Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH:
ENDRA RUKMANA NIM: 107044100354
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
i
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH:
ENDRA RUKMANA NIM: 107044100354
Di bawah bimbingan:
Dr. Diawahir Hejazziey, SH., MA Nip.195510151979031002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDIAHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iii
ميحرلا نمحرلا ها مسب
Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW yang telah mengantarkan manusia kepada jalan yang benar, Amin.
Dalam penyusunan skripsi ini tentunya penulis tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM, selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA, selaku Ketua Prodi Ahwal
Asy-Syakhsiyyah.
3. Hj. Rosdiana, MA, selaku Sekertaris Prodi Ahwal Asy-Syakhsiyyah.
4. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA selaku pembimbing, atas segala bimbingan,
arahan, saran, motivasi dan waktunya kepada penulis dengan penuh
kebijaksanaan dan kesabaran.
5. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Ahwal Asy-Syakhsiyyah jurusan Peradilan
Agama , yang telah dengan tulus ikhlas mencurahkan ilmu dan mendidik
iv
diperlukan penulis dalam menyusun skripsi.
7. Ayah dan Ibu tercinta, H. Romli, M dan Hj. Eni R, yang telah mencurahkan
segala doa, kasih sayang, dan segala motivasinya dengan dengan penuh
keikhlasan kepada penulis, semoga Allah SWT selalu mengasihi dan
meridhoinya.
8. Adik tersayang, yang telah banyak memberikan motivasi serta doanya bagi
penulis.
9. Sahabat-sahabat jurusan PA angkatan 2007, yang selalu kompak dan ceria
semoga semua selalu sukses dalam kehidupan, dan
10.Seluruh sahabat-sahabat yang telah banyak membantu dan memberikan
motivasinya kepada penulis.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya, semoga semoga Allah SWT membalas amal dan jasa mereka
diterima oleh Allah SWT dan dibalasnya dengan pahala yang berlipat ganda serta
mendapatkan ridho Allah SWT, Amin.
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Agustus 2011
v
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbuti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, Agustus 2011
Penyusun,
vi
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Studi Terdahulu ... 8
E. Metode Penelitian... 8
F. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Nikah Sirri ... 12
B. Argumentasi Nikah Sirri ... 15
1. Perspektif Fiqh Kontemporer ... a. Golongan Jumhur Ulama ... 17
b. Golongan Maliki ... 18
2. Perspektif Hukum Positif ... 19
BAB III KONSEP DASAR HUKUM PIDANA
vii
3. Tujuan Hukum Pidana Positif ... 26
4. Jenis Hukuman ... 27
5. Asas-asas dalam Hukum Pidana Positif ... 33
B. Hukum Pidana Hukum Islam. 1. Pengertian Hukum Pidana Islam ... 38
2. Asas-asas Hukum Islam ... 39
3. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam ... 41
4. Jenis Hukuman ... 44
5. Tujuan Hukum Pidana Islam ... 45
6. Sumber Hukum ... 49
BAB IV ANALISA TERHADAP UU NO.22 TAHUN 1946 jo. UU NO. 32 TAHUN 1954 A. Proses Pidana Pelaku Nikah Sirri dalam UU. 22 Tahun 1946 .... 54
B. Klasifikasi Sanksi Pidana yang Dibebankan Bagi Pelaku Nikah Sirri ... 58
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65
B. Saran-saran ... 66
1 A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah swt yang memiliki kedudukan
mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling
berhubungan antara satu dengan lainnya. Dari hubungan antara sesama manusia
tersebut menimbulkan rasa saling membutuhkan, menghormati dan menyayangi
antara satu sama lain. Di antara fitrah manusia tersebut adalah rasa saling
membutuhkan dan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan, yang pada
akhirnya akan mengarah kepada terciptanya rumah tangga melalui suatu ikatan
perkawinan.
Pada dasarnya perkawinan atau pernikahan merupakan suatu akad yang
menyebabkan halalnya hubungan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami-isteri. Dalam ikatan perkawinan ditegaskan hak dan
kewajiban antara suami-isteri tersebut, sehingga dapat tercapai kehidupan rumah
tangga yang sakinah dan sejahtera.
Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah, yang bermakna
al-wathi‟ dan al-dammu wa-al jam‟u, atau ibarat „an al-wath‟ wa al-„aqd yang
bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.1 Beranjak dari makna etimologis
inilah para ulama fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan
biologis.
1
Sedangkan dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 seperti yang
termuat dalam Pasal 1 perkawinan didefinisikan sebagai :
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 2
Hal ini tegas menyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang
erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.3
Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal 2
dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah :
“Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”4
Kata miitsaqan ghalidhan ini ditarik dari firman Allah SWT yang terdapat
pada Surah an-Nisa‟ ayat 21 yang artinya :
Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu,
padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian
yang kuat. (QS. an-Nisa : 21)
2
UU NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU NO. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2007), h. 2
3
Moh. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h. 38
4
Berkenaan dengan tujuan perkawinan tersebut di muat dalam pasal 3 KHI yang
berbunyi :
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah,mawaddah dan rahmah tenteram cinta kasih dan sayang)”
Tujuan ini juga dirumuskan melalui firman Allah SWT yang terdapat
didalam Surat ar-Rum ayat 21 yang artinya :
Diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berpikir. (QS. ar-Rum/30:21)
Definisi perkawinan dalam fikih, dilihat dari arti bahasa memberikan
kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi sang laki-
laki. Hal ini menimbulkan kesan bahwa yang dilihat pada diri wanita adalah
aspek biologisnya saja. Ini terlihat dalam penggunaan kata al-wat‟ atau al
-istimta‟ yang semuanya berkonotasi seks.
