• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Pterygium pada Populasi Penarik Beca Mesin di sekitar Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prevalensi Pterygium pada Populasi Penarik Beca Mesin di sekitar Universitas Sumatera Utara"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI PTERYGIUM PADA POPULASI PENARIK

BECA MESIN DI SEKITAR

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Oleh:

PIGAMITHA DIMAR

080100401

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PREVALENSI PTERYGIUM PADA POPULASI PENARIK BECA MESIN DI SEKITAR UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

PIGAMITHA DIMAR

080100401

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL PENELITIAN : Prevalensi Pterygium pada Populasi Penarik Beca Mesin di sekitar Universitas Sumatera Utara

NAMA : PIGAMITHA DIMAR NIM : 0801000401

Pembimbing Penguji I

dr. Aryani A. Amra, Sp.M dr. Sarah Dina, Sp.OG (K) NIP: 19640502 199203 2 003 NIP: 19680415 199703 2 001

Penguji II

dr. Amira Permata Sari, Sp.P NIP: 19691107 199903 2 002

Medan, Desember 2011 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

Pterygium merupakan penyakit mata yang umumnya terjadi di wilayah beriklim tropis dan dialami oleh orang yang bekerja atau beraktivitas di luar dibawah terik sinar matahari dan terpapar dengan debu dan angin. Umumnya terjadi pada usia yang lebih tua, meskipun terdapat juga pada usia muda. Penyebab paling sering adalah paparan berlebihan dari sinar matahari. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti asap, debu, zat alergen, kimia dan pengiritasi lainnya.

Penelitian dengan metode deskriptif ini dilakukan dengan pendekatan cross- sectional. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi pterygium pada salah satu populasi yang berisiko, yaitu pada penarik beca mesin .Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan mata umum dan pemeriksaan slit lamp terhadap 97 responden. Kemudian analisis data dilakukan dengan menggunakan suatu program analisis statistik.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa prevalensi total pterygium sebesar jumlah 24 dari 97 responden (24,74%), dengan angka pterygium yang paling banyak dijumpai pada usia 41-50, yaitu sebanyak 13 orang (54,17 %) dan derajat keparayan paling tinggi adalah derajat T2 (lesi dengan pembuluh darah episklera yang tidak dapat terlihat dengan jelas atau terlihat secara parsial), dengan jumlah 11 orang (45,83%).

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa meskipun paparan terhadap UV-A dan UV-B serta faktor risiko lain seperti cuaca yang kering merupakan faktor penyebab, durasi terhadap paparan tersebut lebih memegang peran yang penting. Disarankan bagi lembaga kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit untuk hmemberikan penyuluhan dan edukasi pterygium, supaya pasien tahu bagaimana cara mencegah terjadinya pterygium dan bagaimana cara memperlambat progresinya sebelum terjadi komplikasi.

(5)

ABSTRACT

Pterygium is a disease of the eye that is commonly found in the tropical regions of the world and is usually found in those with activities under the sun and exposed to risk factors such as high speed wind and dust. It is more commonly found in the elder population, although there are also cases in younger ages. The most common cause of pterygium is excess exposure to sunlight, but there are also roles played by pollution gases, dust, allergens, chemical factors and other irritants

This study has a descriptive approach and was done cross-sectionally. The main purpose was to find the prevalence of pterygium in one of the high-risk populations; the motoric rickshaw pullers. Data was collected by verbal interview and results of a general eye and slit lamp examination. Data analysis was done using a statistical analysis program.

According to the results, the total prevalence of pterygium was 24 out of 97 respondents (24,74%), with the highest occurrence in ages between 41-50, with a number of 13 respondent (54,17%) and the level of severity most commonly found is T2 (lesion with episcleral blood vessels that can’t be seen clearly, or only partially seen), with a number of 11 respondent (45,83%).

From this study, it can be concluded that although exposure to UV-A and UV-B, as well as other factors such as dry climates and high speed wind are correlated to the occurrence of pterygium, the actual duration of exposure to this conditions plays a bigger role. It is advised for medical centres to give out advice and education about the risk factors of pterygium and ways of prevention before complications occur that could impair the eyesight.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Karya tulis ilmiah ini berjudul “Prevalensi Pterygium pada Populasi Penarik Beca Mesin di sekitar Universitas Sumatera Utara”. Dalam

pelaksanaan penelitian ini, saya mendapatkan banyak bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, dengan kerendahan hati saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. dr. H. Aryani Atiyatul Amra, Sp.M, selaku dosen pembimbing proposal dan Karya Tulis Ilmiah atas kesabaran dan waktu yang diberikannya untuk membimbing peneliti sehingga penelitian dapat diselesaikan dengan baik.

2. dr. Sarah Dina, Sp.OG dan dr. Amira Permata Sari Tarigan, Sp.P, selaku dosen penguji, yang telah bersedia memberi waktu dan kesempatan untuk memberi saran dan kritis dalam proses evaluasi penelitian ini.

3. dr. Febi Yanti Harahap, selaku pembimbing akademik yang telah membimbing peneliti selama masa perkuliahan.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada peneliti selama masa pendidikan.

(7)

6. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, terutama Uli Elona, Suci Handayani Asri, Yunita Manurung dan Wilhelmina Olivia yang telah memberikan saran dan bantuan kepada peneliti selama penyusunan penelitian ini.

7. Teman-teman seperjuangan yang telah mendukung dan membantu penulis serta selalu bersama-sama dalam satu bimbingan : Fadhila Nisa dan Arditya Lesmana, serta teman-teman stambuk 2008 FK USU, yang tak dapat penulis lupakan.

8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada peneliti.

Saya menyadari bahwa penulisan dan penyusunan Karya tulis ilmiah ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Kekurangan dan ketidak sempurnaan tulisan ini tidak lepas dari berbagai macam rintangan dan halangan yang datang baik secara pribadi pada penulis maupun dalam masalah teknis pengerjaan.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat saya tuliskan yang telah member bantuan kepada saya dalam pengerjaan karya tulis ilmiah ini. Saya berharap agar kelak hasil dari penelitian ini dapat menjadi sumber informasi yang dapat memberi manfaat kepada semua orang.

