ANALISIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PUTUSAN PERKARA NO:325/PID. B/2007/PN.JAK.SEL
TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP
ANAK
Oleh:
Adhiaksari Hendriawati (105043201317)
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
ANALISIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PUTUSAN PERKARA NO: 325/ PID. B/ 2007/ PN. JAK. SEL
TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Adhiaksari Hendriawati
NIM : 105043201317
Di Bawah Bimbingan,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.H.Muhammad Taufiki,M.Ag Dedy Nursamsi,M.Hum
NIP : 150 290 159 NIP : 150 264 001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “ANALISIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PERKARA NO:325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL
TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK”
telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum.
Jakarta, 8 Juni 2009 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
Nip: 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM. (…………....….…………)
Nip: 150 210 422
2. Sekretaris : Dr.H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (………...………)
Nip: 150 290 159
3. Pembimbing I : H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (………...………)
4. Pembimbing II : Dedy Nursamsi,M.Hum (……….…)
Nip: 150 264 001
5. Penguji I : Dr. H. A. Mukri Adji, MA. (……….)
Nip: 150 220 544 6. Penguji II : Nahrowi,MH.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 26 Mei 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., penulis panjatkan atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang telah membawa dari masa kegelapan kepada masa yang terang benderang.
Skripsi yang berjudul: “Analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap Putusan Perkara No: 325/ Pid. B/ 2007/PN. JAK. SEL tentang Tindak
Pidana Pencabulan terhadap Anak” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Bpk. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bpk. Dr.H.A. Mukri Adji, MA, selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum serta Bpk. Dr.H.Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum serta selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan motivasi yang berharga selama proses penulisan skripsi ini.
3. Bpk. Dedy Nursamsi, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, perhatian dan motivasi yang berharga selama proses penulisan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan penuh keikhlasan dan ketulusannya mencurahkan ilmu pengetahuan, bimbingan serta motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan.
5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yakni Ibu Lilik Istiqoriah,S.Ag.,SS., Bpk. Zuhri,S.IP., dan Bpk Romdani,SE. yang baik hati, serta Om Farhan,S.Ei., yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.
itu juga, telah membantu penulis dalam mendapatkan data primer (Putusan) untuk penulisan skripsi ini.
7. Ayahanda tersayang Hendro Djoko Utomo, SH (Alm) yang telah memberikan penulis inspirasi dan motivasi untuk meneruskan perjuangannya sebagai praktisi hukum, serta Ibunda tersayang Endang Trisnowati yang telah memberikan dorongan, motivasi dan semangat baik materiil maupun moril. Serta satu-satunya saudara kandungku Meira Hendriawati, SHi, Eyang tercinta Hj. Insiyah Suyono, Tante tersayang Setya Herawati, SE beserta keluarga, dan teruntuk seluruh kelurga besarku. Serta teruntuk Adi Supriyadi dan keluarga besar Bpk.Hidayat atas cinta, kasih sayang, dukungan, motivasi, bantuan data wawancara dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.
8. Rekan-rekan Mahasiswi dan Mahasiswa dari Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum angkatan 2005. Untuk kak. Oyok Tolisalim, SS., SHi, atas informasi dan bantuan yang diberikan selama proses penulisan skripsi ini. Untuk Genk sUity (Erli, Dj, Ima, Mba Yu, Mba Vi, Tante Zhu-zhu, Bunda Arin serta Mami Wina . Fren Forever! n I cant stop missing u), Genk Kita, Genk Akurr (untuk Rizal~thanks ya pak’ atas sharingnya), Genk cang’ ijo club, dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. “Jika Tua Nanti Kita kan Hidup Masing-masing, Ingatlah Hari Ini~disaat kita bersama.”
yang berlipat dan menjadikannya sebagai amal yang tidak pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak. Amin.
Jakarta: 3 Juni 2009 M 9 Jumadil Tsani 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1B. Pembatasan Masalah ... 8
C. Perumusan Masalah ... 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
E. Metode Penelitian ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI TINDAK PIDANA KESUSILAAN A. Tindak Pidana ... 18
1. Hukum Positif ... 18
2. Hukum Islam ... 25
B. Tindak Pidana Kesusilaan ... 30
1. Hukum Positif ... 30
2. Hukum Islam ... 37
BAB III TINDAK PIDANA PENCABULAN SEBAGAI BENTUK KEKERASAN TERHADAP ANAK A. Perlindungan terhadap anak ... 45
B. Kekerasan terhadap anak ... 53
1. Pengertian ... 53
2. Bentuk ... 55
3. Dampak ... 58
C. Pencabulan sebagai kekerasan terhadap anak ... 58
D. Tindak pidana pencabulan terhadap anak ... 60
1. Pengertian ... 60
3. Sanksi menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ... 66
BAB IV PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERKARA NO: 325/ PID. B/2007/PN.JAKSEL TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN OLEH GURU TERHADAP MURID DAN ANALISIS YURIDIS HUKUM POSITIF SERTA HUKUM ISLAM A. Putusan Hakim ... 73
1. Duduk perkara ... 73
2. Dakwaan ... 77
3. Tuntutan ……… 78
4. Vonis Hakim ... 78
B. Analisis Hukum Positif ... 78
C. Analisis Hukum Islam ... 96
D. Analisis Penulis ... 103
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 108B. Saran ... 110
DAFTAR PUSTAKA ... 113
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk hidup merupakan makhluk yang
paling sempurna yang diciptakan oleh Allah. Selain mempunyai akal,
manusia juga dilengkapi oleh nafsu, salah satunya adalah nafsu
seksual. Dengan nafsu seksual ini manusia dapat meneruskan
keturunan. Selain itu merupakan kebutuhan yang sifatnya naluri
(fitrah). Sebagaimana firman Allah SWT:
! "#$ "%& '
() *+,!-.& '
,")-* -.01&
2 345
678 9& '
:;&< =& ' 6" > 01&
2?+ @BCD '
EF) -& '
G
H -I
0J+"C" ,K < -&
<BLM N
O '
PR M!
S T 2U "V 1&
)
/ : (
Artinya: ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu : wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga) ”. (Q.S. Ali Imran/3: 14)
Nafsu seksual, biasanya hanya dapat dibahas sebagai medium
Lebih dikenal hanya sebagai persoalan biologis ataupun dorongan
psikologis semata yang bersifat alamiah, memberikan nikmat yang
tertinggi dan dimiliki oleh setiap manusia, tanpa peduli kedudukan
sosialnya. Namun tidak dapat dipungkiri, nafsu seksual ini pula yang
terkadang dapat menjerumuskan manusia ke dalam jurang
kriminalitas. Seperti tindak pidana pemerkosaan, pencabulan,
penyodomian dan tindak-tindak pidana lainnya yang terkait dengan
kesusilaan.
Tindak pidana pencabulan misalnya, sebagai sebuah masalah
hingga kini masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Di
masyarakat, setiap terjadi kasus pencabulan diakui atau tidak
seringkali masih dijumpai pendapat yang beragam, terutama terkait
dengan apakah suatu tindakan itu termasuk pencabulan atau bukan
dan lebih beragam lagi ketika ditanya latar belakang tindakan
tersebut.