Sementara definisi perkawinan yang ada pada UU No.1 tahun 1974
menyatakan bahwa perkawinan tidak lagi hanya dilihat sebagai hubungan
jasmani saja tetapi juga merupakan hubungan batin. Selain itu, dalam UU No.1
tahun 1974 tujuan perkawinan dieksplisitkan dengan kata bahagia. Hal ini
menunjukkan bahwa pada akhirnya perkawinan dimaksudkan agar setiap
manusia baik laki-laki ataupun perempuan dapat memperoleh kebahagiaan.5
5
Dari berbagai pengaturan Hukum Islam yang ada, dapat kita amati bahwa
pengaturan pernikahan yang sesuai dengan syar‟i dan hukum positif yang berlaku
adalah bertujuan untuk memuliakan baik suami maupun istri yang terikat dalam
tali pernikahan tersebut. Akan tetapi fenomena pernikahan yang terjadi sekarang
ini agaknya sudah banyak yang menyimpangi aturan syar‟i maupun aturan
hukum positif yang berlaku. Beberapa masalah pernikahan yang timbul antara
lain seperti: Pernikahan sirri (nikah di bawah tangan/secara diam-diam), talak
(cerai dibawah Tangan), serta pembagian harta bersama yang terdapat dalam
pernikahan sirri tersebut apabila terjadi perceraian.
Pernikahan sirri pada masa ini khususnya di Indonesia banyak dilakukan
karena berbagai alasan. Mulai dari alasan ekonomi, sosial, perbedaan
pemahaman serta masih banyak alasan lainnya. Akan tetapi dengan pengaturan
dari segi agama Islam dan hukum positif di Indonesia, dapatkah Pernikahan yang
dilakukan secara sirri mempertahankan eksistensinya dan menjamin serta
melindungi ikatan pernikahan tersebut dan akibat-akibat hukum lain yang
mungkin timbul dikemudian hari.
Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri meningkat berlalunya waktu.
Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio,
visual dan audiovisual) akan nikah siri yang dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis
namun segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga
menyebabkan proses conditioning terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses
berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang
berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan
dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.
Dalam penafsirannya, masyarakat mendefenisikan nikah siri sebagai
berikut:
1. pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia
(siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena
menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin
memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi
ketentuan-ketentuan syariat.
2. pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak
mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang
karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan;
ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang
melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
3. pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu;
misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang
terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena
pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan
Sehingga kita perlu mengkaji secara spesifik tentang adanya perilaku
nikah siri di masyarakat. Ini dilakukan untuk membantu penyelesaian kontroversi
tentang pemberlakuan hukum pidana bagi pelaku nikah siri dan perlukah
disahkannya RUU HMPA yang sudah masuk ke dalam prolegnas.
Berdasarkan uraian di atas penulis bermaksud mengkaji lebih dalam lagi
mengenai permasalahn nikah sirrih, yang dalam hal ini akan megkaji tentang
hukuman atau pemberlakuan sanksi bagi para pelaku nikah sirri. Ini dimaksudkan
untuk menghilangkan kontroversi yang terjadi dikalangan masayrakat.
Berangkat dari penjelasan-penjelasan di atas, maka penulis membuat skripsi
dengan judul : “ PEMIDANAAN NIKAH SIRRI BERDASARKAN UU
NO.22 TAHUN 1946 jo. UU NO. 32 TAHUN 1954”. Dengan harapan bahwa skripsi ini dapat bermanfaat dan menyumbangkan sedikit keterangan mengenai
kontroversi serta perdebatan panjang mengenai hal ini.
B. Perumusan Masalah
Draft Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materi Pengadilan
Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPA) setidaknya menjelaskan tentang
ketentuan pidana, salah satunya adalah mempidanakan bagi orang yang
melangsungkan perkawinan tanpa dicatatkan pada lembaga negara yang
berwenang, yaitu Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor
Catatan Sipil bagi non-muslim.
Akan tetapi dalam ketentuan KUH Pidana membedakan antara kejahatan
perkawinan itu semata-mata adalah pelanggaran pidana bukan kejahatan pidana
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 530 ayat (1) bahwa seorang petugas agama
yang melakukan upacara perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan di
hadapan pejabat catatan sipil, sebelum dinyatakan kepadanya pelangsungan di
hadapan pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat (2) menyatakan bahwa jika pada
waktu melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan
yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti
dengan pidana kurungan paling lama dua tahun.
Dari uraian di atas maka penulis mengkerucutkan pada dua titik
pertanyaan, yaitu :
1. Bagaimana Pidana Nikah Sirri Menurut UU NO. 22 Tahun 1946 jo. UU NO.
32 Tahun 1954?
2. Bagaimana Klasifikasi Sanksi Pidana yang di Bebankan kepada Pelaku Nikah
Sirri?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari permasalahan-permasalahan tersebut maka tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pidana bagi pelaku nikah sirri berdasarkan
kepada UU 22 Tahun 1946.
2. Untuk mengetahui apa rumusan yang tepat bagi sanksi pelaku nikah siri.
Adapun manfaat dari tujuan penelitian ini adalah diharapkan hasil dari
orang atau lembaga yang berkepentingan dalam hal pengaturan tentang
pernikahan di Indonesia.
D. Studi Terdahulu
Dari sekian banyak literature skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang
ada di perpustakaan dan berbagai wacana yang berkaitan dengan pernikahan di
bawah umur. Penulis mengambil beberapa skripsi dan wacana tersebut untuk di
jadikan sebagai bahan perbandingan.Diantaranya adalah:
Itsbat Nikah Bagi Pelaku Nikah Sirri (Study Kasus di PA Karawang- Jawa
Barat)
Oleh: Mu‟min Maulana Sidiq, SJAS 2010 skripsi ini membahas mengenai
permintaan itsbat nikah di PA Karawang.
Perbedaannya Dalam skripsi yang penulis buat lebih memfokuskan
kepada perlukah disahkannya RUU HMPA (Hukum Materil Peradilan Agama)
yang kiranya menimbulkan polemic dikalangan masyarakat.
E. Metode Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian hukum ini, maka dalam penelitian hukum
kita mengenal adanya penelitian secara yuridis. Penelitian yuridis dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan juga
disebut penelitian kepustakaan, ini dimaksudkan untuk mengkaji tentang perlu
atau tidaknya RUU HMPA itu disahkan.6
6
1. Metode Pendekatan
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode
pendekatan yuridis. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisa
berbagai peraturan perundang-undangan dibidang hukum perkawinan dan
hukum kekeluargaan islam.
