• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi Pada Anak Usia Sekolah di SD Negeri 10 Langsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi Pada Anak Usia Sekolah di SD Negeri 10 Langsa"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi pada Anak

Usia Sekolah di SD Negeri 10 Langsa

Agustina

101121095

Skripsi

Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

(2)
(3)

Judul : Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi Pada Anak Usia Sekolah di SD Negeri 10 Langsa Peneliti : Agustina

NIM : 101121095

Jurusan :Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun Akademik : 2010

ABSTRAK

Kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah rentan terjadi. Tingkat keparahan dari kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dengan kacamata dapat menyebabkan kebutaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 158 orang responden. Sampel diambil dengan menggunakan teknik stratified sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kartu Snellen dan Pinhole disc. Data yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif, kemudian hasil analisa data disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan persentase.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah adalah sebanyak 86,5% mengalami kelainan refraksi dengan jumlah anak yang mengalami penurunan visus sebesar 46,8% sedangkan yang tidak mengalami kelainan refraksi sebanyak 13,5%. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan acuan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pendidikan kesehatan kepada anak usia sekolah.

(4)

Title : Visual Impairment effect of refractive error on school-age children at SD Negeri 10 Langsa

Researcher : Agustina

NIM : 101121095

Department :Nursing Scientist (S.Kep) Academic Year : 2010

ABSTRACT

Visual Impairment effect of refractive error on school-age children more often happen. The severity of refractive error was not corrected by glasses can cause blindness.

The researchs goal to know about visual impairment effect of refractive error on school-age childrenl at SD Negeri 10 Langsa. This research was using descriptive design by total sample as much as 158 respondents. The sample takes by used stratified sampling technique.

Data collected do by used Snellen chart and Pinhole disc. Data was collected and then analysed by using descriptif statistic, then the results of data analysis presented in frequency distribution table and percentage.

This research results show that visual impairment effect of refractive error on school-age children was as much as 86,5% refractive error by the number of children who have visual acuity decreased by 46,8% while those not experiencing as much as 13,5% abnormal refraction. The results of this study can be used as an information and reference for nurses in providing nursing care, especially health education to school-age children.

(5)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah peneliti sampaikan kehadirat Allah S.W.T karena berkat rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ”Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi pada Anak Usia Sekolah di SD Negerei 10 Langsa”. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Sarjana Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini peneliti mengucapan banyak terima kasih kepada dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan, Erniyati, S.Kp, MNS, selaku pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan, Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS, selaku pembantu dekan II Fakuktas Keperawatan, dan Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS, selaku pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

(6)

Ucapan terima kasih yang paling dalam peneliti sampaikan juga teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda, yang menjadi motivator dalam hidupku, suamiku dan seluruh keluarga yang telah memberi dukungan baik moril maupun doa restu, serta rekan-rekan mahasiswa/i dan teman-teman sejawat yang telah banyak membantu sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu peneliti yang namanya tidak bisa disebutkan satu-persatu, harapan peneliti semoga skripsi ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.

Medan, Januari 2012 Peneliti

(7)

DAFTAR ISI

2.1. Konsep Kerusakan Penglihatan ... 5

2.2. Konsep Kelainan Refraksi ... 7

2.2.4 Pengujian untuk Kelainan Refraksi ... 30

(8)

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN ... 37

1. Surat izin penelitian dari Fakultas keperawatan

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kategori Kerusakan penglihatan menurut WHO (2010) ... 7

Tabel 2.2. Kausa Ametropi ... 13

Tabel 2.3. Tajam Penglihatan... 28

Tabel 2.4. Visual Acuity Score ... 29

Tabel 2.5. Efisiensi tajam penglihatan ... 29

Tabel 3.1. Definisi operasional penelitian... 35

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi berdasarkan 158 responden menurut usia dan jenis kelamin di SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011 . ... 40

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan persentase visus siswa SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011 ... 41

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi ketajaman penglihatan siswa SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011 ... 41

(10)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Konseptual dalam Penelitian kerusakan penglihatan akibat

(11)

Judul : Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi Pada Anak Usia Sekolah di SD Negeri 10 Langsa Peneliti : Agustina

NIM : 101121095

Jurusan :Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun Akademik : 2010

ABSTRAK

Kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah rentan terjadi. Tingkat keparahan dari kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dengan kacamata dapat menyebabkan kebutaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 158 orang responden. Sampel diambil dengan menggunakan teknik stratified sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kartu Snellen dan Pinhole disc. Data yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan statistik deskriptif, kemudian hasil analisa data disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan persentase.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah adalah sebanyak 86,5% mengalami kelainan refraksi dengan jumlah anak yang mengalami penurunan visus sebesar 46,8% sedangkan yang tidak mengalami kelainan refraksi sebanyak 13,5%. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan acuan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pendidikan kesehatan kepada anak usia sekolah.

(12)

Title : Visual Impairment effect of refractive error on school-age children at SD Negeri 10 Langsa

Researcher : Agustina

NIM : 101121095

Department :Nursing Scientist (S.Kep) Academic Year : 2010

ABSTRACT

Visual Impairment effect of refractive error on school-age children more often happen. The severity of refractive error was not corrected by glasses can cause blindness.

The researchs goal to know about visual impairment effect of refractive error on school-age childrenl at SD Negeri 10 Langsa. This research was using descriptive design by total sample as much as 158 respondents. The sample takes by used stratified sampling technique.

Data collected do by used Snellen chart and Pinhole disc. Data was collected and then analysed by using descriptif statistic, then the results of data analysis presented in frequency distribution table and percentage.

This research results show that visual impairment effect of refractive error on school-age children was as much as 86,5% refractive error by the number of children who have visual acuity decreased by 46,8% while those not experiencing as much as 13,5% abnormal refraction. The results of this study can be used as an information and reference for nurses in providing nursing care, especially health education to school-age children.

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

National Dissemination Center for Children with Disabilities (NICHCY) (2004) mengatakan, kerusakan penglihatan merupakan konsekuensi dari kehilangan penglihatan fungsional yang disebabkan oleh gangguan penglihatan seperti kelainan refraksi, katarak, retinopati diabetik, kelainan bawaan dan infeksi. Secara umum kerusakan penglihatan mencakup penglihatan partial, low vision, buta dan buta total (NICHCY, 2004).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (2006) menyebutkan, 45 juta orang menderita kebutaan di seluruh dunia, sepertiganya berada di Asia Tenggara. Diperkirakan setiap menit 12 orang menjadi buta, 4 orang diantaranya berasal dari Asia tenggara. Pada anak, setiap menit terdapat satu anak yang menjadi buta.

WHO (2009) mengatakan, kebutaan pada anak tetap menjadi masalah yang signifikan secara global. Rata-rata 1,4 juta anak yang mengalami kerusakan penglihatan di bawah usia 15 tahun akan hidup dalam kebutaan selama bertahun-tahun.

WHO (2011) mengatakan, sebanyak 284 juta orang mengalami kerusakan penglihatan diantaranya 39 juta mengalami kebutaan dan 245 juta mengalami low

vision. Sebanyak 90% penderita kebutaan dan gangguan penglihatan hidup di

(14)

di Indonesia adalah yang tertinggi yaitu 1,5% (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%) (Depkes RI, 2005).

