• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG SUSTAINABLE DEVELOPMENT PRINCIPLE

A. Latar Belakang

Peningkatan populasi manusia di dunia berjalan seiring dengan peningkatan kemajuan zaman. Semakin hari semakin banyak perubahan yang terjadi baik yang bersifat positif maupun negatif. Setiap bangsa di dunia berlomba-lomba mengejar ketertinggalan dengan menciptakan banyak kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Setiap hari akan selalu ada inovasi, invensi, rehabilitasi dan lain sebagainya untuk menciptakan perubahan demi mencapai suatu standar: lebih praktis, canggih dan bermanfaat.

Perubahan yang terasa akibat kemajuan zaman memang sangat membantu kita dalam melakukan berbagai hal. Teknologi yang semakin canggih memudahkan setiap kendala yang kita hadapi, termasuk memperpendek jarak; mempersingkat waktu; menghemat tenaga dan biaya; dan lain sebagainya. Namun seringkali di balik teknologi tersebut, ada banyak kemurnian alam dan kelestarian lingkungan yang dikorbankan.

Manusia sebagai bagian dari makhluk hidup yang merupakan individu masyarakat internasional memiliki hasrat kehidupan yang lebih maju, harmonis dan ideal. Lambat laun, manusia mulai menyadari dampak perubahan kemajuan zaman terhadap kelangsungan lingkungan hidup.

Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena terjadinya pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi

(economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).2 Dampak pencemaran lingkungan menyentuh kesehatan manusia secara langsung. Dampak ini seringkali baru dapat dirasakan setelah berselang sekian lama sejak timbul dan masuknya suatu zat-zat kimia yang terakumulasi hingga melewati batas maksimum yang seharusnya.

Beberapa peristiwa pencemaran lingkungan di negara-negara maju, yang menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, antara lain pencemaran merkuri di Teluk Minimata Jepang, pencemaran udara di London 1952, pencemaran udara di Pennsylvania 1948, pencemaran di Love Canal, A.S., pencemaran Sungai Wabigon di Kanada.3 Hal ini menunjukkan bahwa pencemaran lingkungan tersebut dapat merusak kesehatan manusia dalam ruang lingkup sempit dan bahkan lebih luas lagi dalam skala besar. Kondisi ini diperparah oleh budaya banyak orang yang tidak mempedulikan kondisi lingkungannya.

Dewasa ini banyak orang yang tidak peduli dengan gangguan-gangguan berupa kabut asap, bau busuk, kebisingan serta pemandangan yang tidak sedap dilihat. Selain masalah estetika lingkungan yang terabaikan, pencemaran lingkungan juga dapat menyebabkan kerugian ekonomi. Kerugian-kerugian ekonomi yang diderita para korban pencemaran berupa biaya pemeliharaan rumah dan lingkungan, biaya perobatan bahkan dapat menyebabkan hilangnya mata pencaharian beberapa kalangan masyarakat tertentu.

1

Takdir Rahmadi., Hukum Lingkungan di Indonesia, cet.ke-1 (Jakarta : Rajawali Pers,2011) hlm. 3 seperti yang dikutip dari Richard Stewart and James E Krier, Environmental Law and Policy, (New York : The Bobbs Merril Co. Inc, Indianapolis,1978), hlm. 3-5

3 Ibid., hlm. 4., seperti yang dikutip dari Ditri dan Ditri, Mercury Contamination A Human Tragedy (1977), John Willey & Sons, Toronto. Hlm.16; Hicky, 1971, Air Polution in Environtment, Resources, Pollution and Society (1971) Ed.William Murdoch, SInauer Associates Inc., Stanford.

Hm.2; Hay, The Chemical Scthye Lesson of 2,4,5, T and Dioxin (1982), (New York : Plennum Press, 1982), hlm.229

Akumulasi kegiatan-kegiatan manusia lambat laun mampu mengubah ekosistem alami lingkungan. Seperti y ang nyata terasa akhir-akhir ini, yakni siklus cuaca yang seringkali berubah-ubah, meningkatnya suhu panas bumi, terjadinya musim kemarau yang luar biasa atau musim hujan yang tak teratur. Ini merupakan tanda terganggunya sistem iklim dunia yang buruk.