2. Spesifikasi Penelitian
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini, maka
hasil penelitian ini nantinya akan bersifat deskriptif analitis yaitu
memaparkan, menggambarkan atau mengungkapkan sistem hukum
perkawinan dan hukum kekeluargaan islam yang berlaku ataupun peraturan
perundangan lain, eksistensinya, dalam kehidupan masyarakat, khususnya
dalam pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan nikah (nikah sirri/bawah
tangan). Hal ini kemudian dibahas atau dianalisa menurut ilmu dan teori-teori
atau pendapat sendiri, dan kemudian terakhir menyimpulkannya.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana tipa bab terdiri
dari beberapa subbab. Sistematika merupakan uraian ringkas secara global terkait
hal-hal pokok yang dibahas, guna mempermudah dalam memahami dan melihat
hubungan suatu bab dengan yang lainnya.
Adapun uraian pada setiap bab adalah sebagai berikut :
menunjukkan maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan
mengungkapkan metodologi yang dipergunakn sebagai kerangka menuju uraian
yang sistematis dan terakhir sistematika penulisan.
Bab II berisikan Tinjauan Umum mengenai pernikahan menurut hukum islam, pengertian pernikahan, tujuan pernikahan, sahnya pernikahan,
hukum melakukan pernikahan, larangan-larangan perkawinan, pernikahan
menurut hukum positif Indonesia, pengertian perkawinan, tujuan perkawinan,
sahnya perkawinan, larangan, pencegahan dan pembatalan perkawinan,
pencatatan perkawinan, tentang pengertian pernikahan sirri.
Bab III Konsep dasar, dalam bab ini berisi tentang gambaran umum mengenai konsep maslahah dalam memandang pemidanaan pelaku nikah sirrim
dalam bab ini juga terdapat pendapat-pendapat ahli menyangkut pemidanaan
tersebut..
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kasus pernikahan siri dipandang dari segi pelaksanaan
UU yang sudah ada. Selanjutnya dalam bab ini juga akan dipaparkan mengenai
rencana hukuman yang tepat bagi pelakau nikah siri.
11
Perkawinan Menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.1
Pernikahan merupakan pengikatan janji nikah yang dirayakan atau
dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum
agama, negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan
variasi antar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya
maupun kelas social. Penggunaan adat atau aturan tertentu terkadang berkaitan
dengan aturan hukum agama tertentu pula.2
Nikah adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Sesuatu yang
haram bagi dia, berubah menjadi halal dengan sarana pernikahan. Implikasi
pernikahan sangat besar, luas dan beragam. Pernikahan adaalah sarana awal
mewujudkan sebuah tatanan masyarakat, yang dimana jika unit-unit keluarga baik
dan berkwalitas maka bisa dipastikan bangunan masayarakat yang diwujudkan akan
kokoh dan baik.
Karena sifatnya yang menjangkau kehidupan luas di luar keluarga, pernikahan
memiliki makna sangat strategis dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam konteks ini,
1
Abdurrrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:akademika Presindo, 2004), h.114
2
pemerintah jadi berkepentingan dalam mengatur institusi pernikahan, agar tatanan
masyarakat yang teratur dan tentram bisa diwujudkan. Hal ini tercermin dari UU NO.
1 tahun 1974 yang merupakan bentuk konkret pengaturan pemerintah soal pernikahan
kepada warga negaranya.
Dalam pasal 2 ayat (2) Undanga-Undang tersebut tertulis:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”
Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam Bab 11 PP No. 9 Tahun 1975 yang
intinya menjelaskan bahwa sebuah pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan
hukum di hadapan UU jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan
oleh pegawai pencatat pernikahan (PPN) yang ditentukan oleh Undang-undang.
Aturan inilah yang pada akhirnya menimbulkan istilah yang disebut Nikah Sirri.
A. Pengertian Nikah Sirri
Nikah sirri secara bahasa berarti menikah secara sembunyi-sembunyi atau
secara rahasia. Kata sirri dalam bahasa Arab berasal dari kata sirrun yang berarti
rahasia.3 Menurut arti terminologis nikah sirri setidaknya mempunyai dua
pengertian, yaitu:
1. Pengertian yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, sebagaimana yang ditulis
oleh Syaikh Mahmud Syaltut, ada dua bentuk nikah sirri yaitu:
a. Akad pernikahan yang dilakukan tanpa saksi, tanpa publikasi dan tanpa
pencatatan. Para ahli fikih bersepakat melarang nikah sirri semacam ini.
3
b. Akad pernikahan yang dihadiri oleh para saksi, tetapi mereka diharuskan
untuk merahasiakan pernikahan tersebut. Para ahli fikih berbeda pendapat
mengenai sahnya nikah sirri seperti ini, sebagian ulama seperti Hanafiyah
dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa pesan agar saksi merahasiakan
terjadinya pernikahan tidak berpengaruh terhadap sahnya akad nikah
sebab adanya saksi menjadikan nikah tersebut tidak sirri lagi (menjadi
nikah „alaniyah). Sebagian ulama yang lain seperti Imam Maliki dan
ulama yang sependapat dengannya, berpendapat bahwa adanya pesan
untuk merahasiakan pernikahan telah mencabut kesaksian dari ruh dan
tujuan disyariatkannya, yaitu publikasi (I‟lan) oleh karena itu maka
pernikahan tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Hanabilah hukum
nikah sirri semacam ini adalah makruh.4
2. Pengetian nikah sirri berkembang di kalangan umat Islam Indonesia pada
umumnya, yaitu pernikahan yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat dan
rukun pernikahan yang tedapat dalam syariat Islam, tetapi tanpa melalui
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sehingga pernikahan tersebut tidak dicatat
dalam Akta Perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
4
Menurut A. Zuhdi Muhdlor, nikah sirri adalah pernikahan yang
dilangsungkan di luar pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), sehingga
suami-isteri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah.5
Menurut Masjfuk Zuhdi perkembangan pengertian dan praktik nikah sirri
di kalangan masyarakat Islam Indonesia, paling tidak ada tiga tipe atau bentuk,
yaitu:
1. nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan
Syari‟at Islam (telah terpenuhi rukun dan syaratnya) tetapi masih bersifat
intern keluarga, belum dilakukan pencatatan oleh PPN dan belum dilakukan
pula upacara menurut Islam dan adat (walimatul ursy), suami-isteri belum
tinggal bersama karena isteri belum dewasa.
