• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN (Studi Putusan No. 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN (Studi Putusan No. 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN

(Studi Putusan No. 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK)

Oleh :

INTAN KOMALA DEWI

Kejahatan terhadap penganiayaan merupakan salah satu kejahatan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu, salah satunya dapat dilihat dari pelakunya yang bukan lagi hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Salah satu penyebabnya dapat berupa pengaruh lingkungan pergaulan yang kurang baik. Penerapan sanksi pidana bagi anak juga berbeda dengan orang dewasa, selain itu dalam menerapkan sanksi pidana terhadap anak digunakan beberapa pertimbangan, kemampuan bertanggungjawab pelaku atas penjatuhan pidana tersebut, alasan yang meringankan dan memberatkan terdakwa, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, pengaruh tindak pidana yang dilakukan terhadap pelaku, korban dan masyarakat. Permasalahan yang diangkat adalah : (1). Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak yang melakukan penganiayaan, dan (2). Apakah dalam proses peradilan anak hak-hak anak telah terpenuhi berdasarkan Undang Undang Pengadilan Anak.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari hasil penelitian dilapangan yang berupa pendapat-pendapat dan cara kerja aparat penegak hukum yang menjadi responden dan data sekunder yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan. Setelah data-data tersebut diperoleh, maka dilakukan proses editing yang selanjutnya akan dilakukan analisis secara kualitatif.

(2)

penelitian dari LSM Lembaga Advokasi Anak (LADA). Sehingga hal-hal tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 Ayat (2) KUHP. Dengan ini menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 1 (Satu) tahun. Menyangkut kasus penganiayaan yang dilakukan anak dalam proses peradilan yang selama terdakwa jalani dipersidangan, hak-hak anak tersebut cukup terpenuhi. Selain pemeriksaannya secara spisikis dan sosiologis terpenuhi, juga menggunakan undang-undang. Dipersidangan juga diperlakukan dengan baik, dalam proses kasus tersebut terdakwa mendapat perlakuan khusus, dan hak-hak anak pun cukup terlaksana walaupun tidak semuanya terpenuhi mulai dari proses penyidikan, penuntutan, penahanan sampai dengan penangkapan. Pada dasarnya apapun kondisinya anak adalah korban, walaupun anak adalah pelaku kejahatan. Sebagai pelaku kejahatan mereka adalah korban, korban kerasnya kehidupan, korban dari kehidupan keluarga yang kurang beruntung dan korban tidak berpihaknya pembangunan dan kebijakan terhadap anak. Sebagai korban, mereka harus dilindungi dan dijamin untuk mendapatkan hak-haknya. Salah satunya pendidikan, karena dimasa depan anak lah yang akan menjadi penerus bangsa.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan terhadap penganiayaan merupakan salah satu kejahatan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu, salah satunya dapat dilihat dari pelakunya yang bukan lagi hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Salah satu penyebabnya dapat berupa pengaruh lingkungan pergaulan yang kurang baik. Kejahatan juga dapat dikatakan sebagai tindak pidana, dan tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Istilah tindak dipakai sebagai pengganti “strafbaar feit”. Dalam perundang-undangan negara kita dapat dijumpai istilah-istilah lain yang maksudnya juga “strafbaar feit”. Pengertian tindak pidana dalam ilmu hukum pidana antar sarjana yang satu dengan yang lain tidak ada satu kesamaan. Sehubungan meningkatnya kejahatan dimasyarakat sebagaimana dijelaskan dalam rumusan pasal 351 ayat (1,2) KUHP.

(4)

yang menganut “double track system”, yaitu suatu sistem penjatuhan pidana yang didasarkan pada dua jenis sanksi berupa pidana (punishment) dan tindakan (treatment). Dapat juga, bisa dikatakan kesalahpahaman menimbulkan kejahatan yang fatal, misalnya dari persoalan yang dialami masyarakat dapat menimbulkan kesalahpahaman antar sesama. Sehingga kesalahpahaman tersebut dapat memicu adanya perkelahian yang berujung pada penganiayaan. Aksi tersebut dapat mengakibatkan luka-luka berat ataupun sebaliknya. Dalam hal ini dapat mengancam keselamatan korbannya, bahkan meninggal dunia akibat dari penganiayaan.

Korban yang luka-luka dapat dibedakan menjadi luka ringan, luka biasa, dan luka berat. Persoalan mengenai luka diakibatkan oleh kekerasan ini dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada ketentuaan yang mengaturnya, yaitu dalam Pasal 351 sampai dengan Pasal 358.

Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

(5)

kasih sayang, asuhan, bimbingan, dan pembinaan serta pengawasan dari orangtua, wali, atau orangtua asuhannya akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya (Tri Andrisman, 2011 : 11).

Penganiayaan yang dilakukan oleh anak dapat dicontohkan pada kasus berikut ini: Putusan Hakim No. 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK. Atas nama terdakwa Senen Wijaya Bin Husin (16 Tahun), alamat Jl. Imam Bonjol gg. Mawar atas Kel. Sukajawa Tanjung Karang Barat Bandar Lampung, dijatuhi pidana 1 (satu) Tahun penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000.- (dua ribu rupiah). Didalam Undang-Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 mengatakan bahwa, khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam undang-undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, anak yang masih berumur 8-12 Tahun hanya dikenakan Tindakan seperti: dikembalikan kepada orangtuanya, ditempatkan pada organisasi sosial dan diserahkan kepada Negara. Sedangkan anak yang mencapai umur 12-18 tahun dijatuhkan yang terdapat dalam Pasal 25 UUPA.

Persoalan penganiayan anak yang menjadi pelaku, anak juga dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana. Mengenai penjatuhan pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Bab III konsep KUHP 2008 tentang pemidanaan, pidana, dan tindakan, bagian keempat tentang pidana dan tindakan bagi anak, mulai dari Pasal 113 sampai konsep KUHP 2008.

Pasal 113 konsep KUHP 2008 menentukan:

(6)

2. Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana.

Karena anak merupakan generasi penerus bangsa dan dipundaknya terletak tugas bangsa yang belum terselesaikan oleh generasi sebelumnya. Mereka bertugas untuk mengisi dan menjalankan pembangunan baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang nanti sehingga dapat mewujudkan cita-cita mereka sendiri serta mewujudkan cita-cita dari pembangunan negeri ini. Sebagai generasi penerus cita-cita bangsa dan negara, anak harus dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat jasmani maupun rohani.