Ketidakbijaksanaan kegiatan manusia seperti penggundulan, perambahan atau pembakaran hutan, pembangunan yang tak memperhatikan aspek lingkungan selain juga mampu mengubah sistem ekologis di suatu kawasan tertentu, namun juga dapat berdampak buruk terhadap kawasan lain di sekitarnya.

Setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi timbulnya masalah-masalah lingkungan, yakni revolusi teknologi, pertumbuhan penduduk, motif ekonomi, kebijakan politik, dan tata nilai yang menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat segala-galanya dalam alam semesta, yang dijelaskan sebagai berikut: 4

“Barry Comoner (1973) dalam bukunya “the Closing Circle” melihat bahwa teknologi merupakan sumber terjadinya masalah-masalah lingkungan. Terjadinya revolusi di bidang ilmu pengetahuan alam misalnya fisika dan kimia, yang terjadi selama puluhan tahun terakhir, telah mendorong perubahan-perubahan besar di bidang teknologi. Selanjutnya hasil-hasil teknologi itu diterapkan dalam sektor industri, pertanian, transportasi dan komunikasi. Ehrlich dan Holdren menekankan bahwa pertumbuhan penduduk dan peningkatan kekayaan memberikan sumbangan penting terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Hardin (1997) dalam karya tulisnya “The Tragedy of the Commons” melihat bahwa alasan-alasan ekonomi yang sering menggerakkan perilaku manusia atau keputusan-keputusan yang

4 Ibid., hlm. 6-10

diambil oleh manusia secara perorangan maupun kelompok, terutama dalam hubungannya dengan pemanfaatan common property. Common property adalah sumber-sumber daya alam yang tidak dapat menjadi hak perorangan, tetapi setiap orang dapat menggunakan atau memanfaatkannya untuk kepentingan masing-masing. Common property itu meliputi sungai, padang rumput, udara,. laut. Karena sumber daya itu dapat dan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing, maka setiap orang berusaha berlomba-lomba memanfaatkan atau mengeksploitasi sumber daya semaksimal mungkin guna memperoleh keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Hingga pada akhirnya tiap orang berpikir egoistis dan berpacu mengeksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya alam. Namun selain itu, sebagian pakar berpendapat bahwa timbulnya masalah lingkungan hidup disebabkan oleh tata nilai yang berlaku menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta. Tata nilai ini dikenal dengan istilah anthroprocentric atau homocentric. Berdasarkan perspektif antroposentris, alam semesta atau lingkungan hidup perlu dimanfaatkan dan dilindungi semata-mata hanya untuk kepentingan manusia”.5

Melihat kondisi tersebut, perlahan dunia internasional mulai mengupayakan berbagai cara untuk mewujudkan pola hidup yang sebisa mungkin berdampingan selaras dengan alam dan lingkungan hidup. Masyarakat internasional yang merupakan gabungan masyarakat dari berbagai negara memerlukan adanya prasarana yang akomodatif untuk mewujudkan keinginan tersebut. Prasarana yang dimaksud dalam

5 Ibid., hlm. 6-10

bentuk aturan-aturan dan norma-norma kehidupan yang dapat mengatur hubungan kehidupan antara suatu bangsa yang berdaulat dalam suatu negara dengan bangsa yang berdaulat dalam suatu negara lainnya. Aturan dan norma kehidupan itu disebut hukum internasional.

Hukum internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah “keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara (1) negara dengan negara; atau (2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain”.6

Dasar sosiologis yang mendasari hukum internasional yaitu adanya sejumlah negara dan kebutuhan negara itu untuk mengadakan hubungan satu sama lain7 , yakni kebutuhan bangsa-bangsa untuk hidup berdampingan secara teratur menjadi suatu keharusan kenyataan sosial yang tak dapat dielakkan.

