• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG SUSTAINABLE DEVELOPMENT PRINCIPLE

B. Pengaturan Hukum Lingkungan Internasional mengenai Sustainable Development Principle Development Principle

Hukum lingkungan internasional94 mengalami perkembangan pesat sejak diadakannya Deklarasi Stockholm 1972 yang merupakan pilar perkembangan hukum lingkungan internasional modern, karena sejak saat itu hukum lingkungan yang sebelumnya bersifat use-oriented95 menjadi environment oriented96.

Deklarasi Stockholm tersebut memuat 27 prinsip pembangunan yang menyerukan agar negara-negara di dunia melaksanakan konsep Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development yang kemudian dijadikan prinsip hukum dalam Deklarasi Rio 1992.

Prinsip yang menjadi konsep pembangunan berkelanjutan yang termuat dalam Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan atau yang disebut the Earth Charter 97 ini bertujuan mewujudkan kemitraan global yang baru dan adil, melalui tahapan kerjasama yang baru dan erat di antara negara-negara, berdasarkan

93 Deklarasi Rio Branco, 11 Agustus 2014

94

Ida Bagus Wyasa, hlm.1 : “…. merupakan keseluruhan kaedah, azas-azas, lembaga-lembaga dan proses-proses yang terkandung di dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan hidup, yang oleh masyarakat internasional, yaitu masyarakat negara-negara, termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan daalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan

internasional”

95 Sukanda Husin., Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia.(Jakarta : SInar Grafika. 2009), hlm.31 : Hukum Lingkungan yang bersifat use-oriented maksudnya produk hukum yang melulu

memberikan hak kepada masyarakat internasional untuk mengeksploitasi lingkungan dan sumber daya alam tanpa membebani kewajiban untuk menjaga, melindungi, dan melestarikannya. Contoh:

Konvensi Hukum Laut 1958

96

Loc.cit., bersifat environment-oriented maksudnya produk hukum tidak saja memberi hak

memakai lingkungan, tapi juga membebani manusia kewajiban menjaga, melindungi dan melestarikannya. Contoh : Konvensi Hukum Laut 1982

keterpaduan konsep pembangunan dan perlindungan lingkungan serta kesadaran terhadap keterpaduan dan saling ketergantungan alam bumi tempat semua umat manusia berpijak. Prinsip 1 dalam deklarasi ini menyatakan bahwa Manusia merupakan sasaran utama pembangunan berkelanjutan, oleh karena itu manusia berhak memperoleh kehidupan yang layak dan produktif yang serasi dengan alam.

Kedaulatan negara-negara dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya

alam mereka termuat dlam Prinsip 2 yang berbunyi: “Setiap negara, berdasarkan Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional, diakui memiliki kedaulatan penuh untuk memanfaatkan sumber daya alam mereka, sesuai dengan kebijakan bidang lingkungan dan pembangunan masing-masing dan juga berkewajiban menjaga agar kegiatan yang berlangsung di dalam wilayahnya atau berada di bawah pengawasannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara lain atau wilayah di luar batas wilayah nasional negara-negara.

Hak membangun yang dimaksud dalam Prinsip 3 harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan hidup, baik generasi masa kini dan masa depan. Prinsip 4 menyatakan perlindungan lingkungan harus diperhitungkan sebagai bagian terpadu proses pembangunan, tidak dapat dipandang sebagai suatu yang terpisah.

Deklarasi ini menginginkan kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan kemiskinan, prasyarat perwujudan pembangunan berkelanjutan, untuk mengurangi kesenjangan batas hidup layak (standart of living) seperti yang dicantumkan pada prinsip 5. Fokus utama pembangunan berkelanjutan ditujukan kepada negara-negara berkembang dan negara terbelakang dan yang mempunyai lingkungan hidup yang rawan kerusakan sebagaimana diatur dalam Prinsip 6.

Salah satu prinsip baru yang berhasil diciptakan dalam deklarasi ini adalah

prinsip “common but differentiated responsibilities principle”, sebagaimana

dicantumkan dalam Prinsip 7 deklarasi ini yang menyatakan bahwa tingkat tanggung jawab negara-negara dalam usaha pelestarian, perlindungan dan pemulihan kondisi dan keterpaduan ekosistem bumi, berbeda-beda sesuai dengan perusakan yang ditimbulkannya.

