliti (Ninik Sri Rejeki, 2011:158).
I.5.2 Pers
Menurut UU pers No.40 tahun 1999, pers diartikan sebagai lembaga sosial
dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun bentuk lainnya dengan mengunakan media cetak, media elektronik,
dan segala jenis aturan yang tersedia.
Pers memanglah suatu lembaga sosial, namun saat ini istilah pers yang sudah
melekat di masyarakat awam adalah merujuk pada wartawan, yaitu sebagai pekerja
media. Kusumaningrat dalam Jurnalistik Teori dan Praktek (2005:115) menuliskan
bahwa dalam literatur, pekerja seperti pemimpin redaksi, redaktur, reporter disebut
sebagai sebuah profesi.
Pers sendiri memiliki arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas adalah yang
menyangkut dengan kegiatan komunikasi baik yang dilakukan media cetak maupun
media elektronik. Sedangkan dalam arti sempit, pers menyangkut kegiatan
I.5.3. Media Massa Online
Sejarah media massa memperlihatkan bahwa sebuah teknologi baru tidak
pernah menghilangkan teknologi lama, namun menstubstitusinya. Radio tidak
menggantikan surat kabar, namun menjadi sebuah alternatif, menciptakan sebuah
khalayak baru. Demikian pula halnya dengan televisi, meskipun melemahkan radio,
televisi tidak dapat secara total mengeliminasi radio. Begitu juga dengan media
online yang menciptakan suatu cara yang unik untuk memproduksi berita dan konsumen berita. Jurnalisme online tidak akan menggantikan jurnalisme tradisional, namun meningkatkan intensitasnya dengan menggabungkan fungsi – sungsi dari
teknologi internet dengan media tradisional.
Teori konvergensi menyatakan bahwa berbagai perkembangan bentuk media
massa terus merentang dari sejak awal siklus penemuannya. Setiap model media
terbaru tersebut cenderung merupakan perpanjangan atau evolusi, dari model–model
terdahulu. Dalam hal ini, media massa online bukanlah sebuah pengecualian.
Jika surat kabar atau majalah dihitung dengan tirasnya, maka banyak atau
tidaknya pengunjung dihitung dengan hits dan impression. Tingkat kunjungan atau disebut hits sering dijadikan standar. Ada situs berita yang hits per harinya 1,5 juta,
ada pula yang hanya ratusan ribu. Dibandingkan dengan media biasa, sejumlah
komprehensif dengan disambungkan ke bank data, jangkauannya global dalam waktu
sama dan terdokumentasi.
Karakteristik media online juga mampu menjangkau pelanggan lebih dekat, alternatif promosi, kepuasan kepada pembaca karena mudah diakses, serta berita
aktual yang diperbaharui terus-menerus. Selain fungsi pengetahuan yang
mahaluas-karena bisa terhubung ke berbagai situs dunia-juga terdapat fungsi interaktif.
Pembaca bisa mengirim keluhan langsung begitu berita dibaca, dan diterima redaksi
dalam hitungan detik. Jika redaksinya aktif, bisa dijawab dalam beberapa menit.
Dengan demikian pembaca lebih dekat dengan penyusun berita.
I.5.4. Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia
berekspresi, dan
Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat
untuk memperoleh
dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan
pers itu,
jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka
untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi
memerlukan landasan moral dan
menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas, serta profesionalisme. Atas
dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ):
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan
tugas
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan
bersalah.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan
susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan
informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan
perbedaan
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya,
kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru
dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan
atau pemirsa.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Konsep adalah generalisai dari sekelompok fenomena tertentu sehingga dapat
dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun,
1995:17).
Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam
memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Kerangka konsep
dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan konstrutivis jenis
fenomenologi.
