• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA BAGIAN DAN PROVINSI ANGGOTA PENANDATANGAN DEKLARASI RIO BRANCO DAN

A. Sustainable Development Principle dalam Deklarasi Rio Branco

A.2. Implikasi Hukum Deklarasi Rio Branco dalam Upaya Pembangunan Berkelanjutan menurut Perspektif Hukum Internasional

Deklarasi Rio Branco dalam konsepnya menginginkan terciptanya perlindungan sistem iklim global serta tercapainya perwujudan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat di sekitar yurisdiksinya.

Program penggalangan dana semaksimal mungkin dari berbagai pihak baik itu sektor swasta, pemerintah negara-negara donor, atau pihak-pihak lain akan digunakan sebaik mungkin untuk menjalankan upaya pengurangan deforestasi hutan, penurunan emisi dan konsentrasi gas rumah kaca; meningkatkan taraf hidup masyarakat hutan daerah yurisdiksi dengan memberikan insentif serta langkah program inovatif dalam peningkatan hasil pertanian dan hutan, juga komersialisasi berbagai produk-produk lestari.

Implementasi dari deklarasi ini tentunya dilaksanakan di setiap daerah yurisdiksi para negara-negara bagian dan provinsi anggota GCF yang menandatangani deklarasi. Misalnya saja, di Kalimantan Tengah yang merupakan salah satu anggota GCF. Provinsi Kalimantan Tengah telah membuat beberapa perencanaan kebijakan pembangunan. Diantaranya ada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Kalimantan Tengah 2016-2025, Rencana Jangka Menengah Daerah 2014-2020, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Pengelola dan Pelestarian Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah. Selain itu, Provinsi Kalimantan Tengah juga membuat kebijakan “Green Government Policy” (Kebijakan Pemerintah Hijau) yang menginginkan Kalimantan Tengah sebagai provinsi yang dapat melaksanakan pembangunan berlandaskan pada pelestarian lingkungan hidup; yang dilaksanakan secara formal melalui beberapa peraturan perundang-undangan dan kelembagaan pemerintah berupa:

1) Perda Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi dalam Usaha Perkebunan di Provinsi Kalimantan Tengah; yang menyatakan bahwa setiap usaha perkebunan mempunyai tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati.190 Para pengusaha perkebunan di atas 25 hektar wajib membuat perencanaan pengelolaan, melaksanakan kegiatan pengelolaan dan melaporkan pelaksanaan pengelolaan terhadap kawasan bernilai konservasi tinggi.

2) Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 37 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Kesatuan Pengelolaan Hutan Pada Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah yange mengatur

tentang pembentukan Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan di berbagai daerah di Provinsi Kalimantan Tengah yang pada intinya bertugas melaksanakan pengelolaan hutan mulai dari tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, perlindungan hutan dan konservasi. Juga meliputi penjabaran kebijakan kehutanan nasional dan kebijakan lainnya tentang kehutanan untuk diimplementasikan di wilayahnya, serta pelaksanaan pemantauan dan penilaian kegiatan pengelolaan hutan, pembukaan peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan, melakukan pelayanan terhadap masyarakat di bidang kesatuan pengelolaan hutan.191

Peraturan Daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah merupakan respons terhadap komitmen yang telah disepakati di dalam Deklarasi Rio Branco dan GCF. Demikian juga halnya dengan provinsi lain di Indonesia yang menjadi anggota GCF yang turut menandatangani deklarasi tersebut. yakni Aceh, Kalimantan Timur, Papua, Kalimantan Barat, Papua Barat dan Kalimantan Utara.

Upaya yang sama juga terlaksana di Brazil, di mana negara berhasil mengubah tata kelola lahan nasional dan kebijakan terunial yang dapat mendukung komitmen dalam deklarasi ini. Misalnya sesuai Kode Hutan Brazil, ada kebijakan Pencatatan Lingkungan Desa di Brazil yang mempersyaratkan setidaknya 80 % lahan pribadi berada dalam tutupan hutan, dan hal ini menjadi prasyarat pengalihan lahan melalui program nasional yang dinamai Terra Legal. Brazil bekerja sama dengan pemerintah

sebagai mitra kunci untuk meningkatkan kepatuhan lingkungan dan memperjelas pengaturan terunial.192

Tujuan dari Deklarasi Rio Branco dan Under 2 MOU193 adalah untuk meningkatkan komitmen tingkat tinggi untuk menghadapi deforestasi dan perubahan iklim, dimana aksi spesifik di lapangan akan ditentukan oleh masing-masing negara bagian dan provinsi berdasarkan konteks nasional dan daerahnya. Under 2 MOU dan Deklarasi Rio Branco saling melengkapi dan sebenarnya para pemerintah yang telah berkomitmen kepada Deklarasi Rio Branco telah melakukan lebih dari yang dipersyaratkan di dalam Under 2 MOU. Namun jika dilihat dari segi dampak kinerja GCF secara umum, program ini bukan hanya akan menguntungkan daerah yurisdiksi para anggota GCF saja,melainkan akan berdampak juga secara universal terhadap dunia.

