• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemidanaan nikah sirri berdasarkan UU no. 22 tahun 1946 jo. UU no. 32 tahun 1954

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemidanaan nikah sirri berdasarkan UU no. 22 tahun 1946 jo. UU no. 32 tahun 1954"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH:

ENDRA RUKMANA NIM: 107044100354

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

i

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH:

ENDRA RUKMANA NIM: 107044100354

Di bawah bimbingan:

Dr. Diawahir Hejazziey, SH., MA Nip.195510151979031002

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDIAHWAL AL-ASYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)
(4)

iii

ميحرلا نمحرلا ها مسب

Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad

SAW yang telah mengantarkan manusia kepada jalan yang benar, Amin.

Dalam penyusunan skripsi ini tentunya penulis tidak terlepas dari bantuan

berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM, selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA, selaku Ketua Prodi Ahwal

Asy-Syakhsiyyah.

3. Hj. Rosdiana, MA, selaku Sekertaris Prodi Ahwal Asy-Syakhsiyyah.

4. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA selaku pembimbing, atas segala bimbingan,

arahan, saran, motivasi dan waktunya kepada penulis dengan penuh

kebijaksanaan dan kesabaran.

5. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Ahwal Asy-Syakhsiyyah jurusan Peradilan

Agama , yang telah dengan tulus ikhlas mencurahkan ilmu dan mendidik

(5)

iv

diperlukan penulis dalam menyusun skripsi.

7. Ayah dan Ibu tercinta, H. Romli, M dan Hj. Eni R, yang telah mencurahkan

segala doa, kasih sayang, dan segala motivasinya dengan dengan penuh

keikhlasan kepada penulis, semoga Allah SWT selalu mengasihi dan

meridhoinya.

8. Adik tersayang, yang telah banyak memberikan motivasi serta doanya bagi

penulis.

9. Sahabat-sahabat jurusan PA angkatan 2007, yang selalu kompak dan ceria

semoga semua selalu sukses dalam kehidupan, dan

10.Seluruh sahabat-sahabat yang telah banyak membantu dan memberikan

motivasinya kepada penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya, semoga semoga Allah SWT membalas amal dan jasa mereka

diterima oleh Allah SWT dan dibalasnya dengan pahala yang berlipat ganda serta

mendapatkan ridho Allah SWT, Amin.

Wassalamu Alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Agustus 2011

(6)

v

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbuti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, Agustus 2011

Penyusun,

(7)

vi

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian... 8

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Nikah Sirri ... 12

B. Argumentasi Nikah Sirri ... 15

1. Perspektif Fiqh Kontemporer ... a. Golongan Jumhur Ulama ... 17

b. Golongan Maliki ... 18

2. Perspektif Hukum Positif ... 19

BAB III KONSEP DASAR HUKUM PIDANA

(8)

vii

3. Tujuan Hukum Pidana Positif ... 26

4. Jenis Hukuman ... 27

5. Asas-asas dalam Hukum Pidana Positif ... 33

B. Hukum Pidana Hukum Islam. 1. Pengertian Hukum Pidana Islam ... 38

2. Asas-asas Hukum Islam ... 39

3. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam ... 41

4. Jenis Hukuman ... 44

5. Tujuan Hukum Pidana Islam ... 45

6. Sumber Hukum ... 49

BAB IV ANALISA TERHADAP UU NO.22 TAHUN 1946 jo. UU NO. 32 TAHUN 1954 A. Proses Pidana Pelaku Nikah Sirri dalam UU. 22 Tahun 1946 .... 54

B. Klasifikasi Sanksi Pidana yang Dibebankan Bagi Pelaku Nikah Sirri ... 58

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Saran-saran ... 66

(9)

1 A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah swt yang memiliki kedudukan

mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

berhubungan antara satu dengan lainnya. Dari hubungan antara sesama manusia

tersebut menimbulkan rasa saling membutuhkan, menghormati dan menyayangi

antara satu sama lain. Di antara fitrah manusia tersebut adalah rasa saling

membutuhkan dan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan, yang pada

akhirnya akan mengarah kepada terciptanya rumah tangga melalui suatu ikatan

perkawinan.

Pada dasarnya perkawinan atau pernikahan merupakan suatu akad yang

menyebabkan halalnya hubungan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan sebagai suami-isteri. Dalam ikatan perkawinan ditegaskan hak dan

kewajiban antara suami-isteri tersebut, sehingga dapat tercapai kehidupan rumah

tangga yang sakinah dan sejahtera.

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah, yang bermakna

al-wathi‟ dan al-dammu wa-al jam‟u, atau ibarat „an al-wath‟ wa al-„aqd yang

bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.1 Beranjak dari makna etimologis

inilah para ulama fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan

biologis.

1

(10)

Sedangkan dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 seperti yang

termuat dalam Pasal 1 perkawinan didefinisikan sebagai :

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri

dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 2

Hal ini tegas menyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang

erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja

mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.3

Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal 2

dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah :

“Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidan untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”4

Kata miitsaqan ghalidhan ini ditarik dari firman Allah SWT yang terdapat

pada Surah an-Nisa‟ ayat 21 yang artinya :

Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu,

padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai

suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian

yang kuat. (QS. an-Nisa : 21)

2

UU NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU NO. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2007), h. 2

3

Moh. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h. 38

4

(11)

Berkenaan dengan tujuan perkawinan tersebut di muat dalam pasal 3 KHI yang

berbunyi :

“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah,mawaddah dan rahmah tenteram cinta kasih dan sayang)”

Tujuan ini juga dirumuskan melalui firman Allah SWT yang terdapat

didalam Surat ar-Rum ayat 21 yang artinya :

Diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berpikir. (QS. ar-Rum/30:21)

Definisi perkawinan dalam fikih, dilihat dari arti bahasa memberikan

kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi sang laki-

laki. Hal ini menimbulkan kesan bahwa yang dilihat pada diri wanita adalah

aspek biologisnya saja. Ini terlihat dalam penggunaan kata al-wat‟ atau al

-istimta‟ yang semuanya berkonotasi seks.