Teori ini menyatakan bahwa individu membuat interpretasi berdasarkan
aturan – aturan sosialnya. Individu dalam situasi sosial pertama – tama didorong oleh
keinginan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan menerapkan aturan –
aturanuntuk mengetahui segala sesuatu. Pada tahap selanjutnya individu bertindak
atas dasar pemahaman mereka, dengan menggunakan aturan – aturan untuk
memutuskan jenis tindakan yang sesuai. Pada titik inilah desain pesan dioperasikan
oleh individu dalam tindakan komunikasinya, desain pesan dilakukan agar tindakan
dan pernyataan dapat menciptakan komunikasi interaktif.
Dalam penelitian ini akan dikemukakan tahapan – tahapan penelitian
fenomenologi transcendental dari husserls yaitu Epoche, Reduksi Fenomenologi,
Variasi Imajinasi, dan Sintesis Makna dan Esensi (Engkus Kuswarno, 2009:48).
I.7. Defenisi Operasional
Epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan
yang kita yakini sebelumnya. Oleh karena epoche memberikan cara pandang yang
sama sekali baru terhadap objek, maka dengan epoche kita dapat menciptakan ide,
perasaan, kesadaran dan pemahaman yang baru. Epoche membuat kita masuk ke
dalam dunia internal yang murni, sehingga memudahkan untuk pemahaman akan diri
dan orang lain.
I.7.2. Reduksi Fenomenologi
Ketika epoche adalah langkah awal untuk memurnikan objek dari pengalaman
dan prasangka awal, mak tugas dari reduksi fenomenologi adalah menjelaskan dalam
susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat. Reduksi akan membawa kita kembali
pada bagaimana kita mengalami sesuatu. Memunculkan kembali asumsi awal dan
mengembalikan sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi tidak hanya sebagai
cara untuk melihat, namun juga cara untuk mendengar suatu fenomena dengan
kesadaran dan hati-hati.
I.7.3. Variasi Imajinasi
Setelah reduksi fenomenologi, variasi imajinasi muncul untuk mencari
makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan,
pemisahan dan pembalikan, serta pendekatan terhadap fenomena dari perpektif,
posisi, peranan, dan fungsi yang berbeda. Tujuannya adalah untuk mencapai deskripsi
I.7.4. Sintesis Makna dan Esensi
Tahap terakhir dalam penelitian fenomenologi transendental adalah iintegrasi
intuitif dasar-dasar deskripsi terkstural dan struktural ke dalam satu pernyataan yang
menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan. Dengan demikian, tahap ini
adalah tahap penegakkan mengenai hakikat.
Menurut Husserls, esensi adalah sesuatu yang umum dan berlaku universal,
kondisi atau kualitas yang menjadikan sesuatu. Esensi tidak terungkap secara
sempurna. Sintesis struktur tekstural yang fundamental akan mewakili esensi dalam
waktu dan tempat tertentu, dari sudut pandang imajinatif dan studi reflektif seseorang
BAB II
URAIAN TEORITIS
II.1. Fenomenologi
II.1.1. Sejarah Perkembangan Fenomenologi
Secara etimologis, fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon yang merujuk pada arti “yang menampak”. Fenomena adalah fakta yang disadari dan
masuk ke dalam pemahaman manusia. Sehingga, suatu objek ada dalam relasi
kesadaran.
Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode
berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan
penampakannya.
Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali dikembangkan
di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund
Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti
Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam
pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah
eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar
(Engkus Kuswarno, 2009:3).
Fenomenologintidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad
diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johann Heinrich
Lambert. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah
fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan
fenomenologi untuk psikologi deskriptif, dimana menjadi awalnya Edmund Husserl
mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.
Sebelum abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang saling
bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan muncul dari
penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat apa yang sedang
terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang memadai itu adalah
pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk mengatur dan mengolah
bahan-bahan yang diterima oleh panca indera.
Sedangkan di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa
pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya pengetahuan
yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai
pengetahuan ilmiah. Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya dapat dipakai
untuk mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal tidak
memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal
dapat menurunkan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri.
Dari dua pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk
menjembatani keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak kepada
kita atau fenomena. Sedangkan fenomena sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang
tampak dengan sendirinya dan merupakan hasil sintesis antara penginderaan dan
menjadi titik awal pembahasan para filsafat pada abad ke-18 dan 19 terutama tentang
bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.