Medan, 24 Desember, 2011

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan... i

Abstrak……….. ii

Abstract………. iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vi

Daftar Gambar ... vi

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1. Anatomi Mata 2.1.1. Ukuran dan lokasi …... 4

2.1.2. Dinding bola mata…………... 4

2.1.3. Konjungtiva………... 5

2.2. Pterygium... 2.2.1. Definisi ………... 5

2.2.2. Morfologi……... 5

2.2.3. Patogenesis………... 6

2.2.4. Klasifikasi………... 7

2.2.5. Faktor Risiko... 8

2.2.6. Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis... 9

(9)

2.2.8. Penatalaksanaan... 12

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep ... 14

3.2. Definisi Operasional ... 14

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 4.1. Jenis Penelitian ... 16

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 16

4.3. Populasi dan Sampel ... 16

4.3.1. Populasi ... 16

4.3.2. Sampel ... 16

4.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi…... 17

4.4. Metode Pengumpulan Data ... ... 18

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 18

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………. 5.1. Hasil Penelitian ... 20

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian…... 20

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden... 20

5.2. Pembahasan………... 24

5.2.1 Prevalensi Pterygium Secara Umum... 24

5.2.2 Distribusi Subjek Dengan Pterygium Berdasarkan Usia………... 24

5.2.3 Tingkat Keparahan Pterygium pada Subjek... ... 25

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN...…………. 6.1. Kesimpulan……... 27

6.2. Saran……...………... 27

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Diagnosa Banding untuk Pterygium... 10 Tabel 5.1. Distribusi Responden Berdasarkan Usia……… 20 Tabel 5.2. Distribusi Responden Berdasarkan Ada atau Tidaknya

Pterygium……… 21 Tabel 5.3. Distribusi Responden Dengan Pterygium Berdasarkan

Usia………. 21 Tabel 5.4. Distribusi Responden Berdasarkan Derajat Pterygium….. 22 Tabel 5.5. Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Ptergyium…… 22 Tabel 5.5.1. Lokasi Lesi Pada Oculi Dextra (Mata Kanan).. 23 Tabel 5.5.2. Lokasi Lesi Pada Oculi Sinistra (Mata Kiri)…. 23

DAFTAR GAMBAR

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Curriculum Vitae / Riwayat Hidup

Lampiran 2 : Informed Consent / Lembar Persetujuan Responden Penelitian Lampiran 3 : Lembar Observasi Pemeriksaan

(12)

ABSTRAK

Pterygium merupakan penyakit mata yang umumnya terjadi di wilayah beriklim tropis dan dialami oleh orang yang bekerja atau beraktivitas di luar dibawah terik sinar matahari dan terpapar dengan debu dan angin. Umumnya terjadi pada usia yang lebih tua, meskipun terdapat juga pada usia muda. Penyebab paling sering adalah paparan berlebihan dari sinar matahari. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti asap, debu, zat alergen, kimia dan pengiritasi lainnya.

Penelitian dengan metode deskriptif ini dilakukan dengan pendekatan cross- sectional. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi pterygium pada salah satu populasi yang berisiko, yaitu pada penarik beca mesin .Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan mata umum dan pemeriksaan slit lamp terhadap 97 responden. Kemudian analisis data dilakukan dengan menggunakan suatu program analisis statistik.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa prevalensi total pterygium sebesar jumlah 24 dari 97 responden (24,74%), dengan angka pterygium yang paling banyak dijumpai pada usia 41-50, yaitu sebanyak 13 orang (54,17 %) dan derajat keparayan paling tinggi adalah derajat T2 (lesi dengan pembuluh darah episklera yang tidak dapat terlihat dengan jelas atau terlihat secara parsial), dengan jumlah 11 orang (45,83%).

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa meskipun paparan terhadap UV-A dan UV-B serta faktor risiko lain seperti cuaca yang kering merupakan faktor penyebab, durasi terhadap paparan tersebut lebih memegang peran yang penting. Disarankan bagi lembaga kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit untuk hmemberikan penyuluhan dan edukasi pterygium, supaya pasien tahu bagaimana cara mencegah terjadinya pterygium dan bagaimana cara memperlambat progresinya sebelum terjadi komplikasi.

(13)

ABSTRACT

Pterygium is a disease of the eye that is commonly found in the tropical regions of the world and is usually found in those with activities under the sun and exposed to risk factors such as high speed wind and dust. It is more commonly found in the elder population, although there are also cases in younger ages. The most common cause of pterygium is excess exposure to sunlight, but there are also roles played by pollution gases, dust, allergens, chemical factors and other irritants

This study has a descriptive approach and was done cross-sectionally. The main purpose was to find the prevalence of pterygium in one of the high-risk populations; the motoric rickshaw pullers. Data was collected by verbal interview and results of a general eye and slit lamp examination. Data analysis was done using a statistical analysis program.

According to the results, the total prevalence of pterygium was 24 out of 97 respondents (24,74%), with the highest occurrence in ages between 41-50, with a number of 13 respondent (54,17%) and the level of severity most commonly found is T2 (lesion with episcleral blood vessels that can’t be seen clearly, or only partially seen), with a number of 11 respondent (45,83%).

From this study, it can be concluded that although exposure to UV-A and UV-B, as well as other factors such as dry climates and high speed wind are correlated to the occurrence of pterygium, the actual duration of exposure to this conditions plays a bigger role. It is advised for medical centres to give out advice and education about the risk factors of pterygium and ways of prevention before complications occur that could impair the eyesight.

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pterygium adalah suatu struktur patologis berbentuk sayap (Tradjustrisno, 2009) yang tumbuh pada mata, dimulai dari konjungtiva bagian perlimbal ke permukaan kornea (Detorakis, 2000). Jika tidak dicegah progresinya dan tidak diterapi pada stadium dini, pterygium dapat menyebabkan gangguan penglihatan seperti astigmatisme dan kebutaan (Tan, 2002). Oleh karena itu pengetahuan terhadap faktor resiko dan penyebab dari pterygium sangat diperlukan untuk strategi pencegahan dan terapetik.

Meskipun belum ada mekanisme yang pasti, pterygium diperkirkan terjadi akibat mikrotrauma oleh partikel debu dan didukung oleh cuaca yang kering dan panas. Kondisi ini terutama didapat pada negara-negara tropis, sehingga meskipun kejadian pterygium terdistribusi di berbagai negara, terdapat bahwa prevalensi pada daerah khatulistiwa sekitar 22% lebih tinggi dari negera lain (Laszuarni, 2009), dengan insidensi paling tinggi pada area dengan lattitude 37 derajat utara dan tenggara dari garis khatulistiwa (Choi, 1977).

