• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Status Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate and Forest Task Force dan Deklarasi Rio Branco menurut Hukum Internasional

C.1. Kedudukan Governor’s Climate and Forest Task Force sebagai Suatu Entitas menurut Perspektif Hukum Internasional

Hukum internasional yang digunakan sebagai aturan dalam mengatur hubungan pergaulan masyarakat internasional memuat ketentuan tertentu terkait subjek internasional. Perkembangan hukum internasional dari masa ke masa menyebabkan perubahan anggapan yang awalnya menganggap negara adalah satu-satunya subjek hukum internasional, membuka peluang bagi entitas lain bukan negara untuk dapat dikategorikan sebagai subjek hukum internasional.

Secara teoritis subjek hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional.147 Sedang menurut salah satu pakar, subjek hukum internasional adalah: “a body or entity which is capable of possessing and exercising rights and duties under international law”, yang berarti subjek hukum internasional harus memiliki kecakapan-kecakapan hukum internasional utama (international law capacities) untuk mewujudkan kepribadian hukum internasionalnya (international legal personality).148

Kecakapan hukum yang dimaksud dalam hukum internasional adalah sebagai berikut:149

1. mempunyai kemampuan untuk menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasional dan juga nasional;

2. menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional;

3. mampu untuk membuat dan mengadakan perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum internasional;

4. menikmati imunitas atau hak kekebalan dari yurisdiksi pengadilan domestik.

Berdasarkan kriteria tersebut di atas, pada praktiknya hanya negara dan organisasi internasional tertentu seperti PBB saja yang memiliki semua kecakapan hukum yang dimaksud. Itulah sebabnya Boer Mauna membagi subjek hukum internasional dalam subjek hukum internasional aktif yang meliputi negara dan

147

Mochtar Kusumaatmadja, hlm.97

148

Sefriani, hlm.102., seperti yang dikutip dari pernyataan Marton Dixon dalam bukunya

Textbook on International Law, Blackstone Press Limited, 2000.

organisasi internasional serta subjek hukum internasional pasif yang meliputi subjek hukum internasional bukan negara dan bukan organisasi internasional.150

Hukum internasional mengenal ada beberapa pengelompokan subjek hukum internasional yakni negara, organisasi internasional, individu, Takhta Suci Vatikan, Palang Merah International (International Committee Red Cross-ICRC), individu, belligerent (kelompok pemberontak), serta organisasi pembebasan nasional/bangsa yang memperjuangkan haknya.151

Awalnya dalam hukum internasional tradisional, hanya mengenal negara saja sebagai subjek hukum internasional. Organisasi internasional akhirnya dikenal dan diakui sebagai subjek hukum internasional yang berhak menyandang hak dan kewajiban dalam hukum internasional sejak keluarnya advisory opinion Mahkamah Internasional152 dalam kasus Reparation Case 1949153 kepada PBB yang memutuskan bahwa organisasi internasional memiliki legal capacity serta legal personality.

Hukum lingkungan internasional, mengenal ada 2 entitas yang selama ini diakui sebagai subjek hukum internasional yang dapat membentuk perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, yakni negara dan organisasi internasional.

Organisasi internasional merupakan organisasi yang dibentuk dengan perjanjian internasional oleh dua negara atau lebih berisi fungsi, tujuan, kewenangan, asas, dan struktur organisasi.154 Organisasi internasional baru akan diakui sebagai subjek hukum internasional apabila memenuhi syarat dan karakteristik berikut:155

150

Loc.cit

151 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju,1990. Hlm 58-93; Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, hlm.95-103, sama seperti pendapat J.G Starke terkait klasifikasi subjek hukum internasional.

152

Andreas Pramudianto, hlm.36, juga Sefriani, hlm.142

153Kasus “Reparation Case 1949” bermula dari tertembaknya Pangeran Bernadotte dari Swiss oleh tentara Israel saat bertugas sebagai mediator PBB di Timur Tengah. PBB menuntut ganti rugi atas kejadian tersebut karena menilai Israel telah gagal mencegah pembunuhan terhadap warga non kombatan.