Pengurangan laju deforestasi di wilayah hutan tropis para anggota GCF serta merta berdampak positif terhadap penurunan emisi dan gas rumah kaca secara global mengingat ruang udara di dunia tidak bisa disekat. Karena saat lapisan ozon semakin terancam emisi yang dihasilkan berbagai aktivitas produksi negara-negara di dunia, program pembangunan berkelanjutan oleh negara bagian dan provinsi berhutan tropis ini justru akan meminimalisirnya dan menstabilkan sistem iklim global melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan.

Sinergitas seperti ini ternyata sudah lama menjadi perbincangan sejak 1898, dimana seorang ilmuwan Swedia, Svante Ahrrenius, mengingatkan bahwa emisi karbon dioksida (CO2) dapat menjadi penyebab pemanasan global. Kemudian tahun

192 Seperti yang dimuat dalam blog.cifor.org “Mengarusutamakan Reduksi Emisi dalam Bentang Alam” akses tanggal 31 September 2016 Pukul 02.30

193

MOU ini adalah sebuah pernyataan penting para aktor sub-nasional dari “Perjalanan menuju Paris”, dan Sasarannya adalah untuk mendapatkan 100 pemerintah sub-nasional untuk menandatanganinya, dibuat pada Mei 2015 negara bagian California dan Baden-Württemberg (Jerman).

1950, sebuah koran ternama di Amerika, Saturday Evening Post, menampilkan artikel dengan judul “Is the World Getting Warmer?”sebagai titik awal ke publik tentang sesuatu telah terjadi pada suhu dunia dan iklim global. Perdebatan ilmiah tentang iklim baru mulai muncul pada tahun 1960-an, namun yang dibahas bukan pemanasan global melainkan pendinginan global (cool down). Hingga pada akhirnya situasi berubah ketika lubang pada lapisan ozon ditemukan di Amerika pada tahun 1985. Penemuan tersebut mengindikasikan kerentanan atmosfir akibat dampak dari berbagai kegiatan manusia.194

Temuan ilmiah atas perubahan iklim mendorong konferensi antar pemerintah yang fokus pada perubahan iklim. Konferensi pertama diselenggarakan di Toronto pada tahun 1998 yang bertajuk “Changing Atmosphere” . Sejumlah 340 orang peserta dari 46 negara merekomendasikan konvensi kerangka kerja global yang komprehensif untuk melindungi atmosfir.195 Selanjutnya Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi 43/53 yang menghadirkan 2 aspek penting yakni mengakui bahwa perubahan iklim merupakan masalah bersama umat manusia terutama karena iklim merupakan suatu kondisi esensial yang mempertahankan kehidupan di muka bumi; serta menentukan mengenai bagaimana tindakan yang perlu dan waktu yang tepat seharusnya diambil dalam kerangka kerja global untuk menghadapi perubahan iklim.

Demikianlah perlindungan iklim dikaji mulai dari terlaksananya Konvensi Perubahan Iklim atau The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) 1994; dengan rancangan sistem dimana pemerintah nasional melaporkan informasi mengenai emisi GRK secara nasional dan strategi-strategi menghadapi perubahan iklim. Selain itu, negara-negara maju setuju untuk mempromosikan transfer pendanaan dan teknologi untuk menolong negara berkembang merespons

194 Mumu Muhajir., hal.23-24

perubahan iklim; juga berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah yang bertujuan menstabilkan emisi mereka.196

Beberapa prinsip penting dijumpai dalam konvensi ini terutama prinsip “common but differentiated responsibilities and respective capabilities principle (prinsip setiap negara bertanggungjawab yang sama terhadap lingkungan hidup namun secara khusus dibedakan sesuai kemampuan masing-masing negara), the spesicific needs and special circumstances of developing country principle (merupakan prinsip bahwa negara maju wajib membantu negara berkembang, terutama yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dalam menyediakan pendanaan adaptasi terhadap dampak-dampak tersebut), the principle of the precautionary measures (prinsip mengenai langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi perubahan iklim tidak boleh menimbulkan kerugian bagi manusia maupun lingkungan), dan the principles of sustainable development (prinsip yang menekankan bahwa pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi serta perubahan kelembagaan yang konsisten dengan memperhatiakn kebutuhan masa kini dan masa depan).197