Pencabulan bukan hanya termasuk tindak pidana kejahatan
tetapi juga merupakan tindak pidana kekerasan baik secara fisik
maupun mental, sebab korban mengalami trauma yang hebat bahkan
mengalami goncangan jiwa seumur hidup. Sementara biasanya
pelaku pencabulan tersebut hanya menerima hukuman yang ringan,
terlebih lagi apabila tindak pidana pencabulan itu dilakukan
jauh lebih berat, jalan hidupnya masih panjang. Banyak cita-cita
yang masih harus diraih.
Sementara saat ini, kasus tindak pidana pencabulan terhadap
anak justru semakin marak. Di wilayah Jakarta misalnya, telah
terjadi lebih dari 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak di
bawah umur. Diantaranya 25 kasus pencabulan, 9 kasus sodomi,
serta kasus lainnya yang terkait dengan kekerasan terhadap anak.
Angka ini meningkat 200% dibandingkan tahun sebelumnya yakni
tahun 2005, yang tercatat 294 kasus pemerkosaan dan pencabulan.1
Di Jayapura, Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Jayapura sepanjang
tahun 2006, kasus pidana perkosaan dan asusila menempati urutan kedua
sebanyak 57 kasus. Kasus yang masuk umumnya terhadap anak di bawah
umur, bahkan ada korban pencabulan terhadap bayi yang baru berusia 1
tahun.2
Di Bogor, dari 46 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan
sepanjang tahun 2005 sangat dominan, angkanya mencapai 80% sedangkan
yang lainnya merupakan kasus penganiyaan.3 Hal ini menunjukkan bahwa
tindak pidana pencabulan terhadap anak semakin marak. Dan itu bukan lah
suatu hal yang biasa melainkan sesuatu yang harus kita cegah bersama.
1
http: //www.menegep.go.id, diakses 2 Juli 2008. 2
http: //www.fokerlsmpapua.org, diakses 2 Juli 2008. 3
Tindak pidana pencabulan terhadap anak ini diatur dalam Pasal 290
angka 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP),
yang berbunyi:
“Diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun bagi barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin”.
Serta terdapat juga pada Pasal 82 Undang-undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan
Anak), yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangakaiaan kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (Enam Puluh Juta Rupiah)”.
Selain itu, Konvensi tentang Hak-hak Anak (yang disetujui oleh
Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989) juga mengatur
mengenai perlindungan anak dari penyalahgunaan seks (Pasal 19).
Mengenai hal tersebut selanjutnya juga terdapat di dalam Pasal 58
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (selanjutnya disebut UU HAM), yang berbunyi:
(2) dalam hal orang tua atau pengasuh anak melakukan pelecehan seksual termasuk perkosaan maka harus dikenakan pemberatan hukuman”.
Selanjutnya di dalam Undang-undang yang sama, yakni di dalam Pasal
65, yang berbunyi: ”Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari
kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual”.
Berbagai tindak pidana pencabulan yang terungkap selama ini,
umumnya dilakukan oleh orang terdekat atau sudah kenal baik dengan
korban, baik hubungan keluarga, tetangga, maupun hubungan profesi
misalnya hubungan antara guru dengan murid. Hal tersebut tidak dapat
dipandang dari satu sisi kacamata saja karena memang merupakan suatu
permasalahan yang kompleks yang menyangkut berbagai segi antara lain:
hukum, agama, sosial dan budaya.
Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan kekerasan
terhadap anak (penganiyaan, pencabulan, trafficking, phedofilia, dan
lain-lain) 11,3 persen dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang
[image:17.612.116.533.127.512.2]dilakukan oleh orang di sekitar anak.4 (Lihat Grafik 2.1 di bawah ini).
Grafik 2.1 Karakteristik Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak
4
0 10 20 30 40 50 60
Pelaku Kekerasan Seksual yang Dikenal
Bapak Kandung Ibu Kandung Bapak Tiri/Asuh Teman
Tetangga Pria Bapak Guru Paman
Sumber : Data Hotline Service Pengaduan dan Advokasi Pusat Data dan Informasi tahun 2005
Seperti tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh guru terhadap
murid berkebutuhan khusus (luar biasa) yang ditangani oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dengan Perkara No: 325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL, di
mana seorang guru SMP Budi Waluyo yang bernama Edi Murjono, SE.,
telah melakukan tindak pidana pencabulan terhadap ketiga orang muridnya
yakni Leni Diah Ayu Ekawati (17 tahun), Natasha Ruth Ivanka (13 tahun)
dan Viona Andriani (14 tahun) sebanyak beberapa kali terhadap
masing-masing korban. Pelaku didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya
disebut JPU) dengan dakwaan berbentuk subsidier, yakni dari hukuman
yang terberat hingga teringan. Dengan dakwaan sebagai berikut:
Primer:
Subsidier:
Terdakwa didakwa pasal 290 angka 2 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun jika dalam melakukan perbuatan tersebut terdakwa mengetahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya (korban) belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk kawin.
Pelaku dituntut oleh JPU dengan pasal 290 angka 2 KUHP juncto Pasal
65 ayat (1) KUHP dengan 2 tahun penjara (dipotong masa tahanan) dan
dibebankan biaya perkara sebanyak Rp.2000,- (Dua Ribu Rupiah). Dan
dalam hal ini Hakim Ketua Majelis (Achmad Sobari, SH) mengabulkan
tuntutan JPU. Menurut analisis penulis mengenai dakwaan dan tuntutan
yang diberikan oleh JPU terdapat beberapa ketidaktepatan yakni mengenai
pendakwaan dan penuntutan dengan Pasal 290 angka 2 KUHP, identifikasi
kasus mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku terhadap salah
satu saksi korban yakni terhadap saksi korban Natasha Ruth Ivanka, analisis
JPU mengenai unsur yang terdapat di dalam pasal 82 UU Perlindungan
Anak, Pasal yang seharusnya didakwakan di dalam KUHP serta tuntutan
tambahan yang seharusnya diberikan terhadap pelaku. Dan begitu juga
mengenai putusan yang diberikan oleh Hakim Ketua Majelis, terdapat
beberapa kejanggalan mengenai pasal yang divonis, kuantitas hukuman yang
diberikan dan hal-hal yang memberatkan hukuman terdakwa.
Selain itu sama halnya dengan profesi lainnya, guru juga memilki Kode
membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Dan guru
juga memiliki Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen (selanjutnya disebut UU Guru dan dosen), di dalam Pasal 22 huruf d
di katakan bahwa: ”guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan
perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan
etika”. Selanjutnya di dalam Pasal 77 ayat (5) dikatakan bahwa: ”Guru yang
melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.”
Berdasarkan Kode Etik Keguruan serta UU Guru dan Dosen, pelaku berhak
mendapatkan pemberatan dan sanksi tan\mbahan oleh organisasi profesi.