Prinsip 8 mengisyaratkan penghapusan pola produksi maupun konsumsi yang tidak layak dan peningkatan kependudukan yang tepat. Prinsip 9 mengharapkan adany kerjasama antar pemerintah dalam rangka peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan pembangunan, penyesuaian, pemberesan dan alih teknologi yang lebih baik.

Masyarakat diberi kesempatan yang lebih memungkinkan untuk memperoleh informasi lingkungan, termasuk informasi konsumsi bahan berbahaya di sekitar mereka, serta partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan terhadap hal terkait dijelaskan dalam Prinsip 10.

Pemberlakuan aturan atau ketentuan lingkungan seperti yang dinyatakan Prinsip 11 harus dilakukan secara efektif Penetapan persyaratan baku mutu lingkungan dan standar lain yang seimbang antara pembangunan dan perlindungan lingkungan, dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat

Pembebanan persyaratan lingkungan dalam bidang perdagangan, yang bertujuan memperbaiki lingkungan dianggap sebagai hal yang normal dan baik, tidak boleh dianggap sebagai perdagangan yang tidak jujur seperti yang diamanahkan Prinsip 12.

Setiap penyusunan hukum tentang denda dan ganti rugi, baik secara nasional maupun internasional, oleh setiap pemerintah negara diterapkan untuk keperluan

perlindungan hak-hak korban pencemaran atau kerusakan lingkungan lainnya seperti yang dimaksud dalam Prinsip 13.

Pencegahan peralihan bahan perusak lingkungan dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah serta penerapan pendekatan preventif dalam masalah lingkungan hidup sesuai kemampuan masing-masing negara dicantumkan dalam Prinsip 14 dan Prinsip 15 yang disebut seabagai prinsip pendekatan kehati-hatian.

Penerapan prinsip “pencemar harus menanggung kerugian yang timbul akibat pencemaran yang dibuatnya” atau yang biasa disebut dengan polluter pays principle ditujukan Prinsip 16 untuk meningkatkan swadaya biaya-biaya lingkungan. Pencemar harus membayar biaya yang ditetapkan oleh otoritas yag berwenang atas segala kerugian yang terjadi akibat kerusakan lingkungan oleh tindakan yang dilakukan pencemar.

Penerapan wajib AMDAL atau analisa mengenai dampak lingkungan terhadap setiap kegiatan yang potensial dampak merusak lingkungan ditegaskan dalam Prinsip 17. Sedang dalam Prinsip 18 dan Prinsip 19 menyatakan bahwa setiap pemerintah hendaknya memberitahukan secara dini informasi dan peringatan kemungkinan bahaya lingkungan yang bersifat tiba-tiba kepada semua pihak terkait, dan setiap negara sebaiknya bersama-sama berusaha membantu negara lainnya dalam mengatasi masalah tersebut.

Deklarasi ini juga memberikan pengakuan dan kesempatan peran serta wanita dalam pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang diatur oleh Prinsip 20. Selain kaum wanita, deklarasi ini juga memperhatikan peran generasi muda dalam menjalankan upaya kerja sama terkait pembangunan berkelanjutan seperti yang diatur Prinsip 21 yang mengisyaratkan penggalangan semangat dan kreativitas generasi muda dalam rangka menumbuhkan kemitraan global.

Pemerintah diwajibkan untuk menghormati tradisi, pengetahuan dan peran penduduk asli dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan, dan juga memelihara jati diri, melestarikan kebudayaan dan kepentingan mereka seperti yang disebutkan oleh Prinsip 22.

Perlindungan lingkungan hidup milik bangsa tertindas atau terjajah wajib dilakukan dan diupayakan oleh setiap negara seperti yang diwajibkan oleh Prinsip 23. Amanah untuk melakukan perlindungan lingkungan hidup pada masa perang, dengan cara tidak melakukan kegiatan atau tindakan perang yang berpotensi merusak lingkungan hidup diwajibkan oleh Prinsip 24.