Fenomenologi bagi Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika.
Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang tipe-tipe
aktivitas mental subjektif, pengalaman, dan tindakan sadar. Namun, pemikiran
Husserl tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya
mengenai “model kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk
mengembangkan filsafat radikal atau aliran filsafat yang menggali akar-akar
pengetahuan dan pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan terhadap aliran
positivistik yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat hidup lebih bermakna
karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Fenomenologi
berangkat dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu
objek yang tampak namun berusaha menggali makna di balik setiap gejala tersebut.
Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang tidak
hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran sementara,
intersubjektivitas, kesengajaan praktis, dan konteks sosial dari tindakan manusia.
Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini.
Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks,
karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komrehensif dan mandiri.
Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu
alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran yang dinamakan dengan
II.1.2. Fenomenologi sebagai Metode Penelitian
Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada
sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Usaha kembali pada fenomena
tersebut memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan
fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah
menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metode tersebut harus
dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat menungkap diri
sendiri. Bukan suatu abstraksi melainkan intuisi mengenai hakekat sesuatu (Husserl
dalam Basuki, 2006:72).
Sebagai metode penelitian, fenomenologi sering dikenal sebagai metode
deskriptif kualitatif dengan paradigm konstruktivisme (Mix Methodology, 2011:138).
Sesuai dengan asumsi ontologis yang ada dalam paradigm konstruktivisme, peneliti
yang menggunakan metode ini akan memperlakukan realitas sebagai konstruksi sosial
kebenaran. Realitas juga dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai
dengan konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para actor sosial.
Secara epistemologi, ada interaksi antara peneliti dan subjek yang diteliti.
Sementara itu dari sisi aksiologis, peneliti akan memperlakukan nilai, etika, dan
pilihan moral sebagai bagian integral dari penelitian. Peneliti merupakan fasilitator
yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial dalam rangka
merekonstruksi realitas sosial.
Sebagai metode penelitian, fenomenologi adalah cara membangun
aktor sosial yang mengalami peristiwa dalam kehidupannya. Pemahaman yang
dicapai dalam tataran personal merupakan konstruksi personal realitas atau konstruksi
subyektivitas.
Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan
pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh
karena itu interpretasi merupakan proses aktif yang memberikan makna atas sesuatu
yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah sesuatu tindakan kreatif
yakni tindakan menuju pemaknaan (Littlejohn, 2008:38).
Fenomenologi yang diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke-20
menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai manusia.
Tujuannya adalah agar kembali ke bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil
kepada kita dan mengesampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui
tentang mereka. Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang
dialami manusia dengan konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataan
abstrak tentang kealamiahan dunia secara umum.
Berikut ini dikemukakan tahapan-tahapan penelitian fenomenologi dari
Husserl :
a) Epoche
Berasal dari bahasa Yunani yang berarti “menjauh dari” dan “tidak
memberikan suara”. Husserl menggunakan epoche untuk term bebas dari
prasangka. Dengan epoche kita menyampingkan penilaian, bias, dan
epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan
yang kita miliki sebelumnya.
Oleh karena epoche memberikan cara pandang yang sama sekali baru
terhadap objek, maka dengan epoche kita dapat menciptakan ide, perasaan,
kesadaran, dan pemahaman yang baru. Epoche membuat kita masuk ke dalam
dunia internal yang murni sehingga memudahkan untuk pemahaman akan diri
dan orang lain. Dengan demikian tantangan terbesar ketika melakukan epoche
adalah terbuka atau jujur terhadap diri sendiri.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, seperti persepsi,
pilihan, penilaian, dan perasaan orang lain harus dikesampingkan juga. Hanya
persepsi dan tindakan sadar kitalah yang menjadi titik untuk menemukan
makna, pengetahuan, dan kebenaran.
b) Reduksi Fenomenologi
Ketika epoche adalah langka awal untuk memurnikan objek dari
pengalaman dan prasangka awal, maka tugas dari reduksi fenomenologi adalh
menjelaskan dalam susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat. Tidak hanya
dalam term objek eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal,
pengalaman, dan ritme. Fokusnya terletak pada kualitas dari pengalaman,
sedangkan tantangan ada pada pemenuhan sifat-sifat alamiah dan makna dari
pengalaman.
