DAN DAMPAKNYA DI KALANGAN MASYARAJ(AT
Oleh: MARWANIH
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUD I AHW AL SYAKHSIYY AH
FAKUL TAS SY ARI' AH .DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
DAN DAMP AKNYA DI I<:ALANGAN MASYARAKA T
SKRIP SI
Diajukan kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Smjana Hukum Islam
Oleh: Marwanih NIM. 1020 4412 5013
Di Bawah Birnbingan :
Prof. D1 Fathurrahman D'amil M.A. NIP. 150 222 824
KONSENTRASI PERADILAN AG;AMA
PROGRAM STUD I AHW AL SY AKHSIYY AH
FAKULTAS SYARI' AH DAN HUKUM
VIN
SY ARIF HIDAY ATULLAH
JAKARTA
Ian Dampaknya di Kalangan Masyarakat" telah diajukan dalam siclang munaqosah Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN SyarifHiclayatullah Jakarta, pada tanggal 07 Maret 2007,
eti:a
:kertai is
skripsi ini telah cliterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Peraclilan Agama
Jakarta, 07 Maret 2007 Mengesahkan
Dekan, ,,..-)
Pro:fZ Dr. H.M Amin Suma, SH. MA. NIP: 150 210 422
P ANJTIA UJIAN
(
... p .... , .. : ... )
: Drs. Basig Djalil, SH. MA NIP: 150 169 192
\
: Kama Rusdiana, SAg. M. Hum
NIP: 150 285 972 ( ... r"··· ... )
mbimbing : Prof. Dr. Faturrahman Djamil, MA NIP: 150 222 824
\
(
...
'.":':':'...
セ@...
)nguj i I
1guj i II
: Drs. Hamiel Farihi, MA NIP: 150 228 413
Alhamdulillahirabbil aalamiin, puja, puji syukur Ilahi Rabbi yang telah memberikan limpahan rahmat, karunia dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini tepat pacla waktunya. Shalawat beriring salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita keera moderenisasi seperti sekarang ini.
Tiada kata dan ucapan yang keluar dari lidah ini selain syukur yang mendalam kepada A.llah SWT karna atas kehendak-Nyalah dapat terselesaikan tulisan ini.
Penulis haturkan banyak terimalrnsih kepada semua pihak yang secara langsung 11aupun tidak langsung telah membantu clalam penyusunan skripsi ini. Karena penyusunan ;kripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan clari berbagai pihak. Oleh karena itu lengan segala ketulusan hati dan keikhlasan jiwa, penulis ingin menyampaikan ucapan erimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
Bapak Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH. M.A, selaku Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Bapak Drs. Basiq Djalil. M.A, selaku Ketua Jurusan Peradilan Agama dan Bpk Kama Rusdiana, S.Ag, M. Hum, selaku Sekretaris Jurusan
Bapak Prof. Dr. Faturrahman Djan1il, M.A, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat, dan arahan kepada penulis dengan penuh tanggung jawab.
Pimpinan Perpustakaan Utama, Perpustakan Fakultas Syari'ah dan Hukum yang telah membantu penulis menyediakan buku-buku yang penulis butuhkan dalam penulisan skripsi ini.
Kepada semua pengurus Yayasan Indonesian Confrence On Religion and Peace (ICRP) sebagai objek penulis dalam pembuatan skripsi ini.
Sembah sujud ananda haturkan kepada kedua orang tua hamba yang tercinta Ayahanda H. Ismail (Alm) dan Ibunda Hj. Muhanih yang telah mendidik dan membesarkan anancla clan yang selalu menclo'akan juga memberikan nasehat serta birnbingan kepacla anancla untuk menggapai harapan clan cita-cita. Dan untuk seluruh keluarga besarku terimakasih atas semua motifasinya karena dukungan kalianlah aku bis a seperti ini.
Kuucapkan terimakasih yang amat sangat kepada aankku tercinta Badrotin yang selalu memberikan dorongan clan semangat bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini, yang memberikan keyakinan dan harapan untuk mm:a depan . Juga pada keluarga besar Bapak Mukhsin (aim), Ema' beserta keluarga, semoga ukhuwah dua keluarga tetap utuh selamanya. Amin.
Teman-teman PA Angkatan Tahun 2002 yang telah setia dalam menjalin tali silaturrahim clan ukhuwah, semoga ikatan batin diantara kita yang selama ini terjalin tetap te1jaga dan menjadi khasanah tersendiri dalam menggapai masa depan yang gemilang.
Terima kasih kepada almamaterku tercinta Al-Mawaddah Ponorogo dan Keluarga besar HIKAM juga Alfannisa 01 kuselalu menjunjung tinggi namamu, mengenang dan merindukanmu selalu.
Serta yang terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak pat penulis sebutkan satu-persatu, semoga Allah membalas dengan segala hidayah dan runia-Nya, Jazakumullah khairan katsiran. Akhirnya, semoga tulisan ini dapat rmanfaat bagi penulis khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya. Amin Ya Rabbal lamin.
Ciputat, 07 Maret 2007
PENGESAHAN PEMBIMBING ... .
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... .
KATA PENGANTAR ... .
DAFT AR ISi ... .
BAB I PENDAHULUAN ... .
A. La tar Belakang Masalah .... .... ... ... ... ... ... 1
B. Pernbatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Review Skripsi Terdahulu ... 8
E. Metodel Penelitian ... 14
F. Sietematika Penelitian ... 15
BAB II KETENTUAN UMUM PERKA WIN AN ... 17
A. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang ... 17
1. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam... 17
2. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-unclang ... 20
B. Rukun clan Syarat Perkawinan ... 22
C. Dasar Hukum Perkawinan ... 27
A GAMA DAN HUKUM POSITIF ... 35
A. Pernikahan Beda Agama Dalam Pandangan Agama-agama Di Indonesia . ... .. ... ... .. . ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ... .. . .. .. ... ... .. ... . .. ... 35
1. Menurut Pandangan Agama Islam ... 35
2. Menurut Pandangan Agama Kristen Katolik ... 40
3. Menurut Pandangan Agama Kristen Protestan ... 42
4. Menurut Pandangan Agama Budha ... 43
5. Menurut Pandangan Agama Hindu ... 44
6. Menurut Pandangan Agama Konghucu ... 46
7. Menurut Pandangan Penghayat Kepercayaan ... 48
B. Pernikahan Beda Agama Dalam Pandangan Hukum Positif ... 49
BAB IV PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI YAYASAN INDONESIAN CONFERENCE ON RELIGION AND PEACE (ICRP) DAN DAMPAKNYA TERHADAP lVIASY ARAKAT ... 53
A. Profil Yayasan Indonesian Conference On Religion And Peace (ICRP) . .. ... . .. . .. .... . ... ... ... . ... ... ... ... ... .. . .. .. ... ... .. ... ... ... .. ... .... 53
2. Dampak Negatif ... 65
D. Analisis Pernikahan Beda Agama Di ICRP dan Dampaknya Secara Umum Terhadap Masyarakat Indonesia ... 71
I. Di lihat dari segi Agama Islam ... 71
2. Di lihat dari segi hukum positif ... 77
3. Pendapat penulis tentang pernikahan beda agama di Indonesia ... ... ... ... ... ... .... ... ... ... ... ... ... ... ... 79
BAB V PENUTUP ... 80
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 82
DAFT AR PUST AKA ... 84
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menciptakan berbagai macam bentuk makhluk hidup di dunia, dimana setiap makhluk itu mempunyai ketergantungan satu sama lainnya, seperti halnya manusia dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Manusia membutuhkan makanan untuk dimakan begitu pula dengan hewan.dan tumbuhan mereka semuanya saling membutuhkan (simbiosis mutualisme) antara satu dengan yang lainnya sebagai satu tali rantai makanan, begitulah Allah yang Maha Perkasa menciptakan makhluknya.
