• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Sustainable Development Principle Dalam Deklarasi Rio Branco (Kolaborasi Sub-Nasional Governors Climate And Forest Task Force) dan Status Hukum Negara Bagian dan Provinsi Penandatangan Deklarasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep Sustainable Development Principle Dalam Deklarasi Rio Branco (Kolaborasi Sub-Nasional Governors Climate And Forest Task Force) dan Status Hukum Negara Bagian dan Provinsi Penandatangan Deklarasi"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

Arifin, Syamsul. 2012. Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Jakarta : PT. Sofmedia.

Gardiner, Richard K. 2003. International Law. University College London. England : Pearson Education Limited.

Harper, Erica. International Law and Standart Applicable in Natural Disaster Situation (Perlindungan Hak-hak Warga Sipil dalam Situasi Bencana). Jakarta : PT. Grasindo.

Hardjasasoemantri, Koesnadi. 2013. Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII Cetakan ke-21. Yogyakarta : Gadjah Mada University.

_________.2006. Hukum Perlindungan Lingkungan : Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Yogyakarta : Gadjah Mada University.

Hocking, Brian dan Michael Smith. 1990. World Politics: An Introduction to International Relations. New Jersey : Princeton University Perss.

Holsti, Kalevi Jaakko. 1998. International Politics : A Framework for Analyisis, The State, War, and The State of War, Peace and war : Armed Conflicts and International order, 1648-1989, Taming the Sovereigns : Institusional Change in International Politics, The Dividing Dicipline : Hegemony and Diversity in International Theory. Jakarta : Erlangga.

Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan, Cetakan ke-1. Jakarta : Sinar Grafika.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional Edisi ke- II, Cetakan ke-1. Bandung : PT. Alumni.

Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global Cetakan ke-2. Bandung : PT. Alumni.

Muhajir, Mumu dkk. 2010. Seri Hukum dan Keadilan Iklim : REDD di Indonesia, ke Mana Akan Melangkah? Studi tentang Kebijakan Pemerintah dan Kerentanan Sosial Masyarakat. Jakarta : HuMa.

Putra, Ida Bagus Wyasa. 2003. Hukum Lingkungan Internasional “Perspektif Bisnis Internasional”. Bandung : PT. Refika Aditama.

(2)

Rangkuti, Siti Sundari. 1987. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Nasional Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press.

Salim, Emil. 1998. Pola Pembangunan Terlanjutkan dalam WCED, Hari Depan Kita Bersama, (Judul asli : Our Common Future) Terjemahan Bambang Sumantri. Jakarta : PT. Gramedia.

Sefriani. 2011. Hukum Internasional “Suatu Pengantar”. Jakarta : Rajawali Pers. Sembiring, Sulaiman dan Firsty Husbany. 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia “Menuju Pengembangan

Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat”. Lembaga

Pengembangan Hukum Lingkungan/Indonesian Centre for Environtmental Law (ICEL).

Soemarwoto,O. 1983. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta : Jambatan.

Soemitro,P. 1999. Sebuah Nama Baru Bagi Perdamaian Environtmentalism Internasional, Pembangunan Berkelanjutan dan Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia.

Sunarso, Siswanto. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Viotti , Paul R and Mark V. Kauppi. 2006. International Relation and World

Politic, Security, Economy, Identity” (Third Edition) Chapter 6

International Cooperation and International Security: International Organizations, Alliances, and Coalitions”. Upper Saddle River.

WCED.1987. Our Common Future diterjemahkan menjadi Hari Depan Kita Bersama oleh Bambang Soemantri. Jakarta : PT. Gramedia.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(3)

Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerja Sama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor.P30/Menhut.II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dan Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)

Perda Kalimantan Tengah Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi dalam Usaha Perkebunan

Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 37 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Kesatuan Pengelolaan Hutan Pada Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah

C. INTERNET http://blog.cifor.org

http://www.gcftaskforce.org/background/documents /stakeholder/bahasa/ GCF-bahasa-1.pdf

http://www.gcftaskforce.org, Aceh Meeting Summary June 2010 Indonesian http://www.gcftaskforce.org,Official_Minutes_Decisions_GCF_Annual_Meeting

_ID-1

http://www.gcftaskforce_org/resource_library/articles/article_2014_93_un_clima te_summit

http://www/kemenlu.go.id http://www/meneglh.go.id http://Wikipedia.org//com

http://pembangunanberkelanjutan.wikipedia.org//

http://www.theredddesk.org/countries/indonesia/legal/framework “Kerangka Hukum REDD+ Indonesia

http://www.reddplus.go.id/tanya-jawab D. JURNAL ILMIAH DAN BAHAN LAIN

Hukum dan Konsep Pembangunan Berwawasan Lingkungan oleh Manahan Napitupulu, Juara III Lomba Mengarang Mahasiswa Hukum se-Indonesia 1989 Senat Mahasiswa FH-UI dan Majalah Hukum dan Pembangunan. Jurnal Hukum Internasional : The Right To A Healthy Environtment:

International Law Perspective oleh Mas Achmad Santosa (Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia). 2005.

_____________________ : Peranan dan Kedudukan Hukum Lingkungan Internasional Dewasa Ini oleh Professor Daud Silalahi.2005.

(4)

BAB III

STATUS HUKUM DEKLARASI RIO BRANCO DAN KOLABORASI

SUB-NASIONAL GOVERNOR’S CLIMATE AND FOREST TASK FORCE

SEBAGAI SUBJEK DAN SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

A. Kajian Umum tentang Kolaborasi Antar Negara menurut Perspektif Hukum

Internasional

Saling ketergantungan antara negara-negara di dunia di berbagai bidang mengharuskan negara-negara melakukan sebuah hubungan internasional. Hubungan yang dimaksud tentunya yang bersifat kerjasama atau kemitraan yang bersifat lintas negara. Dewasa ini, hubungan internasional bukan hanya mengenai hubungan yang dilakukan oleh negara dengan negara saja, tetapi juga hubungan antara negara dengan subjek hukum bukan negara; hubungan antara subjek hukum bukan negara satu sama lain.

Faktor saling membutuhkan satu sama lain antar negara-negara di dunia menjadi pendorong pembentukan hubungan internasional yang lebih kompleks. Umumnya hubungan kerjasama internasional yang sering dilakukan adalah pembentukan organisasi internasional. Tipologi organisasi internasional dibedakan atas:119 organisasi yang bersifat universal dan yang bersifat regional; organisasi terbuka dan tertutup; organisasi politik dan organisasi teknik; organisasi kerjasama dan organisasi integrasi.

(5)

Organisasi internasional adalah suatu organisasi yang dibuat oleh anggota masyarakat internasional secara sukarela atau atas dasar kesamaan yang bertujuan menciptakan perdamaian dunia dalam tata hubungan internasional.120

Menurut Pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969, organisasi internasional adalah organisasi antar pemerintah. Definisi yang dianggap cukup sempit, karena selain terbatas untuk hubungan pemerintah saja, juga tidak membuat penjelasan mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu organisasi untuk bisa dinamakan organisasi internasional.121

Namun perkembangan di dunia internasional menunjukkan bahwa organisasi internasional bukan hanya organisasi internasional antar pemerintah (inter-govermental organizations-IGO’s) namun juga organisasi-organisasi non-pemerintah (non-governmental organizations-NGO’s). Istilah “non-governmental organizations”122 digunakan sejak berdirinya PBB pada tahun 1945, tepatnya pada pada Piagam PBB Pasal 71 Bab 10 tentang peranan konsultatif non-governmental organization. Istilah ini digunakan untuk membedakan antara hak partisipatif

badan-badan pemerintah (intergovernmental agencies) dan organisasi-organisasi swasta international (international private organizations).

Organisasi yang bersifat universal adalah organisasi yang keanggotaannya terbuka, dimana semua negara dapat menjadi anggota. Contohnya adalah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Organisasi yang bersifat regional merupakan organisasi yang keanggotaannya terbatas pada kawasan atau pada negara-negara tertentu, biasanya

120

http//Wikipedia.org//com akses Maret 2016

121

Boer Mauna., hlm.462

122 International NGO (INGO) pertama kali diberikan dalam resolusi 288 (X) ECOSOC pada 27 Pebruari 1950: “setiap organisasi internasional yang tidak didirikan atas dasar sebuah perjanjian internasional “. World Bank, mendefenisikan NGO sebagai “organisasi swasta yang menjalankan

kegiatan untuk meringankan penderitaan, mengentaskan kemiskinan, memelihara lingkungan hidup,

menyediakan layanan sosial dasar atau melakukan kegiatan pengembangan masyarakat” atau

(6)

beranggotakan negara-negara yang berdekatan satu sama lain secara geografis, misalnya ASEAN (Association of South East Asian Nations; Perkumpulan Bangsa-bansa Asia Tenggara) 1967 untuk kawasan Asia, European Union (EU) 1992 di kawasan Eropa, dan lain sebagainya.