Medical Dictionary (2008) mengatakan, ketajaman penglihatan (visus)

20/200 atau kurang merupakan tergolong buta, visus 20/70 tergolong low vision dan lapang pandang kurang dari 20 derajat juga tergolong buta walaupun memiliki ketajaman penglihatan normal.

Salah satu yang menyebabkan kebutaan adalah kelainan refraksi. Kelainan refraksi yang dapat menyebabkan kebutaan yaitu sebanyak 43% (WHO, 2011). Selain itu, pada anak usia 5 sampai 15 tahun yang mengalami kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi (rabun dekat, rabun jauh atau astigmatisme) terdapat lebih dari 12 juta (WHO, 2006).

Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina (Ilyas, 2004). Secara global, kelainan refraksi yang tidak dikoreksi adalah penyebab utama kerusakan penglihatan (Vision2020, 2011).

Kesalahan refraksi harus dikoreksi agar sinar yang datang dapat difokuskan pada retina. Pada myopia, visus dikoreksi dengan lensa konkaf untuk membawa bayangan jatuh pada retina. Pada hipermetropia/hiperopia, dikoreksi dengan lensa konveks (Istiqomah, 2004).

(15)

yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas, dan produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkirakan berjumlah 95 juta orang. Pada akhirnya permasalahan ini dapat berdampak buruk bagi laju pembangunan ekonomi nasional (Depkes RI, 2005). Kondisi ini jika tidak ditangani dengan cepat, akan mengakibatkan munculnya lapisan generasi muda Indonesia yang memiliki kualitas hidup dan intelektual yang rendah di kemudian hari (Health kompas, 2010).

Fakta memperlihatkan, sekitar 75% penyebab kebutaan termasuk ke dalam

avoidable blindness yaitu penyebab kebutaan yang sebetulnya dapat dihindari

(WHO, 2011). Saat ini sudah ada program “Vision 2020: Right to Sight”, yang bertujuan mengurangi jumlah penyakit mata yang dapat menyebabkan kebutaan diantaranya kelainan refraksi dan low vision (Vision2020, 2000).

Berdasarkan data yang didapat peneliti pada bulan April 2011, jumlah murid di SD Negeri 10 Langsa adalah 294 orang dan peneliti juga mendapat informasi bahwa penelitian mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah belum pernah dilakukan sebelumnya.

Melihat permasalahan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa.

1.2 Rumusan Masalah

(16)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada usia anak sekolah di SD Negeri 10 Langsa.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pengembangan pendidikan keperawatan khususnya dalam melakukan perawatan pasien yang mengalami kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi.

1.4.2 Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi perawat mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah dalam memberikan pendidikan kesehatan maupun perawatan sesuai standar yang telah yang ditentukan.

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

(17)

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Konsep Kerusakan Penglihatan

Kerusakan penglihatan merupakan konsekuensi dari kehilangan penglihatan fungsional. Gangguan mata yang dapat menyebabkan kerusakan penglihatan dapat mencakup degenerasi retina, albinisme, katarak, glaukoma, masalah otot yang mengakibatkan gangguan visual, gangguan kornea, retinopati diabetik, kelainan bawaan, kelainan refraksi dan infeksi (NICHCY, 2004).

Kebutaan total adalah ketidakmampuan untuk melihat cahaya dari gelap, atau ketidakmampuan total untuk melihat. Penurunan penglihatan atau low vision adalah penurunan fungsi penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan kacamata standar atau lensa kontak dan mengurangi kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu atau semua tugas. Kebutaan legal (yang sebenarnya adalah sebuah gangguan penglihatan berat) mengacu pada pusat penglihatan terbaik yang dikoreksi dari visus 20/200 atau lebih buruk atau ketajaman penglihatan yang lebih baik dari 20/200 tapi dengan lapang pandang tidak lebih dari 20° (Medicaldictionary, 2008).

(18)

20/200. Anak harus mampu mendapatkan pendidikan pada sistem sekolah umum regular dengan menggunakan huruf berukuran normal. Penglihatan dekat hampir selalu lebih baik dari penglihatan jauh. Legal blindness, ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang dan/atau lapang pandang 20 derajat atau kurang pada mata yang lebih baik, berguna hanya sebagai defenisi legal, bukan sebagai diagnosis medis. Ini memungkinkan pertimbangan khusus dengan tidak mengabaikan tuntutan, masuk sekolah khusus, memenuhi syarat untuk mendapat bantuan, dan manfaat lain (Wong, 2008).

Kerusakan penglihatan mencakup semua masalah pada penglihatan yang mempengaruhi lapang pandang dan/atau kemampuan untuk melihat benda dekat dan jauh dengan jelas, untuk menilai kedalaman, untuk membedakan warna, dan untuk melihat satu bayangan secara bersamaan (penglihatan warna). Penyebab kerusakan penglihatan mencakup:

a. Kelainan kongenital (misalnya kelainan genetik); b. Anomali perkembangan [misalnya strabismus (juling)];

c. Akibat sekunder penyakit sistemik (misalnya retinopati diabetes);

d. Penyakit primer pada mata itu sendiri (misalnya glaukoma, degenerasi makula terkait usia);

e. Kelainan refraksi (misalnya miopia, hipermetropia, astigmatisme); f. Trauma (misalnya cedera tembus);

g. Kerusakan pada jalur penglihatan (misalnya setelah stroke); h. Trakoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis;

(19)

Tabel 2.1. Kategori kerusakan penglihatan menurut WHO (2010) Kategori kerusakan

penglihatan

Ketajaman penglihatan dengan kemungkinan koreksi terbaik

Maksimal kurang dari: Minimal sama atau lebih dari:

3/60 1/60 (hitung jari jarak 1 meter) 1/20 (0,05) 1/50 (0,02)

20/400 5/300 (20/1200)

4

1/60 (hitung jari jarak 1 meter)

Persepsi cahaya 1/50 (0,02)

5/300

5 Tidak ada persepsi cahaya

9 Belum ditentukan atau tidak dapat ditentukan

2.2. Konsep Kelainan Refraksi

2.2.1 Definisi Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi adalah suatu kondisi ketika sinar datang sejajar pada sumbu mata dalam keadaan tidak berakomodasi yang seharusnya direfraksikan oleh mata tepat pada retina sehingga tajam penglihatan maksimum tidak direfraksikan oleh mata tepat pada retina baik itu di depan, di belakang maupun tidak dibiaskan pada satu titik. Kelainan ini merupakan bentuk kelainan visual yang paling sering dan dapat terjadi akibat kelainan pada lensa ataupun bentuk bola mata (Istiqomah, 2004).

(20)

2.2 Klasifikasi kelainan refraksi

Kesalahan refraksi pada mata yang tidak berakomodasi menghasilkan bayangan, retina yang kabur untuk objek yang terletak pada jarak tidak terhingga. Kesalahan refraksi dikelompokkan menjadi sferik jika gambaran kabur terjadi pada semu meridian, dan sebagai astigmatisma jika sejumlah gambaran kabur berubah sesuai fungsi sudut meridian di sekitar sudut penglihatan. Kesalahan refraksi sferik di kelompokkan menjadi hiperopia atau myopia dan kesalahan refraksi astigmatisma dikelompokkan menjadi regular atau ireguler. Kesalahan refraksi pada bayi dan anak kecil diukur dengan teknik objektif seperti fotorefraksi atau retinoskopi garis (streak retinoscopi). Kesalahan refraksi pada anak yang lebih tua dan pada orang dewasa paling baik diukur dengan teknik pemeriksaan subjektif dengan menggunakan foropter atau 1 set lensa. Pada anak yang berusia 2-6 tahun, 80 % menderita hiperopia, 5% myopia, dan 15% emmetropia. Sekitar 10% anak mempunyai kesalahan refraksi yang memerlukan koreksi sebelum usia 7 tahun atau 8 tahun (Rudolph, dkk, 2006).