Dengan adanya hal itu makhluk yang diciptakan Allah pun bermacam jenis, ragam, dan golongannya. Ada hewan, tumbuh-tumbuhan, dan manusia bahkan ada makhluk ciptaannya yang bersifat gaib yang mengisi alam semesta ini. Manusia adalah makhluk Tuhan yang amat terpuji dan amat mulia yang diberikan kesempurnaan oleh Allah dengan dilengkapi aka! pikiran sebagai pedoman hidup dan dijadikan khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman-Nya dalam surat at-Tin (95) ayat 4 yang berbunyi:
Artinya: "Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia melebihi
derajat penciptaan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Bukti tentang ciptaan Allah tentang manusia tersebut ialah diciptakannya nafsu pada diri manusia, agar
manusia dapat menikmati apa yang telah di anugerahkan Allah kepadanya.
Disamping itu manusia juga diberi aka! sebagai pengendali nafsu tersebut. Akal
dan nafsu inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya, sehingga
manusia bisa melakukan apa saja dengan keduanya. Meskipun demikian manusia
adalah makhluk sosial yang tentunya tidak mampu untuk hidup sendiri, sehingga
ia membutuhkan sesamanya.
Allah selalu menciptakan makhluknya secara berpasang-pasangan agar
mereka dapat berkembang biak untuk menambah keturunannya. Dari itulah
manusia diciptakan Tuhan dengan jenis yang berbeda yaitu laki-laki dan
perempuan, yang nantinya diantara mereka berdua akan timbul rasa saling kasih
mengasihi, mencintai, dan diteruskan dengan rasa ingin memiliki se1ia rasa ingin
bersatu. Ini dikarenakan manusia mempunyai nafsu yang ditimbulkan dari dalam
dirinya.
menyatukan mereka dengan Jawan jenisnya dalam suatu ikatan pernikahan. Dari situlah mereka dapat berkembang biak dan memperoleh keturunan yang akhirnya terciptalah kita di dunia ini.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa (4) ayat I yang berbunyi:
Artinya:
Ll'
..• J"Hai sekalian manusia bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah yang telah menciptakanmu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan dart pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) asma-Nya kamu saling meminta satu sama lainnya, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi, sesungguhnya Allah selalu merifaga dan mengawasi kamu".
Pernikahan sebagai media pertemuan dan penggabungan dua insan yang berbeda j enis merupakan ha! yang amat sakral dimata masyarakat. Masayarakat Indonesia yang dipengaruhi oleh kentalnya budaya dan agama sangat memandang perkawinan sebagai ha! yang mesti dihormati.
budaya juga berbagai macam agama yang diakui negara dan dianut oleh masyarakatnya. Salah satunya adalah agama Islam, yang telah dikenal masyarakat Indonesia sejak zaman dalrnlu dan merupakan agama yang mayoritas diantara agama yang lainnya.
Mengingat pluralnya agama yang ada di Indonesia dengan berbagai budaya serta adat istiadat, maka dalam prosedur pelaksanaan perkawinan dipandang perlu untuk dibuatkan peraturan yang seragam. Untuk itu pemerintah telah mengupayakan berbagai langkah untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara bertahap. Dengan terbitnya Undang-undang RI No. 1 tahum 1974 tentang perkawinan, yang kemudian disusul dengan diterbitkannya PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang RI No. I tahun t974 dan instruksi presiden No. I tahun 1991 tentang perintah untuk menyebarluaskan KHI (Kompilasi Hukum Islam) di lingkungan Depag agar dijadikan pedoman bagi Pengadilan Agama dalam menyelesaikan masalah pernikahan khususnya.
Pernikahan bagi umat Islam bukanlah sekedar suatu ilcatan lahiriyah antarn seorang wanita dan pria untuk memenuhi kebutuhan biologisnya saja, akan tetapi pernikahan juga merupakan sunnah Rasul dan suatu perbuatan suci yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup untuk mencapai ketenangan (sakinah)
dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karenanya pernikahan harus dilal<:sanakan sesuai petunjuk Allah dan Rasul- Nya.1
1
Hamdan Rasyid, Fikih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual al-Mawardi, (Jakarta:
Karena begitu sakralnya pernikahan dalam pandangan masyarakat Indonesia, ketika ada pernikahan yang tidal< wajar dal.am aiii tidal< biasa dilakukan masyarakat, maka terjadilah kontroversi atau pertentangan dikalangan masyarakat. Inilah yang te1jadi ketika Pernikahan Beda Agama (PBA) terjadi di negara Indonesia, ada kalangan yang menerima dan tidak sedikit pula yang menolaknya.
Dari kasus inilah sebuah yayasan bernama Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) memberikan solusi bagi pasangan yang berbeda agama yang ingin pernikahan mereka disahkan. PBA seperti yang dilakukan di yayasan ICRP ini sebelumnya juga pernah dilakukan oleh beberapa lembaga lain, misalnya Paramadina dan Wahid Institut. Kedua lembaga ini pernah beberapa kali mengadakan PBA yang kemudian menuai kontroversi dari berbagai kalai1gan. Selanjutnya akibat kontroversi dan banyaknya pertentangan \
yang te1jadi kedua lembaga ini tidak lagi mengadakan PBA yang kemudian diambil alih oleh yayasan ICRP.
Dalam Alquran, nikah beda agama dibolehkan sekaligus dilarang. Menikahi perempuan Ahl al-Kitab dihalalkan oleh surat Al-Maidah (5) ayat 5. Sementara menikahi perempuan musyrikah dan menikahkan laki-laki musyrik dengan perempuan mukminah dilarang oleh surat Al-Baqarah (2) ayat 221.
berpendapat bahwa Islam membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahl al-Kitab, meskipun kemudian mereka berselisih tentang batasan pengertian Ahl al-Kitab (ini akan dibahas pada bab III).
Nikah lintas agama dalam kompilasi hukum islam adalah pernikahan yang dilakukan antara laki-laki ahli kitab. Menurut KHI pasal 40 yang berbunyi "Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu : ( c) seorang wanita yang tidak beragama Islam, bahwa pernikahan dengan ahli kitab adalah terlarang, sekalipun prianya yang muslim yang hal demikian selama ini dibenarkan oleh sebagian ahli fikih".2
Dari uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian di yayasan
Indonesian Coriference on Religion and Peace (ICRP) sebagai sampel dengan
maksud untuk mengetahui seperti apa PBA yang dilakukan di yayasan tersebut dan apa dampaknya yang te1jadi di masyarakat?
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penulis dalam membahas skripsi :ini, penulis membatasi permasalahannya hanya pada pernikahan beda agama di Indonesia dengan mengambil sampel di yayasan ICRP dan dampak yang terjadi pada masyarakat.
Dari uraian dan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan penelitian ini sebagai berikut:
2
Basiq Djalil Pernikahan lintas Agama Da/am Persepektif Fikih dan Kompilasi Hukum Is/am,
J. Bagaimana mekanisme atau prosedur pelaksanaan nikah beda agama yang
dilakukan di yayasan ICRP?
2. Apa alasan yayasan tersebut selain berperan sebagai konsultan pernikahan juga sebagai "penghulu" dalam nikah beda agama?
3. Bagaimana status hukum pernikahan bed a agama yang telah dilaksanakan di yayasan ICRP?
4. Dampak apakah yang terjadi dikalangan rnasyarakat dengan adanya PBA sernacam ini?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. U ntuk mengetahui prosedur pelaksanaan pernikahan bed a agama yang dilaksanakan oleh yayasan ICRP dan dampaknya di masyarakat,
b. Untuk mengetahui legalitas pernikahan beda agama ditinjau dari segi agama dan hukum yang berlaku di Indonesia,
c. Untuk mengetahui alasan yang digunakan oleh yayasan ICRP sehingga pernikahan semacam ini masih dilaksanakan.