Organisasi terbuka merupakan organisasi yang dapat diikuti oleh negara-negara yang mempunyai kepentingan yang sama dengan prosedur penerimaan yang sederhana dan mudah. Sedang organisasi tertutup hanya menerima negara-negara tertentu yang mempunyai nilai-nilai yang sama serta disetujui penuh oleh negara-negara anggota, contohnya NATO (1949).

Berdasarkan bidang kegiatan dan sasaran yang hendak dicapai oleh organisasi tersebut dibagi menjadi organisasi politik dan organisasi teknik. Organisasi politik mempunyai vokasi dan tujuan yang luas, misalnya PBB dan Organisasi negara-negara Amerika (OAS). Sedangkan organisasi teknik merupakan organisasi yang mempunyai vokasi tertentu dan wewenang khusus seperti Badan-badan Khusus PBB, misalnya FAO (Food and Agriculture Organisation), WHO (World Health Organisation), ILO (International Labour Organisation).

(7)

bersifat mengikat negara anggota. Pelaksanaanya pun tergantung oleh negara-negara itu sendiri.

A.1. Pengertian Dan Batasan Kolaborasi Antar Negara

Hubungan internasional melibatkan interaksi antara unsur-unsur negara yang berbentuk kerjasama atau konfllik dengan dasar pertimbangan kebijakan luar negeri masing-masing negara.

Kerjasama adalah upaya yang berupa proses pengakhiran atau pun penyelesaian dari berbagai anekaragam masalah nasional, regional atau global yang muncul dan memerlukan perhatian lebih, di mana pemerintah masing-masing pihak saling melakukan pendekatan dengan membawa usul penanggulangan suatu masalah, melakukan tawar menawar atau mendiskusikan masalah, menyimpulkan bukti-bukti teknis untuk membenarkan suatu usul atau yang lainnya dan mengakhiri perundingan dengan suatu perjanjian atau saling pengertian yang memuaskan semua pihak.123 Berdasarkan pengertian tersebut, kerjasama internasional berarti kerjasama yang dilakukan oleh beberapa aktor yang bersifat lintas negara.

Ada empat pendekatan yang digunakan untuk membangun kerjasama dalam hubungan internasional, dan sebagai upaya-upaya untuk mewujudkan dan menjaga perdamaian dan keamanan internasional di dalam sistem internasional124, yakni: membentuk institusi yang memiliki kewenangan penuh seperti dengan adanya pemerintahan dunia; dengan bekerja sama membentuk aliansi dan koalisi dalam menghadapai masalah bersama; dengan berpartisipasi dalam keamanan bersama

123

Kalevi Jaakko Holsti, International Politics : A Framework for Analyisis, The State, War,

and The State of War, Peace and war : Armed Conflicts and International order, 1648-1989, Taming the Sovereigns : Institusional Change in International Politics, The Dividing Dicipline : Hegemony and Diversity in International Theory, 1988, Jakarta : Erlangga, hlm.651

124Paul R. Viotti and Mark V. Kauppi., “

International Relation and World Politic, Security, Economy, Identity” (Third Edition), Chapter 6 dengan topik International Cooperation and

International Security: International Organizations, Alliances, and Coalitions., Upper Saddle River

(8)

multilateral dan usaha-usaha perdamaian untuk menegakkan hukum internasional,; pembentukan konsensus dan perluasan organisasi-organisasi dan rezim internasional untuk untuk menjalankan tugasnya secara fungsional terhadap berbagai macam isu-isu pada Agenda Global abad 21.

Sistem hubungan internasional pada saat ini adalah suatu sistem dengan sistem multipolar, dimana bukan hanya satu atau dua aktor yang sangat berpengaruh melainkan terdapat banyak aktor yang juga memainkan peran penting dalam hubungan internasional. Aktor-aktor tersebut saling berhubungan dan berinteraksi satu sama lain membentuk kerjasama internasional. Dengan demikian, upaya yang terbaik dalam rangka mewujudkan dan menjaga perdamaian dunia adalah dengan kerjasama internasional dan keamanan internasional baik itu kerjasama seperti koalisi, aliansi, keamanan bersama dan kerjasama melalui organisasi internasional.

Kerjasama internasional menurut Holsti mempunyai ciri yakni:125 1). Pandangan bahwa ada dua atau lebih kepentingan, nilai dan tujuan saling bertemu dan dapat menghasilkan sesuatu, dipromosikan atau dipenuhi oleh semua pihak sekaligus;. 2). Persetujuan atas masalah tertentu antara dua negara atau lebih dalam rangka memanfaatkan persamaan kepentingan atau benturan kepentingan;. 3). Pandangan atau harapan dari suatu negara bahwa kebijakan yang diputuskan oleh negara lainnya untuk membantu negara itu mencapai kepentingannya; 4). Adanya aturan resmi atau tidak resmi mengenai transaksi di masa depan yang dilakukan untuk melaksanakan persetujuan; 5). Transaksi dan interaksi antar negara yang dilakukan untuk memenuhi kepentingan mereka.

Tingkatan kerjasama dapat dibagi menjadi 3 yaitu:126

125

Holsti, hlm.652-653

126Brian Hocking dan Michael Smith, World Politics: An Introduction to International

(9)

1. Konsensus, ditandai dengan adanya ketidak-hirauan kepentingan, di antara negara-negara yang terlibat tersebut.

2. Kolaborasi, pada tingkat ini ditandai dengan adanya sejumalh besar tujuan, yang di dalamnya terdapat keterlibatan aktif masing-masing negara untuk menghasilkan kerja bersama.

3. Integrasi, yaitu kerjasama yang ditandai adanya tingkat kedekatan dan keharmonisan di antara negara-negara yang turut serta di dalamnya. Pada tingkat ini kemungkinan benturan kepentingan di antara negara-negara terlibat sangat rendah.

Secara harfiah, kolaborasi berarti bentuk penataan kerjasama yang kooperatif beberapa pihak atau aktor (baik individual, komunal, organisasi) yang bekerja bersama untuk mencapai suatu tujuan bersama. Biasanya kolaborasi mempunyai suatu visi bersama untuk mencapai manfaat dan hasil positif bagi khalayak yang mereka layani, serta membangun suatu sistem yang saling terkait untuk mengatasi masalah dan memanfaatkan peluang.127

Pada dasarnya kolaborasi merupakan inti dari organisasi, karena proses kerjasama dalam sistem kerja organisasi adalah kolaboratif, di mana setiap anggota harus bersedia untuk berbagi visi, misi, kekuatan, sumber daya dan tujuan bersama. Bedanya adalah jika organisasi merupakan suatu perhimpunan negara-negara yang terikat dalam suatu perjanjian internasional yang dilengkapi dengan suatu anggaran dasar dan organ-organ bersama yang mempunyai personalitas yuridik berbeda dari yang dimiliki oleh negara-negara anggota,128 maka kolaborasi hanyalah merupakan keterikatan kerjasama tanpa harus memiliki wadah resmi dan permanen seperti organisasi internasional. Kolaborasi bisa dilakukan oleh organisasi internasional boleh

127Microsoft and Sogti, “

collaboration in the Cloud - How Cross-Boundary Collaboration, Is Transforming Business’, Line up boek en media bv, Groningen, the Netherlands, 2009

(10)

juga tidak. Dengan kata lain, jika organisasi adalah badan konkritnya, maka kolaborasi adalah sifat dan prosesnya.

Tujuan kolaborasi dalam institusi atau organisasi internasional berguna sebagai konduktor dalam bertukar pikiran dan tujuan, yakni tujuan yang menyangkut masalah kesejahteraan universal, pembangunan, industrialisasi, dan membahas mengenai pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.129

Kebutuhan akan kerjasama lahir karena pengakuan bahwa biaya demi mencapai kepentingan nasional seringkali berlebihan.130 Dengan adanya kepentingan nasional, sebuah negara akan mengerahkan segala kemampuannya guna mencapai kepentingan tersebut. Hasil dari interaksi dalam pengambilan keputusan secara independen merupakan fungsi dari kepentingan dan ketertarikan suatu negara sehingga berangkat dari kepentingan yang ada, lahirlah sebuah rezim sebagai konsekuensi logis dari adanya interaksi antarnegara dalam mencapai kepentingan nasional.