(7)

berdasarkan pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Perlindungan khusus dan perlakuan khusus anak ini perlu dilakukan, termasuk bila seandainya anak tersebut melakukan suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dengan maksud agar anak tersebut tidak sampai mengalami tekanan jiwa dan jangan sampai proses perkara pidana yang mereka alami akan berpengaruh buruk bagi masa depan dan perkembangan pribadinya. Oleh karena itu terhadap seorang pelaku tindak pidana dalam hal ia melakukan suatu tindak pidana untuk suatu proses peradilan tersendiri. Proses peradilan yang dimaksud tentunya meliputi keseluruhan proses sejak dari penyidikan, penuntutan, persidangan dan eksekusi.

Peradilan anak bukanlah semata-mata hanya untuk menetapkan adanya kesalahan dan menghukumnya, melainkan peradilan anak adalah suatu usaha untuk melakukan koreksi dan rehabilitasi moral, membentuk disiplin anak, sehingga cepat atau lambat anak tersebut dapat kembali kehidupan yang normal dan bukan untuk mengakhiri harapan dan masa depan anak. Singkatnya peradilan pidana anak merupakan suatu aspek perlindungan terhadap anak.

(8)

kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat (Soedarto, 1986: 140).

Hukum kita belum membatasi jenis tindak pidana apa saja yang dapat didakwakan pada anak. Inilah salah satu kelemahan hukum kita yang belum melindungi anak. Pada dasarnya saat ini, anak dapat dipidana untuk semua jenis pelanggaran hukum yang diatur oleh kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Yang dibedakan hanya masa tahanan dan masa hukuman yang dapat dikenakan. Bahkan bagaimana hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dalam proses peradilan anak terhadap pelaku tindak pidana harus diperlakukan berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Dengan kata lain terhadap anak yang melakukan tindakan pidana harus diperlakukan khusus dan ini tidak hanya ketika anak tersebut berada di lembaga permasyarakatan tetapi perlakuan khusus ini harus sudah dimulai sejak anak tersebut berada dilembaga pemasyarakatan dan sudah dimulai sejak anak tersebut mulai dikenalkan pada proses peradilan yakni mulai dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Pengadilan Anak.

(9)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak yang melakukan penganiayaan?

b. Apakah dalam proses peradilan anak hak-hak anak telah terpenuhi berdasarkan Undang Undang Pengadilan Anak?

2. Ruang Lingkup

(10)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan penganiayaan.

b. Untuk mengetahui dalam proses peradilan anak hak-hak anak telah terpenuhi.

2. Kegunaan Penelitian

a. Teoritis

Kegunaan penelitian ini adalah untuk mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar, dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh penulis dan menambah khasanah kepustakaan dibidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum pidana.

b. Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan maupun sebagai sumber informasi bagi para pengkaji ilmu hukum khususnya, serta kepada masyarakat pada umumnya serta dapat bermanfaat sebagai sumber informasi bagi para pihak yang ingin mengetahui dan memahami tentang tindak pidana tersebut yang berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan anak.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

(11)

untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang sangat relevan untuk penelitian (Soerjono Soekanto, 1986 : 123).

Penulisan skripsi ini, perlu dibuat sebuah kerangka teoritis untuk mengidentifikasikan data yang akan menjadi pengantar bagi penulis dalam menjawab permasalahan skripsi yang diangkat.

1. Pertimbangan Hakim

Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga, kalau

sudah dalam sidang semuanya diperlakukan sama. Hakim harus berpegang kepada

Tri Parasetya Hakim Indonesia. Hakim harus dapat membedakan antar sikap

kedinasan sebagai jabatannya sebagai pejabat negara yang bertugas menegakkan

keadilan dengan sikap hidup sehari-hari sebagai bagian dari keluarga dan

masyarakat. Untuk membedakan itu hakim mempunyai kode etik sendiri

bagaimana supaya dia dapat mengambil sikap.

(12)

hakim tidak hanya menetapkan tentang hukumnya, tetapi hakim juga dapat menemukan hukum dan akhirnya menetapkannya sebagai keputusan.

Menurut Sudarto, pedoman pemberian pidana ini akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya setelah terbukti bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Dalam daftar tersebut dimuat hal-hal yang bersifat subyektif yang menyangkut hal-hal yang diluar pembuat. Dengan memperhatikan butir-butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih perlindungan proposional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu (Muladi, 1998: 67-68).

Untuk itu perlu ditetapkan suatu pedoman dan aturan pemberian pidana bagi hakim dalam memberikan keputusannya, di dalam kebebasannya sebagai hakim, ada juga batasnya yang ditetapkan secara objektif. Pedoman pemidanaan ini akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, sehingga akan memudahkan hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan.

Putusan (vonnis) Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK, harus mencantumkan landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis seorang hakim dalam memutus suatu perkara, yaitu :

(13)

b) Landasan sosiologis, yaitu yang berkaitan dengan keadaan masyarakat di sekitar pelaku, yang mana dengan pemberian putusan tersebut diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

c) Landasan yuridis, berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum dalam pengambilan keputusan di persidangan, yang meliputi pembuktian di persidangan, pertimbangan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, hakim wajib pula mempertimbangkan sifat yang baik dan yang tidak baik dari diri terdakwa dalam menentukan berat ringannya hukuman.

2. Dasar Penjatuhan Pidana

Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau memihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

(14)

memerhatikan hal-hal seperti yang tercantum di dalam Pasal 3-10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

3. Teori Pemidanaan terhadap Anak

Secara umum didalam hukum pidana dikenal tiga teori mengenai pemidanaan dan tujuannya, yaitu Teori Absolut yang bertujuan untuk pembalasan terhadap pelaku tindak pidana, Teori Relatif yang bertujuan melindungi masyarakat dan mencegah kejahatan, serta Teori Gabungan antara Teori Absolut dan Teori Relatif yang selain bertujuan untuk pembalasan juga mencegah kejahatan (Tri Andrisman, 2008:19-22). Akan tetapi, berkaitan dengan teori pemidanaan terhadap anak, maka penulis menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai acuan. Di dalam Pasal 16, 17 (1), dan 64 ayat (1) dan (2) undang-undang tersebut telah disebutkan sebagaimana pemidanaan sekaligus perlindungan yang harus dilakukan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,

Saat ini dikenal pula Teori Restorative justice dalam hal penanganan masalah anak yang berkonflik dengan hukum. Menurut Bazemore dan Lode walgrave dalam Marlina, Restorative justice adalah setiap aksi yang pada dasarnya bermaksud melakukan atau membuat keadilan dengan melakukan perbaikan atas kerugian yang terjadi oleh criminal (Marlina, 2009:201). Restorative justice merupakan bentuk dari pelaksanaan diversi (pengalihan proses penyelesaian perkara dari litigasi formal ke non-litigasi atau di luar pengadilan).