Reduksi akan membawa kita kembali pada bagaimana kita mengalami
sesuatu. Memunculkan kembali asumsi awal dan mengembalikan sifat-sifat
namun juga cara untuk mendengar suatu fenomena dengan kesadaran dan
hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara untuk melihat dan mendengar
fenomena dalam tekstur dan makna aslinya.
c) Variasi Imajinasi
Tugas dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang
mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan
pembalikan, serta pendekatan terhadap fenomena dari perspekif, posisi,
peranan, dan fungsi yang berbeda. Tujuannya tiada lain untuk mencapai
deskripsi structural dari sebuah pengalaman.
Target dari fase ini adalah makna dan bergantung dari intuisi sebagai
jalan untuk mengintegrasikan struktur ke dalam esensi fenomena. Dalam
berpikir imajinatif, kita dapat menemukan makna-makna potensial yang dapat
membuat sesuatu yang asalnya tidak terlihat menjadi terlihat jelas.
Membongkar hakikat fenomena dengan memfokuskannya pada
kemungkinan-kemungkinan yang murni adalah inti dari variasi imajinasi.
Pada tahap ini, dunia dihilangkan, segala sesuatu menjadi mungkin.
Segala pendukung dijauhkan dari fakta dan entitas yang dapat diukur dan
diletakkan pada makna dan hakikatnya. Dalam kondisi seperti ini, intuisi tidak
lagi empiris namun murni imajinatif.
d) Sintetis Makna dan Esensi
Merupakan tahap terakhir dalam penelitian fenomenologi. Fase ini
Husserl mendefenisikan esensi sebagai sesuatu yang umum dan
berlaku universal, kondisi atau kualitas menjadi sesuatu tersebut. Esensi tidak
pernah terungkap secara sempurna. Sintesis struktu tekstural yang
fundamental akan mewakili esensi ini dalam waktu dan tempat tertentu, dan
sudut pandang imajinatif dan studi reflektif seseorang terhadap fenomena.
II.2. Pers
Pers berasal dari Bahasa Belanda, pers yang berarti menekan atau mengepres. Secara harafiah, pers mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan
perantaraan barang cetakan. Tetapi, sekarang kata pers digunakan untuk merujuk
pada semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan
menghimpun berita baik oleh wartawan elektronik, cetak, maupun online.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua pengertian mengenai pers, yaitu pers
dalam arti sempit dan luas. Dalam arti luas adalah yang menyangkut dengan kegiatan
komunikasi baik yang dilakukan media cetak maupun media elektronik. Sedangkan
dalam arti sempit, pers menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan
dengan perantaraan barang cetakan.
Menurut UU pers No.40 tahun 1999, pers diartikan sebagai lembaga sosial
dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun bentuk lainnya dengan mengunakan media cetak, media elektronik,
Pers memanglah suatu lembaga sosial, namun saat ini istilah pers yang sudah
melekat di masyarakat awam adalah merujuk pada wartawan, yaitu sebagai pekerja
media. Kusumaningrat dalam Jurnalistik Teori dan Praktek (2005:115) menuliskan
bahwa dalam literatur, pekerja seperti pemimpin redaksi, redaktur, reporter disebut
sebagai sebuah profesi.
Menurut Sumadiria (2005:38), pers dapat dianalisis berdasarkan kualitasnya
menjadi tiga bagian:
• Pers Berkualitas (quality)
Penerbitan pers berkualitas memilih cara penyajian berita yang etis, moralis,
dan intelektual. Pers berkualitas benar-benar dikelola secara konseptual dan
professional walaupun orientasi bisnisnya tetap komersial. Materi laporan, ulasan,
dan tulisan pers berkualitas termasuk berat. Sangat dihindari pola dan penyajian
pemberitaan yang bersifat emosional frontal. Segala sesuatu dilihat menurut
pandangan, aturan, norma, etika, dan kebijakan yang sudah baku serta aman bagi
kepentingan dan kelangsungan kemajuan perusahaan.