2. Manfaat Penelitian
a. Bertujuan untuk memberikan informasi tentang nikah beda agama dan status hukumnya di Indonesia,
c. Agar yang mempunyai rencana untuk nikah beda agama mcmikirkan kembali dampak yang te1jadi baik positif maupun negatifuya bagi diri sendiri dan lingkungannya,
d. Bertujuan untuk menambah khazanah pengetahuan penelitian dan memberikan kontribusi kepada akademisi atau pihak-pihak yang berkepentingan mengenai ha! ini,
e. Bertujuan untuk menghasilkan karya ilmiah yang berguna dan bermanfaat bagi penulis sebagai syarat untuk menyelesaikan program strata satu (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
D. Review Skripsi Tcrdahulu
I. Jamaludin, Hukum Perkawinan Beda Agama Tinjauan: Agama-agama Yang
Diakui Di Indonesia, AKI, 2005
Dampak yang ditimbulkan setelah pernikahan ialah hubungan keluarga yang kurang harmonis, kesulitan mendidik anak dalam rnenentukan keyakinan, kewarisan dan status anak, dalam undang-undang no. I tahun
197 4 j ika perkawinannya tidak sah maka si anak masuk dalam nasab ibunya bukan ayahnya karena pernikahan beda agama tidak diatur dalam UU dan dianggap tidak sali.
2. Ahmad Syarif Hidayat, Dampak Perkawinan Beda Agama Terhadap
Perkembangan Anak, PA, 2003
Dampak yang akan timbul dari PBA agama ini terhadap perkembangan
anak ialah: dampak psikologis yang akan diterima sang anak, dia tidak bisa
eksis dalam menjalankan ibadah dikarenakan bingung agama apa yang alcan
mereka pegang juga dalam pergaulan dia akan terns merenung dan menjadi
pendiam dikarenalcan dampak sosiologis yang acla pada anak sebagai
lanjutan dari clampak psikologis tersebut.
3. Linda Hindasah, Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Pelaku, PMH
Pernikahan beda agama dalam panclangan para pelaku nikah beda
agama itu sah adanya berclasarkan aganm yang cliyakininya karena agama
merupakan ha! yang sangat pribacli maka setiap orang berhak memahami
clengan caranya sendiri dan ticlak saling memaksakan kehendak antara satu
4. Mas'ul, Pernikahan Beda Agama Dalam Konsekuensi Hukumnya Terhadap Nasab Anak dan Kewarisan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang
No. I Tahun 197 4, ASS, 2003
Kedudukan anak dari sebuah PBA menurut hukum Islam tidaklah sah sehingga kedudukan anak dari segi nasab serta kewarisan hanya berhubungan dengan ibu dan kerabat ibunya. Begitu pula menurut Undang-undang No.I tahun 1974 karena Undang-undang-ungang ini berdasarkan pada hukum agama yang ada di Indonesia dan semua agama yang diakui tidak memperbolehkan PBA.
5. Siti Wardah, Perkawinan Beda Agama dan Dampaknya Terhadap
Pendidikan Anak, P Al, 2005
menjalankannya yang menjadikan dia tidak tahu arah dan ini berakibat akan mengganggu pendidikannya.
6. Abdul Ghofur, Kedudukan Saksi Beda Agama Dalam Hukum Islam; Study
Telaah Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, PA, 2004
Kedudukan saksi dalam suatu perkara adalah merupakan salah satu alat bukti benarnya suatu peristiwa yang dapat memperkuat keyakinan halcim dipengadilan, non muslim boleh menjadi saksi bagi orang muslim dengan mengedepankan materi kesaksian yang didasari kejujuran dan kebenaran saksi dalam pengadilan. Pada peraktek yang ada di Pengadilan Agama juga membolehkan saksi non-muslim dengan mempertimbangkan isi materi kesaksian.
7. Daryana, Solusi Alternative Paramadina Terhadap Pernikahan Beda Agama
Di Indonesia, AKI, 2005
8. Muhammad Fadhil, Kedudukan Anak Dari Perkawinan Beda Agama
Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No.I Th. 1974, PMHK, 2001
v'Perkawinan beda agama menurut hukum Islam atau fiqih ada diantara ulama yang membolehkan dan ada juga yang tidak serta antara yang merinci dengan yang tidak. Dalam undang-undang perkawinan tidak membolehkan te1jadinya perkawinan beda agama, karena undang-undang mengikuti peraturan agama-agama yang ada di Indonesia yang tidak mengizinkan perkawinan beda agama.
Kedudukan anak hasil PBA menurut hukum Islam baik dalam nasab ataupun warisnya tergantung pada penilaiannya terhadap PBA, bila ia melihat kawin ini sah maka anaknya pun sama dengan anak yang sah tetapi sebaliknya bula ia berpandangan tidak maka tidak sah pula anaknya. Maka nasab dan warisnya hanya dihubungkan dengan pihak ibunya.
Penelusuran saya terhadap skripsi-skripsi terdahulu menghasilkan kesimpulan bahwa pernikahan beda agama yang ada di Indonesia sejak lama sudah meqjadi perdebatan dikalangan masyarakat dan para pemimpin Negara, yang mana perdebatan itu selalu menghasilkan ketidak bolehan rnenikah dengan orang yang beda agama, baik itu dari segi hukurn ataupun dari fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.
Dan pada penelusuran kali ini saya mendapatkan 8 judul yang membahas tentang pernikahan beda agama dengan berbagai macam pembahasan, judul-judul yang saya temukan ini hanya judul yang keluar pada tahun 2000 keatas, sedangkan tahun '.?.000 kebawah saya tidak menemukmmya. Dan ada beberapa judul yang tak dapat diakses dikarenakan beberapa alasan yaitu keterbatasan katalog, sudah lama dan masuk gudang, atau ada yang penyampaimmya menggunakan bahasa asing.
Dalam penelusuran ini saya mendapatkan judul yang mempunyai kemiripan dengan skripsi yang saya tulis yaitu pada judul sk:ripsi nomor 7 yang berudul "Solusi Alternative Paramadina Terhadap Pernikahan Beda Agama Di Indonesia", hanya saja bedanya dengan skripsi yang saya bahas adalah:
I. Berdasarkan tempat atau objek penelitian, sk:ripsi pada nomor 7 mengambil objek kajian di Paramadina, sedangkan objek kajian pada sk:ripsi saya di ICRP.
2. Berdasarkan fokus kajiannya, skripsi nomor 7 penelitiannya di fokuskan membahas solusi alternatif PBA yang dilakukan Paramadina, sedangkan fokus skripsi saya adalah membahas dampak PBA di Indonesia dengan mengambil sampel di ICRP.
Demikian hasil perbandingan skripsi penulis dengan skripsi yang ada. Meskipun ada skripsi yang membahas tentang dampak PBA narnun masih terlalu sempit yaitu sebatas dampak yang terjadi pada pendidikan anak, perkembangan anak dan kewarisan anak.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian ya!1g menghasilkan data deslaiptif baik bernpa tertulis maupun lisan dari orang atau pelaku yang sedang diamati.
Penelitian ini terdiri dari penelitian kepustakaan (library reseach) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan bersurnber dari bahan pustaka seperti buku, majalah, brosur, dan lainnya yang berkaitan dengan literatur yang didalamnya menyangkut hukum dan data langsung dari ICRP sebagai objek pernbahasan. Proses selanjutnya adalah penelitian objek bernpa dokumen-dokumen yang terkumpul dengan metode contents analisis.
Secara teknis metode tersebut dapat penulis uraikan dalam beberapa tahap.
Pertama adalah pengolahan data yang terkumpul dengan rnenelaah data yang
berupa literatul baik dari pustaka maupun lapangan untuk dikaji dan dicatat bagian-bagian penting untuk kemudian diklasifikasikan sesuai dengan objek permasalahannya. Penelitian lapangan ini berupa observasi clan interview. Tahap
kedua adalah analisis, dalarn proses analisis tersebut peneliti menguraikan
menjelaskan tentang perkawinan secara umum, pernikahan beda agama di pandang dari berbagai agama yang ada di Indonesia, pernikahan beda agama dilihat dari hukum positif, juga akan dipaparkan profil yayasan ICRP, tata cara pelaksanaan PBA di yayasan ICRP. Dan yang terakhir penulis menganalisis PBA ini untuk mengetahui dampak yang te1jadi akibat PBA yang dilakukan di Indonesia ..
F. Sistematilrn Pennlisan
Untuk lebih mempermudah dalam memahami penelitian ini, maka penulis menyusunnya dalam suatu sistematika penulisan yang terdiri dari:
BAB!