Beranjak dari fakta bahwa dalam hubungan yang diadakan antar negara di dunia, terbagi atas hubungan antara masyarakat suatu negara terhadap lingkungan alamnya, hubungan masyarakat suatu negara terhadap masyarakat negara lain, hubungan antara lingkungan alam suatu negara dengan lingkungan alam negara lain serta hubungan antara lingkungan alam suatu negara dengan masyarakat negara lain; dapat disimpulkan bahwa lingkungan itu berdampak luas dan besar,

Suatu masalah lingkungan domestik yang menimbulkan suatu dampak negatif pada lingkungan negara lain atau lingkungan pada wilayah yang tidak berada di bawah yurisdiksi suatu negara (wilayah internasional atau wilayah bebas) menyebabkan masalah tersebut berkembang menjadi masalah lingkungan internasional. Sifat dan hakikat masalah demikian mengakibatkan perlindungan dan usaha-usaha perbaikan lingkungan membutuhkan suatu sistem hukum tersendiri yang

6Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes., Pengantar Hukum Internasional , Edisi Kedua,cet.ke-1, (Bandung : P.T. Alumni : 2003), hlm. 3

lebih sesuai dengan sifat dan hakikat masalahnya, yang mampu menempatkan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang utuh, yang tersusun dalam berbagai komponen lingkungan, baik yang berada di dalam wilayah suatu negara, atau tunduk pada kekuasaan negara tertentu, maupun yang berada di luar yurisdiksinya itu. Untuk mengaturnya, tak cukup hanya dengan membuat hukum sendiri di negara sendiri. Perlu adanya korelasi dan sinergi hukum nasional suatu negara dengan negara lain karena lingkungan ini mempunyai cakupan juga pengaruh luas ke dunia internasional. Tinjauan yuridis secara ilmiah di bidang lingkungan internasional telah menjadi satu bagian pokok bahasan dalam hukum internasional yang dikenal dengan istilah hukum lingkungan internasional.

Hukum lingkungan internasional adalah8: keseluruhan kaidah, asas-asas, lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam kenyataan. Hukum atau keseluruhan kaidah dan asas yang dimaksud adalah keseluruhan kaidah dan asas yang terkandung di dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yaitu masyarakatnegara-negara, termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan internasional.9

Hukum lingkungan internasional hingga sekarang mengalami 3 tahapan perkembangan, seperti dijelaskan sebagai berikut: 10 Hukum lingkungan internasional berkembang jauh sebelum kesadaran lingkungan internasional lahir, yaitu sejak munculnya berbagai kasus lingkungan yang melibatkan negara-negara sebagai pihak perkara, seperti dalam Kasus Trail Smelter (1938) dan Kasus Lake Lonux (1957),

8

Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional “Perspektif Bisnis Internasional”,

cet ke-1, (Bandung : Refika Aditama, 2003), hlm. 1

9 Ibid.

sementara kesadaran lingkungan internasional baru berkembang pada tahun 1960-an, sejak Rachel Carson menuliskan bukunya yang sangat menyita perhatian dunia, The Silent Spring (1962).11 Sebelumnya orientasi hukum lingkungan internasional hanya memperhatikan upaya-upaya perlindungan hak-hak negara dan kekuasaan negara, belum kepada perlindungan lingkungan hidup.

Carson menggambarkan akibat buruk kerusakan lingkungan terhadap kehidupan makhluk hidup, dan dengan demikian buku Carson menarik perhatian masalah manusia terhadap masalah-masalah lingkungan yang sesungguhnya telah muncul sejak tahun 1950-an, seperti kasus Minimata Jepang (1953) dan asap kabut (smoke and fog = smog) di Los Angeles.12

Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa hukum lingkungan internasional memiliki pemicu, saat dan karakteristik berbeda dengan gerakan lingkungan internasional. Gerakan lingkungan internasional dipicu dan dipengaruhi oleh konsep, persepsi dan pendekatan-pendekatan ekologis, yaitu upaya-upaya penyelamatan dan perlindungan lingkungan, dan baru dimulai pada tahun 1950-an; sedangkan hukum lingkungan internasional dipicu oleh upaya-upaya perlindungan hak-hak negara dari akibat tindakan negara lain yanmg merugikan, sangat dipengaruhi konsep, persepsi dan pendekatan-pendekatan hukum dalam kaitan dengan upaya perlindungan hak-hak negara, serta telah dimulai sejak tahun 1930-an. Kedua konsep ini baru tampak menjelang tahun 1970-an dan meunjukkan bentuk kombinasinya melalui Konferensi Stockholm 1972 (The United Nations Conference on the Human Environtment, 5 to 16 June 1972) atau lebih tegas melalui Deklarasi Stockholm 1972 (Declaration of The United Nations Conference on The Human Environtment 1972).13