Sementara definisi perkawinan yang ada pada UU No.1 tahun 1974

menyatakan bahwa perkawinan tidak lagi hanya dilihat sebagai hubungan

jasmani saja tetapi juga merupakan hubungan batin. Selain itu, dalam UU No.1

tahun 1974 tujuan perkawinan dieksplisitkan dengan kata bahagia. Hal ini

menunjukkan bahwa pada akhirnya perkawinan dimaksudkan agar setiap

manusia baik laki-laki ataupun perempuan dapat memperoleh kebahagiaan.5

5

(12)

Dari berbagai pengaturan Hukum Islam yang ada, dapat kita amati bahwa

pengaturan pernikahan yang sesuai dengan syar‟i dan hukum positif yang berlaku

adalah bertujuan untuk memuliakan baik suami maupun istri yang terikat dalam

tali pernikahan tersebut. Akan tetapi fenomena pernikahan yang terjadi sekarang

ini agaknya sudah banyak yang menyimpangi aturan syar‟i maupun aturan

hukum positif yang berlaku. Beberapa masalah pernikahan yang timbul antara

lain seperti: Pernikahan sirri (nikah di bawah tangan/secara diam-diam), talak

(cerai dibawah Tangan), serta pembagian harta bersama yang terdapat dalam

pernikahan sirri tersebut apabila terjadi perceraian.

Pernikahan sirri pada masa ini khususnya di Indonesia banyak dilakukan

karena berbagai alasan. Mulai dari alasan ekonomi, sosial, perbedaan

pemahaman serta masih banyak alasan lainnya. Akan tetapi dengan pengaturan

dari segi agama Islam dan hukum positif di Indonesia, dapatkah Pernikahan yang

dilakukan secara sirri mempertahankan eksistensinya dan menjamin serta

melindungi ikatan pernikahan tersebut dan akibat-akibat hukum lain yang

mungkin timbul dikemudian hari.

Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri meningkat berlalunya waktu.

Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio,

visual dan audiovisual) akan nikah siri yang dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis

namun segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga

menyebabkan proses conditioning terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses

(13)

berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang

berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan

dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.

Dalam penafsirannya, masyarakat mendefenisikan nikah siri sebagai

berikut:

1. pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia

(siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena

menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin

memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi

ketentuan-ketentuan syariat.

2. pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga

pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak

mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang

karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan;

ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang

melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.

3. pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu;

misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang

terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena

pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan

(14)

Sehingga kita perlu mengkaji secara spesifik tentang adanya perilaku

nikah siri di masyarakat. Ini dilakukan untuk membantu penyelesaian kontroversi

tentang pemberlakuan hukum pidana bagi pelaku nikah siri dan perlukah

disahkannya RUU HMPA yang sudah masuk ke dalam prolegnas.

Berdasarkan uraian di atas penulis bermaksud mengkaji lebih dalam lagi

mengenai permasalahn nikah sirrih, yang dalam hal ini akan megkaji tentang

hukuman atau pemberlakuan sanksi bagi para pelaku nikah sirri. Ini dimaksudkan

untuk menghilangkan kontroversi yang terjadi dikalangan masayrakat.

Berangkat dari penjelasan-penjelasan di atas, maka penulis membuat skripsi

dengan judul : “ PEMIDANAAN NIKAH SIRRI BERDASARKAN UU

NO.22 TAHUN 1946 jo. UU NO. 32 TAHUN 1954”. Dengan harapan bahwa skripsi ini dapat bermanfaat dan menyumbangkan sedikit keterangan mengenai

kontroversi serta perdebatan panjang mengenai hal ini.

B. Perumusan Masalah

Draft Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materi Pengadilan

Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPA) setidaknya menjelaskan tentang

ketentuan pidana, salah satunya adalah mempidanakan bagi orang yang

melangsungkan perkawinan tanpa dicatatkan pada lembaga negara yang

berwenang, yaitu Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor

Catatan Sipil bagi non-muslim.

Akan tetapi dalam ketentuan KUH Pidana membedakan antara kejahatan

(15)

perkawinan itu semata-mata adalah pelanggaran pidana bukan kejahatan pidana

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 530 ayat (1) bahwa seorang petugas agama

yang melakukan upacara perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan di

hadapan pejabat catatan sipil, sebelum dinyatakan kepadanya pelangsungan di

hadapan pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling

banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat (2) menyatakan bahwa jika pada

waktu melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan

yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti

dengan pidana kurungan paling lama dua tahun.

Dari uraian di atas maka penulis mengkerucutkan pada dua titik

pertanyaan, yaitu :

1. Bagaimana Pidana Nikah Sirri Menurut UU NO. 22 Tahun 1946 jo. UU NO.

32 Tahun 1954?

2. Bagaimana Klasifikasi Sanksi Pidana yang di Bebankan kepada Pelaku Nikah

Sirri?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari permasalahan-permasalahan tersebut maka tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pidana bagi pelaku nikah sirri berdasarkan

kepada UU 22 Tahun 1946.

2. Untuk mengetahui apa rumusan yang tepat bagi sanksi pelaku nikah siri.

Adapun manfaat dari tujuan penelitian ini adalah diharapkan hasil dari

(16)

orang atau lembaga yang berkepentingan dalam hal pengaturan tentang

pernikahan di Indonesia.

D. Studi Terdahulu

Dari sekian banyak literature skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang

ada di perpustakaan dan berbagai wacana yang berkaitan dengan pernikahan di

bawah umur. Penulis mengambil beberapa skripsi dan wacana tersebut untuk di

jadikan sebagai bahan perbandingan.Diantaranya adalah:

 Itsbat Nikah Bagi Pelaku Nikah Sirri (Study Kasus di PA Karawang- Jawa

Barat)

Oleh: Mu‟min Maulana Sidiq, SJAS 2010 skripsi ini membahas mengenai

permintaan itsbat nikah di PA Karawang.

Perbedaannya Dalam skripsi yang penulis buat lebih memfokuskan

kepada perlukah disahkannya RUU HMPA (Hukum Materil Peradilan Agama)

yang kiranya menimbulkan polemic dikalangan masyarakat.

E. Metode Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian hukum ini, maka dalam penelitian hukum

kita mengenal adanya penelitian secara yuridis. Penelitian yuridis dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan juga

disebut penelitian kepustakaan, ini dimaksudkan untuk mengkaji tentang perlu

atau tidaknya RUU HMPA itu disahkan.6

6

(17)

1. Metode Pendekatan

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode

pendekatan yuridis. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisa

berbagai peraturan perundang-undangan dibidang hukum perkawinan dan

hukum kekeluargaan islam.

2. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini, maka

hasil penelitian ini nantinya akan bersifat deskriptif analitis yaitu

memaparkan, menggambarkan atau mengungkapkan sistem hukum

perkawinan dan hukum kekeluargaan islam yang berlaku ataupun peraturan

perundangan lain, eksistensinya, dalam kehidupan masyarakat, khususnya

dalam pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan nikah (nikah sirri/bawah

tangan). Hal ini kemudian dibahas atau dianalisa menurut ilmu dan teori-teori

atau pendapat sendiri, dan kemudian terakhir menyimpulkannya.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana tipa bab terdiri

dari beberapa subbab. Sistematika merupakan uraian ringkas secara global terkait

hal-hal pokok yang dibahas, guna mempermudah dalam memahami dan melihat

hubungan suatu bab dengan yang lainnya.

Adapun uraian pada setiap bab adalah sebagai berikut :

(18)

menunjukkan maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan

mengungkapkan metodologi yang dipergunakn sebagai kerangka menuju uraian

yang sistematis dan terakhir sistematika penulisan.

Bab II berisikan Tinjauan Umum mengenai pernikahan menurut hukum islam, pengertian pernikahan, tujuan pernikahan, sahnya pernikahan,

hukum melakukan pernikahan, larangan-larangan perkawinan, pernikahan

menurut hukum positif Indonesia, pengertian perkawinan, tujuan perkawinan,

sahnya perkawinan, larangan, pencegahan dan pembatalan perkawinan,

pencatatan perkawinan, tentang pengertian pernikahan sirri.

Bab III Konsep dasar, dalam bab ini berisi tentang gambaran umum mengenai konsep maslahah dalam memandang pemidanaan pelaku nikah sirrim

dalam bab ini juga terdapat pendapat-pendapat ahli menyangkut pemidanaan

tersebut..

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kasus pernikahan siri dipandang dari segi pelaksanaan

UU yang sudah ada. Selanjutnya dalam bab ini juga akan dipaparkan mengenai

rencana hukuman yang tepat bagi pelakau nikah siri.

(19)

11

Perkawinan Menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat

kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.1

Pernikahan merupakan pengikatan janji nikah yang dirayakan atau

dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum

agama, negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan

variasi antar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya

maupun kelas social. Penggunaan adat atau aturan tertentu terkadang berkaitan

dengan aturan hukum agama tertentu pula.2

Nikah adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Sesuatu yang

haram bagi dia, berubah menjadi halal dengan sarana pernikahan. Implikasi

pernikahan sangat besar, luas dan beragam. Pernikahan adaalah sarana awal

mewujudkan sebuah tatanan masyarakat, yang dimana jika unit-unit keluarga baik

dan berkwalitas maka bisa dipastikan bangunan masayarakat yang diwujudkan akan

kokoh dan baik.

Karena sifatnya yang menjangkau kehidupan luas di luar keluarga, pernikahan

memiliki makna sangat strategis dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam konteks ini,

1

Abdurrrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:akademika Presindo, 2004), h.114

2

(20)

pemerintah jadi berkepentingan dalam mengatur institusi pernikahan, agar tatanan

masyarakat yang teratur dan tentram bisa diwujudkan. Hal ini tercermin dari UU NO.

1 tahun 1974 yang merupakan bentuk konkret pengaturan pemerintah soal pernikahan

kepada warga negaranya.

Dalam pasal 2 ayat (2) Undanga-Undang tersebut tertulis:

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”

Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam Bab 11 PP No. 9 Tahun 1975 yang

intinya menjelaskan bahwa sebuah pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan

hukum di hadapan UU jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan

oleh pegawai pencatat pernikahan (PPN) yang ditentukan oleh Undang-undang.

Aturan inilah yang pada akhirnya menimbulkan istilah yang disebut Nikah Sirri.

A. Pengertian Nikah Sirri

Nikah sirri secara bahasa berarti menikah secara sembunyi-sembunyi atau

secara rahasia. Kata sirri dalam bahasa Arab berasal dari kata sirrun yang berarti

rahasia.3 Menurut arti terminologis nikah sirri setidaknya mempunyai dua

pengertian, yaitu:

1. Pengertian yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, sebagaimana yang ditulis

oleh Syaikh Mahmud Syaltut, ada dua bentuk nikah sirri yaitu:

a. Akad pernikahan yang dilakukan tanpa saksi, tanpa publikasi dan tanpa

pencatatan. Para ahli fikih bersepakat melarang nikah sirri semacam ini.

3

(21)

b. Akad pernikahan yang dihadiri oleh para saksi, tetapi mereka diharuskan

untuk merahasiakan pernikahan tersebut. Para ahli fikih berbeda pendapat

mengenai sahnya nikah sirri seperti ini, sebagian ulama seperti Hanafiyah

dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa pesan agar saksi merahasiakan

terjadinya pernikahan tidak berpengaruh terhadap sahnya akad nikah

sebab adanya saksi menjadikan nikah tersebut tidak sirri lagi (menjadi

nikah „alaniyah). Sebagian ulama yang lain seperti Imam Maliki dan

ulama yang sependapat dengannya, berpendapat bahwa adanya pesan

untuk merahasiakan pernikahan telah mencabut kesaksian dari ruh dan

tujuan disyariatkannya, yaitu publikasi (I‟lan) oleh karena itu maka

pernikahan tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Hanabilah hukum

nikah sirri semacam ini adalah makruh.4

2. Pengetian nikah sirri berkembang di kalangan umat Islam Indonesia pada

umumnya, yaitu pernikahan yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat dan

rukun pernikahan yang tedapat dalam syariat Islam, tetapi tanpa melalui

Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sehingga pernikahan tersebut tidak dicatat

dalam Akta Perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

4

(22)

Menurut A. Zuhdi Muhdlor, nikah sirri adalah pernikahan yang

dilangsungkan di luar pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), sehingga

suami-isteri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah.5

Menurut Masjfuk Zuhdi perkembangan pengertian dan praktik nikah sirri

di kalangan masyarakat Islam Indonesia, paling tidak ada tiga tipe atau bentuk,

yaitu:

1. nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan

Syari‟at Islam (telah terpenuhi rukun dan syaratnya) tetapi masih bersifat

intern keluarga, belum dilakukan pencatatan oleh PPN dan belum dilakukan

pula upacara menurut Islam dan adat (walimatul ursy), suami-isteri belum

tinggal bersama karena isteri belum dewasa.

2. nikah yang dilangsungkan menurut Syari‟at Islam (memenuhi rukun dan

syarat nikah), dihadapan PPN dan telah memperoleh salinan akta nikah,

namun masih bersifat intern keluarga da belum diadakan resepsi pernikahan

serta suami-isteripun belum tinggal bersama.

3. nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan Syari‟at Islam saja,

namun karena terbentur PP No. 10/1983 jo. PP No. 45/1990 pernikahan

tersebut dilangsungkan secara diam-diam dan dirahasiakan untuk

menghindari hukuman disiplin.