• Pers Popular (popular)
Penerbitan pers popular memilih cara penyajian yang sesuai dengan selera
zaman, cepat berubah-ubah, sederhana, tegas, lugas, enak dipandang, mudah
dibaca, dan sangat komrimistis dengan tuntutan pasar. Pers jenis ini menyukai
pilihan kata, ungkapan, idiom, atau judul yang diambil dari dan sedang poluler
komersial. Penerbitan pers popular memilih cara penyajian dan pendekatan yang
kurang etis, emosional, dan kadang-kadang sadistis.
• Pers Kuning (Yellow)
Disebut pers kuning karena penyajian pers jenis ini banyak mengeksplorasi
warna. Segala macam warna ditampilkan untuk mengundang perhatian. Pernataan
judul sering tak beraturan dan tumpang tindih. Pilihan kata tak diperlukan karena
pers kuning tidak menganut pola penulisan judul dan pemakaian kata yang baik
dan benar. Bagi pers kuning, kaidah baku jurnalistik tak diperlukan. Berita tidak
harus berpijak pada fakta. Mengunakkan pendekatan SCC (sex, conflict, crime), karena berita, laporan, atau tulisan sekitar seks, konflik, dan criminal lebih
menarik perhatian.
II.3. Profesionalisme Wartawan
Dalam persepsi diri wartawan sendiri, istilah “profesional” memiliki tiga arti,
yaitu pertama, profesional adalah kebalikan dari amatir, kedua, sifat pekerjaan
wartawan menuntut pelatihan khusus, dan yang ketiga norma-norma yang mengatur
perilakunya dititikberatkan pada kepentingan khalayak pembaca. Kemudian terdapat
dua norma yaitu norma teknis yang mengharuskan untuk menghimpun berita dengan
cepat dan menyuntingnya. Dan norma yang kedua adalah norma etis yaitu kewajiban
kepada pembaca serta nilai-nilai seperti tanggung jawab, sikap tidak memihak, sikap
peduli, sikap adil, objektif, dan yang lainnya yang tercermin dalam produk berita
Profesinalisme akan menimbulkan dalam diri wartawan sikap menghormati
martabat individual dan hak-hak pribadi dan personal warga masyarakat yang
diliputnya. Demikian pula, ia akan menjaga martabatnya sendiri karena hanya dengan
cara itu ia akan mendapat kepercayaan masyarakat dalam menjalankan tugasnya
sebagai wartawa professional.
Loyalitas ini sudah menyatu dengan tugas kewartawanan. Ketika
memberitakan, segala isi beritanya harus straight. Isi liputannya bukan karena
didasari kepentingan pribadi atau kawan-kawan. Pemeberitaannya bukanlah
berdasarkan niat persuasive, melainkan akurasi segala fakta. Loyalitas wartawa ialah
mengangkat sesuatu dan menyampaikan kebenaran. Inilah dasar mengapa masyarakat
akhirnya yakin kepada wartawan. Inilah sumber utama kredibilitas kewartawanan dan
pada titik tertentu merupakan asset penting dari bisnis media dan bagaimana media
mengembangkan usaha. Banyak media yang sukses karena mendahulukan
kepentingan masyarakat dan banyak media yang ambruk karena hanya mementingkan
manajemen bisnisnya (Septiawan Santana, 2005:210).
Wartawan yang baik selalu menyadari bahwa mereka selalu harus
bertanggungjawab akan kebenaran berita atau laporan mereka. Seorang wartawan
juga selalu belajar mengenai bagaimana cara mengkomunikasikan ide secara teliti
dan efektif dan paham apa yang disebut berita yang disuguhkan secara jujur (Djen
Amar, 1984:42).