Ironis sekali memang, dimana seorang guru yang merupakan panutan
masyarakat dan yang selalu dielu-elukan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa
itu, telah mencoreng citranya sendiri dengan melakukan tindakan asusila
yang benar-benar jauh dari citra guru yang selama ini melekat di
masyarakat.
Apabila dilihat, ketiga korban berusia di bawah 18 tahun, itu artinya
berdasarkan UU Perlindungan Anak, Konvensi tentang Hak-hak Anak, UU
HAM para korban berhak mendapatkan perlindungan.
Selain itu, ketiga korban adalah anak (terlepas dari memiliki
kebutuhan khusus maupun tidak) merupakan generasi penerus cita-cita
bangsa, sehingga setiap kelangsungan hidup, tumbuh, dan kembangnya
amoral apapun (kekerasan, diskriminasi, pelecehan seksual, pencabulan, atau
perbuatan tidak senonoh).
Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa perlu mengangkat kasus di
atas dan mengadakan analisis surat dakwaan dan putusan mengenai kasus
tersebut. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai perbuatan apa saja yang termasuk dalam kategori pencabulan
terhadap anak dan sanksinya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam,
putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap perkara tindak
pidana pencabulan terhadap anak dalam perkara No:
325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL dan analisis Hukum Positif, Hukum Islam serta
penulis terhadap perkara tindak pidana pencabulan oleh guru terhadap
murid dalam perkara No: 325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL, maka penulis
memberi judul: ”ANALISIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PUTUSAN PERKARA NO:325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK” sebagai judul skripsi.
Pembatasan Masalah
1. Tinjauan Hukum Positif yakni menurut KUHP, UU Perlindungan Anak, Konvensi Hak-hak Anak, UU HAM, UU Guru dan Dosen, Kode Etik Keguruan, serta Hukum Islam (Al-Quran, Al-Hadis dan Fiqh/ Pendapat Imam Mazhab) mengenai sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan. 2. Analisis surat dakwaan, tuntutan dan putusan menurut Hukum Positif serta
Hukum Islam terhadap putusan No:325/PID B/2007/PN JAK-SEL tentang tindak pidana pencabulan oleh guru terhadap murid.
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan, dalam arti supaya tidak mengalami pembahasan yang meluas sehingga mengakibatkan ketidakfokusan dan kesimpangsiuran.
C.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang sekiranya dapat diangkat untuk dikaji
secara lebih lanjut. Adapun rumusan masalah yang dimaksud ialah:
Perbuatan apa saja yang termasuk dalam kategori pencabulan terhadap anak dan bagaimana sanksi pidananya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam?; Bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap perkara
tindak pidana pencabulan terhadap anak dalam perkara No:325/PID.B/ 2007/PN.JAK.SEL?; dan
D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui perbuatan apa saja yang termasuk dalam kategori pencabulan terhadap anak, dan bagaimana sanksi pidananya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam;
2. Untuk mengetahui putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak dalam perkara No: 325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL.; dan
3. Untuk mengetahui analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap perkara tindak pidana pencabulan oleh guru terhadap murid dalam perkara No: 325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL.
Selanjutnya manfaat dari penulisan penelitian ini adalah:
1. Kalangan pribadi, untuk menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum khususnya kajian mengenai tindak pidana pencabulan terhadap anak.
2. Kalangan akademis, menambah perbendaharaan keilmuan dalam bidang hukum khususnya kajian mengenai tindak pidana pencabulan terhadap anak teoritis maupun praktis.
E.
Metode Penelitian
1. Pendekatan
Adapun dalam penyusunan skripsi ini yakni menggunakan pendekatan normatif, di mana melakukan analisis yuridis terhadap putusan PN Jak-Sel dalam perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.
2. Jenis Penelitian
[image:24.612.111.531.150.548.2]Pada prinsipnya, penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka.5 Dan mengambil data baik secara tertulis untuk diuraikan, sehingga memperoleh gambaran serta pemahaman yang menyeluruh.
3. Data Penelitian
Sumber data yakni :
a. Data Primer, data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara mengadakan penelusuran dokumen yang dilakukan di PN Jak-Sel, KUHP, UU No.23/2002 tentang
Perlindungan Anak, Al-Quran dan Hadits.
5
b. Data Sekunder, data yang diperoleh dari buku-buku, artikel, majalah, dan bahan informasi lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian.
4. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data dilakukan secara kualitatif, dimulai dengan melakukan penelusuran naskah atau berbagai literatur yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan yang diteliti kemudian mengklasifikasikan data-data tersebut, dengan cara pengkodean data-data. Untuk selanjutnya dilakukan kategorisasi melalui lembar kertas bantu (short card).
5. Metode Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini adalah menggunakan metode pendekatan isi yakni menekankan pada pengambilan kesimpulan dan analisis yang bersifat deskriptif-deduktif. Seluruh data yang diperoleh diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum kemudian dikaji dan diteliti selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan mengenai data tersebut.
6. Tehnik Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayataullah Jakarta,
F.
Review
Studi Terdahulu
Dalam review studi terdahulu ini, penulis berusaha mendata dan membaca beberapa hasil penelitian yang ada hubungannya atau hampir sama dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu berupa skripsi. Ada beberapa skripsi yang penulis temukan di antaranya ialah:
1. Judul: ”Penyimpangan Seksual terhadap Anak-anak (Pedophilia) dalam
Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam” , penulis Ithriah Royhan / 33
/ PMH / 2005
Skripsi ini membahas mengenai pedophilia dalam perspektif
Hukum Positif dan Hukum Islam, yang mencakup pengertian
pedophilia, tindakan dan pengelompokan kaum pedophilia, faktor
penyebab terjadinya pedophilia. Selain itu, membahas juga mengenai
pemidanaan dalam hukum positif dan hukum Islam tentang pedophilia
sebagai kejahatan seksual terhadap anak-anak.
Perbedaan skripsi ini dengan judul yang penulis angkat ialah pada
skripsi ini tidak disertai dengan kasus. Sedangkan judul yang penulis
angkat disertai dengan adanya kasus dan putusan Pengadilan Negeri
2.
Judul:
Pelecehan Seksual sebagai Kejahatan Kesusilaan dalam
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif ,
penulis Nur Hamzah
/ 83 / JS / 2004.
Skripsi ini membahas mengenai pelecehan seksual dalam perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif yang meliputi tinjauan umum
mengenai kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual yang terdiri dari
pengertian kejahatan kesusilaan, bentuk-bentuk kejahatan kesusilaan,
pengertian dan batas-batas pelecehan seksual. Selanjutnya mengenai
pelecehan seksual dalam perspektif hukum Islam diantaranya:
seksualitas dalam konteks Islam, hukum pelecehan seksual, sanksi
terhadap pelaku pelecehan seksual. Pelecehan seksual dalam hukum
positif diantaranya: seks dan kesusilaan dalam hukum positif, hukum
pelecehan seksual, sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual.
Selanjutnya menggunakan analisa perbandingan hukum Islam dan
hukum positif tentang kejahatan pelecehan seksual yang terdiri dari
persamaan dan perbedaan, analisis tentang kejahatan pelecehan seksual
menurut hukum islam dan hukum positif.