5

(23)

Dari ketiga bentuk atau type nikah di atas, menurut Masjfuk Zuhdi yang

mengandung pengertian nikah sirri adalah type yang ketiga.6

Senada dengan pendapat di atas, Moh. Daud Ali mengemukakan bahwa

nikah sirri adalah pernikahan yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui

orang lain. Perkawinan di bawah tangan (nikah sirri) adalah perkawinan yang

dilakukan tanpa adanya pencatatan perkawinan dicatatan sipil bagi non muslim,

sedangkan bagi orang muslim perkawinannya tidak dicatatat di Kantor Urusan

Agama (KUA). Perkawinan dibawah tangan adalah perkawinan yang

dilaksanakan hanya berdasarkan ketentuan agama saja tanpa adanya pencatatan

oleh Pegawai Pencatan Nikah (PPN).7

B. Argumentasi Nikah Sirri

1. Perspektif Fikih Konvensional

Dalam perjalanan Hukum Islam, Nikah Sirri bukanlah masalah yang

baru karena di dalam kitab Al-Muwattha karya Imam Malik telah tercatat

bahwa istilah nikah sirri berasal dari perkataan Umar Ibnu al-Khattab r.a:

8

6

A. Ghani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan Mimbar Hukum No.23 Thn. VI 1995 November-Desember, (Jakarta:Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam). h.25

7

Ibid. h.25

8

(24)

Artinya: “Bahwasanya Umar dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang menikah tanpa ada saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata: Ini nikah sirri, Aku tidak membolehkannya, seandainya kamu

melakukannya pasti aku rajam.”

Pengertian nikah sirri dalam perspektif Umar tersebut adalah bahwa

syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun

sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kreteria Umar

dipandang sebagai nikah sirri.9

Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian

bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat

pada saksi itu sendiri.

Mengenai perihal saksi, para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Syafi‟i dan

Maliki) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan, bahkan

Syafi‟i berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah.10

Sehingga tidak sah suatu

pernikahan tanpa dihadiri saksi. Berdasarkan dalil:

Artinya: “tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cukup”.

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu study perbandingan dalam kalangan Ahlu-Sunnah dan Negara-negara Islam), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), Cet.2, h.153.

11

(25)

Nikah sirri merupakan salah satu bentuk nikah yang masih diperdebatkan

sah atau tidaknya oleh para Ulama. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 (dua)

golongan Ulama. Golongan pertama menyatakan bahwa nikah sirri adalah sah,

sedangkan golongan yang kedua menyatakan tidak sah.

a. Golongan Jumhur Ulama

Mereka menyatakan bahwa jika para saksi yang hadir dipesan oleh

pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan tidak

menyebarluaskan berita pernikahannya kepada khalayak ramai, maka

perkawinannya tetap sah. Sebaliknya meskipun pernikahannya itu diumumkan

atau disebarluaskan kepada khalayak ramai, tetapi ketika akad nikah

berlangsung tidak ada satupun saksi yang menyaksikan, maka perkawinan

tersebut tidak sah.12

Lebih lanjut dikatakan oleh Imam Syafi‟I, Abu Hanifah, Ibnu Mundzir,

Umar, Urwah, Sya‟bi dan Nafi‟, bahwa apabila terjadi akad nikah tetapi

dirahasiakan dan mereka pesan kepada yang hadir agar merahasiakannya pula,

maka perkawinannya sah, tetapi makruh karena menyalahi adanya perintah

untuk mengumumkan pernikahan. Sabda Nabi SAW dari Aisyah:

13

Artinya: “Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah di Masjid serta ramaikanlah dengan memukul rebana.” (HR at-Tirmidzi).

(26)

Senada dengan pendapat di atas, Mazhab Hanbali menyatakan nikah

yang telah dilangsungkan menurut syari‟at Islam adalah sah, meskipun

dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya, hanya saja

hukumnya makruh.14

b. Golongan Maliki

Mereka menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib dan

cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Tetapi jika sebelum

akad nikah diumumkan kepada khalayak ramai sudah terjadi persenggamaan,

maka pernikahannya batal, meskipun saat akad dihadiri oleh para saksi.15

Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan

mengenai ketentuan bahwa akad nikah yang persaksiannya tidak disebut

secara tegas dalam al-Qur‟an dibanding dengan ketentuan mengenai akad jual

beli mu‟ajjal atau utang piutang yang disebut dalam surat al-Baqarah: 282.

Kalau yang disebut yakni saksi akad jual beli saja ditemukan dalil

menyatakan tidak wajib, maka untuk yang tidak disebut-sebut dalam hal ini

yaitu saksi akad nikah, tentulah tidak wajib juga.16

Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-laki

yang mengawini seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang

laki-laki tetapi dipesan agar mereka merahasiakannya; lalu jawabnya: Keduanya

14

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h.187

15

Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h.48.

16

(27)

harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya

berhak atas maharnya yang diterimanya, sedang kedua orang saksinya tidak

dihukum.17

2. Perspektif Hukum Positif

Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan akan

diakui dan mendapatkan legalitas dari Negara apabila memenuhi dua syarat

berikut:

a. Telah memenuhi ketentuan hukum materil, sebagaimana perintah UUP No. 1

Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1), yaiut pernikahan telah

dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukum agama

masing-masing. Maka bagi orang Islam, pernikahan itu sah apabila telah

memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan oleh syari‟at

Islam.

b. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, sebagaimana yang tercantum dalam

UUP No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (2), yaitu pernikahan

tersebut telah dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berwenang

dan telah memperoleh bukti otentik berupa akta nikah.

Moh. Idris Ramulyo mengertikan nikah di bawah tangan sebagai suatu

perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia maupun pihak

17

(28)

diluar mereka, yang telah memenuhi baik rukun maupun syarat-syarat

perkawinan, akan tetapi tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN).18

Berdasarkan dari pengertian yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa

perkawinan di bawah tangan telah sah menurut hukum Islam, asalkan dalam

perkawinan tersebut sudah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah

ditetapkan syari‟at. Dengan kata lain bahwa akad denga cara ini benar dan sah

adanya, akan tetapi perkawinan tersebut tidak diakui dan tidak mendapat legalitas

dari Negara.

Adapun pengakuan resmi (penulisan akad) dengan arti tercatat resmi di

Kantor Urusan Agama (KUA) adalah perkara yang diwajibkan oleh

undang-undang, yang difungsikan untuk menjaga akad ini dari pengingkaran dan

penipuan setelah dilaksanakannya, baik itu dari pihak suami-isteri maupun dari

pihak di luar mereka berdua.