2.2.2.1. Emetropi

Emetropi berasal dari kata Yunani emetros yang berarti ukuran normal atau dalam keseimbangan wajar sedang arti opsis adalah penglihatan. Mata dengan sifat emetropia adalah mata tanpa adanya kelainan refraksi pembiasan sinar mata dan berfungsi normal.

(21)

Mata emetropia akan mempunyai penglihatan normal atau 6/6 atau 100%. Bila media penglihatan seperti kornea, lensa, dan badan kaca keruh maka sinar tidak dapat diteruskan ke macula lutea. Pada keadaan media penglihatan keruh maka penglihatan tidak akan 100% atau 6/6.

Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat. Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada macula. Keadaan ini disebut sebagai emetropia yang dapat berupa miopia, hipermetropia atau astigmat.

Kelainan lain pada pembiasan mata normal adalah gangguan perubahan kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi. Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang disebut presbiopia.

2.2.2.2 Akomodasi

(22)

akomodasi akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin dekat benda makin kuat mata harus berakomodasi (mencembung). Kekuatan akomodasi diatur oleh refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan pada waktu konvergensi atau melihat dekat.

Dikenal beberapa teori akomodasi seperti:

a) Teori akomodasi Hemholtz: dimana zonula Zinn kendor akibat kontraksi otot siliar sirkuler, mengakibatkan lensa yang elastis menjadi cembung dan diater menjadi kecil.

b) Teori akomodasi Thsernig: dasarnya adalah bahwa nukleus lensa tidak dapat berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa superfisial atau korteks lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada zonula Zinn sehingga nukleus lensa terjepit dan bagian lensa superfisial di depan nukleus akan mencembung.

Mata akan berakomodasi bila bayangan benda difokuskan di belakang retina. Bila sinar jauh tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan refraksi hipermetropia maka mata tersebut akan berakomodasi terus menerus walaupun letak bendanya jauh, dan pada keadaan ini diperlukan fungsi akomodasi yang baik.

(23)

tersebut memerlukan lensa negatif yang berlebihan (koreksi lebih). Untuk pemeriksaan kelainan refraksi anak sebaiknya diberikan sikloplegik yang melumpuhkan otot akomodasi sehingga pemeriksaan kelainan refraksinya murni, dilakukan pada mata beristirahat. Biasanya diberikan sikloplegik atau sulfas atropin tetes mata selama 3 hari. Sulfas atropin bersifat parasimpatotilik, yang bekerja selain untuk melumpuhkan otot siliar juga melumpuhkan otot sfingter pupil.

Dengan bertambahnya usia, maka akan berkurang pula daya akomodasi akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar mencembung. Keadaan berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut presbiopia.

2.2.2.3 Presbiopia

Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat : a) Kelemahan otot akomodasi

b) Lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa. Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40 tahun, akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair dan sering terasa pedas.

Pada pasien presbiopia kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca dekat yang berkekuatan tertentu, biasanya :

(24)

+ 3.0 D untuk usia 60 tahun

Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi + 3.0 dioptri adalah lensa positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini mata tidak melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena benda yang dibaca terletak pada titik api lensa + 3.00 dioptri sehingga sinar yang keluar akan sejajar.

Pemeriksaan adisi untuk membaca perlu disesuaikan dengan kebutuhan jarak kerja pasien pada waktu membaca. Pemeriksaan sangat subjektif sehingga angka-angka di atas merupakan angka yang tetap.

2.2.4 Ametropia

Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat.

Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmat.

(25)

Hal ini akan terjadi akibat kelainan kekuatan pembiasan sinar media penglihatan atau kelainan bentuk bola mata.

Ametropia dalam keadaan tanpa akomodasi atau dalam keadaan istirahat memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina. Pada keadaan ini bayangan pada selaput jala tidak sempurna terbentuk. Dikenal berbagai bentuk ametropia, seperti:

a. Ametropia aksial

Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang, atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang retina. Pada miopia aksial fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih panjang dan pada hipermetropia aksial fokus bayangan terletak di belakang retina.

b. Ametropia refraktif

Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar dalam mata. Bila daya bias kuat maka bayangan benda terletak di depan retina (miopia) atau bila daya bias kurang maka bayangan benda akan terletak di belakang retina (hipermetropia refraktif).

Table 2.1. Kausa ametropia

Ametropia Lensa koreksi Kausa

Miopia Lensa (-) Refraktif Aksial

Hipermetropia Lensa (+) Bias kuat

Bias lemah

Bola mata panjang Bola mata pendek

Astigmat regular Kacamata silinder Kurvatur 2 meridian tegak lurus

Astigmat irregular

(26)

Ametropia dapat disebabkan kelengkungan kornea atau lensa yang tidak normal (ametropia kurvatur) atau indeks bias abnormal di dalam mata (ametropia indeks). Panjang bola mata normal.

Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk kelainan: a) Miopia

b) Hipermetropia c) Astigmat

1. Miopia

Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Myopia biasanya muncul pada usia 5-20 tahun. Myopia yang berhubungan dengan prematuritas sering muncul lebih awal pada kehidupan anak. Myopia yang tinggi (lebih dari 9 dioptri) sering kali herediter. Pasien dengan myopia yang rendah akan mengalami pertambahan myopia yang melambat pada decade 2 dan 3 tahun, dan akhirnya akan mencapai masa stabil (Rudolph, dkk, 2006).

Dikenal beberapa bentuk miopia seperti:

a. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat.

(27)

Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam:

a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri

c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk:

a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa

b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata

c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan Miopia pernisiosa = miopia maligna = miopia degeneratif.

Miopia degeneratif atau miopia maligna biasanya bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa biperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atrofi lapis sensoris retina luar, dan dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf optik.

(28)

Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil).

Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esoptropia.

Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen yaitu gambaran bulan sabit yang terlihat pada lobus posterior fundus mata miopia, sklera oleh koroid. Pada mata dengan miopia tinggi akan terdapat pula kelainan pada findus okuli seperti degenerasi makula dan degenerasi retina bagian perifer.

Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.0 memberikan tajam penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi S-3.25, maka sebainya diberikan lensa koreksi -3.0 agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik sesudah dikoreksi.

(29)

Apabila bayangan dari benda yang terletak jauh berfocus di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi, maka mata tersebut mengalami myopia, atau penglihtan dekat (nearsighted) (Vaughan, dkk. 2000).

2. Hipermetropia

Jika sinar sejajar masuk terfokus di belakang retina dengan mata dalam keadaan istirahat (tidak berakomodsi), berarti ada hiperopia atau terang jauh. Ini dapat terjadi karena diameter antro-posterior mata terlalu pendek, karena kekuatan refraksi kornea dan lensa kurang dari normal atau karena lensa terdislokasi ke posterior (Nelson, 2000).

Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan di belakang makula lutea (Ilyas, 2008).

(30)

berhubungan dengan esotropia akomodatif (strabismus konvergen) karena adanya hubungan intrinsic antara akomodasi, konvergensi, dan miosis (trias dekat) (Rudolph, dkk. 2006).

Hipermetropia dapat disebabkan:

a. Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan kelainan refraksi akibat bola mata pendek, atau sumbu anteroposterior yang pendek.

b. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang retina

c. Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sistem optik mata.

Hipermetropia dikenal dalam bentuk:

1. Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa sikloplegik dan hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata maksimal. 2. Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan

(31)

3. Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata yang bila diberikan kacamata positif yang memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat. Hipermetropia manifes yang masih memakai tenaga akomodasi disebut hipermetropia fakultatif..

4. Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia (atau dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan sikloplegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia hipermetropia laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia absolut. Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus, terutama bila pasien masih muda dan daya akomodasinya masih kuat.

5. Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan sikloplegia.

Contoh pasien hipermetropia:

a) Pasien usia 25 tahun, dengan tajam penglihatan 6/20 b) Dikoreksi dengan sferis + 2.00 → 6/6

c) Dikoreksi dengan sferis + 2.50 → 6/6

(32)

a) Hipermetropia absolut sferis + 2.00 b) Hipermetropia manifes sferis + 2.50

c) Hipermetropia fakultatif sferis (+ 2.50)-(+ 2.00) = + 0.50 d) Hipermetropia laten sferis + 5.00 – (+ 2.50) = + 2.50

Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah penglihatan dekat dan jauh kabur, sakit kepala, silau, dan kadang rasa juling atau lihat ganda.

Pasien hipermetropia sering disebut sebagai pasien rabun dekat. Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan sakit karena terus menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan esotropia atau juling ke dalam.

Mata dengan hipermetropia sering akan memperlihatkan ambliopia akibat mata tanpa akomodasi tidak pernah melihat obyek dengan baik dan jelas. Bila terdapat perbedaan kekuatan hipermetropia antara kedua mata, maka akan terjadi ambliopia pada salah satu mata. Mata ambliopia sering menggulir kea rah temporal.

(33)

Bila terdapat juling ke dalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi hipermetropia total. Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksoforia) maka diberikan kacamata koreksi positif kurang.

Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal. Bila pasien dengan + 3.0 ataupun dengan + 3.25 memberikan ketajaman penglihatan 6/6, maka diberikan kacamata + 3.25. hal ini untuk memberikan istirahat pada mata. Pada pasien di mena akomodasi masih sangat kuat atau pada anak-anak, maka sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegik atau melumpuhkan otot akomodasi. Dengan melumpuhkan otot akomodasi, maka pasien akan mendapatkan koreksi kacamatanya dengan mata yang istirahat.

Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan jelas. Pada pasien yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada usia yang telah lanjut, akan memberikan keluha kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan. Pada pasien ini diberikan kacamata sferis poositif terkuat yang memberikan penglihatan maksimal.

(34)

3. Afakia

Afakia adalah suatu keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa sehingga mata tersebut menjadi hipermetropia tinggi. Karena pasien memerlukan pemakaian lensa yang tebal, maka akan memberikan keluhan pada mata tersebut sebagai berikut:

a) Benda yang dilihat menjadi lebih besar 25% dibanding normal

b) Terdapat efek prisma lensa tebal, sehingga benda terlihat seperti melengkung c) Pada penglihatan terdapat keluhan seperti badut di dalam kotak atau

fenomena jack in the box, dimana bagian yang jelas terlihat hanya pada bagian sentral, sedang penglihatan tepi kabur.

Dengan adanya keluhan di atas maka pada pasien hipermetropia dengan afakia diberikan kacamata sebagai berikut

a) Pusat lensa yang dipakai letaknya tepat pada tempatnya b) Jarak lensa dengan mata cocok untuk pemakaian lensa afakia c) Bagian tepi lensa tidak mengganggu lapang pandangan d) Kacamata tidak terlalu berat.

4. Astigmat

Astigmatisma ini menggambarkan keadaan ketika berkas cahaya mengalami refraksi yang berbeda bergantung pada meridian mana sinar tersebut memasuki mata (Rudolph, dkk, 2000).

(35)

akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea. Pada mata dengan astigmat lengkungan jari-jari meridian yang tegak lurus padanya.

Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang di dalam perkembangannya terjadi keadaan apa yang disebut sebagai

astigmatisme with the rule (astigmat lazim) yang berarti kelengkungan kornea

pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di dinding horizontal. Pada keadaan astigmat lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi.

Pada usia pertengahan kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga astigmat menjadi against the rule (astigmat tidak lazim). Astigmat tidak lazim (astigmatisme against the rule) adalah suatu keadaan kelainan refraksi astigmat dimana koreksi dengan silinder negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering ditemukan pada usia lanjut.

Bentuk astigmat:

(36)

b. Astigmat irregular: astigmat yang terjadi tidak mempunyai 2 meridian saling tegak lurus. Astigmat irregular dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi irregular. Astigmatisme irregular terjadi akibat infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan pada meridian lensa yang berbeda.

Pada pengobatan dengan lensa kontak keras bila epitel tidak rapuh atau lensa kontak lembek bila disebabkan infeksi, trauma dan distrofi untuk memberikan efek permukaan yang irregular.

Pada pasien plasidoskopi terdapat gambaran yang irregular. Koreksi dan

pemeriksaan astigmat, pemeriksaan mata dengan sentris pada permukaan

kornea. Dengan alat ini dapat dilihat kelengkungan kornea yang regular (konsentris), irregular kornea dan adanya astigmatisme kornea.

Juring atau kipas astigmat: garis berwarna hitam yang disusun radial dengan bentuk semisirkular dengan dasar yang putih, dipergunakan untuk pemeriksaan subyektif ada dan besarnya kelainan refraksi astigmat (Ilyas, 2009).

2.2.3 Pemeriksaan Tajam Penglihatan atau Visus

(37)

Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 5 atau 6 meter, karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi.

Pada pemeriksaan tajam penglihatan yang memakai kartu baku atau standar, misalnya kartu baca Snellen setiap hurufnya membentuk sudut 5 menit pada jarak tertentu sehingga huruf pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak 60 meter (20/20 bila diukur dalam jarak kaki); dan pada baris tanda 30, berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak 30 meter. Huruf pada baris tanda 6 adalah huruf yang membentuk sudut 5 menit pada jarak 6 meter, sehingga huruf ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas. Dengan kartu standar ini dapat ditentukan tajam atau kemampuan melihat seseorang, seperti:

a) Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter. b) Bila pasien hanya dapat melihat huruf pada baris yang menunjukkan angka

30, pada jarak 6 meter berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.

c) Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 50, pada jarak 6 meter berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.

(38)

e) Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen pada jarak 6 meter maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.

f) Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam penglihatannya 3/60. Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.

g) Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila pasien hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti tajam penglihatannya adalah 1/300.

h) Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga. Kadang-kadang seseorang pasien hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/tidak berhingga.

i) Bila pasien sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan penglihatannnya adalah 0 (nol) atau buta total.