BAB II
PENDAHULUAN; merupakan bagian awal isi skripsi yang
memberikan infonnasi secara umum dan menyeluruh, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan clan perumusan masalah, tujuan clan manfaat penelitian, metode pene!ltian, dan sistematika penulisan.
KETENTUAN UMUM PERI<A WINAN; menguraikan prnge1iian perkawinan menurut hukum Islam dan undang··undang yan5 berlaku
di Indonesia dengan syarat yang harus ditempuh oleh kedua calon
BAB III PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN AGAMA DAN HUKUM POSIT!F; menguraikan tentang pandangan beberapa agama di Indonesia dan hukum positif yang berkaitan
dengan pernikahan beda agama.
BAB IV PERNIKAI-IAN BEDA AGAMA DI YA YASAN INDONESIAN CONFERENCE ON RELIGION AND PEACE (ICRP) DAN DAMPAKNYA TERHADAP MASYARAKAT; merupakan inti dari penelitian juga merupakan isi skripsi penulis mengenai pokok
permasalahan PBA di Indonesia dengan mengambil objek yayasan ICRP sebagai sampel dalam memudahkan penulis dalam melakukan
penelitian ini dengan maksud untuk mengetahui prosedur pernikahan beda agama tersebut dan untuk mengetalrni dampalc PBA secara keseluruhan pada masyarakat Indonesia.
A. Pcngcrtian Pcrkawinan Mcnnrut Hukum Islam Dan Undang-undang
1. Pcngcrtian pcrkawinan mcnurut hukum Islam
Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata "kawin" yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga "pernikahan", berasal dari kata nikah (nakaha) yag menuru, bahasa
artinya mengumpulkan, saling memasukan, yang digunakan u.1tuk arti persetubuhan (coitus), yang juga berarti akad nikah.3 Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi diantaranya adalah: "Pe1kawinan menurut syara' yaitu akad yang ditetapkan syara' untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki".
Definisi perkawinan menurut Muhammad Abu Israh:
Artinya: "Akad yang memberikan kaedah hukum, kebolehan
mengadakan hubungan keluarga (.mami-istri) antara pria
3
Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet.l, Hal.7
dan wanita, tolong menolong dan memberi batas bagi hak pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi
masing-• 1J 4
masmg .
Dari penget1ian di atas, perkawinan mengandung aspek akibat hukuw, melangsungkan perkawinan ialah saling mendapatkan hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksana agama maka didalamnya terkandung adanya tujuan untuk mengharapkan keridhoan Allah SWT.
Dengan demikian kita dapat menelusuri lagi bahwasanya pernikahan itu juga dapat dilihat dari berbagai sudut pandang tertentu diantaranya:
a. Dari segi hukum
Pernikahan dapat dilihat dari segi hukum karena pemikahan merupakan suatu petjanjian yang mengikat antara satu dengan yang lainnya, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur'an surat Annisa (4) ayat
21 yang berbunyi:
"' ,... "' ... J ,. 0 ,.. ... J o,.- ... J 2. ,.
11· Ll2...lV ""-';._. iセ@ 1,,, セG@ • <) • ,, ...\>. '1' . ,, jiセL@ • ,, , ·'1 '_, ,, " • J
...u
<0 ...\>. 1<u .
LセL@ • " ... " ,.. ,, ) <..J"'-"'"'
' ... .<..>"'
) )
"
)
Artinya: "Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) denganyang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu peljanjian yang kuat".
Memnut ayat tersebut pernikahan adalah perjanjian yang sangat kuat yang disebut dengan kata "mitsaaqan ghalizhan ". 5
4
b. Dari segi sosial
Dilihat dari segi sosial suatu perkawinan pada masyarakat di tiap
bangsa atau negara, kita temukan suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga mempunyai kedudukan lebih dihargai dari mereka yang belum menikah.
c. Dari segi agama
Agama memandang perkawinan sebagai pertalian yang suci dimana antara kedua belah pihak berhak dihubungkan dengan suatu ikatan yang suci yaitu pasangan suami dan istri dan saling meminta
untuk menjadi pasangan yang didalam ijab qabul atau aqad pernikahan disebutkan atas nama Allah.
Demikianlah definisi nikah yang berkaitan atau berhubungan dengan segi tertentu dimana masing-masing pengertian dan pendapat mempunyai suatu perbedaan dalam menafsirkan suatu kata. Dalam konteks syar'i pun
demikian. Diantara para ulama banyak berbeda pendapat tentang arti dari kata perkawinan. Dalam konteks ini para ulama fiqih memformulasikan ta'rifpernikahan dengan berbagai macam definisi.6
5 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan /s/11111 Sualu Analisis Dari UU No. I Tahun 1974 dan KHI,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2004), Hal. 16-19 6
2. Pengertian pernikahan menurut undang-undang
Sebelumnya perlu dikemukakan bahwa dalam peraturan-peraturan pernikahan yang pernah berlaku sebelum lahirnya UU perkawinan baik BW, OHR, HOCI dan UU No.22 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah Talak Rujuk (NTR) tidak ada ketentuan yang mengatur tentang penge1iian perkawinan, baru pada UU perkawinan (pasal I) diatur tentang pernikahan.
Perkawinan menurut Undang-undang RI No. I tahun 1974 tentang perkawinan (pasal 1) adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Pertimbangannya ialah sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama ialah ketuhanan yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani.
Sebaliknya perkawinan juga disebut sebagai ikatan batin karena perkawinan itu merupakan hubungan yang tidak formal yaitu hubungan yang tidak dapat dilihat. Walaupun hubungan ini dikatakan tidak nyata tetapi ikatan tersebut harus ada karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan
lahir akan menjadi rapuh.
Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam ialah akad
yang sangat kuat yaitu mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah
warrahmah. 7
Membentuk keluarga yang bahagia erat sekali hubungannya dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan. Pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orangtua terhadap anak. Dalam pasal
5 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa agar te1jaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan
harus dicatat. Penc:itatan tersebut harus dilakukan oleh pegawai pencatat
nikah sebagiamana diatur dalam Undang-undang RI No. 22 Tahun 1946 Jo
Undang-Undang No. 32 tahun 1954.
7
B. Rukun Dan Syarat Perkawinan
Rukun ialah unsur pokok atau tiang dalam setiap perbuatan hukum, sedangkan syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Apa bila kedua unsur ini tidak terpenuhi maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum. Demikian pula untuk sahnya suatu perkawinan atau pemikahan harus dipenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Berikut ini adalah rukun dan syarat perkawinan:
1. Calon suami dan istri
Calon suami dan istri merupakan ha! yang mutlak dalam perkawinan, tanpa adanya salah satu dari keduanya maka perkawinan akan dianggap batal. Adapun syP.rat-syarat bagi calon suami dan istri adalah sebagai berikut:
a. Calon suami
I) Bukan mahram, baik itu karena hubungan darah, sesusuan ataupun semenda,
2) Laki-laki,
3) Dengan kemauan sendiri, 4) Tidak sedang beristri 4 orang, 5) Mengetahui calon istrinya, 6) Muslim,
7) Tidak terhalang pernikahan, dan
b. Calon istri
I) Bukan mahram,
2)
Bukan istri orang,3) Tidak dalam masa iddah,
4)
Muslimah,5) Tidak dipaksa,
6) Perempuan dan bukan banci,
7) Orang tuanya jelas, dan
8) Tidak dalam keadaan ihram dan haji
2. Wali nikah bagi calon mempelai perempuan dalam Mazhab Syafi'iyyah
a. Laki-laki,
b. Dewasa,
c. Mempunyai hak perwalian, dan
d. Tidak terdapat halangan perwa!ian
Dalam fiqih terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan wali
dalam masalah perkawinan, apakah menjadi rnkun nikah ataukah tidak.