Perbedaan skripsi ini dengan judul yang penulis angkat ialah pada
skripsi ini tidak disertai dengan kasus yang berkaitan dengan judul. Dan
judul yang penulis angkat disertai dengan adanya kasus dan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
3. Judul: ”Tinjauan Hukum Islam terhadap Kejahatan Seksual (Studi Kasus
Narapidana LP Cipinang Jakarta)”, penulis: Novi / 41 / JS / 2005.
Skripsi ini membahas mengenai tinjauan umum mengenai
kejahatan seksual, yang terdiri dari pengertian kejahatan seksual,
macam-macam kejahatan seksual dan sanksi-sanksi kejahatan seksual.
Selain itu, dibahas juga mengenai kejahatan seksual narapidana di LP
Cipinang Jakarta yang terdiri dari gambaran umum LP Cipinang
Jakarta, kasus-kasus kejahatan LP Cipinang Jakarta dan kasus-kasus
kejahatan seksual LP Cipinang Jakarta. Selain itu dibahas juga
mengenai tinjauan hukum Islam mengenai kejahatan seksual yang
terdiri dari seksualitas dalam hukum Islam, tinjauan hukum Islam
terhadap berbagai kasus kejahatan seksual di LP Cipinang Jakarta.
Perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang penulis angkat ialah
pada skripsi ini yang menjadi objek penelitian adalah kejahatan seksual
yang terjadi di LP Cipinang Jakarta. Sedangkan judul yang penulis
angkat yang menjadi objek penelitian adalah perkara dan putusan yang
ditangani oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
PENCABULAN TERHADAP ANAK”, penulis menjelaskan mengenai pencabulan yang mencakup perbuatan apa saja yang termasuk dalam
kategori pencabulan terhadap anak dan sanksi pidananya menurut
Hukum Positif dan Hukum Islam, putusan hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan terhadap perkara tindak pidana pencabulan terhadap
anak dalam perkara No: 325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL, analisis Hukum
Positif dan Hukum Islam terhadap perkara tindak pidana pencabulan
oleh guru terhadap murid dalam perkara No:
325/PID.B/2007/PN.JAK.SEL.
G.
Sistematika Penulisan
Dalam upaya memudahkan penyusunan skripsi ini dan agar
lebih sistematis, maka disusun sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan meliputi: latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode
penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Umum Hukum Positif dan Hukum Islam Mengenai Tindak Pidana Kesusilaan meliputi: Tindak Pidana (pengertian, unsur-unsur dan klasifikasi) menurut Hukum Positif dan Hukum Islam,
Tindak Pidana Kesusilaan menurut Hukum Positif dan Hukum
Bab III Tindak Pidana Pencabulan Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
meliputi: Perlindungan terhadap anak, Kekerasan terhadap anak
(pengertian, bentuk dan dampak), Pencabulan sebagai kekerasan
terhadap anak, Tindak pidana pencabulan terhadap anak
(pengertian, faktor dan sanksi).
BAB IV Putusan Hakim Terhadap Perkara No: 325/Pid.B/2007/PN Jaksel Tentang Tindak Pidana Pencabulan oleh Guru terhadap Murid dan Analisis Hukum Positif Serta Hukum Islam meliputi: Putusan Hakim (duduk perkara, dakwaan dan tuntutan JPU terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh Edi Murjono,SE, vonis Hakim yang
diberikan kepada Edi Murjono,SE), analisis Hukum Positif,
analisis Hukum Islam, dan analisis penulis.
BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
MENGENAI TINDAK PIDANA KESUSILAAN
Dapat diyakini bahwa semakin tinggi peradaban manusia, setan semakin memainkan peranannnya, sehingga orang menjadi “Zhalim” (aniaya) dan “Jahl” (bodoh). Sebagaimana firman Allah SWT :
WB .
,!XY")" -6"B " CD
ZR"
+ \
]SFLCD '
2^ "%2_& '
`$"a'b-c d'e
6f-gc 1&"-h
&.i9X4'e ' 6fg
R ji '
0 + Bkl N
P WB .
"d5im
! @ -0
n 0 o
) /
: (
Artinya: “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat6kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S.: al-Ahzab/33: 72).
Bukannya terus mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Sang Pencipta melalui Rasul dan Nabi-Nya sepanjang masa. Tak peduli betapapun murni dan barunya suatu masyarakat tertentu, tindak pidana akan tetap dilakukan meskipun ada
6
tingkat perbedaannya.7 Tindak pidana kesusilaan misalnya, bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong di bawah umur (anak-anak). Tindak pidana kesusilaan ini tidak hanya berlangsung di tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, di lingkungan keluarga, namun juga dapat terjadi di lingkungan sekolah.8
A. Tindak Pidana
Menurut Dr. Harkristuti Harkrisnowo tindak pidana, secara sederhana merupakan suatu bentuk perilaku yang dirumuskan sebagai suatu tindakan yang membawa konsekuensi sanksi hukum pidana pada siapa pun yang melakukannya. Oleh karena itu, tidak sulit dipahami bahwa tindak-tindak semacam ini layaknya dikaitkan dengan nilai-nilai mendasar yang dipercaya dan dianut oleh suatu kelompok masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu. Tidak mengheran-kan bahwa perbedaan ruang tempat dan waktu juga amengheran-kan memberimengheran-kan perbedaan pada perumusan sejumlah tindak pidana.9 Seperti yang terjadi antara Hukum Positif dan Hukum Islam, walaupun terdapat beberapa persamaan tetapi juga memiliki perbedaan yang mendasar mengenai sudut pandangannya tentang
7
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 1.
8
Abd.Wahid, Perlindungan Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak-hak Perempuan), (Bandung: Refika Aditama, 2001), h. 7.
9
hukum pidana itu sendiri. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai tindak pidana menurut:
1. Hukum Positif
Istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda, strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada Istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.10 Delict menurut Kamus Hukum mengandung pengertian tindak pidana, perbuatan yang diancam dengan hukuman.11
Menurut Dr.Hakristuti Hakrisnowo tindak pidana yakni suatu perilaku dikenakan ancaman pidana hanya apabila perilaku itu dipandang dapat mengancam keseimbangan dalam masyarakat. Dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang “tidak baik” atau “bahkan buruk” dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana.12
10
Wirjono Projodikoro. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003), h. 59.
11
Soebekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972), h. 35. 12
Sementara Simons, memberikan definisi mengenai tindak pidana yakni suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu.13
Unsur-unsur dalam tindak pidana, yakni: a. Subjek Tindak Pidana
Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Selain itu, suatu perkumpulan atau korporasi dapat juga menjadi sebagai subjek tindak pidana.14
b. Perbuatan dari Tindak Pidana.
Unsur perbuatan dirumuskan dalam suatu tindak pidana formil, seperti pencurian (Pasal 362 KUHP). Perbuatannya dirumuskan sebagai “Mengambil barang”.15
c. Hubungan Sebab-Akibat (Causaal Vervand).
Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab-akibat (causaal vervand) antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tertentu. Terdapat dua teori mengenai sebab-akibat ini yakni:
13
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam (Penerapan Syari’at Islam dalam Konteks Modernitas), (Bandung: Asy-Syaamil Press & Grafika, 2001), h. 132.
14 Ibid.
, h. 134. 15Ibid.
Pertama dari Von Buri (1869) yang disebut teori conditio sine que non (teori syarat mutlak) yang mengatakan, suatu hal adalah sebab dari suatu akibat itu tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan demikian, teori ini mengenal banyak sebab dari suatu akibat.
Kedua dari Von Bar (1870) yang kemudian diteruskan oleh Van Kriese yang disebut teori adequate veroorzaking (penyebaban yang bersifat dapat dikira-kirakan), dan yang mengajarkan bahwa suatu hal baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut pengalaman manusia dapat dikira-kirakan bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat.16 d. Sifat Melawan Hukum (Onrechtmatigheid).
Sebenarnya dalam setiap tindak pidana ada unsur melawan hukum, namun tidak semua tindak pidana memuatnya dalam rumusan. Ada beberapa tindak pidana yang unsur melawan hukumnya disebutkan secara tegas, misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian, disebutkan bahwa pencurian adalah mengambil barang yang sebagian atau sepenuhnya kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memilki secara melawan hukum.17
e. Kesalahan Pelaku Tindak Pidana.18
16
Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, h.61&62. 17
Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 134. 18
Unsur kesalahan ini bisa berupa kesengajaan, atau kealpaan. Kesengajaan tersebut dapat mengenai unsur perbuatan yang dilarang, akibat yang dilarang atau sifat melawan hukumnya.19
Selanjutnya, tindak pidana di dalam KUHP dibagi kedalam dua jenis yakni kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Menurut M.v.T. (Smidt I h. 63 dan seterunya) pembagian atas dua jenis ini didasarkan atas perbedaan prinsipil. Dikatakan, bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdelikntern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet20 yang menentukan demikian.21
Tindak pidana selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, dibedakan juga berdasarkan:
a. Cara Perumusannya
1) Delik Formil, pada delik ini yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu.
19
Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 134. 20
Undang-undang. Lihat Soebekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972), h. 102.
21
2) Delik Material, yakni selain dari pada tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya (voltooid).22
b. Cara Melakukan Tindak Pidana.23
1) Delik Komisi, yakni delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. 2) Delik Omisi, yakni delik yang terdiri dari tidak berbuat atau
melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat. Misalnya delik yang dirumuskan dalam Pasal 164, mengetahui suatu permufakatan jahat (samenspanning) untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam Pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang yang terkena.
3) Delikta Commissionis Peromissionem, yakni delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang hendak membunuh anaknya dengan jalan tidak memberi makan pada anak itu.24
c. Ada/Tidaknya Pengulangan atau Kelanjutannya.
22
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), h. 237.
23 Ibid . 24
1) Delik Mandiri adalah jika tindakan yang dilakukan itu hanya satu kali saja, untuk mana petindak pidana.
2) Delik Berlanjut adalah bilamana tindakan yang sama berulang dilakukan, dan merupakan atau dapat dianggap sebagai pelanjutan dari tindakan semula.25
d. Berakhir atau Berkesinambungannya suatu Delik. 1) Delik Berakhir
2) Delik Berkesinambungan
e. Keadaan Memberatkan dan Meringankan26 1) Delik Biasa
2) Delik dikwalifisir (diperberat), yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan. Misalnya Pasal 363.
3) Delik diprivisilir (diperingan), yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur meringankan. Misalnya dalam Pasal 341 lebih ringan daripada Pasal 342.27
f. Bentuk Kesalahan Pelaku
1) Delik Sengaja (Dolus), yakni suatu tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja. Misalnya pembunuhan berencana (Pasal 338 KUHP).
25
Kanter, Asas-asas Hukum Pidana, h. 238. 26Ibid
., h. 238 dan 239. 27
2) Delik Alpa (Culpa), yakni tindak pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang. Contoh: Pasal 359 KUHP.28
g. Cara Penuntutan
1) Delik Aduan, yakni suatu tindak pidana yang memerlukan pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan belum merupakan delik. Contoh: penghinaan.
2) Delik Biasa (bukan delik aduan), yakni semua tindak pidana yang penuntutannya tidak perlu menunggu adanya pengaduan dari korban yang dirugikan atau dari keluarganya. Contoh: pembunuhan dan penganiyaan.29
2. Hukum Islam
Dalam hukum Islam ada dua istilah yang kerap digunakan untuk tindak pidana ini yaitu jinâyah dan jarîmah. Dapat dikatakan bahwa kata ‘jinâyah’ yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah ‘jarîmah’.30 Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinâyah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqaha’, perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara’. Meskipun demikian para fuqaha menggunakan
28
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Prenhallindo, 2001), h. 94. 29Ibid.
30
istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hud d dan qishash tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zîr. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarîmah, yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.31
Jarimah didefinisikan oleh Imam al-Mawardi sebagai segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.32 Ada pula golo-ngan fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud dan qishash saja. Dengan mengeyampingkan perbedaan pemakaian kata-kata jinayah di kalangan fuqaha sama dengan kata-kata jarimah.33
Jarimah memiliki dua unsur yaitu: a. Unsur Umum
Yakni unsur-unsur yang terdapat pada setiap jenis jarimah.34 Yang termasuk dalam unsur umum ini yaitu:
31
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000), h.1.
32Ibid ., h.11. 33
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h.1. 34
1) Al-Rukn al-Syar’iy (Unsur Hukum), yakni adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal”.
2) Al-Rukn al-Mâdi (Unsur Materiil), yakni adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.
3) Al-Rukn al-Adabiy (Unsur Budaya), yakni adanya pelaku kejahatan (orang yang dapat menerima taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan).35
b. Unsur Khusus
Yakni unsur yang terdapat pada suatu jarimah namun tidak terdapat pada jarimah lainnya. Contoh : mengambil harta orang lain secara diam-diam dari tempatnya dalam jarimah pencurian, atau menghilangkan nyawa manusia oleh manusia lainnya dalam jarimah pembunuhan.36
Jarimah dapat berbeda penggolongannya, menurut perbedaan cara meninjauanya yakni dilihat dari :
a. Segi berat ringannya hukuman
35
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h.1-3 36Ibid
1) Jarimah hud d, ialah jarimah yang diancamkan hukuman hudud, yaitu hukuman yang telah ditentukan37 jenis dan jumlahnya serta menjadi hak Allah SWT.38 Yang termasuk jarimah hudud yaitu: zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), meminum minuman keras, mencuri, merampok, murtad, dan memberontak.
2) Jarimah qishas dan diyat, ialah perbuatan yang diancam hukuman qishas atau hukuman diyat. Keduanya merupakan hak individu39 yang kadar jumlahnya telah ditentukan, yakni tidak memiliki batasan minimal ataupun maksimal. Yang termasuk jarimah qishas dan diyat yakni: pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena ketidaksengajaan, penganiyaan sengaja, dan penganiyaan tidak sengaja.