Akibat adanya kompleksitas yang terjadi di dalam dunia internasional, tidak tertutup kemungkinan adanya kolaborasi serta koordinasi yang beragam antar subjek internasional. Namun, kolaborasi hanya bisa terjadi saat aktor atau negara mempunyai pandangan atau tujuan yang sama dan setiap negara memiliki kesadaran akan terbatasnya kemampuan dalam menyikapi permasalahan yang dihadapi sehingga masih membutuhkan bantuan dari negara lain atau masih adanya perasaan national self-reliance atau kurangnya kepemilikan kemandirian.131

Beranjak dari uraian di atas, maka dapat ditentukan batasan kolaborasi dalam hubungan internasional sebagai berikut:

129

Haas, E.B. Why Collaborate? Issue Linkage and International Regimes, World Politics. 1980. hlm.357

(11)

1. Terdiri dari dua atau lebih subjek atau aktor baik itu negara, lembaga, institusi atau kelompok;

2. Bersifat lintas batas;

3. Mempunyai kepentingan dan kesadaran yang sama;

4. Mempunyai visi dan misi yang sama, menghimpun kekuatan dan sumber daya yang dipunya secara bersama-sama;

5. Mempunyai keputusan dan komitmen yang disepakati bersama untuk kemudian dilaksanakan secara bersama-sama.

A.2. Pengertian dan Batasan Deklarasi

Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional 1969 tidak memuat ketentuan tentang “deklarasi” terhadap suatu perjanjian internasional multilateral, dan karenanya tidak pula memuat secara khusus pengertian istilah tersebut.

(12)

mengikat atau mempengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional.

Suatu pernyataan, yang meskipun menggunakan nama „deklarasi‟, apabila pernyataan itu menunjukkan kehendak suatu negara untuk meniadakan atau memodifikasi akibat hukum ketentuan tertentu, perjanjian internasional tersebut pada waktu negara yang bersangkutan menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi perjanjian internasional yang bersangkutan, maka pernyataan demikian, walaupun dinamakan “deklarasi”, pada hakikatnya adalah suatu “reservasi”132

sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional 1969. Sepanjang suatu pernyataan dengan nama „deklarasi‟ tidak menunjukkan kehendak suatu negara sebagaimana tersebut di depan maka pernyataan demikian, yang diberi judul „deklarasi‟, merupakan deklarasi dalam arti umum, bukan

deklarasi sebagai istilah hukum perjanjian internasional menurut Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional 1969.

Perkembangan perjanjian internasional terutama dalam bidang lingkungan hidup terkait sumber hukum internasional saat ini mengenal ada 2 jenis, yakni model soft law dan hard law. Pembagian atas model ini pertama kali dikenalkan oleh

kalangan ahli hukum ekonomi internasional seperti Seidl-Hohenveldem melalui pidatonya di Akademi Hukum Internasional, Den Haag 1969, kemudian dikembangkan oleh ahli hukum internasional lainnya.

132 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang menggunakan istilah „pensyaratan‟ sebagai padanan bahasa Indonesia istilah bahasa Inggris

reservation‟ mendefinisikan istilah itu sebagai „pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima

(13)

Model pendekatan hard law meliputi hukum yang memiliki daya-mengikat secara pasti (legally binding),133 contohnya perjanjian internasional dengan berbagai macam jenisnya. Contohnya: United Nations Framework Convention on Climate Change 1992 (UNFCCC), United Nations Law of The Sea 1982 (UNCLOS), di mana perjanjian ini sudah berlaku penuh (enterd into force) dan memiliki keterikatan komitmen internasional yang sangat kuat. Itulah sebabnya hard law memenuhi syarat untuk dapat dijadikan sebagai produk hukum dan juga sebagai sumber hukum internasional.

Berbeda dengan soft law yang oleh beberapa ahli disebut sebagai para-droit atau norma sauvages, merupakan pendekatan yang tidak mengikat secara hukum (non-legally binding). Subjek hukum internasional seperti negara hanya ingin mengikat secara hukum (legally binding) terhadap soft law jika ada kesukarelaan (voluntary) dari negara atau subjek hukum internasional yang terkait. Contoh soft law adalah Deklarasi Stockholm 1972, Agenda 21, dan Deklarasi Rio 1992.

Banyak deklarasi yang merupakan salah satu bentuk dari soft law di samping Agenda, Guidelines, Principles, Charter, Strategy, Action Plan; yang sudah

ditandatangani oleh beberapa negara dan badan atau organisasi internasional namun tidak dikategorikan sebagai suatu perjanjian internasional dalam arti sesungguhnya Hal ini dikarenakan produk yang dihasilkan tersebut tidak bersifat mengikat secara hukum bagi anggota penandatangannya. Namun belakangan ini telah terjadi signifikansi terhadap dokumen-dokumen internasional di bidang lingkungan hidup

133 Andreas Pramudianto., hlm.50, seperti yang dikutip dari Munadjat Danusaputro dalam

(14)

yang bersifat tidak mengikat secara hukum (non legally binding), akan tetapi seolah-olah mengikat secara hukum (quasi-legally binding).134

Dokumen-dokumen internasional seperti yang dimaksud di atas memiliki karakteristik yang dihasilkan dari bermacam-macam pertemuan internasional utama seperti negara hingga entitas bukan negara seperti organisasi internasional di bawah rezim PBB, organisasi internasional regional, NGO, kalangan akademisi dan organisasi-organisasi lainnya.135 Contohnya adalah Bali Action Plan yang dihasilkan Conference of the Parties (COP) ke-13 United Nations Framework Convention on

Climate Change (UNFCC) di Bali Indonesia yang dijadikan dasar perundingan di

pertemuan COP berikutnya, padahal dokumen tersebut bukan merupakan produk hukum internasional yang mengikat namum memiliki pengaruh kuat dalam hubungan internasional.

Hal ini menunjukkan bahwa soft law baik sebagai model pendekatan, dokumen maupun bentuk hukum, di masa yang akan datang dapat meningkat menjadi hard law, apalagi jika soft law tersebut memiliki jus cogen136 dan menimbulkan kewajiban erga omnes137. Dokumen soft law telah banyak mempengaruhi pekembangan hukum

perjanjian internasional. Terlebih ada banyak subjek hukum internasional menganut pendekatan tacit consent atau persetujuan diam-diam para pihak terhadap soft law.138 Kecenderungan dalam doktrin hukum internasional untuk menyetujui pendapat

134

Andreas Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional “Implementasi Hukum

Perjanjian Lingkungan Hidup Internasional di Indonesia”, Malang: Setara Press, 2014., hlm.49

135 Ibid,. 136

Pasal 53 Konvensi wina 1969, peremptory norm atau jus cogens merupakan norma status tertinggi dalam hukum internasional, bersifat non-derogable rights (tidak dapat dicabut) yang diterima dan diakui masyarakat internasional, contoh: right to life, right to humane treatment, prohibiton of

aggressions, right to self determination, prohibition of war crimes, dan lain-lain.

137

merupakan kewajiban yang dapat dicabut kembali, mempunyai otoritas lebih besar dibanding costumary international legals norm. Contohnya : larangan the unilateral use of force,

genocide and the prohibition of slavery and racial discrimination.

(15)

bahwa “diam berarti setuju” (silence gives consent) atau barang siapa yang tidak

protes berarti setuju, maka sepanjang subjek hukum internasional tidak melakukan protes terhadap suatu dokumen soft law maka dianggap tunduk secara diam-diam (tacit consent). Karna itulah soft law berpotensi untuk dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dari sumber hukum internasional.139 Demikian juga halnya deklarasi yang juga merupakan suatu bentuk soft law. Deklarasi pun mempunyai suatu potensi untuk dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum internasional.

B. Deklarasi Rio Branco sebagai hasil Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate

and Forest Task Force

Penyelenggaraan Konferensi Tingktat Tinggi PBB tentang Iklim di New York pada September 2014 yang merupakan pertemuan para pemimpin atau perwakilan dari semua negara anggota PBB, menjadi tempat diberitahukannya Deklarasi Rio Branco untuk pertama kalinya.