2. nikah yang dilangsungkan menurut Syari‟at Islam (memenuhi rukun dan
syarat nikah), dihadapan PPN dan telah memperoleh salinan akta nikah,
namun masih bersifat intern keluarga da belum diadakan resepsi pernikahan
serta suami-isteripun belum tinggal bersama.
3. nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan Syari‟at Islam saja,
namun karena terbentur PP No. 10/1983 jo. PP No. 45/1990 pernikahan
tersebut dilangsungkan secara diam-diam dan dirahasiakan untuk
menghindari hukuman disiplin.
5
Dari ketiga bentuk atau type nikah di atas, menurut Masjfuk Zuhdi yang
mengandung pengertian nikah sirri adalah type yang ketiga.6
Senada dengan pendapat di atas, Moh. Daud Ali mengemukakan bahwa
nikah sirri adalah pernikahan yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui
orang lain. Perkawinan di bawah tangan (nikah sirri) adalah perkawinan yang
dilakukan tanpa adanya pencatatan perkawinan dicatatan sipil bagi non muslim,
sedangkan bagi orang muslim perkawinannya tidak dicatatat di Kantor Urusan
Agama (KUA). Perkawinan dibawah tangan adalah perkawinan yang
dilaksanakan hanya berdasarkan ketentuan agama saja tanpa adanya pencatatan
oleh Pegawai Pencatan Nikah (PPN).7
B. Argumentasi Nikah Sirri
1. Perspektif Fikih Konvensional
Dalam perjalanan Hukum Islam, Nikah Sirri bukanlah masalah yang
baru karena di dalam kitab Al-Muwattha karya Imam Malik telah tercatat
bahwa istilah nikah sirri berasal dari perkataan Umar Ibnu al-Khattab r.a:
8
6
A. Ghani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan Mimbar Hukum No.23 Thn. VI 1995 November-Desember, (Jakarta:Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam). h.25
7
Ibid. h.25
8
Artinya: “Bahwasanya Umar dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang menikah tanpa ada saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata: Ini nikah sirri, Aku tidak membolehkannya, seandainya kamu
melakukannya pasti aku rajam.”
Pengertian nikah sirri dalam perspektif Umar tersebut adalah bahwa
syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun
sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kreteria Umar
dipandang sebagai nikah sirri.9
Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian
bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat
pada saksi itu sendiri.
Mengenai perihal saksi, para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Syafi‟i dan
Maliki) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan, bahkan
Syafi‟i berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah.10
Sehingga tidak sah suatu
pernikahan tanpa dihadiri saksi. Berdasarkan dalil:
Artinya: “tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cukup”.
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu study perbandingan dalam kalangan Ahlu-Sunnah dan Negara-negara Islam), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), Cet.2, h.153.
11
Nikah sirri merupakan salah satu bentuk nikah yang masih diperdebatkan
sah atau tidaknya oleh para Ulama. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 (dua)
golongan Ulama. Golongan pertama menyatakan bahwa nikah sirri adalah sah,
sedangkan golongan yang kedua menyatakan tidak sah.
a. Golongan Jumhur Ulama
Mereka menyatakan bahwa jika para saksi yang hadir dipesan oleh
pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan tidak
menyebarluaskan berita pernikahannya kepada khalayak ramai, maka
perkawinannya tetap sah. Sebaliknya meskipun pernikahannya itu diumumkan
atau disebarluaskan kepada khalayak ramai, tetapi ketika akad nikah
berlangsung tidak ada satupun saksi yang menyaksikan, maka perkawinan
tersebut tidak sah.12
Lebih lanjut dikatakan oleh Imam Syafi‟I, Abu Hanifah, Ibnu Mundzir,
Umar, Urwah, Sya‟bi dan Nafi‟, bahwa apabila terjadi akad nikah tetapi
dirahasiakan dan mereka pesan kepada yang hadir agar merahasiakannya pula,
maka perkawinannya sah, tetapi makruh karena menyalahi adanya perintah
untuk mengumumkan pernikahan. Sabda Nabi SAW dari Aisyah:
13
Artinya: “Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah di Masjid serta ramaikanlah dengan memukul rebana.” (HR at-Tirmidzi).
Senada dengan pendapat di atas, Mazhab Hanbali menyatakan nikah
yang telah dilangsungkan menurut syari‟at Islam adalah sah, meskipun
dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya, hanya saja
hukumnya makruh.14
b. Golongan Maliki
Mereka menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib dan
cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Tetapi jika sebelum
akad nikah diumumkan kepada khalayak ramai sudah terjadi persenggamaan,
maka pernikahannya batal, meskipun saat akad dihadiri oleh para saksi.15
Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan
mengenai ketentuan bahwa akad nikah yang persaksiannya tidak disebut
secara tegas dalam al-Qur‟an dibanding dengan ketentuan mengenai akad jual
beli mu‟ajjal atau utang piutang yang disebut dalam surat al-Baqarah: 282.
Kalau yang disebut yakni saksi akad jual beli saja ditemukan dalil
menyatakan tidak wajib, maka untuk yang tidak disebut-sebut dalam hal ini
yaitu saksi akad nikah, tentulah tidak wajib juga.16
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-laki
yang mengawini seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang
laki-laki tetapi dipesan agar mereka merahasiakannya; lalu jawabnya: Keduanya
14
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h.187
15
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h.48.
16
harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya
berhak atas maharnya yang diterimanya, sedang kedua orang saksinya tidak
dihukum.17
2. Perspektif Hukum Positif
Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan akan
diakui dan mendapatkan legalitas dari Negara apabila memenuhi dua syarat
berikut:
a. Telah memenuhi ketentuan hukum materil, sebagaimana perintah UUP No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1), yaiut pernikahan telah
dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukum agama
masing-masing. Maka bagi orang Islam, pernikahan itu sah apabila telah
memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan oleh syari‟at
Islam.
b. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, sebagaimana yang tercantum dalam
UUP No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (2), yaitu pernikahan
tersebut telah dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berwenang
dan telah memperoleh bukti otentik berupa akta nikah.
