• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Status Kolaborasi Sub-nasional Governor’s Climate and Forest Task Force dan Deklarasi Rio Branco menurut Hukum Internasional

C.2. Kedudukan Deklarasi Rio Branco menurut Hukum Internasional

Perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional menurut Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969172 tentang Perjanjian Internasional memiliki defenisi sebagai berikut : “treaty means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”. Hal ini berarti perjanjian internasional merupakan kesepakatan antar negara dalam bentuk tertulis yang diatur berdasarkan hukum internasional baik berbentuk instrumen tunggal maupun lebih yang memiliki tujuan-tujuan tertentu.

Sedang menurut UU nasional Indonesia, perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum

172

Diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, menggantikan Surat Presiden No.2826/HK/1960 yang saat itu masih sangat lemah kedudukannya dan tidak jelas status hirarkinya

publik.173 Ini berarti apabila ada perjanjian antar negara yang dibuat yang bersifat privat atau menimbulkan hak dan kewajiban privat tidaklah dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional.

Lingkup perjanjian internasional yang semula hanya meliputi perjanjian yang dibuat antar negara saja, berkembang menjadi lebih luas melalui Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional di antara Negara dengan Organisasi Internasional lainnya (The Vienna Convention on the Law of Treatis Between States and International Organization or Between International Organizations). Pasal 1 Konvensi ini mengatakan bahwa lingkup perjanjian internasional meliputi perjanjian internasional antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional, serta perjanjian internasional antar organisasi internasional.

Sekarang ini, paradigma pembentukan suatu perjanjian tertulis sudah bergeser di mana pera serta dan keterlibatan masyarakat internasional mempunyai ruang dan kesempatan yang lebih luas untuk membuat suatu perjanjian internasional.

Seluruh komponen masyarakat internasional baik negara, organisasi internasional. NGO bahkan individu telah turut berperan serta menjadi bagian dari pembuatan perjanjian internasional terutama di bidang lingkungan internasional. Landasan kuat ini tercantum dalam Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 yang memberikan akses bagi entitas bukan negara untuk berperan serta dalam pembentukan perjanjian internasional, yakni akses informasi, proses administratif, tindakan hukum, memperjuangkan ganti rugi, memperbaiki, memperoleh keadilan, terlibat dalam berbagai kegiatan, berpendapat, dan lain sebagainya. Ketentuan prinsip ini memberikan hak bagi siapa saja untuk turut berperan serta dalam kegiatan apapun yang relevan di bidang hukum internasional.

Perkembangan ini juga mempengaruhi perkembangan dokumen-dokumen internasional di bidang lingkungan hidup, yang saat ini secara umum terbagi dua, yaitu dokumen yang bersifat tidak mengikat secara hukum (non legally binding) atau yang sering dikategorikan sebagai soft law yang terkadang dianggap seolah-olah mengikat secara hukum, dan dokumen internasional yang bersifat mengikat secara hukum (quasi-legally binding) yang sering juga disebut hard law.174

Deklarasi yang merupakan salah satu jenis dari soft-law juga merupakan pendekatan yang tidak mengikat secara hukum (non-legally binding). Subjek hukum internasional hanya ingin mengikat secara hukum (legally binding) jika ada kesukarelaan (voluntary) dari subjek hukum internasional penandatangan deklarasi tersebut. Bentuk lain dari soft law yang berkembang dalam bidang hukum lingkungan internasional khususnya hukum perjanjian internasional selain deklarasi adalah:175

1. Prinsip-prinsip (Principle), contohnya Prinsip Common but differentiated responsibility, Prinsip Right of Development, Prinsip intergenerational Equity;

2. Resolusi (Resolution), contohnya Resolusi Majelis Umum PBB 299 mengenai pembentukan kelembagaan dan dana untuk kerjasama lingkungan internasional, Resolusi GC UNEP mengenai pengurangan penggunaan CFC tahun 1980;

3. Pedoman (Guidelines), contohnya London Guidelines on the Exchange of Information on Chemicals in International Trade, 1987, Montreal Guidelines for the Protection of the Marine Environtmen against Pollution from Land-Based Sources, 1985;

174 Lihat hlm.74-74 tentang deklarasi, hard-law dan soft-law

4. Kode (Code), contohnya The Five Nuclear Safety Standards Code, IAE 1978, International Code of Conduct on the Distribution and Use Pestiside, WHO 1985;

5. Rekomendasi (Recomendations), contohnya OECD Council Recommendation on Strenghten International Cooperation on Environmental Protection in Transfrontier region, 1978;

6. Aturan (Rules), contohnya ILA Montreal Rules of International Law Applicable to Transfortier Pollution 1982;

7. Petunjuk (Directive), contohnya Directive No. L 194/1975 concerning waste;

8. Keputusan (Deccesion), contohnya UNEP GC Decession No. UNEP GC/DEC/14/25 1987 on Goals and Principles of Environmental Impact Assesment;