11

Ibid., hlm 17, seperti yang dikutip dari Otto Soemarwoto, Analisis Dampak Lingkungan, ( Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1991) hlm. 2

12 Ibid.

Perkembangan hukum lingkungan internasional bahkan tercatat telah dimulai sejak tahun 1900-an, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Perlindungan Burung-burung Pertanian (Convention on Conservation of Birds Useful to Agriculture,1902) di Eropa, yang mengatur perlindungan terhadap burung-burung dan binatang lainnya yang berfungsi membantu pertanian, yang telah berlaku sebagai suatu kebiasaan selama 30 tahun dalam kehidupan petani-petani Jerman, yang kemudian meminta kekaisaran Austro-Hungaria melakukan perlindungan serupa.14

Perkembangan tahap kedua hukum lingkungan internasional ditandai dengan munculnya komitmen moral negara-negara bersamaan dengan bangkitnya kesadaran lingkungan internasional yang diilhami buku The Silent Spring oleh Rachel Carson tahun 1962. Kesadaran ini diimbangi dengan munculnya berbagai gerakan penelitian yang didasarkan pada konsep sains yang progresif, seperti The Limits to Growth yang dilakukan Tim MIT (Massachusetts Institute of Technology) 1968 tentang hubungan timbale balik antara manusia dengan sumber daya alam. Ada juga SCEP (The Study of Critical Environtmental Problems-1969) yang meneliti masalah pencemaran dan pengaruhnya terhadap keterlanjutan ekosistem. Sedangkan BMI (Battelle Memorial Institute-1969) menekankan analisis tentang konsumsi energi yang boros dan juga berpotensi mencemari udara. Studi ini menunjukkan bahwa aktivitas manusia dibandingkan dengan proses alamiah geologi dan ekologi, mengakibatkan percepatan proses perusakan elemen-elemen ekologi setara, bahkan lebih besar dari kecepatan ilmiah.15

Hasil-hasil penelitian tersebut menggerakkan kesadaran internasional untuk membentuk kebijakan lingkungan internasional yang mampu mengontrol perilaku kurang bijaksana negara-negara, badan publik dan non publik menjadi lebih bijak dan

14 Ibid. hlm. 18

terarah dalam upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan dan kelangsungan hidup manusia di bumi. Hal inilah yang kemudian mendorong PBB menyelenggarakan konferensi tentang lingkungan hidup (United Nations Conference on Human Environtment), tanggal 5-16 Juni 1972, di Stockholm, Swedia yang dihadiri 113 negara, 21 organ resmi PBB, 16 organisasi antar pemerintah (IGOs) dan 258 organisasi non pemerintah (NIGOs) termasuk LSM.16 Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi tentang Lingkungan Hidup (Stockholm Declaration) yang terdiri dari mukadimah dan 26 asasnya; dan Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plan), yang terdiri dari 109 rekomendasi.

Perkembangan tersebut berlanjut pada tahap ketiga yakni munculnya berbagai ketentuan hukum internasional yang berorientasi kepada perlindungan lingkungan global seperti Konvensi Wina 1985 dan Protokol Montreal 1987, Konvensi Perubahan Iklim 1992, Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992, Konvensi Perlindungan Hutan Tropis 1992, dan berbagai ketentuan dan kesepakatan lain yang besifat bilateral maupun multilateral, regional maupun sub-regional.17 Termasuk diantaranya Deklarasi Rio 1992 di Rio de Janeiro sebagai penegasan dari Deklarasi Stockholm 1972 yang memuat 27 prinsip dasar pembangunan berkelanjutan. Deklarasi ini dibuat untuk menghadapi persoalan lingkungan global yang saat itu sedang marak menjadi pembicaraan dunia, yakni global warming dan global climate change. Deklarasi Rio 1992 ini sangat penting bagi pengelolaan lingkungan karena secara tegas menerima prinsip sustainable develeopment. Evaluasi hasil KTT Bumi (Earth Summit) tersebut dilanjutkan oleh PBB dengan mengadakan kegiatan KTT Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development-WSSD) tahun 2002 di