Moh. Idris Ramulyo mengertikan nikah di bawah tangan sebagai suatu
perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia maupun pihak
17
diluar mereka, yang telah memenuhi baik rukun maupun syarat-syarat
perkawinan, akan tetapi tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN).18
Berdasarkan dari pengertian yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa
perkawinan di bawah tangan telah sah menurut hukum Islam, asalkan dalam
perkawinan tersebut sudah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah
ditetapkan syari‟at. Dengan kata lain bahwa akad denga cara ini benar dan sah
adanya, akan tetapi perkawinan tersebut tidak diakui dan tidak mendapat legalitas
dari Negara.
Adapun pengakuan resmi (penulisan akad) dengan arti tercatat resmi di
Kantor Urusan Agama (KUA) adalah perkara yang diwajibkan oleh
undang-undang, yang difungsikan untuk menjaga akad ini dari pengingkaran dan
penipuan setelah dilaksanakannya, baik itu dari pihak suami-isteri maupun dari
pihak di luar mereka berdua.
Dilihat dari teori hukum yang menyatakan bahwa bahwa perbuatan
hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan
hukum, sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. Sebaliknya suatu tindakan
yang dilakukan tidak menurut aturan aturan hukum, maka tindakan tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu
melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan
dilindungi oleh hukum.19
18
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), cet. Ke-1, h.40-41
19
Dengan demikian suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai
perbuatan hukum (menurut hukum) apabila dilakukan menurut ketentuan hukum
yang berlaku di Indonesia (hukum positif). Ketentuan hukum yang mengatur
mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang
diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan dengan tata
cara demikianlah yang mempunyai akibat hukum, yakni yang mendapat
pengakuan dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri, sehingga
dengan demikian eksistensi perkawinan secara yuridis formil diakui.
Sejalan dengan kerangka teoritik di atas, maka suatu akad nikah dapat
dilakukan dalam dua bentuk: Pertama, akad nikah semata-mata hanya menurut
aturan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan; Kedua, akad
nikah dilakukan menurut aturan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan secara simultan.
Dalam hal ini, pernikahan sirri termasuk dalam kategori pertama,
karenanya perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama sesuai dengan yang
tertera pada pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, namun perbuatan ini belum
termasuk kategori perbuatan hukum sehingga belum mendapat pengakuan secara
hukum. Perbuatan perkawinan baru dikatakan perbuatan hukum apabila
memenuhi unsur tata cara agama dan tata cara pencatatan perkawinan. Kedua
berfungsi sebagai pertanda keabsahan dan unsur kedua sebagai pertanda hal
tersebut merupakan perbuatan hukum, sehingga berakibat hukum.20
Pasal 26 Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa, UU hanya
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.21
Dengan kata lain, pasal tersebut menjelaskan perkawinan yang sah yaitu yang
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer), sehingga syarat-syarat dan peraturan agama dikesampingkan.
20
A. Ghani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan, Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI/1995 November-Desember, (Jakarta:al-hikmah dan DITBINBAPERA Islam), h. 48
21
23 A. Hukum Pidana Positif
1. Pengertian Hukum Pidana
Sebelum melangkah lebih jauh dalam berbicara hukum pidana,
umumnya kita mempertanyakan mengenai apa defenisi dari apa yang hendak
kita bahas dan uraikan. Khusus dalam masalah hukum pidana, tentunya kita
akan bertanya, apakah hukum pidana itu ?
Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut, tentunya kita
akan menyandarkannya pada pendapat para ahli dalam bidang ini. Terdapat
berbagai macam pendapat dan defenisi yang mereka berikan, berikut
merupakan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian hukum pidana:
a. Moeljatno mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak
boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut. Untuk menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Dan untuk
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.1
b. Selanjutnya Satochid Kartanegara mengatakan, bahwa Hukum Pidana
dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu: Hukum Pidana dalam arti
objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan
atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan
hukuman. Dan, Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah
peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang
melakukan perbuatan yang dilarang.
c. Bambang Poernomo dalam bukunya, menyatakan bahwa Hukum Pidana
adalah hukum sanksi. Defenisi itu diberikan berdasarka ciri hukum pidana
yang membedakan dengan lapangan hukum lainnya, yaitu bahwa hukum
pidana sebenarnya tidak mengadaklan norma sendiri melaikan sudah
terletak pada lapangan hukum yang lain dan sanksi pidana diadakan untuk
menguatkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana. Secara
tradisional defenisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana
itu berkembang dengan pesat.2
Berdasarkan berbagai macam pendapat dari para tokoh atau pakar dalam
bidang ini , maka penulis dapat menarik sebuah kesimpulan dan menyatakan
1
Moeljatno, Hukum pidana: delik-delik percobaan, delik-delik penyertaan, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), h. 19-22
2
bahwa Hukum Pidana itu adalah sekumpulan aturan atau peraturan hukum yang
dibuat oleh negara untuk kepentingan masyarakat yang isinya berbentuk larangan
dan keharusan sehingga yang melakukan pelanggaran dari isi aturan tersebut
akan dikenai sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara.
2. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia
Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang
dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah
bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.
Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah:
Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan
dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan
Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan
bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem
Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu
kepada sistem Anglo Saxon.3
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia
modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan
hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris
sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil sebagai “substantive law”.
Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu,
3
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
3. Tujuan Hukum Pidana Positif
Untuk dapat mengetahui apakah tujuan daripada penerapan hukum pidana
tersebut maka , ada baiknya jika kita kembali melihat pendapat dari beberapa
tokoh atau pakar yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya. Pada intinya
bahwa hukum pidana itu berisikan larangan dan keharusan yang disertai dengan
sanksi pidana. Maka, kita dapat memberikan suatu gambaran tentang tujuan
sebenarnya dari penerapan hukum pidana itu.
Secara maknawi bahwa tujuan hukum pidana itu sebenrnya adalah untuk
mencegah timbulnya gejala-gejala social yang dianggap kurang sehat atau
menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat disamping sebagai pengobatan
bagi mereka yang telah melakukan penyimpangan atau pelanggaran terhadap
aturan-aturan pidana yang berlaku.