3) Jarimah ta’zîr, ialah jarimah yang diancamkan dengan satu atau beberapa hukuman ta’zir.40 Jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya, sedang pada jarimah hudud dan qishash serta diyat sudah ditentukan. Yang termasuk jarimah ta’zir yakni: riba, suap, pencabulan, illegal logging, human trafficking dan sebagainya.
37
Maksud hukuman yang telah ditentukan adalah bahwa hukuman had tidak memiliki batasan minimal (terendah) ataupun batasan maksimal (tertinggi). Lihat Abdul Qâdir Audah, Tasyrî’ al-Jinâî al-Islâmî: Muqâranan bi al-Qân n al-Wâdi’î, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1992), juz I, h. 79.
38
Maksud hak Allah ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (individu) atau masyarakat. Ibid.
39
Maksud hak individu adalah sang korban boleh membatalkan hukuman tersebut dengan memaafkan si pelaku jika ia menghendakinya. Ibid., h.100.
b. Niat si pembuat/pelaku jarimah
1) Jarimah sengaja, si pembuat/pelaku dengan sengaja melakukan perbuatannya, sedang ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang (salah). 2) Jarimah tidak sengaja, si pembuat/pelaku tidak sengaja melakukan
perbuatan yang dilarang, akan tetapi perbuatan tersebut sebagai akibat kekeliruannya. Kekeliruan ada dua macam, yakni:
a) Pembuat (pelaku) dengan sengaja melakukan perbuatan jarimah tetapi jarimah ini sama sekali tidak diniatkannya.
b) Pembuat (pelaku) tidak sengaja berbuat dan jarimah yang terjadi tidak diniatkannya sama sekali.41
c. Segi mengerjakannya
1) Jarimah ijâbiyyah/positif terjadi karena mengerjakan sesuatu per-buatan yang dilarang. Seperti mencuri, zina, pembunuhan, memukul dan sebagainya. Jarimah ijabiyyah ini disebut juga delicta-commisionis.
2) Jarimah salabiyyah/negatif terjadi karena tidak mengerjakan sesuatu perbuatan yang diperintahkan. Seperti mengeluarkan zakat. disebut juga delicta ommisionis.
41
3) Jarimah commisionis per ommisionem commisa, contohnya yakni petugas LP sengaja tidak memberikan makan kepada narapidana yang selanjutnya menyebabkan kematian pada narapidana tersebut.42
d. Segi waktu terungkapnya jarimah
1) Jarimah yang tertangkap basah, yaitu jarimah yang terungkap pada saat jarimah itu dilakukan atau beberapa saat setelah jarimah tersebut dilakukan.
2) Jarimah yang tidak tertangkap basah, yaitu jarimah yang tidak tertangkap pada saat jarimah tersebut dilakukan atau terungkapnya pelaku jarimah itu dalam waktu yang lama.43
e. Segi cara melakukan jarimah
1) Jarimah tunggal (al-Jarîmah al-Basîtah), yakni jarimah yang dilakukan dengan satu perbuatan, seperti pencurian, meminum minuman keras, baik tindak pidana ini terjadi seketika (tindak pidana temporal atau jarîmah muaqqatah) maupun yang dilakukan secara terus-menerus (jarîmah mustamirah). Jarimah hudud, qishas dan diyat termasuk ke dalam kategori jarimah tunggal.
2) Jarimah berangkai, yakni jarimah yang dilakukan berulang-ulang (berangkai). Jarimah itu sendiri tidak termasuk dalam kategori jarimah, tetapi berulang-ulangnya jarimah tersebut yang
42Ibid.,
h.12-14. 43
nya sebagai suatu jarimah. Bentuk jarimah ini banyak terdapat dalam jarimah ta’zir, dimana petunjuknya diperoleh dari nas yang meng-haramkan perbuatan tersebut.44
f. Orang yang menjadi korban (yang terkena) jarimah
1) Jarimah masyarakat/haq Allah/hak jamaah, ialah suatu jarimah di mana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai perseorangan atau mengenai ketentuan masyarakat dan keamanannya.
2) Jarimah perseorangan/haq al-afrâd, ialah suatu jarimah di mana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan, meskipun sebenarnya apa yang menyinggung perse-orangan juga berarti menyinggung masyarakat.45
B. Tindak Pidana Kesusilaan
1. Hukum Positif
Mengenai pengertian tindak pidana itu sendiri pada sub bab
sebelumnya telah dijelaskan, disini hanya akan disinggung sedikit.
Yang dimaksud dengan tindak pidana (
delict
) yakni perbuatan
yang melanggar atau bertentangan dengan Undang-undang yang
44Ibid.,
h. 110. 45
dilakukan
dengan
kesalahan
oleh
orang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.
46Kesusilaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitkan
oleh Balai Pustaka 1989, dimuat artinya “perihal susila”.
Selanjutnya kata “susila” dimuat artinya sebagai berikut:
a. Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib;
b. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban; c. Pengetahuan tentang adat.47
Kesusilaan (zeden, earbaarheid) mengandung pengertian perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium, dan sebagainya.48 Jika diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsi masyarakat tentang arti “kesusilaan” lebih condong pada: “Behavior as to right or wrong, esp in relation to sexual matter”49
46
R.Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana: Delik-delik Khusus, (Jakarta: Politea, 1974), h. 26. 47
Leden Marpaung, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 2.
48
Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politea, 1996), h. 204.
49
P. A. F. Lamintang, SH., dalam bukunya mengatakan bahwa tindak pidana kesusilaan/kejahatan-kejahatan kesusilaan yakni tindakan asusila atau ontuchte handelingen dan terhadap perilaku-perilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan-kepatutan di bidang kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat di mana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.50
Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa tindak pidana kesusilaan pada dasarnya, dapat dirumuskan sebagai tindak pidana yang berhubungan dengan perilaku seksual. Mengingat perilaku seksual merupakan bentuk perilaku manusia yang sangat pribadi. Maka mudah dipahami jika perumusan tentang perilaku ini dalam kaitannya dengan hukum pidana tidaklah mudah dibandingkan dengan perilaku-perilaku melanggar hukum pidana lainnya. Misalnya tindak pidana terhadap nyawa atau harta benda, terutama dikaitkan dengan nilai-nilai setempat.51
50
Lihat P.A.F.Lamintang, Delik-delik Khusus (Tindak Pidana-Tindak Pidana Melangaar Norma-norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.1.
51
Tindak pidana kesusilaan umumnya tidak begitu mengejutkan seperti tindak pidana terhadap nyawa, dan frekuensinya lebih kurang daripada tindak pidana harta kekayaan.52
Dalam hal tindak pidana kesusilaan apa yang akan menjadi ukuran suatu tindakan dapat dipidana terdapat beberapa pendapat. Ada yang mengemukakan bahwa moral sebagai ukuran dan ada yang mengemukakan hukum sebagai ukurannya. Apabila dua hal ini yang menjadi ukuran maka sebenarnya hukum yang bermoral atau moral yang seirama dengan hukumlah yang lebih tepat sebagai ukuran.