(15)

mayarakat mau mendukung supaya ada kompensasi dan perbaikan). Jika nantinya pelaku tertangkap maka pelaku diwajibkan menjalani proses penyembuhan. Pelaku bukan sebuah objek dari Restorative justice melainkan bagian dari pelaksanaan konsep Restorative justice tersebut. Sehingga dapat melaksanakan teori ini, upaya penjatuhan pidana penjara terhadap anak sebagai pelaku kejahatan merupakan upaya terakhir (ultimum remidium) sesuai perintah undang-undang dapat terlaksanakan (Marlina, 2009:203).

Kejahatan terhadap tubuh/badan dikenal dengan istilah “penganiayaan” (mishhandeling). Namun kalau kita baca dalam pasal-pasal yang mengatur tentang Penganiayaan, tidak ada. Ketentuan yang memuat unsur-unsur penganiayaan, sebagaimana halnya pada ketentuan pasal tentang pencurian atau pembunuhan. Untuk itu dapat dilihat dengan ketentuan Pasal 351 ayat (1) sebagai berikut: “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP tersebut dapat diketahui bahwa perumusan nya hanya menggunakan kualifikasi delik saja, maksudnya: perumusan pasal tersebut hanya menyebutkan delik atau tindak pidananya saja, tidak menguraikan unsur-unsur delik. Dengan demikian, untuk mencari apa yang dimaksud dengan penganiayaan harus dipergunakan“interprestasi”.

5. Hak-Hak Anak Dalam Proses Peradilan

(16)

proses peradilan tersebut terdapat perbedaan antara pelaku tindak pidana yang masih berstatus anak dengan mereka yang sudah dewasa. Di mana terhadap pelaku tindak pidana yang masih anak-anak ini adalah lebih mengedepankan pada aspek perlindungan hak-hak dari pada anak tersebut dalam tiap tingkat pemeriksaannya.

Anak dalam pengertian pidana, lebih diutamakan pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah (kurang) dan dalam sistem hukum dipandang sebagai subyek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggung jawaban, sebagai layaknya seorang subyek hukum yang normal.

Sembilan hak-hak anak yang kiranya perlu diperhatikan dan diperjuangkan (Wagiati Soetodjo ( 2005:69 )) dalam skripsi saya yaitu :

a) Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah, maksudnya seorang anak harus menjelaskan terlebih dahulu kronologis yang sebenarnya terjadi tanpa melebihkan ataupun mengurangkan fakta yang ada, serta diberi kesempatan untuk menyangkal keterangan saksi-saksi apabila keterangan yang ada dapat merugikan diri anak tersebut;

(17)

c) Hak mendapat pendamping dari penasehat hukum, maksudnya saat persidangan dilaksanakan sampai persidangan tersebut berakhir seorang anak wajib didampingi;

d) Hak mendapat fasilitas transfort serta penyuluhan dalam ikut serta memperlancar pemeriksaan, maksudnya selama mengikuti proses kasus tersebut seorang anak wajib mendapatkan fasilitas transfort serta lancarnya jalan pemeriksaan terhadap anak tersebut;

e) Hak untuk menyatakan pendapat, maksudnya seorang anak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, benar atau tidaknya fakta-fakta dipersidangan baik keterangan saksi maupun saksi korban;

f) Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya, maksudnya dalam persidangan anak harus tertutup demi kepentingan si anak agak tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan;

g) Hak untuk mendapat pembinaan yang manusiawi sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan ide permasyarakatan, maksudnya seorang anak harus mendapat perhatian dari para penegak hukum dalam hal perlindungan serta pembinaan terhadap anak tersebut, karena dalam hal ini pelaksanaan hak dan kewajiban bagi anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapatkan bantuan dan perlindungan agar seimbang dan manusiawi;

(18)

i) Hak untuk dapat berhubungan dengan orangtua dan keluarganya, maksudnya dalam persidangan selain didampingi oleh penasehat hukum sendiri, seorang anak wajib didampingi keluarga khususnya orangtua.

Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia . Agar perlindungan anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan bertanggungjawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Wujud dari suatu keadilan adalah di mana pelaksanaan hak dan kewajiban seimbang. Pelaksanaan dan kewajiban bagi anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapat bantuan dan perlindungan agar seimbang dan manusiawi. Perlu kiranya digarisbawahi bahwa kewajiban bagi anak harus diperlakukan dengan situasi, kondisi mental, fisik, keadaan sosial dan kemampuannya pada usia tertentu.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang mempunyai arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti atau diketahui ( Soerjono Soekanto, 1986: 132 ).

Dibawah ini ada beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam skripsi ini.

a. Analisis

(19)

( Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, 2008 : 58 ).

b. Pertimbangan

Pertimbangan pendapat tentang baik dan buruk, memikirkan baik-baik untuk menentukan atau memutuskan sesuatu ( Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, 2008 : 1465 ).

c. Hakim

1. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP).

2. Secara etimologi Hakim mempunyai 2 pengertian:

1. Pembuat hukum, yang menetapkan hukum, yang memunculkan hukum, yang menjadi sumber hukum, yang menerbitkan hukum.

2.Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyikapkan hukum.

d. Penjatuhan

Penjatuhan adalah proses, cara, perbuatan menjatuhkan suatu pidana ,yang berhubungan dengan pernyataan hakim dalam memutuskan perkara dan menjatuhkan hukuman ( Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, 2008 : 570 ).

e. Sanksi

(20)

f. Penganiayaan

Penganiayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), luka atau merusak kesehatan orang (R. Soesilo, 1990:245).

g. Anak

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin ( Pasal 1 angka 1 UUPA).