154 Sefriani, Loc.cit

1. Dibentuk dengan suatu perjanjian internasional oleh lebih dua negara, dengan nama apapun dan tunduk pada rezim hukum internasional, yang memuat nama, tujuan, fungsi, asas, kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur organisasinya.156

2. Memiliki sekretariat tetap sebagai tempat kedudukan organisasi tersebut. Umumnya apabila suatu organisasi mampu memenuhi syarat tersebut, maka akan lebih mudah bagi organisasi tersebut untuk mendapatkan international personality yang otomatis juga akan memiliki kecakapan-kecakapan hukum internasional (international legal capacity). International legal capacity yang dimaksud adalah dapat membuat perjanjian internasional dengan sesama organisasi internasional, negara atau subjek hukum internasional lainnya; memiliki asset atau property atas namanya sendiri; dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk dan atas nama anggotanya; serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan internasional.157

Namun dalam perkembangannya, terjadi peningkatan dominasi dan peran subjek-subjek hukum internasional bukan negara, termasuk subjek-subjek hukum privat, seperti perusahaan-perusahaan transnasional dan kelompok-kelompok atau organisasi non-pemerintah (Non-Govermental Organization-NGO), dan tetap mengakui negara sebagai subjek hukum internasional yang utama (subject of international law with full personality).158

156 Contohnya : PBB memiliki Charter (Piagam), Liga Bangsa-bangsa memiliki Covenant, ASEAN memiliki Deklarasi Bangkok serta Treaty of Amity and Cooperation

157

Ibid., hlm.144

158

Ida bagus Wyasa Putra, hlm.10., lihat footnote ke-14 seperti yang disadur dari “Private Corporation as Subjects of International Law oleh Friedman, Wolfgang, The Changing Structure of International Law, Stevens & Sons, London, 1964, hlm.221-231.

Peningkatan subjek-subjek hukum privat bukan negara (non-state actor) diakui mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan hukum lingkungan internasional. Dalam kondisi tertentu, subjek-subjek demikian memang terkadang memiliki kekuasaan besar yang mampu mendikte dan bahkan mengendalikan perilaku negara-negara. Namun, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa peran yang dimaksud tidak serta merta mampu menjadikan subjek-subjek demikian dapat diterima sebagai subjek hukum internasional karena kriteria baku seperti kemampuan untuk mendukung hak dan kewajibannya secara internasional, mampu bertindak dan diterima sebagai pihak dalam pergaulan internasional, serta mampu berperkara di Mahkamah Internasional tetaplah menjadi tolak ukur utama pengkualifikasian suatu entitas sebagai subjek hukum internasional.159

Hukum lingkungan internasional mengakui subjek-subjek bukan negara (non-state actor) sebagai subjek hukum internasional, dengan kesadaran bahwa dalam format hukum lingkungan internasional, peran subjek bukan negara termasuk subjek bukan subjek hukum internasional yang diakui berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan hukum lingkungan internasional. Peran yang dimaksud dapat terjadi apabila ada 2 hal, yaitu pemberian kesempatan dan pengakuan oleh negara-negara terhadap peran subjek bukan negara, serta gerakan humanisme universal yang memberikan dorongan dan dukungan moral terhadap keberadaan mereka dalam lingkungan internasional.160

Agenda 21 yang memuat klasifikasi Kelompok Utama (Majoring Group) mengenai entitas yang bukan subjek hukum internasional namun mampu terlibat dalam perjanjian internasional, menetapkan 9 kelompok entitas yakni: Non-Govermental Organization (NGO)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Civil

159 Ibid.,

Society Organization (CSO); Komunitas Bisnis dan Industri; Komunitas Adat; Komunitas Ilmuwan dan Teknorat; Pemerintah Daerah; Petani; Komunitas Agama; Wanita; Anak dan Pemuda.161

Pengelompokan ini telah berperan penting menempatkan posisi majoring groups dalam proses penyusunan hingga pembentukan perjanjian internasional menjadi lebih strategis. Kelompok-kelompok ini kemudian mempunyai kekuatan dan kesempatan untuk diperhitungkan oleh subjek hukum internasional yang utama yakni negara sebagai pemegang dan penentu politik dan diplomasi internasional selama ini. Terlebih dalam terjadinya perubahan penting perkembangan hubungan internasional khususnya bidang lingkungan hidup terkait pergeseran penting mengenai pengakuan akreditasi beberapa NGO di beberapa badan internasional PBB, terutama dengan adanya kelompok utama (majoring group) yang didasarkan pada Agenda 21.162

Governor’s Climate and Forest Task Force (GCF) sebagai sebuah kolaborasi sub-nasional, yang terdiri dari gubernur dari 29 negara bagian dan provinsi dari 7 negara, yang pada dasarnya merupakan pemerintah daerah dalam suatu negara. beraktivitas di yurisdiksi lintas batas negara namun bersifat sub-nasional. Apabila ditinjau berdasarkan pengelompokan majoring groups Agenda 21, maka GCF dikategorikan sebagai sebuah entitas organisasi internasional yang bersifat kerjasama berbasis kinerja berfokus pada pemerintahan daerah.