KTT ini merupakan pertemuan level atas tentang hutan (high-level session on forests) yang dihadiri oleh para kepala negara, para CEO, dan para pemimpin adat.

Pertemuan ini menyediakan peluang elaborasi antar pihak terkait hutan yang disepakati dan diumumkan pada KTT Iklim tersebut, seperti Deklarasi New York tentang hutan dan diskusi tentang bagaimana kemitraan ini bisa dimajukan.

Selama diskusi di sesi Action Announcements on Forests (Pengumuman Aksi Terhadap Hutan), Teras Narang, Gubernur Provinsi Kalimatan Tengah, Indonesia, salah satu anggota GCF, memberikan pernyataan yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, mewakili 36 Gubernur anggota GCF. Gubernur Narang

(16)

mengumumkan komitmen negara bagian dan propinsi anggota GCF dalam upayanya mengatasi dampak perubahan iklim melalui Deklarasi Rio Branco (Rio Branco Declaration).140

B.1 Tinjauan Umum tentang Governor’s Climate and Forest Task Force

Governor”s Climate and Forest Task Force (GCF) atau Satuan Tugas Hutan

dan Iklim Gubernur lahir sebagai respon beberapa pemerintah-pemerintah di beberapa negara terhadap krusialnya persoalan lingkungan di dunia, terutama terkait perlindungan hutan dan pencegahan perubahan iklim global. GCF lahir dari langkah berani dan inovatif gubernur dari negara bagian dan provinsi terkait penanganan dan kebijakan iklim. GCF didirikan sebagai organisasi sub-nasional yang bersifat lintas yurisdiksi untuk melindungi hutan tropis, mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan mempromosikan jalur realistis untuk pembangunan pedesaan yang mempertahankan hutan. Sekarang ini, GCF telah muncul sebagai titik fokus utama bagi upaya global untuk membawa REDD+ menjadi berkelanjutan kebijakan iklim sub-nasional, nasional, dan internasional.

Menyadari pentingnya penanganan terhadap masalah tersebut, para pemimpin di beberapa negara tersebut berkumpul dan berkomitmen untuk bekerja sama melindungi lingkungan hutan mereka serta menyelamatkan lingkungan dunia, sekaligus menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam program yang ingin dicapainya; yakni bermanfaat secara ekonomi, sosial dan ekologi.

Rincian umum GCF adalah sebagai berikut:141

140

Seperti yang dimuat dalam www.gcftaskforce.org , akses tanggal 26 Februari 2016 Pukul 13.00 WIB

141 Seperti yang dimuat dalam www.gcftaskforce.org//aboutus akses tanggal 26 Februari 2016

(17)

“The Governors’ Climate and Forests Task Force (GCF) is an unique

subnational collaboration between 26 states and provinces from Brazil,

Indonesia, Mexico, Ivory Costa, Nigeria, Peru, Spain, and the United States.

The GCF seeks to advance jurisdictional programs designed to promote low

emissions rural development and reduced emissions from deforestation and

land use (REDD+) and link these activities with emerging greenhouse gas

(GHG) compliance regimes and other pay-for-performance opportunities.

More than 25% of the world’s tropical forests are in GCF states and

provinces, including more than 75% of Brazil’s and more than half of

Indonesia’s. The GCF includes states and provinces that are leading the way

in building comprehensive, jurisdiction-wide approaches to low emissions

development and REDD+ as well as the only jurisdiction in the world

(California) that is considering provisions that would recognize offsets from

REDD+ as part of its GHG compliance system.

The GCF focuses on all aspects of the effort to reduce emissions from

deforestation and establish lasting frameworks for low emissions development.

It facilitates the exchange of experiences and lessons learned across leading

states and provinces; synchronizes efforts across these jurisdictions to develop

policies and programs that provide realistic pathways to forest-maintaining

rural development; supports processes for multi-stakeholder participation and

engagement; and seeks financing for jurisdictional programs from a range of

sources, including pay-for-performance public finance, emerging carbon

markets, and ongoing efforts to de-carbonize agro-food supply chains.

The overarching rationale of the GCF is that any successful effort to

(18)

change requires multiple efforts at multiple levels of governance, and that

state and provincial governments, together with their civil society partners,

are among the most important actors in building viable programs for low

emissions rural development. The GCF was therefore conceived as an effort to

leverage the fact that certain states and provinces around the world are in a

position to be early movers in the effort to build robust jurisdictional

programs for REDD+ and low emissions development, thereby bolstering

overall momentum for the issue and enhancing national and international

efforts to demonstrate how this can work in practice”.

GCF pada awalnya adalah sebuah kolaborasi sub-nasional antara 28 negara bagian dan provinsi dari Brasil , Pantai Gading, Indonesia, Meksiko , Nigeria , Peru , Spanyol , dan Amerika Serikat. Namun terjadi perubahan keanggotaan GCF di mana pada tahun 2011, Wisconsin tidak lagi anggota GCF. Total jumlah anggota GCF sekarang ada sebanyak 34 negara bagian dan provinsi yakni: Acre, Amapá, Amazonas, Mato Grosso, Pará dan Tocantins dari Republik Brasil; Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Kalimantan Barat dan Papua Barat, Kalimantan Utara dari Republik Indonesia; Amazonas, Loreto, Madre de Dios, San Martin, dan Uyacali dari Republik Peru; Campeche, Chiapas, Jalisco, Quintana Roo, dan Tabasco dari Meksiko; Cross River State dari Republik Federal Nigeria, California dan Illnois dari Amerika Serikat; serta Catalonia dari Kerajaan Spanyol.142

142 Bertambah menjadi 29 di tahun 2015 melalui Keputusan 2015 butir 1 yang menyatakan

(19)

Anggapan terkait perundingan internasional tentang perubahan iklim yang berjalan lambat yang terkesan sangat dipolitisasi dan terpolarisasi dan menghambat kemajuan REDD+, GCF hadir menantang gagasan bahwa pengurangan deforestasi tropis hanya bisa dikelola dari tingkat nasional pemerintahan yang berfokus pada negoisasi saja. Kinerja negara bagian dan provinsi GCF telah beroperasi berbasis rencana dan pengaturan hukum yang selaras antara yurisdiksi daerah dan iklim nasional dan hutan agenda dalam pemerintahan anggota GCF.

(20)

GCF berusaha untuk memajukan program yurisdiksi yang dirancang untuk mempromosikan pembangunan pedesaan rendah emisi dan pengurangan emisi dari deforestasi dan penggunaan lahan ( REDD +) dan gas rumah kaca (GRK). Lebih dari 25 % hutan tropis dunia berada di negara bagian dan provinsi GCF, termasuk lebih dari 75 % dari Brasil dan lebih dari setengahnya ada di Indonesia. GCF berupaya memimpin jalan pembangunan berkelanjutan yang kompherensif, untuk pengembangan emisi rendah dan REDD + serta satu-satunya yurisdiksi di dunia yaitu California yang sedang mempertimbangkan ketentuan yang akan mengakui offset dari REDD + sebagai bagian dari penurunan gas rumah kaca.

GCF berfokus pada semua aspek dari upaya untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan membangun kerangka kerja tetap untuk pembangunan rendah emisi. GCF juga memfasilitasi pertukaran penelitian dan informasi di seluruh negara bagian dan provinsi ; mensinkronisasikan upaya lintas yurisdiksi ini untuk mengembangkan kebijakan dan program yang dapat mewujudkan pembangunan pedesaan yang mempertahankan hutan; mendukung partisipasi dan keterlibatan mitra dari berbagai sektor; dan berusaha melakukan pembiayaan untuk program yurisdiksi dari berbagai sumber donasi termasuk pendanaan berbasis kinerja dari pasar karbon yang muncul , dan upaya-upaya untuk memperbaiki rantai pasokan agro dan pangan.

(21)

di seluruh dunia sebagai penggerak awal dalam upaya membangun program yurisdiksi kuat untuk REDD+ dan pembangunan rendah emisi, sehingga memperkuat dan meningkatkan upaya nasional dan internasional untuk mewujudkan hal ini lebih nyata.

MoU yang ditandatangani oleh negara bagian dan provinsi negara-negara

tersebut secara tegas menyerukan Plan of Action (Rencana Aksi Bersama) untuk membuat upaya implementasi. Rencana Aksi Bersama terrsebut memuat kerangka kerja dan rekomendasi untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan MoU di sektor kehutanan selama tahun 2009-2010 . Rancangan Rencana Aksi Bersama dibuat untuk kemudian dijadikan aturan hukumnya secara formal oleh negara bagian dan provinsi anggota. Hal tersebut ditetapkan tanggal 18-19 Juni 2009 di Belem, di mana negara bagian dan provinsi MoU membuat sejumlah keputusan penting tentang upaya pelaksanaan MOU, yang termuat dalam Rencana Aksi Bersama.