Di Indonesia yang letaknya tepat pada garis khatulistiwa, telah dilakukan penelitian tentang prevalensi pterygium pada tahun 2002 oleh Chia, S.E et al dan didapatkan hasil sebesar 10%. Pada penetilian lain, terdapat bahwa kejadian pterygium berhubungan dengan umur dan pekerjaan di luar rumah (G. Gazzard et al, 2002) dan frekuensi pretygium 9 kali lebih tinggi daripada pasien dengan riwayat tanpa memakai pelindung mata (Laszuarni, 2009). Kejadian pterygium juga lebih sering ditemukan pada populasi pria (Taylor et al, 1999).

(15)

matahari, debu dan angin untuk durasi yang lama setiap harinya. Paparan terhadap kondisi seperti ini merupakan faktor risiko untuk berbagai kelainan pada mata, salah satunya adalah penyakit yang disebut pterygium (Ukponmwan, 2007).

Oleh karena pengetahuan diatas, maka penelitian ini akan mencoba untuk mencari prevalensi pterygium pada salah satu populasi yang berisiko untuk mendapatnya, yaitu populasi penarik beca mesin.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diurai diatas, maka peneliti memutuskan untuk merumuskan masalah dalam penulisan karya ilmiah ini sebagai:

”Berapakah prevalensi penyakit pterygium pada populasi penarik beca mesin di area sekitar Universitas Sumatera Utara?”

1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Mengetahui prevalensi pterygium pada populasi penarik becak di area sekitar Universitas Sumatera Utara

1.3.2. Tujuan khusus

- Mengetahui tingkat/derajat keparahan dari pterygium.

- Mengetahui jumlah prevalensi setiap derajat pterygium pada populasi.

- Mengetahui lokasi dari pterygium.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Di bidang akademik/ilmiah

(16)

1.4.2. Di masyarakat umum

Memberikan informasi kepada masyarakat luas, khususnya pada populasi penarik beca mesin serta populasi berisiko lainnya (pengemudi sepeda motor, pekerja bangunan) tentang ptergyium serta tindakan preventif yang dapat dilakukan.

1.4.3. Di bidang pelayanan masyarakat

Meningkatkan upaya dalam edukasi dan meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat tentang kepentingan melindungi mata ketika sedang beraktivitas, terutama keuntungan dari penggunaan helm dan visor.

1.4.4. Di bidang pengembangan penelitian

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Mata 2.1.1. Ukuran & Lokasi:

Setiap bola mata berbentuk spheroid irregular, dengan diameter sekitar 24mm dan berat sekitar 8g. Didalam orbit (rongga untuk mata pada tulang wajah), mata menempati ruang dengan otot-otot mata extrinsik, kelenjar lakrimalis, pembuluh darah dan saraf-saraf kranial yang juga mempersaraf bagian wajah lain. Bola mata dikelilingi oleh lemak orbital (orbital fat) yang berfungsi sebagai insulator dan shock absorber (Martini, 2006)

2.1.2. Dinding Bola Mata:

Dinding bola mata terdiri dari 3 lapisan, yaitu: 1. Lapisan fibrosa:

Adalah lapisan paling luar dari mata dan terdiri dari 2 bagian; sklera can kornea. Lapisan fibrosa memberi pelindungan fisik dan mechanical support, serta menjadi permukaan untuk lokasi otot ekstrinsik untuk berikatan dan mengandung struktur yang membantu dalam proses focusing.

2. Sklera:

Menutupi 5/6 bagian dari permukaan mata. Sklera terdiri dari jaringan ikat fibrosa yang mengandung kolagen dan serabut elastic. Permukaan dari sklera mengandung pembuluh darah kecil dan serabut saraf yang menembus sklera untuk mencapai struktur internal.

3. Kornea:

Bagian transparan yang bersambung dengan sklera. Batasan antara sklera dan kornea disebut limbus. Kornea terdiri dari 5 lapisan, yaitu; lapisan epithelium, membran Bowmann's, lapisan stroma (substansia Propria), Membran

(18)

2.1.3 Konjungtiva

Konjungtiva adalah suatu membrane mukosa yang dilapisi oleh epithelium berlapis gepeng (Squamous stratified epithelium). Konjungtiva melapisi permukaan luar bola mata, dan juga permukaan dalam dari kelopak mata, atau palpebra. Konjungtiva yang melapisi bola mata disebut konjungtiva bulbii (bulbar conjunctiva), sedangkan konjungtiva yang melapisi kelopak mata disebut konjungtiva palpebra (palpebral conjunctiva). Lokasi transisi atau perubahan dari konjungtiva palpebra menjadi konjungtiva bulbii disebut fornix. Konjungtiva bulbii meluas sampai ujung dari kornea (Martini, 2006)

2.2. Pterygium

2.2.1. Definisi:

Pterygium berasal dari kata pteron, yang berarti "berbentuk sayap" (Tradjutrisno, 2009). Secara medis, pterygium didefinisikan sebagai suatu lesi berbentuk segitiga yang berasal dari conjunctiva dan tumbuh serta menginfiltrasi menuju kornea (Detorakis, 2000).

2.2.2. Morfologi:

Lesi pterygium mempunyai 7 bagian (Tradjutrisno, 2009), jika dilihat dari bagian yang berada (paling dekat) pada kornea sampai ke bagian konjungtiva, maka terdapat:

1. Hood:

Didepan bagian kepala. Berbentuk sabit, avaskular, berwarna abu-abu. 2. Fuchs’ patches:

Terdapat pada bagian hood, terlihat seperti bercak berwarna abu-abu dan berada dibawah epitel kornea.

3. Stocker’s Line:

Suatu garis halus berwarna kuning-hijau, bentuk bulan sabit, terletak pada bagian apex (head). Merupakan suatu marker untuk pterygium kronis. 4. Apex (head): Bagian dari pterygium yang menginvasi kornea. Berwarna

(19)

5. Colarette (collar):

Terdapat pada semua pterygium (kronis atau rapid). Ditemukan pada bagian limbus.

6. Body:

Lipatan atau strip dari jaringan yang kaya vaskularisasi. Berbentuk trapezoid dan memanjang sampai area plica semilunaris.