(39)

Untuk mengetahui sama atau tidaknya ketajaman penglihatan kedua mata anak dapat dilakukan dengan uji menutup salah satu mata. Bila satu mata ditutup akan menimbulkan reaksi berbeda pada sikap anak, ini berarti ia sedang memakai mata yang tidak disenangi atau kurang baik dibanding dengan mata lainnya.

Pada pasien yang telah tergangggu akomodasinya atau adanya presbiopia, maka sukar melihat benda dengan jarak dekat. Penderita akan sedikit menjauhkan benda atau tulisan yang dilihat untuk melihat lebih jelas. Sebaiknya diketahui bahwa:

a) Bila dipakai huruf tunggal pada uji tajam penglihatan jauh maka penderita ambliopia akan mempunyai tajam penglihatan huruf tunggal lebih baik dibandingkan memakai huruf ganda.

b) Huruf pada satu baris tidak sama mudahnya terbaca karena bentuknya kadang-kadang sulit dibaca seperti huruf T dan W.

c) Pemeriksaan tajam penglihatan mata anak jangan sampai terlalu melelahkan anak.

d) Gangguan lapang pandangan dapat memberikan gangguan penglihatan pada satu sisi pembacaan uji baca.

e) Tajam penglihatan denagn kedua mata akan lebih baik dibandingkan denagn membaca denagn satu mata.

(40)

Pemeriksaan tajam penglihatan adalah hal yang perlu dilakukan karena tajam penglihatan dapat berubah-ubah sesuai dengan proses penyakit yang sedang berjalan. Tajam penglihatan dapat berkurang akibat beberapa hal seperti:

a) Tajam penglihatan akan berkurang bila terdapat gangguan pada media penglihatan, kelainan retina ataupun kelainan congenital dan ambliopia

b) Gangguan penglihatan yang masih dapat diperbaiki atau berubah-ubah, seperti katarak, uveitis.

c) Manifestasi penyakit sistemik yang dapat mengakibatkan bahaya jiwa pada diaberes mellitus dan hipertensi.

d) Adanya tumor yang mengganggu jiwa dan penglihatan.

Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat kelainan refraksi, maka dilakukan uji pinhole. Bila denagn pinhole penglihatan lebih baik, maka berarti terdapat kelainan refraksi pada mata tersebut yang masih dapat dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang dengan diletakkkannya pinhole di depan mata berarti ada kelainan organik atau kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan menurun.

Table 2.3. Tajam penglihatan

(41)

yang akan dikerjakan. Tajam penglihatan dapat dinyatakan dengan efisiensi tajam penglihatan, yang berguna untuk asuransi dan derajat kerusakan fungsi penglihatan (Ilyas, 2008).

Table 2.4. Visual Acuity Score

Sumber: www.precision-vision.com

Table 2.5. Efisiensi tajam penglihatan pada penglihatan sentral jauh

Snellen kaki Sudut penglihatan % % efisiensi

sentral

% hilang

Menit Dalam menit

20/16 6/5 0.80 100 0

20/20 6/6 1.00 100 0

20/25 6/7.5 1.25 95 5

20/30 6/10 1.60 90 10

20/40 6/12 2.00 85 15

20/50 6/15 2.50 75 25

20/64 6/20 3.20 65 355

(42)

20/100 6/30 5.00 50 50

2.2.4 Pengujian untuk Kelainan Refraksi

2.2.4.1 Uji Pinhole

Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada media penglihatan, atau kelainan retina lainnya.

Pada mata pasien yang telah dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan, dengan koreksi kaca mata yang terbaik diminta untuk terus menatap baris huruf paling bawah pada kartu Snellen yang masih terlihat. Pada mata tersebut dipasang lempeng pinhole. Melalui lubang kecil yang terdapat ditengahnya pasien kemudian disuruh membaca. Pinhole akan memasukkan sinar ke dalam mata yang terletak dekat sumbu cahaya yang masuk sehingga mengurangkan efek kelainan pembiasan sinar pada mata. Bila ketajaman penglihatan bertambah berarti pada pasien tersebut terdapat kelainan refraksi yang belum dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan berkurang berarti pada pasien terdapat kekeruhan media penglihatan ataupun retina yang mengganggu penglihatan.

2.2.4.2 Uji refraksi

(43)

atas ke bawah. Bila kemampuan baca berada pada huruf terkecil pada baris yang menunjukkan angka 20, maka dinyatakan tajam penglihatan tanpa kaca mata adalah 6/20. Selanjutnya ditambah lensa sferis +0.5 dioptri untuk menghilangkan akomodasi pasien.

Bila akibat penambahan ini terjadi hal berikut: penglihatan bertambah jelas, maka mungkin pada mata ini terdapat kelainan refraksi hipermetropia. Pada mata ini kemudian perlahan-lahan ditambah kekuatan lensa positif dan dinyatakan apakah tajam penglihatan bertambah baik atau terlihat huruf yang berada di garis lebih bawah. Lensa positif ditambah kekuatannya sehingga tajam penglihatan menjadi maksimal atau 6/6. Lensa positif ditambah lagi sampai pada satu saat pasien mengatakan penglihatannya berkurang. pada keadaan pasien dengan hipermetropia berikanlah lensa positif terkuat yang masih memberikan tajam penglihatan 6/6.

Bila penglihatan bertambah kabur, maka mungkin pasien menderita miopia. pada saat tersebut ditambahkan lensa negatif yang makin dikurangi secara perlahan-lahan terlihat huruf pada kartu Snellen pada baris yang menunjukkan tajam penglihatan 6/6. Pada pasien dengan miopia berikanlah lensa negatif terkecil yang memberikan tajam penglihatan 6/6 tanpa akomodasi (Ilyas, 2008).

2.2.4.3Uji Fogging Techique (Cara Pengabur)

(44)

juring astigmat, dan ditanyakan garis mana yang paling terlihat. Bila garis juring pada 90 derajat yang jelas, maka tegak lurus padanya ditentukan sumbu lensa silinder, atau lensa silinder ditempatkan pada sumbu 180. Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder negative ini dinaikkan sampai garis juring kisi-kisi astigmat vertical sama tegasnya atau kaburnya dengan juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa silinder ditentukan yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat kartu Snellen dan perlahan-lahan ditaruh lensa negative sampai pasien melihat jelas pada kartu Snellen.

2.2.4.4 Uji Dominan Mata

Dominance test, untuk mengetahui mata dominan pada anak. Anak diminta melihat pada satu titik atau benda jauh. Satu mata ditutup kemudian mata yang lainnya. Bila mata yang dominan yang tertutup maka anak tersebut akan menggerakkan kepalanya untuk melihat benda yang matanya yang dominan (Ilyas, 2009).

2.2.5 Koreksi Kesalahan Refraksi

2.2.5.1 Lensa Kacamata

Kacamata masih merupakan metode paling aman untuk memperbaiki refraksi. Untuk mengurangi aberasi nonkromatik, lensa dibuat dalam bentuk meniscus (kurva terkoreksi) dan dimiringkan ke depan (pantascopic tilt).