Dilihat dari teori hukum yang menyatakan bahwa bahwa perbuatan

hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan

hukum, sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. Sebaliknya suatu tindakan

yang dilakukan tidak menurut aturan aturan hukum, maka tindakan tersebut tidak

dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu

melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan

dilindungi oleh hukum.19

18

Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), cet. Ke-1, h.40-41

19

(29)

Dengan demikian suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai

perbuatan hukum (menurut hukum) apabila dilakukan menurut ketentuan hukum

yang berlaku di Indonesia (hukum positif). Ketentuan hukum yang mengatur

mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang

diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan dengan tata

cara demikianlah yang mempunyai akibat hukum, yakni yang mendapat

pengakuan dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri, sehingga

dengan demikian eksistensi perkawinan secara yuridis formil diakui.

Sejalan dengan kerangka teoritik di atas, maka suatu akad nikah dapat

dilakukan dalam dua bentuk: Pertama, akad nikah semata-mata hanya menurut

aturan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan; Kedua, akad

nikah dilakukan menurut aturan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan secara simultan.

Dalam hal ini, pernikahan sirri termasuk dalam kategori pertama,

karenanya perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama sesuai dengan yang

tertera pada pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, namun perbuatan ini belum

termasuk kategori perbuatan hukum sehingga belum mendapat pengakuan secara

hukum. Perbuatan perkawinan baru dikatakan perbuatan hukum apabila

memenuhi unsur tata cara agama dan tata cara pencatatan perkawinan. Kedua

(30)

berfungsi sebagai pertanda keabsahan dan unsur kedua sebagai pertanda hal

tersebut merupakan perbuatan hukum, sehingga berakibat hukum.20

Pasal 26 Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa, UU hanya

memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.21

Dengan kata lain, pasal tersebut menjelaskan perkawinan yang sah yaitu yang

memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (KUHPer), sehingga syarat-syarat dan peraturan agama dikesampingkan.

20

A. Ghani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan, Mimbar Hukum No. 23 Tahun VI/1995 November-Desember, (Jakarta:al-hikmah dan DITBINBAPERA Islam), h. 48

21

(31)

23 A. Hukum Pidana Positif

1. Pengertian Hukum Pidana

Sebelum melangkah lebih jauh dalam berbicara hukum pidana,

umumnya kita mempertanyakan mengenai apa defenisi dari apa yang hendak

kita bahas dan uraikan. Khusus dalam masalah hukum pidana, tentunya kita

akan bertanya, apakah hukum pidana itu ?

Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut, tentunya kita

akan menyandarkannya pada pendapat para ahli dalam bidang ini. Terdapat

berbagai macam pendapat dan defenisi yang mereka berikan, berikut

merupakan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian hukum pidana:

a. Moeljatno mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan

dasar-dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak

boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang

berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan

tersebut. Untuk menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka

yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau

dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Dan untuk

(32)

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.1

b. Selanjutnya Satochid Kartanegara mengatakan, bahwa Hukum Pidana

dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu: Hukum Pidana dalam arti

objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan

atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan

hukuman. Dan, Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah

peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang

melakukan perbuatan yang dilarang.

c. Bambang Poernomo dalam bukunya, menyatakan bahwa Hukum Pidana

adalah hukum sanksi. Defenisi itu diberikan berdasarka ciri hukum pidana

yang membedakan dengan lapangan hukum lainnya, yaitu bahwa hukum

pidana sebenarnya tidak mengadaklan norma sendiri melaikan sudah

terletak pada lapangan hukum yang lain dan sanksi pidana diadakan untuk

menguatkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana. Secara

tradisional defenisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana

itu berkembang dengan pesat.2

Berdasarkan berbagai macam pendapat dari para tokoh atau pakar dalam

bidang ini , maka penulis dapat menarik sebuah kesimpulan dan menyatakan

1

Moeljatno, Hukum pidana: delik-delik percobaan, delik-delik penyertaan, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), h. 19-22

2

(33)

bahwa Hukum Pidana itu adalah sekumpulan aturan atau peraturan hukum yang

dibuat oleh negara untuk kepentingan masyarakat yang isinya berbentuk larangan

dan keharusan sehingga yang melakukan pelanggaran dari isi aturan tersebut

akan dikenai sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara.

2. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia

Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang

dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah

bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.

Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah:

Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan

dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan

Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan

bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem

Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu

kepada sistem Anglo Saxon.3

Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia

modern dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan

hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris

sebagai “procedural law” dan hukum pidana materiil sebagai “substantive law”.

Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu,

3

(34)

KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.

3. Tujuan Hukum Pidana Positif

Untuk dapat mengetahui apakah tujuan daripada penerapan hukum pidana

tersebut maka , ada baiknya jika kita kembali melihat pendapat dari beberapa

tokoh atau pakar yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya. Pada intinya

bahwa hukum pidana itu berisikan larangan dan keharusan yang disertai dengan

sanksi pidana. Maka, kita dapat memberikan suatu gambaran tentang tujuan

sebenarnya dari penerapan hukum pidana itu.

Secara maknawi bahwa tujuan hukum pidana itu sebenrnya adalah untuk

mencegah timbulnya gejala-gejala social yang dianggap kurang sehat atau

menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat disamping sebagai pengobatan

bagi mereka yang telah melakukan penyimpangan atau pelanggaran terhadap

aturan-aturan pidana yang berlaku.

Ketika berbicara tentang tujuan dari penerapan hukum pidana itu,

dikenal dua macam aliran, yaitu:

a. Aliran Klasik beranggapan bahwa hukum pidana itu bertujuan untuk

menakut-nakuti setiap orang agar supaya menjauhi perbuatan-perbuatan yang

tidak baik. Yang pada intinya, untuk melindungi individu atau warga dari

kekuasan pemerintah atau negara.

b. Aliran Moderen mengatakan bahwa tujuan hukum pidana itu adalah untuk

(35)

tidak baik agar menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan

bermasyarakat dan lingkungannya.4

Namun demikian, adapula beberapa tokoh yang memandang perlunya ada

aliran ketiga, yang merupakan perpaduan antara aliran klasik dan aliran modern.

Di dalam KUHP Pasal 51 disebutkan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah:5

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orangyang lebih baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarkat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

4. Jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Positif

Sanksi dalam hukum pidana telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP yang

berbunyi sebagai berikut:

Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan hukum pidana: reformasi hukum, (Jakarta, Grasindo Utama, 2008), h. 36

5

(36)

4. Denda

b. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman putusan hakim.

Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman

selain yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP.

Berikut merupakan penjabaran mengenai pidana pokok dan pidana tambahan:

a. Pidana Pokok

1. Pidana Mati

Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan

terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan

berencana (Pasal340 KUHP), pencuruan dengan kekerasan (Pasal 365

ayat(4), pemberontakan yang diatur dalam pasal 124 KUHP.

2. Pidana Penjara

Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu

berupa hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat

dari kurungan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan.

Adapun kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap

pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian. Hukuman

penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini

(37)

a) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.

b) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu

hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

c) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua

puluh tahun berturut-turutdalam hal yang pidananya Hakim boleh

memilih antara Pidana Mati, pidana seumur hidup dan pidana

penjara selama waktu tertentu atau antar pidana penjara selama

waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat

dilampaui karena pembarengan (concursus), pengulangan

(residive) atau Karena yang telah ditentukan dalam pasal 52.

d) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih

dari dua puluh tahun.

3. Pidana kurungan

Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan antara

lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan

membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya:

tempat tidur, selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan

dalam pasal 18 KUHP yang berbunyi :

a) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan

paling lama satu tahun.

b) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun

(38)

gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal

52 dan 52 a.

4. Hukuman Denda.

Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga

diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative

atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda

ditentukan minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimim, tidak

ada ketentuan. Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30

KUHP,yang berbunyi:

a) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.

b) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar

maka diganti dengan hukuman kurungan.

c) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda

sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.

d) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa,

bahwa harga setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu

hari, buat harga lebih tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah

gantinya tidak lebih dari satu hari, akhirnya sisanya yang tak

cukup, gantinya setengah rupiah juga.

e) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya

(39)

karena ada gabungan kejahatan, karena mengulangi kejahatan

atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a.

f) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan

bulan.

Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik

keluarga atau kenalan dapat melunasinya.

b. Pidana Tambahan.

1. Pencabutan hak-hak tertentu.

Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi:

Ayat (1) Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim

dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam

undang-undang umum lainnya, ialah:

a. Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu;

b. Masuk balai tentara;

c. Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena

undang-undang umum;

d. Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu

atau pengampu pengawas atas orang lain yang bukan ankanya

sendiri;

e. Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya

sendiri;

(40)

Ayat (2) Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari

jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk

pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan

itu.

2. Perampasan Barang Tertentu.

Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang

yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik

terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang

milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya.

Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi:

a) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan

kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan

kejahatan, boleh dirampas.

b) Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan

tidak dengan sengaja atau karena melakujkan pelanggran dapat

juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah

ditentukan oleh undang-undang.

c) Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atsa orang yang

bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi

(41)

3. Pengumuman Putusan Hakim

Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumuman kepada

khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih

berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim

dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas

biaya si terhuku. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan

hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHP).

5. Asas-asas Dalam Hukum Pidana

Dalam hukum pidana dikenal berbagai macam asas yang berlaku untuk

keseluruhan perundang-undangan pidana yang ada, kecuali dalam hal-hal khusus

yang telah diatur secara terpisah dalam undang-undang tertentu (lex spesialis)

seperti yang telah disebut pada Paasal 103 KUHP. Meskipun demikian, terdapat

asas yang sangat penting dan sebaiknya tidak boleh diingkari, karena asa tersebut

dapat dikatakan sebagai pondasi atau tiang penyangga hukum pidana. Asas-asas

tersebut dapat kita simpulkan dari pasal-pasal awal Buku I KUHP, ada beberapa

asas yang akan dijelaskan di bawah ini:6

a. Asas Legalitas

Asas legalitas dapat dikatakan sebagai tiang penyangga dari hukum

pidana. Asas ini tersirat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu:

“tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana

dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”

6

(42)

Berdasarkan rumusan tersebut, secara tegas ditunjuk perbuatan mana

yang dapat berakibat pidana, dalam artian bahwa bukan perbuatannya yang

dipidanakan akan tetapi orang yang melakukan perbuatan tersebut. Dengan

catatan bahwa perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan

pidana sebagai perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana dan serta

perundang-undangan itu harus telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.

Adapun makna yang terkandung dalam asas legalitas tersebut adalah

bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau

perbuatan itu terlebih dahulu belum diatur dalam UU, bahwa untuk

menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi, dan bahwa

undang-undang hukum pidana itu tidak berlaku surut/mundur.

b. Asas Hukum Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege

Telah disebutkan bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana

pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak

tertulis. Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas

perbuatan yang telah dilakukannya. Akan tetapi sebelum itu, mengenai

dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan

pidananya sendiri, mengenal criminal act, juga ada dasar yang pokok, yaitu

asas legalitas, asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu

(43)

Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege. (tidak ada delik, tidak ada

pidana tanpa peraturan lebih dahulu).

c. Asas Teritorial

Menurut asas territorial ini, berlakunya undang-undang pidana suatu

negara semata-mata digantungkan pada tempat dimana tindak pidana atau

perbuatan pidana itu dilakukan. Tempat terjadinya itu harus dalam wilayah

atau teritori negara yang bersangkutan.

Pasal 2 KUHP merumuskan aturan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana

di Indonesia. Perkataan setiap orang mengandung arti baik warga negara

Indonesia. Dalam hal ini, melakukan perbuatan, terdapat kemungkinan bahwa

perbuatannya sendiri tidak di Indonesia, tetapi akibatnya terjadi di Indonesia.

Misalnya,seseorang yang dari luar negeri mengirimkan paket berisi bom dan

kemudian meledak serta membunuh orang ketika dibuka di Indonesia.

d. Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif)

Berdasarkan asas perlindungan ini, peraturan hukum pidana Indonesia

berfungsi untuk melindungi keamanan kepentingan hukum terhadap

gangguan dari setiap orang di luar Indonesia terhadap kepentingan hukum

Indonesia. Hal ini telah diatur dalam Pasal 3 KUHP.

Dengan demikian tidak semua kepentingan hukum dilindungi, kecuali

hanya kepentingan yang vital dan berhubungan dengan kepentingan umum,

(44)

yang dilindungi adalah kepentingan yang bersifat umum dan luas, dan bukan

kepentingan pribadi atau golongan. Dapat kita simpulkan jika ternyata di luar

negeri sebenarnya kepentingan pribadi Warga Negara Indonesia kurang

terlindungi.

e. Asas Personal (Asas Nasional Aktif)

Menurut asas personal ini, ketentuan hukum pidana berlaku bagi

setiap Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar

wilayah Indonesia. Bagi mereka yang melakukannya dalam wilayah

Indonesia telah diliputi oleh asas territorial pada Pasal 2 KUHP.

Sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 5 KUHP,akan tetapi

dengan pembatasan tertentu yang dirumuskan pada bagian ke 1 dan 2 dari

pasal tersebut. Ketentuan tersebut khususnya pada butir ke 2 disebabksan

oleh kenyataan bahwa tidak semua negara mengadakan pembagian antara

kejahatan dan pelanggaran sebagaimana halnya Indonesia sehingga

ukurannya adalah yang di Indonesia termasuk sebagi kejahatan.

f. Asas Universal

Sebagaimana amanah pada pembukaan UUD 1945 yang merumuskan

agar negara ini ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia, KUHP

Indonesia juga mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan-perbuatan

seperti pembajakan di laut, meskipun berada di luar wilayah Indonesia tetapi

masih dalam kendaran air, yakni wilayah laut bebas (mare liberum).

(45)

Asas itu disebut sebagai asas universal karena bersifat global, mendunia dan

tidak membeda-bedakan warga negara apapun, yang penting adalah

terjaminnya ketertiban dan keselamatan dunia.

Dalam Pasal 9 KUHP dirumuskan bahwa belakunya Pasal 2-7 dan 8

KUHP dibatasi oleh pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.

Misalnya bahwa hukum internasioanal mengakui adanya kekebalan atau

imunitas diplomatic dan hak eksteritorial yang dimiliki oleh kepala negara

asing, duta besar dan para diplomat serta personel angkatan perang negara

asing yang berada di Indonesia atas izin Pemerintah Indonesia.

Apabila sesuatu hal terjadi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki

hak imun tersebut yang dapat dipidana menurut KUHP, maka jalan

penyelesaiannya melalui jalur diplomatic dan hukum internasional. Misalnya

dengan cara menyatakan yang bersangkutan sebagai persona non grata dan

dengan cara meminta negara tempat asalnya untuk menarik kembali orang

tersebut. Secara hukum internasional juga dikenal adanya perjanjian

ekstradisi, tetapi di dalam ekstradisi itu terdapat asas bahwa suatu negara

tidak akan menyerahkan warga negaranya sendiri untuk diadili oleh negara

lain sekiranya warganya melakukan kejahatan di negara lain. Demikian pula

tidak akan diserahkan mereka yang melakukan kejahatan politik dan orang

(46)

B. Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah.

Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau

perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang

dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil

hukum yang terperinci dan Alquran dan hadis.7 Tindakan kriminal dimaksud,

adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum

serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari

Alquran dan hadis.

Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung

kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syariat

Islam dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap

manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu.

menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri

sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang

berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus

ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.

Alquran merupakan penjelasan Allah tentang syariat, sehingga disebut

al-Bayan (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar mempunyai

7

(47)

empat cara dan salah satu di antaranya adalah Allah memberikan penjelasan

dalam bentuk nash (tekstual) tentang syariat sesuatu, misalnya orang yang

membunuh tanpa hak, sanksi hukum bagi pembunuh tersebut adalah harus

dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari pengadilan. Orang

berzina harus dicambuk 100 kali bagi pelaku yang berstatus pemuda dan

pemudi. Namun bagi pelaku yang berstatus janda atau duda dan/atau sudah

menikah hukumannya adalah rajam.

2. Asas-Asas Hukum Pidana.8

Asas-asas hukum pidana Islam adalah asas-asas hukum yang

mendasari pelaksanaan hukum pidana Islam, di antaranya:

a. Asas Legalitas

Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada

pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang

mengaturnya. Asas ini berdasarkan Alquran Surah Al-Israa' (17) ayat 15

dan Surah Al-An'aam (6 ) ayat 19. Hal itu diungkapkan sebagai berikut.

(

sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa

8

(48)

orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus

Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Alquran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Alquran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah (QS.

Al-An‟am/6:19) ".10

Kedua ayat yang diungkapkan di atas, mengandung makna bahwa

Alquran diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad supaya menjadi

peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu. Asas

legalitas ini telah ada dalam hukum Islam sejak Alquran diturunkan oleh

Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw.

b. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Kepada Orang Lain

Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan

manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan

mendapatkan imbalan yang setimpal. Asas ini terdapat di dalam berbagai

9

Yayasan Penyelenggaran Penterjemah, Dep. Agama RI, Al-Qur‟an dan Tejermahnya,

(Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an, 1985), h. 426

10

(49)

surah dan ayat di dalam Alquran: Surah An'aam ayat 165. Surah

Faathir ayat 18 Surah Az-Zumar ayat 7, Surah An-Najm ayat 38, Surah

Al-Muddatstsir ayat 38. Sebagai contoh pada ayat 38 Surah Al-Al-Muddatstsir

Allah menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia

kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang

dibuat oleh orang lain.

c. Asas Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa

seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak

bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan

dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini diambil dari ayat-ayat Alquran

yang menjadi sumber asas legalitas dan asas larangan memindahkan

kesalahan pada orang lain yang telah disebutkan.

3. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam

Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan

(termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baik berbuat zina

(alqadzaf), meminum minuman memabukkan (khamar), membunuh dan/atau

melukai seseorang, pencurian, merusak harta seseorang, melakukan

gerakan-gerakan kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.

Hukum kepidanaan dimaksud disebut jarimah. Jarimah terbagi dua, yaitu

(1) jarimah hudud dan jarimah ta'zir. Kata Hudud (berasal dari bahasa Arab)

(50)

antara lain batasan atau definisi, siksaan, ketentuan atau hukum. Had dalam

pembahasan fikih (hukum Islam) adalah ketentuan tentang sanksi terhadap pelaku

kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral; sedangkan menurut syariat Islam,

yaitu ketetapan Allah yang terdapat di dalam Alquran, dan/atau kenyataan yang

dilakukan oleh Rasulullah saw. Tindak kejahatan dimaksud, baik dilakukan oleh

seseorang atau kelompok, sengaja atau tidak sengaja, dalam istilah fikih disebut

dengan jarirnah. Jarimah hudud adalah tindak kejahatan yang dilakukan oleh

seseorang atau lebih seorang yang menjadikan pelakunya dikenakan sanksi had.11

Jenis-jenis had yang terdapat di dalam syariat Islam, yaitu rajam, jilid atau

dera, potong tangan, penjara/kurungan seumur hidup, eksekusi bunuh,

pengasingan/deportasi, dan salib. Adapun jarimah, yaitu delik pidana yang

pelakunya diancam sanksi had, yaitu zina (pelecehan seksual); qadzaf (tuduhan

zina); sariqah (pencurian), harabah (penodongan, perampokan, teroris); Khamar

(minuman dan obat-obat terlarang); bughah (pemberontakan atau subversi); dan

riddah/murtad (beralih atau pindah agama). Selain jarimah hudud dalam hukum

pidana Islam, ada juga jarimah ta'zir. Jarimah ta'zir secara harfiah bermakna

memuliakan atau menolong. Namun, ta 'zir dalam pengertian istilah hukum Islam

adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya

dikenai had dan tidak pula harus membayar kaffarah atau diat. Tindak pidana

yang dikelompokkan atau yang menjadi objek pembahasan ta 'zir adalah tindak

pidana ringan seperti pelanggaran seksual yang tidak termasuk zina, tuduhan

11

(51)