Ketika berbicara tentang tujuan dari penerapan hukum pidana itu,
dikenal dua macam aliran, yaitu:
a. Aliran Klasik beranggapan bahwa hukum pidana itu bertujuan untuk
menakut-nakuti setiap orang agar supaya menjauhi perbuatan-perbuatan yang
tidak baik. Yang pada intinya, untuk melindungi individu atau warga dari
kekuasan pemerintah atau negara.
b. Aliran Moderen mengatakan bahwa tujuan hukum pidana itu adalah untuk
tidak baik agar menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan
bermasyarakat dan lingkungannya.4
Namun demikian, adapula beberapa tokoh yang memandang perlunya ada
aliran ketiga, yang merupakan perpaduan antara aliran klasik dan aliran modern.
Di dalam KUHP Pasal 51 disebutkan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah:5
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orangyang lebih baik dan berguna.
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarkat.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
4. Jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Positif
Sanksi dalam hukum pidana telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut:
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan hukum pidana: reformasi hukum, (Jakarta, Grasindo Utama, 2008), h. 36
5
4. Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman
selain yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP.
Berikut merupakan penjabaran mengenai pidana pokok dan pidana tambahan:
a. Pidana Pokok
1. Pidana Mati
Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan
terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan
berencana (Pasal340 KUHP), pencuruan dengan kekerasan (Pasal 365
ayat(4), pemberontakan yang diatur dalam pasal 124 KUHP.
2. Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu
berupa hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat
dari kurungan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan.
Adapun kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap
pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian. Hukuman
penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini
a) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
b) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu
hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
c) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua
puluh tahun berturut-turutdalam hal yang pidananya Hakim boleh
memilih antara Pidana Mati, pidana seumur hidup dan pidana
penjara selama waktu tertentu atau antar pidana penjara selama
waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat
dilampaui karena pembarengan (concursus), pengulangan
(residive) atau Karena yang telah ditentukan dalam pasal 52.
d) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih
dari dua puluh tahun.
3. Pidana kurungan
Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan antara
lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan
membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya:
tempat tidur, selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan
dalam pasal 18 KUHP yang berbunyi :
a) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan
paling lama satu tahun.
b) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun
gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal
52 dan 52 a.
4. Hukuman Denda.
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga
diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative
atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda
ditentukan minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimim, tidak
ada ketentuan. Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30
KUHP,yang berbunyi:
a) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
b) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar
maka diganti dengan hukuman kurungan.
c) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda
sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.
d) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa,
bahwa harga setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu
hari, buat harga lebih tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah
gantinya tidak lebih dari satu hari, akhirnya sisanya yang tak
cukup, gantinya setengah rupiah juga.
e) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya
karena ada gabungan kejahatan, karena mengulangi kejahatan
atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a.
f) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan
bulan.
Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik
keluarga atau kenalan dapat melunasinya.
b. Pidana Tambahan.
1. Pencabutan hak-hak tertentu.
Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi:
Ayat (1) Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim
dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam
undang-undang umum lainnya, ialah:
a. Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu;
b. Masuk balai tentara;
c. Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena
undang-undang umum;
d. Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu
atau pengampu pengawas atas orang lain yang bukan ankanya
sendiri;
e. Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya
sendiri;
Ayat (2) Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari
jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk
pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan
itu.
2. Perampasan Barang Tertentu.
Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang
yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik
terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang
milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya.
Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi:
a) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan
kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan
kejahatan, boleh dirampas.
b) Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan
tidak dengan sengaja atau karena melakujkan pelanggran dapat
juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah
ditentukan oleh undang-undang.
c) Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atsa orang yang
bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi
3. Pengumuman Putusan Hakim
Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumuman kepada
khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih
berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim
dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas
biaya si terhuku. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan
hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHP).
5. Asas-asas Dalam Hukum Pidana
Dalam hukum pidana dikenal berbagai macam asas yang berlaku untuk
keseluruhan perundang-undangan pidana yang ada, kecuali dalam hal-hal khusus
yang telah diatur secara terpisah dalam undang-undang tertentu (lex spesialis)
seperti yang telah disebut pada Paasal 103 KUHP. Meskipun demikian, terdapat
asas yang sangat penting dan sebaiknya tidak boleh diingkari, karena asa tersebut
dapat dikatakan sebagai pondasi atau tiang penyangga hukum pidana. Asas-asas
tersebut dapat kita simpulkan dari pasal-pasal awal Buku I KUHP, ada beberapa
asas yang akan dijelaskan di bawah ini:6
a. Asas Legalitas
Asas legalitas dapat dikatakan sebagai tiang penyangga dari hukum
pidana. Asas ini tersirat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu:
“tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”
6
Berdasarkan rumusan tersebut, secara tegas ditunjuk perbuatan mana
yang dapat berakibat pidana, dalam artian bahwa bukan perbuatannya yang
dipidanakan akan tetapi orang yang melakukan perbuatan tersebut. Dengan
catatan bahwa perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan
pidana sebagai perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana dan serta
perundang-undangan itu harus telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.
Adapun makna yang terkandung dalam asas legalitas tersebut adalah
bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
perbuatan itu terlebih dahulu belum diatur dalam UU, bahwa untuk
menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi, dan bahwa
undang-undang hukum pidana itu tidak berlaku surut/mundur.
b. Asas Hukum Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege
Telah disebutkan bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana
pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak
tertulis. Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas
perbuatan yang telah dilakukannya. Akan tetapi sebelum itu, mengenai
dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan
pidananya sendiri, mengenal criminal act, juga ada dasar yang pokok, yaitu
asas legalitas, asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege. (tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa peraturan lebih dahulu).
c. Asas Teritorial
Menurut asas territorial ini, berlakunya undang-undang pidana suatu
negara semata-mata digantungkan pada tempat dimana tindak pidana atau
perbuatan pidana itu dilakukan. Tempat terjadinya itu harus dalam wilayah
atau teritori negara yang bersangkutan.
Pasal 2 KUHP merumuskan aturan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana
di Indonesia. Perkataan setiap orang mengandung arti baik warga negara
Indonesia. Dalam hal ini, melakukan perbuatan, terdapat kemungkinan bahwa
perbuatannya sendiri tidak di Indonesia, tetapi akibatnya terjadi di Indonesia.