Deklarasi ini memberikan penegasan dalam Prinsip 25 bahwa perdamaian, pembangunan dan perlindungan lingkungan merupakan masalah saling berkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu harus diupayakan secara bersamaan dan berkelanjutan.

Setiap sengeketa lingkungan yang terjadi antar pihak manapun oleh Prinsip 26 diwajibkan untuk dilakukan secara damai dan dengan itikad baik (Peacefull Settlement of Disputes Principle). Semua prinsip-prinsip yang diatur dalam deklarasi ini dilaksanakan berdasarkan kerjasama pemerintah dan anggota masyarakat, berdasarkan itikad baik, semangat kemitraan bersama sebagaimana dimuat dalam Prinsip 27.

Konsep pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dalam ke-27 prinsip Deklarasi Rio 1992 tersebut, terutama pada Prinsip yang ke-3 yang menyatakan

bahwa “hak membangun (seperti yang dimaksud dalam Prinsip ke-2) haruslah dilaksanakan sedemikian rupa (sesuai kebijakan lingkungan dan pembangunan masing-masing negara serta menjaga dan mengawasi agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara lain atau di luar batas wilayah nasional negara-negara)

sehingga mampu memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan hidup bagi generasi masa kini dan masa depan;” yang berarti pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh negara-negara haruslah memperhatikan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan demi kebaikan hidup generasi sekarang dan yang akan datang (sustainable development)..

Deklarasi ini juga memuat prinsip yang mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang mengarah kepada kerjasama internasional pemberantasan kemiskinan terutama negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang, upaya pelestarian dan pemulihan ekosistem lingkungan, sistem produksi dan konsumsi tepat guna, hingga pertanggungjawaban secara hukum tentang denda dan ganti rugi pengrusakan lingkungan, penghormatan hak, peran dan status wanita, generasi muda dan penduduk asli dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan bangsa tertindas/terjajah dan juga pada masa perang, serta kewajiban penyelesaian sengketa secara damai.

Lahirnya Deklarasi Stockholm 1972 juga memicu lahirnya beberapa konvensi internasional yang melindungi lingkungan hidup. Beberapa di antaranya adalah Konvensi Paris 1974, Konvensi London 1976, Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi Wina 1985, Konvensi Perubahan Iklim 1992, Konvensi Keanekaragamanhayati 1992, dan lain sebagainya.98 Namun sebenarnya jauh sebelum dikeluarkannya Deklarasi Stockholm 1972, Hukum Kebiasaan Internasional99 juga telah mengatur pencegahan pencemaran lingkungan. Misalnya, prinsip sic utere tuo ut alienum non laedas atau prinsip good neighborliness yang melarang penggunaan territorial suatu negara bila

98 Sukanda Husin., hlm,21

99

Mochtar Kusumaatmadja, “…..sebagaima perumusan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat 1

sub b yang mengatakan : international custom, as evidence of a general practice accepted as law. Artinya, hukum kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai

menimbulkan gangguan atau kerugian pada territorial negara lain.100 Contoh kasus dari penerapan prinsip good neighborliness ini adalah Kasus Trail Smelter101, Kasus Nuclear Test102 dan lain sebagainya.

Pengaturan hukum internasional tentang pembangunan berkelanjutan tidak berhenti hanya di Deklarasi Stockholm saja, melainkan berkembang semakin luas dan banyak. Contohnya adalah Konferensi UNCED (United Nations Conference on Environtment and Development) atau yang disebut Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan oleh PBB di Rio de Janeiro pada Juni 1992 yang merupakan peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm 1972.