Masalah kesusilaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban bangsa dan peradaban bangsa-bangsa. Namun yang paling berperan adalah peradaban bangsa yang bersangkutan. Di Indonesia dikenal berbagai peradaban suku bangsa sebagai kenyataan sambil menuju kepada kesatuan dan persatuan peradaban itu, maka kenyataan masa kini harus dihadapi dan menegakkan keadilan dan kebenaran.53
Sebagai perilaku yang berhubungan dengan masalah seksual, tindak pidana kesusilaan dalam konstruksi hukum pidana, sebagaimana dirumuskan
52
J. M. van Bemmelen, Hukum Pidana 3 (Bagian Khusus Delik-delik Khusus), (Bandung: Bina Cipta, 1986), h. 172.
53
dalam Bab XVI KUHP, terdiri atas beberapa jenis. Hal ini pokoknya mencakup:54
a. Merusak kesopanan di muka umum (Pasal 281 KUHP) b. Pornografi (Pasal 282&283 KUHP)
Maria Ulfah mendefinisikan pornografi sebagai segala sesuatu yang mengakibatkan seseorang cenderung melakukan perbuatan asusila. Di dalam Ensiklopedi Feminisme pornografi diartikan sebagai penggambaran material seksual yang mendorong pelecehan seksual dengan kekerasan dan pemaksaan.55 Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, pornografi didefinisikan sebagai berikut:
“Pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, foto, tulisan, film, atau yang dipersamakan dengan film, video, terawang, tayangan, atau media komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada publik alat vital dan bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis, yang menunjukkan sensualitas dan atau seksualitas, serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan seks manusia yang patut diduga menimbulkan rangsangan nafsu birahi pada orang lain”.56
Yang diancam hukuman dalam Pasal 282 KUHP ialah orang yang menawarkan, memberikan, menyerahkan atau memperlihatkan; tulisan,
54
Harkristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan, h. 181-182. 55
Maria Ulfah Anshor, “Pornografi Haruskah disikapi dengan Undang-undang?”, Kompas, (Jakarta), 26 Mei 2003.
56
gambar atau benda yang menyinggung rasa susila atau alat untuk meng-gugurkan kandungan, kepada orang di bawah umur tujuh belas tahun.57 c. Perzinaan (Pasal 284 KUHP)
Menurut pengertian umum, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat perkawinan. Tetapi menurut Pasal 284 KUHP, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.58
Dalam Pasal tersebut supaya dapat dituntut, persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, dan tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun.
d. Perkosaan (Pasal 285-288 KUHP), meliputi:
1) Perkosaan dengan menggunakan ancaman dan kekerasan; 2) Perkosaan dengan wanita pingsan;
3) Perkosaan dengan anak dibawah umur (lima belas tahun ke bawah); 4) Perkosaan dengan seseorang yang belum patut untuk dikawin, yang
selanjutnya menimbulkan luka-luka, kematian.
e. Perbuatan cabul/Pencabulan (Pasal 290-296 KUHP), meliputi: 1) Perbuatan cabul dengan orang pingsan;
57
R. Sughandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), h. 298. 58Ibid.,
[image:50.612.113.527.105.634.2]2) Perbuatan cabul dengan anak dibawah umur/belum pantas untuk dikawin;
3) Perbuatan cabul dengan bujukan;
4) Perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa dengan orang lain sesama kelamin;
5) Perbuatan cabul yang dilakukan dengan menyalahgunakan wibawa; 6) Perbuatan cabul dengan anak (kandung, tiri, angkat, dibawah
pengawasannya);
7) Perbuatan cabul yang dilakukan oleh pegawai negeri kepada bawahannya (karena jabatan);
8) Perbuatan cabul yang dilakukan oleh pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas, pesuruh dalam penjara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, kepada orang yang dimasukkan ke dalamnya;
f. Perdagangan perempuan59 dan anak laki-laki (Pasal 297 KUHP) g. Persundalan (298 KUHP)
h. Pengguguran kandungan (Pasal 299 KUHP)
Dari bentuk-bentuk yang diatur dalam Bab XVI KUHP tersebut, beberapa prinsip mendasar yang dapat dijumpai, antara lain:
a. Tindakan seksual adalah perbuatan manusia yang sangat pribadi;
59
b. Sebagai tindakan yang pribadi, ia harus dilakukan secara pribadi atau tertutup;
c. Sebagai tindakan pribadi yang konsensual (yang hanya melibatkan dua orang), apabila merugikan orang ketiga, maka tindakan ini hanya dapat dituntut atas keinginan orang ketiga tersebut. Karena hal itu menyangkut kehormatannya;
d. Anak-anak atau orang di bawah umur harus dilindungi dari segala bentuk tindakan yng berkenaan dengan seksualitas;
e. Wanita harus dilindungi dari tindak seksual yang dilakukan melalui kekerasan/ancaman kekerasan;
f. Wanita dan laki-laki harus dilindungi dari tindak perdagangan manusia (human trafficing);
g. Orang-orang yang menyalahgunakan hubungan kekuasaan terhadap orang lain dengan melakukan perbuatan cabul; atau memudahkan perbuatan cabul antara orang lain dengan anak yang ada dibawah kekuasaannya tersebut, yang harus diperberat ancaman pidananya.60
2. Hukum Islam
Mengenai tindak pidana/kejahatan kesusilaan Hukum Islam menentukan dengan sangat sederhana bahwa kejahatan kesusilaan merupakan kejahatan yang sangat peka, sehingga kalau memang terbukti dan diajukan di
60
muka Hakim, hukumannya tegas dan jelas. Karena dalam hal ini, kejahatan kesusilaan menyangkut harkat dan harga diri serta kehormatan manusia.61 Dan pada dasarnya kejahatan terhadap kesusilaan merupakan kejahatan yang sangat peka, dikarenakan menyangkut harkat dan harga diri kehormatan manusia.62
Sebagaimana telah dikemukakan pada sub-bab sebelumnya bahwa secara garis besar jarimah/tindak pidana didalam hukum pidana Islam (fiqh jinayah) dibedakan menjadi tiga, yakni: jarimah hudud (had), jarimah qishash, dan jarimah tazir. Yang mengandung delik-delik kesusilaan didalamnya adalah pada jarimah hudud dan jarimah tazir, sebagai berikut:
a. Jarimah hudud
Jarimah hudud yakni jarimah yang ditentukan oleh Allah, baik bentuk jarimahnya maupun hukumannya. Tindak pidana kesusilaaan yang termasuk jarimah hudud yaitu:
1) Zina
Zina secara harfiah berarti fahîsyah yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seseorang laki-laki dengan perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam
61
Bismar Siregar, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Barat, dalam Muhammad Amin Suma.dkk, Pidana Islam di Indonesia (Peluang, Prospek, dan Tantangan), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 204.