2.2.5.2 Lensa Kontak

(45)

lensa kontak pertama yang benar-benar berhasil dan memperoleh penerimaan yang luas sebagai pengganti kacamata. Pengembangan selanjutnya antara lain adalah lensa kaku yang permeabel-udara, yang terbuat dari asetat butirat selulosa, silikon, atau berbagai pilomer plastik dan silikon, dan lensa kontak lunak, yang terbuat dari bermacam-macam plastik hidrogel, yang semuanya menghasilkan kenyamanan yang lebih baik tetapi risiko penyulit serius yang lebih besar.

Lensa kontak keras secara spesifik diindikasikan untuk koreksi astigmatisme irregular, seperti pada keratokonus. Lensa kontak lunak digunakan untuk mengobati gangguan permukaaan kornea, tetapi untuk mengontrol gejala dan bukan untuk alasan refraksi. Tetapi sebagian besar penggunaan lensa kontak adalah untuk koreksi kosmetik kesalahan refraktif ringan. Hal ini menimbulkan dampak penting pada risiko yang dapat diterima dalam penggunaan lensa kontak.

2.2.5.3 Bedah Keratorefraktif

Bedah keratorefraktif mencakup serangkaian metode untuk mengubah kelengkungan permukaan anterior mata. Efek refraktif yang diinginkan secara umum diperoleh dari hasil-hasil empiris tindakan serupa pada pasien lain dan tidak didasarkan pada perhitungan optis matematis.

2.2.5.4 Lensa Intraokular

(46)

2.2.5.5 Ekstraksi Lensa jernih untuk miopia

(47)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah. Pada penelitian ini fokus yang akan diteliti mencakup variabel kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi.

Skema 1. Kerangka Penelitian Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi pada Anak Usia Sekolah.

Siswa SD

Kerusakan Penglihatan:

a. kartu Snellen b. Pinhole disc

a.Kelainan refraksi

(48)

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Kerangka Operasional Penelitian

(49)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa.

4.2. Populasi dan Sampel

4.2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi penelitian ini adalah anak sekolah di SD Negeri 10 Langsa yang berjumlah 294 siswa.

4.2.2. Sampel

Sampel adalah sebagian objek penelitian yang diambil dari populasi yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Teknik pengambilan sampel secara purposive sampling yaitu penetapan sampel berdasarkan kriteria tertentu (Notoatmodjo, 2005). Untuk menentukan jumlah sampel, peneliti menggunakan rumus dalam Sugiyono (2010) yaitu:

S =

dengan dk=1, taraf kesalahan 5%

(50)

Berdasarkan rumus tersebut maka didapatkan jumlah sampel sebanyak 158 siswa. Sampel yang diambil mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sesuai kriteria inklusi yang ditetapkan yaitu:

a. Bisa membaca

b. Bersedia menjadi responden

c. Responden yang bersekolah di SD Negeri 10 Langsa

4.3. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011. Adapun pertimbangan pemilihan lokasi penelitian karena merupakan sekolah milik pemerintah dengan jumlah siswa yang cukup banyak dan belum pernah dilakukan pemeriksaan kelainan refraksi sebelumnya.

4.4. Pertimbangan Etik

(51)

4.5. Instrumen Penelitian

Dalam pengumpulan informasi dari responden, peneliti menggunakan instrumen penelitian yaitu kartu Snellen dan pinhole untuk melihat ketajaman penglihatan atau visus. Hal yang diperiksa yaitu apakah mata anak mengalami kerusakan penglihatan atau tidak.

4.6. Validitas dan Realibilitas

Dalam penelitian ini uji validitas dan realibilitas tidak dilakukan oleh peneliti karena instrumen penelitian ini sudah valid dan reliabel.

4.7. Pengumpulan Data

(52)

ditetapkan. Dalam pengumpulan data, peneliti dibantu oleh 2 orang asisten untuk melakukan pemeriksaan mata. Adapun tahapannya yaitu dengan melakukan uji refraksi dan uji pinhole.

4.8. Analisa Data

Setelah data terkumpul maka peneliti melakukan pengolahan data atau analisa data, yang secara garis besar meliputi tiga langkah yaitu:

a. Persiapan yaitu mengecek kelengkapan identitas dan kelengkapan isian data. b. Tabulasi data dengan memberikan skor (scoring) terhadap item-item yang

perlu diberi skor, memberi kode terhadap item-item yang tidak diberi skor. c. Memkodifikasi data dan disesuaikan dengan teknik analisa yang digunakan.

(53)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD Negeri 10 Langsa.

5.1. Hasil Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juli 2011 di SD Negeri 10 Langsa, dengan jumlah responden sebanyak 158 orang responden, didapat data sebagai berikut:

5.1.1 Karakteristik Responden

Tabel 5.1. Distribusi responden berdasarkan data demografi di SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011.

Karakteristik F %

(54)

5.1.2 Kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah

di SD Negeri 10 Langsa.

Untuk mengetahui kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah dilakukan dengan cara memeriksa kedua mata responden dengan menggunakan kartu Snellen dan Pinhole.

Tabel 5.2. Distribusi ketajaman penglihatan siswa SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011.

MATA VISUS (Kartu Snellen)* Jumlah

20/20 20/25 20/30 20/40 20/50 20/60 20/80 20/100

Okuli Dextra 107 31 14 3 1 1 1 0 158

Okuli Sinistra 94 45 13 6 0 0 0 0 158

*Satuan visus adalah feet (kaki).

Tabel 5.2. menunjukkan bahwa dari 158 orang responden, dimana responden sebanyak 74 orang (46,8%) mengalami penurunan visus.

Tabel 5.3. Distribusi visus siswa SD Negeri 10 Langsa pada bulan Juli 2011.

Variabel f %

Visus Normal 84 53,1

Penurunan Visus 74 46,8

Total 158 100

Tabel 5.3. menunjukkan bahwa dari 158 responden, sebanyak 46,8% mengalami penurunan visus, sedangkan 53,1% memiliki visus yang normal.

Tabel 5.4. Distribusi penurunan visus akibat kelainan refraksi dan tidak kelainan refraksi siswa SD Negeri 10 Langsa.

Variabel f %

Kelainan Refraksi 64 86,5

Tidak Kelainan Refraksi 10 13,5

(55)

Tabel 5.4. menunjukkan bahwa jumlah anak SD yang mengalami kelainan refraksi adalah sebanyak 64 orang (86,5%) dari jumlah anak yang mengalami penurunan visus.

5.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa sebanyak 64 orang (86,5%) mengalami kelainan refraksi yang menyebabkan kerusakan penglihatan dengan rentang usia sekolah yaitu 6-13 tahun. Hal senada yang diungkapkan oleh WHO (2009), bahwa terdapat lebih dari 12 juta anak yang mengalami kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi berada pada rentang usia 5 sampai 15 tahun. Berdasarkan hasil survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang dilaporkan tahun 1996, diperoleh data prevalensi penyakit mata yang tertinggi adalah kelainan refraksi, yaitu sebanyak 24,72% (Wijayanti, 2005).