7. Edge :

Dibentuk oleh lipatan konjungtiva yang menandakan batas antara body pterygium dan konjungtiva sekitarnya.

2.2.3. Patogenesis:

Mekanisme patologis dari terjadinya pterygium belum diketahui secara sempurna; hanya terdapat banyak teori yang mencoba mengemukakan tahap patogenesis dari penyakit ini, dan teori-teori tersebut mencakup:

1. Paparan Terhadap Sinar UV

Radiasi UV-B mengaktivasi sel yang terletak dekat limbus. Aktivasi ini menyebabkan perubahan fenotipik dari populasi sel-sel epitel, pembentukan sitokin pro-inflamasi dan angiogenik serta pembentukan growth factors (Di Girolamo, 2005). Selain itu, terdapat peningkatan proliferasi dari jaringan akibat peningkatan pembentukan enzim metalloproteinase (MMP) dalam kadar yang lebih tinggi daripada tissue inhibitors. Hingga saat ini, teori ini dianggap salah satu yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana terjadinya pterygium.

Radiasi UV dengan panjang gelombang 290-320nm dapat diabsorpsi secara selektif oleh epitel dan lapisan subepitel. Selain itu, paparan kronis terhadap sinar UV (terumata UV-B) dengan dosis rendah dapat merusak mata secara permanen karena menyebabkan degenerasi dan neovaskularisasi pada membran Bowmann dan lamellae stroma (Wong dalam Taylor, 2000). 2. Mikrotrauma akibat asap dan debu:

(20)

mata (Taylor, 1980). Tear film mempunyai fungsi untuk melindungi dan memberi lubrikasi pada kornea dan konjungtiva (Glasgow, 2006), sehingga kerusakan pada tear film membuat permukaan mata rentan terhadap inflamasi. 3. Teori defisiensi Limbal Stem Cells

Beberapa tahun yang lalu, limbus dianggap hanya sebagai sebuah zona transisi antara kornea, sklera dan konjungtiva. Akan tetapi Thoft (1997) dalam Tan (2001) mengemukakan bahwa permukaan okuler adalah suatu kontinuum, yang terus berganti. Ketika terdapat defisiensi pada limbal stem cells, terjadi proses konjungtivalisasi pada permukaan kornea; konjungtiva bermigrasi melewati limbus untuk menggantikan defisiensi dari stem cells pada kornea. Tanda-tanda dari defisiensi limbal adalah kerusakan pada basement membrane, inflamasi kronik dan vaskularisasi. Karena ketiga tanda ini juga merupakan tanda khas dari pterygium, maka teori ini dianggap suatu mekanisme patogenesis.

2.2.4. Klasifikasi

Sampat saat ini, tidak terdapat sistem klasifikasi yang telah distandarisasi untuk pterygium. Selain itu, Klasifikasi dan grading seroing digunakan secara sinonim terhadap pterygium. Saat ini, yang sering digunakan adalah sistem grading klinis yang dikemukakan oleh Donald H.Tan, yang didasarkan dengan penampkan translusensi dari bagian body pterygium pada saat pemeriksaan slit lamp:

1. T1 (Atrophic):

Lesi dengan pembuluh darah episklera yang terlihat dengan jelas pada bagian body.

2. T2 (Intermediate)

Lesi dengan pembuluh darah episklera yang tidak dapat terlihat dengan jelas atau terlihat secara parsial.

3. T3 (Fleshy)

(21)

Pterygium juga dapat diklasifikasi berdasarkan lokasi nya pada bola mata. Lesi dapat ditemukan pada sisi medial yang disebut area nasal (di dekat hidung), di sisi lateral yang disebut area temporal (di dekat temple) atau pada kedua sisi, yang disebut duplex.

2.2.5. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk pterygium dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu faktor risiko intrinsik dan faktor risiko ekstrinsik (Buratto, 2000). Faktor risiko intrinsic mencakup kelainan herediter dan gangguan pada status gizi seperti defisiensi dari vitamin A. Karena penelitian ini memberi fokus pada faktor lingkungan seperti paparan terhadap sinar matahari, debu dan asap, maka faktor risiko ekstrinsik akan dibahas lebih dalam:

1.Paparan kronik dengan UV-B.

Paparan terhadap sinar matahari, terutama UV-B menyebabkan pembentukan Interleukin-6 (IL-6) dan -8 mRNA (Di Girolamo et al, 2002). IL-6 adalah suatu sitokin dengan aktivitas angiogenik, kemotaktik dan memicu aktifitas proliferatif dari keratinosit, sehingga paparan yang sering terhadap UV-B merupakan suatu faktor risiko yang besar untuk terjadinya pterygium.

2. Paparan terhadap asap, debu dan pasir

Pengemudi sepeda motor yang berkerja pada cuaca yang berdebu mempunyai risiko terjadinya pterygium 11 kali lebih besar daripada orang yang berkerja didalam ruangan atau perkantoran (MacKenzie dalam Ukponmwan, 2007). Ini disebabkan oleh mikrotrauma akibat partikel debu pada tear film mata (Taylor, 1980).

3. Infeksi mikrobial dan viral

(22)

2.2.6. Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis 1.Anamnesis

Menanyakan pasien tentang keluhan yang diderita, durasi keluhan, faktor risiko seperti pekerjaan, paparan sinar matahari dan lain-lain.

2. Pemeriksaan Fisik

Melihat kedua mata pasien untuk morfologi pterygium, serta memeriksa visus pasien. Diagnosa dapat didirikan tanpa pemeriksaan lanjut. Anamnesa positif terhadap faktor risiko dan paparan serta pemeriksaan fisik yang menunjang anamneses cukup untuk membuat suatu diagnosa pterygium..

3. Pemeriksaan Slit Lamp

Jika perlu, dokter akan melakukan Pemeriksaan Slit Lamp untuk memastikan bahwa lesi adalah pterygium dan untuk menyingkirkannya dari diagnosa banding lain. Pemeriksaan slit lamp dilakukan dengan menggunakan alat yang terdiri dari lensa pembesar dan lampu sehingga pemeriksa dapat melihat bagian luar bola mata dengan magnifikasi dan pantulan cahaya memungkinkan seluruh bagian luar untuk terlihat dengan jelas.