Kegiatan sektor kehutanan yang diusulkan dalam MOU dan Rencana Aksi Bersama mewakili upaya pertama (pada setiap tingkat pemerintahan) dan signifikansi global sebagai sinyal untuk badan-badan pemerintah lainnya dan kepada masyarakat luas tentang kebijakan iklim. Hal ini juga mendorong proses kerjasama transnasional antara negara-negara dan provinsi MoU untuk mengembangkan dan menerapkan kerangka kerja yang bisa diterapkan lengkap dengan mekanisme untuk menghasilkan aset yang memenuhi tingkat kepatuhan dari REDD+ dan kegiatan karbon hutan lainnya di yurisdiksi hutan tropis.

(22)

disetujui pada pertemuan di Belém, GCF terdiri dari wakil-wakil dari masing-masing negara bagian dan provinsi peserta MoU (sekarang dikenal sebagai anggota pendiri GCF), dengan pergantian ketua setiap tahun, dan bertanggung jawab untuk membuat keputusan eksekutif tentang pelaksanaan ketentuan MOU di sektor kehutanan. Tujuan kedua adalah untuk menetapkan proses dan keikutsertaan organisasi non pemerintah (NGO) dan partisipasi pemangku kepentingan lainnya dalam MoU upaya implementasi. Proses ini termasuk pertemuan bersama antara GCF dan Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM) dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya dan partisipasi LSM dalam kelompok kerja yang dibentuk dan berfokus pada bidang substantif utama dari ketentuan-ketentuan MoU di sektor kehutanan yang telah ditetapkan. Tujuan ketiga adalah untuk mengembangkan rekomendasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan MoU di sektor kehutanan, yang berfokus pada tiga bidang berikut:143standarisasi proyek dan kriteria untuk kegiatan REDD+, termasuk Laporan Penilaian Protokol; kerangka kerja akuntansi karbon hutan dan mekanisme koordinasi serta integrasi kegiatan berbasis proyek sub-nasional; penilaian kebutuhan, termasuk kebutuhan teknis, hukum, kelembagaan, dan keuangan di negara-negara dan provinsi MoU untuk bergerak menuju kegiatan berbasis REDD+.

GCF yang kesekretariatannya berbasis di University of Colorado Law School di Boulder, Colorado ini rutin mengadakan pertemuan tahunan serta pelaksanaan berbagai kegiatan seperti lokakarya anggota regional dan pelatihan, penghimpunan dana, menghadiri konferensi dan lokakarya yang relevan, mengunjungi anggota, dan untuk kegiatan tambahan yang memajukan inisiatif REDD+ upaya untuk mengembangkan kolaborasi yang lebih dalam dengan administrasi pemerintah dan pemangku kepentingan lokal dan untuk memfasilitasi komunikasi antara anggota dan

(23)

pemerintah nasional dalam upaya mereka untuk membangun pendekatan umum untuk REDD+.

Tugas utama yang ingin dicapai GCF adalah:144

1. Mengintegrasikan yurisdiksi anggota GCF berbasis REDD+ menjadi yurisdiksi rendah emisi dengan tujuan pembangunan pedesaan yang lebih luas;

2. Mensinergikan REDD+ dengan pentingnya upaya konservasi hutan

3. Mendukung, melestarikan dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hutan; dan

4. Meningkatkan kemampuan dan upaya daerah untuk menginformasikan-dan menyelaraskan proses REDD+ dengan negara-negara terkait

Tugas ini didasarkan pada latar belakang permasalahan hutan dan iklim dunia seperti yang telah dijelaskan di atas sebelumnya. GCF bertujuan menggalakkan penerapan REDD+ lebih nyata lagi dalam skala yang lebih luas dan fokus di setiap yurisdiksi anggota, terutama kepada masyarakat pedesaan dan masyarakat hutan. Selain itu, GCF bertekad memberdayakan konservasi hutan serta mendukung, memfasilitasi, serta turut melestarikan budaya kearifan lokal masyarakat hutan serta meningkatkan mata pencaharian masyarakat yang kehidupannya berbasisdan bergantung pada hutan.

B.2. Kajian Umum tentang Deklarasi Rio Branco

Pertemuan tahunan GCF ke-8 di Brasil pada tahun 2014 menjadi salah satu momentum penting penguatan komitmen anggota GCF tentang pengurangan

(24)

deforestasi dan pencegahan degradasi hutan serta perubahan iklim global dunia yang selama ini masih kurang optimal. Perubahan iklim sudah menjadi perbincangan besar di dunia dan harus segera ditindaklanjuti dengan langkah yang nyata. Banyak sekali kejadian ataupun kegiatan yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan seperti kebakaran hutan, illegal loging, perambahan liar, eksploitasi hutan yang berlebihan dan lain sebagainya. Dampak dari kegiatan ini tentunya berpengaruh pada sistem iklim dunia. Hal ini nyata dirasakan di mana suhu dunia sudah meningkat 2 % di atas suhu biasa. Terjadi berbagai anomali cuaca yang tidak normal di berbagai belahan dunia. Ini merupakan ancaman besar terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Hal ini jugalah yang mendasari lahirnya Deklarasi Rio Branco yang pada intinya berupa penegasan kembali komitmen para gubernur anggota GCF untuk mengurangi deforestasi dan degradasi tropis, melindungi sistem iklim global, meningkatkan kehidupan masyarakat di pedesaan serta mengurangi angka kemiskinan di wilayah yurisdiksi mereka masing-masing.

(25)

Negara-negara bagian dan provinsi-provinsi anggota GCF dalam deklarasi ini mengakui dan mendukung pentingnya upaya program-program pembangunan yang kuat di yurisdiksi anggotanya yang memungkinkan terbukanya jalan yang lebih luas menuju pembangunan berkelanjutan. Inilah yang menjadi nafas utama Deklarasi Rio Branco dan GCF, bahwa lingkungan hutan dunia tropis yang memiliki peran penting dalam pembangunan berkelanjutan dengan melindungi kualitas udara dan air, tanah, habitat tanaman dan satwa, mitigasi banjir dan proteksi sistem iklim, suplai sumber obat-obatan, pangan, energi dan hasil hutan lainnya yang bermanfaat secara khusus bagi mata pencaharian dan budaya masyarakat hutan dan masyarakat pedesaan, dan bermanfaat secara umum bagi dunia global.145

Satuan Tugas Hutan dan Iklim Pemerintah (GCF) yang menandatangani Deklarasi Rio Branco pada bulan Agustus 2014, berkomitmen mengurangi deforestasi hingga 80% pada tahun 2020, jika dana pembayaran untuk performa dapat dianggarkan dari dana pemerintah dan sektor swasta. Deklarasi Rio Branco merepresentasikan salah satu solusi perubahan iklim jangka panjang terbaik karena pemerintah negara-negara hutan tropis tidak meminta negara-negara industri untuk membayar semua tagihannya.146 Tagihan yang dimaksud dalam hal ini adalah kewajiban umum negara industri atau negara maju untuk membayar sejumlah biaya sebagai ganti rugi atas sumbangan emisi yang dihasilkan oleh kegiatan industrinya yang dapat mengancam penurunan kualitas lingkungan terhadap negara-negara berkembang yang memiliki kelola hutan yang baik sebagai penetral.

Melalui deklarasi ini kelompok GCF mempunyai tujuan memajukan program-program di tingkat nasional di negara-negara tropis guna merancang dan mempromosikan pembangunan desa rendah emisi serta pengurangan emisi dari

145

Lihat Deklarasi Rio Branco

146seperti yang dikutip dari http://www.gcftaskforce_org/resource_ library/articles/article

(26)

deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) serta menghubungkan aktivitas-aktivitas ini dengan kawasan patuh Gas Rumah Kaca (GRK) yang bermunculan serta mekanisme pembayaran untuk performa kerja kelompok, baik dari pemerintah nasional anggota GCF, pemerintah-pemerintah negara donor, sektor swasta dan masyarakat kecil.