Berbicara mengenai loyalitas, Kovach dan Rosenstiel (2003:59) mengatakan
adalah syarat mutlak penyampaian berita, tidak hanya akurat tetapi juga persuasif.
Inilah alasan masyarakat mempercayai sebuah organisai berita atau media.
II.4. Sembilan Elemen Jurnalisme
Kebajikan utama jurnalisme adalah menyampaikan informasi yang
dibutuhkan masyarakat hingga mereka leluasa dan mampu mengatur dirinya.
Jurnalisme membantu masyarakat mengenali komunitasnya. Jurnalisme dari realitas
yang dilaporkannya, menciptakan bahasa bersama dan pengetahuan bersama.
Media jurnalisme menjadi watchdog berbagai peristiwa yang baik dan buruk, serta mengangkat aspirasi yang luput dari telinga banyak orang. Semua itu terjadi
berdasarkan informasi yang sama. Informasi tersebut disampaikan jurnalisme kepada
masyarakat.
Kovack dan Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme yang
sekaligus menjadi tugas jurnalisme, yaitu:
a. Menyampaikan kebenaran
b. Memiliki loyalitas kepada masyarakat
c. Memiliki disiplin untuk melakukan verivikasi
d. Memiliki kemandirian terhadap apa yang diliputnya
e. Memiliki kemandirian untuk memantau kekuasaaan
f. Menjadi forum bagi kritik dan kesepakatan publik
g. Menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik
h. Membuat berita secara komprehensif dan proporsional
Elemen yang pertama menekankan kebenaran fungsional. Bukanlah kebenaran yang banyak dicari filosof-filosof. Kebenaran fungsional berarti kebenaran
yang terus menerus dicari. Kebenaran, misalnya harga-harga bahan pokok atau nilai
kurs mata uang.
Jurnalisme melaporkan materi kebenaran apa yang dapat dipercaya dan
dimanfaatkan masyarakat pada saat ini. Berbekal kebenaran tersebut, masyarakat
belajar dan berpikir mengenai sesuatu yang terjadi disekitarnya. Apakah besok akan
hujan? Apa di jalan tertentu terjadi kemacetan lalu lintas? Dengan demikian,
jurnalisme menyampaikan kebenaran tentang fakta-fakta yang ditemukan saat itu.
Fakta-fakta yang dilaporkan secara akurat dan jujur.
Kebenaran di sini bukanlah yang bersifat religious, ideologis, atau pun
filsafat. Juga tidak menyangkut kebenaran berdasarkan pandangan seseorang. Sebab,
pemberitaan seorang wartwan bisa memiliki bias. Latar belakang sosial, pendidikan,
kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agama yang dipegang seorang wartawan
mampu mempengaruhi pelaporan beritanya. Wartawan juga harus mampu
menyingkirkan fakta yang bersifar desas-desus, tidak penting, atau dimanipulasi.
Elemen kedua ialah loyalitas kepada masyarakat. Ini memaknakan kemandirian jurnalisme. Ini berarti membuat resensin film yang jujur (bukan
pesanan), mengulas liputan tempat rekreasi yang tidak dipengaruhi para pemasang
iklan, atau membuat liputan yang tidak didasari kepentingan pribadi atau relasi
Para jurnalis, tidak bekerja atas kepentingan pelanggan. Para jurnalis bekerja
atas komitmen, keberanian, nilai yang diyakini, sikap, kewenangan, dan
profesionalisme yang telah diakui public.
Elemen ketiga ialah disiplin melakukan verifikasi. Ini bearti kegiatan menelusuri sekian saksi untuk sebuah peristiwa, mencari sekian banyak narasumber,
dan mengungkap banyak komentar. Verifikasi juga bearti memilah jurnalisme dan
hiburan, propaganda, fiksi, dan seni. Konsep dalam verifikasi adalah jangan
menambah atau mengarang apapun, jangan menipu khalayak, bersikap transparan,
bersandar pada reportase sendiri, dan bersikap rendah hati.