2.2.7. Diagnosa Banding

(23)
(24)
(25)

2.2.8. Penatalaksanaan

1. Farmakologis:

Pada kasus ringan, kemerahan dan rasa perih dari pterygium dapat diatasi dengan tetes mata (air mata buatan). Pasien dapat diberikan:

1. Air mata buatan (GenTeal)

Air mata artifisial dapat memberi lubrikasi okuler untuk pasien dengan kornea yang irreguler akibat tumbuhnya pterygium.

2. Prednisolone acetate

Suspensi kortikosteroid untuk penggunaan topikal. Penggunaan dibatasi pada mata dengan inflamasi yang signifikan dan tidak diatasi dengan lubrikan topikal.

2. Non-Farmakologis - Terapi Bedah

Jika gejala mata merah, iritasi dan pandangan kabur tidak dapat ditangani dengan terapi tetes mata, atau penglihatan terpengaruh oleh pertumbuhan pterygium, maka terapi bedah perlu diusulkan. Dalam beberapa tahun, dokter bedah telah menggunakan beberapa teknik untuk mengurangi terhadinya ulang pterygium. Ini mencakup terapi radiasi dan penggunaan antimetabolite yang dapat mencegah pertumbuhan jaringan. Setiap dari teknik ini mempunyai risiko yang dapat mengancam kesehatan mata setelah terapi, seperti ulkus pada permukaan mata dan melelehnya kornea (corneal melting).

1. Conjunctival Autograft with Stitches (Autograf conjunctiva dengan penjahitan)

Metode autograph konjunctiva digunakan karena risiko terjadinya pterygium ulang yang rendah. Dengan metode ini, pterygium dibuang dan diganti dengan jaringan yang diambil dari bagian bawah kelopak mata atas. Autograft dijahit dengan jahitan kecil yang akan larut setelah beberapa minggu, atau dapat dibuka oleh dokter bedah. Karena jahitan member pasien rasa tidak nyaman, telah dikembangkan teknik yang tidak memerlukan jahitan.

(26)

Pada teknik ini, pasien diberi anastesi local pada mata agar pasien merasa nyaman. Jaringan korena abnormal diganti dengan graft tipis dari jaringan normal. Metode ini dapat dilakukan karena adanya lem jaringan. Lem ini terdiri dari protein pembeku darah.

2.2.9. Pencegahan

(27)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Pada kejadian pterygium, paparan terhadap lingkungan mempunyai peran yang sangat besar. Pada penelitian untuk melihat prevalensi pterygium ini, akan dilakukan pemeriksaan Slit lamp pada setiap individu untuk mendirikan diagnosis pterygium.

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian 3.2. Definisi Operasional

3.2.1 Prevalensi Pterygium

Definisi: Adalah suatu pengukuran epidemiologik yang sering digunakan untuk menilai seberapa sering terjadinya suatu kondisi atau penyakit pada suatu populasi pada suatu waktu. Pada penelitian ini diperiksa ada atau tidaknya pterygium pada mata responden.

Cara ukur: Pemeriksaan Slit Lamp Alat ukur: Alat pemeriksaan Slit Lamp Skala pengukuran: Nominal

3.2.2 Derajat Pterygium

Definisi: Adalah tingkat dari keparahan pterygium. Jika terdapat Penarik Beca Mesin di

sekitar Fakultas Kedokteran, USU

Pterygium: - Prevalensi - Derajat

pterygium - Lokasi

(28)

derajat keparahan menggunakan sistem grading klinis yang berdasarkan translusensi dari bagian body pterygium yang terlihat pada saat dilakukan pemeriksaan slit lamp:

1. T1 (Atrophic):

Lesi dengan pembuluh darah episklera yang terlihat dengan jelas pada bagian body.

2. T2 (Intermediate):

Lesi dengan pembuluh darah episklera yang tidak dapat terlihat denga jelas atau terlihat secara parsial.

3. T3 (Fleshy):

Lesi yang tebal, dimana pembuluh darah episklera tidak dapat terlihat sama sekali.

(29)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional (potong lintang) untuk menghitung angka prevalensi kejadian pterygium pada penarik beca mesin di area sekitar Universitas Sumatera Utara.

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian 4.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada semester 6 dan semester 7 Program Pendidikan Dokter, yaitu antara bulan Agustus-November 2011.

4.2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada area di sekitar Universitas Sumatera Utara. Untuk lebih spesifik, peneliti akan mencari sampel dari setiap jalan yang ada pada area disekitar Universitas Sumatera Utara dan area pangkalan penarik beca mesin. Setelah itu responden akan diperiksa di Poliklinik Kesehatan Mahasiswa, Universitas Sumatera Utara.

(30)

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi

Populasi target adalah penarik beca mesin dengan usia diatas 18 tahun tanpa menderita penyakit mata lain yang telah didiagnosa dan telah atau sedang diterapi.

4.3.2. Sampel

Yang Perkiraan besar sampel yang minimal pada penelitian ini diambil berdasarkan rumus dibawah ini, dimana tingkat kepercayaan yang dikehendari sebesar 95% dan tingkat ketepatan relatif 10% (World Health Organization, 2005):

Keterangan:

• n : besar sampel

• Zα : tingkat kepercayaan

• P : proporsi keadaan yang akan dicari • Q : 1 – P

• d : tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki oleh peneliti. Berdasarkan rumus di atas, dengan tingkat kepercayaan yang dikehendari sebesar 95% (Zα = 1,96), estimasi proporsi yang telah ditetapkan oleh peneliti yaitu sebesar 50% (P = 0,5), dan tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki 10% (d = 0,1). Angka-angka ini dimasukkan kembali ke rumus besar sampel:

4.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini adalah 1. Kriteria Inklusi

- Penarik beca mesin - Usia 18 tahun atau diatas.

- Berada di dalam area perbatasan untuk penelitian. - Mendapatkan informed consen

n =

Zα²pq

(31)

2. Kriteria Eksklusi

- Memakai kaca mata

- Menderita penyakit mata lain yang telah didiagnosa sebelumnya.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masing-masing sampel penelitian, meliputi penegakan diagnosis dan derajat dari pterygium. Data dikumpulkan dengan peneliti mengisi lembar observasi sesuai dengan hasil dari pemeriksaan Slit Lamp oleh dokter umum ataupun dokter mata.