berbuat kejahatan selain zina, pencurian yang nilainya tidak sampai satu nisab

harta.12

Jenis hukuman yang termasuk jarimah ta 'zir antara lain hukuman penjara,

skorsing atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan jenis

hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dan pelakunya. Dalam

hukum Islam jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta'zir diserahkan

sepenuhnya kepada kesepakatan manusia. Menurut Imam Abu Hanifah,

pelanggaran ringan yang dilakukan oleh seseorang berulang kali dapat dilakukan

atau dapat dijatuhi oleh hakim hukuman mati. Misalnya pencuri yang dimasukkan

lembaga pemasyarakatan, lalu masih mengulangi untuk mencuri ketika ia sudah

dikenai sanksi hukuman penjara, hakim berwenang menjatuhkan hukuman mati

kepadanya.

Keputusan mengenai sanksi hukum dan pihak yang diberi kewenangan

untuk menetapkan jenis hukuman dan pelaksanaan ta 'zir adalah pihak pemerintah

kecuali guru dalam rangka mendidik muridnya-muridnya, orang tua dalam rangka

mendidik anak-anaknya, suami dalam rangka mendidik istrinya. Ketentuan

dimaksud, perbuatan yang dilakukan oleh guru, orang tua, suami, hakim, sebatas

sesuai dengan kepatutan dan bersifat upaya mendidik, bukan sengaja untuk

menyakiti atau mencederai.

Selain itu, perlu diungkapkan bahwa dalam hukum pidana Islam dikenal

delik pidana qishash. Secara harfiah qishash artinya memotong atau membalas.

12

(52)

Qishash yang dimaksud dalam hukum pidana Islam adalah pembalasan setimpal

yang dikenakan kepada pelaku pidana sebagai sanksi atas perbuatannya. Lain

halnya diat. Diat berarti denda dalam bentuk benda atau harta berdasarkan

ketentuan yang harus dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak korban sebagai

sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya.

Sanksi hukum bagi orang yang membunuh diserahkan kepada manusia,

dalam arti manusia sebagai subjek hukum diberikan kewenangan untuk memilih

sanksi hukum dan dua alternatif, yaitu (a) pembunuh itu diberikan hukurnan yang

setimpal, yaitu dibunuh bagi pembunuhan yang disengaja, dan (b) pembunuh

membayar diat kepada keluarga korban bagi pembunuhan yang tidak disengaja.

Oleh karena itu, Ibnu Rusyd seperti yang dikutip oleh Arif Furgan

menge-lompokkan qishash menjadi dua, yaitu qishash an-nafs (pembunuhan) dan qishash

ghair an-nafs (bukan pembunuhan). Qishash an-nafs, yakni qishash yang

membuat korbannya meninggal. Qishash ghairu an-nafs yaitu qishash yang

berkaitan dengan pidana pencederaan atau melukai, namun korbannya tidak

sampai meninggal. Kelompok pertama disebut al-qatlu (pembunuhan) dan

kelompok kedua disebut al-jarhu (pencederaan).13

4. Jenis Hukuman

Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum

pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukuman yang pasti

13

(53)

mengenai berat ringannya hukuman termasuk qishash dan diat yang tercantum di

dalam Alquran dan hadis. Hal dimaksud disebut hudud, (b) ketentuan hukuman

yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut hukuman ta 'zir. Hukum

publik dalam ajaran Islam adalah jinayah yang memuat aturan mengenai

perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun

dalam jarimah ta 'zir. Jarimah adalah perbuatan tindak pidana. Jarimah hudud

adalah perbuatan pidana yang mempunyai bentuk dan batas hukumannya di

dalam Alquran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Lain halnya jarimah ta 'zir.

Jarimah ta'zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya

ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya

5. Tujuan Hukum Islam

Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan

kemauan Pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketenteraman

masyarakat. Oleh karena itu, putusan hakim harus mengandung rasa keadilan agar

dipatuhi oleh masyarakat. Masyarakat yang patuh terhadap hukum berarti

mencintai keadilan. Hal ini, berdasarkan dalil hukum yang bersumber dan

Alquran Surah An-Nisaa' ayat 65: menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya(QS. Al-Isra/17:15).14

14

Gambar

Grafika, 2010).
Grafika, 1995), cet. Ke-1

Referensi

Dokumen terkait

<is>Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan iireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk

Di dalam rajah 4.6 diatas menunjukan jumlah nilai purata yang terkecil merupakan pilihan utama masalah komunikasi olih pihak pekerja terhadap kontraktor Daripada kajian

Straipsnyje keliami uždaviniai: ištirti, kokiu mastu Europos Sąjun- gos šalių narių nacionalinės bibliotekos kuria skaitmenines knygas turimų spausdintinio paveldo

Bagi pihak dokter, prestasi berbuat sesuatu adalah kewajiban hukum untuk berbuat dengan se- baik dan secara maksimal (perlakuan medis) bagi kepentingan kesehatan

Skripsi yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Menulis Paragraf Deskripsi Ragam Krama Melalui Metode Pemodelan dan Media Gambar Tematik pada Siswa Kelas X IIS 2

Tanggal Pembayaran atas Pembelian Saham Publik 30 Juni 2012 Tanggal Efektif Penggabungan Usaha 01 Juli 2012 Tanggal Awal Perdagangan Saham Hasil Penggabungan di Bursa 01 Juli

Pihak Pertama menyediakan dana untuk modal Usaha Pembiayaan Karyawan berupa uang tunai sebagaimana yang diatur pada Pasal 1.. Pihak Pertama Bersedia mencairkan dana tersebut di

Teman-teman dan kakak-kakak kost tiana putri yang ku sayang, terutama kak Tetty Nurtiasih, Ossela Sandra Witasari, dan Sanina Khairiah yang telah banyak membantu dalam pengerjaan