9. Bentuk lainnya, seperti Action Programme, Strategy, Action Plan, Charter, Policy, dan Agenda.

Deklarasi Rio Branco sebagai hasil kolaborasi sub-nasional dari GCF termasuk perjanjian internasional yagng bersifat soft-law atau tidak dapat mengikat secara hukum (non-legally binding). Para anggota GCF penandatangan deklarasi ini yang terdiri dari gubernur dari 34 negara bagian dan provinsi hanya akan mengikatkan diri kepada deklarasi jika mereka bersedia atas dasar kesukarelaan (voluntary). Jika anggota GCF telah menandatangani deklarasi tersebut, maka semua komitmen hak dan kewajiban di dalamnya akan terikat pada penandatangannya berdasarkan kesukarelaan anggota penandatangan deklarasi.

Secara umum, Deklarasi Rio Branco tidaklah dapat dijadikan atau digunakan sebagai salah satu sumber hukum internasional. Karena selain Deklarasi Rio Branco

dibuat oleh Pemerintah Daerah anggota GCF bukan negaranya secara umum, juga karena mengingat sifatnya yang berbentuk soft-law dan tidak memiliki daya ikat hukum secara pasti. Namun para pakar hukum internasional menyatakan bahwa justru soft-law seperti deklarasi, prinsip dan lain sebagainyalah yang menjadi jalan bagi entitas bukan negara untuk dapat berperan lebih jauh dalam mengembangkan hukum internasional khususnya dalam pembentukan perjanjian internasional di bidang lingkungan.176

Hukum perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup mencatat keberhasilan dokumen soft-law menjadi dokumen hard-law yang lebih mempunyai daya ikat hukum yang kuat, khususnya dalam perjanjian internasional terkait dengan limbah Bahan Berbahaya Beracun (hazardous waste), yaitu Cairo Guidelines yang telah dijadikan dasar terbentuknya Basel Convention on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal tahun 1989 yang sekarang telah berlaku penuh (entered into force).177

Selain itu, ada juga praktek dokumen soft-law diambil sebagian untuk dimaksudkan ke dalam suatu perjanjian internasional yang lebih mengikat. Contohnya adalah Prinsip 21178 yang termaktub dalam Deklarasi Stockholm 1972, yang dianggap sebagai prinsip hukum umum ataupun hukum kebiasaan yang berupa soft law, yang kemudian menjadi pembahasan di banyak perundingan internasional dan diintegrasikan dalam berbagai perjanjian internasional seperti United Nations Convention on Biological Diversity atau UNCBD (Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati) 1992; United Nations Framework on Climate Change atau

176

Pendapat Hans Kelsen, juga Austin Spinoza yang menyebut soft law sebagai The Trojan

Hourse of Environmentalist, seperti yang dikutip dari Pramudianto, hlm.51-52

177 Pramudianto, hlm.55

178

Prinsip yang menyatakan bahwa negara berdasarkan Piagam PBB dan prinsip hukum internasional berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya dan bertanggungjawab untuk menjamin bahwa aktivitas dalam yurisdiksi atau pengawasannya tidak menyebabkan kerusakan lingkungan terhadap negara lain atau terhadap area di luar yurisdiksi nasional suatu negara.

UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Tentang Perubahan Iklim) 1992; United Nations Convention to Combat Desertification atau UNCCD (1994).179

Selain contoh tersebut, terdapat banyak contoh lain berupa dokumen-dokumen internasional baik yang dihasilkan dari seminar, workshop, pertemuan internasional maupun kegiatan internasional lainnya yang dilakukan melalui jalur diplomatic maupun non diplomatic, menjadi bentuk soft law dan kemudian berkembang menjadi bentuk dokumen hard law.

Dokumen soft-law dilihat dari praktek penggunaannya, baik sebagai dokumen maupun bentuk hukum di masa mendatang dipandang akan semakin penting peranannya, terlebih apabila soft law tersebut memiliki norma jus cogens atau peremptory norm dan menimbulkan obligation erga omnes, akan memiliki sumbangan penting bagi perkembangan hukum lingkungan internasional.

Demikian juga halnya dengan Deklarasi Rio Branco. Apabila dalam Deklarasi Rio Branco terdapat prinsip yang kemudian dapat diterima sebagai jus cogen dan mengandung kewajiban erga omnes, maka Deklarasi Rio Branco bisa dijadikan sebagai sumber hukum internasional, khususnya hukum lingkungan internasional. Hal tersebut juga dipengaruhi secara kuat oleh tanggapan subjek hukum internasional lainnya dalam menyikapi deklarasi ini sebagai soft law. Terutama dengan adanya doktrin hukum internasional yang menyatakan bahwa “silence gives consent” atau diam berarti setuju, atau barang siapa yang tidak protes berarti setuju, maka akan dianggap sebagai tacit consent atau tunduk secara diam-diam.180

179 Loc.cit

BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA BAGIAN DAN PROVINSI