Pada penelitian ini, untuk mencegah re-sampling selain dilakukan pencatatan didalam status pasien, dilakukan juga marking terhadap responden, dimana setelah responden bersedia menjadi subjek penelitian, telah dilakukan pemeriksaan dan menerima kompensasi, maka jari kelingking dicelupkan kedalam tinta yang akan bertahan untuk beberapa hari.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah didapat melalui pemeriksaan Slit Lamp akan dihitung untuk mendapatkan jumlah kasus pterygium yang terdapat pada sampel penelitian,juga untuk mengetahui tingkat dari keparahan pterygium. Data kemudian akan dikelola dengan proses untuk memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara tertentu :

1. Editing: Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan

kelengkapan data. Apabila data belum lengkap ataupun ada kesalahan data dilengkapi dengan mewancarai ulang responden.

(32)

3. Entry: Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam program komputer SPSS (Statistical Product andService Solution, Versi 17.0).

4. Cleaning : Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.

(33)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini diadakan di dua lokasi, yaitu Universitas Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Dr Mansyur No.5 Medan dan Poliklinik Kesehatan Mahasiswa yang terletak di Jalan Universitas (pintu 1), Universitas Sumatera Utara.

Pengambilan data dimulai pada tanggal 20 Oktober, 2011 dan berlangsung hingga akhir November, 2011. Jam Kerja Poliklinik Kesehatan Mata adalah setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu, dengan jam kerja dari pukul 09:00 WIB – 13:00 WIB. Dilakukan pemeriksaan terhadap 10 responden di setiap hari operasional Poliklinik Mata.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Penelitian dilakukan pada 97 orang responden yang merupakan penarik beca mesin yang berpangkalan di sekitar Universitas Sumatera Utara. Responden yang memenuhi kriteria inklusi menjalani pemeriksaan mata umum dan slit-lamp. Hal-hal yang diamati adalah usia, jam kerja per hari, tingkat keparahan dan lokasi dari pterygium.

(34)

lalu lintas yang mengharuskan seorang pengemudi yang berizin harus berusia 18 tahun ke atas. Pada data dan digambarkan dengan tabel 5.1, responden dengan usia 18 tahun dianggap dalam range usia < 20 tahun untuk menyeragamkan interval pada variable usia (10 tahun). Karena pada penelitian ini tidak terdapat responden dalam interval usia di bawah 18 tahun, maka kategori ini tidak akan diikutsertakan dalam tabel-tabel berikutnya.

Meskipun jam kerja merupakan salah satu variabel pada penelitian ini, peneliti memutuskan untuk tidak memasukkan variabel tersebut dalam pembahasan karena jam kerja ataupun jam operasionil dari penarik beca mesin bukanlah suatu hal yang mutlak atau tetap pada satu hari ke hari berikutnya, sehingga jika digunakan untuk mengukur durasi paparan terhadap faktor-faktor resiko dan kemudian dihubungkan dengan kejadian prevalensi, peneliti khawatir akan dapat memberi hasil yang tidak akurat.

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Ada atau Tidaknya Pterygium

Pterygium N %

Ada 24 24,74

Tidak Ada 73 75,25

Jumlah 97 100

Berdasarkan tabel 5.2 di atas, dapat dilihat bahwa jumlah responden dengan pterygium yang terdapat (oculi dextra, oculi sinistra dan bilateral digabungkan) adalah 24 orang dari total populasi 97 (N) responden (24,74 %),

Tabel 5.3 Distribusi Responden Dengan Pterygium Berdasarkan Usia

Pterygium n %

(35)

sedikit pada usia 51-60, yaitu sebanyak 2 orang (8,33%). Kelompok usia dibawah 20 tahun tidak dimasukkan kedalam tabel data karena tidak terdapat responden dengan usia tersebut.

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Derajat Pterygium

Pterygium n %

T1 4 16,67

T2 11 45,83

T3 9 37,50

Jumlah 24 100

Berdasarkan tabel 5.4 diatas, dapat dilihat bahwa jumlah responden dengan pterygium derajat T1 (lesi dengan pembuluh darah episklera yang terlihat dengan jelas pada bagian body) adalah sebanyak 4 orang (16,67%), jumlah responden dengan pterygium derajat T2 (lesi dengan pembuluh darah episklera yang tidak dapat terlihat denga jelas atau terlihat secara parsial) adalah 11 orang (45,83%) dan jumlah responden dengan derajat T3 (lesi yang tebal, dimana pembuluh darah episklera tidak dapat terlihat sama sekali) adalah 9 orang (37,50%).

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Ptergyium

Lokasi Pterygium n %

Mata Kanan (Oculi Dextra) 17 70,83

Maka Kiri (Oculi Sinistra) 6 25,00

Bilateral 1 4,61

Jumlah 24 100

(36)

Tabel 5.5.1 Lokasi Lesi Pada Oculi Dextra (Mata Kanan)

Dari tabel 5.5.1 diatas, pasien yang menderita pterygium di mata kanan sebagian besar mempuyai lesi pada area nasal, yaitu 10 orang (55,55%), lokasi yang berikutnya sering terdapat adalah pada area temporal dengan 5 orang (27,77%), sedangkan lesi secara duplex paling sedikit ditemukan, dengan 3 orang responden (16,66%).

Tabel 5.5.2 Lokasi Lesi Pada Oculi Sinistra (Mata Kiri)

Pterygium Pada Mata Kiri (Oculi Sinistra)

n %

Nasal 5 71,42

Temporal 2 28,57

Duplex 0 0

Jumlah 7 100

Dari tabel 5.5.2 diatas, pasien yang menderita pterygium di mata kiri, sama hal nya dengan mata kanan, sebagian besar mempuyai lesi pada area nasal yaitu 5 orang (71,42%), lokasi yang berikutnya sering terdapat adalah pada area temporal dengan 2 orang (28,57%), sedangkan lesi secara duplex tidak ditemukan.