Dalam ha! ini ada beberapa pendapat diantaranya:
Me1111r11t mazlzab syafi'iyya/1
Seorang perempuan yang akan melangsungkan pernikahan harns
mepunyai wali, dan wali dalam mazhab ini mempunyai kedudukan sebagai
akad nikah yang lafaz ijabnya diucapkan oleh seorang wanita, baik gadis
ataupun janda sekufu ataupun tidak, secara langsung untuk dirinya ataupun
sebagai wali dari orang lain.8
Me11urut Mazhab Hanafiyyah
Wali adalah syarat sahnya nikah bagi anak yang masih kecil baik anak
laki-laki maupun anak perempuan juga bagi perkawinan orang gila ataupun
budak. Kedudukan wali bagi wanita yang sudah dewasa lagi sehat akalnya
adalah sebagai penyempurna.
Alasan yang dipegang oleh mazhab ini adalah hadits Ibnu Abbas yang
diriwayatkan oleh jam'ah (kecuali Bukhari) sebagai berikut:
Artinya: "Dari Ibnu Abbas berkata Rasulullah SAW bersabda: wanita
janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya. " (HR
Jamaah kecuali Bukhari/
Me1111r11t Mazlwb Malikiyyafl
Akad suatu pernikahan tidak dapat dianggap sah apabila dilakukan
tanpa adanya seorang wali, karena menurut mazhab ini kedudukan wali
dalam suatu akad nikah adalah salah satu rukun nikah, Jadi untuk sahnya
suatu akad nikah, akad tersebut harus dilaksanakan oleh pihak wali dan
8
Abd. Rahman al-Jazairi, Joe cit, hal.19
pihak calon suami. Ketiadaan pihak wali dapat mengakibatkan tidak bisa terjadinya suatu perkawinan, karena tidak ada yang mengucapkan lafaz ijab
dan qabul.
Menurut Mazlzab Hambaliyya/1
Kedudukan wali dalam akad nikah adalah sebagai suatu syarat nikah, dan mazhab inipun mcnganggap sah suatu ijab akad nikah yang diucapkan oleh seorang wanita apabila dia telah mengantongi izin atau restu dari walinya. Jka tidak dapat izin atau tidak direstui oleh walinya maka akad tersebut menjadi bataJ.10
Demikianlah perbedaan yang ada pada masing-asing mazhab dimana pendapat yang mereka pegang dan mereka ambil sangat dipengaruhi oleh setting sosial yang ada pada saat itu, saat dimana para imam mazhab itu berada, dengan masing-masing budaya yang berbeda dan negara asal para imam yang berbeda yang menjadikan perbedaan pendapat ini.
3. Dua orang saksi
Pernikahan adalah sebuah ikatan lahir antara laki-laki dan perempuan. Maka sebuah pernikahan harus terhindar dari unsur-unsur fitnah terutama dari perzinahan, sehingga dalam proses akad nikah diperlukan rnksi-saksi yang dapat mengukuhkan sekaligus menguatkan bahwa seorang laki-laki dan perempuan telah melakukan pernikahan secara sah. Yang mana telah
10
disaksikan oleh dua orang saksi, ha! ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW, yang berbunyi:
jセ@
Artinya: "Tidak ada nikah kecuali denfan wali dan dua orang saksi
laki-laki yang adil" (HR Ahmad). 1
Syarat-syarat saksi: a. Baligh,
b. Berakal, c. Laki-laki, d. Mendengar, e. Melihat, f. Tidal;: bisu,
g. Mengerti maksud ijab dan qabul, dan h. . Tidak ditunjuk untuk menjadi walinya.
Rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam telah tennuat
dalam Kompilasi Hukum Islam mulai dari pasal 14 sampai dengan pasal 44. J adi salmya suatu perkawinan menurut hukum Islam hendaknya rnemenuhi
ketentuan pasal-pasal tersebut dengan sempurna tanpa terkecuali.
11 lbn Hajar al-Asqalai, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994),
4. !jab dan qabul atau sighat
!jab dan qabul merupakan rukun perkawinan yang disepakati oleh
jumhur ulama. Adanya qabul ini merupakan pengikat antara dua orang yang
be1janji yakni calon suami dan calon istri. Hal ini melambangkan sebagai
rasa persetujuan dari kedua mempelai, sebagaimana rukun-rukun
perkawinan yang lain.
Shighat akad nikah mempunyai beberapa syarat yaitu:
a. Adan ya pernyataan pernikahan dari wali (!jab),
b. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai pria (qabul),
c. Memakai kata nikah atau tazwij atau tarjamahan dari dua kata itu,
d. Antara ijab dan qabul bersambung,
e. Antara ijab dan qabul harus ada kecocokan atau penyesuaian,
f. Sig/wt akad dapat dipahami kedua belah pihak, dan
g. Hendaklah sighat akad nikah itu muabbad (tidak ada pembatasan
waktu)
C. Dasar Hukum Perkawinan
I. Dasar Hukum Perkawinan menurut Hukum Islam
manusia. Karena itu salah satu bentuk kebutuhan fitrah manusia adalah adanya perkawinan. Di samping perkawinan sebagai fitrah juga dikatakan sebagai ibadah karena dengan jelas Allah dan Rasul-Nya mensyariatkan nikah sebagai anjuran yang harus dilaksanakan seperti yang te1tulis dalam al-Qur'an dan sunnah-Nya.
Di dalam al-Qur'an tidak kurang dari 86 ayat yang berbicara soal perkawinan, baik yang memakai kata nikah (berhimpun), maupun menggunakan kata zawwaja (berpasangan). Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada manusia, bagaimana seharusnya menjalani perkawinan agar menjadi jembatan yang dapat mengantarkan manusia, baik lalci-lalci maupun perempuan, menu ju kehidupan sakinah ( damai, tenang dan bahagia) yang diridhoi Allah SWT. Bahkan perkawinan ini bukan hanya berlaku untuk manusia saja, tetapi juga untuk makhluk-makhluk Ailah yang lainnya, baik hewan ataupun tumbuh-tumbuhan. Sebagaimana firn.an Allah surat adz-Zariat (51) ayat 49 yang berbunyi:
Artinya: "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
Artinya: "A!faha suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu berjodoh-jodohan baik tumbuh-tumbuhan maupun dari diri
mereka sendiri dan lain-lain yang tidak rnereka ketahui ".
Arttinya: "Maka kawinilah olehmu perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu t:tkut tidak bisa berbuat adil maka (kawinilah) seorang saja. Atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu lebih delwt kepada tidak berbuat aniaya"
11
Jr)
0
:.iw ,-.,,,
セ@
:.,.,t.;:;,.
i·
uPセQ@
e
::itS- 11¥
ZNゥセ@
"' ,. ;
Artinya: "Berkata Abdullah ketilm kami beserta Nabi dan sekelompok
pemuda yang mempunyai sesuatu, lalu berkata Nabi SAW kepada kami: Hai golongan pemuda, barang siapa diantara kamu relah sanggup kawin, maka kawinlah, karena itu lebih menundukkan mata dan lebih memelihara farji (kehormatan) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa
karena puasa itu tameng baginya". (HR, Bukhori).12
12
Artinya: "Dikatakan oleh Qutaibah dan Layits tentaang Nabi dia adalah anak dari Umar ketika itu dia berkata tentang menikarzi orang Nasroni dan Yahudi maka Rasul menjawab: sesungguhnya Allah mengharamkan orang-orang musyrik menikahi orang -orang mu 'min dan tidak mengetahui dari menyekutukan sesuatu itu !ebih besar dari perkataan seorang wanita tentang Tuharmya Isa
dia ada!ah hamba dari hamba Allah (HR. Bukhari) ".13
Allah tidak menginginkan kondisi manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarki, yang tidak mempunyai aturan baku. Untuk itulah dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan manusia, maka dibuatkanlah suatu aturan balm yakni pernikahan yang cara dan aturan mainnya sudah ditetapkan oleh-Nya.
Islam menempuh beberapa cara dalam menganjurkan pernikahan bagi umatnya, yaitu:
1. Mengikuti sunnah para nabi. dalam firman-Nya surat ar-Ra'ad ayat 38:
Artinya: "Kami telah mengutus beberapa Rosul sebelum kamu dan
Kami telah berikan kepada mereka istri dan anak
13
keturunan dan tidak ada hak bagi seoranJ Rasul mendatangkan suatu ayat (mu '.iizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)"
Dalam hadits Turmuzi dari Abu Ayub, Rasulullah SAW pernah bersabda:
Artinya: "Empat perkara yang merupakan sunnah para nabi:
celak, wangi-wangian, siwak dan kawin". (HR.