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Guna memudahkan pemahaman skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka berisi beberapa pengertian serta pemahaman terhadap objek penelitian dan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian di dalam skripsi ini.

III. METODE PENELITIAN

(21)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas mengenai pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi ini, yaitu karakteristik responden, mengenai apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak yang melakukan penganiayaan serta apakah dalam proses peradilan anak hak-hak anak telah terpenuhi.

V. PENUTUP

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Kegunaan tinjauan pustaka (library research) di dalam suatu penelitian adalah untuk memperdalam pemahaman tentang masalah yang hendak diteliti. Tinjauan pustaka dapat diperoleh dari studi linteratur dan pengamatan terhadap hasil-hasil penelitian para peneliti terdahulu.

Pada dasarnya bentuk bahan pustaka dapat digolongkan dalam empat golongan pokok, yaitu:

1. Buku/monograf;

2. Terbitan berkala/terbitan berseri 3. Brosur/pamphlet

4. Bahan non-buku (Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1995:28-29).

A. Pengertian, Kebebasan dan Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Pengertian hakim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) memberi tiga

definisi hakim, yaitu:

1. Orang yang mengadili perkara (di pengadilan atau mahkamah)

2. Pengadilan, atau

3. Juri penilai

Sedangkan dalam Kamus Hukum karya JCT Simorangkir, Rudy T Prasetya, dan

J.T. Prasetyo secara sederhana mengartikan hakim sebagai petugas pengadilan

yang mengadili perkara. Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai

(23)

Tugas utama hakim adalah mengadili yaitu serangkaian tindakan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana menentukan mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.

Menurut Sudarto, hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut (Sudarto, 1986:74):

1. Keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, dan kemudian

2. Keputusan mengenai hukumnya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana, dan akhirnya

3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga, kalau

sudah dalam sidang semuanya diperlakukan sama. Hakim harus berpegang kepada

Tri Parasetya Hakim Indonesia. Hakim harus dapat membedakan antar sikap

kedinasan sebagai jabatannya sebagai pejabat negara yang bertugas menegakkan

keadilan dengan sikap hidup sehari-hari sebagai bagian dari keluarga dan

masyarakat. Untuk membedakan itu hakim mempunyai kode etik sendiri

bagaimana supaya dia dapat mengambil sikap.

(24)

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Hal di atas ditegaskan kembali dalam pengertian kekuasaan kehakiman yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut hakim dalam memeriksa seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana pada proses persidangan harus memerhatikan hal-hal seperti yang tercantum di dalam Pasal 3-10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 sebagai berikut:

Pasal 3 menentukan:

(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan,

(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4 menentukan:

(25)

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 5 menentukan:

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum. (3) Hakim dan hakim konstitusi wajib mentaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Hakim

Pasal 6 menentukan:

(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Tidak seorang pun dapat dijstuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Pasal 7 menentukan:

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 8 menentukan:

(1) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Pasal 9 menentukan:

(26)

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.

Pasal 10 menentukan:

(1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menuntut usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Undang-undang memberikan syarat-syarat kepada hakim dalam menjatuhkan pidana bagi seseorang. Syarat-syarat tersebut adalah:

a) Karena pembuktian yang sah menurut undang-undang;

b) Untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah (Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP));

c) Adanya keyakinan hakim;

d) Orang yang melakukan tindak pidana (pelaku) dianggap dapat bertanggungjawab;

e) Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang didakwakan atas diri pelaku tindak pidana tersebut.

(27)

Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman menyebutkan bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penerapan dan putusan yang dibuatnya. Penetapan dan putusan tersebut harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

Adanya Undang-Undang No.48 Tahun 2009, maka kebebasan hakim semakin besar, dimana hakim selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan pidana (straf modus atau straf modalitet), juga mempunyai kebebasan untuk menemukan hukum (rechtsvinding) terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang, atau dengan kata lain hakim tidak hanya menetapkan tentang hukumnya, tetapi hakim juga dapat menemukan hukum dan akhirnya menetapkannya sebagai keputusan.

(28)

mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, sehingga akan memudahkan hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan. Dari uraian di atas, dapat diketahui betapa pentingnya peranan hakim dalam menjatuhkan suatu pidana atau putusan terhadap suatu perkara yang ditandatanganinya. Hakim dituntut benar-benar memahami tuntutan dari jaksa yang diajukan dalam persidangan untuk benar-benar menegakkan keadilan sesuai dengan hukum.

Putusan hakim merupakan pertanggungjawaban hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya ditujukan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun kepada masyarakat luas. Pada akhirnya, bagaimanapun isi putusan suatu perkara, selama Hakim memegang independensinya, maka suatu putusan selalu dapat dipertanggungjawabkan tetapi yang lebih penting lagi putusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Putusan (vonnis) Hakim harus mencantumkan landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis seorang hakim, yaitu:

1. Landasan filosofis, yaitu yang berkaitan dengan tujuan dijatuhkannya putusan terhadap pelaku yang lebih mengarah kepada perbaikan diri si pelaku dari pada pemberian hukuman atau pidana.

(29)

3. Landasan yuridis, berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum dalam pengambilan keputusan di persidangan, yang meliputi:

a) Pembuktian di persidangan, diperlukan pembuktian yang sah menurut undang-undang sehingga seseorang dapat diadili dan dijatuhi pidana. b) Pertimbangan Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu

perkara selanjutnya adalah pada dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

c) Hakim wajib pula mempertimbangkan sifat yang baik dan yang tidak baik dari diri terdakwa dalam menentukan berat ringannya hukuman.

Landasan filosofis dan sosiologis, penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat yang terabaikan. Jelas penerapannya sangat sulit sebab tidak mengikuti asas legalitas dan tidak terikat pada system. Pencantuman ketiga unsur tersebut tidak lain agar putusan dianggap adil dan diterima masyarakat.

B. Sistem Penjatuhan Hukuman (Sanksi) Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak

(30)

“Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya bertanggungjawab pada pembinaan, pendidikan, dan pengembangan prilaku anak tersebut.

Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap anak nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orangtua nya. Apabila karena hubungan antara orangtua dan anak kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat, sehingga perlu memisahkan anak dari orangtuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar.