Pterygium Pada Mata Kanan (Oculi Dextra)

n %

Nasal 10 55,55

Temporal 5 27,77

Duplex 3 16,66

(37)

5.2 Pembahasan

5.2.1 Prevalensi Pterygium Secara Umum

Dari 97 responden yang diperiksa dan telah digambarkan oleh tabel 5.2, terdapat 24 (24,74%) pasien yang positif didiagnosis dengan pterygium. Angka ini relative lebih rendah dari dugaan peneliti, oleh sebab penelitian ini dilakukan pada populasi yang dianggap berisiko tinggi akibat paparan terhadap beberapa faktor, jadi peneliti pada awal menduga angka prevalensi yang akan diperoleh adalah lebih tinggi. Akan tetapi jika melihat hasil dari penelitian oleh Ukponmwan pada pengendara sepeda motor di Benin City, Nigeria pada tahun 2007, prevalensi pterygium yang didapati adalah 18 orang dari 140 responden (12,5%). Penjelasan yang dapat diajukan untuk jumlah prevalensi yang rendah ini adalah meskipun jam kerja penarik beca mesin secara rata-rata 9 jam (pukul 8:00 – 17:00 WIB, hasil berdasarkan wawancara), sebagian besar dari waktu tersebut dihabiskan dengan “mangkal” atau menunggu datangnya penumpang, sehingga subjek lebih memilih untuk berada pada area yang teduh dan tidak terpapar terhadap faktor risiko, dan ini berbeda dari hal yang diharapkan. Jam “operasionil murni” dari subjek tidak dapat disimpulkan secara pasti, karena berbeda dari hari ke hari, sehingga durasi paparan terhadap faktor risiko pun tidak dapat dipastikan.

5.2.2 Distribusi Subjek Dengan Pterygium Berdasarkan Usia

(38)

proses pemulian yang tidak sempurna setelah mikrotrauma. Pada literature yang sama oleh Bartlett, dikatakan bahwa pterygium jarang sekali terjadi pada usia dibawah 20 tahun, karena bagian eksternal dari konjungtiva harus terpapar terhadap kondisi berisiko untuk beberapa tahun sebelum terjadinya lesi inisial. Pada penelitian ini terdapat 0 (0%) responden dibawah usia 20 tahun, sehingga tidak dapat dibandingkan hasil.

5.2.3 Tingat Keparahan Pterygium Pada Subjek

Pada penelitian ini, tingkat keparahan dilaporkan dalam bentuk data tingkat grading dan jumlah mata dimana terdapat pterygium (apakah unilateral atau bilateral). Berdasarkan tabel 5.4, maka prevalensi pterygium paling tinggi terdapat pada tingkat T2 (lesi dengan pembuluh darah episklera yang terlihat dengan jelas pada bagian body) dengan jumlah sebanyak 11 orang (45,83%). Pada tingkat ini, jika pemeriksaan dilakukan dengan mata dokter, pterygium dalam ukuran yang cukup besar untuk dapat dilihat dengan mata telanjang dan dibantu dengan senter. Keraguan lesi dengan lesi mata lain yang mirip juga sudah dapat disingkirkan karena lesi telah cukup differensiasi dan infiltrasi ke kornea sudah dapat terlihat, serta dibantu dengan adanya anamnesis yang relevan.

Tingkat yang selanjutnya paling tinggi prevalensinya adalah tingkat T3 (lesi yang tebal, dimana pembuluh darah episklera tidak dapat terlihat sama sekali), yaitu dengan jumlah 9 orang (37,50%). Tingkat T3 ini lebih banyak ditemukan pada subjek dengan usia diatas 40 tahun, dan ini didukung dengan hasil dari penelitian oleh Choi, 1977, dimana tingkat pterygium yang lebih lanjut lebih sering ditemukan pada subjek dengan usia lebih tua, karena telah terpapar dalam durasi yang lebih lama terhadap faktor risiko.

(39)
(40)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

a. Prevalensi pterygium pada penarik beca mesin di sekitar Universitas Sumatera Utara di tahun 2011 adalah senilai 24 orang (24,74%).

b. Angka pterygium yang paling banyak dijumpai pada usia 41-50, yaitu sebanyak 13 orang (54,17 %) dan yang paling sedikit pada usia 51-60, yaitu sebanyak 2 orang (8,33%).

c. Derajat pterygium yang paling banyak adalah derajat T2, yaitu 11 orang responden(45,83%).

d. Prevalensi pterygium lebih tinggi secara unilateral. Pada penelitian ini didapatkan bahwa lokasi yang paling sering terdapatnya pterygium adalah pada oculi dextra (mata kanan), yaitu sebanyak 17 orang (70,83%). Lokasi spesifik lesi pterygium pada oculi dextra (mata kanan) adalah pada sisi nasal, sebanyak 10 mata (55,55%).

6.2 Saran

a. Pada peneliti yang akan datang yang ingin melakukan penelitian yang serupa, agar menggali informasi tentang paparan terhadap faktor risiko secara teliti agar dapat membuat kesimpulan atau mencari hubungan.

b. Lembaga kesehatan untuk memberi penyuluhan dan edukasi tentang pterygium, supaya pasien tahu bagaimana cara mencegah terjadinya pterygium dan cara memperlambat progresi dan mencegah terjadinya komplikasi.

c. Pada Pemerintahan Daerah, diharapkan dapat membantu penderita pterygium tahap lanjut dalam mendapatkan bantuan dari segi pelayanan kesehatan untuk mendapatkan terapi.

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Ang, L.P.K, Chua, J.L.L, Tan, D.H.,2007. Current Concepts and Techniques in Pterygium Treatment In: Current Opinion in Opthalmology. Lippincott Williams & Wilkins, 18: 308 – 313

Asian Development Bank, 2009; Asian Development Bank & Indonesia – Fact sheet. Asian Development Bank.

Asian Development Bank, BPS-Statistics Indonesia, 2010. Country Report 2010 - The Informal Sector and Informal Employment in Indonesia. ISBN 978-92-9092-243-8 Publication Stock No. RPT1130003, 2011.

Bangun, F.T.A., Napitupulu, R.M.T., 2005. Medan, Kota Metropolitan atau Kota Metromarpilitan?. Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Medan.

Buratto, L,. Carito, G., Phillips R.L., 2007. Epidemiology. In: Phillips. R, Carito. G. Pterygium Surgery. McGraw-Hill. 3: 7-8

Buratto, L,. Carito, G., Phillips R.L., 2007. Differential Diagnosis of Pterygium. In: Phillips. R, Carito. G. Pterygium Surgery. McGraw-Hill. 10: 33-35

Coroneo M.T,. Girolamo N.D., Kumar R.K, Wakefield D., 2002. UV-B Mediated Induction of Interleukin-6 and -8 in Pterygia and Cultured Human Pterygium

Epithelial Cells; Investigative Opthalmology & Visual Science, Vol. 43, No.11. Association for Research in Vision and Opthalmology.