Berdasarkan syarat sebuah organisasi untuk dapat disebut sebagai suatu organisasi internasional. GCF sudah memenuhi syarat untuk dapat memperoleh legal capacity dan legal personality. Hal ini terlihat dari bentuk atau formasi GCF yang merupakan himpunan dari beberapa negara yang terdiri dari gubernur-gubernur negara bagian dan provinsi yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai

161 Pramudianto, hlm.37

pemerintah atau government. Meski memang tak mewakili sebuah negara secara keseluruhan, namun GCF tetaplah merupakan bagian dari pemerintah dari negara anggota. GCF memiliki sebuah perjanjian multilateral antar para pihak yang memuat nama, tujuan, fungsi, asas, kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur organisasinya. Perjanjian yang dimaksud tersebut adalah sebuah MoU (memorandum of understanding) atau Nota Kesepahaman yang ditetapkan dan ditandatangani pada tanggal 18 November 2008 oleh negara bagian California, Illinois, negara Brazil Amapá, Amazonas, Mato Grosso, dan Pará, dan provinsi-provinsi Indonesia dari Aceh dan Papua yang berkenaan dengan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Gubernur tentang Perubahan Iklim di Los Angeles, California. GCF bertanggungjawab untuk mengambil keputusan eksekutif untuk mengambil rekomendasi-rekomendasi untuk mengimplementasikan ketentuan sektor kehutanan dari MoU.163

Kedudukan MoU juga dianggap sebagai sebuah bentuk perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.164Di Indonesia sendiri, MoU semakin dikenal setelah ditandatanganinya MoU Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Pengertian MoU sebagai perjanjian internasional menjadi semakin meluas, di mana sebelumnya MoU dianggap sebagai soft law sehingga tidak mengikat secara hukum. Namun dewasa ini, MoU kini dapat

163Seperti yang dimuat di dalam website http://gcftaskforce.org/background/documents

/stakeholder/bahasa/ GCF-bahasa-1.pdf akses 02 September 2015 Pukul 11.43

164

Pramudianto., hlm.66-69 “Beberapa jenis perjanjian internasional yang umum digunakan

di bidang lingkungan hidup yaitu Traktat (Treaty), Piagam (Charter), Konvensi (Convention), Protokol (Protocol), Pengaturan (Arrangements), Persetujuan (Agreement), Tindakan (Act), Penyesuaian (Adjustment), Memorandum of Understanding (MoU), Persetujuan (Accord)

dianggap setara dengan setiap persetujuan pada umumnya karena mengandung hak dan kewajiban para pihak penandatangan MoU.165

MoU tersebut memuat tujuan utama GCF yaitu memberikan landasan kerjasama terkait isu kebijakan iklim; kerjasama teknis dan pembangunan kapasitas sektor hutan; memajukan program-program yurisdiksi berbasis pembangunan berkelanjutan termasuk promosi REDD+ dan pengurangan GRK; serta upaya pembiayaan/pendanaan berbasis kinerja performa yang nantinya dialokasikan kepada masyarakat hutan.166

Selain itu, MoU tersebut memuat konsep sustainable development principle sebagai asas umum dalam setiap upaya dan kegiatan GCF, yakni memanfaatkan fungsi lingkungan hutan, melindungi lingkungan dan sistem iklim global masa kini dan yang akan datang, serta memberdayakan masyarakat hutan dan pemangku kepentingan lainnya untuk dapat berpartisipasi dan mendapat manfaat dari kinerja program GCF secara berkelanjutan.

Terkait kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur organisasinya semuanya juga diatur dalam MoU GCF tersebut. Selain itu, GCF juga mempunyai sekretariat tetap yaitu di Colorado.

Meski bersifat sub-nasional, namun aktivitas kinerja tetaplah bersifat lintas batas antar negara anggotanya. Hal ini sesuai dengan karakteristik sebuah organisasi internasional sebagaimana dijelaskan sebelumnya.167 Memang apabila ditelusuri, GCF mempunyai kemampuan yang terbatas pada perjanjian pembuatannya karena pada

165 Pramudianto, hlm.69, seperti yang dikutip dari UNEP (United Nations on Environmental

Programme tahun 2007). Contohnya adalah MoU on the Conservation and Management Marine Tutles and Their Habitats of the Indian Ocean and South East Asia yang ditandatangani di Manila (Filipina)

23 Juni 2001

166 Lihat hlm.81-83 pada penelitian ini mengenai tinjauan umum GCF

dasarnya organisasi tidaklah sebebas negara karena setiap putusannya harus atas dasar persetujuan negara-negara anggotanya lebih dahulu, karena organisasi internasional dan subjek-subjek lain non negara adalah subjek derivatif yang keberadaannya terjadi atas kehendak negara.168