Dalam penyelesaian perkara anak nakal, hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang dihimpun oleh pembimbing kemasyarakatan mengenai data pribadi maupun keluarga dari anak yang bersangkutan. Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan hakim dapat memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi anak yang bersangkutan.

Putusan Hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menurut masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggungjawab bagi kehidupan keluarga, bangsa, dan negara”.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA, maka batas umur anak yang dapat dijatuhi hukuman dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan sebagai berikut:

(31)

Anak yang berada dalam tingkatan batas umur di atas, maka penjatuhan hukumannya disesuaikan dengan batasan umur menurut tingkatan tersebut diatas, maka penjatuhan hukumannya disesuaikan dengan batasan umur menurut tingkatan tersebut di atas. Dalam hal ini aparat penegak hukum, benar-benar dituntut untuk mendalami ketentuan-ketentuan mengenai penjatuhan hukuman yang ada dalam UUPA.

Tingkatan umur diatas berdasarkan ketentuan UU pengadilan anak sebelum ada perubahan berdasarkan putusan mahkamah konstitusi nomor 1/PUU-VIII/2010, yang menyatakan batas umur anak 8 (delapan) tahun dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bersyarat, kecuali dimaknai sebagai 12 (dua belas) tahun. Maksud dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah bahwa batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah 12 tahun ke atas. Dengan demikian tingkatan umur diatas dirubah menjadi:

1. Batasan umur tingkat pertama, yaitu anak yang berumur antara 0-8 tahun berubah menjadi 0-12 tahun.

2. Batasan umur tingkat kedua, yaitu anak yang berumur antara 8-12 tahun berubah menjadi 12-14 tahun.

3. Batasan umur tingkat ketiga, yaitu anak yang berumur antara 12-18 tahun berubah menjadi 14-18 tahun.

(32)

C. Pengertian dan Pengaturan Penganiayaan

1. Pengertiaan Penganiayaan

Salah satu kejahatan yang ditujukan kepada tubuh/badan yaitu tindak pidana penganiayaan. Pada kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur mengenai tindak pidana penganiayaan tersebut.

Penganiayaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah dimuat sebagai berikut perlakuan yang sewenang-wenang (penyiksaan, penindasan, perbuatan kekerasan dengan sengaja terhadap seseorang). Pengertian penganiayaan yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang menyangkut “Perasaan” atau “Batiniah”. Sementara penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia.

M.H Tirtamidjaja membuat pengertian “Penganiayaan” sebagai berikut: menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan (Fasco, 1955:174).

Menurut jurisprudensi pengadilan maka yang dinamakan penganiayaan yaitu : a. Sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan).

b. Menyebabkan rasa sakit (pijn) c. Menyebabkan luka

(33)

a. Menyebabkan perasaan tidak enak b. Rasa sakit (pijn)

c. Luka

d. Merusak kesehatan

Semua itu harus dilakukan dengan sengaja dan tanpa maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan. Umpamanya seorang dokter gigi mencabut gigi dari pasiennya. Sebenarnya ia sengaja menimbulkan rasa sakit, akan tetapi perbuatan yang ia lakukan bukan penganiayaan karena atas izin pasien yang akan dicabut giginya dan bermaksud baik (mengobati). Seorang bapak memukul dengan satu tangan, karena anak itu nakal. Inipun sebenarnya suatu penganiayaan, karena sengaja menimbulkan rasa sakit, tetapi karena ada maksud yang patut (mengajar) peristiwa itu tidak dianggap sebagai penganiayaan yang dapat dihukum. Walaupun demikian kedua peristiwa tersebut diatas bila dilakukan dengan melewati batas yang diizinkan, misalnya dokter tadi mencabut gigi dengan sengaja tidak memakai suntikan mati rasa atau seorang bapak tadi mengajar anaknya dengan sepotong besi dan dipukulkan kekepalanya, maka perbuatan tersebut termasuk penganiayaan.

2. Pengaturan dan Jenis-Jenis Penganiayaan

Secara umum “penganiayaan” yang di atur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri dari:

(34)

Yang penjelasannya sebagai berikut: a. Penganiayaan biasa

Pasal 351 KUHP menjelaskan sebagai berikut:

1. Penganiayaan diancam dengan penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau didenda paling banyak tiga ratus ribu rupiah.

2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah akan dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.

3. Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal ini mengatur mengenai tindak pidana penganiayaan (biasa). Yang termasuk pasal 351 ayat (1) adalah bukan penganiayaan ringan, bukan penganiayaan berat atau berencana dan pula tidak mengakibatkan luka berat atau matinya seseorang. Sementara pasal 351 ayat (2) mengatur mengenai penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, maka ancaman pidananya lebih berat, yaitu paling lama lima tahun pidana penjara. Pasal 351 ayat (3) mengatur mengenai penganiayaan yang mengakibatkan kematian, maka ancaman meningkat lagi menjadi paling lama tujuh tahun pidana penjara.

(35)

Yang eksekuensinya adalah:

a. Jika luka berat itu disengaja, maka timbul bukan penganiayaan (biasa), akan tetapi tindak pidana penganiayaan berat (pasal 354 ayat (1) KUHP). Ancaman pidana nya paling lama delapan tahun pidana penjara.

b. Ketika kematian itu disengaja, maka diancam dengan tindak pidana pembunuhan (pasal 338 KUHP). Ancaman pidana nya paling lama lima belas tahun pidana penjara.

Sementara itu, pasal 351 ayat (5) mengatur mengenai percobaan penganiayaan biasa dan penganiayaan ringan tidak diancam pidana. Dalam praktik seringkali perumusan ini tidak memuaskan.

b. Penganiayaan Ringan

Tindak pidana ini diatur dalam pasal 352 KUHP, yang berbunyi:

1. Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, misalnya penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus ribu rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

2. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana Pasal tersebut diatas dapat diketahui bahwa, kriteria dari penganiayaan ringan adalah:

a. Tidak termasuk dalam rumusan pasal 353 dan 356 KUHP

(36)

c. Penganiayaan Berencana

1. Penganiayaan (Biasa) Berencana

Hal ini diatur dalam Pasal 353 yang berbunyi:

1. Penganiayaan dengan berencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah akan dikenakan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

3. Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) tahun.