Demikianlah prinsip-prinsip tersebut kemudian diadopsi ke Protokol Kyoto yang berhasil dirumuskan pada tahun 1997. Hingga saat ini, Protokol Kyoto merupakan satu-satunya langkah konkrit konvensi yang mengikat secara hukum. Pada protokol ini jugalah komitmen pengurangan emisi dicetuskan dalam suatu konsep baru yakni “emmision trading‟. Perdagangan karbon dianggap sebagai salah satu jalan keluar dalam pengurangan emisi sebagai langkah utama perlindungan sistem iklim global.198

196

Ibid., hal.29

197 Ibid., hal.31-35

Secara normatif, konsep dan sistem upaya perlindungan iklim seperti itu menjadi banyak digunakan oleh berbagai negara dalam hubungan internasional terkait kerjasama ekonomi berwawasan lingkungan. Konsep tersebut dinilai sebagai suatu cara yang cukup mampu mengatasi masalah perubahan iklim, hingga dijadikan sebuah norma baru dalam hukum internasional. Sedangkan secara yuridis, konsep ini sudah menjelma ke dalam banyak perjanjian internasional dan menjadi salah satu sumber hukum internasional. Contohnya UNFCCC 1992 dan Protokol Kyoto 1997, Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer 1985199, dan Montreal Protocol on Substance that Deplete the Ozone Layer 1987200, dan lain sebagainya.

Demikian juga halnya dengan konsep yang termuat dalam Deklarasi Rio Branco. Meski deklarasi ini pada dasarnya hanya merupakan perjanjian internasional yang berbentuk soft law, namun sudah banyak fenomena bahwa suatu dokumen soft law baik yang berbentuk declaration, agenda, guidelines, principles, charter, strategy, action plan, dan lain sebagainya; justru akhirnya dijadikan dasar bagi terbentuknya suatu produk hukum hard law yang berdaya hukum mengikat (quasy-legally binding).

Contoh dokumen soft law yang akhirnya bertransformasi menjadi suatu dokumen hard law adalah Bali Action Plan yang dihasilkan dari Conference of The Parties (COP) ke-13 oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bali, Indonesia, yang kemudian menjadi dasar perundingan di COP berikutnya. Demikian juga halnya dengan Copenhagen Accord yang merupakan salah satu hasil dari COP ke-15 UNFCCC di Denmark, tahun 2009. Copenhagen Accord

199

Diratifikasi oleh Indonesia 26 Juni 1992, bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak kegatan manusia yang merusak lapisan ozon.

200 Protokol ini bertujuan melindungi lapisan ozon dengan mengambil langkah kehatia-hatian untuk mengontrol total emisi global yang merusak lapisan ozon dan menghilangkannya. Prinsip pokoknya adalah pendanaan tambahan dan akses teknologi yang cukup kepada negara berkembang serta peningkatan kerja sama internasional dalam penelitian, pengembangan dan pengalihan teknologi alternatif untuk mengurangi emisi yang merusak lapisan ozon.

menjadi dasar perundingan selanjutnya di Durban, Afrika Selatan yang akhirnya menghsilkan Durban Platform dengan Adhoc Working Group on The Duban Platform (ADP) yang ditugaskan dalam mencapai perjanjian internasional baru Post Kyoto untuk Komitmen ke II. Kemudian hasil-hasil soft law tersebut menjadi dasar terbentuknya perjanjian internasional baru Post Kyoto di bawah Rezim UNFCCC 1992.201

Dokumen-dokumen soft law pada umumnya memang merupakan produk hukum internasional yang tidak mengikat namun memiliki kekuatan politik dan berpengaruh kuat dalam hubungan internasional. Subjek hukum internasional seperti negara, hanya ingin mengikat secara hukum terhadap soft law, jika ada kesukarelaan (voluntary) dari negara atau subjek hukum internasional tersebut. Contoh soft law tersebut adalah Deklarasi Stockholm 1972, Agenda 21, dan Deklarasi Rio 1992.202

Beberapa ahli menyatakan bahwa model soft law ini merupakan “The Trojan Horse of Environtmentalist” yang artinya hanya dengan model soft law inilah kalangan entitas bukan negara dapat berperan lebih jauh dalam mengembangkan hukum lingkungan internasional khususnya dalam proses pembentukan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup.203