C. Status Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate and Forest Task Force dan

Deklarasi Rio Branco menurut Hukum Internasional

GCF sebagai sebuah kolaborasi yang terdiri dari pemerintah sub-nasional negara-negara pesertanya dalam proses kegiatannya bergerak secara trans-nasional, yang artinya bersifat lintas batas negara. Deklarasi Rio Branco sebagai hasil dari penegasan komitmen para anggota GCF tersebut tentunya juga menyangkut objek yang bersifat lintas batas negara, yang berdampak khusus dan umum bagi yurisdiksi para anggotanya.

C.1. Kedudukan Governor’s Climate and Forest Task Force sebagai Suatu

Entitas menurut Perspektif Hukum Internasional

(27)

Secara teoritis subjek hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional.147 Sedang menurut salah satu pakar, subjek hukum internasional adalah: “a body or entity which is capable of possessing and exercising rights and duties under international law”, yang berarti subjek hukum internasional harus memiliki kecakapan-kecakapan hukum internasional utama (international law capacities) untuk mewujudkan kepribadian hukum internasionalnya (international legal personality).148

Kecakapan hukum yang dimaksud dalam hukum internasional adalah sebagai berikut:149

1. mempunyai kemampuan untuk menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasional dan juga nasional;

2. menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional;

3. mampu untuk membuat dan mengadakan perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum internasional;

4. menikmati imunitas atau hak kekebalan dari yurisdiksi pengadilan domestik.

Berdasarkan kriteria tersebut di atas, pada praktiknya hanya negara dan organisasi internasional tertentu seperti PBB saja yang memiliki semua kecakapan hukum yang dimaksud. Itulah sebabnya Boer Mauna membagi subjek hukum internasional dalam subjek hukum internasional aktif yang meliputi negara dan

147

Mochtar Kusumaatmadja, hlm.97

148

Sefriani, hlm.102., seperti yang dikutip dari pernyataan Marton Dixon dalam bukunya

Textbook on International Law, Blackstone Press Limited, 2000.

(28)

organisasi internasional serta subjek hukum internasional pasif yang meliputi subjek hukum internasional bukan negara dan bukan organisasi internasional.150

Hukum internasional mengenal ada beberapa pengelompokan subjek hukum internasional yakni negara, organisasi internasional, individu, Takhta Suci Vatikan, Palang Merah International (International Committee Red Cross-ICRC), individu, belligerent (kelompok pemberontak), serta organisasi pembebasan nasional/bangsa yang memperjuangkan haknya.151

Awalnya dalam hukum internasional tradisional, hanya mengenal negara saja sebagai subjek hukum internasional. Organisasi internasional akhirnya dikenal dan diakui sebagai subjek hukum internasional yang berhak menyandang hak dan kewajiban dalam hukum internasional sejak keluarnya advisory opinion Mahkamah Internasional152 dalam kasus Reparation Case 1949153 kepada PBB yang memutuskan bahwa organisasi internasional memiliki legal capacity serta legal personality.

Hukum lingkungan internasional, mengenal ada 2 entitas yang selama ini diakui sebagai subjek hukum internasional yang dapat membentuk perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, yakni negara dan organisasi internasional.

Organisasi internasional merupakan organisasi yang dibentuk dengan perjanjian internasional oleh dua negara atau lebih berisi fungsi, tujuan, kewenangan, asas, dan struktur organisasi.154 Organisasi internasional baru akan diakui sebagai subjek hukum internasional apabila memenuhi syarat dan karakteristik berikut:155

150

Loc.cit

151 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju,1990. Hlm

58-93; Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, hlm.95-103, sama seperti pendapat J.G Starke terkait klasifikasi subjek hukum internasional.

152

Andreas Pramudianto, hlm.36, juga Sefriani, hlm.142

153Kasus “Reparation Case 1949” bermula dari tertembaknya Pangeran Bernadotte dari Swiss

oleh tentara Israel saat bertugas sebagai mediator PBB di Timur Tengah. PBB menuntut ganti rugi atas kejadian tersebut karena menilai Israel telah gagal mencegah pembunuhan terhadap warga non kombatan.

(29)

1. Dibentuk dengan suatu perjanjian internasional oleh lebih dua negara, dengan nama apapun dan tunduk pada rezim hukum internasional, yang memuat nama, tujuan, fungsi, asas, kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur organisasinya.156

2. Memiliki sekretariat tetap sebagai tempat kedudukan organisasi tersebut. Umumnya apabila suatu organisasi mampu memenuhi syarat tersebut, maka akan lebih mudah bagi organisasi tersebut untuk mendapatkan international personality yang otomatis juga akan memiliki kecakapan-kecakapan hukum

internasional (international legal capacity). International legal capacity yang dimaksud adalah dapat membuat perjanjian internasional dengan sesama organisasi internasional, negara atau subjek hukum internasional lainnya; memiliki asset atau property atas namanya sendiri; dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk

dan atas nama anggotanya; serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan internasional.157

Namun dalam perkembangannya, terjadi peningkatan dominasi dan peran subjek-subjek hukum internasional bukan negara, termasuk subjek-subjek hukum privat, seperti perusahaan-perusahaan transnasional dan kelompok-kelompok atau organisasi non-pemerintah (Non-Govermental Organization-NGO), dan tetap mengakui negara sebagai subjek hukum internasional yang utama (subject of international law with full personality).158

156 Contohnya : PBB memiliki Charter (Piagam), Liga Bangsa-bangsa memiliki Covenant,

ASEAN memiliki Deklarasi Bangkok serta Treaty of Amity and Cooperation

157

Ibid., hlm.144

158

(30)

Peningkatan subjek-subjek hukum privat bukan negara (non-state actor) diakui mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan hukum lingkungan internasional. Dalam kondisi tertentu, subjek-subjek demikian memang terkadang memiliki kekuasaan besar yang mampu mendikte dan bahkan mengendalikan perilaku negara-negara. Namun, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa peran yang dimaksud tidak serta merta mampu menjadikan subjek-subjek demikian dapat diterima sebagai subjek hukum internasional karena kriteria baku seperti kemampuan untuk mendukung hak dan kewajibannya secara internasional, mampu bertindak dan diterima sebagai pihak dalam pergaulan internasional, serta mampu berperkara di Mahkamah Internasional tetaplah menjadi tolak ukur utama pengkualifikasian suatu entitas sebagai subjek hukum internasional.159

Hukum lingkungan internasional mengakui subjek-subjek bukan negara (non-state actor) sebagai subjek hukum internasional, dengan kesadaran bahwa dalam

format hukum lingkungan internasional, peran subjek bukan negara termasuk subjek bukan subjek hukum internasional yang diakui berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan hukum lingkungan internasional. Peran yang dimaksud dapat terjadi apabila ada 2 hal, yaitu pemberian kesempatan dan pengakuan oleh negara-negara terhadap peran subjek bukan negara, serta gerakan humanisme universal yang memberikan dorongan dan dukungan moral terhadap keberadaan mereka dalam lingkungan internasional.160

Agenda 21 yang memuat klasifikasi Kelompok Utama (Majoring Group) mengenai entitas yang bukan subjek hukum internasional namun mampu terlibat dalam perjanjian internasional, menetapkan 9 kelompok entitas yakni: Non-Govermental Organization (NGO)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Civil

(31)

Society Organization (CSO); Komunitas Bisnis dan Industri; Komunitas Adat;

Komunitas Ilmuwan dan Teknorat; Pemerintah Daerah; Petani; Komunitas Agama; Wanita; Anak dan Pemuda.161

Pengelompokan ini telah berperan penting menempatkan posisi majoring groups dalam proses penyusunan hingga pembentukan perjanjian internasional

menjadi lebih strategis. Kelompok-kelompok ini kemudian mempunyai kekuatan dan kesempatan untuk diperhitungkan oleh subjek hukum internasional yang utama yakni negara sebagai pemegang dan penentu politik dan diplomasi internasional selama ini. Terlebih dalam terjadinya perubahan penting perkembangan hubungan internasional khususnya bidang lingkungan hidup terkait pergeseran penting mengenai pengakuan akreditasi beberapa NGO di beberapa badan internasional PBB, terutama dengan adanya kelompok utama (majoring group) yang didasarkan pada Agenda 21.162

Governor’s Climate and Forest Task Force (GCF) sebagai sebuah kolaborasi

sub-nasional, yang terdiri dari gubernur dari 29 negara bagian dan provinsi dari 7 negara, yang pada dasarnya merupakan pemerintah daerah dalam suatu negara. beraktivitas di yurisdiksi lintas batas negara namun bersifat sub-nasional. Apabila ditinjau berdasarkan pengelompokan majoring groups Agenda 21, maka GCF dikategorikan sebagai sebuah entitas organisasi internasional yang bersifat kerjasama berbasis kinerja berfokus pada pemerintahan daerah.