Berdasarkan pasal ini, penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu secara tenang, maka pelaku tindak pidana ini diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Sementara pada Pasal 353 ayat (2) dijelaskan jika mengakibatkan luka berat, maka ancaman pidananya paling lama 7 (tujuh) tahun pidana penjara. Didalam Pasal 353 ayat (3) lebih dijelaskan lagi, apabila penganiayaan tersebut mengakibatkan kematian, maka ancaman pidananya paling lama 9 (Sembilan) tahun penjara.

2. Penganiayaan Berat Tanpa Berencana

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP yang berbunyi:

1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana paling lama 8 (delapan) tahun.

(37)

Berdasarkan ketentuan pasal diatas dapat kita ketahui penjatuhan pidana lebih berat, apabila penganiayaan berat yang dilakukan terlebih dahulu direncanakan.

3. Penganiayaan Berat Berencana

Hal ini diatur dalam Pasal 335 ayat (1) dan (2), yang bunyinya:

1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan berencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

2. Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Berdasarkan pasal yang disebut diatas dapat diketahui bahwa kriteria perencanaan ini tidak perlu tenggang waktu yang lama antara waktu perencanaan dengan waktu penganiayaan. Sementara itu, meskipun ada tenggang waktu yang lama belum tentu ada penganiayaan berencana.

Penentuan ini tergantung dari keadaan kongkrit setiap peristiwa. Jika kita hubungkan penganiayaan dengan pembelaan terpaksa maka yang kita dapatkan adalah penganiayaan yang dilakukan karena suatu pembelaan terpaksa, yang dimana yang melakukan penganiayaan karena didorong oleh adanya pembelaan terhadap dirinya (pembelaan terpaksa).

D. Pengertian Anak

(38)

“anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Anak mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam bangsa, Negara, masyarakat, maupun keluarga. Anak merupakan harapan masa depan bagi bangsa, Negara, masyarakat, ataupun keluarga (Darwin Prinst, 1997:98).

Berdasarkan ketentuan diatas, jika dalam ketentuan-ketentuan pasal selanjutnya dalam undang-undang pengadilan anak ada istilah anak, maka pengertiannya mengacu pada pasal 1 angka (1) ketentuan umum. Tidak perlu dijelaskan kembali apa yang dimaksud dengan anak.

Batasan usia anak ditentukan dalam undang-undang pengadilan anak adalah berada diantara batas 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sehubungan dengan batas usia anak yang diatur diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Anak ini perlu diperhatikan pendapat Tri Andrisman (2006:35) sebagai berikut :

“Mengenai batasan usia anak yang dapat diajukan kesidang pengadilan sebagai mana ditentukan oleh UUPA diatas, penulis kurang sependapat dengan batas usia minimal 8 (delapan) tahun. Menurut hemat penulis, akan lebih baik apabila batas usia tersebut ditinggikan menjadi 12 (dua belas) tahun. Jadi batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan adalah 12 sampai 18 tahun.”

Selanjutnya dijelaskan oleh Tri Andrisman (2006:35) sebagai berikut :

(39)

dan berhitung. Jadi belum dapat memikirkan dengan matang perbuatan yang dilakukan.”

Begitu pula untuk batasan “belum pernah kawin”, sebaiknya dihapuskan saja, karena tidak ada bedanya antara anak yang berusia 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun belum pernah kawin dan yang sudah kawin. Menurut penulis, anak yang berusia 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun sudah pernah kawin, pengetahuan sosialnya tidak berkembang, karena sibuk mengurusi keluarga dan ekonomi keluarga. Sehingga anak yang berusia 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dan pernah kawin, dianggap dewasa berdasarkan selembar kertas yang disebut “surat nikah”, dewasa karena status menikah yang disandangnya. Sedangkan hal-hal lainnya sama saja dengan anak yang belum pernah kawin (Tri Andrisman, 2006:35).

Ada beberapa kaitan dengan batasan atau tingkatan usia, dapat dibandingkan dengan pengaturan anak dalam peraturan perundangan lain, sebagai berikut :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP tidak memberikan rumusan secara eksplisir tentang pengertian anak, tetapi pembatasan usia anak dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 (enam belas) tahun, yaitu:

a. Pasal 45

(40)

orangtuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana ataupun, atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apapun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, dan putusannya menjadi tetap atau menjatuhkan pidana.

b. Pasal 72

(1) Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umur atau orang yang dibawah umur pengampunan karena satu sebab lainnya keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata. (2) Jika itu tidak ada, atau harus diadukan sendiri, maka penuntutan dilakukan

atas pengaduan wali pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas, atau pengampu pengawas, juga mungkin atas pengaduan istrinya, atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus atau jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.

2) KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981)

(41)

3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Pasal 330 ayat (1) BW membuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerjarigheid), yaitu 21 tahun, kecuali anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan (Pasal 419).

4) Undang-Undang Nomor 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pasal 1 angka (2): “Anak adalah seorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belumpernah kawin”.

5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 1 angka (5): “Anak adalah setiap manusia yang berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebutadalah demi kepentingannya “.

Sebagai perbandingan dalam pengaturan batas usia anak dinegara-negara lain, berikut ini dipaparkan batasan usia anak di berbagai Negara menurut Sri Widoyati WS. dalam Tri Andrisman :

1. Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batasan umur antara 8-18 Tahun, sementara 6 negara bagian menentukan antara 8-16 Tahun ;

2. Inggris, menentukan batasan antar 12-16 Tahun;

3. Australia, sebagian besar Negara bagian menentukan batasan umur antara 8-16 Tahun:

(42)

6. Iran, menentukan batasan umur antara 6-18 Tahun;

7. Jepang dan Korea, menentukan batasan umur antara 14-20 Tahun; 8. Taiwan, menentukan batasan umur antara 14-18 Tahun;

9. Kamboja, menentukan batasan umur antara 15-18 Tahun; 10. Filipina, menentukan batasan umur antara 7-16 Tahun; 11. Malaysia, menentukan batasan umur antara 7-18 Tahun;

12. Singapura, menentukan batasan umur antara 7-16 Tahun (Tri Andrisman, 2011:41-42).

(43)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan menelaah dan mengkaji konsep-konsep, teori-teori serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak yang melakukan penganiayaan. Pendekatan seperti ini digunakan untuk menemukan sumber data yang bersifat teori yang digunakan untuk memecahkan masalah di dalam penelitian melalui studi kepustakaan yang meliputi berbagai macam linteratur, peraturan perundang-undangan, serta dokumen resmi yang berkaitan dengan masalah yang akan di teliti seperti Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1794/PID.B (A)/2009/PN.TK.