(56)

munculnya lapisan generasi muda Indonesia yang memiliki kualitas hidup dan intelektual yang rendah di kemudian hari (Health kompas, 2010). Kelainan refraksi pada anak apabila tidak diobati akan mengakibatkan keadaan yang lebih buruk pada kondisi matanya hingga mencapai kebutaan (Ilyas, 2009). Menurut Depkes RI (2005), kelainan refraksi merupakan penyebab utama kebutaan ke tiga setelah katarak (0,78%) dan glaukoma (0,20%). Menurut Sirlan, dkk (2005) di Jawa Barat, hasil survei menunjukkan prevalensi kebutaan sebesar 3,6%; dengan angka kelainan refraksi sebesar 2,8%. Menurut Depkes RI (1998), kebutaan pada anak di Indonesia sebesar 0,6 per 1000 anak. Berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan tahun 1993-1996, penyebab utama kebutaan di Indonesia salah satunya adalah kelainan refraksi sebesar 0,14% (Sarwanto dan Anwar, 2007).

(57)

sedikitnya 13 juta diantaranya adalah anak-anak usia 5-15 tahun dimana prevalensi tertinggi terjadi di Asia Tenggara (WHO, 2009). Menurut Pettiss (1993) dalam Gianini (2004), terdapat data dari studi internasional yang menunjukkan bahwa sekitar 25% anak-anak usia sekolah memiliki suatu bentuk penurunan fingsi penglihatan. Penurunan visus pada anak usia sekolah dapat terjadi dikarenakan banyak diantara anak-anak tersebut cenderung enggan untuk mengeluhkan masalah tersebut kepada keluarga maupun guru mereka (Gianini, 2004).

Penurunan visus ini merupakan masalah pada masyarakat yang akan selalu dijumpai selama tidak didapati adanya tindakan preventif sejak dini (Ilyas, 2009). Menurut Wedner (2006) dalam Resnikoff (2008), ciri khas dari setiap masyarakat memainkan peranan penting terhadap tingginya angka ini. Hal ini dibuktikan dengan survei yang dilakukan pada berbagai negara dimana skrining rutin dan koreksi refraksi bersifat gratis maupun mudah untuk diakses namun terdapat rendahnya keprihatinan masyarakat terhadap kesehatan mata, yang menunjukkan masih tingginya angka kerusakan penglihatan.

(58)

Kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi harus dikoreksi dengan menggunakan kacamata agar sinar yang datang dapat difokuskan pada retina. Pada myopia, visus dikoreksi dengan lensa konkaf untuk membawa bayangan jatuh pada retina. Pada hipermetropia/hiperopia, dikoreksi dengan lensa konveks (Istiqomah, 2004). Untuk memperbaiki kerusakan penglihatan akibat kelianan refraksi seperti kelainan astigmat diberikan lensa silinder dengan cara coba-coba, cara pengabur, ataupun cara silinder bersilang. Pada astigmat regular di mana terjadi pemantulan dan pembiasaan sinar yang tidak teratur pada dataran permukaan depan kornea maka koreksi dilakukan dengan memakai lensa kontak. Dengan memakai lensa kontak, ini, maka permukaan depan kornea tertutup rata dan diisi oleh film air mata (Ilyas, 2008). Fakta memperlihatkan, sekitar 75% penyebab kebutaan yang berawal dari kerusakan penglihatan termasuk ke dalam

avoidable blindness yaitu penyebab kebutaan yang sebetulnya dapat dihindari

(59)

BAB 6

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab 5, dapat diambil kesimpulan dan rekomendasi mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada usia anak sekolah di SD Negeri 10 Langsa.

6.1. Kesimpulan

Sebagian besar responden 70 orang (44,3%) berada pada rentang usia 8 – 9 tahun dan jenis kelamin yang terbanyak adalah berjenis kelamin perempuan sebanyak 80 orang (50,6%).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 158 responden, dapat diambil kesimpulan tentang kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada usia anak sekolah dimana sebanyak 64 orang (86,5%) mengalami kelainan refraksi dari 74 responden yang mengalami penurunan visus.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan acuan bagi perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan maupun perawatan bagi orang tua serta anaknya yang mengalami kelainan refraksi sesuai standar yang telah yang ditentukan.

6.2. Rekomendasi

6.2.1. Rekomendasi terhadap praktek keperawatan

(60)

standar yang telah yang ditentukan sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.

6.2.2. Rekomendasi terhadap pendidikan keperawatan

Melalui institusi pendidikan perlu diinformasikan kepada mahasiswa tentang kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah sehingga mahasiswa dapat mengaplikasikannya dalam bentuk pendidikan kesehatan ketika praktek di lapangan.

6.2.3. Rekomendasi terhadap penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah di Aceh Timur (Langsa).

Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 10 Langsa, dimana penelitian ini hanya memperoleh data tentang kerusakan penglihatan akibat kelainan refraksi pada anak usia sekolah. Untuk itu, penelitian berikutnya diharapkan meneliti faktor-faktor dalam terjadinya kelainan refraksi pada anak usia sekolah dan dapat dilakukan di sekolah dasar yang lain.

6.2.4 Rekomendasi terhadap sekolah

(61)

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, dkk. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 3. Jakarta: EGC. Brooker, C. (2008). Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.

Gianini, R, dkk. (2004). Prevalence of Low Visual Acuity in Public School’s Students from Brazil. Brazil.

Ilyas, S. (2004). Ilmu Perawatan Mata. Jakarta: Sagung Seto.

Ilyas, S. (2008). Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Ilyas, S. (2009). Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Istiqomah, I. (2004). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata. Jakarta: EGC. Medicaldictionary. (2008). Visual Impairment. Diakses dari

April 2011.

NICHCY. (2004). Blindness/Visual Impairment. Di akses dari April 2011.

Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi penelitian Ilmu

Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian

Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Resnikoff, S, dkk. (2008). Global Magnitude of Visual Impairment Caused by Uncorrected Refractive Errors in 2004. Buletin of the World Health

Organization. Diakses dari

2012.

Rudolph, Abraham M., dkk. (2006). Buku Ajar PediatriVolume 3, Jakarta: EGC. Sarwanto dan Anwar. (2007). Hubungan Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan

Perilaku Ibu-Ibu Anak SD Kelas 6 tentang Kelainan Refraksi (Studi Kasus

di SD Kemayoran I dan II Kecamatan Krembangan Surabaya). Surabaya:

(62)

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Administrasi. bandung: Alfabeta.

Supartoto, A. (2006). The Prognosis Of Orbito-Cranial Meningioma At Dr Sardjito Hospital Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Vaughan, dkk. (2000). Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika.

WHO. (2009). Visual Impairment and Blindness. Diakses dari

WHO. (2010). Diseases of the Eye and Adnexa. Diakses dari

Wijaya, MB. (2010). Prevalensi Penurunan Ketajaman Penglihatan pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyah

Medan Tahun 2010. Diakses dari

25 Januari 2012.

Wijayanti, K.N. (2005). Pengaruh Pemakaian Kacamata Las terhadap Ketajaman Penglihatan pada Pekerja Las Karbit di Wilayah Pinggir Jalan D.I.

Panjaitan Kota Semarang. Diakses dari

tanggal 25 Januari 2012.

Wong, Donna L., dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 1, Jakarta: EGC.

(63)
(64)
(65)

Lampiran 3 Kode :

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bernama Agustina, NIM 101121095 adalah mahasiswi S1 Ekstensi Fakultas Kerperawatan Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya melakukan penelitan mengenai “Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi pada Anak Usia Sekolah di SD Negeri 10 Langsa”.