(42)

Horton, J.C., 2008. Disorders of the Eye. In: Fauci, A.S. Braunwald, E. Kasper D,L. Hauser S,L. Longo D,L. Jameson J,L. Loscalzo. J. ed Harrison's Principles of Internal Medicine, 17th Edition. McGraw-Hill. 184-192

Laszuarni, 2009. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat; Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Martini, F.H., 2006. The Special Senses. In: Martini F.H, Ober W.C, Garrison C.W, Welch K, Hutchings R.T. ed. Fundamentals of Anatomy & Physiology, 7th Edition. Pearson-Benjamin Cummings. 554-572

Solomon, A.S., 2006. Pterygium Can We Provide Medical and Not Surgical Cure? British Journal of Opthalmology 091413. 90: 665-666

Tan, D.H., 2007. Patophysiology of Pterygium .In: Phillips. R, Carito. G. Pterygium Surgery. McGraw-Hill. 8: 29-30

(43)

Lampiran 1:

RIWAYAT HIDUP / CURRICULUM VITAE

NAMA : Pigamitha Dimar TEMPAT/TANGGAL LAHIR : Lhokseumawe / 18 Maret, 1990 AGAMA : Islam

ALAMAT : Jalan Karya Sei. Agul No. 6, Medan CONTACT INFORMATION : Tel: 085830287281

E-mail: pmmsony@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

2008 – 2011 Universitas Sumatera Utara, Medan. Fakultas Kedokteran

• Program Pendidikan Dokter

September 2006 – Al-Khor International School, Qatar. Juni 2008

Key Stage 5 - A Levels

• Mathematics (Advanced Subsidiary) • Biology (Advanced Subsidiary) • Chemistry (Advanced Level)

September 2005 – Al-Khor International School, Qatar Juni 2006

Key Stage 4 - GCSEs (General Certificate of Secondary Education) or equivalent – subjects and grades optional

(44)

• Geography

• English Language • English Literature

• Information and Communication Technology • Geography

• Art and Design

September 1999 – Al-Khor International School, Qatar Juni 2005

Key Stage 2 & 3 - SATs (Standard Assesment Tests) 1996 – 1999 Sekolah Dasar Taman Siswa I, Aceh

1994 – 1996 Taman Kanak-Kanak Taman Siswa I, Aceh

RIWAYAT ORGANISASI

2011 Panitia Penyambutan Mahasiswa Baru (PMB) 2011 • Kakak Asuh

(45)

Lampiran 2:

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI PESERTA PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama: ……… Usia:………...

Bersedia menjadi peserta dalam penelitian “Prevalensi Pterygium Pada Populasi Penarik Beca Mesin di Sekitar Universitas Utara”.

Penjelasan Pemeriksaan Slit Lamp:

- Pemeriksaan Slit Lamp adalah suatu pemeriksaan yang rutin dilakukan pada pemeriksaan kesehatan mata.

- Alat yang digunakan disebut “Slit Lamp”, yang salah satu fungsinya adalah untuk melihat adanya pterygium, yang terlihat sebagai

pertumbuhan jaringan pada sudut mata yang berbentuk segitiga. - Pada saat pemeriksaan, peserta memasukkan kepalanya ke alat dan

dokter melihat bagian mata menggunakan lampu dan lensa.

- Penetes mata dapat digunakan untuk membesarkan pupil (bagian mata yang hitam ditengah bagian yang berwarna), dan efeknya hanya bertahan sebentar.

Saya telah membaca penjelasan diatas tentang pemeriksaan yang akan dilakukan dan merasa tidak keberatan untuk ikut partisipasi sebagai seorang perserta. Peneliti akan menjamin untuk merahasiakan identitas saya dan juga tidak akan menyalahgunakan data-data yang telah diperoleh dari saya.

Dengan demikian persetujuan ini saya buat tanpa paksaan dari pihak manapun.

(46)

Lampiran 3:

LEMBAR OBSERVASI HASIL PEMERIKSAAN SLIT LAMP

Lokasi pterygium relatif terhadap mata:

Oculo Dextra (OD) Oculo Sinistra (OS)

Medan,…...,2011 Dokter Yang Memeriksa

( ) Hal yang diperiksa Oculo Dextra Oculo Sinistra

1. Pterygium

2. Tingkat Keparahan (Grading)

(47)

Lampiran 4:

(48)
(49)
(50)
(51)

81 Tarno L 31 7

82 Helmi L 21 8

83 Ucok. T L 25 7

84 Erwin L 28 6

85 Reno L 22 7

86 Polis L 29 8

87 Tirto L 29 8

88 Pepen L 21 9

89 Bari L 26 9

90 Alfin L 44 7 1 x x

91 Heru. T L 25 5

92 Bima. N L 27 9

93 Muchtar L 20 7

94 Imran L 23 8

95 Rifqi L 27 9

96 Suhelmi L 49 7

Gambar

Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Diagnosa banding untuk pterygium
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 5.3 Distribusi Responden Dengan Pterygium Berdasarkan Usia
+3

Referensi

Dokumen terkait

Layanan kesehatan (POLINDES) sudah terse- dia di pusat desa. Namun penduduk di dusun - dusun hanya mendapatkan pelayanan rutin sekali sebulan. Persoalan besar dihadapi war- ga

keterangan, dan/atau data kepada setiap pihak yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah dan kewajiban pencantuman harga barang dan/atau jasa dalam Rupiah...

[r]

Penentuan beda tinggi dari setiap detil dilakukan secara trigonometris, dimana pengukuran beda tinggi dengan cara trigonometris adalah suatu proses penentuan beda tinggi

Sesuai dengan teori tentang kaidah-kaidah dalam menerjemahakan, bahwa penerjemahan yang dilakukan dengan metode penerjemahan word-to-word atau lebih dikenal dengan metode

Hameed, Ramzan, Ali, dan Arslan (2014) meneliti tentang pengaruh kompensasi dan kinerja karyawan pada sektor perbankan di Pakistan. Sampel yang digunakan adalah 200

ilmu Pendidikan Islam, tiada istilah terlambat untuk mendalami ilmu dalam. 3 Akhbar

Telah dilakukan penelitian dengan judul Rancang Bangun Heart Rate Monitoring Device Berbasis Mikrokontroler, dengan tujuan merancang Heart Rate Monitoring yang dilengkapi dengan