(44)

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian dilapangan. Data primer ini di dapatkan dengan cara melakukan wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang; Kejaksaan Tinggi Lampung; Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung; LSM Lembaga Advokasi Anak (LADA) Bandar Lampung.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji linteratur-linteratur, pasal-pasal dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penganiayaan yang dilakukan anak. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, antara lain:

1) KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);

2) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana); 3) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 4) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 5) Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 6) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

(45)

penelitian, dan petunjuk teknis maupun pelaksanaan yang berkaitan dengan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak yang melakukan penganiayaan (Studi Putusan Pengadilan No. 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK).

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, terdiri dari KUHP dan KUHAP, buku-buku linteratur,karya ilmiah, hasil penelitian, kamus, surat kabar, serta data yang bersumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi atau universe adalah seluruh objek dan seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990:4).

Populasi atau universe adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama (Soerjono Soekanto, 1986:172).

(46)

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasi tersebut (Burhan Ashshofa, 2004:79). Metode pengambilan sample di dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel berdasarkan atas pertimbangan tujuan penelitian secara subyektif dari peneliti, pemilihan sampel atau responden disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi (Burhan Ashshofa, 2004:91). Sampel di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang 2. Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang 3. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang 4. LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) Bandar Lampung : 1 orang +

Jumlah : 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi lapangan dan studi kepustakaan. Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Studi lapangan ini dilakukan dengan metode wawancara terpimpin, yaitu dengan mengajukan pertanyaan kepada para responden yang telah ditentukan dimana pertanyaan tersebut telah disiapkan terlebih dahulu.

(47)

bahan-bahan hukum dan linteratur yang ada relevensinya dengan permasalahan yang akan dibahas.

.

2. Pengolahan Data

a. Editing Data, yaitu memeriksa data yang keliru, dan melengkapi data yang kurang lengkap;

b. Klasifikasi Data, yaitu pengelompokan data menurut pokok bahasan yang sesuai;

c. Sistematisasi Data, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan, sehingga mudah dipahami.

E. Analisis Data

(48)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

(49)

pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 1 (Satu) tahun dan membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000,- (dua ribu rupiah).

(50)

B. Saran

Dalam rangka sistem penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan penganiayaan, disarankan antara lain yaitu :

1. Penegak hukum agar dapat lebih memperhatikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

2. Dalam penegakan hukum pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak sebaiknya hakim memutus terdakwa yang dalam perkara ini terdakwa adalah anak di bawah umur (belum mencapai 18 tahun) diberikan tindakan (pembinaan atau rehabilitasi) bukan dengan menjatuhkan sanksi pidana sebagaimana diatur didalam Pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak, karena Pada dasarnya apapun kondisinya anak adalah korban, walaupun anak adalah pelaku kejahatan. Sebagai pelaku kejahatan mereka adalah korban, korban kerasnya kehidupan, korban dari kehidupan keluarga yang kurang beruntung dan korban tidak berpihaknya pembangunan dan kebijakan terhadap anak. Sebagai korban, mereka harus dilindungi dan dijamin untuk mendapatkan hak-haknya. Salah satunya pendidikan, karena dimasa depan anak lah yang akan menjadi penerus bangsa.

(51)

(STUDI PUTUSAN NO. 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK)

Oleh

INTAN KOMALA DEWI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(52)

(STUDI PUTUSAN NO. 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK)

Oleh

INTAN KOMALA DEWI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(53)

(STUDI PUTUSAN NO. 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK)

(Skripsi)

Oleh :

INTAN KOMALA DEWI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(54)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 18

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Kebebasan dan Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana ... 20

B. Sistem Penjatuhan Hukuman (Sanksi) Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak ... 27

C. Pengertian dan Pengaturan Penganiayaan ... 30

D. Pengertian Anak ... 35

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 41

B. Sumber dan Jenis Data ... 42

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 43

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 44

(55)

B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK ... 47 C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Terhadap

Anak yang Melakukan Penganiayaan (Studi Putusan Pengadilan

No.1794/PID.B(A)/2009/PN.TK) ... 50 D. Hak-Hak Anak dalam Proses Peradilan Anak berdasarkan

Undang-Undang Pengadilan Anak ... 62

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 74

(56)

Andrisman, Tri. 2004.Bahan Kuliah Hukum Pidana.Fakultas hukum Universitas Lampung. Bandar Lampung.

2009. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

2011.Buku Ajar Hukum Peradilan Anak. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

. 2011. Hukum Peradilan Anak. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Ashshofa, Burhan. 2004.Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Chazawi, Adami. 2002.Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta. Raja Grafindo persada. . 2004.Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

. 2007. Stelsel Pidana, Tindak Pidana. Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana.Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi).

Ghalia Indonesia. Jakarta.

2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Marlina, 2009.Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Refika Aditama. Bandung . Moeljatno. 2008,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta Muladi, dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni,

Bandung.

Poerwandaminta, W.J,S. 1995.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.

(57)

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Angkasa. Jakarta.

1983.Perbuatan Pidana dan PertanggungjawabanPidana. Aksara Baru Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum, UI Press. Jakarta dan Sri Mamudji. 1995.Penelitian Hukum Normatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Soetodjo, Wagiati. 2005.Hukum Pidana Anak. Refika Aditama. Bandung

Tim Peningkatan Penggunaan Bahasa Ilmiah. 2007. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Tim Penyusun Kamus Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Partemen Bahasa Edisi keempat. Depatemen Pendidikan Nasional, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tim Wipress. 2006.KUHP dan KUHAP. Wacana Intelektual Press. Jakarta.

Zainal Abidin, Andi. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni. Bandung.

Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

(58)

(STUDI PUTUSAN NO. 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK)

Nama Mahasiswa :Intan Komala Dewi

No. Pokok Mahasiswa : 0812011190

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1.Komisi pembimbing

Gunawan Jatmiko, S.H.,M.H. Maya Shafira, S.H.,M.H. NIP. 19600406 198903 1 003 NIP. 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(59)

1. Tim Penguji

Ketua :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H. ...

Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H.,M.S NIP. 19621109 198703 1 003

(60)

Hanya orang takut yang bisa

berani, karena keberanian adalah

melakukan sesuatu yang

ditakuti.

(Mario Teguh)

Adil baik untuk merayakan

kesuksesan, tetapi adil lebih

penting untuk mengambil

pelajaran dari kegagalan.

(61)

Dengan Ketulusan Hati dan Semangat Juang

Karya Kecil Ini Untuk:

Ayah Dan Ibunda Ku Tercinta

Sudjana Salim dan Syawalina, A.Ma

yang memberi aku kasih

sayang yang tak terkira, dengan sabar engkau mendidik dan

menuntun anak-anakmu, dengan ketekunan engkau

mendoakan dan menunggu keberhasilan anak-anakmu.

Saudara-saudara ku

Ficri Novaldi, Fernia Yunita, Fera Juniar, S.Si dan Agum

Gumelar (Alm)

Keluarga Besar ku

Odo Nda, Fitriana, S.Pdi, Nurlaili, Khoirunnisa, Faridha Hanum,

dan keponakan yang paling aku sayangi Nazwa Aurelia H.

Dan

Seseorang yang dengan sabar dan setia menyemangati dan

menolong dan membantu dalam suka dan duka.

Serta

(62)

Penulis dilahirkan di Kota Agung pada tanggal 20 juni 1990. Penulis

merupakan anak keempat dari pasangan Bpk. Sudjana Salim dan Ibu

Syawalina A.Ma. Pendidikan di TK Darmawanita Kota Agung

diselesaikan pada Tahun 1996, Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri

1 Pasar madang Kota Agung diselesaikan pada tahun 2002,

dilanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Diniyyah Putri Lampung yang diselesaikan pada

tahun 2005. Pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) diselesaikan pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahsiswi di Fakultas Hukum Universitas

Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) di

Perguruan Tinggi Negeri Univerrsitas Lampung dan mengambil Jurusan Hukum Pidana.

Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2011 di Desa Kedaung,

Kecamatan Pardasuka, Kabupaten Pringsewu. Selama menjadi mahasiswi, penulis mengikuti

(63)

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini izinkan Penulis mengucapkan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan, dan mendukung Penulis selama penulisan skripsi ini dengan penuh perhatian dan kesabaran.

(64)

6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I dan Ibu Dona Raisa M, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang dengan ikhlas memberikan bimbingan dan bantuannya selama Penulis menempuh masa studi serta telah berkenan menuangkan waktu, saran, masukan, dan kritik yang membangun kepada Penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Deni Achmad, S.H.,M.H., selaku Narasumber yang telah meluangkan waktu dan telah memberikan saran kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. 8. Ibu Aprilianti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

banyak membantu dan memberikan ilmu selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum, terimakasih atas bantuannya.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak memberikan ilmu, khususnya ilmu hukum kepada Penulis.

10. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung baik dibidang kemahasiswaan maupun akademik, terkhusus Mbak Sri dan Mbak Yanti yang telah banyak membantu Penulis demi kelancaran skripsi ini, terimakasih atas bantuannya.

11. Bapak Jarno Budiyono, selaku Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang sudah memberikan waktu dan tempatnya, sehingga penulis dapat melakukan penelitian dengan baik.

(65)

penelitian dengan baik.

14. Kedua Orang Tuaku Tercinta Ayahanda Sudjana Salim dan Ibundaku Syawalina tersayang, kupersembahkan karya kecil ini sebagai tanda baktiku, terimakasih yang tiada terkira atas doa, limpahan kasih sayang yang telah diberikan sampai saat ini.

15. Kakak-kakakku Ficry Novaldy, Fernia Yunita, Fera Juniar dan Adikku Agum Gumelar (Almarhum) yang dengan kesetiannya memberikan semangat dan kesabaran serta doa yang tak pernah pudar.

16. Sahabat terbaikku; Dina Maryana, Faradhila Putri, Ira Quwaity Saragih, Hartiani Wibowo, Selvi Diah, Ranty Setya Cipta, Merita Putri, Desi Handayani, Indah syafitri, Adelia Rizky, M. Habi, Shinta Pratiwi, Nai, Ririn Hardiani dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas persahabatan yang tidak akan terlupakan, doa dan bantuan dari kalian.

17. Teman-teman seperjuangan; Anggun, Uni Ratih, Windy, Resi, Yopi, LingLing, Muti, Feni, Deni Abdi, icha, Muin, Made, Doni, Gea, Taufik, Agus, Vera, Sari, Wirda, Ade dan teman-teman seangkatan FH 2008 serta temen-temen yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuan dan kebersamaannya.

(66)

19. Keluarga Besar Pusat Studi dan Bantuan Hukum Universitas Lampung terimakasih atas bantuan dan kebersamaannya.

20. Semua Pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik itu berupa moril maupun materiil selama menempuh studi.

Hanya kepada Allah SWT penulis memanjatkan doa, semoga semua amal kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih besar dari Allah SWT. Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin..

Bandar Lampung, 30 April 2012 Penulis

Referensi

Dokumen terkait

This study aims at investigating the implementation of Scientific Approach in English teaching viewed from (1) the teachers’ understanding about Scientific Approach, (2) the

In this instance, the optimal control design to improve the time response of dc voltage on load change based on linear quadratic regulator with integral action is proposed whereby

Oleh karena itu berdasarkan hal yang tertera di atas maka penulis menarik kesimpulan untuk mengambil masalah keperawatan dengan harga diri rendah pada Sdr.P di ruang

Judul Tesis Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Lampung Propinsi Lampung.. Aminudin 98426

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengarang narasi siswa melalui media Teks Wawancara pada pelajaran Bahasa Indonesia yang berdampak pada hasil

Metode tes digunakan untuk memperoleh data tentang hasil belajar matematika pada pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Datar. Teknik tes ini dilakukan setelah perlakuan diberikan

Elastisitas penawaran output (jagung) baik di Provinsi Jawa Timur maupun di Jawa Barat terhadap perubahan harga sendiri adalah elastis, sedangkan terhadap perubahan harga

B. aconitus dan Cx.. Uji ooba strain lokal bacillus thuringiensis. Kedalam mangkok plastik, selanjutnya dimasukkan 20 ekor jentik nyamuk instar I11 yang diuji. Masing-masing