Misalnya,seseorang yang dari luar negeri mengirimkan paket berisi bom dan
kemudian meledak serta membunuh orang ketika dibuka di Indonesia.
d. Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif)
Berdasarkan asas perlindungan ini, peraturan hukum pidana Indonesia
berfungsi untuk melindungi keamanan kepentingan hukum terhadap
gangguan dari setiap orang di luar Indonesia terhadap kepentingan hukum
Indonesia. Hal ini telah diatur dalam Pasal 3 KUHP.
Dengan demikian tidak semua kepentingan hukum dilindungi, kecuali
hanya kepentingan yang vital dan berhubungan dengan kepentingan umum,
yang dilindungi adalah kepentingan yang bersifat umum dan luas, dan bukan
kepentingan pribadi atau golongan. Dapat kita simpulkan jika ternyata di luar
negeri sebenarnya kepentingan pribadi Warga Negara Indonesia kurang
terlindungi.
e. Asas Personal (Asas Nasional Aktif)
Menurut asas personal ini, ketentuan hukum pidana berlaku bagi
setiap Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar
wilayah Indonesia. Bagi mereka yang melakukannya dalam wilayah
Indonesia telah diliputi oleh asas territorial pada Pasal 2 KUHP.
Sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 5 KUHP,akan tetapi
dengan pembatasan tertentu yang dirumuskan pada bagian ke 1 dan 2 dari
pasal tersebut. Ketentuan tersebut khususnya pada butir ke 2 disebabksan
oleh kenyataan bahwa tidak semua negara mengadakan pembagian antara
kejahatan dan pelanggaran sebagaimana halnya Indonesia sehingga
ukurannya adalah yang di Indonesia termasuk sebagi kejahatan.
f. Asas Universal
Sebagaimana amanah pada pembukaan UUD 1945 yang merumuskan
agar negara ini ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia, KUHP
Indonesia juga mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan-perbuatan
seperti pembajakan di laut, meskipun berada di luar wilayah Indonesia tetapi
masih dalam kendaran air, yakni wilayah laut bebas (mare liberum).
Asas itu disebut sebagai asas universal karena bersifat global, mendunia dan
tidak membeda-bedakan warga negara apapun, yang penting adalah
terjaminnya ketertiban dan keselamatan dunia.
Dalam Pasal 9 KUHP dirumuskan bahwa belakunya Pasal 2-7 dan 8
KUHP dibatasi oleh pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.
Misalnya bahwa hukum internasioanal mengakui adanya kekebalan atau
imunitas diplomatic dan hak eksteritorial yang dimiliki oleh kepala negara
asing, duta besar dan para diplomat serta personel angkatan perang negara
asing yang berada di Indonesia atas izin Pemerintah Indonesia.
Apabila sesuatu hal terjadi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki
hak imun tersebut yang dapat dipidana menurut KUHP, maka jalan
penyelesaiannya melalui jalur diplomatic dan hukum internasional. Misalnya
dengan cara menyatakan yang bersangkutan sebagai persona non grata dan
dengan cara meminta negara tempat asalnya untuk menarik kembali orang
tersebut. Secara hukum internasional juga dikenal adanya perjanjian
ekstradisi, tetapi di dalam ekstradisi itu terdapat asas bahwa suatu negara
tidak akan menyerahkan warga negaranya sendiri untuk diadili oleh negara
lain sekiranya warganya melakukan kejahatan di negara lain. Demikian pula
tidak akan diserahkan mereka yang melakukan kejahatan politik dan orang
B. Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah.
Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang
dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil
hukum yang terperinci dan Alquran dan hadis.7 Tindakan kriminal dimaksud,
adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum
serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari
Alquran dan hadis.
Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syariat
Islam dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap
manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu.
menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri
sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang
berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus
ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.
Alquran merupakan penjelasan Allah tentang syariat, sehingga disebut
al-Bayan (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar mempunyai
7
empat cara dan salah satu di antaranya adalah Allah memberikan penjelasan
dalam bentuk nash (tekstual) tentang syariat sesuatu, misalnya orang yang
membunuh tanpa hak, sanksi hukum bagi pembunuh tersebut adalah harus
dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari pengadilan. Orang
berzina harus dicambuk 100 kali bagi pelaku yang berstatus pemuda dan
pemudi. Namun bagi pelaku yang berstatus janda atau duda dan/atau sudah
menikah hukumannya adalah rajam.
2. Asas-Asas Hukum Pidana.8
Asas-asas hukum pidana Islam adalah asas-asas hukum yang
mendasari pelaksanaan hukum pidana Islam, di antaranya:
a. Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang
mengaturnya. Asas ini berdasarkan Alquran Surah Al-Israa' (17) ayat 15
dan Surah Al-An'aam (6 ) ayat 19. Hal itu diungkapkan sebagai berikut.
(
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa8
orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Alquran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Alquran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah (QS.
Al-An‟am/6:19) ".10
Kedua ayat yang diungkapkan di atas, mengandung makna bahwa
Alquran diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad supaya menjadi
peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu. Asas
legalitas ini telah ada dalam hukum Islam sejak Alquran diturunkan oleh
Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw.
b. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Kepada Orang Lain
Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan
manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan
mendapatkan imbalan yang setimpal. Asas ini terdapat di dalam berbagai
9
Yayasan Penyelenggaran Penterjemah, Dep. Agama RI, Al-Qur‟an dan Tejermahnya,
(Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an, 1985), h. 426
10
surah dan ayat di dalam Alquran: Surah An'aam ayat 165. Surah
Faathir ayat 18 Surah Az-Zumar ayat 7, Surah An-Najm ayat 38, Surah
Al-Muddatstsir ayat 38. Sebagai contoh pada ayat 38 Surah Al-Al-Muddatstsir
Allah menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia
kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang
dibuat oleh orang lain.
c. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa
seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak
bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan
dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini diambil dari ayat-ayat Alquran
yang menjadi sumber asas legalitas dan asas larangan memindahkan
kesalahan pada orang lain yang telah disebutkan.
3. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam
Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan
(termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baik berbuat zina
(alqadzaf), meminum minuman memabukkan (khamar), membunuh dan/atau
melukai seseorang, pencurian, merusak harta seseorang, melakukan
gerakan-gerakan kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.