"' " 14
1 UJ7nUZl/•
2. Allah akan memberikan jalan kecukupan, menghilangkan kesulitan dan diberikan kekuatan agar mampu mengatasi kemiskinan. Firman Allah SWT surat.an-Nur ayat 32:
Artinya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara
kamu dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempian. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui ''.
14
Dari beberapa dalil di alas jelaslah bahwa nikah disyariatkan agama karena memang merupakan kebutuhan amaliah bagi manusia. Hal ini sejalan dengan hikmah diciptakannya manusia oleh Allah yaitu untuk memakmurkan dunia ini dengan jalan terpeliharanya perkembangbiakan umat manusia. Manusia menurut fitrahnya tidak akan sanggup menahan hawa nafsu ( seks) kecuali manusia itu sakit. Islam yang pen uh rahmat menjadikan perkawinan sebagai sarana yang paling tepat untuk menghalalkannya. Dengan cara perkawinan tersebut hubungan seks antara sepasang laki-laki dan perempuan menjadi suatu hubungan yang lebih bermoral dan halal untuk dilakukan.
2. Dasar Hukum Perkawinan menurut Hukum Positif
Perkawinan merupakan perintah agama telah diperintahkan oleh agama (Islam) sebagai suatu aturan untuk kepentingan bio!,ogis manusia sebagai makhluk ciptaan Allah. Perkawinan dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah serta mengikuti sunnah Rasul untuk membangun rumah tangga bahagia sejahtera yang penuh sakinah menuju terciptanya masyarakat yang baik, yang diridhoi Allah SWT.
pertumbuhan jasmani, rohani dan mental seseorang untuk membiayai hidup berumah tangga nafkah lahir maupun batin.
Dasar atau asas perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdapat pada enam dasar atau asas yang prinsipil, yaitu:15 a. Tl\juan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal abadi sakinah mawaddah dan rahmah.
b. Dalam UU ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan "harus dicatat" menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. UU ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari satu.
d. UU perkawinan ini menganut prinsip bahwa c:alon suami istri harus sudah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan. Agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. UU ini menganut prinsip untuk mempersulit te1jadinya perceraian.
15
A. Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 1995), cet.I,
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluaraga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
DAN HUKUM POSITIF
A. Pernikahan Beda Agama Dalam Pandangan Agama-Agama Di Indonesia .
1. Menurut Pandangan Agama Islam
Pernikahan yang baik sebaiknya dilakukan sesuai dengan tujuan awal pernikahan yaitu menjadi keluarga sakinah, maawaddah dan rahmah. Di bawah naungan cinta dan ketulusan hati itu, kehidupan suami istri akan tentram penuh cinta kasih dan sayang, yang menjadikan keluarga bahagia dan anak-anak akan sejahtera.
Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu akan terwujud secara sempurna kecuali j ika suami istri ber!ainan pend a pat. Jika agama keduanya berbeda ditakutkan timbul berbagai kesulitan dilingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain-lain.
Islam dengan tegas melarang wanita muslim menikah dengan pria non muslim, baik musyrik maupun ahlul kitab. Pria Islam secara pasti dilarang menikah dengan wanita musyrik, tetapi bagi pria muslim ada kelonggaran baginya asalkan pria muslim itu dapat memegang teguh keimanannya.
dengan ahlul kitab. Persoalan yang terjadi dari zaman sahabat sampai abad
modern sekarang ini yang masih sering diperdebatkan adalah masalah
perkawinan beda agama antara muslimah dengan laki-laki non muslim.
Agama Islam pada prinsipnya tidak memperkenankan pernikahan beda
agama yang secara jelas telah dilarang oleh agama,
16
Dalam Alquran, nikah bed a agama dibolehkan sekaligus dilarang.
Menikahi perempuan Ahl al-Kitab dihalalkan oleh surat Al-Maidah (5) ayat
5 yang berbunyi:
Artinya: "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab ifu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanifa-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bi/a kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) ma/ca
16
hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk
orang-orang merugi 11
•
Sementara itu menikahi perempuan musyrikah dan menikahkan
laki-laid musyrik dengan perempuan mukminah dilarang oleh surat Al -Baqarah
(2) ayat 221 yang berbunyi:
Artinya: "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran''.
Bagi mereka yang meyakini bahwa ayat surat Al-Baqarah ayat 221
turun untuk menganulir (menaskh) surat Al-Maidah ayat 5, maka mereka
berpendapat bahwa menikah dengan non-muslim tidak dibolehlcan oleh
Islam. Sementara itu bagi mereka yang meyakini sebaliknya, berpendapat
bahwa Islan1 membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahl
36
Di bawah ini beberapa pandangan Ulama Fiqh mengenai berbagai macam perkawinan beda agama dan status hukumnya:.
I. Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab
Dalam persoalan ini untuk menentukan hukum, para ulama fiqh banyak perbedaan pendapat. Hal ini te1jadi karena perbedaan pandangan mengenai kedudukan perempuan ahlul kitab, yaitu:
Pertama, golongan yang menghalalkan laki-laki muslim menikah
dengan wanita ahlil kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mendasari ha! ini adalah al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5. Para ulama ini berpandangan bahwa keumuman ayat yang melarang laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik di takhsis oleh ayat ini.17
Kedua golongan mengharamkan laki-laki muslim menikahi
perempuan ahli kitab. Alasannya mengenai kebolehan laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab pada surat Al-Maidah ayat 5 telah di-nashah dengan keumuman ayat yang menghai·arnkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan musyrik pada surat Al-Baqarah ayat 221. Para ulama yaang berpendapat tentang ha! ini diantaranya adalah lbnu Umar beliau berpendapat bahwa status perempuan ahli kitab sama dengan perempuan musyrik. Mennrutnya Allah telah mengharamkan laki-laki mu'min nntuk menikahi perempuan musyrik.
17
Dan tidak ada perbuatan syirik yang Jebih besar selain perempuan yang mengatakan bahwa Isa sebagai Tuhan.18
Ketiga golongan yang mencoba bersifat moderat yang
berpendapat bahwa menikahi wanita ahlil kitab hukum asalnya halal, namun situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain. Yang masih berhubungan erat dengan politik pada zaman itu. Argumentasi yang dibangun oleh golongan ini antara Jain adalah:
Atsar sahabat. Sayyidina Umar pernah berkata kepada para
sahabat yang menikahi wanita ahli kitab: "Ceraikanlah mereka". Perintah Umar ini ditaati oleh para sahabat tersebut , kecuali Huzaifah ibn al-Yamman. Maka Umar mengulangi lagi perintah agar Huzaifah menceraikan istrinya. Lantas Huzaifah berkata: "maukah engkau menjadi saksi bahwa ia haram". Umar meajawab dengan singkat "dia akan menjadi fitnah" ceraikanlah". Kemudian Huzaifah berkata lagi" maukah engkau menjadi saksi bahwa ia adalah haram?" Umar menjawab lagi "ia adalah fitnah" akhirnya Huzaifah berkata: "sesungguhnya aku tahu ia adalah fitnah, tetapi ia halal bagiku", maka setelah Huzaifah meninggalkan Umar, ditalaknyalah istrinya. Lantas Huzaifah ditanya orang: "mengapa engkau talak istrimu itu ketika diperintah Umar?" jawab Huzaifah: "Karena aku tidak ingin diketahui orang bahwa aku melakukan sesuatu yang tidak layak" Pada
18
kesempatan lain Umar berkata pada Huzaifah "bila orang Islan1 suka mengawini wanita-wanita kitabiyah maka siapa yang akan mengawini wanita Islam?" .19
Pada prinsipnya, imam-imam mazbab empat mempunym pandangan yang smna yaitu wanita kitabiyah boleh dinikahi, namun kedudukan wanita ahlul kitab masih dipertanyakan. Jumhur ulama mengatakan bahwa menikahi wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) halal hukumnya. Sebagai alasannya mereka memegang surat al-Maidah ayat 5.