UNCED ini dihadiri oleh 177 kepala-kepala negara dan wakil-wakil pemerintah serta wakil badan-badan lingkungan PBB dan lembaga-lembaga lainnya untuk bersama-sama bekerja menjadikan pembangunan berkelanjutan sebuah realitas.103 UNCED pun telah berhasil mencapai beberapa konsensus terkait pembangunan berkelanjutan yang kemudian dimuat dalam berbagai dokumen dan perjanjian yakni:

a. Deklarasi Rio de Janeiro tentang Lingkungan dan Pembangunan yang memuat 27 prinsip fundamental lingkungan dan pembangunan.

b. Non-legally Binding Authorative Statement of Principles for a Global Consensus on the Management, Conservation and Sustainable Development off all Types of Forest (Forestry Principles), merupakan consensus internasional yang memuat prinsip-prinsip kehutanan yang teridiri dari 16

100

Sukanda Husin, Ibid,. sebagaimana dikutip dari L.Oppenheim, International Law, Vol.1, Edisi VIII, Longmans, London, 1955, hlm.346.

101 Kasus gugatan oleh Amerika Serikat kepada Kanada di Badan Arbitrase Internasional untuk membayar ganti rugi akibat asap beracun pabrik smelter di British Columbia yang merugikan petani di Washington, Amerika Serikat.

102

Dalam kasus ini, Australia dan Selandia baru meminta agar Mahkamah Internasional memberikan injuctive release atas percobaan nuklir Prancis di Pulau Maurora Atoll di Lautan Pasifik.

pasal mengenai aspek pengelolaan, aspek konservasi serta pemanfaatan dan pengembangan hutan, yang bersifat tidak mengikjat secara hukum dan berlaku untuk semua jenis tipe hutan.

c. Agenda 21, yang menggambarkan kerangka kerja dari rencana kerja masyarakat internasional dalam upaya pembangunan berkelanjutan pada abad ke-21. Agenda ini merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara universal mengenai pembangunan berkelanjutan yang meliputi isu ekonomi, sosial dan lingkungan yang berbeda-beda dari semua negara di dunia. Tujuan dari setiap kegiatan yang tercantum dalam Agenda 21 adalah pengentasan kemiskinan, kelaparan, pemberantasan penyakit derta buta huruf di seluruh dunia, di samping mengehntikan kerusakan ekosistem penting bagi kehidupan manusia. Agenda 21 yang membahas dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan dan kesinambungan sistem produksi ini dapat digunakan oleh pemerintah, organisasi internasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya untuk mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh kegiatan sosial-ekonomi.104

d. The Framework Convention on Climate Change, yang memuat kesediaan negara-negara maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan melaporkan secara terbuka mengenai kemajuan yang diperolehnya dalam hubungan tersebut. Negara-negara maju juga sepakat untuk membantu negara-negara berkembang dengan sumber daya dan teknologi dalam upaya negara-negara berkembang untuk memenuhi kewajiban sesuai konvensi. Pasal 3 konvensi perubahan iklim ini mmuat prinsip-prinsip sebagai berikut:105

104

Ibid.,hlm.23

105

Ibid., hlm.29; Konvensi ini dibuat di New York, 9 Mei 1992. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan Undang-undang No.6 Tahun 1994 tentang Perubahan Iklim tanggal 1 Agustus 1994

1) Para pihak harus melindungi sistem iklim untuk kepentingan generasi kini dan yang akan datang, atas dasar keadilan dan sesuai dengan tanggungjawab bersama yang berbeda-beda dan sesuai kemampuan masing-masing, juga pihak negara maju harus mengambil peranan penting dalam menanggulangi perubahan iklim dan kerugian yang diakibatkannya. 2) Kebutuhan tertentu dan keadaan khusus dari pihak negara berkembang,

terutama yang rawan tehadap akibat perubahan iklim yang merugikan, dan bagi para pihak, terutama pihak negara berkembang yang harus memikul ketidakseimbangan atau beban yang tidak wajar berdasarkan konvensi ini, harus diberikan pertimbangan penuh.

3) Para pihak harus mengambil tindakan pencegahan untuk mengantisipasi, mencegah atau mengurangi penyebab dari perubahan iklim dan meringankan akibat yang merugikan.