Untuk keperluan tersebut saya mengharapkan kesedian Bapak/Ibu wali kelas untuk memberi izin untuk dilakukan pemeriksaan mata menggunakan kartu Snellen dan Pinhole, dimana penelitian ini tidak akan memberi dampak yang membahayakan. Jika bersedia silahkan menandatangani lembar persetujuan ini sebagai bukti pengizinan Bapak/Ibu.

Izin Bapak/Ibu wali kelas dalam penelitian ini bersifat sukarela, sehingga berhak untuk membebaskan diri setiap saat tanpa ada sanksi apapun. Identitas pribadi dan semua informasi yang didapat akan dirahasikan, hanya digunakan untuk keperluan penelitian ini.

Terimakasih atas izin Bapak/Ibu wali kelas dalam penilitian ini. Peneliti,

( Agustina )

Medan, Juli 2011 Responden,

(66)

Lampiran 4

JADWAL TENTATIF PENELITIAN

No Aktivitas Penelitian

FEB MAR APRL MEI JUN JUL Ag SEP OKT NOV DES JAN FEB

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 3 4 1 2 3 4 1 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 1 Mengajukan judul

penelitian

2 Penyusunan proposal 3 Penyusunan

instrument 4 Sidang proposal 5 Perbaikan proposal 6 Pengumpulan data 7 Analisa data 8 Penyusunan laporan/skripsi 9 Ujian skripsi 10 Revisi skripsi 11 Mengumpulkan skripsi

Diketahui oleh: Pembimbing,

(67)

Lampiran 5

RINCIAN BIAYA PENELITIAN

1. Persiapan Proposal

- Biaya tinta dan kertas print proposal Rp. 100.000,- - Fotokopi sumber-sumber tinjauan Rp. 30.000,-

- Beli buku Rp. 150.000,-

- Perbanyak proposal Rp. 50.000,-

- Biaya internet Rp. 100.000,-

- Izin survei Rp. 40.000,-

- Konsumsi saat sidang proposal Rp. 75.000,

2. Pengumpulan Data

- Biaya Pembelian kartu Snellen Rp. 45.000,- - Biaya transportasi Rp. 50.000,-

3. Analisa Data & Penyusunan Laporan Perbaikan

- Biaya kertas dan tinta print Rp. 100.000,-

- Biaya internet Rp. 100.000,-

- Penjilidan Rp. 100.000,-

- Penggandaan Rp. 50.000,-

- Biaya tak terduga Rp.

200.000,-Jumlah : Rp. 1.190.000,-

(68)

Lampiran 6

LEMBAR OBSERVASI DAN CATATAN

No Responden

Data Demografi Pemeriksaan Visus

Ket.

Kelas Umur Jenis Kelamin

(L/P)

Snellen chart Pinhole

(69)

Lampiran 8

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Agustina

Tempat/Tanggal Lahir : Matangkruet/5 Agustus 1980 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat Rumah : Jl. Medan - Banda Aceh dusun H.Ismail Desa Matangkruet Kec. Pantee Bidari Kab. Aceh Timur Riwayat Pendidikan :

1. 1987 – 1993 : SD Negeri 1 Pantee Rambong 2. 1993 – 1996 : SMP Negeri 1 Lhoknibong 3. 1996 – 1999 : SMU Negeri 1 Simpang Ulim 4. 2000 – 2003 : D-III Akper Depkes Langsa

(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)

No.

Rsp Usia Kls JK

Kartu Snellen VAS Pinhole VAS

VOU VAS KET

VOS VOD VOS VOD VOS VOD VOS VOD Visus Refraksi

142 11 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 143 11 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 144 11 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 145 10 6 P 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 146 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 147 11 6 L 20/25 20/25 95 95 20/20 20/20 100 100 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 148 11 6 P 20/25 20/20 95 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 149 11 6 L 20/30 20/25 90 95 20/25 20/20 95 100 20/25 95 Penurunan Visus kelainan refraksi 150 11 6 L 20/25 20/20 95 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 151 12 6 P 20/25 20/25 95 95 20/20 20/20 100 100 20/25 95 Penurunan Visus kelainan refraksi 152 11 6 P 20/25 20/20 95 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 153 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 154 11 6 L 20/25 20/20 95 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 155 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 156 11 6 L 20/40 20/20 85 100 20/20 - 100 - 20/20 100 Penurunan Visus kelainan refraksi 157 12 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi 158 11 6 L 20/20 20/20 100 100 - - - - 20/20 100 Tidak Penurunan Visus Tidak Kelainan Refraksi

(77)

Jumlah Kelainan Refraksi : 64 Jumlah Tidak Kelainan Refraksi : 94

MATA VISUS (Kartu Snellen) Jumlah UMUR f %

20/20 20/25 20/30 20/40 20/50 20/60 20/80 20/100 6 4 2.5

Okuli Dextra 107 31 14 3 1 1 1 0 158 7 21 13.3

Okuli Sinistra 94 45 13 6 0 0 0 0 158 8 35 22.2

9 35 22.2

MATA VISUS (Pinhole) Jumlah 10 20 12.7

20/20 20/25 20/30 20/40 20/50 20/60 20/80 20/100 11 36 22.8

Okuli Dextra 27 18 5 0 1 0 0 0 51 12 4 2.5

Okuli Sinistra 39 20 5 0 0 0 0 0 64 13 1 0.6

TOTAL 156 98.73418

MATA VISUS (kartu Snellen) Jumlah

20/20 20/25 20/30 20/40 20/50 20/60 20/80 20/100

VOU 127 26 4 1 0 0 0 0 158

MATA VAS (Kartu Snellen) Jumlah

100 95 90 85 80 75 70 65

Okuli Dextra 107 31 14 3 1 1 1 0 158

Okuli Sinistra 94 45 13 6 0 0 0 0 158

(78)

KELAMIN

LAKI-LAKI 78 49.4

PEREMPUAN 80 50.6

Gambar

Tabel 2.1. Kategori kerusakan penglihatan menurut WHO (2010)
Table 2.1. Kausa ametropia
Table 2.3. Tajam penglihatan
Table 2.4. Visual Acuity Score
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga pembiasan sinar tidak difokuskan pada retina sehingga dapat menimbulkan penglihatan menjadi kabur.. Di

- Bila tajarn penglihatan 6l60,berarti pasien hanya dapat melihat pada jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter-.. - Bila

- Bila tajarn penglihatan 6l60,berarti pasien hanya dapat melihat pada jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter-.. - Bila

- Bila tajarn penglihatan 6/60, berarti pasien hanya dapat melihat pada jarak 6 meter yang oleh orang normal hwuf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter?. - Bila

- Dapat melihat huruf kartu Snellen pada baris yang menunjukkan angka 30 : Tajam penglihatann 6/30 artinya orang tersebut dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengetahuan tentang makanan sehat pada anak sekolah usia 10-12 tahun di SD Negeri Pengkol Kulon Progo, dapat diambil kesimpulan

Hasil pada penelitian ini menunjukan bahwa tajam penglihatan yang tidak normal terbanyak pada kategori lama dalam durasi bermain game sebanyak 16 orang (72.7%) untuk mata kanan

- Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak enam meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.. - Bila