Pada prakteknya, suatu dokumen soft law diambil sebagian untuk dimasukkan ke dalam perjanjian internasional yang lebih mengikat (hard law). Contohnya adalah Prinsip 21 yang tercantum dalam Deklarasi Stockholm 1972 yang dianggap sebagai hukum kebiasaan atau prinsip hukum umum yang juga merupakan soft law, kemudian dibahas dalam berbagai perundingan internasional dan banyak diintegrasikan dalam

201

Pramudianto., hlm. 49-50

202 Ibid., hal.51

berbagai perjanjian internasional seperti UNCBD 1992, UNFCCC 1992, UNCCD 1994.204

Demikian juga halnya dengan Deklarasi Rio Branco. Secara normatif, deklarasi ini memberikan imbas baru kepada dunia internasional dengan menunjukkan bahwa masalah perubahan iklim takkan bisa teratasi tanpa komitmen dan kinerja tinggi dalam upaya mengurangi emisi, deforestasi dan degradasi hutan. Mengingat masih kurangnya penerapan dan kesadaran negara-negara di dunia akan pentingnya menjaga kelestarian hutan dan aktivitas ramah lingkungan sebagai wujud salah satu langkah menghindari potensi kerusakan lingkungan.

Deklarasi ini mengingatkan kepada dunia internasional bahwa negara-negara yang memiliki hutan tropis menjadi salah satu alat penting yang dapat dimanfaatkan sebagai cara mengatasi masalah penyebab perubahan iklim dan melindungi sistem iklim global. Oleh karena itu, semua pihak baik itu negara maju, organisasi atau komunitas masayrakat internasional dan lain sebagainya diharapkan dapat mendukung upaya pengurangan deforestasi dan degradasi hutan tropis yang dimiliki para anggota GCF baik berupa dukungan dana dan dukungan teknis lainnya. Dengan demikian, jika deforestasi hutan dan emisi dapat dikurangi, maka akan menguntungkan anggota GCF di satu sisi dan menguntungkan bagi dunia internasional di sisi lain.

Secara yuridis, deklarasi ini berimbas pada pengaturan kebijakan di yurisdiksi para anggota GCF yang menandatangani deklarasi ini. Pasal 12 Konvensi Wina 1969 menyatakan:205

The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by the signature of its representative when: (a) The treaty provides that signature shall have that effect; (b) It is otherwise established that the negotiating States were agreed

204 Ibid., hal.55

that signature should have that effect; or (c) The intention of the State to give that effect to the signature appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation”.

Artinya adalah persetujuan untuk mengikatkan diri kepada sebuah perjanjian internasional melalui penandatanganan oleh perwakilan negara berlaku apabila di dalam perjanjian diatur bahwa perjanjian itu akan berlaku sah dan mengikat apabila ditandatangani oleh perwakilan negara. Juga apabila tidak ada diatur demikian di dalam perjanjian, maka perjanjian tersebut akan berlaku sah dan mengikat apabila para pihak menyepakatinya demikian. Perjanjian tersebut akan berlaku dan mengikat apabila memang ditandatangani oleh perwakilan negara yang memiliki surat kuasa penuh selama negoisasi perjanjian berlangsung.

Namun dalam hal Deklarasi Rio Branco, tidak ada diatur di dalam deklarasi bahwa para pihak yang menandatangani deklarasi berarti mengikatkan diri untuk tunduk pada isi deklarasi, melainkan berdasarkan kesepakatannya saja. Penandatanganan deklarasi juga dilakukan oleh kepala daerah negara bagian atau provinsi anggota GCF saja, bukan oleh seorang perwakilan negara yang memiliki surat kuasa penuh untuk mewakili negara membuat perjanjian. Hal ini berarti deklarasi ini tidak mengikat para negara sehingga tidak menimbulkan hak-hak maupun kewajiban terhadap negara induk. Di dalam Konvensi Wina di Pasal 12 ayat (2) dinyatakan bahwa: “The signature and referendum of a treaty by a representative, if confirmed by his State, constitutes a full signature of the treaty”. Artinya bahwa suatu penandatanganan dan referendum perjanjian oleh wakil negara akan semakin kuat jika dikonfirmasi oleh negara yang bersangkutan.

Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 mensyaratkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia dapat mengikatkan diri kepada suatu perjanjian internasional

dengan beberapa cara yakni dengan penandatanganan, pengesahan, pertukaran dokumen perjanjian atau nota diplomatik dan cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.206 Sedang menurut Konvensi Wina 1969 Pasal 11 cara-cara tersebut diatur lebih luas lagi, yakni “The consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed”. Artinya suatu negara dapat mengikatkan diri ke suatu perjanjian internasional dengan penandatanganan, pertukaran dokumen perjanjian, ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi, atau dengan cara lain yang diatur dan disepakati dalam perjanjian.