4) Semua pihak mempunyai hak yang sama untuk dan harus memajukan pembangunan berkelanjutan. Kebijaksanaan dan tindakan untuk melindungi sistem iklim terhadap perubahan iklim akibat campur tangan manusia harus memadai bagi keadaan khusus setiap pihak dan harus diintegrasikan dengan program pembangunan nasional, dengan memperhitungkan bahwa pembangunan ekonomi adalah esensial bagi dilakukannya tindakan-tindakan untuk menghadapi perubahan iklim. 5) Semua pihak harus bekerjasama mengembangkan sistem ekonomi

internasional yang menunjang dan bersifat terbuka manuju pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bagi semua pihak negara berkembang, sehingga memungkinkan mereka menghadapi perubahan iklim dengan cara yang lebih baik; termasuk melakukan tindakan

unilateral, tanpa pendiskriminasian yang sewenang-wenang atau pembatasan perdagangan internasional yang terselubung.

e. The Convention on Biological Diversity106 atau Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Keanekaraman Hayati, yang merupakan landasan kerjasama internasional dalam upaya konservasi spesies dan habitat keanekaragaman hayati dunia. Dalam Pasal 1 konvensi ini disebutkan bahwa tujuannya adalah melestarikan dan mendayagunakan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan berbagi keuntungan hasil pemanfaatan sumber genetika tersebut secara adil dan merata baik melalui akses terhadap sumber genetika tersebut, alih teknologi yang relevan, serta pembiayaan yang cukup dan memadai,. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3, konvensi ini menganut asas bahwa negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan dan lingkungannya, serta mempunyai tanggungjawab untuk menjamin bahwa kegiatannya ini tidak akan merusak lingkungan di dalam maupun di luar wilayah negaranya.

Beranjak dari uraian hasil konsensus yang berhasil dicapai oleh konferensi UNCED (United Nations Conference on Environtment and Development), Deklarasi Rio merupakan suatu langkah awal kemajuan yang sangat berarti dengan mengaitkan erat dua pengertian kunci yakni pembangunan seluruh bumi dan perlindungan lingkungan. Selain itu, Deklarasi Rio menghidupkan semangat pembangunan berkelanjutan dengan 3 dimensi yakni dimensi intelektual tentang kesadaran bahwa planet bumi merupakan satu kesatuan luas yang bergantung dan berkaitan erat satu

106

Ibid., hlm.31; Konvensi ini dibuat di Rio de Janeiro tanggal 5 Juni 1992, ditandatangani 153 negara. Diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 1 Agustus 1994 dengan Undang-undang No.5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Keanekaraman Hayati), sekarang ditambah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang pengesahan Cartagena Protokol on Biosafety to the

Convention on Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi

sama lain; dimensi ekonomi mengenai pentingnya pembangunan yang tepat dan tidak kurang dan tidak berlebihan bagi seluruh bumi dengan kemitraan global; serta dimensi politik yakni tentang kesadaran yang jelas mengenai kewajiban politik yang bersifat jangka panjang, tentang bagaimana cara menggunakan kekuasaan dan melaksanakannya untuk mempersiapkan dunia yang layak bagi generasi-generasi mendatang.107

Semangat ini kemudian menjadi nafas bagi banyak negara dalam mengupayakan terciptanya pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan. Senada dengan pernyataan Maurice F Strong108 dalam Preamble Agenda 21 bahwa

“tidak ada negara yang dengan usaha sendiri akan dapat mengelola dan melindungi

ekosistem dan membawa masa depan yang lebih sejahtera. Bersama-sama hal tersebut dapat dicapai dalam kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan”, kemudian

semakin banyak negara-negara yang menjalin kerjasama baik yang bersifat multilateral maupun bilateral untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pembangunan berkelanjutan. Hal itu jugalah yang mendasari lahirnya Deklarasi Rio Branco di Brasil oleh Satuan Tugas Hutan dan Iklim Gubernur (Governor’s Climate and Forest Task Force) untuk membangun kemitraan dan mendapatkan dukungan untuk hutan dan mata pencaharian di kawasan para anggotanya.

107

Ibid,. disadur dari kutipan pernyataan Boutros Boutros-Gali, Sekretaris Jenderal PBB tanggal 14 Juni 1992, hlm.33

108 Maurice F. Strong merupakan negarawan Kanada, salah satu penggerak Stockholm 1972, juga Sekretaris UNCED

C. Konsep Sustainable Development Principle dalam Deklarasi Rio Branco menurut