Menurut pandangan ulama pada umumnya, pernikahan seorang muslim dengan kitabiyah dibolehkan. Sebagian ulama mengbaramkannya atas dasm· sikap musyrik kitabiyah. Banyak sekali ulama yang me!arangnya karena fitnah dan mafsadah dari bentuk perkawinan tersebut mudah sekali timbul.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita musyrik bukan ahli kitab Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita musyrik mutlak terlarang, baik wanita tersebut merdeka ataupun budak belia.20 Para ulama tidak mempertentangkannya lagi, ォ。イセョ。@ secara tegas telah dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221 yang
19
Basiq Djalil, lac cit, hal.135 20
menegaskan bahwa mengawini wanita musyrikah itu hukumnya haram atau mutlak dilarang karena merupakan bagian yang dilarang oleh syariat agama Islam.
3. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim
Para ulama fiqih sepakat bahwa wanita muslimah haram menikah dengan laki-laki non muslim baik dari golongan ahli kitab maupun musyrik dan lain-lain21. Hukum Islam melarang perkawinan wanita
muslimah dengan laki-laki non muslim. Ketentuan pengharaman tersebut telah dijelaska11 Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221, dan surat Al-Mumtaha11ah ayat I 0. Di sampi11g ayat itu juga !Jerdasarka11 fatwa MUI pada ta11ggal I Ju11i 1980 bahkan dalam fatwa MUI tersebut tidak ha11ya menyangkut lara11ga11 antar seorang wanita muslimah dengan seorang pria no11 muslim tetapi laki-laki muslimpun tidak diperbolehkan menikah denga11 wanita no11 muslim.22
2. Menurut Pandangan Agama Kristen Katolik
Seperti yang diungkapkan oleh Eoh dalam bukunya yang berjudul
"Perkawinan Antar Agama ", bahwa perkawinan dalam hukum aganrn
Kristen Katolik merupakan sebuah sakramen atau pemberkatan yang berarti
21
As Sayid Sabiq, Fiqih Sunah, Op cit, ha!. 95 22
bahwa perkawinan tersebut telah diberkati Allah, sehingga tata cara pelaksanaannya pun harus mengikuti tata cara hukum agama. Perkawinan sakramen baru dianggap sah apabila dilakukan dengan tata cara Katolik dimana dilakukan pembaptisan terlebih dahulu sebelum diadakan pemberkatan di Gereja.
Mengenai perkawinan beda agama, dalam agama Kristen Katolik pada dasarnya melarang perkawinan antar pemeluk agama dengan agama lain. Hal ini merupakan salah satu halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah, yaitu perbedaan agama, bagi Gereja Kato!ik menganggap bahwa perkawinan antara seorang yang beragama Kristen Katolik dengan orang yang bukan agama Katolik serta tidak dilakukan menurut hukum Katolik dianggap tidak sah.
Jadi dalam ha! ini, agan1a Katolik pada prinsipnya melarang perkawinan penganutnya dengan seorang yang bukan Katolik, tetapi karena kemajuan zaman ha! itu tak dapat dihindarkan. Bagi penganut katolik perkawinan dapat dianggap sah apabila peneguhannya dilaksanakan secara katolik:
Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan dihadapan ordinasi wilayah
delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta dihadapan dua orang saksi; (Kanan 1108 parla).23
3. Menurut Pandangan Agama Kristen Protestan
Pada prinsipnya agama Kristen Protestan menghendaki agar penganut agamanya kawin dengan orang yang seagama, karena tujuan perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan. Walaupun demikian, dalam agama ini tidak menghalangi apabila te1jadi PBA antara pengmrntnya dengan aganm lain.
Beberapa ha! yang berkaitan dengan PBA, antara lain: Pertama mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil dimana kedua belah pihalc tetap menganut agamanya masing-masing. Kedua kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Ketiga pada umumnya Gereja tidak memberkati perkawinan mereka. Keempat ada yang memberkati dengan syarat yang bukan Kristen Protestan membuat pernyataan yang menyatakan bahwa ia bersedia ikut agama Kristen Protestan (meski bukan berarti pindah agama).
Namun yang ummn adalah bahwa Gereja Kristen Protestan memberi kebebasan kepada penganutnya untuk memilih apakah menikah di KCS atau diberkati di Gereja atau mengikuti agama dari calon suami/istri. Sebab
23
Johannes H. Hariyanto, SJ, " Pernikahan Beda Agama da/am Pandangan Gereja Kato/ik"
Gereja Kristen Protestan mengakui sahnya perkawinan dilakukan menurut adat ataupun agama mereka yang bukan Protestan. 24
4. Menurut Pandangan Agama Budha
Menurut Sangha Agung Indonesia, perkawinan beda aganm diperbolehkan, asalkan pengesahan perkawinannya dilakukan menurut tata cara agama Budha. Dan calon mempelai yang bukan Budha tidak diharuskan untuk masuk Budha terlebih dahulu. Tetapi, dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan "Atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka", yang merupakan dewa-·dewa umat R.1dha.25
Dalam pandangan Bhiksu Prajnavira Mahasthavira, sesuai dengan ajaran Budha yang universal, perkawinan adalah sebuah dharma. Yang paling utama adalah agar perkawinan tidak lepas dari ajaran moral. Asal tidak melanggar dharma dan tidak menyimpang dari norma dan moral, menurut Bhiksu Prajnavira melihat ha! itu sebagai sesuatu yang fleksibel, Jadi tidak tertutup rapat ketika masing-masing keluarga sudah saling sepakat dan menyetujui. Posisi biku atau Bhiksu hanyalah memberkati, sementara yang meresmikan pernikahan tersebut adalah keluarga masing-masing yang
24
Ahmad Baso & Ahmad Nurkholish, Pernikahan Beda Agama Kesaksian, Argumen
Keagamaan & Analisis Kebijakan, (Jakarta: Komnas HAM dan ICRP, 2005), cet. I, hal. 211-212.
diwakilkan kepada seorang dharmaduta, yakni orang yang diangkat oleh biku atau bhiksu untuk meresmikan pernikahan. 26
5. Menurut Pandangan Agama Hindu
Menurut Kitab Manusmriti, perkawinan bersifat religius karena ia
adalah ibadah dan juga sebuah kewajiban. Perkawinan dikaitkan dengan
kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan juga untuk menebus
dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra. Perkawinan, yang
dikenal dengan sebutan wiwaha, diidentikkan dengan samskara (mirip
sakramen dalam Katolik), sesuatu yang religius, sehingga kedudukan
lembaga perkawinan ditempatkan sebagai lembaga yang tidak terpisah
dengan hukum agama atau dharma.
Dengan demikian, dalam pandangan perkawinan sebagai samskara ini,
suatu perkawinan akan dianggap batal kalau tidak memenuhi syarat-syarat
tertentu. Misalnya, bila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum Hindu
tetapi tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya. Misalnya pasangan
yang menikah itu tidak menganut agama yang sama pada saat upacara
perkawinan itu dilakukan. Atau, dalan1 hal perkawinan antar agama tidak
dapat dilakukan menurut hukum agama Hindu.
26 Lok cit,
Kemudian untuk mengesahkan suatu perkawinan menurut agama
Hindu, itu hams dilakukan oleh seorang Pedande yang memenuhi syarat
untuk itu. Kalau ada perkawinan beda agama, maka Pedande tidak akan
mengesahkan perkawinan tersebut. Dalam agama Hindu tidal: dikenal
adanya nikah beda agama. Ini karena sebelnm perkawinan harus dilakukan
terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon 'llempelai
tidak beragama Hindu, maka ia wajib disucilrnn sebagai penganut agama
Hindu. Soalnya kalau tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian
dilaksanakan perkawinan, maka ha! ini dianggap melanggar ketentuan
dalam Seloka V-89 Kitab Manawadharmasastra, yang berbunyi:
"Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang Iahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi ;etapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggal bunuh diri"2 .