Berdasarkan syarat sebuah organisasi untuk dapat disebut sebagai suatu organisasi internasional. GCF sudah memenuhi syarat untuk dapat memperoleh legal capacity dan legal personality. Hal ini terlihat dari bentuk atau formasi GCF yang

merupakan himpunan dari beberapa negara yang terdiri dari gubernur-gubernur negara bagian dan provinsi yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai

(32)

pemerintah atau government. Meski memang tak mewakili sebuah negara secara keseluruhan, namun GCF tetaplah merupakan bagian dari pemerintah dari negara anggota. GCF memiliki sebuah perjanjian multilateral antar para pihak yang memuat nama, tujuan, fungsi, asas, kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur organisasinya. Perjanjian yang dimaksud tersebut adalah sebuah MoU (memorandum of understanding) atau Nota Kesepahaman yang ditetapkan dan ditandatangani pada

tanggal 18 November 2008 oleh negara bagian California, Illinois, negara Brazil Amapá, Amazonas, Mato Grosso, dan Pará, dan provinsi-provinsi Indonesia dari Aceh dan Papua yang berkenaan dengan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Gubernur tentang Perubahan Iklim di Los Angeles, California. GCF bertanggungjawab untuk mengambil keputusan eksekutif untuk mengambil rekomendasi-rekomendasi untuk mengimplementasikan ketentuan sektor kehutanan dari MoU.163

Kedudukan MoU juga dianggap sebagai sebuah bentuk perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.164Di Indonesia sendiri, MoU semakin dikenal setelah ditandatanganinya MoU Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Pengertian MoU sebagai perjanjian internasional menjadi semakin meluas, di mana sebelumnya MoU dianggap sebagai soft law sehingga tidak mengikat secara hukum. Namun dewasa ini, MoU kini dapat

163Seperti yang dimuat di dalam website http://gcftaskforce.org/background/documents

/stakeholder/bahasa/ GCF-bahasa-1.pdf akses 02 September 2015 Pukul 11.43

164

(33)

dianggap setara dengan setiap persetujuan pada umumnya karena mengandung hak dan kewajiban para pihak penandatangan MoU.165

MoU tersebut memuat tujuan utama GCF yaitu memberikan landasan

kerjasama terkait isu kebijakan iklim; kerjasama teknis dan pembangunan kapasitas sektor hutan; memajukan program-program yurisdiksi berbasis pembangunan berkelanjutan termasuk promosi REDD+ dan pengurangan GRK; serta upaya pembiayaan/pendanaan berbasis kinerja performa yang nantinya dialokasikan kepada masyarakat hutan.166

Selain itu, MoU tersebut memuat konsep sustainable development principle sebagai asas umum dalam setiap upaya dan kegiatan GCF, yakni memanfaatkan fungsi lingkungan hutan, melindungi lingkungan dan sistem iklim global masa kini dan yang akan datang, serta memberdayakan masyarakat hutan dan pemangku kepentingan lainnya untuk dapat berpartisipasi dan mendapat manfaat dari kinerja program GCF secara berkelanjutan.

Terkait kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur organisasinya semuanya juga diatur dalam MoU GCF tersebut. Selain itu, GCF juga mempunyai sekretariat tetap yaitu di Colorado.

Meski bersifat sub-nasional, namun aktivitas kinerja tetaplah bersifat lintas batas antar negara anggotanya. Hal ini sesuai dengan karakteristik sebuah organisasi internasional sebagaimana dijelaskan sebelumnya.167 Memang apabila ditelusuri, GCF mempunyai kemampuan yang terbatas pada perjanjian pembuatannya karena pada

165 Pramudianto, hlm.69, seperti yang dikutip dari UNEP (United Nations on Environmental

Programme tahun 2007). Contohnya adalah MoU on the Conservation and Management Marine Tutles and Their Habitats of the Indian Ocean and South East Asia yang ditandatangani di Manila (Filipina)

23 Juni 2001

(34)

dasarnya organisasi tidaklah sebebas negara karena setiap putusannya harus atas dasar persetujuan negara-negara anggotanya lebih dahulu, karena organisasi internasional dan subjek-subjek lain non negara adalah subjek derivatif yang keberadaannya terjadi atas kehendak negara.168

Namun GCF tetaplah mempunyai legal statusnya baik di depan hukum nasional negara-negara anggotanya maupun di depan hukum internasional. Dalam skala nasional, GCF melalui para anggotanya berperan dalam membuat kebijakan dan program terkait rencana dan komitmen GCF yang telah disetujui bersama. GCF yang terdiri dari kepala pemerintahan daerah diakui untuk membuat suatu keterlibatan dalam perjanjian internasional sesuai dengan kategori Majoring Groups yang termuat dalam Agenda 21 seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Peran pemerintah daerah yang terbukti nyata diaklamasi ketika adanya keterlibatan wakil pemerintah daerah dalam KTT Bumi 1992 di Rio de Janerio , bahkan ada sebuah organisasi yang terbentuk yang melibatkan pemerintah daerah, yakni Network of Regional Government for Sustainable Development (NRGSD).169

GCF telah memiliki legal personalitynya sendiri, terbukti dari berbagai hubungan sub-nasional yang dilakukannya antar negara dan dengan subjek hukum internasional lainnya dalam hubungan pergaulan internasional. Contohnya adalah menjalin kolaborasi dengan jejaring sub-nasional lainnya (misalnya NRG4SD dan Climate Group), berpartisipasi di dalam Forum Lanskap Global CIFOR (CIFOR’s Global Landscapes Forum) serta berpartisipasi pada Conference of the Parties (COP)

UNFCCC 21 di Paris, Prancis (30 November – 11 Desember 2015).170, serta hubungan kolaborasi dengan Organisasi Aviasi Sipil Internasional/International Civil Aviation

168

Sefriani

169

Pramudianto, hlm.43

170 Seperti yang termuat di http://www.gcftaskforce.org/resource_library/articles/article201493

(35)

Organization (ICAO), sebuah grup global yang berkomitmen untuk mencapai “pertumbuhan netral-karbon dari tahun 2020”.

Berbicara mengenai subjek hukum internasional di bidang lingkungan memang tidak mudah. Hal ini disebabkan perkembangan hukum lingkungan internasional yang sangat cepat dan juga timbulnya banyak persoalan-persoalan baru yang bersifat dinamis dan semakin kompleks. Tumbuhnya berbagai entitas baru yang berpengaruh dalam perkembangan hukum internasional semakin nyata dirasakan. Pertumbuhan NGO banyak memberi dampak yang luas bagi meningkatnya peran serta masyarakat internasional.171

Demikian juga halnya dengan GCF, kolaborasi sub-nasional ini juga dapat bertransformasi menjadi subjek hukum internasional jika nantinya GCF mempunyai pengaruh dalam pengambilan kebijakan hukum internasional serta memperoleh pengakuan cukup besar dari masyarakat internasional sebagai suatu entitas.

Hal ini bukan merupakan sesuatu yang mustahil mengingat luas dan aktifnya kegiatan GCF yang berbasis sub-nasional di 7 negara anggotanya, serta dampak atau pengaruh cara dan kebijakan GCF bagi masyarakat internasional terutama terkait kebijakan hutan, REDD+, serta pemberdayaan masyarakat hutan dalam suatu konsep terintegrasi tentang pembangunan berkelanjutan. Bahkan GCF berkomitmen untuk menyerukan kepada 100 anggota sub-nasional lainnya agar turut serta mengambil langkah yang sama seperti GCF dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan hutan, sekaligus perlindungan sistem iklim global. Contoh nyatanya adalah potensi pengaruh intervensi GCF terhadap COP 21 yang mampu mempengaruhi kebijakan global lingkungan hidup, misalnya intervensi terhadap COP tentang keberhasilan yang dicapai berkat kerja kolektif dan komitmen GCF di tingkat daerah, misalnya,

(36)

moratorium hutan Aceh dan pembentukan 7 kawasan pengelolaan hutan atau KPH (yang memperkerjakan lebih dari 2000 orang untuk menjaga hutan).