Hukum kepidanaan dimaksud disebut jarimah. Jarimah terbagi dua, yaitu
(1) jarimah hudud dan jarimah ta'zir. Kata Hudud (berasal dari bahasa Arab)
antara lain batasan atau definisi, siksaan, ketentuan atau hukum. Had dalam
pembahasan fikih (hukum Islam) adalah ketentuan tentang sanksi terhadap pelaku
kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral; sedangkan menurut syariat Islam,
yaitu ketetapan Allah yang terdapat di dalam Alquran, dan/atau kenyataan yang
dilakukan oleh Rasulullah saw. Tindak kejahatan dimaksud, baik dilakukan oleh
seseorang atau kelompok, sengaja atau tidak sengaja, dalam istilah fikih disebut
dengan jarirnah. Jarimah hudud adalah tindak kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang atau lebih seorang yang menjadikan pelakunya dikenakan sanksi had.11
Jenis-jenis had yang terdapat di dalam syariat Islam, yaitu rajam, jilid atau
dera, potong tangan, penjara/kurungan seumur hidup, eksekusi bunuh,
pengasingan/deportasi, dan salib. Adapun jarimah, yaitu delik pidana yang
pelakunya diancam sanksi had, yaitu zina (pelecehan seksual); qadzaf (tuduhan
zina); sariqah (pencurian), harabah (penodongan, perampokan, teroris); Khamar
(minuman dan obat-obat terlarang); bughah (pemberontakan atau subversi); dan
riddah/murtad (beralih atau pindah agama). Selain jarimah hudud dalam hukum
pidana Islam, ada juga jarimah ta'zir. Jarimah ta'zir secara harfiah bermakna
memuliakan atau menolong. Namun, ta 'zir dalam pengertian istilah hukum Islam
adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya
dikenai had dan tidak pula harus membayar kaffarah atau diat. Tindak pidana
yang dikelompokkan atau yang menjadi objek pembahasan ta 'zir adalah tindak
pidana ringan seperti pelanggaran seksual yang tidak termasuk zina, tuduhan
11
berbuat kejahatan selain zina, pencurian yang nilainya tidak sampai satu nisab
harta.12
Jenis hukuman yang termasuk jarimah ta 'zir antara lain hukuman penjara,
skorsing atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan jenis
hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dan pelakunya. Dalam
hukum Islam jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta'zir diserahkan
sepenuhnya kepada kesepakatan manusia. Menurut Imam Abu Hanifah,
pelanggaran ringan yang dilakukan oleh seseorang berulang kali dapat dilakukan
atau dapat dijatuhi oleh hakim hukuman mati. Misalnya pencuri yang dimasukkan
lembaga pemasyarakatan, lalu masih mengulangi untuk mencuri ketika ia sudah
dikenai sanksi hukuman penjara, hakim berwenang menjatuhkan hukuman mati
kepadanya.
Keputusan mengenai sanksi hukum dan pihak yang diberi kewenangan
untuk menetapkan jenis hukuman dan pelaksanaan ta 'zir adalah pihak pemerintah
kecuali guru dalam rangka mendidik muridnya-muridnya, orang tua dalam rangka
mendidik anak-anaknya, suami dalam rangka mendidik istrinya. Ketentuan
dimaksud, perbuatan yang dilakukan oleh guru, orang tua, suami, hakim, sebatas
sesuai dengan kepatutan dan bersifat upaya mendidik, bukan sengaja untuk
menyakiti atau mencederai.
Selain itu, perlu diungkapkan bahwa dalam hukum pidana Islam dikenal
delik pidana qishash. Secara harfiah qishash artinya memotong atau membalas.
12
Qishash yang dimaksud dalam hukum pidana Islam adalah pembalasan setimpal
yang dikenakan kepada pelaku pidana sebagai sanksi atas perbuatannya. Lain
halnya diat. Diat berarti denda dalam bentuk benda atau harta berdasarkan
ketentuan yang harus dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak korban sebagai
sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya.
Sanksi hukum bagi orang yang membunuh diserahkan kepada manusia,
dalam arti manusia sebagai subjek hukum diberikan kewenangan untuk memilih
sanksi hukum dan dua alternatif, yaitu (a) pembunuh itu diberikan hukurnan yang
setimpal, yaitu dibunuh bagi pembunuhan yang disengaja, dan (b) pembunuh
membayar diat kepada keluarga korban bagi pembunuhan yang tidak disengaja.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd seperti yang dikutip oleh Arif Furgan
menge-lompokkan qishash menjadi dua, yaitu qishash an-nafs (pembunuhan) dan qishash
ghair an-nafs (bukan pembunuhan). Qishash an-nafs, yakni qishash yang
membuat korbannya meninggal. Qishash ghairu an-nafs yaitu qishash yang
berkaitan dengan pidana pencederaan atau melukai, namun korbannya tidak
sampai meninggal. Kelompok pertama disebut al-qatlu (pembunuhan) dan
kelompok kedua disebut al-jarhu (pencederaan).13
4. Jenis Hukuman
Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum
pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukuman yang pasti
13
mengenai berat ringannya hukuman termasuk qishash dan diat yang tercantum di
dalam Alquran dan hadis. Hal dimaksud disebut hudud, (b) ketentuan hukuman
yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut hukuman ta 'zir. Hukum
publik dalam ajaran Islam adalah jinayah yang memuat aturan mengenai
perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun
dalam jarimah ta 'zir. Jarimah adalah perbuatan tindak pidana. Jarimah hudud
adalah perbuatan pidana yang mempunyai bentuk dan batas hukumannya di
dalam Alquran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Lain halnya jarimah ta 'zir.
Jarimah ta'zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya
ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya
5. Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan
kemauan Pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketenteraman
masyarakat. Oleh karena itu, putusan hakim harus mengandung rasa keadilan agar
dipatuhi oleh masyarakat. Masyarakat yang patuh terhadap hukum berarti
mencintai keadilan. Hal ini, berdasarkan dalil hukum yang bersumber dan
Alquran Surah An-Nisaa' ayat 65: menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya(QS. Al-Isra/17:15).14
14