Apabila dikaitkan dengan Deklarasi Rio Branco, maka deklarasi ini tidak serta merta mengikat negara induk dari anggota penandatangannya, hanya mengikat negara bagian dan provinsi penandatangannya. Karena deklarasi ini ditandatangani oleh negara bagian dan provinsinya saja. Contohnya, deklarasi ini tidak mengikat negara Indonesia secara konkrit meskipun ada 6 provinsi di Indonesia yang menandatanganinya. Namun pemerintah nasional Indonesia bisa mengikatkan diri dengan membuat suatu peraturan perundang-undangan nasional terkait komitmen yang sama yang dilakukan oleh 6 provinsi tersebut jika dinilai konsep terbeut berkaitan dan bermanfaat bagi kepentingan nasional.

Sesuai konteks demikian, maka deklarasi ini merupakan suatu perjanjian internasional, hanya bersifat soft law. Di Indonesia sendiri, merujuk kepada Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dinyatakan bahwa pernyataan atau deklarasi (declaration) adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian

internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional.207

Berdasarkan analisis tersebut, Deklarasi Rio Branco sebagai salah satu perjanjian internasional yang ditandatangani oleh 6 provinsi di Indonesia, tidak bersifat mengikat kepada negara Indonesia. Deklarasi tersebut tidak melahirkan hak dan kewajiban bagi negara Indonesia, hanya bagi ke 6 provinsi penandatangan deklarasi. Artinya Pemerintah Daerah yang mengikatkan dirinya ke deklarasi, itu pun hanya bersifat sukarela. Tidak ada sanksi apapun baik sanksi denda dan administratif terhadap negara bagian dan provinsi penandatangan deklarasi. Ditambah lagi tidak adanya klausul penetapan di dalam deklarasi yang mewajibkan para anggota penandatangannya untuk mengundangkannya secara formal di daerahnya masing-masing. Jika dibandingkan dengan pengesahan perjanjian internasional di Indonesia dalam Pasal 9 ayat (2) UU No.24 tahun 2000 yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia hanya akan mengesahkan suatu perjanjian internasional apabila perjanjian internasional tersebut mempersyaratkan demikian. Dengan demikian, regulasi atau kebijakannya hanya berlaku kepada daerah yurisdiksinya saja, bukan secara nasional. Meskipun tidak tertutup kemungkinan hasil regulasi dari tindakannya sebagai wakil dari kepala daerah bisa naik bertransformasi menjadi regulasi nasional. Di Indonesia misalnya, hal itu mungkin terjadi. UU Nomor 24 tahun 2000 memang mengatur bahwa peluang pengesahan suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: 1) masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; 2) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara

Republik Indonesia; 3) kedaulatan atau hak berdaulat; 4) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 4) pembentukan kaidah hukum baru; 5) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.208 Jadi, secara substantif deklarasi ini sebenarnya bisa dijadikan menjadi sebuah produk undang-undang karena berkaitan dengan point ke empat Pasal 10 tersebut yakni lingkungan hidup. Itupun apabila pemerintah daerah penandatangan sebagai lembaga pemrakarsa baik itu lembaga negara maupun lembaga pemerintah, baik departemen dan non departemen, menyiapkan salinan perjanjian internasional, terjemahan, rancangan undang-undang, atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional yang dimaksud; kemudian mengkoordinasikannya bersama pihak-pihak terkait untuk selanjutnya diajukan kepada Presiden melalui Menteri.209

Sebagai sumber hukum, bukan tertutup kemungkinan bahwa suatu saat konsep dari deklarasi ini mampu menjadi suatu alternatif sumber hukum lingkungan internasional, mengingat betapa pentingnya penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan di berbagai lini di setiap negara di dunia, untuk menjamin kelestarian lingkungan dan kesejahteraan manusia di masa kini dan masa yang akan datang. Karena pada kenyataannya, model pendekatan soft law baik dokumen maupun bentuk hukumnya, apalagi soft law yang memiliki norma jus cogens dan menimbulkan kewajiban erga omnes akan semakin penting peranannya di masa yang akan datang210, termasuk Deklarasi Rio Branco ini.

208

Pasal 10 UU No.24 Tahun 2000

209 Pasal 12 UU No.24 Tahun 2000

B. Status Hukum Subjek Penandatangan Deklarasi Secara Umum menurut