Praktek dalam hubungan internasional, beberapa organisasi internasional, individu atau Non Govermental Organisation (NGO) dan kelompok-kelompok utama lainnya mulai berkontribusi banyak terhadap pembentukan perjanjian internasional. Meskipun NGO seperti GCF bukan merupakan subjek hukum internasional, namun memiliki potensi yang dapat bertindak sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian, perubahan dan pergeseran terkait hal ini akan terus terjadi seiring dengan kondisi perkembangan lingkungan internasional.

C.2. Kedudukan Deklarasi Rio Branco menurut Hukum Internasional

Perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional menurut Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969172 tentang Perjanjian Internasional memiliki defenisi sebagai berikut : “treaty means an international agreement concluded between States in written form and governed by international

law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments

and whatever its particular designation”. Hal ini berarti perjanjian internasional merupakan kesepakatan antar negara dalam bentuk tertulis yang diatur berdasarkan hukum internasional baik berbentuk instrumen tunggal maupun lebih yang memiliki tujuan-tujuan tertentu.

Sedang menurut UU nasional Indonesia, perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum

172

(37)

publik.173 Ini berarti apabila ada perjanjian antar negara yang dibuat yang bersifat privat atau menimbulkan hak dan kewajiban privat tidaklah dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional.

Lingkup perjanjian internasional yang semula hanya meliputi perjanjian yang dibuat antar negara saja, berkembang menjadi lebih luas melalui Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional di antara Negara dengan Organisasi Internasional lainnya (The Vienna Convention on the Law of Treatis Between States and International Organization or Between International Organizations). Pasal 1

Konvensi ini mengatakan bahwa lingkup perjanjian internasional meliputi perjanjian internasional antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional, serta perjanjian internasional antar organisasi internasional.

Sekarang ini, paradigma pembentukan suatu perjanjian tertulis sudah bergeser di mana pera serta dan keterlibatan masyarakat internasional mempunyai ruang dan kesempatan yang lebih luas untuk membuat suatu perjanjian internasional.

Seluruh komponen masyarakat internasional baik negara, organisasi internasional. NGO bahkan individu telah turut berperan serta menjadi bagian dari pembuatan perjanjian internasional terutama di bidang lingkungan internasional. Landasan kuat ini tercantum dalam Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 yang memberikan akses bagi entitas bukan negara untuk berperan serta dalam pembentukan perjanjian internasional, yakni akses informasi, proses administratif, tindakan hukum, memperjuangkan ganti rugi, memperbaiki, memperoleh keadilan, terlibat dalam berbagai kegiatan, berpendapat, dan lain sebagainya. Ketentuan prinsip ini memberikan hak bagi siapa saja untuk turut berperan serta dalam kegiatan apapun yang relevan di bidang hukum internasional.

(38)

Perkembangan ini juga mempengaruhi perkembangan dokumen-dokumen internasional di bidang lingkungan hidup, yang saat ini secara umum terbagi dua, yaitu dokumen yang bersifat tidak mengikat secara hukum (non legally binding) atau yang sering dikategorikan sebagai soft law yang terkadang dianggap seolah-olah mengikat secara hukum, dan dokumen internasional yang bersifat mengikat secara hukum (quasi-legally binding) yang sering juga disebut hard law.174

Deklarasi yang merupakan salah satu jenis dari soft-law juga merupakan pendekatan yang tidak mengikat secara hukum (non-legally binding). Subjek hukum internasional hanya ingin mengikat secara hukum (legally binding) jika ada kesukarelaan (voluntary) dari subjek hukum internasional penandatangan deklarasi tersebut. Bentuk lain dari soft law yang berkembang dalam bidang hukum lingkungan internasional khususnya hukum perjanjian internasional selain deklarasi adalah:175

1. Prinsip-prinsip (Principle), contohnya Prinsip Common but differentiated responsibility, Prinsip Right of Development, Prinsip intergenerational

Equity;

2. Resolusi (Resolution), contohnya Resolusi Majelis Umum PBB 299 mengenai pembentukan kelembagaan dan dana untuk kerjasama lingkungan internasional, Resolusi GC UNEP mengenai pengurangan penggunaan CFC tahun 1980;

3. Pedoman (Guidelines), contohnya London Guidelines on the Exchange of Information on Chemicals in International Trade, 1987, Montreal

Guidelines for the Protection of the Marine Environtmen against Pollution

from Land-Based Sources, 1985;

(39)

4. Kode (Code), contohnya The Five Nuclear Safety Standards Code, IAE 1978, International Code of Conduct on the Distribution and Use

Pestiside, WHO 1985;

5. Rekomendasi (Recomendations), contohnya OECD Council Recommendation on Strenghten International Cooperation on

Environmental Protection in Transfrontier region, 1978;

6. Aturan (Rules), contohnya ILA Montreal Rules of International Law Applicable to Transfortier Pollution 1982;

7. Petunjuk (Directive), contohnya Directive No. L 194/1975 concerning waste;

8. Keputusan (Deccesion), contohnya UNEP GC Decession No. UNEP GC/DEC/14/25 1987 on Goals and Principles of Environmental Impact Assesment;

9. Bentuk lainnya, seperti Action Programme, Strategy, Action Plan, Charter, Policy, dan Agenda.

Deklarasi Rio Branco sebagai hasil kolaborasi sub-nasional dari GCF termasuk perjanjian internasional yagng bersifat soft-law atau tidak dapat mengikat secara hukum (non-legally binding). Para anggota GCF penandatangan deklarasi ini yang terdiri dari gubernur dari 34 negara bagian dan provinsi hanya akan mengikatkan diri kepada deklarasi jika mereka bersedia atas dasar kesukarelaan (voluntary). Jika anggota GCF telah menandatangani deklarasi tersebut, maka semua komitmen hak dan kewajiban di dalamnya akan terikat pada penandatangannya berdasarkan kesukarelaan anggota penandatangan deklarasi.

(40)

dibuat oleh Pemerintah Daerah anggota GCF bukan negaranya secara umum, juga karena mengingat sifatnya yang berbentuk soft-law dan tidak memiliki daya ikat hukum secara pasti. Namun para pakar hukum internasional menyatakan bahwa justru soft-law seperti deklarasi, prinsip dan lain sebagainyalah yang menjadi jalan bagi entitas bukan negara untuk dapat berperan lebih jauh dalam mengembangkan hukum internasional khususnya dalam pembentukan perjanjian internasional di bidang lingkungan.176

Hukum perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup mencatat keberhasilan dokumen soft-law menjadi dokumen hard-law yang lebih mempunyai daya ikat hukum yang kuat, khususnya dalam perjanjian internasional terkait dengan limbah Bahan Berbahaya Beracun (hazardous waste), yaitu Cairo Guidelines yang telah dijadikan dasar terbentuknya Basel Convention on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal tahun 1989 yang

sekarang telah berlaku penuh (entered into force).177

Selain itu, ada juga praktek dokumen soft-law diambil sebagian untuk dimaksudkan ke dalam suatu perjanjian internasional yang lebih mengikat. Contohnya adalah Prinsip 21178 yang termaktub dalam Deklarasi Stockholm 1972, yang dianggap sebagai prinsip hukum umum ataupun hukum kebiasaan yang berupa soft law, yang kemudian menjadi pembahasan di banyak perundingan internasional dan diintegrasikan dalam berbagai perjanjian internasional seperti United Nations Convention on Biological Diversity atau UNCBD (Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati) 1992; United Nations Framework on Climate Change atau

176

Pendapat Hans Kelsen, juga Austin Spinoza yang menyebut soft law sebagai The Trojan

Hourse of Environmentalist, seperti yang dikutip dari Pramudianto, hlm.51-52

177 Pramudianto, hlm.55 178

(41)

UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Tentang Perubahan Iklim) 1992; United Nations Convention to Combat Desertification atau UNCCD (1994).179

Selain contoh tersebut, terdapat banyak contoh lain berupa dokumen-dokumen internasional baik yang dihasilkan dari seminar, workshop, pertemuan internasional maupun kegiatan internasional lainnya yang dilakukan melalui jalur diplomatic maupun non diplomatic, menjadi bentuk soft law dan kemudian berkembang menjadi bentuk dokumen hard law.

Dokumen soft-law dilihat dari praktek penggunaannya, baik sebagai dokumen maupun bentuk hukum di masa mendatang dipandang akan semakin penting peranannya, terlebih apabila soft law tersebut memiliki norma jus cogens atau perem

Referensi

Dokumen terkait