Elemen keempat berarti tidak menjadi “konsultan” diam-diam, penulis pidato, atau mendapat uang dari pihak-pihak yang diliput. Arti lainnya lagi
menunjukkan kredibilitas kepada berbagai pihak melalui dedikasi terhadap akurasi,
verifikasi, dan kepentingan publik. Atau, kemandirian melakukan kegiatan jurnalisme
dengan ketaatan dan penghormatan yang tinggi pada prinsip kejujuran, kesetiaan pada
rakyat, serta kewajiban memberi informasi bukan manipulasi.
Elemen kelima adalah kemandirian untuk memantau kekuasaan. Elemen ini bukan berarti pekerjaan wartawan itu mengganggu orang yang tengah berbahagia
dengan berita-berita buruk. Elemen ini berkaitan degan kegiatan investigasi pers.
Kegiatan media melaporkan berbagai pelanggaran, kasus, atau kejahatan yang
dilakukan pihak-pihak tertentu baik pihak pemerintah maupun lembaga-lembaga
yang kuat dalam masyarakat. Laporan pers, dengan demikian mencegah para
pemimpin dalam pemerintahan atau organisasi public agar tidak melakukan sesuatu
perbaikan di berbagai bidang kehidupan dan berbagai tingkatan sosial seperti korupsi,
kolutif, atau nepotisme, penganiayaan buruh, kejahatan terorganisir atau bisnis-bisnis
kotor.
Elemen keenam merupakan upaya media menyediakan ruang kritik dan kompromi kepada publik. Ketika sebuah berita dilaporkan, media berarti
mengingatkan masyarakat akan terjadinya sesuatu. Selain berita, media juga
menyediakan ruang analisis untuk membahas peristiwa tersebut melalui konteks,
perbandingan, atau perspektif tertentu. Ditambah pula, ruang opini atau editorial
untuk mengevaluasi segala hal yang berkaitan dengan perstiwa tersebut baik yang
disampaikan oleh redaksii media ataupun artikel yang berisi opini masyarakat.
Elemen ketujuh, jurnalisme harus dapat menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik. Elemen ini mewajibkan media untuk melaporkan
berita dengan cara yang menyenangkan dan menyentuh sensasi masyarakat.
Ditambah pula yang dilaporkan tersebut merupakan sesuatu yang paling penting dan
bermanfaat bagi masyarakat. Karena itu, tanggungjawab media bukan hanya
memasok informasi kepada masyarakat, akan tetapi juga menyampaikannya dengan
cara yang menarik. Pelaporan berita yang baik ialah hasil kemendalaman liputan yang
padu dalam member rincian dan keterkaitannya dengan konteks tertentu.
Elemen kedelapan adalah kewajiban membuat berita secara komprehensif dan proporsional. Mutu jurnalisme amat tergantung kepada kelengkapan dan
proporsionalitas pemberitaan yang dikerjakan media. Elemen ini mengingatkan
melakukan verifikasi, pengecekan silang, atau wawancara ke berbagai pihak terkait.
Pemberitaan macam ini akan menyesatkan pembaca.
Di sisi lain, komprehensif dan proporsional juga berarti penyajian berita.
Berita yang serius dan teramat penting isinya hendaknya diikutsertai dengan hal-hal
ringan seperti human interest.
Elemen kesembilan ialah member keleluasaan wartawan untuk mengikuti hati nurani mereka. Ini terkait dengan sistem dan manajemen media yang memiliki
keterbukaan. Keterbukaan ini berguna untuk mengatasi kesulitan dan tekanan dan
bertanggungjawab kepada masyarakat. Media harus member ruang bagi wartawan
untuk merasa bebas berpikir dan berpendapat. Organisai berita yang baik memberikan
peluang bagi wartawan untuk menyatakan perbedaan sikap dan pendapat, melakukan
penolakan terhadap redaktur, pemilik media, pemasang iklan, bahkan kekuatan
tertentu di masyarakat. Ini berarti mengembangkan budaya media yang melindungi
tanggung jawab pribadi sebagai dasar kerja.