16

Ibid., hlm. 22, seperti yang dikutip dari Daud Silalahi, Hukum Lingkungan (Bandung :

Alumni, 1992), hlm. 18

Johannesburg, Afrika Selatan tentang tantangan dan komitmen dunia internasional dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

Ketentuan tersebut dipandang telah berorientasi kepada perlindungan lingkungan sebagai suatu keseluruhan yang utuh, sangat didominasi oleh pemikiran-pemikiran perlindungan lingkungan dengan wawasan global, seperti konsep perlindungan keseimbangan ekologi (protection on ecological balance of the biosphere)18, keseimbangan kebijakan pembangunan ekonomi dengan perlindungan lingkungan dalam rangka daya dukung lingkungan yang berkelanjutan (sustainable development),19 perlindungan lingkungan untuk masa kini dan masa depan (imperative goal for mankind),20 kebijakan pemerintah yang menyeluruh (large schale policy), dan tindakan yang bersifat usaha bersama (common effort) untuk kepentingan bersama (common interest).21

Beranjak dari berbagai peristiwa perkembangan tersebut, maka banyak negara-negara di dunia mulai memikirkan betapa pentingnya kesadaran pelestarian lingkungan. Masyarakat dunia mulai melihat bahwa upaya pembangunan ternyata dapat menyebabkan dampak buruk terhadap lingkungan. Manusia mulai melihat krisis kehancuran antara hubungan manusia dengan lingkungannya, terutama masyarakat dari negara maju dan negara berkembang. Kondisi ini diperburuk oleh ledakan penduduk yang sangat besar, integrasi yang tidak memadai antara teknologi yang begitu canggih dan kuat dengan keperluan dan daya dukung lingkungan yang kurang baik, kerusakan hutan dan pengurangan lahan, pembangunan pemukiman dan industri yang tidak berencana, berkurangnya lahan terbuka dan bahaya kepunahan satwa dan tumbuhan yang semaskin meningkat. Apabila hal ini masih berlangsung terus

18

Proclaim 3 Deklarasi Stockholm 1972

19

Proclaim 4,5, Ibid.

20 Proclaim 6, Ibid

menerus, bisa dipastikan bahwa kehidupan bumi di masa yang akan datang akan terancam.

Kesadaran tersebut mendorong munculnya banyak pergerakan di bidang lingkungan baik secara unilateral, bilateral, ataupun multilateral; baik berupa kegiatan ataupun kebijakan yang berkaitan dengan upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan, termasuk Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang dalam perkembangannya saat ini mengalami setidaknya 4 faktor pokok permasalahan, yakni:22

1. Perkembangan penduduk dan masyarakat yang laju pertumbuhannya sangat cepat, tersebar tidak merata, mayoritas penduduk bermatapencaharian dari sektor pertanian, tingkat pengangguran yang cukup tinggi, pendapatan perkapita yang rendah, tingkat kesehatan dan kesejahteraan yang rendah;

2. Perkembangan sumber daya alam dan lingkungan yang mengalami tekanan besar. Permintaan akan sumber daya alam khususnya tanah dan air sangat besar disebabkan kepadatan penduduk disertai tingkat pendapatan yang rendah. Kebutuhan akan sumber daya alam meningkat, padahal persediaan dan kemampuan alam sangat jauh berkurang. Kemiskinan dan keterbalakangan penghayatan lingkungan hidup mendesak pengelolaan sumber alam dan lingkungan secara tepat dan efektif sehingga kurang mengindahkan faktor lingkungan hidup.

3. Perkembangan teknologi dan kebudayaan di negara berkembang yang harus menyesuaikan perkembangan teknologi di negara-negara maju yang menerapkan teknologi canggih padat modal dan hemat tenaga

22 Disadur dari Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan”, Edisi VIII,

kerja.Penemuan dan teknologi baru negara maju medorong masyarakat kita untuk ikut serta menyesuaikan diri dengan kemajuan yang mereka raih.