Seiring dengan kemajuan zaman, agma Hindu mulai mengalami perubahan baru di pusat kelahirannya, di India. Swami Vivekananda, adalah tokoh pembaharu Hindu di India, yang melontarkan gagasannya tentang "Hindu Modern". Dalam ha! perkawinan agama Hindu tidak mengenal istilah "menikahkan". Dan juga "penghnlu" sepe1ii dalam agama Islam. Kehadiran Pedande atau Pemuka Agama Hindu hanya sebagai pelengkap
upacara ritual dan bukan sebagai syarat perkawinan. Perkawinan hanya dilakukan diantara dua keluarga. Jadi tidak ada istilah peresmian , cukup kedua mempelai yang menikah.
Dengan demikian, perkawinan beda agama, di antara pasangan yang berbeda agama, bukan sesuatu yang bermasalah. Setidakn) a dalam pandangan agama Hindu pada saat ini. Kalau memang pasangan nikah beda agan1a itu sudah saling memahami dan meyakini bahwa perkawinan ini sudah merupakan dharma-Nya (the way of life), yang harus merekajalani di dunia ini, maka pernikahan mereka akan diberi jalan sesuai dengan
istadevata dan adikara mereka. 28
6. Menurut Pandangan Agama Konghucu
Pendiri agama Konghucu, Nabi Kongzi, berujar, "Seorang Jungzi (beriman) bisa hidup rukun meski berbeda. Xioren (orang rendah budi atau
tidak beriman) tidak bisa hidup rukun meskipun sama".29 Dari kata-kata di
atas membuktikan bahwa menikah seagama tidak menjamin keharmonisan dalam rumah tangga, bahkan bisa jadi sebaliknya.
Pernikahan adalah salah satu dari tiga momen amat penting dalam kehidupan seorang manusia, selain kelahiran dan kematian. Ketiga ha! tersebut menjadi kehendak Tian, Tuhan Yang Maha Esa. Dari ketiganya,
28 Ibid, ha!. 213-215
29
Budi Santoso Tanuwibowo, Pernikahan Beda Agama Menurut Perspektif Konghucu '", dalam
pernikahan bisa dianggap sebagai momen yang paling penting, karena yang bersangkutan tidak saja diberikan kesempatan untuk rnemilih, tetapi sebuah pernikahan yang akan sangat menentukan alur dan jalan kehidupan seorang manusia dan juga keluarganya di masa mendatang. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan suci yang harus direncanakan secara matang, agar mampu menghasilkan kehidupan yang lebih baik dan harmonis.
Meski tidak diatur secara eksplisit apakah pernikahan antara pasangan yang berbeda agama diperbolehkan atau tidak, tetapi bila kita simak secara mendalam makna sabda Nabi Kongzi yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama tidak dilarang. Meskipun pernikahan beda agama tidak dilarang, bukan berarti bebas tanpa aturan. Dalam Li Ji XXVII: 3 .1., dikatakan:
"Bila tiada keselarasan antara langit dan bumi, takkan tumbuh segenap kehidupan. Upacara pernikahan ialah pangkal peradaban sepanjang zaman. Dia bermaksud memadukan dan mengembangkan benih-benih kebaikan dua jenis manusia yang berlainan keluarga (marga atau sedarah) ".30
Dari paparan ayat di atas, menjadi jelas bahwa ada hal-hal yang dilarang dan ada pula hal-hal yang perln ditekanbm. Pernikahan yang berasal dari satu marga (atau lebih tepat bila diartikan sebagai pernikahan sedarah atau antar keluarga dekat) tidak diperbolehkan. Pernikahan harus dimaksudkan untuk memadukan dan mengembangkan benih-benih
30 Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish,
kebaikan, diam arti harus dilandasi cinta kasih, dan tidak ditujukan untuk sesuatu yang tidak baik dan tidak benar.
Agama Konghucu tidak rnengenal pernikahan harus sekaum atau seagama, namun yang penting, pernikahan itu terjadi antara sesama manusia,yang berlainan marga (dalam arti tidak terjadi antara keluarga dekat), dan dilaksanakan sesuai dengan aturan kesusilaan dan kaidah agama yang berlaku.
7. Menurut Pandangan Penghayat Kepercayaan
Perkawinan bed a agama dalam pandangan penghayat kepercayaan Adat Keruhun Sunda, yang berdasarkan pada kesadaran sepengertian meski tidak
sepengakuan atau seagama. Kesadaran seperti inilah yang ada dan
Yang Maha Kuasa. Hanya berbeda pada cara penyebutan Tuhan Yang Maha Tunggal itu.31
B. Pernikahan Beda Agama Dalam Pandangan Hukum Positif
Mengenai perkawinan campuran beda agama, sebelurn diberlakukannya UU Perkawinan No. I 1974 perkawinan diatur dalam Regeling op de Gemengde
Humelijken (GHR). Dasar hukum GI-IR tersebut diatur dengan Koninklijk Besluit
(penetapan raja) tanggal 29 desember 1898 No. 23 dan diundangkan pada tahun 1898 yang dikenal dengan Stbl. 1898 No. 158, yang kemudian disebut dengan istilah peraturan perkawinan campuran.
Peraturan perkawinan campuran yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda ini memiliki tujuan untuk mengatasi masalah perkawinan yang timbul antara seseorang dengan yang lainnya. Akibat adanya pengelompokan golongan penduduk yang diciptakan pemerintah Zaman Kolonia! Hindia Belanda dahulu. Pengelompokan tersebut didasarkan pada pasal 163 IS (Jndische Staatsregeling).
Menurut pasal 163 IS, penduduk Hindia Belanda terbagi atas tiga golonga, yaitu: Golongan Eropa, Golongan Bumi Putra, dan Golongan Timur Asing.32
Diberlakukannya GHR oleh pemerintah Hindia Belanda tidak terlepas dari keanekaragaman hukum perkawinan yang diciptakanya, untuk menyesuaikan diri dengan keanekaragaman hukum perkawinan yang ada, GHR tersebl't
31 Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish, ibid, hal 210
32 Basiq Djalil, S.I-l., MA.
mengalami beberapa perubahan dan tambahan melalui beberapa peraturan yang dinrnat dalam staatsblad.
Sesuai dengan pembuatan peraturan perkawinan campuran, maka dalam pasal I GHR tersebut dirumuskan mengenai pengertian perkawinan campuran;
"perkawinan antara orang-orang Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang
berlainan ". Kemudian isi dari pasal ini membawa akibat dengan timbulnya dua
a!iran yaitu antara yang setuju dengan dimasukkannya perkawinan antar agama ke dalam perkawinan campuran, dan tidak setuju dimasukkannya perkawinan antar agama kedalam perkawinan campuran.
Dalam UU No. I Tahun 1974 pengertian perkawinan campuran tidak lagi diperluas penge11iannya dengan memasukkan perkawinan beda agama. Pengertian perkawinan campuran dalam pasal 57 UU No. I Tahun 1974 telah dipersempit sehingga yang dimaksud perkawinan campuran yaitu hanya perkawianan antara dua oarang yang Indonesia tunduk pada hukum yag berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya berkewarganegaraan Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur perkawinan campuran menurut UU No. I Tahun 1974 antara lain:
I. Perkawinan antar pasangan yang tunduk terhadap hukum perkawinan yang berbeda, karena perbedaan kewarganegaraan,
4. Dilangsungkan di Indonesia, dan 5. Dilangsungkan di luar negeri.
Masalah perkawinan beda agama, pengadilan agama tidak berwenang untuk menerima, memeriksa apalagi memutuskan perkara tersebut. Alasannya adalah karena dalam perkawinan campuran beda agama salah satu pihak sudah tentu dan pasti tidak beragama Islam. Sedangkan peradilan agama hanya khusus untuk orang-orang yang beragama Islam, dan selain itu masalah perkawinan beda agama bukan termasuk wewenang pengadilan agama. Meskipun demikian menyangkut perkawinan beda agama, pengadilan agama hanya dapat memberikan putusan tentang penolakan pemberian keteran.gan untuk melakukan perkawinan campuran sesuai dengan kekuasaanya. Hal itu diatur dalam penjela