62
hubungan perkawinan. Para fuqaha mengartikan zina yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin pria) ke dalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat, tetapi atas dasar syahwat.63
Dasar hukum dari jarimah zina yakni:
@6 < B p
Z q p '
N 'r Xo -c
; m
sM R '
1tfg -6-uN
v," c o
N wn ' a m<@Dcb- 1fy 6-cce L Z # :#{ | V d .
} ~ m
"d -@
V a
•F <& '
€)• C N
XM6fX‚ |& '
1tf y i<"
6i9ƒ -
"#$ -01&
/
:
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksana-an) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.(Q.S.: an-Nur/24: 2)
wn '
N a")&.-
Z,q€…p N
P WB .
"d5im 6" •-+-c
† '
‡i< % †
/
:
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S.Al Israa’/17:32)
Unsur-unsur pada jarimah zina yakni:
a) Persetubuhan yang diharamkan dan dianggap zina, yakni meliputi: persetubuhan dalam farji (vagina), persetubuhan dalam dubur,
63
menyetubuhi istri melalui dubur, menyetubuhi binatang, menyetubuhi mahram, bersetubuh karena dipaksa, dan sebagainya. b) Adanya kesengajaan atau niat bersetubuh.64
Pelaku jarimah zina dapat dikenai hukuman had apabila perbuatannya telah dapat dibuktikan. Untuk jarimah zina ada tiga macam cara pembuktian, yaitu: saksi, ikrar (pengakuan) dan Qarinah (petunjuk/indikasi).65 Hukuman jarimah zina ada dua macam, tergantung pada keadaan pelaku apakah sudah berkeluarga (muhsan) atau belum (ghair muhsan).
a) Zina muhsan
Bagi pezina muhsan (sudah berkeluarga) adalah dirajam sampai meninggal, sesuai dengan sabda Nabi SAW:
!"#
$
%&
'()
.
*)
*) +ﺏ
-#
./+ﻡ
1ﻥ
.
3(4
3(4 +ﺏ
-#
./+ﻡ
5#
6 +78 +ﺏ
9
5-:ﻡ
%
6;+)
%ﺏ
<ﻡ+=
66Artinya: “Terimalah dariku! terimalah dariku! terimalah dariku! Allah telah memberi jalan kepada mereka (yang berzina). Bujangan yang berzina dengan bujangan dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan janda (orang yang telah kawin) yang berzina dengan janda dijilid seratus kali dan dirajam dengan batu.” ( HR. Muslim dari Ubadah bin Shamit).67
64
Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâî al-Islâmî, juz II, h. 349. 65Ibid.
, h. 395. 66
Muslim Ibnu al-Hujâj Ab> al-Husaini al-Qusyairî al-Nîsâburî, Shahih Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâs al-‘Arabî, t.th.), juz III, h. 1316 hadits nomor 12 (1690).
67
Namun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa si pezina itu langsung dirajam sampai mati tanpa perlu terlebih dahulu dihukum cambuk seratus kali, seperti yang telah dikerjakan Nabi dengan merajam dua orang pezina Yahudi tanpa mencambuk mereka terlebih dahulu. Sebelum dijatuhi hukuman rajam sampai mati, maka harus dipenuhi beberapa persyaratan yaitu si pezina dalam keadaan sehat pikiran, seorang muslim, telah atau pernah menikah, telah mencapai usia baligh dan telah merdeka.68
b) Zina ghair muhsan
Adapun tahapan terakhir pelarangan zina adalah dengan pemberian hukuman bagi pelaku ghair muhsan (belum menikah). Bagi pelaku ghoirumukhson, hukumannya adalah 100 kali cambuk dan diasingkan selama 1 tahun.69
Ketentuan ini berdasarkan firman Allah SWT:
@6 < B p
Z q p '
N 'r Xo -c
; m
sM R '
1tfg -6-uN
v," c o
N wn ' a m<@Dcb- 1fy 6-cce L Z # :#{ | V d .
} ~ m
"d -@
V a
•F <& '
€)• C N
XM6fX‚ |& '
1tf y i<"
6i9ƒ - "#$ -01&
)
/
:
(
68Abdur Rahman l Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, h.36. 69
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (QS. an-Nuur/24: 2). Mengenai ketentuan sangsi tambahan (hukuman pengasingan 1 tahun), diatur dalam Hadis Rasulullah SAW:
+?
&7
+ %ﺏ یA %
B
5-
C(- $ D-ﺹ ) <"
F+ 3ی GH ./+ﻡ -# %=8ی 5 DﻥA % ( ﻡIی
J +K) 9
70
Artinya: “Dari Zaid bin Khaliq berkata: bahwa saya telah mendengar dari Nabi SAW, beliau memerintahkan dalam perkara orang yang berzina tidak mukhson agar diberi sanksi hukuman seratus kali dera dan pengasingan satu tahun”. (H.R. Bukhari).
Terdapat beberapa pendapat mengenai sanksi hukuman tambahan ini (hukuman pengasingan), yaitu: 71
1) Menurut Imam Malik, hukuman pengasingan hanya dikenakan kepada pezina laki-laki sedangkan perempuan tidak ditimpakan hukuman tersebut.
2) Menurut Imam Ahmad bin Hambal menyetujui hukuman pengasingan selama 1 tahun sebagai hukuman tambahan terhadap hukuman dera.
70
Muhammad bin Ismâîl Abu Abdullâh al-Bukhâri al-Ja’fi, Shahîh Bukhâri, (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr, 1987), juz VI, h. 2507 hadits nomor 6443.
71
Gambar
Dokumen terkait
Selanjutnya hakim menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi dan terdakwa diperoleh fakta bahwa terdakwa adalah orang yang telah menyetubuhi anak kandungnnya
- Bahwa benar pada waktu isteri saksi dan saksi melakukan pemeriksaaan di rumah kontrakan terdakwa dengan disaksikan oleh saksi Amir Hamzah, saksi Siman (Satpam
adalah “saksi korban”, setelah itu baru saksi yang lain dipandang relevan dengan tujuan pembuktian mengenai tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa, baik saksi
- Bahwa benar korban lainnya adalah anak saksi 4 : Terdakwa mengulum penis Korban, Korban juga diminta Terdakwa untuk mengulum penis Terdakwa sampai keluar air mani, selain itu
- Bahwa benar pada waktu isteri saksi dan saksi melakukan pemeriksaaan di rumah kontrakan terdakwa dengan disaksikan oleh saksi Amir Hamzah, saksi Siman (Satpam
1. Karena selain hakim mempertimbangkan aspek yuridis seperti, dakwaan jaksa penuntut umum, barang bukti, keterangan saksi, keterangan terdakwa, tapi hakim juga
Berdasarkan keterangan saksi Daniel Sanjaya dan Keterangan tersangka saat ini terdakwa atas nama Fazza alias Ezza alias Rezza terungkap: pertama bahwa Hasan Basri terdakwa 2 ditangkap
Pada saat seluruh saksi dan juga Korban sudah pada posisi berdiri, kemudian Terdakwa ARIS langsung memukul perut Korban Zidan Muhammad Faza sebanyak 1 Satu kali menggunakan tangan kanan