4. Perkembangan ruang lingkup internasional terutama secara ekonomi di bidang perdagangan, teknologi, investasi, bantuan luar negeri, transportasi, komunikasi dan lain-lain sangat berpengaruh besar terhadap tindakan dan kebijakan negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Menilik faktor-faktor yang diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa pembangunan dan lingkungan adalah dua hal yang bertolak belakang. Di satu sisi, setiap negara termasuk Indonesia menginginkan kemajuan pembangunan di setiap sektor kehidupan negara dan masyarakatnya. Di sisi lain, setiap negara juga menginginkan dan menyadari bahwa lingkungan dan kelangsungan lingkungan sangat penting dan mutlak bagi kehidupan generasi manusia sekarang dan yang akan datang. Hakikat pembangunan tak lain adalah menginginkan perubahan yang tentunya mengubah lingkungan, sedangkan hakikat pelestarian lingkungan adalah menjaga kondisi lingkungan untuk tetap alami dan natural. Keduanya sangat bertolak belakang,; sama-sama penting dan sama-sama mutlak dibutuhkan.

Pengaturan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara nasional di Indonesia baru dilakukan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. 23 Dengan adanya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm 1972, Indonesia sebagai salah satu dari 113 negara peserta konferensi tersebut harus mempersiapkan “Laporan Nasional” tentang keadaan lingkungan hidup di Indonesia. Untuk itu diselenggarakanlah suatu seminar yakni Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan

23 Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan”, Edisi VIII, (Yogyakarta : Gadjah

Pembangunan Nasional di Universitas Padjajaran pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar ini membahas pengelolaan lingkungan hidup melalui pendekatan multidisipliner dan interdisipliner, termasuk kajian dari perpektif ilmu hukum. Dalam kaitannya dengan peranan hukum terhadap pengelolaan lingkungan hidup, diperoleh kesimpulan bahwa perlu diadakannya pembenahan dan pengembangan hukum lingkungan yang mengandung asas-asas hukum modern. Hasil seminar itulah yang kemudian diangkat dan dituangkan menjadi masukan bagi program pembangunan Hukum Nasional dalam Repelita II.24

Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm, Pemerintah Republik Indonesia sendiri telah mengambil langkah-langkah lebih lanjut di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Selain dengan mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 60 Tahun 1972 tanggal 17 Oktober 1972 Tentang Pembentukan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup yang bertugas menyusun dan membuat inventarisasi dan rencana kerja bagi pemerintah di bidang pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup, juga mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 28 Tahun 1978 Tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi serta Susunan Organisasi Stafnya. Namun Keputusan Presiden ini selanjutnya diubah dengan Keputusan Presiden No. 35 Tahun 1978, yang berisikan penyempurnaan terhadap ketentuan angka 2 Pasal 2 Keputusan Presiden No.28 Tahun 1978, khusus menyangkut fungsi dan tugas Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup.25

24 Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm, 48

Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup melalui Keputusan No.006/MNPLH/3/1978 Tentang Pembentukan Kelompok Kerja dalam Bidang Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup, membentuk kelompok kerja yang bertugas menyusun rancangan peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang pengelolaan lingkungan hidup.26 Kelompok kerja ini kemudian menghasilkan suatu Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan lingkungan Hidup. Rancangan Undang-undang ini kemudian disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang inilah yang menjadi sumber formal pertama bagi lahirnya pengembangan hukum lingkungan nasional modern di Indonesia.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan UULH 1982) yang merupakan undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup yang pertama diundangkan di Indonesia sejak munculnya kesadaran global dan nasional akan arti pentingnya pengelolaan lingkungan; dinyatakan tidak berlaku dan digantikan oleh Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1997). Selanjutnya UULH 1997 ini dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan oleh Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) ini memiliki perbedaan istilah jika dibandingkan dengan undang-undang pendahulunya. Penambahan istilah “Perlindungan” ini

26

Ibid., seperti yang dikutip dari Siti Sundari Rangkuti, “Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Nasional Indonesia (Surabaya : Airlangga