Namun GCF tetaplah mempunyai legal statusnya baik di depan hukum nasional negara-negara anggotanya maupun di depan hukum internasional. Dalam skala nasional, GCF melalui para anggotanya berperan dalam membuat kebijakan dan program terkait rencana dan komitmen GCF yang telah disetujui bersama. GCF yang terdiri dari kepala pemerintahan daerah diakui untuk membuat suatu keterlibatan dalam perjanjian internasional sesuai dengan kategori Majoring Groups yang termuat dalam Agenda 21 seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Peran pemerintah daerah yang terbukti nyata diaklamasi ketika adanya keterlibatan wakil pemerintah daerah dalam KTT Bumi 1992 di Rio de Janerio , bahkan ada sebuah organisasi yang terbentuk yang melibatkan pemerintah daerah, yakni Network of Regional Government for Sustainable Development (NRGSD).169

GCF telah memiliki legal personalitynya sendiri, terbukti dari berbagai hubungan sub-nasional yang dilakukannya antar negara dan dengan subjek hukum internasional lainnya dalam hubungan pergaulan internasional. Contohnya adalah menjalin kolaborasi dengan jejaring sub-nasional lainnya (misalnya NRG4SD dan Climate Group), berpartisipasi di dalam Forum Lanskap Global CIFOR (CIFOR’s

Global Landscapes Forum) serta berpartisipasi pada Conference of the Parties (COP) UNFCCC 21 di Paris, Prancis (30 November – 11 Desember 2015).170, serta hubungan kolaborasi dengan Organisasi Aviasi Sipil Internasional/International Civil Aviation

168

Sefriani

169

Pramudianto, hlm.43

170 Seperti yang termuat di http://www.gcftaskforce.org/resource_library/articles/article201493 _un_climatesummit

Organization (ICAO), sebuah grup global yang berkomitmen untuk mencapai “pertumbuhan netral-karbon dari tahun 2020”.

Berbicara mengenai subjek hukum internasional di bidang lingkungan memang tidak mudah. Hal ini disebabkan perkembangan hukum lingkungan internasional yang sangat cepat dan juga timbulnya banyak persoalan-persoalan baru yang bersifat dinamis dan semakin kompleks. Tumbuhnya berbagai entitas baru yang berpengaruh dalam perkembangan hukum internasional semakin nyata dirasakan. Pertumbuhan NGO banyak memberi dampak yang luas bagi meningkatnya peran serta masyarakat internasional.171

Demikian juga halnya dengan GCF, kolaborasi sub-nasional ini juga dapat bertransformasi menjadi subjek hukum internasional jika nantinya GCF mempunyai pengaruh dalam pengambilan kebijakan hukum internasional serta memperoleh pengakuan cukup besar dari masyarakat internasional sebagai suatu entitas.

Hal ini bukan merupakan sesuatu yang mustahil mengingat luas dan aktifnya kegiatan GCF yang berbasis sub-nasional di 7 negara anggotanya, serta dampak atau pengaruh cara dan kebijakan GCF bagi masyarakat internasional terutama terkait kebijakan hutan, REDD+, serta pemberdayaan masyarakat hutan dalam suatu konsep terintegrasi tentang pembangunan berkelanjutan. Bahkan GCF berkomitmen untuk menyerukan kepada 100 anggota sub-nasional lainnya agar turut serta mengambil langkah yang sama seperti GCF dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan hutan, sekaligus perlindungan sistem iklim global. Contoh nyatanya adalah potensi pengaruh intervensi GCF terhadap COP 21 yang mampu mempengaruhi kebijakan global lingkungan hidup, misalnya intervensi terhadap COP tentang keberhasilan yang dicapai berkat kerja kolektif dan komitmen GCF di tingkat daerah, misalnya,

moratorium hutan Aceh dan pembentukan 7 kawasan pengelolaan hutan atau KPH (yang memperkerjakan lebih dari 2000 orang untuk menjaga hutan).

Praktek dalam hubungan internasional, beberapa organisasi internasional, individu atau Non Govermental Organisation (NGO) dan kelompok-kelompok utama lainnya mulai berkontribusi banyak terhadap pembentukan perjanjian internasional. Meskipun NGO seperti GCF bukan merupakan subjek hukum internasional, namun memiliki potensi yang dapat bertindak sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian, perubahan dan pergeseran terkait hal ini akan terus terjadi seiring dengan kondisi perkembangan lingkungan internasional.