II.5. Media Massa Online
Jurnalisme dalam KBBI disebut sebagai pekerjaan mengumpulkan, menulis,
mengedit, dan melaporkan berita kepada khalayak. Dalam perkembangannya, media
penyampaian berita kepada pembaca tidak hanya terbatas pada suratkabar. Tetapi
seiring perkembangan teknologi, kini arah perkembangan media menuju persaingan
media online.
merupakan bahasa internet yang berarti informasi dapat diakses di mana saja dan
kapan saja selama ada jaringan internet. Jurnalisme online ini merupakan perubahan baru dalam ilmu jurnalistik.
Laporan jurnalistik dengan menggunakan teknologi internet, disebut dengan
media online, yang menyajikan informasi dengan cepat dan mudah diakses di mana saja. Dengan kata lain, berita saat ini bisa di baca saat ini juga, di belahan bumi mana
saja.
Keuntungan Jurnalisme Online :
• Audience Control
Jurnalisme online memungkinkan audience untuk bisa lebih leluasa dalam memilih berita yang ingin didapatkannya
• Nonlienarity
Jurnalisme online memungkinkan setiap berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri sehingga audience tidak harus membaca secara berurutan untuk
memahami
• Storage and retrieval
Jurnalisme online memungkinkan berita tersimpan dan diakses kembali dengan mudah oleh audience.
Jurnalisme online memungkinkan jumlah berita yang disampaikan/ ditayangkan kepada audience dapat menjadi jauh lebih lengkap ketimbang media lainnya.
• Immediacy
Jurnalisme online memungkinkan informasi dapat disampaikan secara cepat dan langsung kepada audience
• Multimedia Capability
Jurnalisme online memungkinkan bagi tim redaksi untuk menyertakan teks, suara, gambar, video dan komponen lainnya di dalam berita yang akan
diterima oleh audience
• Interactivity
Jurnalisme online memungkinkan adanya peningkatan partisipasi audience
dalam setiap berita.
Media massa online layak disebut dengan jurnalisme masa depan. Karena perkembangan teknologi memungkinkan orang membali perangkat pendukung akses
ruang-ruang publik. Sehingga minat masyarakat terhadap media bisa bergeser dari media
cetak ke media online. Hal itu pun sekarang mulai terjadi.
Perkembangan media tidak lepas dari perkembangan teknologi komunikasi.
Kalau dulu orang hanya mengenal media cetak dan elektronik (televisi dan radio),
kini seiring perkembangan teknologi komunikasi berbasis cyber, maka media pun mengikutinya dengan menjadikan internet sebagai media massa. Kini seiring
perkembangan teknologi telepon seluler, berita-berita di internet juga bisa diakses
melalui ponsel.
Perkembangan media online di Indonesia saat ini cukup pesat. Pemain lama di bisnis media online adalah detik.com. Kemudian muncul beberapa media online yang menjadi pelengkap media cetak yang ada.
Namun kini muncul kesadaran pemilik media untuk mengelola media online
sebagai bisnis tersendiri. Revolusi ini terlihat pada kompas.com, yang sebelumnya hanya pelengkap media cetak, namun kini menjadi media mandiri yang ikut
melaporkan berita dari detik ke detik. Begitu juga dengan okezone.com milik kelompok Media Nusantara Citra (MNC) dan vivanews.com milik kelompok Grup Bakri yang kini memiliki TVOne.
Gairah jurnalisme online tidak hanya di Jakarta, tapi sudah merambah ke
daerah-daerah. Terutama yang dikembangkan oleh pers lokal dan contohnya adalah
Waspada Online.
menjadi jurnalis. Di dunia maya, kini dengan mudah kita temui berita-berita yang
mungkin tidak kita temukan di media cetak.
II.6. Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk
memperoleh
meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers
itu,
sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka
untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral
dan
dan menegakkan integritas, serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia
menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau
nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan
perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk
menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan
tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi
dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto,
suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai
karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada
masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan
opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.